GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

(1)

ABSTRAK

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN

DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA

DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

Oleh Vili Yanthi

Gaya bahasa retoris dan kiasan dalam suatu novel cukup penting untuk dikaji secara mendalam. Cukup penting karena gaya bahasa merupakan unsur pembangun suatu novel yang sekaligus merupakan masalah dalam penelitian ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasikan gaya bahasa retoris dan kiasan, fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan dan mendeskripsikan kelayakan novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMA.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Sumber data penelitian ini adalah novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye cetakan kedua April 2013, jumlah halaman 360, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Teknik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa analisis terhadap novel Negeri di Ujung Tanduk meliputi kelompok gaya bahasa retoris dan kelompok gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris yang paling banyak digunakan adalah gaya bahasa asindeton (183) frekuensi dan aliterasi (104) frekuensi, gaya bahasa yang cukup banyak digunakan adalah gaya bahasa tautologi (79) frekuensi, erotesis atau pertanyaan retoris (70) frekuensi, prolepsis (58) frekuensi, asonansi (11) frekuensi, anastrof


(2)

(2) frekuensi, elipsis (1) frekuensi, dan litotes (1) frekeunsi, sehingga jumlah frekuensi gaya bahasa retoris dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye sebanyak (523) penggunaan. Gaya bahasa kiasan yang paling banyak digunakan adalah gaya bahasa metafora (55) frekuensi, dan persamaan (simile) (33) frekuensi, gaya bahasa yang cukup banyak digunakan adalah gaya bahasa personifikasi (20) frekuensi, antonomasia (10) frekuensi, sinekdoke (6) frekuensi, dan metonomia (3) frekuensi, dan gaya bahasa yang paling sedikit digunakan adalah gaya bahasa alegori, eponim, epitet, dan ironi (1) frekuensi, jumlah frekuensi gaya bahasa kiasan dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye sebanyak (131) penggunaan.

Berdasarkan data tersebut, penggunaan gaya bahasa retoris dan kiasan sudah sesuai dengan ragam baku yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik sehingga layak dijadikan media pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada silabus Kurikulum 2013 untuk SMA kelas XII semester genap, KI 3 serta KD 3.3 dan penelitian ini dapat menjadi salah satu refrensi guru dalam membelajarkan siswa mengenai gaya bahasa retoris dan kiasan.


(3)

(4)

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN

DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA

DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

Skripsi

Oleh VILI YANTHI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

Daftar Grafik

I. Grafik 1. Frekunesi Penggunaan Gaya Bahasa Retoris... 69 II. Grafik 2. Frekuensi Pengguanaan Gaya Bahasa Kiasan... 71


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

HALAMAN JUDUL... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

RIWAYAT HIDUP... v

MOTO... vi

PERSEMBAHAN... vii

SANWACANA... viii

DAFTAR ISI ... xii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 8

1.3 Pertanyaan Penelitian... 8

1.4 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karya Sastra Fiksi dan Non Fiksi ... 11

2.2 Novel ... 12

2.3 Gaya Bahasa ... 13

2.4 Ragam Bahasa ... 15

2.5 Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata ... 16

2.6 Gaya Bahasa Berdasarkan Nada ... 17

2.7 Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat ... 19

2.8 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna ... 19

1. Gaya Bahasa Retoris ... 19

1.1 Aliterasi... 20

1.2 Asonansi... 20

1.3 Anastrof... 20

1.4 Apofasis atau Preterisio... 20

1.5 Apostrof... 21

1.6 Asindeton... 21

1.7 Polisindeton... 21

1.8 Kiasmus... 22

1.9 Elipsis... 22

1.10 Eufemismus... 23

1.11 Litotes... 23


(7)

1.16 Erotesis atau Pertanyaan Retoris... 25

1.17 Silepsis dan Zeugma... 25

1.18 Koreksio atau Epanortosis... 26

1.19 Hiperbola... 26

1.20 Paradoks... 27

1.21 Oksimoron... 27

2. Gaya Bahasa Kiasan ... 27

2.1 Persamaan atau Simile... 27

2.2 Alusi... 28

2.3 Metafora... 28

2.4 Personifikasi... 29

2.5 Alegori... 29

2.6 Parabel... 29

2.7 Fabel... 30

2.8 Eponim... 30

2.9 Epitet... 30

2.10 Sinekdoke... 30

2.11 Metonomia... 31

2.12 Antonomasia... 31

2.13 Hipalase... 31

2.14 Ironi... 32

2.15 Sinisme... 32

2.16 Sarkasme... 32

2.17 Satire... 32

2.18 Innuendo... 32

2.19 Antifrasis……… 32

2.20 Pun atau Paronomasia………. 33

2.9 Pemilihan Bahan Ajar Bahasa dan Sastra di SMA……… 33

1. Kurikulum 2013 ... 39

2. Pedagogik ... 40

3. Sastra ... 42

III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 44

3.2 Sumber Data ... 44

3.3 Prosedur Penelitian ... 44

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.5 Teknik Analisis Data... 46

IV. PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 59

4.1.1 Gaya Retoris dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye... 59

4.1.2 Gaya Kiasan dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye... 61

4.2 Pembahasan ... 63

4.2.1 Gaya Retoris dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye... 64

a Aliterasi ... 64

b Asonansi ... 67


(8)

h Elipsis ... 73

i Litotes ... 74

j Tautologi ... 74

k Prolepsis atau Antisipasi ... 76

l Erotesis atau Pertanyaan Retoris ... 78

m Koreksio atau Epanortosis ... 80

n Hiperbola ... 81

4.2.2 Gaya Kiasan dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye... 82

a Persamaan atau Simile... 82

b Metafora... 84

c Alegori... 85

d Personifikasi atau Prosopopoeia... 86

e Eponim ... 87

f Epitet ... 88

g Sinekdoke ... 88

h Metonomia ... 89

i Antonomasia ... 90

j Ironi ... 91

4.2.3 Kelayakkan Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia di SMA ... 92

4.2.3.1 Kelayakkan Gaya Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye ditinjau dari Sudut Kurikulum ... 92

1 Kurikulum 2013 ... 93

2 Kompetensi Dasar ... 93

3 Materi Pembelajaran ... 94

4.2.3.2 Kelayakkan Gaya Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye ditinjau dari Pedagogik ... 95

1 Kebahasaan ... 95

2 Aspek Psikologi ... 96

4.2.3.3 Kelayakkan Gaya Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye ditinjau dari sastra ... 97

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 101

5.2 Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(9)

Daftar Tabel

I. Tabel 1. Frekuensi penggunaan gaya bahasa retoris... 68 II. Tabel 2. Ferekuensi penggunaan gaya bahasa kiasan... 70


(10)

(11)

(12)

MOTO

“jika sedekah itu kamu berikan secara berterus terang, itu adalah baik, dan jika kamu lakukan secara diam-diam, lalu kamu berikan kepada orang-orang

fakir miskin, itu lebih baik lagi,

dan dapat menghapuskan sebagaian dari kesalahanmu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan”

(Q.S Al-Baqarah: 271)

“Allah tidak akan memberikan pertolongan itu

melainkan untuk mengobarkan semangat juang dan ketabahan hatimu Sedangkan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Kuasa dan bijaksana”

(Q.S Ali Imran:126)

Bahagia sesungguhnya adalah ketika kita

melakukan kesalahan, kebodohan, menjalankan kehidupan yang begitu perih dan kita mengingat itu tertawa bahagia

karena kita saat ini telah menjadi orang yang lebih baik (Sukses). (Vili Yanthi)


(13)

(14)

PERSEMBAHAN

Mengucap alhamdulillah dan rasa syukur

atas nikmat dan segenap jiwa raga yang telah Allah berikan anugerah dan hidayah-Nya menguatkan saya hingga akhir.

Segala puji untuk Tuhanku Allah SWT dengan penuh rasa kasih sayang dan cinta

kupersembahkan buah karya ini kepada

Orang tuaku tercinta

Nenekku Atu Supiah dan Bapak Supian yang telah memberikan kasih sayang tak terhingga yang senantiasa mendoakan, membimbing, dan menguatkanku.

Berkat doa kalian terbuka jalan untukku atas restu kalian restu Allah datang.

Ibuku tercinta Mamak Faulina,

semoga selalu senantiasa mendapatkan limpahan kasih sayang Allah SWT.

Saudara kandungku Kiyay Fendi Septeri, Daing Afril Yandi, dan Adikku Okta Firnando

serta Harry Muhhamad Rizky yang selalu memberi bantuan, dukungan, motivasi, dan doanya. Terima kasih atas

segala yang pernah dikorbankan untukku.

Almamater tercinta Universitas Lampung yang telah mendewasakanku,

mengajarkanku betapa pentingnya semangat untuk berjuang.

Semoga Allah senantiasa memberikan jalan lurus hidayah serta kebaikkan hidup


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandar Lampung, pada 21 Februari 1992, anak ketiga dari empat bersaudara, putri dari pasangan Supian dan Faulina (Alm).

Pendidikan penulis diawali di SD Negeri 1 Tanjung Agung Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2004, melanjutkan sekolah tingkat pertama di SMP PGRI 1 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke SMA Bina Utama Dharma Karya (Budaya) Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Pada Januari 2013 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Bali, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Pada bulan Juli hingga September 2013 penulis melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di SMPN 1 Sumber Jaya Lampung Barat Desa Sukapura


(16)

SANWACANA

Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT karena rahmat dan hidayah-Nya telah memudahkan dan menerangi jalan pikiran penulis dalam menyusun skripsi yang berjudul “Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan Dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye”. Adapun penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan.

Selesainya penulisan dan penyusunan skripsi tidak lepas dari bantuan, dorongan, semangat, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada

1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si. selaku Dekan FKIP Universitas Lampung. 2. Bapak Dr. Muhammad Fuad, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung dan selaku pembahas. Terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, saran, kritik dan motivasinya selama ini. 3. Bapak Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung dan selaku pembimbing 1. Terima kasih atas segala bimbingan, saran, kritik dalam proses penyelesaian skripsi.

4. Bapak Dr. Edy Suyanto, M.Pd. selaku Pembimbing II. Terima kasih atas bimbingan, dan motivasinya selama ini.

5. Ibu Sumarti, S. Pd., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik (PA) terima kasih atas kesabaran, masukan dan kritik sarannya kepada penulis.


(17)

6. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung.

7. Bapak dan Ibu di bagian Akademik FKIP Universitas Lampung.

8. Bapak Drs. Tontowi, M.Si. dan Bapak Surya. Terima kasih atas jiwa sosial yang diberikan kepada penulis.

9. Guru SD, SMP, SMA. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan hingga penulis dapat seperti ini.

10.Bapak Supian dan Nenekku Atu Supiah. Terima kasih atas jerih, payah, tenaga, doa, dukungan, motivasi, nasehat dan kasih sayangnya hingga penulis dapat seperti ini.

11.Mamakku FauLina semoga selalu mendapat limpahan kasih sayang Allah SWT.

12.Kakakku Fendi Septeri dan Afril Yandi serta adikku Okta Firnando, Harry Muhamad Rizky dan nakenku Qienza Frendly Alfarizi Terima kasih atas dukungan , tenaga moral maupun material, kasih sayang kalian selama ini dan nakenku semoga menjadi anak yang berguna bagi orang tua dan masyarakat. 13.Keluarga besar dari Mamak dan Bapak.

14.Keluarga di Durian Payung: Ayahtuan H. Chaidar Kundo, S.H., Ibutuan Hj. Hermayati, S.Pd., Ajo Irham Syah Kundo, S.I., Atu Chairani Kundo, S.E. Bang Riswan Herafiansyah, S.H. Batin Burman Tanaka Kundo, S.H. Abang Chairil Kundo, S.H, M.H., Abang Darma A. Kundo, S.H., dan Tante Minten. Terima kasih atas kasih sayang, semangat, motivasi dalam bentuk moral maupun material hingga penulis dapat menjadi seperti ini.


(18)

16.Kakak tingkat 2007-2009 beserta adik tingkat 2011-2013.

17.Ustad Abi Mukti. Terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan oleh penulis.

18.Orang yang selama ini pernah mendampingiku. Terima kasih atas waktu dan tenaga yang diberikan.

19.Customer setiaku. Terima kasih telah setia berbelanja dan mempercayai. Semoga selalu diberikan kemurahan rezeki untuk kita semua.

20.Teman-teman terbaik, Rika Wilda Sari, S.Pd, Deacy, Efri Fitriyani, S.Pd, Novita, Yunita, Kemponk (Sefty), Ria, Riris Kristiani Kaban, Yulinda Sundari, S.E., Adit Al-Fikri, . Terima kasih atas segala support, bantuan dan kesetiaan kalian, semoga persahabatan kita kekal selamanya.

21.Teman KKN PPL Tya, Novita, Mifta, Rika, Sari, Nindi, Sukesi, Ahmad, Fathur, Ridwan. Terima kasih atas kebersamaannya.

Semoga segala sesuatu yang telah diberikan secara tulus kepada penulis, baik semangat, bimbingan dan doa, mendapatkan ridho dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan, tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memerlukannya.

Bandar Lampung, September 2014 Penulis


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Unsur utama karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Hubungan bahasa dan sastra dikatakan seperti dua sisi mata uang, keduanya tidak bisa dipisahkan sebab nilainya bergantung dari kualitas antarhubungannya. Melalui kualitas intelektual bahasa menyediakan sarana dalam bentuk bunyi, huruf, kata, kalimat, paragraf, dan seterusnya. Sebaliknya, melalui kualitas emosionalitas karya sastra memanfaatkannya, menganalisisnya, dengan berbagai cara yang tersedia. Penyusunan cerita sejarah, berita, iklan, opini, dan novel, khususnya gaya bahasa adalah cara-cara terpenting yang digunakan oleh pengarang.

Bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang tentu saja berbeda dengan bahasa yang digunakan orang kebanyakan. Seorang penulis sering menggunakan gaya bahasa dalam berkarya. Dalam karya sastra penafsiran yang berbeda justru merupakan ciri-ciri kualitas atau keindahan yang mengandung seni. Oleh karena itu, seorang penyair banyak yang menggunakan gaya bahasa yang digunakan untuk memperindah karyanya, di sisi lain pembaca dapat memberikan beragam penafsiran pada suatu karya. Kegiatan menganalisis gaya bahasa merupakan salah satu kegiatan pembelajaran siswa di SMA.


(20)

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang mengandung unsur tokoh, alur, latar, rekaan, yang menggelarkan kehidupan manusia ataas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulis (Purba, 2010:63).

Penelitian ini meneliti salah satu karya sastra fiksi yaitu novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye. Meneliti tentang gaya bahasa dalam novel Tere Liye. Mengapa peneliti memilih karya Tere Liye tersebut karena Ia alumni Universitas Indonesia setelah lulus dari SMUN 9 Bandar Lampung ia dari keluarga sederhana yang orang tuanya berprofesi sebagai petani biasa. Sampai saat ini telah

menghasilkan 14 karya. Bahkan beberapa di antaranya telah diangkat ke layar lebar. Sebagai penulis, ia banyak belajar dari pengalaman pendidikannya, gaya bahasanya dibungkus sehingga menarik. Pilihan gaya bahasa seperti ini membuat kalimat jadi fleksibel dan mudah dipahami. Pembaca tak perlu berkerut kening ketika membacanya. Peneliti mencatat ada beberapa hal penting yang bisa ditemukan dari novel ini.

Cerita yang dituturkan di novel ini adalah mengangkat kisah-kisah macam setengah fiksi setengah nyata karena sepertinya ini kisah yang mengawinkan beberapa fakta politik di negeri ini. Bagaimanakah wajah politik di Indonesia sebenarnya? Sebuah negeri di ujung tanduk, yang sebentar lagi akan hancur berantakan jika tidak ada penegakan hukum di dalamnya? Tak ada yang benar-benar tahu bagaimana situasi politik "di dalam lingkaran",

jika orang tersebut tak pernah terjun langsung di dunia politik.


(21)

dekat dengan publik. Oleh karena itu, cerita yang ada di dalamnya banyak tentang politik, ekonomi, perbankan, keuangan, hukum, dalam bingkai yang imajinatif dan menggugah rasa keingintahuan.

Gaya bahasanya unik serta sederhana. Pembaca tak perlu berkerut kening untuk memahami apa yang hendak disampaikan. Novel ini bisa dibaca sambil bersantai, namun tetap serius saat menemukan butiran-butiran makna. Ceritanya juga tidak menggurui sebab mengangkat hal-hal yang membuka pandangan berpolitik di Indonesia Tak hanya itu, novel ini juga menceritakan tentang perekonomian global, rekayasan keuangan, imperium bisnis, mafia hukum, konspirasi, dan segala hal "mengerikan" lainnya. Seperti fiktif, tapi nyata. Seperti nyata, tapi fiktif (www.darwisdarwis.multiply.com.).

Tere Liye adalah orang yang cerdas secara bahasa. Dia tampaknya serius melakukan riset, observasi, mengumpulkan banyak data dan fakta di lapangan, kemudian mengolahnya menjadi sebuah sajian, hiburan, bacaan, perenungan, dan proyeksi yang menarik. Pembaca akan selalu menggugah rasa keingintahuannya setelah membaca setiap bab dan akan mendapatkan kosakata baru karena di dalamnya ada beberapa bahasa asing yang digunakan pengarang dan terakhir dalam novel ini terdapat banyak data mengenai gaya bahasa.

Gaya bahasa dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis/pemakai bahasa (Keraf,


(22)

2002:113). Pendapat lain mengatakan gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu (Zainuddin, 1991:51).

Berdasarkan pendapat yang telah peneliti uraikan di atas dapat dikatakan secara umum bahwa gaya bahasa merupakan penyampaian makna sebenarnya dari kata-kata yang tertulis yang sengaja dilakukan pengarang untuk menimbulkan efek tertentu. Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra selain untuk memberikan konotasi tertentu juga untuk menimbulkan efek keindahan. Oleh karena itu, peneliti mengambil penelitian tentang gaya bahasa khususnya gaya bahasa retoris dan kiasan karena tertarik dengan penggunaan-penggunaan gaya bahasa yang di pakai oleh pengarang dalam membungkus karya yang indah dan menarik, sehingga membuat penikmat karyanya tidak bosan untuk membaca dan memberikan warna tersendiri.

Selain itu, setelah peneliti menyurvei lima pelajar dari alumni SMA di Bandar Lampung, salah satu dari mereka Ardian alumni SMA Trisakti kelas XII

menyebutkan gaya bahasa yang ia ketahui hiperbola, personifikasi, litotes, resmi, tak resmi, sindiran, ironi, persamaan, sedangkan Anggranita Sonia alumni SMAN 3 menyebutkan macam-macam gaya bahasa yaitu kiasan dan sindiran ada simile, hiperbola, personifikasi, litotes, metafora, retoris. Hal ini membuat peneilti ingin memperkenalkan lebih mendalam jenis-jenis dan fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan kepada pembaca terutama kalangan pelajar yang selama ini hanya mengetahui sedikit ilmu mengenai gaya bahasa dan memberikan contoh


(23)

bahan ajar yang dapat digunakan guru untuk mempelajari gaya bahasa sehingga siswa mengenal banyak tentang macam-macam gaya bahasa.

Gaya bahasa sangat erat hubungannya dengan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara umum salah satunya yaitu siswa mampu memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan untuk menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. Tujuan pembelajaran ini dikatakan berhasil apabila siswa mampu

menerapkan hal-hal yang tercantum dalam tujuan pembelajaran tersebut.

Pengalaman peneliti saat menjadi siswa di SMA, pengetahuan siswa tentang gaya bahasa tergolong kurang dan minat belajar mereka rendah.

Hal ini tertuang dalam silabus kurikulum 2013 SMA kelas XII semester genap, KI 3 (Kompetensi Inti) yaitu memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan

pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah dengan KD 3.3 (Kompetensi Dasar) yaitu menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. Dalam penelitian ini, peneliti memilih pada teks cerita novel , yaitu menganalisis gaya bahasa


(24)

memberikan pengetahuan secara faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif.

Penelitian yang berkaitan dengan gaya bahasa sebelumnya sudah pernah

dilakukan oleh Asep Perdiansyah (2007) dengan judul “Gaya Bahasa dalam Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata dan Kelayakannya sebagai Bahan Ajar Sastra Indonesia di SMA”. Tujuan penelitian tersebut mendeskripsikan gaya bahasa dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan menentukan kelayakan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dijadikan alternatif bahan ajar bahasa

Indonesia di SMA, hasil penelitian tersebut gaya bahasa yang digunakan meliputi gaya bahasa retoris sebanyak 88 frekuensi dan gaya bahasa kiasan sebanyak 263 frekuensi penggunaan dan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata layak

dijadikan alternatif bahan ajar sastra Indonesia di SMA sedangkan judul penelitian ini “Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Novel Negeri di Ujung Tanduk Karya Tere Liye dan Kelayakannya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA. Perbedaaan kedua penelitian terletak ditujuan penelitian yaitu mengidentifikasi gaya bahasa retoris dan kiasan, mendeskripsikan fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan dan sudah memakai kurikulum 2013 sehingga penelitian ini melengkapi penelitian sebelumnya.

Hal inilah yang menjadi latar belakang peneliti memilih novel Tere Liye sebagai bahan ajar di sekolah, dengan harapan agar siswa dapat termotivasi dalam mempelajari gaya bahasa. Peneliti memilih karya sastra ini bertujuan memfokuskan pada gaya bahasa yang terdapat pada novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye agar siswa lebih termotivasi dan dapat menarik minat


(25)

siswa. Dengan termotivasinya siswa mempelajari gaya bahasa ada harapan bagi

guru untuk mencapai tujuan pembelajan yang tercantum dalam Kurikulum 2013.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. “Bagaimanakah gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat dalam novel Negeri Di Ujung Tanduk karya Tere Liye dan kelayakannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA)?”. Rumusan masalah di atas dengan rincian sebagai berikut.

a. Apa saja gaya bahasa retoris dan kiasan.

b. Bagaimana fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan. c. Kelayakannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gaya bahasa retoris dan kiasan yang terdapat di dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye dan

kelayakkannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA. Tujuan penelitian di atas dapat di rinci sebagai berikut.

a. mengidentifikasikan jenis gaya bahasa retoris dan kiasan.

b. mendeskripsikan fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan. c. Kelayakannya sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA.


(26)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan praktis bagi penulis, siswa, guru bahasa Indonesia, dan penelitian lain. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut.

1.4.1Manfaat Teoretis

a. penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat secara akademis, yaitu dapat menambahkan refrensi penelitian di bidang kesastraan khususnya gaya bahasa.

b. penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi para peneliti selanjutnya dalam mengembangkan teori gaya bahasa, khususnya gaya bahasa langsung tidaknya makna yang meliputi gaya bahasa retoris dan kiasan.

c. penelitian ini dapat menjadi contoh untuk peneliti selanjutnya yang akan meneliti novel Tere Liye yang berjudul Negeri di Ujung Tanduk yang ingin meniliti selain gaya bahasa retoris dan kiasan.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. memberikan pengetahuan kepada guru bahwa penelitian ini bisa dipakai sebagai salah satu bahan acuan untuk memberikan bahan ajar kepada siswa atau calon guru, khususnya tentang gaya bahasa.

b. membantu guru bidang studi bahasa Indonesia untuk mencari alternatif bahan pembelajaran gaya bahasa di SMA.

c. memberikan pengetahuan kepada peneliti mengenai deskripsi gaya bahasa dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye sebagai bahan ajar sastra Indonesia.


(27)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye serta gaya bahasa yang terdapat dalam novel, Fungsi sastrawi gaya bahasa retoris dan kiasan dan kelayakkan sebagai bahan ajar sastra Indonesia di SMA untuk mendeskripsikan gaya bahasa tersebut, dalam penelitian ini peneliti berpedoman pendapat Gorys Keraf yaitu.

(1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata; (2) Gaya bahasa berdasarkan nada;

(3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;

(4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, peneliti merasa penting untuk menganalisis tentang gaya bahasa dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye, hal ini dapat dilihat dari gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang meliputi (Keraf, 2002);

1. gaya bahasa retoris yang terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof (inversi), apofasis (preterisio), apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme, tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, selipesis, zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbola, paradoks, oksimoron;

2. gaya bahasa kiasan yang terdiri atas persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, personifikasi atau prosopopeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonomia, antononasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuedo, antrifrasis, pun atau paronomasia.


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karya Sastra Nonfiksi dan Fiksi

Karya sastra terbagi menjadi dua yaitu, karya sastra nonfiksi dan fiksi. Karya sastra nofiksi adalah karya sastra yang ditulis berdasarkan kajian keilmuan dan atau pengalaman. Pada umumnya, buku merupakan penyempurnaan buku yang telah ada sedangkan, karya sastra fiksi yaitu cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan pada kebenaran sejarah (Nurgiantoro, 2010:2). Karya sastra fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu mencari kebenearanya di dunia nyata.

Sebagai karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh karena itu, fiksi dalam buku Teori Pengajian Fiksi (Nurgiantoro, 2010:2), dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal ini berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan


(29)

penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Oleh karena itu, fiksi merupakan sebuah cerita, karenanya terkandung juga dalamnya tujuan memberikan hiburan. Membaca sebuah karangan fiktif berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin (Nurgiantoro, 2010:3). Cerita fiksi adalah roman, cerpen, drama, puisi, dan novel.

2.2 Novel

Dalam sastra Indonesia kontemporer, novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih yang menganggap kehidupan pria wanita bersifat imajinatif (2010:62).

Pengertian novel dari kritikus dan pakar sastra Indonesia dijelaskan di bawah ini. H. B. Jassin berpengertian bahwa novel adalah cerita mengenal salah satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib pada manusia (Purba, 2010:63, dalam Faruk, 1997:262).

Dalam Kamus Istilah Sastra, Abdul rozak zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah menuliskan, novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang, dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulis (1994:136, dalam Purba, 2010:63).

Dalam Kamus Istilah Sastra, Panuti Sudjiman berpengertian bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian pristiwa dan latar secara tersusun (1990:54, dalam Purba, 2010:63).


(30)

Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance (romansa) dan novel. Novel bersifat realistik, sedangkan roman bersifat puitik dan epik. Hal itu menunjukkan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi,, kronik, dan sejarah. Novel berkembang dari dokumen-dokumen, dan secara stilistika menekankan pentingnya detail dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu kepada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam. Roman merupakan kelanjutan epik (Wellek dan Waren, 1989:282-283, dalam Purba, 2010:64).

2.3 Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian mengguankan alat ini akan memengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan di titik beratkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2002:112).

Gaya bahasa atau langgam bahasa adalah cara penutur mengungkapkan maksudnya. Banyak cara yang dapat dipakai untuk menyampaikan sesuatu: ada cara yang memakai perlambangan (majas metafora, personifikasi); ada cara yang menekankan kehalusan (majas eufemisme, litotes; dan masih banyak lagi majas


(31)

lainnya). Semua itu pada prinsipnya merupakan corak seni berbahasa atau retorika untuk menimbulkan kesan tertentu pada mitra berbahasa (L. Finoza, 1993: 105). Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinatif, bukan dalam pengertian yang benar-benar secara alamiah saja.. gaya bahasa ialah pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu dengan pemilihan dan penyususnan kata dalam kalimat untuk memperoleh efek tertentu (Zainuddin, 1991:51).

Gaya bahasa dan kosakata memunyai hubungan erat, hubungan timbal balik. Kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pulalah gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas turut memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya maka dalam pengajaran gaya bahasa merupakan suatu teknik penting untuk mengembangkan kosakata para siswa (Tarigan, 1985:5).

Pendapat lain mengatakan pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata pendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersitar (Nurgiantoro, 2000:296).

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah peneliti uraikan, dapat dikatakan secara garis besar bahwa gaya bahasa merupakan penyimpangan makna dari kata-kata yang tertulis yang sengaja dilakukan oleh pengarang untuk menimbulkan efek tertentu atau menimbulkan konotasi tertentu. Sebuah pendapat menyebutkan bahwa gaya bahasa memilki ciri-ciri sebagai berikut.


(32)

1. ada perbedaan dengan sesuatu yang diungkapkan misalnya melebihkan, mengiaskan, melambangkan, mengecil atau menyindir.

2. kalimat yang disusun dengan kata-kata yang menarik dan indah. 3. pada umumnya mempunyai makna kias (Zainuddin, 1992:52).

Secara singkat dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1985:113). Dari beberapa pendapat di atas, peneliti memilih teori yang diungkapkan oleh Gorys Keraf (1985) karena jelas dan mudah dimengerti gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan penulis (pemakai bahasa).

2.4 Ragam Gaya Bahasa

Pembagian atau penggolongan gaya bahasa sampai saat ini belum memilki kesamaan persis dari beberapa ahli seperti pembagian gaya bahasa berikut.

1) Gaya bahasa terdiri atas tiga macam (Zainuddin, 1991), yaitu: a. gaya bahasa perbandingan:

b. gaya bahasa sindirian:

c. pribahasa dan ungkapan yang sering digunakan sehari-hari.

2) Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa berdasarkan titik tolok unsur bahasa yang dipergunakan (Keraf, 2002), yaitu:

a. gaya bahasa berdasarkan pilihan kata;


(33)

c. gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;

d. gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

Dengan pertimbangan bahwa pembagian gaya bahasa dalam buku Gorys Keraf lebih luas dan jelas, maka penulis lebih tertarik untuk mengacu pada teori dalam buku Gorys Keraf khususnya mengenai gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung di dalamnya untuk meneliti novel Tere Liye yang berjudul Negeri Di Ujung Tanduk.

2.5 Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata

Dalam bahasa standar (bahasa baku) dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi (bukan bahasa resmi), gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan. 1. Gaya Bahasa Resmi

Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang lengkap, gaya yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Sebab itu, gaya bahasa resmi pertama-tama adalah bahasa dengan gaya tulisan dalam tingkat tertinggi, walaupun sering dipergunakan juga dalam pidato-pidato umum yang bersifat seremonial.

2. Gaya Bahasa Tak Resmi

Gaya bahasa tak resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesexmpatan-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Gaya ini biasanya dipergunakan dalam karya-karya tulis,


(34)

buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial, dan sebagainya.

3. Gaya Bahasa Percakapan

Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata popular dan kata-kata percakapan. Namun di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan ini.

2.6 Gaya Bahasa Berdasarkan Nada

Gaya bahasa dilihat dari segi nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas: gaya yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah. 1. Gaya Sederhana

Gaya ini baiasanya cocok untuk memberi intruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya. Sebab itu untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis harus memilki kepandaian dan pengetahuan yang cukup.

2. Gaya Mulia dan Bertenaga

Gaya ini penuh dengan vitalitas dan biasanya dipergunakan untuk mengerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga pembicara, tetapi juga dapat mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Nada yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi pendengar.

3. Gaya Menengah

Gaya menengah adalah yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai, karena tujuannya adalah menciptakan suasana senang dan


(35)

damai, maka nadanya juga bersifat lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat.

2.7 Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antithesis, dan repetisi. Repetisi terbagi lagi menjadi beberapa gaya yaitu epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalipsisi, dan anadiplosis.

1. Paralelisme

Paralelisme merupakan suatu gaya yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi pragmatikal yang sama dalam sebuah kalimat atau klausa (Rani, 1996:148). Contoh sebagai berikut.

a. Kedengarannya memang aneh, dia merasa kesepian di tengah kota metropolitan

ini.

b. Negara kita ini negara hukum, semua yang salah harus ditindak tegas tanpa harus pandang bulu.

2. Klimaks

Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengndung uruttan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Contoh sebagai berikut:

a. dalam dunia perguruan tinggi yang dicengkram rasa takut dan rasa rendah diri,

tidak dapat diharapkan pembaharuan, kebanggaan akan hasil-hasil pemikiran yang

obyektif atau keberanian untuk mengungkapkan pendapat secara bebas.


(36)

b. kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran pengalaman, dan pengalaman harapan.

3. Antiklimaks

Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan satuan acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang efektif karena gagasan yang penting ditempatkan di awal kalimat, sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu. Misalnya:

Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya (mengandung ironi).

4. Antitesis

Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergubakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Misalnya:

Mereka sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memperoleh keuntungan daripadanya. 5. Repetisi

Repetisi adalah perulanagan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Misalnya:

Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam?


(37)

2.8 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

Berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam sebuah kata maupun kelompok kata maka gaya bahasa dapat dibedakan atas dua bagian, yakni gaya langsung atau gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.

1. Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, ellipsis, eufemisme, litotes, hysteron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau eponortosis, hiperbola, paradoks, dan oksimoron.

1.1 Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. Misalnya:

Takut titik lalu tumpah

Keras-keras kerak kena air lembut juga 1.2 Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya digunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya:

Ini muka penuh luka siapa punya


(38)

1.3 Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan sususanan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya:

Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.

1.4 Apofasis atau Preterisio

Apofasis disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Misalnya:

Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.

1.5 Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu masa. Sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung pada sesuatu yang tidak hadir kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek khayalan atau sesuatu yang abstrak, se=hingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin. Misalnya:

Hai kamu dewa-dewa yang ada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu perinduan ini.

Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.


(39)

1.6 Asindeton

Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenaldari Julius Caesar: Veni, Vidi, Vivi, “saya datang, saya lihat, saya menang”. Perhatikan contoh berikut:

Misalnya:

Materi pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dari cugito

ergo sum dicoba, medium bahasa dieksplotir, imaji-imaji, metode,

prosedur dijungkir balik, masih itu-itu juga. Dan kesesakam,

kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang

melepaskan nyawa. 1.7 Polisindeton

Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berururtan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Misalnya:

Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya? 1.8 Kiasmus

Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan atau sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausanya. Misalnya:


(40)

Semua kesabaran kami telah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melaanjutkan usaha itu.

1.9 Elipsis

Elipsis adalah suatu gaya berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Misalnya:

Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa- apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...

Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah kalimat disebut anakoluton, misalnya:

Jika anda gagal melaksanakan tugasmu ... tetapi baiklah kitak tidak Membicarakan hal itu.

Bila pemutusan ditengah-tengah kalimat itu dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis.

1.10 Eufemismus

Kata eufemismus atau aufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti “mempergunkan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemismus adalah semacam acuan berupa ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya:


(41)

Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (= gila).

1.11 Litotes

Litotes adalah gaya bahasa yang dipaki untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya atau suatu pikiran dengan menyangkal lawan katanya. Misalnya:

Kedududukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.

Saya tidak akan merasa bahagia bila mendapat warisan satu milyar

rupiah.

1.12 Histeron Proteron

Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebaikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal pristiwa juga disebut hiperbaton. Misalnya:

Saudara-saudara, sudah lama terbukti bahwa anda sekalian tidak lebih baik sedikit pun dari pada pesuruh, hal itu tampak dari anggapan yang berkembang akhir-akhir ini.

Jendela ini telah memberi sebuah kamar kepadamu untuk dapat berteduh dengan tenang.

1.13 Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin dibedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut


(42)

tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya:

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.

Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata dengan telinga saya, dengan mata kepala saya.

Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. Globe itu bundar bentuknya.

Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercangkup dalam jam 20.00, dan bundar sudah mencangkup dalam globe.

1.14 Perifrasis

Sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya:

Ia telah beristirahat denagn damai (= mati, atau meninggal). 1.15 Prolepsis atau Antisipasi

Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelumnya pristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa kecelakaan dengan peswat terbang, sebelum sampai kepada peristiwa kecelakaan itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal kesialan baru terjadi kemudian. Misalnya:


(43)

Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak mengenal

orang itu.

Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan

tempat itu.

1.16 Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Misalnya:

Terlalu banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa.

Herankah saudara kalau harga itu terlalu tinggi? Apakah saya menjadi wali kaka saya?

Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan

manipulasi di Negara ini? 1.17 Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua kontruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya salah satunya memunyai hubungan dengan kata pertama.

Dalam silepsis, kontruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Misalnya:

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Fungsi dan sikap bahasa

Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan; demikian juga ada konstruksi fungsi bahasa dan sikap bahasa namun makna gramatikalnya


(44)

berbeda, yang satu berarti “fungsi dari bahasa” dan yang lain “sikap terhadap bahasa”.

Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun secara gramatikal). Misalnya:

Dengan membelalakan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.

1.18 Koreksio atau Epanortosis

Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya:

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. 1.19 Hiperbola

Hiperbola adalah semacam agay bahasa yang menagndung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Misalnya:

Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku. 1.20 Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Misalnya:

Musuh sering merupakan kawan yang akrab.

Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah. 1.21 Oksimoron

Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Misalnya:


(45)

Untuk menjadi manis seseorang harus menjadi kasar.

2. Gaya Bahasa Kiasan

Gaya bahasa kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Gaya bahasa kiasan terdiri dari persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel dan fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonomia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, innuendo, antifrasis, dan pun atau paronomasia.

2.1 persamaan atau simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan dengan pemakaian kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, dan serupa. Misalnya:

(a) Kulit gadis itu lembut seperti sutra.

(b) Hidupnya kacau ibarat benang yang kusut.

Kalimat (a) mencoba menyamakan kulit seorang gadis dengan kain sutra, pada kalimat (b) membandingkan hidup yang kacau dengan benang yang kusut. Penggunaan kata seperti dan ibarat yang dimaksudkan untuk membuat kesan yang sama, meskipun sebenarnya kedua hal yang dibandingkan tersebut berbeda.

2.2 Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya:


(46)

Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk membentuk sebuah alusi yang baik, yaitu:

a. harus ada keyakinan bahwa hal yang dijadikan alusi dikenal juga oleh pembaca;

b. penulis harus yakin bahwa alusi itu membuat tulisannya lebih menjadi lebih jelas;

c. bila alusi itu menggunakan acuan yang sudah umum, maka usahakan untuk menghindari acuan semacam itu.

2.3 Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya (Keraf, 1980:139). Pendapat lain mengatakan bahwa metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta dalam Tarigan, 1989:15). Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mengguankan kata-kata seperti, bak, laksana, dan sebagainya. Contoh sebagai berikut.

(a) Siti adalah bunga desa (b) orang itu seperti buaya darat

Kalimat (a) dan (b) menyamakan secara langsung antara Siti dan orang dengan bunga desa dan buaya darat. Perbandingan tersebut langsung dilakukan tanpa mengguankan kata perbandingan seperti, umpama, bak, dan sebagainya.


(47)

Personifikasi merupakan suatu gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang yang tidak bernyawa seolah-olah hidup seperti manusia. Contoh sebagai berikut.

(a) Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami.

(b) pohon-pohon itu ikut gembira mendengar nyanyian wanita itu.

Contoh kalimat (a) dan (b) melekatkan sifat-sifat insani pada angin dan pohon. Perbuatan meraung dan gembira hanya dapat dilakukan oleh makhluk bernyawa bukan benda mati.

2.5 Alegori, Parabel, dan Fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang menagndung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.

Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spritual.

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia.


(48)

Eponim adalah gaya yang di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat-sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya:

Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan.

2.7 Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Misalnya:

Loceng pagi untuk ayam jantan. Putri malam untuk bulan.

2.8 Sinekdoke

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagaian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Misalnya:

Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp. 1000,00. 2.9 Metonomia

Metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena memunyai pertalian yang sangat dekat. Misalnya:

Saya minum satu gelas, ia dua gelas. Ia telah memeras keringat habis-habisan.


(49)

Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epitet untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya:

Yang mulia tidak dapat menghadiri pertemuan ini. Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.

2.11 Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebauh kata lain. Misalnya:

Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah

Adalah manusianya, bukan bantalnya).

2.12 Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa terkandung dalam rangkaia kata-katanya. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Misalnya:

Saya tahu anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang

perlu mendapatkan tempat terhormat.

Sinisme yaitu suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Misalnya:

Memang anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini


(50)

Sarkasme merupakan satuan acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang menagndung kepahitan dan celaan. Misalnya:

Lihat sang raksasa itu. (maksudnya si cebol)

2.13 Satire

Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kriktik tentang kelemahan manusia.

2.14 Innuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu. Misalnya:

Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum.

2.15 Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bhisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Misalnya:

Lihat sang raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol) Engkau memang orang yang mulia dan terhormat!


(51)

Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Misalnya:

Tanggal dua gigi saya tanggal dua.

2.9 Pemilihan Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk berkomunikasi, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Ketrampilan ini diperkaya oleh fungsi utama sastra untuk penghalusan budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, menumbuhkan apresiasi budaya dan penyaluran gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif, baik secara lisan maupun tertulis. Pengajaran sastra ditunjukan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk menikmati, menghayati dan memahami karya sastra (Depdiknas, 2003:5).

Berdasarkan mata pelajaran Bahasa dan Sasra Indonesia di SMA, kurikulum 2013 terdiri atas dua aspek, yaitu Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari Kompetensi Inti. Kompetensi Dasar adalah konten atau kompetensi yang terdiri atas sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang bersumber pada kompetensi inti yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi tersebut


(52)

dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu mata pelajaran. Mata pelajaran sebagai sumber dari konten untuk menguasai kompetensi bersifat terbuka dan tidak selalu diorganisasikan berdasarkan disiplin ilmu yang sangat berorientasi hanya pada filosofi esensialisme dan perenialisme. Mata pelajaran dapat dijadikan organisasi konten yang dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu atau non disiplin ilmu yang diperbolehkan menurut filosofi rekonstruksi sosial, progresif atau pun humanisme. Karena filosofi yang dianut dalam kurikulum adalah eklektik seperti dikemukakan di bagian landasan filosofi maka nama mata pelajaran dan isi mata pelajaran untuk kurikulum yang akan dikembangkan tidak perlu terikat pada kaedah filosofi esensialisme dan perenialisme.

Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari Kompetensi Inti. Kompetensi Dasar SMA/MA untuk setiap mata pelajaran yang mencakup: mata pelajaran Wajib Kelompok A, Wajib Kelompok B, Kelompok Peminatan Matematika dan Sains, Kelompok Peminatan Sosial, dan Kelompok Peminatan Bahasa.

Sedangkan Kompetensi Inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu atau jenjang pendidikan tertentu, gambaran mengenai kompetensi utama yang dikelompokkan ke dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan (afektif, kognitif, dan psikomotor) yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran. Kompetensi Inti harus menggambarkan kualitas yang seimbang antara pencapaian hard skills dan soft skills.


(53)

Kompetensi Inti berfungsi sebagai unsur pengorganisasi (organising element) kompetensi dasar. Sebagai unsur pengorganisasi, Kompetensi Inti merupakan pengikat untuk organisasi vertikal dan organisasi horizontal Kompetensi Dasar. Organisasi vertikal. Kompetensi Dasar adalah keterkaitan antara konten kompetensi dasar satu kelas atau jenjang pendidikan ke kelas/jenjang di atasnya sehingga memenuhi prinsip belajar yaitu terjadi suatu akumulasi yang berkesinambungan antara konten yang dipelajari siswa. Organisasi horizontal adalah keterkaitan antara konten kompetensi dasar satu mata pelajaran dengan konten kompetensi dasar dari mata pelajaran yang berbeda dalam satu pertemuan mingguan dan kelas yang sama sehingga terjadi proses saling memperkuat.

Kompetensi Inti dirancang dalam empat kelompok yang saling terkait yaitu berkenaan dengan sikap keagamaan (kompetensi inti 1), sikap sosial (kompetensi inti 2), pengetahuan (kompetensi inti 3), dan penerapan pengetahuan (kompetensi 4). Keempat kelompok itu menjadi acuan dari Kompetensi Dasar dan harus dikembangkan dalam setiap peristiwa pembelajaran secara integratif. Kompetensi yang berkenaan dengan sikap keagamaan dan sosial dikembangkan secara tidak langsung (indirect teaching) yaitu pada waktu peserta didik belajar tentang pengetahuan (kompetensi inti kelompok 3) dan penerapan pengetahuan (kompetensi Inti kelompok 4).

Kompetensi Inti SMA/MA adalah sebagai berikut:

KELAS X KELAS XI KELAS XII

1. Menghayati dan mengam al kan ajaran agama yang dianutnya

1. Menghayati dan mengam al kan ajaran agama yang dianutnya

1. Menghayati dan menga mal kan ajaran agama yang dianutnya


(54)

2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari

solusi atas berbagai

permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial

dan alam serta dalam

menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

2. Mengembangkan

perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari

solusi atas berbagai

permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial

dan alam serta dalam

menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

2. Mengembangkan

perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan,

gotong royong,

kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif),

menunjukkan sikap

sebagai bagian dari solusi

atas berbagai

permasalahan bangsa,

serta memosisikan diri sebagai agen transformasi

masyarakat dalam

membangun peradaban

bangsa dan dunia

3. Memahami dan

menerapkan pengetahuan

faktual, konseptual,

prosedural dalam ilmu

pengetahuan, teknologi,

seni, budaya, dan

humaniora dengan

wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait

fenomena dan kejadian,

serta menerapkan

pengetahuan prosedural

pada bidang kajian yang

spesifik sesuai dengan

bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

3. Memahami, menerapkan,

dan menjelaskan

pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural, dan

metakognitif dalam ilmu

pengetahuan, teknologi,

seni, budaya, dan

humaniora dengan

wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait

penyebab fenomena dan

kejadian, serta menerapkan

pengetahuan prosedural

pada bidang kajian yang

spesifik sesuai dengan

bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

3. Memahami, menerapka n, dan menjelaskan

pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural,

dan metakognitif dalam

ilmu pengetahuan,

teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan

wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait

penyebab fenomena dan

kejadian, serta

menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang

kajian yang spesifik

sesuai dengan bakat dan minatnya

untukmemecahkan masalah

4. Mencoba, mengolah, dan

menyaji dalam ranah

konkret dan ranah abstrak

terkait dengan

pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri dan mampu

menggunakan metode

sesuai kaidah keilmuan

4. Mencoba, mengolah, dan

menyaji dalam ranah

konkret dan ranah abstrak

terkait dengan

pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri bertindak, secara afektif dan kreatif serta mampu mengguankan

metode sesuai kaidah

keilmuan

4. Mencoba, mengolah,

menyaji, dan mencipta

dalam ranah konkret dan

ranah abstrak terkait

dengan pengembangan

dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri bertindak secara afektif dan kreatif serta mampu

menggunakan metode


(55)

Pada program pembelajaran untuk kelas XII semester genap , standar kemampuan bersastra pada siswa adalah memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah dan Kompetensi Dasar menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan.

Berdasarkan kurikulum 2013 sebagai berikut:

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR

3. Memahami, menerapkan, menganalisis

dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang

ilmu pengetahuan, teknologi, seni,

budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena

dan kejadian, serta menerapkan

pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

3.1 Memahami struktur dan kaidah teks

cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan

3.2 Membandingkan teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan

3.3 Menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel baik melalui lisan maupun tulisan

3.4 Mengevaluasi teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel berdasarkan kaidah-kaidah baik melalui lisan maupun tulisan.

Dengan menentukan bahan pembelajaran sastra yang sesuai dengan Kurikulum 2013 yang berlaku saat ini, diharapkan siswa dapat menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra khususnya. Pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan


(56)

kurikulum 2013 diarahkan untuk menggambarkan kualitas yang seimbang antara pencapaian hard skills dan soft skills, serta dapat menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan bangsa Indonesia dan meningkatkan kemampuan pesertadidik agar dapat memahami, menerapkan, dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

Tujuan pembelajaran dapat berhasil dengan baik apabila ditunjang penggunaan media dan bahan ajar yang memadai yang dapat memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan yang diinginkan. Karya sastra fiksi juga merupakan salah satu bahan ajar yang bisa digunakan untuk pembelajaran. Namun, tidak karya sastra fiksi dapat dijadikan bahan ajar di sekolah. Salah satu karya sastra fiksi yang bisa digunakan yaitu Novel. Ada 3 aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan bahan pengajaran sastra yaitu sebagai berikut.

1. Aspek Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 menyadari peran penting bahasa sebagai wahana untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran secara estetis dan logis. Pada satu saat,


(57)

bahasa tidak dituntut dapat mengekspresikan sesuatu dengan efisien karena ingin menyampaikannya dengan indah sehingga mampu menggugah perasaan penerimanya. Pada saat yang lain, bahasa dituntut efisen dalam menyampaikan gagasan secara objektif dan logis supaya dapat dicerna dengan mudah oleh penerimanya. Dua pendekatan mengekspresikan dua dimensi diri, perasaan dan pemikiran, melalui bahasa perlu diberikan berimbang.

Berdasarkan kurikulum 2013 sebagai berikut. Berdasarkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA, kurikulum 2013 terdiri dari atas dua aspek, yaitu Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Pada program pembelajaran untuk kelas xii semester genap, KI (Kompetensi Inti) 3 pada siswa adalah memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. Adapun KD (Kompetensi Dasar) 3.3 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.


(58)

Seorang guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik di sekolah perlu memilki seperangkat ilmu tentang bagaimana ia harus mendidik anak. Guru bukan hanya sekedar terampil dalam menyampaikan bahan ajar, karena itu ia juga harus mampu mengembangkan pribadi anak, mengembangkan watak anak, dan mengembangkan serta mempertajam hati nurani anak. Pedagogik merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana membimbing anak, bagaimana sebaiknya pendidik berhadapan dengan anak didik, apa tugas pendidik dalam mendidik anak dan yang menjadi tujuan untuk mendidik anak.

Tujuan khusus pembelajaran sastra di antaranya menuntut anak didik untuk dapat memahami dan menangkap makna suatu karya sastra yang diajarkan. Untuk mencapai tujuan pengajaran sastra tersebut, pemilihan bahan pembelajaran sastra mutlak dibutuhkan. Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan bahan pembelajaran sastra secara umum adalah sebagai berikut.

1. Aspek kebahasaan

Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang dibahas, tapi juga faktor-faktor lain seperti cara penulisan yang dipakai pengarang, bahasa yang digunakan menggunakan bahasa baku, kumunikatif, memperhitungkan kosakata baru,, isi wacana, cara menuangkan ide yang disesuaikan dengan kelompok pembaca yang ingin dijangkau sehingga mudah dipahami semua kalangan, serta ciri-ciri karya sastra disesuaikan pada waktu penulisan itu.


(59)

Dalam memilih bahan pengajaran tahap-tahap psikologi hendaknya diperhatikan karena sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didiknya dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis sangat berpengaruh terhadap: daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi. Dalam pengajaran karya sastra tahap psikologi harus diperhatikan, guru hendaknya menyajikan karya sastra secara psikilogi dapat menarik minat sebagaian besar siswa dalam kelas.

Untuk siswa SMA (usia 16 sampai 18 tahun) mereka pada tahap realistik. Pada tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi dan sangat berminat pada realistis atas apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha menegtahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah kehidupan nyata.

3. Latar belakang kebudayaan siswa

Latar belakang kebudayaan siswa karya sastra meliputi hampir semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya seperti; geografi, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika, dan sebagainya.

Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan


(60)

mereka dan memunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orang-orang disekitar.

3. Aspek Sastra

Dalam praktek pengajaran sastra yang sebenarnya, guru tidak memilih bahan ajar sastra untuk para siswanya. Kemampuan untuk dapat memilih bahan ajar sastra ditentukan oleh berbagai macam faktor, antara lain: berapa banyak karya sastra yang tersedia di perpustakaan sekolah, kurikulum yang harus diikuti, persyaratan bahan yang harus diberikan agar dapat menempuh tes hasil belajar akhir, dan masih banyak faktor lain yang terkadang bahan yang ditentukan dari atasan lewat kurikulum kurang sesuai dengan lingkungan siswa. Agar dapat memilih bahan pengajaran sastra ada 2 aspek yang dapat dipertimbangkan dari segi sastra yaitu sebagai berikut.

1. Bahasa bersifat sastrawi

Ragam bahasa sastra dapat dikatakan sebagai ragam bahasa yang bebas, karena ragam bahasa ini ditujukan untuk keindahan. Disebut prinsip Licensia Poetica yaitu kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki (Sudjiman, 1990:47). Prinsip tersebut memperboleh penggunaan bahasa menyimpang atau menyalahkan kaidah bahasa demi keindahan sebuah karya yang di sebut kebebasan penyair.

Sastrawan dapat dikatakan berhasil dalam menciptakan karya sastra jika bahasa yang digunakan dalam karyanya seimbang, seimbang yaitu menggunakan kata-kata yang sederhana yang mudah dimengerti dan menggunakan bahasa yang


(61)

mengandung sastra jadi karyanya cocok jika dibaca oleh semua kalangan. Karya sastra juga bisa dikatakan berhasil jika bahasanya mengandung beberapa gaya bahasa didalamnya, karena itu menandakan bahwa seorang sastrawan itu adalah seorang yang memuunyai ide kreatif tinggi dalam menciptakan sebuah karya sastra.

Karya sastra yang cocok digunakan untuk bahan ajar juga harus bisa melahirkan sikap untuk berekspresi. Selain itu, di samping berekspresi juga melibatkan unsur mendidik dan mengajar. Seorang sastrawan memiliki perbedaan dalam melahirkan sebuah karya sastra dibanding orang lain. Perbedaan yang mencolok dapat dilihat dari gaya bahasa dan ragam bahasa yang digunakan untuk memperindah karyanya.

2. Amanat tidak menggurui

Amanat atau pesan-pesan yang diberikan dalam karya sastra hendaknya lebih diperhatikan kembali untuk seorang pendidik dalam memilih bahan ajar di sekolah, terutama dalam penyampaian kepada pembaca yaitu siswa di sekolah. Amanat dalam penyampaian tidak boleh terlalu menggurui.

Penelitian ini berjudul “Gaya Bahasa dalam novel Negeri Di Ujung Tandur karya Tere Liye dan Implikasi pada pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di SMA” implikasi yang dimaksudkan di sini adalah mengenai layak atau tidaknya novel Negeri Di Ujung Tanduk karya Tere Liye ini dijadikan bahan pengajaran bahasa dan sastra di sekolah.


(1)

4. Menyimpulkan gaya bahasa retoris dan kiasan dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye dan kelayakannya sebagai alternatif bahan ajar Bahasa Indonesia di SMA.

p. Satire

q. Inuendo

r.. Antifrasis

s.pun atau Paranomasia

Satire berfungsi untuk perbaikan secara etis maupun estetis (Keraf, 1980:143)

Inuendo berfungsi untuk menyampaikan kenyataan yang sebenarnya (Keraf, 1980:143) Antifrasis berfungsi untuk menangkal kejahatan, roh jahat dan sebagainya (Keraf,

1980:144)

Pun atau paronomasia berfungsi untuk memperindah suatu karya sastra dalam permainan kata yang didasarkan kemiripan bunyi (Keraf, 1980:145)


(2)

102

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa penggunaan gaya bahasa langsung tidaknya makna yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris secara keseluruhan berjumlah 523 frekuensi penggunaan.

Penggunaan gaya bahasa retoris yang paling banyak digunakan dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye adalah gaya bahasa asindeton (183) frekuensi, aliterasi (104) frekuensi, tautologi (79) frekuensi, erotesis atau

pertanyaan retoris (70) frekuensi, prolepsis atau antisipasi (58) frekuensi, asonansi (11) frekuensi, polisindeton , anastrof, dan koreksio (4) frekuensi, apofasis atau preterisio dan hiperbola (2) frekuensi, frekuensi paling sedikit elipsis dan litotes (1) penggunaan. Gaya bahasa kiasan secara keseluruhan berjumlah 131 frekuensi penggunaan. Penggunaan gaya bahasa kiasan yang paling banyak digunakan dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye gaya bahasa metafora (55) frekuensi, persamaan atau simile (33) frekuensi, personifikasi (20) frekuensi, antonomasia (10) frekuensi, sinekdoke (6) frekuensi, metonomia (6) frekuensi, dan yang paling sedikit alegori, eponim, epitet, dan ironi (1) frekuensi.

Penggunaan gaya bahasa aliterasi yang paling banyak ditemukan dalam novel Negeri di Ujung Tanduk adalah klasifikasi konsonan laminoalveolar sebanyak 74 penggunaan dipakai untuk penekanan pada bunyi konsonan yang berfungsi


(3)

memperindah karya dan bunyinya sedap didengar. Kemudian penggunaan konsonan bilabial sebanyak 26 penggunaan. Kemudian penggunaan konsonan darsovelar sebanyak 3 penggunaan dan penggunaan paling sedikit adalah perulangan bunyi getaran atau trill yaitu sebanyak 1 penggunaan.

Penggunaan gaya bahasa asonansi yang paling banyak ditemukan dalam novel Negeri di ujung Tanduk adalah vokal bundar 9 penggunaan.

Penggunaan gaya bahasa polisindeton yang paling banyak konjungtor koordinatif (dan) berfungsi memberikan gambaran tepat mengenai suatu keadaan yaitu

sebanyak 3 penggunaan. Penggunaan gaya bahasa persamaan atau simile yang paling banyak digunakan adalah seperti sebanyak 30 penggunaan, bagai 2 penggunaan, dan laksana 1 penggunaan.

Berdasarkan data-data tersebut gaya bahasa retoris dan kiasan dalam novel Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye layak untuk dijadikan alternatif bahan ajar sastra Indonesia di SMA karena selain lulus syarat pemilihan bahan ajar dan menunjang tujuan pembelajaran sastra di SMA dan kaya akan variasi penggunaan gaya bahasa.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, saran yang diberikan peneliti meliputi saran teoretis dan praktis yaitu sebagai berikut.


(4)

104

5.2.1 Saran Teoretis

Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan untuk meneliti gaya bahasa dalam novel Tere Liye yang berjudul Negeri di Ujung Tanduk. Peneliti lain dapat meneliti gaya bahasa lain selain gaya bahasa retoris dan kiasan karena keterbatasan penelitian hanya di gaya bahasa retoris dan kiasan, misalnya gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada, atau gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat.

5.2.2 Saran Praktis

Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai alternatif bahan ajar, khususnya pada pembelajaran gaya bahasa novel Tere Liye yang berjudul Negeri di Ujung Tanduk baik digunakan untuk

mengajarkan gaya bahasa terutama gaya bahasa retoris dan kiasan kepada siswa. Selain dapat menunjang tujuan pembelajaran sastra di SMA, novel Negeri di Ujung Tanduk ini akan kaya akan variasi penggunaan gaya bahasa seperti gaya bahasa asindeton, aliterasi, metafora, tautologi, personifikasi, persamaan (simile), dan teradapat gaya bahasa onomatope yaitu gaya bahasa yang bunyinya

mencangkup suara-suara seperti hewan, manusia dan lainnya. Dengan gaya bahasa yang banyak terdapat di dalam novel Tere Liye tersebut, guru dapat membantu siswa untuk lebih semangat dan tertarik dalam mempelajari gaya bahasa khususnya gaya bahasa retoris dan kiasan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Chaer, Abdul. 2007. Lingustik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Finoza, Lamuddin. 2001. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Insan Mulia. Kepdikbud. 2013. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Kepdikbud.

Kep. Mendikbud. 2004. Ejaan Yang Disempurnakan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Keraf, Gorys. 1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

__________. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

Liye, Tere. 2013. Negeri Di Ujung Tanduk. Jakarta: PT Gramedia.

Margono, S. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Meleong, J.Lexy. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosda Karya

Mulyasa, H. E. 2009. Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara.

Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


(6)

Rani, Supratman Abdul. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Ratna, Kutha Nyoman. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sadiman, Arief. 2005. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, Dan Pemanfaatannya. Jakarta: Radja Grafindo Persada.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

Zainudin. 1992. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.


Dokumen yang terkait

KONFLIK DALAM NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

9 150 151

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM OTOBIOGRAFI AJAHN BRAHM YANG BERJUDUL SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

1 51 72

KONFLIK DALAM NOVEL 5 CM KARYA DONNY DHIRGANTORO DAN KELAYAKANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

29 612 37

PERMASALAHAN SOSIAL DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG Permasalahan Sosial Dalam Novel Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 14

DIKSI DAN CITRAAN DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE: KAJIAN STILISTIKA DAN IMPLEMENTASINYA Diksi Dan Citraan Dalam Novel Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye: Kajian Stilistika Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 12

PENDAHULUAN Diksi Dan Citraan Dalam Novel Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye: Kajian Stilistika Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 18 7

DIKSI DAN CITRAAN DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE: KAJIAN STILISTIKA DAN IMPLEMENTASINYA Diksi Dan Citraan Dalam Novel Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye: Kajian Stilistika Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 1 23

KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Konflik Politik Dalam Novel Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pengajaran Sastra Di SMA.

0 0 13

KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Konflik Politik Dalam Novel Negeri Di Ujung Tanduk Karya Tere Liye: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pengajaran Sastra Di SMA.

0 2 15

KAJIAN GAYA BAHASA, NILAI PENDIDIKAN KARAKTER, DAN RELEVANSI NOVEL RINDU KARYA TERE LIYE SEBAGAI BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS.

0 0 11