Hukum Hadiah dan Gratifikasi Indonesia

Hukum Hadiah dan Gratifikasi
Rabu, 5 Oktober 2011 - 07:00 WIB
Mengharap-harap hadiah dari konsumen merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan, karena Islam
mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan
orang lain

Pertanyaan :
Akhir-akhir ini masyarakat membicarakan uang yang diberikan kepada
pegawai negri di luar gaji resmi, atau lebih sering disebut dengan grafitikasi.
Dalam undang-undang negara pegawai yang menerima gartifikasi dinyatakan
bersalah dan dikatagorikan menerima suap kecuali kalau dilaporkan kepada
lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ). Bagaimana pandangan
Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini ?
Pengertian Hadiah Pegawai (Gratifikasi )
Hadiah Pegawai atau sering disebut dengan Gartifikasi adalah uang hadiah
yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang yang telah ditentukan.[1]
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa

bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Hukum Hadiah Pegawai (gratifikasi )
Hadiah Pegawai (gratifikasi ) hukumnya haram berdasarkan hadist Abu
Humaid as-Sa’idi di bawah ini :
ّ ‫صلّى‬
ّ ‫َعنْ أَ ِبي لح َم ْي ٍد السّاعِ دِيّ َرضِ َي‬
‫ا ل َع َل ْي ِه َو َسلّ َم َرج للل مِنْ ْالَ ْز ِد لي َقا لل َل له ابْنل ْال ل ْت ِب ّي ِة‬
َ ّ‫ا ل َع ْن له َقا َل اسْ َتعْ َم َل ال ّن ِبي‬
‫ت أ ل ّم ِه َف َي ْن ل‬
‫ظ َر لي ْهدَى لَ له أَ ْم َل‬
ِ ‫ت أَ ِبي ِه أَ ْو َب ْي‬
ِ ‫س فِي َب ْي‬
َ َ‫ِي لِي َقا َل َف َه ّل َجل‬
َ ‫َعلَى الصّدَ َق ِة َفلَمّا َق ِد َم َقا َل َه َذا لَ لك ْم َو َه َذا ألهْ د‬
‫ان َبعِيرل ا لَ له لر َغا ٌء أَ ْو َب َق َر لة‬
َ ‫َوالّذِي َن ْفسِ ي ِب َي ِد ِه َل َيأْ لخ لذ أَ َح ٌد ِم ْن له َش ْي لئا إِ ّل َجا َء ِب ِه َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة َيحْ مِل ل له َعلَى َر َق َب ِت ِه إِنْ َك‬
َ ‫لَ َها لخ َوا ٌر أَ ْو َشا لة َتي َْع لر لث ّم َر َف َع ِب َي ِد ِه َح ّتى َرأَ ْي َنا لع ْف َر َة إِب‬
‫ت اللّ له ّم َه ْل َبلّ ْغ ل‬
‫ْط ْي ِه اللّ له ّم َه ْل َبلّ ْغ ل‬

‫ت َث َل لثا‬
Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama
Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia
berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau
bersabda : ” Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan
menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah ? Dan
demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil
sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan
dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang
melembuh atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat
tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan

(berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah
sampaikan”, sebanyak tiga kali. “ [2]
Berkata Ibnu Abdul Barr [3] : “ Hadist di atas menunjukkan bahwa uang yang
diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang
) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
‫ت ِب َما َغ ّل َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة‬
ِ ْ‫َو َمنْ َي ْغل ل ْل َيأ‬

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ [4]
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa
hadist Abu Humaid as-Sa’idi di atas menunjukkan bahwa hadiah pegawai,
pejabat, dan para hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada
pegawai (zakat ) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu
mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang pemberi,
dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang
diberikan kepada para hakim, agar dia cenderungan kepadanya ketika dalam
persidangan. “ [5]
Yang termasuk dalam larangan hadist di atas :
Pertama: Seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas
memperbaiki saluran atau kabel telpun yang terputus atau mengalami
gangguan. Dia tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan dari
kerjanya dari para pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji bulanan dari
perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu bisa
merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para
pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan
pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak
memberikannya sama sekali.

Kedua: Seorang pegawai Departemen Agama yang ditugaskan untuk
mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di
Makka dan Madinah. Dia tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih
murah, dengan tujuan akan mendapatkan uang discount dari penyewaan
tersebut yang akan masuk ke kantong pribadinya, karena hal ini akan
merugikan jama’ah haji secara umum. Akibat ulah petugas tadi, jama’ah haji
tersebut terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak standar dan
jauh dari Masjidil Haram.
Ketiga: Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing
kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh
mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan
kepada pengurus secara transparan.
Keempat: Seorang petugas Lembaga Zakat ketika mengambil zakat dari
masyarakat atau anggota, tidak boleh mengambil uang tambahan dari
pembayar zakat, karena dia sudah dapat gaji dari lembaga tersebut, kecuali
dia melaporkankan kepada lembaga tersebut bahwa dia diberi uang

tambahan, apakah tambahan itu akan diambil lembaga untuk kepentingan
umat atau diberikan kepada petugas tersebut sebagai tambahan gaji, maka
yang menentukan adalah aturan dalam lembaga tersebut.

Kelima: Seorang pengurus sebuah arisan yang sudah mendapatkan gaji tetap
dari peserta arisan, ketika membelikan sepeda motor untuk salah satu peserta
yang mendapatkan undian, maka dia tidak boleh mengambil discount dari
pembelian tersebut, dan harus dilaporkan kepada seluruh peserta.
Keenam: Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang
masalahnya sedang dia tangani, karena hal itu akan mempengaruhi di dalam
keputusan hukum.
Ketujuh: Seorang petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah dari para
pembayar pajak, karena hal itu akan menyebabkannya tidak disiplin di dalam
menjalankan tugasnya, dan tidak terlalu ketat di dalam menghitung kewajiban
pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah darinya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam mengirim Muadz bin
Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim
Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu
dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman membawa budak-budak.
Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz
menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar
berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar,
setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika
beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai

pemimpin ).” Muadz berkata : “ Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya
kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah yang diberikan
kepadaku.“
Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu
lagi dengan Umar dan mengatakan: “Wahai Umar tadi malam aku bermimpi
mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku,
makanya sekarang saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu
Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian lain
adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” Kemudian
Abu Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak yang dihadiahkan
kepadamu, saya kembalikan kepadamu.” [6]
Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan
tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan
kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah lembaga tersebut
akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau memintanya untuk
kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam lembaga
tersebut.
Dampak Negatif

Hadiah pegawai (gratifikasi ) ini akan merusak tatanan negara secara

keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta mencabut rasa
amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci sebagai
berikut :
1. Sang pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk melayani
orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya dia malas untuk
melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal
semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan
dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai tersebut
sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
2. Sang pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen,
mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa tidak mewakili
perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya
sendiri.
3. Si pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap hadiah
dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan,
karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan
menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain.
Islam juga mengharamkan umatnya untuk meminta-minta kecuali dalam
keadaan darurat. Pegawai yang meminta hadiah dari konsumen yang
sebenarnya bukan haknya termasuk dalam katogori meminta-minta yang

dilarang dalam Islam.
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang
tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat
memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak
berdampak kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya, umpamanya
dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak
lagi membutuhkan pegawai tersebut.
Maka, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan
dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya
karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang.
Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya
hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang
berbeda, supaya menjadia lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu
semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun
sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah
kebiasaan, demi menjaga diri kita dari sesuatu yang diharamkan dalam Islam.
Wallahu A’lam.
oleh: Dr. Ahmad Zain An Najah
Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar


http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fikih-kontemporer/read/
2011/10/05/5341/hukum-hadiah-dan-gratifikasi.html
Hukum Suap-Menyuap dan Gratifikasi dalam Syariat Islam
Posted on Oktober 12, 2011 by Ibnu Dzulkifli As-Samarindy

Kata suap-menyuap pada hari-hari ini ini begitu akrab di telinga dikarenakan seringnya media massa menukilnya,
sampai-sampai kata suap-menyuap lebih sering digunakan melebihi makna yang sebenarnya , suap makna
sebenarnya adalah memasukkan makanan dengan tangan ke dalam mulut (Kamus Besar bahasa Indonesia) Maka
pada hari-hari ini, apabila seseorang mendengar kata suap , bukanlah yang tergambar di benaknya sesuatu yang
terkait tangan, mulut dan makanan tapi yang langsung terbayang adalah korupsi, sidang dan KPK.
Suap sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia, yang ditemukan adalah
yang sepadan dengannya yaitu sogok yang diartikan sebagai : “dana yang sangat besar yang digunakan untuk
menyogok para petugas” Sungguh pengertian yang kurang sempurna, karena apabila pengertiannya seperti ini maka
tentunya dana-dana kecil tidak termasuk sebagai kategori sogok atau suap.
Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah, yang diartikan sebagai “Apa-apa yang diberikan
agar ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang
benar “(Mu’jamul Wasith) .
Dan dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang
mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :

‫لعنة ل على الراشي والمرتشي‬
“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan selainnya dari Abdullah
bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitab-kitab beliau
lainnya)”
Maka hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan ini, dan ditambah lagi para
ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal seperti ini, yaitu lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut adalah termasuk kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali dia bertaubat, adapun ketika
dia mati dalam keadaan belum bertaubat maka di bawah kehendak Allah apakah akan mengadzabnya atau tidak.
Akan tetapi manusia pengejar dunia akan selalu mendengar bisikan setan dan hawa nafsunya, mereka akan mencari
seribu satu cara pembenaran agar seakan-akan perbuatan mereka itu dapat dibenarkan. Begitu juga dengan riswah ini,
mereka mempunyai seribu satu alasan untuk membenarkan pemberian kepada mereka, diantara alasan mereka yang
paling sering dinukil adalah :
 Ini adalah uang lelah, uang tips atau hadiah
 Tidak ada pihak yang dirugikan, semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai aturan .
 Kami hanya diberi, kami tidak pernah meminta.
Maka pemberian inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Gratifikasi , yaitu pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. (Wikipedia)
Maka sekarang kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah sesuatu yang
diperbolehkan untuk diterima ??

Telah datang hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
‫حَ ِدي ل‬
َ
َ ‫ا‬
َ‫ أَ َفلَ َقعَ دْ ت‬:‫ َف َقا َل لَهل‬. ْ‫وهـذا ألهْ دِيَ لِي‬
‫هـذا لَ لك ْم‬
ِ ‫ يَارَ س ْلو َل‬:َ‫ا صَ لّى ال عَ لَ ْي ِه َوسَ لّ َم اِسْ َتعْ َم َل عَ ا ِملل َفجَ ا َءهل ا ْلعَ ا ِم لل ِحيْنَ َفرَ َغ مِنْ عَ َملِ ِه َف َقال‬
ِ ‫ْث أَ ِبيْ لح َم ْي ِد السّاعِ دِيّ أَنّ رَ س ْلو َل‬
‫ل‬
ْ
َ
‫ل‬
َ
َ
‫ل‬
َ
َ
َ
‫ل‬
ْ
‫ل‬
ّ
ّ
َ
‫ـل‬
ّ ‫ا عَ لَ ْي ِه َوسَ ل َم عَ شِ يّة بَعْ دَ ال‬
ِ ‫فِى َب ْي‬
ِ ‫صلَ ِة َف َت َشهّدَ َوأث َنى عَ لَى‬
ِ ‫ا صَ لى‬
ِ ‫ت أ ِبيْكَ َوأمّكَ َف َنظرْ تَ أ ليهْدَ ى َلكَ أ ْم لَ ؟ ث ّم َقا َم رَ س ْلو لل‬
ِ ‫ َف َمــا بَـا لل العَ ا ِمـ‬،‫ أمّا بَعْـ دل‬:َ‫ ث ّم َقــال‬،‫ا ِبمَا ه َلو أهْ لهل‬
َ ‫هـذا مِنْ عَ َملِ لك ْم َو‬
َ :‫َنسْ َتعْ مِلل له َفيَأْتِـ ْي َنا َف َيقل ْولل‬
‫ت أَ ِب ْي ِه َوأ ل ّم ِه َف َن َظرَ َه ْل ليهْدَ ى لَ له أَ ْم لَ؟ َف َو الّذِيْ َن ْفسل ملحَ ّم ٍد ِب َي ِد ِه لَ َي لغ ّل أَحَ لد لك ْم ِم ْن َهــا َشيْـــأ ل إِلّ جَـ ا َء ِبـ ِه َيـ ْـو َم‬
ِ ‫هـذا ألهْ دِيَ لِيْ أَ َفلَ َقعَ دَ فِيْ َب ْي‬
ْ ‫ت َب َقرَ لة جَ ا َء ِبهَا لخ ْوا ٌر َوإِنْ َكا َن‬
ْ ‫ا ْلقِيَا َم ِة يَحْ ِملل له عَ َلى لع لنقِ ِه إِنْ َكانَ َب ِعيْرل ا جَ ا َء ِب ِه َل له رلغَ ا ٌء َوإِنْ َكا َن‬
‫ت َشا لة جَ ا َء ِبهَا َتيْعَ لر َفقَدْ َبلّ ْغ ل‬
‫ا عَ َل ْي ِه‬
ِ ‫ا صَ لّى‬
ِ ‫ لث ّم رَ َفعَ رَ س ْلو لل‬:ٍ‫ت َف َقا َل أَب ْلو لح َم ْيد‬
‫َوسَ لّ َم يَدَ هل حَ ّتى إِ ّنا لَ َن ْن ل‬
َ ‫ظ لر إِلَى لع ْفرَ ِة إِب‬
‫ْط ْي ِه‬
Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam . mengangkat seorang
pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka NabiShalallahu
‘alaihi wassallam . bersabda kepadanya, “Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu apakah di
beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . berdiri, setelah
tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi

amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di
rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di
tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat
memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka
sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat
”.kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya
Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullahu tentang hadits ini :
“Dan dari hadits ini kita mengetahui besarnya kejelekkan riswah, dan sesungguhnya hal tersebut termasuk dari perkaraperkara besar yang sampai menyebabkan nabiShalallahu ‘alaihi wassallam berdiri berkhutbah kepada manusia dan
memperingatkan dari perbuatan ini. Karena sesungguhnya apabila riswah merajalela di sebuah kaum maka mereka
akan binasa dan akan menjadikan setiap dari mereka tidak mengatakan kebenaran, tidak menghukumi dengan
kebenaran dan tidak menegakkan keadilan kecuali jika diberi riswah, kita berlindung kepada Allah. Danriswah ,
terlaknat yang mengambilnya dan terlaknat pula yang memberi kecuali apabila dalam keadaan yang
mengambil riswah menghalangi hak-hak manusia dan tidak akan memberikannya kecuali dengan riswah maka dalam
keadaan seperti ini laknat jatuh terhadap yang mengambil dan tidak atas yang memberi karena sesungguhnya pemberi
hanya menginginkan mengambil haknya, dan tidak ada jalan bagi dia untuk itu kecuali dengan membayar riswah maka
yang seperti ini mendapatkan udzur. Sebagaimana ditemukan sekarang (kita berlindung kepada Allah) di sebagian
pejabat di Negara-negara Islam yang tidak menunaikan hak-hak manusia kecuali dengan riswah ini (kita belindung
kepada Allah) maka dia telah memakan harta dengan batil, dia telah menimpakan kepada dirinya sendiri dengan laknat.
Kita memohon kepada Allah ampunan, dan wajib bagi orang-orang Allah telah mempercayakan kepadanya pekerjaan
untuk melaksanakannya dengan keadilan dan menegakkannya dengan perkara-perkara yang wajib ditegakkan di
dalamnya sesuai kemampuannya.( Syarah Riyadhus Sholihin , 1/187)
Berkata Ibnu Baaz Rahimahullahu :
“Dan hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas pegawai di pekerjaaan apa saja untuk Negara untuk menunaikan apaapa yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh bagi dia untuk menerima hadiah yang terkait dengan pekerjaaanya.
Dan apabila dia mengambilnya maka dia harus menaruhnya di Baitul Mal , dan tidak boleh bagi dia untuk mengambil
bagi dirinya sendiri berdasarkan hadits shohih ini karena sesungguhnya hal itu merupakan perantara kejelekkan dan
pelanggaran amanat.” (Fatawa Ulama Baladil Haram Hal. 655)
Mungkin sebagian orang akan mengatakan, bahwa ini adalah fatwa ulama-ulama masa kini, maka kita butuh ucapan
ulama-ulama terdahulu. Maka perhatikanlah ucapan para imam-imam kita terdahulu :
Imam Bukhori membuat bab di dalam shohihnya yang mencantumkan hadits ini : “Bab Hadiah untuk pegawai” dan di
tempat lain beliau membuat bab : “Bab orang-orang yang tidak menerima hadiah dikarenakan sebab”
Imam Nawawi membuat bab dalam Shohih Muslim : “Bab haramnya hadiah untuk pegawai”
Maka sungguh benar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , seandainya saja kira-kira kita duduk di rumah apakah
akan ada yang datang orang yang tidak dikenal memberi kita hadiah ??? seandainya kita tidak di posisi sedang
memegang urusan atau proyek apakah kita akan diberi hadiah?? apakah apabila kita tidak sedang berada di loket-loket
pelayanan masyarakat kita akan diberi hadiah sementara pegawai lain , pegawai biasa yang tidak memegang urusan
tidak diberi hadiah ???
Umar bin Abdil aziz Rahimahullahu , beliau berkata ” Hadiah pada zaman NabiShalallahu ‘alaihi wassallam adalah
hadiah, adapun hari ini hadiah (hakikatnya) adalah sogokan” (Syarh Ibnu Bathol 7/111)
Lajnah Da’imah Lilbuhuts Wal Ifta’ ditanya tentang 3 bentuk pemberian dalam pekerjaaan :
Pertama, Pemberian setelah ditunaikannya seluruh pekerjaan dengan baik, tanpa adanya penyia-nyiaan, penipuan,
penambahan atau pengurangan dan tanpa mengutamakan seseorang dibanding yang lainnya
Kedua , Dengan diminta , baik secara jelas ataupun dengan isyarat.
Ketiga, Uang pemberian orang sebagai tambahan jam kerja yang sudah habis,. Misalnya jam kerja sudah habis, tapi
masyarakat atau rekanan masih minta dilayani dan mereka siap membayar uang lembur kita.
Maka mereka menjawab :
Bentuk pertama adalah salah satu bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil
Bentuk kedua termasuk dalam hadits
‫لعنة ل على الراشي والمرتشي‬
“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap”
Bentuk ketiga tetap tidak boleh, karena kita berkerja pada pimpinan dan Negara, kalau memang mereka ingin kita
berkerja lebih maka mereka harus meminta kepada pimpinan kita secara resmi agar kita berkerja lebih dan kemudian
kita dibayar oleh Negara atau perusahaan bukan dari masyarakat atau rekanan.
(Sumber Fatwa No. 9374 dengan ringkasan dan perubahan)

Dan sebagai tambahan untuk penguat hati-hati yang masih ragu, sebuah hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai, beliauShalallahu ‘alaihi wassallam bersabda :
‫هدايا العمال غلول‬
“Hadiah untuk pegawai adalah khianat”
(HR. Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu , di shohihkan Al-Albani dalam Shohihul
Jami’ No. 7021)
Maka bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat dan tunduk dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah
dan RasulNya, jangan lagi mencari pembenaran-pembenaran untuk mengikuti hawa nafsunya.
Allah berfirman :
َ ‫ِن لو لل م ُْؤ ِم لن ٍة إِ لذا لقضل ى‬
‫ل لورل سُولل ُه لف لقدْ ضل ل َ ضل لل ًل م ُِبي ًنا‬
ِ ْ‫لُ لورل سُولُ ُه ألمْ رً ا ألنْ لي ُكونل لل ُه ُم ا ْل ِخيلرل ةُ مِنْ ألمْ ِر ِه ْم لوملنْ يلع‬
‫ص َل‬
ٍ ‫لوملا لكانل لِم ُْؤم‬
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab :
36)
Wallahu a’lam
Ibnu Dzulkifli As-Samarindy

http://assamarindy.wordpress.com/2011/10/12/hukum-suap-menyuap-dangratifikasi-dalam-syariat-islam/

Fikih Gratifikasi
Jumat, 15 Februari 2013 | 06:13 WIB

Oleh: Said Aqil Siradj
Negeri kita rupanya makin ”kesurupan”, terus dihujani persoalan penyalahgunaan
wewenang.
Setelah soal korupsi yang terus gencar dan terdesentralisasi, kini muncul ke permukaan
soal gratifikasi atau hadiah dalam bentuk layanan seks. Meski ini ”lagu lama”,
kemunculannya sontak membuat gemas masyarakat. Bukan rahasia lagi, tindakan korupsi
bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dalam beberapa penelitian terungkap, banyak kepala
daerah menyelewengkan APBD untuk kepentingan pribadi. Selain uang, salah satu modus
penyimpangan adalah membayar jasa pemuas seks untuk diberikan kepada oknum tertentu
guna melancarkan proyek.
Fakta ini sesungguhnya menyingkap bukan saja diversifikasi korupsi, tetapi juga potret
dinamika hukum kita. Di sinilah terdapat blessing in disguise karena terbuka momentum bagi
KPK untuk menindaknya. Hal ini mengingat, dalam kasus-kasus seperti itu, selama ini yang
lebih ditekankan adalah soal korupsinya, bukan gratifikasi seks yang selama ini tidak
digolongkan dalam tindakan korupsi atau suap, kecuali uang yang digunakan dari APBD,
misalnya.
Di negara lain, Singapura, misalnya, seseorang bisa didakwa karena menerima gratifikasi
seks. Di Indonesia, hukum tersebut belum berlaku. Mestinya kita bisa memasukkan
gratifikasi seks dalam jeratan hukum. Bukankah itu suap yang diberikan dalam bentuk lain?
Saat ini, KPK tengah membahas kemungkinan mengatur lebih detail gratifikasi seks ini
dalam UU Tipikor. Sejauh ini, gratifikasi yang tercantum dalam UU Tipikor terbatas dalam
bentuk mata uang rupiah.
Status hukum hadiah
Hadiah—menyitir pendapat Rawwas Qal’ahjie dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ (1996)—
adalah pemberian yang diberikan secara cuma-cuma tanpa imbalan. Hukum asal
memberikan hadiah adalah sunah, berdasarkan hadis Nabi, ”Sebaik-baik sesuatu adalah
hadiah. Jika ia masuk pintu (rumah seseorang), maka yang dia masuki pun pasti tertawa.”
Namun, kesunahan tersebut, menurut Syamsuddin al-Sarakhsi dalam kitabnya, AlMabsuth
(1993), berlaku jika terkait dengan hak yang tak ada kaitannya dengan salah satu
pekerjaan untuk mengurus masyarakat. Jika orang itu diangkat untuk menjalankan urusan
negara, seperti para hakim dan kepala daerah, dia harus menolak hadiah, khususnya dari
orang yang sebelumnya tak pernah memberikan hadiah kepadanya. Sebab, cara itu bisa
memengaruhi keputusan. Dalam kasus ini, status hukum hadiah itu adalah bentuk suap
(risywah) dan harta haram (suht).
Pasalnya, hadiah yang diberikan kepada pejabat publik itu merupakan harta yang diberikan
pihak yang berkepentingan (shahib al-mashlahah), bukan sebagai imbalan karena
urusannya terselesaikan, tetapi karena pejabat publik itulah orang yang secara langsung
menyelesaikan urusannya, atau dengan bantuannya urusan tersebut terselesaikan. Apakah
hadiah diberikan karena keinginan untuk menyelesaikan urusan tertentu, setelah urusan
selesai, atau pada saatnya ketika dibutuhkan, pada konteks ini hadiah kepada pejabat publik
tersebut statusnya sama dengan suap (risywah). Dengan kata lain, jika hadiah datang
karena jabatan, hukumnya haram. Namun, jika hadiah datang bukan karena jabatan,
hukumnya halal. Inilah yang dinyatakan baik oleh al-Sarakhsi maupun mayoritas ulama.
Lalu, bagaimana dengan gratifikasi yang diperoleh pejabat publik yang merupakan hadiah
dan suap? Sebagaimana definisi yang ada, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, atau fasilitas lain.
Gratifikasi dimaksud bisa saja diterima di dalam negeri ataupun di luar negeri, dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Contoh kasus yang bisa digolongkan gratifikasi adalah pembiayaan kunjungan kerja
lembaga legislatif oleh eksekutif karena ini dapat memengaruhi legislasi dan
implementasinya, penyediaan biaya tambahan (fee) dari nilai proyek, hadiah pernikahan
untuk keluarga pejabat dari pengusaha, dan pengurusan KTP/SIM/paspor yang dipercepat
dengan uang tambahan.
Memang, status gratifikasi perlu dibedakan. Jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya
karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu
maupun pada masa yang akan datang, status gratifikasi itu haram. Statusnya sama dengan
suap. Namun, jika gratifikasi diberikan oleh pemberinya sama sekali tidak terkait dengan
jabatan penerimanya tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan yang lazim
saling memberi hadiah, gratifikasi seperti ini hukumnya halal.
Dalam fikih ada penegasan, apabila status gratifikasi haram, dilaporkan atau tidak kepada
negara, statusnya tetap haram. Ketentuan fikih ini agaknya berbeda dengan yang

dinyatakan dalam UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini, setiap gratifikasi yang diperoleh
pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, tetapi ketentuan yang sama tak
berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi itu ke KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung
sejak tanggal gratifikasi diterima. Ketentuan UU ini tampaknya kalah tegas dibanding
pemikiran fikih sehingga dikhawatirkan justru terkesan melegalkan praktik suap dan hadiah
yang diharamkan.
Dalam fikih terdapat metode yang dinamakan sadd al-dzari’ah, yaitu upaya preventif agar
tak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur
perilaku manusia yang sudah dilakukan, tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini selajur
dengan salah satu tujuan hukum Islam, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menghindari
kerusakan (mafsadah). Penekanannya pada ”akibat dari perbuatan” tanpa harus melihat
motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari suatu perbuatan adalah
sesuatu yang dilarang atau mafsadah, perbuatan itu jelas harus dicegah. Artinya, jika suatu
perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah),
dilaranglah hal-hal yang mengarahkan pada perbuatan itu.
Walhasil, kita perlu mendukung wacana pengaturan lebih detail terkait gratifikasi seks dalam
UU Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, sudah seharusnya hukuman untuk kejahatan ini lebih
berat dari gratifikasi uang atau barang. Alasannya, gratifikasi seks tak sekadar kejahatan
biasa, tetapi juga menyangkut akhlak dan moralitas. Gratifikasi seks tak sekadar melanggar
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hukum keagamaan. Bila pelakunya pejabat, dia
sudah tak layak lagi disebut pejabat dan pemimpin. Uang saja haram, apalagi menyangkut
seks. Karena itu, jika nantinya aturan ini diterbitkan, perlu disertai penyebutan hukuman
yang lebih berat. Tandasnya, perlu ada hukumannya sendiri karena tindakan itu sudah
termasuk dalam kategori zina.
Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU
http://nasional.kompas.com/read/2013/02/15/06131937/Fikih.Gratifikasi
Kata suap-menyuap pada hari-hari ini ini begitu akrab di telinga dikarenakan seringnya media massa
menukilnya, sampai-sampai kata suap-menyuap lebih sering digunakan melebihi makna yang sebenarnya , suap
makna sebenarnya adalah memasukkan makanan dengan tangan ke dalam mulut (Kamus Besar bahasa
Indonesia) Maka pada hari-hari ini, apabila seseorang mendengar kata suap , bukanlah yang tergambar di
benaknya sesuatu yang terkait tangan, mulut dan makanan tapi yang langsung terbayang adalah korupsi, sidang
dan KPK.
Suap sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Indonesia, yang ditemukan
adalah yang sepadan dengannya yaitu sogok yang diartikan sebagai : ”dana yang sangat besar yang digunakan
untuk menyogok para petugas” Sungguh pengertian yang kurang sempurna, karena apabila pengertiannya
seperti ini maka tentunya dana-dana kecil tidak termasuk sebagai kategori sogok atau suap.
Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah, yang diartikan sebagai “Apa-apa yang
diberikan agar ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan untuk membenarkan yang salah atau
menyalahkan yang benar “(Mu’jamul Wasith) .
Dan dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang
mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :

‫لعنة ل على الراشي والمرتشي‬
“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan selainnya dari
Abdullah bin Amr’Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam kitabkitab beliau lainnya)”
Maka hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi perbuatan ini, dan ditambah
lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang semisal seperti ini, yaitu lafadz “Allah melaknat”
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali
dia bertaubat, adapun ketika dia mati dalam keadaan belum bertaubat maka di bawah kehendak Allah apakah
akan mengadzabnya atau tidak.
Akan tetapi manusia pengejar dunia akan selalu mendengar bisikan setan dan hawa nafsunya, mereka akan
mencari seribu satu cara pembenaran agar seakan-akan perbuatan mereka itu dapat dibenarkan. Begitu juga
dengan riswah ini, mereka mempunyai seribu satu alasan untuk membenarkan pemberian kepada mereka,
diantara alasan mereka yang paling sering dinukil adalah :

Ini adalah uang lelah, uang tips atau hadiah

Tidak ada pihak yang dirugikan, semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai aturan .

Kami hanya diberi, kami tidak pernah meminta.
Maka pemberian inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Gratifikasi , yaitu pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. (Wikipedia)
Maka sekarang kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah sesuatu yang
diperbolehkan untuk diterima ??
Telah datang hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :

َ
َ ُ ‫حدي‬
َ ْ ‫سو‬
ِ ‫سا‬
ِ‫ه ع َلَيْه‬
َ ‫عدِيِ أ‬
ُ ‫ي‬
ِْ َ
ُ ‫ن َر‬
َ ‫ميْد ِ ال‬
ُ ‫صلَى الل‬
َ ‫ح‬
َ ِ‫ل الله‬
ْ ِ ‫ث أب‬
َ ‫م‬
ُُ ‫م‬
ِ ‫ل‬
ِ‫ملِه‬
ِ َ ‫ن فَ َرغ‬
ِ ‫جاءَه ُ الْعَا‬
ِ ‫ل ع َا‬
َ َ‫مل ً ف‬
ْ ِ‫م ا‬
َ َ‫و‬
َ َ‫ن ع‬
َ ْ‫ستَع‬
َ َ ‫سل‬
ْ ‫م‬
َ ْ ‫حي‬

ُ
َ ‫ فَقَا‬.‫ي‬
َ ْ ‫سو‬
َ ‫فَقَا‬
:‫ه‬
ُ ‫ار‬
ُ َ‫ل ل‬
ْ ُ ‫ل اللهِ هُذ َا لَك‬
ْ ِ ‫م وهُذ َا أهْدِيَ ل‬
َ َ ‫ ي‬:‫ل‬
َ َ َ ‫ك فَنظَرت أَيهدى ل‬
ُ َ ‫أَفَل َ قَعدت فى بيت أَبي‬
َ ‫م‬
‫م لَ؟‬
ِ َ ْ َ
َ ُْ َ ْ َ
ِْ ِ َْ
ْ ‫كأ‬
ِ ‫ك وَأ‬
ُ ْ ‫سو‬
ً َ ‫شي‬
ِ َ‫م ع‬
َ ‫ة بَعْد‬
َ ‫م قَا‬
َ َ‫صلَى اللهِ ع َلَيْهِ و‬
ُ ‫م َر‬
َ َ ‫سل‬
َ ُ‫ث‬
َ ِ‫ل الله‬
َ َ ‫ ثُم قَا‬،‫الصلَة فَتشَ هد وأَثْنى ع َلَى الله بما هُو أَهْلُه‬
‫ما‬
َ َ َ َ َ ِ َ
َ ‫ أ‬:‫ل‬
َ
ُ
َ ِ ِ
َ
ْ ‫ل الْعامل نستعملُه فَيأ‬
َ
ُ
‫ن‬
‫م‬
‫َا‬
‫ذ‬
ُ‫ه‬
:
‫ل‬
‫ُو‬
‫ق‬
‫ي‬
‫ف‬
‫ا‬
‫ن‬
‫ُي‬
‫ت‬
ِ
ِ
َ
َ
ْ
َ ُ ِ ْ َ ْ َ ِ ِ َ ُ ‫ما بَا‬
َ َ‫ ف‬،ُ‫بَعْد‬
ْ
ْ
ُ
َ
َ ِ ‫عَملِكُم وهُذ َا أُهْدي ل‬
‫مهِ فَنَظ َ َر‬
ِ ْ ‫ي بَي‬
ِ ‫ت أبِيْهِ وَأ‬
َ
ْ ِ‫ي أفَل َ قَعَد َ ف‬
ْ َ ِ
َ ْ
َ َ ‫ل يهدى ل‬
ُ ُ‫مد ٍ بِيَدِهِ لَيَغ‬
‫ل‬
َ ‫م‬
َ ْ ُ ْ َ‫ه‬
ْ ‫هأ‬
َ ‫ح‬
ُ ‫س‬
ُ
ُ ‫م لَ؟ فَوَ الَذِيْ ن َ ْف‬
ً
َ
ِ‫ه ع َلَى ع ُن ُ ِقه‬
ِ ‫ح‬
ِ ‫م‬
ْ َ ‫مة ِ ي‬
َ َ ‫منْهَا شَ يُْأ إِل‬
َ ‫أ‬
َ ْ‫جاءَ بِهِ يَو‬
ُ ُ ‫مل‬
َ ‫م ال ْ ِقيَا‬
ْ ُ ‫حدُك‬
‫ار‬
َ ً ‫ت بَق ََرة‬
ْ ِ ‫ه ُرغَاءٌ وَإ‬
َ ‫ن بَعِي ْ ًرا‬
َ ‫ن كَا‬
ْ ِ‫إ‬
ْ َ ‫ن كَان‬
ُ َ ‫جاءَ بِهِ ل‬
ٌ ْ‫جاءَ بِهَا خُو‬
َ َ ‫وإن كَانت شَ اة ً جاءَ بها تيعر فَ َقد بلَغْت فَقَا‬
‫م‬
ُ ْ‫ل أبُو‬
َ
ْ َِ
َ ُ ‫ ث‬:ٍ‫ميْد‬
َ ‫ح‬
ُ َ ْ
ْ َ
ُ ََْ َِ
ُ ْ ‫سو‬
‫حتَى إِنَا لَنَنْظ ُ ُر‬
َ ُ ‫م يَدَه‬
َ َ‫صلَى اللهِ ع َلَيْهِ و‬
ُ ‫َرفَعَ َر‬
َ َ ‫سل‬
َ ِ‫ل الله‬
ِ‫إِلَى عُف َْرةِ إِبْطَيْه‬
Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam . mengangkat
seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . bersabda kepadanya, “Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah ayah
atau ibumu apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. “Amma ba’du, mengapakah
seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan
hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau
tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi),
melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu
yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata,
“kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih
kedua ketiaknya.”
Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullahu tentang hadits ini :
“Dan dari hadits ini kita mengetahui besarnya kejelekkan riswah, dan sesungguhnya hal tersebut termasuk dari
perkara-perkara besar yang sampai menyebabkan nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam berdiri berkhutbah kepada
manusia dan memperingatkan dari perbuatan ini. Karena sesungguhnya apabila riswah merajalela di sebuah
kaum maka mereka akan binasa dan akan menjadikan setiap dari mereka tidak mengatakan kebenaran, tidak
menghukumi dengan kebenaran dan tidak menegakkan keadilan kecuali jika diberi riswah, kita berlindung
kepada Allah. Dan riswah , terlaknat yang mengambilnya dan terlaknat pula yang memberi kecuali apabila dalam
keadaan yang mengambil riswah menghalangi hak-hak manusia dan tidak akan memberikannya kecuali
dengan riswah maka dalam keadaan seperti ini laknat jatuh terhadap yang mengambil dan tidak atas yang
memberi karena sesungguhnya pemberi hanya menginginkan mengambil haknya, dan tidak ada jalan
bagi dia untuk itu kecuali dengan membayar riswah maka yang seperti ini mendapatkan udzur. Sebagaimana
ditemukan sekarang (kita berlindung kepada Allah) di sebagian pejabat di Negara-negara Islam yang tidak
menunaikan hak-hak manusia kecuali denganriswah ini (kita belindung kepada Allah) maka dia telah memakan
harta dengan batil, dia telah menimpakan kepada dirinya sendiri dengan laknat. Kita memohon kepada Allah

ampunan, dan wajib bagi orang-orang Allah telah mempercayakan kepadanya pekerjaan untuk
melaksanakannya dengan keadilan dan menegakkannya dengan perkara-perkara yang wajib ditegakkan di
dalamnya sesuai kemampuannya.( Syarah Riyadhus Sholihin , 1/187)
Berkata Ibnu Baaz Rahimahullahu :
“Dan hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas pegawai di pekerjaaan apa saja untuk Negara untuk menunaikan
apa-apa yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh bagi dia untuk menerima hadiah yang terkait dengan
pekerjaaanya. Dan apabila dia mengambilnya maka dia harus menaruhnya di Baitul Mal , dan tidak boleh bagi
dia untuk mengambil bagi dirinya sendiri berdasarkan hadits shohih ini karena sesungguhnya hal itu merupakan
perantara kejelekkan dan pelanggaran amanat.” (Fatawa Ulama Baladil Haram Hal. 655)
Mungkin sebagian orang akan mengatakan, bahwa ini adalah fatwa ulama-ulama masa kini, maka kita butuh
ucapan ulama-ulama terdahulu. Maka perhatikanlah ucapan para imam-imam kita terdahulu :
Imam Bukhori membuat bab di dalam shohihnya yang mencantumkan hadits ini : “Bab Hadiah untuk pegawai”
dan di tempat lain beliau membuat bab : “Bab orang-orang yang tidak menerima hadiah dikarenakan sebab”
Imam Nawawi membuat bab dalam Shohih Muslim : “Bab haramnya hadiah untuk pegawai”
Maka sungguh benar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , seandainya saja kira-kira kita duduk di rumah
apakah akan ada yang datang orang yang tidak dikenal memberi kita hadiah ??? seandainya kita tidak di posisi
sedang memegang urusan atau proyek apakah kita akan diberi hadiah?? apakah apabila kita tidak sedang
berada di loket-loket pelayanan masyarakat kita akan diberi hadiah sementara pegawai lain , pegawai biasa
yang tidak memegang urusan tidak diberi hadiah ???
Umar bin Abdil aziz Rahimahullahu , beliau berkata ” Hadiah pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassallam adalah hadiah, adapun hari ini hadiah (hakikatnya) adalah sogokan” (Syarh Ibnu Bathol 7/111)
Lajnah Da’imah Lilbuhuts Wal Ifta’ ditanya tentang 3 bentuk pemberian dalam pekerjaaan :
Pertama, Pemberian setelah ditunaikannya seluruh pekerjaan dengan baik, tanpa adanya penyia-nyiaan,
penipuan, penambahan atau pengurangan dan tanpa mengutamakan seseorang dibanding yang lainnya
Kedua , Dengan diminta , baik secara jelas ataupun dengan isyarat.
Ketiga, Uang pemberian orang sebagai tambahan jam kerja yang sudah habis,. Misalnya jam kerja sudah habis,
tapi masyarakat atau rekanan masih minta dilayani dan mereka siap membayar uang lembur kita.
Maka mereka menjawab :
Bentuk pertama adalah salah satu bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil
Bentuk kedua termasuk dalam hadits

‫لعنة ل على الراشي والمرتشي‬
“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap”
Bentuk ketiga tetap tidak boleh, karena kita berkerja pada pimpinan dan Negara, kalau memang mereka ingin
kita berkerja lebih maka mereka harus meminta kepada pimpinan kita secara resmi agar kita berkerja lebih dan
kemudian kita dibayar oleh Negara atau perusahaan bukan dari masyarakat atau rekanan.
(Sumber Fatwa No. 9374 dengan ringkasan dan perubahan)
Dan sebagai tambahan untuk penguat hati-hati yang masih ragu, sebuah hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai, beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda :

‫هدايا العمال غلول‬
“Hadiah untuk pegawai adalah khianat”
(HR. Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu , di shohihkan Al-Albani dalam Shohihul
Jami’ No. 7021)
Maka bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat dan tunduk dengan apa-apa yang telah diperintahkan
oleh Allah dan RasulNya, jangan lagi mencari pembenaran-pembenaran untuk mengikuti hawa nafsunya.
Allah berfirman :

َ ‫ضى‬
‫ض لل ًل ُمبِي ًنا‬
ِ ‫سولُ ُه أل ْم ًرا ألنْ لي ُكونل لل ُه ُم ا ْل ِخ لي لرةُ مِنْ أل ْم ِر ِه ْم لوملنْ لي ْع‬
‫ضل َ ل‬
‫سولل ُه لف لقدْ ل‬
ُ ‫ل لو لر‬
ُ ‫لُ لو لر‬
‫ِن لو لل ُم ْؤ ِم لن ٍة إِ لذا لق ل‬
‫ص َل‬
ٍ ‫لو لما لكانل لِ ُم ْؤم‬

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS.
Al-Ahzab : 36)
Wallahu a’lam
Ibnu Dzulkifli As-Samarindy
http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-suap-menyuap-dan-gratifikasi-dalam-syariat-islam/
Sumber : http://assamarindy.wordpress.com

Tadi pagi saat sahur, saya menikmati tayangan bincang-bincang tentang
bisnis syariah di TV One yang hadir setiap jam 4 pagi, dipandu Syakir Sula
dengan nara sumber tetap Syafii Antonio. Beliau pakar ekonomi syariah
yang sudah sangat kondang, tapi beliau lebih suka disebut akademisi. Ada
yang menarik dari tayangan padi tadi yang topiknya tentang “HADIAH”
dalam pandangan Islam. Saling memberi hadiah dalam Islam sangat
dianjurkan karena dapat mempererat tali silaturahmi. Tapi, hadiah yang
seperti apa dulu?
Menurut Pak Syafii Antonio, hadiah dalam Islam dibagi menjadi 3 macam :
1. Hadiah dari seseorang yang posisinya “di bawah” kepada orang yang
posisinya “di atas”, semisal hadiah dari bawahan kepada atasan, dari
seorang yang memiliki kepentinganbisnis kepadan orang yang punya
kewenangan mengambil keputusan atas bisnis tersebut. Hadiah semacam
ini yang tidak diperbolehkan.
2. Hadiah dari seseorang kepada orang lain yang setara, misalnya antar
teman, kerabat, keluarga, tetangga. Hadiah semacam ini boleh dan
dianjurkan sepanjang saling memberi manfaat dan mempererat
persahabatan/persaudaraan.
3. Hadiah dari seseorang yang posisinya “di atas” kepada orang yang
posisinya “di bawah”, dimana si pemberi tak memiliki kepentingan terhadap
yang diberi dan tak ada pamrih untuk mendapatkan balasan. Seperti
hadiah dari majikan kepada pekerjanya, hadiah dari pejabat kepada
bawahannya, hadiah dari orangkaya kepada kaum fakir, dll. Inilah bentuk
hadiah yang sangat dianjurkan.
Pak Syafii Antonio mengisahkan tentang seorang petugas pemungut zakat
pada masa Rasulullah. Saya rasa sebagian besar sudah banyak yang
mendengar kisah ini. Ceritanya ada seorang pemungut zakat yang dia
memang bekerja untuk Baitul Maal dan digaji oleh negara untuk profesinya
itu. Seperti kita tahu, dalam negara Islam zakat seperti halnya pajak. Suatu
kali, sepulang dari memungut zakat, si petugas ini datang kepada
Rasulullah dan melaporkan hasilnya. Ia menyerahkan hasil zakat dari
kaum Muslim yang didatanginya. “Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang
ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya
pribadi”. Mendengar hal itu Rasulullah lalu memerintahkan agar ia
mengembalikan. Alasannya : “Jika sekiranya engkau tak aku tugaskan
untuk memungut zakat darinya, apakah hadiah ini akan diberikannya
padamu? Bukankah kamu sudah digaji oleh negara untuk tugas ini?”.

Nah, sedemikian ketatnya Rasulullah Muhammad SAW menjaga agar abdi
negara yang telah diberikan gaji dan fasilitas oleh negara, tidak lagi
menerima pemberian apapun dari masyarakat. Tak peduli apakah
pemberian itu menyebabkan kerugian negara atau tidak. Tak peduli
apakah si penerima hadiah memberikan janji-janji yang akan
menguntungkan si pemberi hadiah atau tidak. Begitu hati-hatinya
Rasulullah, sampai hadiah yang dilaporkan pun tetap harus dikembalikan
atau diberikan ke Baitul Maal untuk menjadi hak negara yang akan
didistribusikan kepada kaum yang berhak. Anda yang ingin membaca lebih
banyak soal ini dan kupasannya dari sudut pandang Islam secara lebih
mendalam, tadi saya menemukanBLOG INI, yang mungkin bisa
memberikan penjelasan lebih detil ketimbang tulisan saya sebagai orang
awam.
Yang menarik bagi saya, dalam kasus ini Rasulullah spontan seketika itu
juga melarang penerimaan hadiah itu, tanpa perlu mempertanyakan
apakah ada kecurangan dalam penghitungan zakat si wajib zakat ataukah
si penerima menjanjikan kemudahan bagi si pemberi hadiah. Ini
karena pada dasarnya hadiah yang diterima terkait dengan posisi si
penerima, sudah dapat dikategorikan sebagai GULUL dalam Islam,
yaitu gratifikasi dalam istilah kita. Dalam bahasa Pak Syafii Antonio :
mereka yang punya (kewenangan) tanda tangan, punya pengaruh, punya
keputusan, maka haram hukumnya menerima hadiah dari pihak lain yang
mana jika saja ia tak duduk di posisi itu niscaya hadiah itu tak akan
diberikan padanya.
Kenapa saya katakan menarik? Karena belakangan banyak yang berdalih
“apakah ada kerugian negara?” dalam suatu kasus dakwaan penerimaan
gratifikasi. “Bukankah belum terjadi kerugian negara karena uangnya
belum sampai?” Atau dalih lain : “Bukankah Pak XYZ tidak menjanjikan
apa-apa kepada si Fulan?”. Bahkan terkadang seolah berlepas tangan :
“itu kan karena si Fulan makelar, dia sudah biasa memberikan hadiah
kepada siapa saja. Ada banyak orang yang menerima hadiah dari si Fulan”
dan banyak lagi alasan pembenar.
Jika menyimak penjelasan Pak Syafii Antonio pagi tadi, tidak peduli
apakah ada pihak yang dirugikan atau pihak yang diuntungkan, atau
dalam pemberian hadiah tersebut tidak ada pihak yang dirugikan dan
diuntungkan, tetap saja menerima hadiah dalam kaitan dengan
pos

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24