Tanah gambut merupakan jenis jenis tanah

Tanah gambut merupakan jenis jenis tanah yang merupakan penumpukan sisa tumbuhan yang
setengah busuk/dekomposisi yang tak sempurna dan mempunyai kandungan bahan organik yang
tinggi. Tanah gambut kebanyakan berada pada lahan yang basah atau jenuh air seperti cekungan,
pantai, rawa. Tanah gambut sebagian besar masih berupa hutan gambut yang di dalamnya
terdapat bermacam spesies hewan dan tumbuhan. Kemampuan hutan gambut, dapat menyimpan
banyak karbon. Kedalaman gambut bisa sampai 10 meter. Selain dapat menyimpan karbon dalam
jumlah besar, tanah gambut juga bisa menyimpan air berkali-kali lipat dari beratnya. Sehingga
berfungsi sebagai penangkal banjir saat musim hujan tiba dan menyimpan air cadangan tatkala
kemarau panjang melanda.
Sponsors Link

Persebaran Tanah Gambut
Tanah gambut berada di berbagai belahan dunia, diantaranya adalah negara Irlandia, Finlandia,
Skotlandia, Belanda, Amerika Utara, Jerman, Skandinavia, Estonia, Ukraina, Rusia, Belarusia,
Kalifornia, Minesota, Michigan, Florida, Selandia Baru, Patagonia, dan negara lainnya di seluruh
dunia tentu memiliki lahan gambut. Gambut kebanyakan dimanfaatkan sebagai lahan
perkebunan dan juga pertanian. Dan dalam jangka waktu atau periode yang panjang, gambut
juga dapat berubah menjadi batu bara yang tentunya bermanfaat bagi umat manusia.
Separuh dari lahan basah yang ada di bumi merupakan lahan gambut. Lahan gambut bisa
ditemukan di negara dengan beragam iklim mulai dari tropis, kutub, atau sub tropis. Sebagai
contohnya adalah lahan gambut tropis yang berada di Asia Tenggara, gambut yang luas di Rusia,

lahan gambut tropis yang tidak terlampau luas pun dijumpai di Afrika, Karibia, dan Amerika
Latin. Lahan gambut tropis yang paling luas ada di wilayah Asia Tenggara dengan prosentase
kurang lebih sebesar 67% atau 27 juta hektar. 83% lahan gambut yang ada di Asia Tenggara,
tepat berada di wilayah nusantara. Persebaran lahan gambut Indonesia antara lain ada di wilayah
Sumatera, Papua, Kalimantan dengan ketebalan mencapai 1 sampai 12 meter. Bahkan ada yang
kedalamannya sampai 20 meter. Tanah yang banyak terbentuk pada lahan basah disebut dengan
peat. Sebutan lahan gambut diberbagai belahan dunia berbeda-beda, diantaranya muskeg, pocsin,
mire, moor, bog.
Berikut asalah ciri ciri tanah gambut :
1. Banyak terbentuk pada wilayah rawa
2. Kurang subur, basah, lembek atau lunak
3. Berwarna gelap
4. Memiliki sifat asam.
Terbentuknya Tanah Gambut

Dalam tanah ambut terdapat sisa dari tumbuh-tumbuhan, binatang mati, lumut, pepohonan, dan
rerumputan baik dalam keadaan telah lapuk ataupun belum. Jumlah bakteri pengurai yang
kurang karena kondisi tanpa oksigen (anaerob) berdampak pada proses pembusukan yang tengah
terjadi di tanah gambut terhambat dan tidak sempurna. Tanah gambut banyak dijumpai pada
daerah atau wilayah yang basah. Lapisan tanah gambut terbentuk dalam jangka waktu lama

sekitar 5000-10.000 tahun lalu. Untuk mengetahui tanah gambut itu berusia tua atau belum,
dapat dilihat dari dalam tidaknya tanah tersebut. Semakin dalam tanah gambut, usianya juga
makin tua. Proses terbentuknya tanah gambut adalah tanaman air yang tumbuh pada danau yang
dangkal akan mati, selanjutnya mengalami pelapukan dan di dasar danau itu akan terbentuk
lapisan organik. Pembentukan hutan gambut di Indonesia dimulai kira-kira 6800 tahun yang lalu.

Jenis-jenis Tanah Gambut
ads

Menurut keadaan dan sifatnya, tanah gambut dibagi menjadi dua jenis :
1. Gambut topogen
Adalah tanah gambut yang terdapat di bagian atas tanah mineral pada dasar danau, sehingga
lama-lama danau dipenuhi oleh lapisan tanah gambut tersebut. Tumbuhan masih dapat tumbuh
dengan subur dan baik pada lahan gambut topogen. Gambut topogen biasanya memiliki
kedalaman sekitar 4 meter, subur, dengan kadar keasaman air rendah, memiliki kandungan unsur
hara yang berasal dari tanah mineral di dasar danau, jarang dijumpai.
2. Gambut Ombrogen
Adalah tanah gambut yang terletak (berkembang) di atas gambut topogen. Tumbuhan yang lapuk
akan membentuk suatu lapisan baru, di mana lapisan tersebut tingginya dapat melebihi
permukaan air danau, sehingga akan membentuk lapisan tanah gambut cembung mirip kubah.

Air hujan memiliki peranan penting dalam pembentukan gambut ombrogen ini. Karena efek air
hujan yaitu membersihkan atau mencuci membuat unsur hara dalam gambut ombrogen jadi
berkurag atau miskin zat hara.
Selain jenis jenis tanah gambut terdapat berbagai macam jenis-jenis tanah seperti :


tanah aluvial



tanah grumusol



tanah entisol



tanah andosol


Rusaknya Lahan Gambut

Kerusakan lahan gambut sebagian besar disebabkan karena ulah manusia sendiri. Sebagai contoh
adalah lahan gambut yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan atau pertanian. Kerusakan
lahan gambut tertinggi berada di wilayah Asia Tenggara. Perusakan lahan gambut diawali dengan
penebangan semua pohon yang tumbuh di lahan tersebut. Selanjutnya tanah gambut/lahan
tersebut akan dikeringkan dengan cara membuat saluran supaya air mengalir keluar. Proses
pengeringan lahan gambut ini berdampak pada permukaan tanah gambut yang turun. Dampak
dari turunnya permukaan tanah di lahan gambut adalah akar pohon yang tertarik keluar atau
tercabut dengan sendirinya dan pohon pun banyak yang tumbang/roboh dan bisa juga
menyebabkan erosi tanah . Lahan gambut yang telah kering tidak dapat dikembalikan kondisinya
seperti semula. Dengan kata lain, keringnya lahan bersifat permanen. Tanah gabut yang kering,
tak akan dapat menyimpan air secara maksimal lagi dan rentan mengalami kebakaran terlebih
saat musim kemaran datang. Kebakaran lahan akan melepaskan banyak karbon ke lapisan
atmosfer dan berefek pula pada musnahnya tumbuhan dan hewan yang hidup di hutan gambut.
Saat musim hujan datang, curah hujan tinggi mengguyur lahan gambut. Lahan yag kering tadi
tak dapat lagi menyimpan dan menyerap air dengan optimal, jadi datanglah bencana banjir.
Karbon yang terkandung di tanah gambut adalah dua kali lipat hutan biasa/tanah biasa. Dampak
lahan gambut yang rusak, antara lain terjadinya perubahan iklim, alih fungsi lahan gambut
menjadi lahan pertanian atau perkebunan yang dilakukan dengan cara membabat habis

pepohonan, pembakaran, sampai dengan proses dekomposisi pada lahan gambut akibat bertani
mengakibatkan emisi karbon yang terkandung pada lahan gambut dapat lepas. (baca : manfaat
curah hujan yang tinggi)
Pemanfaatan tanah gambut
Ciri-ciri gambut antara lain lunak saat kita tekan, gampang ditekan, dan air di dalamnya dapat
dikeluarkan dengan mudah. Pengunaan gambut sebagai sumber energi atau bahan bakar bisa
diperoleh dengan cara mengeringkannya. Negara-negara yang banyak memanfaatkan gambut,
diantaranya adalah Skotlandia dan Irlandia. Ini disebabkan oleh jarangnya pohon yang bisa kita
jumpai di negara tersebut. Secara tradisional, gambut bermanfaat untuk pemanas rumah dan
masak. Akan tetapi di era modern, gambut dipanen secara khusus untuk dimanfaatkan sebagai
pembangkit tenaga listrik yang dinamakan PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gambut). PLTG
terbesar berada di negara Finlandia dengan kekuatan 190 MW yang dinamakan Toppila Power
Station.
Pada postingan sebelumnya sudah dijelaskan mengenai genesa tanah gambut.
Kali ini saya akan coba berikan tentang klasifikasi dari tanah gambut itu sendiri.
Jadi Gambut terdiri dari berbagai macam jenis jika dilihat dari berbagai sudut
pandang diantaranya: tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi
terbentuknya. Perbedaan karakteristik gambut akan berakibat pada pola tata
guna lahan gambut itu sendiri.
Menurut tingkat kematangannya, gambut dibagi menjadi:



Gambut saprik (matang), yaitu gambut yang sudah melapuk dan bahan
asalnya sudah tidak bisa dikenali. Berwarna cokelat tua hingga hitam dan
bila diremas oleh tangan kandungan seratnya < 15%.



Gambut hemik (setengah matang), yaitu gambut setengah lapuk dan
sebagian bahan induknya masih bisa dikenali. Berwarna cokelat dan bila
diremas bahan seratnya di kisaran 15-75%.



Gambut fibrik (mentah), yaitu gambut yang belum melapuk dan bahan
induknya bisa dikenali dengan mudah. Berwarna cokelat dan bila diremas
bahan seratnya > 75%.

Menurut tingkat kesuburannya, gambut dibagi menjadi:



Gambut eutrofik, yaitu gambut yang subur dan kaya akan bahan mineral,
basa dan unsur hara lainnya. Gambut tipe ini biasanya memiliki lapisan
yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.



Gambut mesotrofik, yaitu gambut agak subur dan dicirikan dengan
kandungan mineral basa yang sedang.



Gambut oligotrofik, yaitu gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan hara. Gambut jenis ini bisanya jauh dari pengaruh lumpur sungai dan
laut.

Menurut lingkungan pembentukannya, gambut dibagi menjadi:


Gambut ombrogen, yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang

hanya dipengaruhi oleh air hujan.



Gambut topogen, yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan air pasang
sungai/laut. Dengan demikian gambut topogen lebih subur dibandingkan
gambut ombrogen.

Menurut kedalamannya, gambut dibagi menjadi:


gambut dangkal (50 -100 cm)



gambut sedang (100 - 200 cm)



gambut dalam (200 - 300 cm)




gambut sangat dalam (> 300 cm)

Menurut lokasinya, gambut dibagi menjadi:


gambut pantai, yaitu terbentuk dekat pantai dan dipengaruhi pasang laut.



gambut pedalaman, yaitu gambut yang hanya dipengaruhi oleh air hujan
karena jauh dari laut.



gambut transisi, yaitu gambut yang terbentuk diantara kedua wilayah
tersebut.


Gambut mentah (atas), Gambut setengah matang (bawah)

Menurut berbagai penelitian, gambut di Indonesia sebagian besar termasuk
kategori mesotrofik dan oligotrofik. Gambut eutrofik di Indonesia sangat sedikit
dan paling banyak tersebar di daerah pantai dan aliran sungai. Secara umum
gambut di Sumatera lebih subur dibandingkan gambut di Kalimantan. Di Pulau
Jawa, gambut tersisa salah satunya di daerah Lakbok Ciamis dan merupakan
salah satu laboratorium gambut di Jawa. Gambut di Lakbok sekarang banyak
dialihfungsi menjadi lahan pertanian.

Gambut di Lakbok Ciamis

laporan tingkat kematangan gambut LENGKAP. bram
I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tanah adalah produk transformasi mineral dan bahan organik yang terletak dipermukaan
sampai kedalaman tertentu yang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetis dan lingkungan, yakni

bahan induk, iklim, organisme hidup (mikro dan makro), topografi, dan waktu yang berjalan
selama kurun waktu yang sangat panjang, yang dapat dibedakan dari cirri-ciri bahan induk
asalnya baik secara fisik kimia, biologi, maupun morfologinya (Winarso, 2005).

Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh
& berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman danmenyuplai kebutuhan air
dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai gudang danpenyuplai hara atau nutrisi (senyawa
organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn,
Fe, Mn, B, Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang
berpartisipasi aktif dalampenyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi)
bagi tanaman,yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanah
untuk menghasilkan biomass dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan,industri
perkebunan.

Pusat Penelitian Tanah (1990) mengemukakan bahwa tanah gambut atau Organosol
adalah tanah yang mempunyai lapisan atau horison H, setebal 50 cm atau lebih atau dapat 60 cm
atau lebih bila terdiri dari bahan Sphagnum atau lumut, atau jika berat isinya kurang dari 0,1 g
cm-3. Ketebalan horison H dapat kurang dari 50 cm bila terletak diatas batuan padu. Tanah yang
mengandung bahan organik tinggi disebut tanah gambut (Wirjodihardjo, 1953) atau Organosol
(Dudal dan Soepratohardjo, 1961) atau Histosol (PPT, 1981).
Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga mencapai
ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik yang
berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986). Gambut terbentuk dari
lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun.
Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah
telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Laju
penimbunan gambut dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan
curahan perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah
dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah. Ketebalan gambut pada setiap bentang lahan
adalah sangat tergantung pada:
1) proses penimbunan yaitu jenis tanaman yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama
pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan tersebut,
2) proses kecepatan perombakan gambut,
3) proses kebakaran gambut,
4) Perilaku manusia terhadap lahan gambut.
Gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih termasuk kategori kawasan lindung sebagai
kawasan yang tidak boleh diganggu. Kebijakan ini dituangkan melalui Keppres No. 32 tahun
1990 yang merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di
Indonesia. Berdasarkan besarnya potensi sumberdaya, kendala biofisik dan peluang
pengembangan, maka rawa khususnya gambut pedalaman perlu mendapatkan perhatian serius.
Gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena kendala biofisiknya sukar diatasi.
Prodiktifitas gambut sangat beragam, ketebalan gambut juga menentukan kesuburannya
(Barchia, 2006).
1.2. Tujuan Praktikum
Mahasiswa dapat melakukan dan menetapkan tingkat kematangan gambut dengan
metode suntik.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah merupakan alat produksi untuk menghasilkan produksi pertanian. Sebagai alat
produksi tanah memiliki peranan-peranan yang mendorong berbagai kebutuhan diantaranya
adalah sebagai alat produksi, maka peranannnya yaitu sebagai tempat pertumbuhan tanaman,
menyediakan unsur-unsur makanan, sumber air bagi tanaman, dantempat peredaran udara.
Tanah mempunyai ciri khas dan sifat-sifat yang berbeda-beda antaratanah di suatu tempat
dengan tempat yang lain. Sifat-sifat tanah itu meliputi fisika dan sifatkimia. Beberapa sifat fisika
tanah antara lain tekstur, struktur dan kadar lengas tanah. Untuk sifat kimia menunjukkan sifat
yang dipengaruhi oleh adanya unsur maupun senyawa yangterdapat di dalam tanah tersebut.
Beberapa contoh sifat kimia yaitu reaksi tanah(pH), kadarbahan organik dan Kapasitas
Pertukaran Kation (KPK)

Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhanyang
setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama
terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagaipeat; dan lahan-lahan
bergambut
di
berbagai
belahan
dunia
dikenal
dengan
aneka
nama
seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain.
Menurut Soil Survey Staff (1990), bahwa tingkat kematangan atau tingkat pelapukan
tanah gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan atau serat tumbuhan
asalnya. Tingkat kematangan terdiri dari tiga katagori yaitu fibrik, hemik dan saprik.
Tingkat kematangan tanah gambut dalam pengamatan di lapangan dapat dilakukan
dengan cara mengambil segenggam tanah gambut dan memersnya dengan tangan. Kriteria
mentah atau matang dari gambut dapat ditunjukkan dengan melihat hasil cairan dan sisa bahan
perasan. Ketentuan dalam menentukan kematangan gambut untuk masing-masing katagori
adalah sebagai berikut:
1) Tingkat kematangan fibrik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak
tangan setelah pemerasan adalah tiga per empat bagian atau lebih (>3/4).
2) Tingkat kematangan hemik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak
tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga per empat sampai seperempat bagian
atau lebih (1/4).
3) Tingkat kematangan saprik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak
tangan setelah pemerasan adalah kurang dari seperempat bagian (3m) sekitar 5%, gambut
dalam dan tengahan (tebal 1m – 3m) sekitar 11% -12%, dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor,
2001). Kadar abu dan kadar bahan organik mempunyai hubungan dengan tingkat kematangan
gambut. Gambut mentah (fibrik) mempunyai kadar abu 3,09% dengan kadar bahan organik
45,9%. Sedangkan gambut hemik mempunyai kadar abu 8,04% dengan kadar bahan organik
51,7% dan gambut matang (saprik) mempunyai kadar abu 12,04% dengan kadar bahan organik
78,3% (Setiawan, 1991).

III.

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan praktikum acara III ( PENENTUAN TINGKAT KEMATANGAN GAMBUT
METODE SUNTIK ) di lakukan dengan pengamatan dilaksanakan pada hari Sabtu, 24
November 2012 pukul 09.00 wib – selesai. di Laboratorium Analitik, Fakultas Pertanian,
Universitas Palangka Raya.
3.2 Bahan dan alat
Bahan yang digunakan adalah tanah gambut segar (Kondisi Lapangan) dan air mengalir,
sedangkan alat yang digunakan adalah suntikan dan ayakan tanah.
3.3 Cara kerja
1. Mengisi tabung suntik yang telah dibelah dua memanjang dengan bahan gambut secara merata.
2. Menekan dengan hati – hati toraknya sehingga bahan tampak jenuh air dan semua udara tersekap
dalam pori – pori tertekan keluar. Jangan sampai ada air yang ikut tertekan keluar. Ukur
volumnya.
3. Pindahkan bahan kedalam saringan 0.16 mm (100 mesh) dan cuci dengan air mengalir hingga air
cucian tampak jernih. Hilangkan air turah dengan cara mengisapnya dari sisi bawah saringan
dengan kertas isap.
4. Mengembalikan lagi bahan ini kedalam tabung suntik tadi secara merata, tekan hati – hati dengan
toraknya sambil mengisap air turah yang keluar sampai tampak jenuh seperti ini adalah kadar
serat utuh.

5. mengembalikan lagi bahan ini kedalam saringan tadi dan cuci dengan air mengalirkan sambil
digosok – gosok diantar ibu jari dan jari telunjuk ( jangan keras – keras), hingga air cucian
sampai jernih.
6. Kerjakan lebih lanjut seperti langkah ke – 4 ( penentuan kadar serat utuh ). Ukur volumnya (Ml)
dan hitung persennya terhadap volum awal. Ini adalah kadar serat gosok.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan
Tabel 1. Tingkat kematangan tanah gambut dengan metode suntik
No.

Ulangan

Kadar Serat Utuh

Tingkat
Kematangan

1

U1

22,5 %

Saprik

2

U2

27,5 %

Saprik

3

U3

35,29 %

Hemik

4

U4

33,33 %

Hemik

5

U5

30,76 %

Saprik

6

U6

-

-

7

U7

30,43 %

Saprik

8

U8

24,24 %

Saprik

4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan di atas diketahui bahwa tanah gambut pada U1, U2, U5,
U7 dan U8 memiliki tingkat kematangan yaitu saprik sedangkan pada U3 dan U4 memiliki
tingkat kematangan yaitu Hemik.
Tanah gambut yang memiliki tingkat kematangan saprik menunjukkan bahwa tanah
gambut tersebut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan dalam keadaan yang telah
melapuk sempurna yang ditunjukkan dengan rata-rata kadar serat utuh yaitu sebesar 30%. Tanah
gambut dengan tingkat kematangan saprik umumnya memiliki ketersediaan hara yang cukup
tinggi dibandingkan tanah gambut dengan tingkat kematangan yang masih rendah seperti hemik
dan fibrik. Hal ini dikarenakan bahan organik yang telah melapuk tersebut berubah menjadi
humus. Humus merupakan bahan organik yang tidak dapat melapuk lagi. Hasil pelapukan bahan
organik pada tanah gambut berupa unsur-unsur hara yang diperlukan tanaman. Hanya saja tanah
gambut memiliki pH yang sangat rendah sehingga ketersediaanharanya untuk tanaman menjadi
tergangggu kecuali dinaikkan terlebih dahulu pH tanahnya.
Tanah gambut dengan tingkat kematangan hemik memiliki kandungan bahan organik
yang juga tinggi hanya saja bahan organik tersebut belum melapuk secara sempurna sehingga
belumdapat menyediakan hara yang cukup bagi tanaman budidaya apabila kadar kemasaman
tanah tidak diperhitungkan. Tanah gambut dengan tingkat kematangan hemik dapat dijadikan
lahan budidaya tanaman tetapi terlebih daulu dinaikkan pH tanahnya. Hal ini dikarenakan tanah
gambut dengan tingkat kematangan hemik meiliki kadar pH tanah yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan tanah gambut dengan tingkat kematangan yaitu saprik. Hal ini merupakan
akibat dari respirasi dan pertukaran kation dari bahan-bahan organik yang belum melapuk
tersebut didalam tanah berupa ion H+ yang merupakan salah satu penyebab kemasaman pada
tanah gambut.

V.

KESIMPULAN

Tanah gambut dengan tingkat kematangan fibrik memiliki kandungan bahan organik yang
tinggi dan telah melapuk sempurna sedangkan pada tanah gambut dengan tingkat kematangan
hemik memiliki kandungan bahan organik yang juga tinggi akan tetapi dalam keadaan yang
belum melapuk sempurna. Sehingga jika dibandingkan antar keduanya yang lebih cocok
digunakan untuk lahan budidaya tanaman adalah lahan gambut dengan tingkat kematangan yaitu
saprik.

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Nurjati, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung
Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha,
Go Ban Hong, H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung
Hardjowigeno, H. Sarwono., 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta
Pairunan, Anna K., J. L. Nanere, Arifin, Solo S. R. Samosir, Romualdus Tangkaisari, J. R. Lalopua,
Bachrul Ibrahim, Hariadji Asmadi, 1999. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Timur, Makassar
Rosmarkam dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. 2002. Kanisius, Jakarta

Klasifikasi Gambut Berdasarkan
Pembentukan dan Upaya
Pemanfaatannya
September 8th, 2010 by Satria Wahyu Anggita Leave a reply »

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa,
akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan
organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah
gambut.
Genesis gambut di Indonesia dimulai pada periode holosen yang dimulai dengan terbentukinya rawarawa sebagai akibat dari peristiwa transgresi dan regresi karena mencairnya es di kutub yang terjadi
sekitar 6.800-4.200 tahun yang lalu.
Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan
marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan
besar karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil.
B. Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Genesis dan Klasifikasi Tanah
selain itu juga dapat menambah wawasan kita mengenai pembentukan, klasifikasi dan upaya
pemanfaatan gambut di Indonesia.
II. ISI

A. Pembentukan Gambut
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic (C-organik > 18%) dengan
ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman
yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan
jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang ( back
swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun
belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau
kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan
oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada
umumnya merupakan proses pedogenik.
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh
tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk
lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di
bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau
dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh.
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena
proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif
subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada
banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk
lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya
cembung. Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan
dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.
B. Klasifikasi Gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu
tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3
dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat
kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya . Berdasarkan tingkat kematangannya,
gambut dibedakan menjadi:
ò Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali,
berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
ò Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa
dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
ò Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali,
berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

ò Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa serta unsur
hara lainnya. Gambut yang relative subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh
sedimen sungai atau laut.
ò Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basabasa sedang.
ò Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian
kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut
oligotrofik.
Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik. Gambut eutrofik di
Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai.
Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan
substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatera relatif lebih subur
dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.
Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:
ò Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air
hujan
ò Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang.
Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut
ombrogen.
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
ò Gambut dangkal (50 – 100 cm),
ò Gambut sedang (100 – 200 cm),
ò Gambut dalam (200 – 300 cm), dan
ò Gambut sangat dalam (> 300 cm)
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
ò Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat pengayaan mineral dari
air laut
ò Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut
air laut tetapi hanya oleh air hujan
ò Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang secara tidak
langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.
C. Upaya Pemanfaatan Gambut
1. Potensi lahan gambut untuk tanaman pangan semusim
Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 – 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk
berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara

yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain
padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi pengelolaan air, yang
disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman. Pembuatan saluran drainase mikro sedalam
10 – 50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan gambut. Tanaman
padi sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi drainase adalah
untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan
mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil
tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin
dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut.
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5 karena gambut tidak
memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju
dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan
menambahkan bahanbahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja,
tanah mineral laterit atau lumpur sungai.
2. Potensi lahan gambut untuk tanaman tahunan
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk
beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak
sesuai (kelas kesesuaian S2). Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan
kecuali jika ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral.
Reklamasi gambut untuk pertanian tanaman tahunan memerlukan jaringan drainase makro yang dapat
mengendalikan tata air dalam satu wilayah dan drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat
lahan. Sistem drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut, baik untuk tanaman
pangan maupun perkebunan. Sistem drainase yang tidak tepat akan mempercepat kerusakan lahan
gambut.
Tanaman tahunan memerlukan saluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda. Tanaman karet
memerlukan saluran drainase mikro sekitar 20 cm, tanaman kelapa sedalam 30-50 cm, sedangkan
tanaman kelapa sawit memerlukan saluran drainase sedalam 50-80 cm. Gambut yang relatif tipis (3m diperuntukkan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan
Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh ( fragile)
apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.
Lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (< 100
cm). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan
memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and problems for sustainability. In:
Rieley and Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara
Publishing Ltd. Cardigan, UK.