Upaya Indonesia Dalam Pelepasan Timur Ti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Turunnya Soeharto dari kursi Kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998
sebagai salah satu Presiden terlama di dunia ketika ditetapkan oleh MPR untuk
masa jabatan yang ke -7 pada tanggal 11 Maret 1998. Tetapi setelah dua bulan
Jabatan ke-7 Soeharto rezim orde baru runtuh.
Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi eksistensi DPR dan MPR
untuk mengkokohkan kekuasaaanya akhirnya dilengserkan oleh lembaga yang
sama pula, lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 oleh ketua DPR Harmoko
yang didampingi Ismai Hasan Meutareum , Fatimah Achmad dan utusan daerah di
depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan bahwa “ Demi
kemakmuran persatuan dan kesatuan bangsa pimpinan dewan baik ketua maupun
wakil-wakilnya mengharapkan agar presiden secara arif dan bijaksana
mengundurkan diri dari jabatannya ”.
Usaha terakhir Soeharto mempengaruhi rakyat menyampaikan pernyataan
dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku mendataris MPR presiden
akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII dengan membentuk Komite
Reformasi, untuk lebih meyakinkan rakyat bahwa tugas Komite ini segera
menyelesaikan: UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susunan dan Kedudukan DPR
MPR dan DPRD,UU Anti Monopoli, UU Anti Korupsi dan hal lainnya yang
sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto terpojok karena 14 menteri
tidak bersedia untuk sepakat dalam komite reformasi tersebut.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai Presiden karena
dukungan untuk membentuk Komite Reformasi gagal, ditambah lagi banyak
desakan yang menganjurkan Presiden untuk mundur dan berhenti. Pada pagi
harinya 21 Mei 1998 pukul 09.05 yang dihadiri Menhankam, Mensesneg, Menteri
Penerangan, Menteri Kehakiman dan Wapres B.J. Habibie beserta pimpinan
Mahkamah Agung, ketua DPR , Sekjen DPR dihadapan Wartawan Dalam dan
1
Luar Negeri Presiden Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya. Setelahnya
Wakil Presiden B.J. Habibie langsung dilantik sebagai Presiden menggantikan
Soeharto dan diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ke-3 dihadapan Pimpinan
Mahkamah Agung. Peristiwa ini disambut baik oleh masyarakat terutama para
Mahasiswa yang berada di gedung MPR maupun DPR dan rezim kekuasaan Orde
Baru Soeharto resmi diruntuhkan dan Era Reformasi dimulai di bawah
Pemerintahan B.J. Habibie.
Gerakan Reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang
dirasakan oleh rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis
Multidimensi di Indonesia. Dengan momentum reformasi itu persoalan status
Timor Timur yang sudah ada pada masa pemerintahan Soeharto menarik
perhatian PBB dan masyarakat Internasional diharapkan memperoleh kejelasan.
Tetapi pada akhirnya masalah status Timor Timur akhirnya lepas dari wilayah
NKRI.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan dari latar belakang diatas adalah :
1. Peristiwa-peristiwa apa sajakah yang mendorong Timor Timur lepas dari
wilayah NKRI?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pelepasan Wilayah Timor
Timur ?
3. Bagaimana upaya pemerintah Indonesia untuk mempertahankan wilayah
Timor Timur ?
4. Bagaimana dampak yang diberikan Dunia Internasional (tekanan)
terhadap Indonesia ?
5. Tanggapan para Pakar dan Pengamat Politik Indonesia terhadap lepasnya
Timor Timur.
2
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang mendorong Timor Timur
lepas dari wilayah NKRI.
2. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya pelepasan wilayah Timor
Timur.
3. Untuk mengetahui upaya pemerintah Indonesia mempertahankan wilayah
Timor Timur.
4. Untuk Mengetahui tekanan apa saja yang di terima oleh Indonesia saat
mempertahankan Timor Timur.
5. Bagaimana tanggapan Para Pakar dan Pengamat Politik Indonesia
terhadap lepasnya Timor Timur.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Peristiwa-peristiwa sekitar Integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada
tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam Hubungan Australia-Indonesia.
Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975,
Angkatan Bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember
1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal
ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima
wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian
masyarakat Australia dan Media. Namun pada akhirnya Australia mengakui
kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara De Jure tahun 1979. Namun
Dinamika Politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan
jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999,
melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%).
Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan
yang meluas oleh unsur-unsur Pro-Integrasi. Australia kemudian diminta oleh
PBB untuk memimpin kekuatan Internasional di Timor Timur atau International
Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk
mengembalikan Perdamaian dan Keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20
Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Keputusan
Penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
1. Peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi lepasnya Timor Timur.
a) Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur
terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari
Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste
yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk
menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk
4
mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu
menurunkan Bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai
Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut
suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi
kevakuman Pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan
November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk
sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah
pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok prointegrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30
November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil
alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap
pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste),
masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika
pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975,
FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk
dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (Human Shields) untuk melawan
tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di
hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di
hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok Radikal FRETILIN di hutan
terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh
FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita
ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral,
Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste
pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak
menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di
hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor
Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang
dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal
FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus
menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di
5
Sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga
dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang
keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di
tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun
waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia
selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal
(60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi
PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di
tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara
Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya),
namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak
saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan
terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini
ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan
ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi
dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana
dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih
baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan
senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat
perlu makanan yang layak dimakan manusia.
b) Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002)
mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara
lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk
Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979.
Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian
penduduk Kamboja dibawah PolPot. Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan
media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui
ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi
korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili,
12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno
6
Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari
peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena
“pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi
merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja
disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan
penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat
selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada
12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan Mahasiswa, mengadakan aksi
protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka,
Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan
sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen
dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa
administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan
karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang
wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk
penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin
kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan,
pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di
kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal
adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu
politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy
Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang
diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para
juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka
memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan
dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh
pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera
itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter
7
First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan
di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat
mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang
keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes
keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang
praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh
siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa
Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena
dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor
Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada
Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan
kampanye Diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam
kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah
Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada
1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak
bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan
internasional.
2. Faktor penyebab lepasnya Timor Timur dari Indonesia
a. Tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat seperti Kesejahteraan,
Keadilan, Keamanan, Pendidikan, dan Kesehatan. Belum lagi
minimnya Sarana Pendidikan, Kesehatan, maupun Transportasi di
sana. Perkara inilah yang membuat saudara-saudara kita di Timor
Timur tertarik dengan ide Kemerdekaan.
b. Lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang
dimainkan oleh asing gampang diterima masyarakat, padahal
disintegrasi merupakan alat permainan negara-negara kapitalis
8
penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi
adalah negara-negara
penjajah. Karena itu, meminta bantuan kepada negara-negara kapitalis
penjajah
sesungguhnya
bukanlah
solusi,
tetapi
justru
akan
menimbulkan penderitaan baru.
3. Upaya Pemerintah dalam rangka mempertahankan Timor Timur
1) Otonomi luas yang diberikan pada timor timur.
2) Kebebasan berupa jejak pendapat bagi masyarakat timor timur untuk memilih
tetap menjadi bagian indonesia ataukah memisahkan diri dan merdeka.
3) Kebijakan presiden B.J. Habibie dengan memberikan opsi Referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah timor timur.
Munculnya tekanan-tekanan dari Masyarakat Internasional menanggapi
kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk
mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur.
Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini
ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor
Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak
lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal,
dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro
kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin
manambah kecaman dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara
Barat, yang merupakan sasaran utama Speech Act dalam usaha Sekuritisasi kasus
Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras
dari Dunia Internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak
pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan
Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas
menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi
jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro
kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih
9
kedaulatan sebagai sebuah Negara. Kedaulatan Negara merupakan satu hal yang
selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi
batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan
Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur
adalah dukungan Internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang
sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagai Speech Act telah
dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha
sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka
dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, Mantan Presiden BJ Habibie
menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena
yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan
ini patut pula kita salami karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis
banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste
adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor
Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi
militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis
dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999,
diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur.
Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima
pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani
Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak
pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap
menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka.
Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan
Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-
10
luasnya untuk Provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional,
dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal
dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi Opsi Referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat
dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan
Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi
otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia
menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui
hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat
Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan
sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru
dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya.
Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan
keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus
karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak
konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap
sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur
merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,
panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi
kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie
dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara
itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai
Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon
lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try
Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto
tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah
untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun
11
domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan
refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan di Timor Timur setelah Referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya
Sentimen Nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie
untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang.
Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat.
Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro
demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam
Dinamika Perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan
jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak
pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor
Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab
nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih
memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut
diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan
Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah
memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan
peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis
kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan
angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta
oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat
INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya
untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada
tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut
keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
12
Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di
Timor Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia.
Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat
itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa
lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama
melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan
persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat
untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga
harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan
Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata
persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.
4. Tekanan Dunia Internasional
Tekanan-tekanan internasional, khususnya berasal dari PBB yang tidak
mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu keputusan tersebut
diambil dengan pertimbangan berbagai permasalahan ekonomi dan politik dalam
negeri pada saat. Kebijakan Presiden B.J.Habibie mengenai Opsi II merupakan
suatu usaha untuk membangun citra baik sebagai pemerintahan transisi yang
reformis dan demokratis serta merupakan suatu usaha untuk membangun kembali
perekonomian negara yang kacau sebagai akibat dari krisis multidimensi yang
sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, keputusan keluarnya Opsi II juga didasari
oleh sikap Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi Manusia(HAM)
dan memberikan kebebasan di atas prinsip kemerdekaan kepada setiap rakyat
Indonesia.1
Penyelenggaraan Jajak Pendapat dilakukan oleh UNAMET sebagai badan
khusus yang didirikan oleh PBB. Badan ini mempunyai misi dan kewajiban untuk
memantau keadaan Timor Timur serta menyelenggarakan Jajak Pendapat dengan
bersikap netral. Hal ini sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai oleh Menteri
luar negeri Ali Alatas ( RI) dan Menteri luar negeri Jaime Gama ( Portugal)
dengan mengikutsertakan wakil PBB Jamsheed Marker, serta memperoleh
1
Lela E.Madjiah, Timor Timur Perginya Si Anak Hilang, ( Jakarta: Antara
Pustaka Utama, 2002), hal.236.
13
perhatian langsung dari Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan. Kesepakatan ini
diperoleh dalam sebuah dialog yang diselenggarakan pada tanggal 5 Mei 1999 di
New York (AS) yang menghasilkan “Persetujuan New York”. Persetujuan ini
menghasilkan tiga hal yang disepakati dan ditandatangani, serta satu lampiran
yang berisi konsep status khusus dengan otonomi luas bagi Timor Timur. Ketiga
hal yang disepakati adalah (1) kesepakatan tentang persetujuan RI-Portugal
mengenai masalah Timor Timur; (2) persetujuan bagi modalitas atau tatacara
Jajak Pendapat melalui pemungutan suara secara langsung, bebas, dan jujur serta
adil; (3) persetujuan tentang pengaturan keamanan Jajak Pendapat. Kesepakatan
tersebut diperkuat dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1236 tahun 1999
dalam pertemuan Dewan Keamanan ke 3998 pada tanggal 7 Mei 19992.
Jajak Pendapat
Jajak Pendapat merupakan suatu cara bagi penyelesaian persoalan Timor Timur
yang muncul dari tawaran (Opsi) Presiden B.J.Habibie. Sesuai dengan Perjanjian
New York, Jajak Pendapat diselenggarakan oleh PBB. Pelaksanaan Jajak
Pendapat terdiri dari tujuh tahapan, yaitu:
1. Tahap Perencanaan Operasi dan Penggelaran, tanggal 10 Mei-15 Juni
1999.
2. Tahap Sosialisasi/penerangan Umum, tanggal 10 Mei-15 Agustus 1999.
3. Tahap Persiapan dan Registrasi, tanggal 13 Juni-17 Juli 1999.
4. Tahap Pengajuan keberatan atas daftar peserta Jajak Pendapat, tanggal 1823 Juli 1999.
5.
6.
7.
8.
Tahap Kampanye Politik, tanggal 20 Juli sampai tanggal 5 Agustus 1999 .
Tahap Masa Tenang, tanggal 6 dan 7 Agustus 1999.
Tahap Pemungutan suara, tanggal 8 Agustus 1999.
Sementara itu hasil jajak pendapat diumumkan oleh PBB tanggal 4
September 1999.
Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5% atau sekitar
344.580 orang Timor Timur memilih merdeka dan menolak status khusus dengan
Otonomi luas yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar 94.388 orang
menerima tawaran tersebut. Dengan hasil tersebut maka Pemerintah Republik
2
Zacky A.Makarim. Op.cit., hal.197.
14
Indonesia melalui MPR hasil Pemilu tahun 1999 kemudian menindaklanjuti
dengan mengambil langkah-langkah konstitusional untuk melepaskan Timor
Timur dari NKRI dan mengembalikan status wilayah itu seperti sebelum
berintegrasi . Hasil tersebut pada satu sisi sangat menggembirakan kelompok
pendukung anti-integrasi, sedangkan pada sisi lain mengecewakan kelompok prointegrasi dan para prajurit TNI/POLRI yang telah berjuang mempertahankan
integrasi Timor Timur.3
Bersamaan dengan pengumuman hasil Jajak Pendapat, keadaan di Dili
( Ibu kota Timor Timur) semakin kacau. Pihak yang kalah dan kecewa dengan
hasil jajak pendapat melakukan tindak kekerasan, teror, dan intimidasi terhadap
para pendukung anti-integrasi. Pertikaian dan konflik antara kedua pihak semakin
meningkat setelah masing-masing pihak menyatakan siap untuk perang. Pada
tanggal 4 September terjadi pertikaian antara kedua kelompok di Pelabuhan Dili.
Kelompok anti-integrasi yang terdesak bersembunyi dirumah Uskup Belo
sehingga menyebabkan massa dari kelompok pro-integrasi marah dan membakar
salah satu bangunan di Keuskupan. Peristiwa kekerasan juga terjadi pada tanggal
5 September 1999 di Keuskupan Diosis Dili dan mengakibatkan banyak orang
meninggal. Pertikaian juga terjadi di kantor CNRT di Mascaronhos, Dili Barat.
Dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran terhadap kantor CNRT oleh massa
kelompok pro-integrasi. Peristiwa- peristiwa tersebut menyebabkan keadaan di
Timor Timur semakin tidak aman sehingga mengakibatkan banyak orang
mengungsi ke wilayah lain yang lebih aman. Banyak dari mereka yang mencari
perlindungan ke Mapolda Timor Timur dan daerah Timor Barat (NTT) yang
berbatasan langsung dengan Timor Timur.
Keadaan di Timor Timur yang kacau menyebabkan Pemerintah Republik
Indonesia, khususnya TNI/POLRI mendapat protes dan tekanan dari masyarakat
internasional. TNI/POLRI dianggap telah gagal menjalankan amanat sesuai
Persetujuan New York. Banyak negara, seperti AS, Australia, Inggris, Jepang,
Perancis, Portugal, Selandia baru, dan Singapura mendesak Pemerintah Republik
Indonesia supaya dapat menciptakan keadaan yang lebih aman dan tertib di Timor
3
Ibid., tanggal 6 September 1999.
15
Timur. Tekanan juga dilakukan oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia
dan IMF. Kedua organisasi ini mengancam akan menghentikan bantuan apabila
Pemerintah Republik Indonesia gagal memperbaiki keadaan di Timor Timur.
Selain itu DK PBB juga mengeluarkan sebuah peringatan keras atau ultimatum
kepada Pemerintah Republik Indonesia. PBB memberikan peringatan apabila
dalam
waktu
48
jam
aparat
keamanan
(TNI/POLRI)
tidak
berhasil
mengembalikan keamanan dan ketertiban Timor Timur maka Pemerintah
Republik Indonesia harus siap untuk menerima bantuan internasional.
Banyaknya
tekanan
dari
masyarakat
internasional
menyebabkan
Pemerintah Republik Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan tindakan
darurat di Timor Timur. Berdasar Undang Undang No.23 tahun 1959 tentang
Keadaan Darurat maka mulai tanggal 7 September 1999 Pemerintah Republik
Indonesia memberlakukan Darurat Militer di Timor Timur. Pemberlakuan
keadaan Darurat Militer (PDM) memberi landasan hukum dan wewenang bagi
TNI/POLRI untuk bertindak lebih tegas dalam menindak kerusuhan, kebrutalan,
dan pelanggaran hukum di wilayah itu supaya ketertiban dapat pulih. Keputusan
ini didasarkan pada Keppres No.107/Tahun 1999 dan Lembaran Negara No.152
serta mendapat persetujuan dari Portugal dan Sekjen PBB. Oleh karena hasil yang
dicapai dari PDM tidak sesuai dengan harapan maka pada tanggal 24 September
kebijakan ini diakhiri. Kegagalan kebijakan PDM ini menyebabkan Pemerintah
Republik Indonesia kemudian bersedia menerima pasukan multinasional penjaga
perdamaian internasional dari negara lain untuk memulihkan perdamaian dan
keamanan di Timor Timur.
Setelah terjadi perubahan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia, maka
Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No.1264 tahun 1999
yang disetujui secara aklamasi oleh 15 anggota DK PBB. Berdasar Bab VII
Piagam PBB, maka DK PBB memberi wewenang pembentukan pasukan
multinasional (Multinational Force/MNF) yaitu INTERFET (International Force
East Timor). Badan ini bertugas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di
Timor Timur, melindungi dan mendukung UNAMET dalam melakukan tugasnya,
16
dan memfasilitasi operasi bantuan keamanan PBB serta harus bersikap netral. 4
Badan ini secara resmi bertugas untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan
di Timor Timur dari TNI/POLRI. Pada tanggal 20 September 1999 pasukan
INTERFET yang dipimpin oleh Mayor Jendral Peter Cosgrove tiba di Timor
Timur untuk melakukan Operasi Pemulihan (Operation Stabilise). Seperti halnya
dengan UNAMET, INTERFET juga sering bersikap tidak netral dan berpihak
pada kelompok anti-integrasi. Setelah keadaan di Timor Timur semakin baik dan
ketegangan antara kedua pihak yang bertikai berkurang maka pasukan INTERFET
ditarik mundur secara perlahan-lahan dan digantikan oleh UNTAET.
5. Tanggapan Para Pakar dan Pengamat Politik Indonesia
Pengambilan keputusan terhadap penyelesaian persoalan Timor Timur
menurut beberapa pakar dan pengamat politik Indonesia dianggap sebagai suatu
tindakan yang gegabah. Hal itu dilandasi alasan bahwa keadaan situasi di dalam
negeri Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit terbukti dengan:
Pertama, krisis ekonomi-moneter yang sedang dialami oleh negara
Indonesia sejak tahun 1997 dan berdampak kedalam politik Indonesia sehingga
menimbulkan
krisis
multidimensional
yang
ditandai
dengan
jatuhnya
Pemerintahan Presiden Soeharto. Berakhirnya kekuasaan pemimpin Orde Baru
atas desakan para mahasiswa dan rakyat Indonesia melalui gerakan reformasi
secara berkesinambungan menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat dalam
negeri terhadap pemerintah sehingga menimbulkan “krisis kepercayaan terhadap
pemerintah”. Keadaan pemerintah yang sedang mengalami banyak persoalan
dimanfaatkan oleh pihak-pihak sparatis Timor Timur yang menuntut diadakannya
referendum sebagai sarana penentuan nasib rakyat Timor Timur. Tuntutan
tersebut mendapat banyak simpati dari kelompok-kelompok masyarakat lain di
tanah air dan dunia internasional. Dari dalam negeri dukungan diberikan oleh
kelompok pembela HAM dan demokrasi, seperti LSM dan Komnas HAM.
Sedangkan dari internasional adalah Amerika dan Australia yang selalu
mengontrol dan melakukan provokasi kepada Pemerintah Indonesia untuk segera
4
Lela E.Madjiah, Op.cit., hal.144; PBB, Op.cit., hal.58-59.
17
menyelesaikan masalah Timor Timur. Kedua negara itu bersama-sama dengan
PBB selalu memantau perkembangan yang terjadi di Timor Timur. Perubahan
sikap kedua negara ini dipengaruhi oleh perkembangan global dan isu-isu
internasional tentang demokratisasi dan HAM.
Kedua, terjadi pergeseran posisi dasar Republik Indonesia pada tanggal 9
Juni 1998 pada saat Presiden B.J Habibie mengumumkan kesediaan Pemerintah
Republik Indonesia untuk memberikan “ status khusus dengan Otonomi luas”.
Pemberian status ini dianggap sebagai formula dan usaha untuk mencapai
penyelesaian politik dalam masalah Timor Timur. Akan tetapi pada tanggal 27
Januari 1999 Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan dalam
Sidang Kabinet Paripurna bidang Politik dan Keamanan mengenai pemberian
“Opsi II” yang berhubungan dengan pemberian tanggapan atas otonomi luas
apabila pemberian status khusus itu ditolak oleh mayoritas masyarakat Timor
Timur maka jalan yang akan diambil selanjutnya adalah Pemerintah Republik
Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang Umum MPR hasil Pemilu yang baru
terpilih agar Timor Timur dapat berpisah dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia secara baik-baik, damai, terhormat, tertib, dan konstitusional.5
BAB III
5
KOMPAS, tanggal 29 Januari 1999; Wiranto, Selamat Jalan Timor Timur.
Pergulatan Menguak Kebenaran, ( Jakarta: Institute for Democracy of
Indonesia, 2002), hal.85.
18
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang
terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap
arah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis
ekonomi yang parah, di mana krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai
aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya
gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang berujung pada proses disintegrasi
seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya perubahan dinamika kondisi
internal tersebut telah memaksa pemerintah untuk menyesuaikan politik luar
negerinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi kepentingan nasional. Situasi sosial
politik dan keamanan serta masalah ekonomi di tanah air juga menjadi
pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri. Gerakan separatis
yang mengarah pada pemisahan diri atau disintegrasi dari Indonesia harus
dicermati agar pintu masuknya penjajah dalam rangka mengendalikan Indonesia
dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika dilihat pada kasus Timor Timur, terdapat upaya
internasionalisasi konflik domestik yang pada akhirnya mengokohkan intervensi
Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik tersebut dari induknya,
Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk menjaga
kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta stabilitas nasional.
DAFTAR PUSTAKA
19
Downer, Alexander (Menteri Luar Negeri Australia). 2000. East Timor – looking
back on 1999, Australian Journal of International Affairs, vol.54/1 , hal.5.
Kuntari, Cordula Maria Rien, dkk. 2008. Timor Timur 1 Menit Terakhir. Jakarta:
PT Mizan Publika.
Arry Van Klinken, Akar Perlawanan Rakyat Timor Timur, ( Jakarta: ELSAM,
1996), hal.23-24.
Adityana, Rina, dkk.. 2011. Sejarah untuk SMA Kelas XII Program IPA. Bekasi:
Penerbit Media Maxima.
http://missions.itu.int/~indonesi/news/cp01122menlu.htm
Syamsuddin Haris dan M.Riefki Muna, Indonesia di Ambang Perpecahan?,
( Jakarta, 20000, hal. 267.
20
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Turunnya Soeharto dari kursi Kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998
sebagai salah satu Presiden terlama di dunia ketika ditetapkan oleh MPR untuk
masa jabatan yang ke -7 pada tanggal 11 Maret 1998. Tetapi setelah dua bulan
Jabatan ke-7 Soeharto rezim orde baru runtuh.
Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi eksistensi DPR dan MPR
untuk mengkokohkan kekuasaaanya akhirnya dilengserkan oleh lembaga yang
sama pula, lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 oleh ketua DPR Harmoko
yang didampingi Ismai Hasan Meutareum , Fatimah Achmad dan utusan daerah di
depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan bahwa “ Demi
kemakmuran persatuan dan kesatuan bangsa pimpinan dewan baik ketua maupun
wakil-wakilnya mengharapkan agar presiden secara arif dan bijaksana
mengundurkan diri dari jabatannya ”.
Usaha terakhir Soeharto mempengaruhi rakyat menyampaikan pernyataan
dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku mendataris MPR presiden
akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII dengan membentuk Komite
Reformasi, untuk lebih meyakinkan rakyat bahwa tugas Komite ini segera
menyelesaikan: UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susunan dan Kedudukan DPR
MPR dan DPRD,UU Anti Monopoli, UU Anti Korupsi dan hal lainnya yang
sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto terpojok karena 14 menteri
tidak bersedia untuk sepakat dalam komite reformasi tersebut.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai Presiden karena
dukungan untuk membentuk Komite Reformasi gagal, ditambah lagi banyak
desakan yang menganjurkan Presiden untuk mundur dan berhenti. Pada pagi
harinya 21 Mei 1998 pukul 09.05 yang dihadiri Menhankam, Mensesneg, Menteri
Penerangan, Menteri Kehakiman dan Wapres B.J. Habibie beserta pimpinan
Mahkamah Agung, ketua DPR , Sekjen DPR dihadapan Wartawan Dalam dan
1
Luar Negeri Presiden Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya. Setelahnya
Wakil Presiden B.J. Habibie langsung dilantik sebagai Presiden menggantikan
Soeharto dan diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ke-3 dihadapan Pimpinan
Mahkamah Agung. Peristiwa ini disambut baik oleh masyarakat terutama para
Mahasiswa yang berada di gedung MPR maupun DPR dan rezim kekuasaan Orde
Baru Soeharto resmi diruntuhkan dan Era Reformasi dimulai di bawah
Pemerintahan B.J. Habibie.
Gerakan Reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang
dirasakan oleh rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis
Multidimensi di Indonesia. Dengan momentum reformasi itu persoalan status
Timor Timur yang sudah ada pada masa pemerintahan Soeharto menarik
perhatian PBB dan masyarakat Internasional diharapkan memperoleh kejelasan.
Tetapi pada akhirnya masalah status Timor Timur akhirnya lepas dari wilayah
NKRI.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan dari latar belakang diatas adalah :
1. Peristiwa-peristiwa apa sajakah yang mendorong Timor Timur lepas dari
wilayah NKRI?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pelepasan Wilayah Timor
Timur ?
3. Bagaimana upaya pemerintah Indonesia untuk mempertahankan wilayah
Timor Timur ?
4. Bagaimana dampak yang diberikan Dunia Internasional (tekanan)
terhadap Indonesia ?
5. Tanggapan para Pakar dan Pengamat Politik Indonesia terhadap lepasnya
Timor Timur.
2
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang mendorong Timor Timur
lepas dari wilayah NKRI.
2. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya pelepasan wilayah Timor
Timur.
3. Untuk mengetahui upaya pemerintah Indonesia mempertahankan wilayah
Timor Timur.
4. Untuk Mengetahui tekanan apa saja yang di terima oleh Indonesia saat
mempertahankan Timor Timur.
5. Bagaimana tanggapan Para Pakar dan Pengamat Politik Indonesia
terhadap lepasnya Timor Timur.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Peristiwa-peristiwa sekitar Integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada
tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam Hubungan Australia-Indonesia.
Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975,
Angkatan Bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember
1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal
ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima
wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian
masyarakat Australia dan Media. Namun pada akhirnya Australia mengakui
kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara De Jure tahun 1979. Namun
Dinamika Politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan
jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999,
melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%).
Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan
yang meluas oleh unsur-unsur Pro-Integrasi. Australia kemudian diminta oleh
PBB untuk memimpin kekuatan Internasional di Timor Timur atau International
Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk
mengembalikan Perdamaian dan Keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20
Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Keputusan
Penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
1. Peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi lepasnya Timor Timur.
a) Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur
terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari
Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste
yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk
menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk
4
mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu
menurunkan Bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai
Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut
suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi
kevakuman Pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan
November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk
sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah
pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok prointegrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30
November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil
alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap
pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste),
masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika
pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975,
FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk
dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (Human Shields) untuk melawan
tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di
hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di
hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok Radikal FRETILIN di hutan
terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh
FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita
ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral,
Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste
pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak
menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di
hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor
Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang
dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal
FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus
menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di
5
Sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga
dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang
keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di
tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun
waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia
selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal
(60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi
PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di
tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara
Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya),
namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak
saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan
terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini
ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan
ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi
dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana
dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih
baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan
senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat
perlu makanan yang layak dimakan manusia.
b) Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002)
mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara
lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk
Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979.
Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian
penduduk Kamboja dibawah PolPot. Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan
media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui
ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi
korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili,
12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno
6
Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari
peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena
“pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi
merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja
disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan
penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat
selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah
penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada
12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan Mahasiswa, mengadakan aksi
protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka,
Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan
sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen
dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa
administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan
karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang
wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk
penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin
kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan,
pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di
kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal
adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu
politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy
Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang
diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para
juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka
memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan
dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh
pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera
itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter
7
First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan
di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat
mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang
keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes
keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang
praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh
siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa
Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena
dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor
Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada
Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan
kampanye Diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam
kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’.
Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah
Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada
1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak
bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan
internasional.
2. Faktor penyebab lepasnya Timor Timur dari Indonesia
a. Tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat seperti Kesejahteraan,
Keadilan, Keamanan, Pendidikan, dan Kesehatan. Belum lagi
minimnya Sarana Pendidikan, Kesehatan, maupun Transportasi di
sana. Perkara inilah yang membuat saudara-saudara kita di Timor
Timur tertarik dengan ide Kemerdekaan.
b. Lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang
dimainkan oleh asing gampang diterima masyarakat, padahal
disintegrasi merupakan alat permainan negara-negara kapitalis
8
penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi
adalah negara-negara
penjajah. Karena itu, meminta bantuan kepada negara-negara kapitalis
penjajah
sesungguhnya
bukanlah
solusi,
tetapi
justru
akan
menimbulkan penderitaan baru.
3. Upaya Pemerintah dalam rangka mempertahankan Timor Timur
1) Otonomi luas yang diberikan pada timor timur.
2) Kebebasan berupa jejak pendapat bagi masyarakat timor timur untuk memilih
tetap menjadi bagian indonesia ataukah memisahkan diri dan merdeka.
3) Kebijakan presiden B.J. Habibie dengan memberikan opsi Referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah timor timur.
Munculnya tekanan-tekanan dari Masyarakat Internasional menanggapi
kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk
mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur.
Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini
ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor
Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak
lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal,
dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro
kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin
manambah kecaman dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara
Barat, yang merupakan sasaran utama Speech Act dalam usaha Sekuritisasi kasus
Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras
dari Dunia Internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak
pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan
Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas
menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi
jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro
kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih
9
kedaulatan sebagai sebuah Negara. Kedaulatan Negara merupakan satu hal yang
selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi
batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan
Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur
adalah dukungan Internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang
sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagai Speech Act telah
dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha
sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka
dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, Mantan Presiden BJ Habibie
menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena
yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan
ini patut pula kita salami karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis
banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste
adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor
Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi
militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis
dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999,
diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur.
Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima
pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani
Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak
pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap
menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka.
Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan
Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-
10
luasnya untuk Provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional,
dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal
dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi Opsi Referendum untuk
mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat
dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan
Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi
otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia
menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui
hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat
Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan
sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru
dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya.
Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan
keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus
karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak
konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap
sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur
merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,
panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi
kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie
dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara
itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai
Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon
lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try
Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto
tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah
untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun
11
domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan
refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan di Timor Timur setelah Referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya
Sentimen Nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie
untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang.
Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat.
Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro
demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam
Dinamika Perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan
jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak
pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor
Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab
nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih
memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut
diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan
Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah
memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan
peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis
kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan
angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta
oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat
INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya
untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada
tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut
keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
12
Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di
Timor Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia.
Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat
itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa
lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama
melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan
persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat
untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga
harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan
Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata
persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.
4. Tekanan Dunia Internasional
Tekanan-tekanan internasional, khususnya berasal dari PBB yang tidak
mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur. Selain itu keputusan tersebut
diambil dengan pertimbangan berbagai permasalahan ekonomi dan politik dalam
negeri pada saat. Kebijakan Presiden B.J.Habibie mengenai Opsi II merupakan
suatu usaha untuk membangun citra baik sebagai pemerintahan transisi yang
reformis dan demokratis serta merupakan suatu usaha untuk membangun kembali
perekonomian negara yang kacau sebagai akibat dari krisis multidimensi yang
sedang terjadi di Indonesia. Selain itu, keputusan keluarnya Opsi II juga didasari
oleh sikap Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi Manusia(HAM)
dan memberikan kebebasan di atas prinsip kemerdekaan kepada setiap rakyat
Indonesia.1
Penyelenggaraan Jajak Pendapat dilakukan oleh UNAMET sebagai badan
khusus yang didirikan oleh PBB. Badan ini mempunyai misi dan kewajiban untuk
memantau keadaan Timor Timur serta menyelenggarakan Jajak Pendapat dengan
bersikap netral. Hal ini sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai oleh Menteri
luar negeri Ali Alatas ( RI) dan Menteri luar negeri Jaime Gama ( Portugal)
dengan mengikutsertakan wakil PBB Jamsheed Marker, serta memperoleh
1
Lela E.Madjiah, Timor Timur Perginya Si Anak Hilang, ( Jakarta: Antara
Pustaka Utama, 2002), hal.236.
13
perhatian langsung dari Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan. Kesepakatan ini
diperoleh dalam sebuah dialog yang diselenggarakan pada tanggal 5 Mei 1999 di
New York (AS) yang menghasilkan “Persetujuan New York”. Persetujuan ini
menghasilkan tiga hal yang disepakati dan ditandatangani, serta satu lampiran
yang berisi konsep status khusus dengan otonomi luas bagi Timor Timur. Ketiga
hal yang disepakati adalah (1) kesepakatan tentang persetujuan RI-Portugal
mengenai masalah Timor Timur; (2) persetujuan bagi modalitas atau tatacara
Jajak Pendapat melalui pemungutan suara secara langsung, bebas, dan jujur serta
adil; (3) persetujuan tentang pengaturan keamanan Jajak Pendapat. Kesepakatan
tersebut diperkuat dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1236 tahun 1999
dalam pertemuan Dewan Keamanan ke 3998 pada tanggal 7 Mei 19992.
Jajak Pendapat
Jajak Pendapat merupakan suatu cara bagi penyelesaian persoalan Timor Timur
yang muncul dari tawaran (Opsi) Presiden B.J.Habibie. Sesuai dengan Perjanjian
New York, Jajak Pendapat diselenggarakan oleh PBB. Pelaksanaan Jajak
Pendapat terdiri dari tujuh tahapan, yaitu:
1. Tahap Perencanaan Operasi dan Penggelaran, tanggal 10 Mei-15 Juni
1999.
2. Tahap Sosialisasi/penerangan Umum, tanggal 10 Mei-15 Agustus 1999.
3. Tahap Persiapan dan Registrasi, tanggal 13 Juni-17 Juli 1999.
4. Tahap Pengajuan keberatan atas daftar peserta Jajak Pendapat, tanggal 1823 Juli 1999.
5.
6.
7.
8.
Tahap Kampanye Politik, tanggal 20 Juli sampai tanggal 5 Agustus 1999 .
Tahap Masa Tenang, tanggal 6 dan 7 Agustus 1999.
Tahap Pemungutan suara, tanggal 8 Agustus 1999.
Sementara itu hasil jajak pendapat diumumkan oleh PBB tanggal 4
September 1999.
Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5% atau sekitar
344.580 orang Timor Timur memilih merdeka dan menolak status khusus dengan
Otonomi luas yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar 94.388 orang
menerima tawaran tersebut. Dengan hasil tersebut maka Pemerintah Republik
2
Zacky A.Makarim. Op.cit., hal.197.
14
Indonesia melalui MPR hasil Pemilu tahun 1999 kemudian menindaklanjuti
dengan mengambil langkah-langkah konstitusional untuk melepaskan Timor
Timur dari NKRI dan mengembalikan status wilayah itu seperti sebelum
berintegrasi . Hasil tersebut pada satu sisi sangat menggembirakan kelompok
pendukung anti-integrasi, sedangkan pada sisi lain mengecewakan kelompok prointegrasi dan para prajurit TNI/POLRI yang telah berjuang mempertahankan
integrasi Timor Timur.3
Bersamaan dengan pengumuman hasil Jajak Pendapat, keadaan di Dili
( Ibu kota Timor Timur) semakin kacau. Pihak yang kalah dan kecewa dengan
hasil jajak pendapat melakukan tindak kekerasan, teror, dan intimidasi terhadap
para pendukung anti-integrasi. Pertikaian dan konflik antara kedua pihak semakin
meningkat setelah masing-masing pihak menyatakan siap untuk perang. Pada
tanggal 4 September terjadi pertikaian antara kedua kelompok di Pelabuhan Dili.
Kelompok anti-integrasi yang terdesak bersembunyi dirumah Uskup Belo
sehingga menyebabkan massa dari kelompok pro-integrasi marah dan membakar
salah satu bangunan di Keuskupan. Peristiwa kekerasan juga terjadi pada tanggal
5 September 1999 di Keuskupan Diosis Dili dan mengakibatkan banyak orang
meninggal. Pertikaian juga terjadi di kantor CNRT di Mascaronhos, Dili Barat.
Dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran terhadap kantor CNRT oleh massa
kelompok pro-integrasi. Peristiwa- peristiwa tersebut menyebabkan keadaan di
Timor Timur semakin tidak aman sehingga mengakibatkan banyak orang
mengungsi ke wilayah lain yang lebih aman. Banyak dari mereka yang mencari
perlindungan ke Mapolda Timor Timur dan daerah Timor Barat (NTT) yang
berbatasan langsung dengan Timor Timur.
Keadaan di Timor Timur yang kacau menyebabkan Pemerintah Republik
Indonesia, khususnya TNI/POLRI mendapat protes dan tekanan dari masyarakat
internasional. TNI/POLRI dianggap telah gagal menjalankan amanat sesuai
Persetujuan New York. Banyak negara, seperti AS, Australia, Inggris, Jepang,
Perancis, Portugal, Selandia baru, dan Singapura mendesak Pemerintah Republik
Indonesia supaya dapat menciptakan keadaan yang lebih aman dan tertib di Timor
3
Ibid., tanggal 6 September 1999.
15
Timur. Tekanan juga dilakukan oleh organisasi internasional seperti Bank Dunia
dan IMF. Kedua organisasi ini mengancam akan menghentikan bantuan apabila
Pemerintah Republik Indonesia gagal memperbaiki keadaan di Timor Timur.
Selain itu DK PBB juga mengeluarkan sebuah peringatan keras atau ultimatum
kepada Pemerintah Republik Indonesia. PBB memberikan peringatan apabila
dalam
waktu
48
jam
aparat
keamanan
(TNI/POLRI)
tidak
berhasil
mengembalikan keamanan dan ketertiban Timor Timur maka Pemerintah
Republik Indonesia harus siap untuk menerima bantuan internasional.
Banyaknya
tekanan
dari
masyarakat
internasional
menyebabkan
Pemerintah Republik Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan tindakan
darurat di Timor Timur. Berdasar Undang Undang No.23 tahun 1959 tentang
Keadaan Darurat maka mulai tanggal 7 September 1999 Pemerintah Republik
Indonesia memberlakukan Darurat Militer di Timor Timur. Pemberlakuan
keadaan Darurat Militer (PDM) memberi landasan hukum dan wewenang bagi
TNI/POLRI untuk bertindak lebih tegas dalam menindak kerusuhan, kebrutalan,
dan pelanggaran hukum di wilayah itu supaya ketertiban dapat pulih. Keputusan
ini didasarkan pada Keppres No.107/Tahun 1999 dan Lembaran Negara No.152
serta mendapat persetujuan dari Portugal dan Sekjen PBB. Oleh karena hasil yang
dicapai dari PDM tidak sesuai dengan harapan maka pada tanggal 24 September
kebijakan ini diakhiri. Kegagalan kebijakan PDM ini menyebabkan Pemerintah
Republik Indonesia kemudian bersedia menerima pasukan multinasional penjaga
perdamaian internasional dari negara lain untuk memulihkan perdamaian dan
keamanan di Timor Timur.
Setelah terjadi perubahan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia, maka
Dewan Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No.1264 tahun 1999
yang disetujui secara aklamasi oleh 15 anggota DK PBB. Berdasar Bab VII
Piagam PBB, maka DK PBB memberi wewenang pembentukan pasukan
multinasional (Multinational Force/MNF) yaitu INTERFET (International Force
East Timor). Badan ini bertugas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di
Timor Timur, melindungi dan mendukung UNAMET dalam melakukan tugasnya,
16
dan memfasilitasi operasi bantuan keamanan PBB serta harus bersikap netral. 4
Badan ini secara resmi bertugas untuk mengambil alih tanggung jawab keamanan
di Timor Timur dari TNI/POLRI. Pada tanggal 20 September 1999 pasukan
INTERFET yang dipimpin oleh Mayor Jendral Peter Cosgrove tiba di Timor
Timur untuk melakukan Operasi Pemulihan (Operation Stabilise). Seperti halnya
dengan UNAMET, INTERFET juga sering bersikap tidak netral dan berpihak
pada kelompok anti-integrasi. Setelah keadaan di Timor Timur semakin baik dan
ketegangan antara kedua pihak yang bertikai berkurang maka pasukan INTERFET
ditarik mundur secara perlahan-lahan dan digantikan oleh UNTAET.
5. Tanggapan Para Pakar dan Pengamat Politik Indonesia
Pengambilan keputusan terhadap penyelesaian persoalan Timor Timur
menurut beberapa pakar dan pengamat politik Indonesia dianggap sebagai suatu
tindakan yang gegabah. Hal itu dilandasi alasan bahwa keadaan situasi di dalam
negeri Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit terbukti dengan:
Pertama, krisis ekonomi-moneter yang sedang dialami oleh negara
Indonesia sejak tahun 1997 dan berdampak kedalam politik Indonesia sehingga
menimbulkan
krisis
multidimensional
yang
ditandai
dengan
jatuhnya
Pemerintahan Presiden Soeharto. Berakhirnya kekuasaan pemimpin Orde Baru
atas desakan para mahasiswa dan rakyat Indonesia melalui gerakan reformasi
secara berkesinambungan menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat dalam
negeri terhadap pemerintah sehingga menimbulkan “krisis kepercayaan terhadap
pemerintah”. Keadaan pemerintah yang sedang mengalami banyak persoalan
dimanfaatkan oleh pihak-pihak sparatis Timor Timur yang menuntut diadakannya
referendum sebagai sarana penentuan nasib rakyat Timor Timur. Tuntutan
tersebut mendapat banyak simpati dari kelompok-kelompok masyarakat lain di
tanah air dan dunia internasional. Dari dalam negeri dukungan diberikan oleh
kelompok pembela HAM dan demokrasi, seperti LSM dan Komnas HAM.
Sedangkan dari internasional adalah Amerika dan Australia yang selalu
mengontrol dan melakukan provokasi kepada Pemerintah Indonesia untuk segera
4
Lela E.Madjiah, Op.cit., hal.144; PBB, Op.cit., hal.58-59.
17
menyelesaikan masalah Timor Timur. Kedua negara itu bersama-sama dengan
PBB selalu memantau perkembangan yang terjadi di Timor Timur. Perubahan
sikap kedua negara ini dipengaruhi oleh perkembangan global dan isu-isu
internasional tentang demokratisasi dan HAM.
Kedua, terjadi pergeseran posisi dasar Republik Indonesia pada tanggal 9
Juni 1998 pada saat Presiden B.J Habibie mengumumkan kesediaan Pemerintah
Republik Indonesia untuk memberikan “ status khusus dengan Otonomi luas”.
Pemberian status ini dianggap sebagai formula dan usaha untuk mencapai
penyelesaian politik dalam masalah Timor Timur. Akan tetapi pada tanggal 27
Januari 1999 Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan dalam
Sidang Kabinet Paripurna bidang Politik dan Keamanan mengenai pemberian
“Opsi II” yang berhubungan dengan pemberian tanggapan atas otonomi luas
apabila pemberian status khusus itu ditolak oleh mayoritas masyarakat Timor
Timur maka jalan yang akan diambil selanjutnya adalah Pemerintah Republik
Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang Umum MPR hasil Pemilu yang baru
terpilih agar Timor Timur dapat berpisah dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia secara baik-baik, damai, terhormat, tertib, dan konstitusional.5
BAB III
5
KOMPAS, tanggal 29 Januari 1999; Wiranto, Selamat Jalan Timor Timur.
Pergulatan Menguak Kebenaran, ( Jakarta: Institute for Democracy of
Indonesia, 2002), hal.85.
18
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang
terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap
arah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis
ekonomi yang parah, di mana krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai
aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya
gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang berujung pada proses disintegrasi
seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya perubahan dinamika kondisi
internal tersebut telah memaksa pemerintah untuk menyesuaikan politik luar
negerinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi kepentingan nasional. Situasi sosial
politik dan keamanan serta masalah ekonomi di tanah air juga menjadi
pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri. Gerakan separatis
yang mengarah pada pemisahan diri atau disintegrasi dari Indonesia harus
dicermati agar pintu masuknya penjajah dalam rangka mengendalikan Indonesia
dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika dilihat pada kasus Timor Timur, terdapat upaya
internasionalisasi konflik domestik yang pada akhirnya mengokohkan intervensi
Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik tersebut dari induknya,
Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk menjaga
kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta stabilitas nasional.
DAFTAR PUSTAKA
19
Downer, Alexander (Menteri Luar Negeri Australia). 2000. East Timor – looking
back on 1999, Australian Journal of International Affairs, vol.54/1 , hal.5.
Kuntari, Cordula Maria Rien, dkk. 2008. Timor Timur 1 Menit Terakhir. Jakarta:
PT Mizan Publika.
Arry Van Klinken, Akar Perlawanan Rakyat Timor Timur, ( Jakarta: ELSAM,
1996), hal.23-24.
Adityana, Rina, dkk.. 2011. Sejarah untuk SMA Kelas XII Program IPA. Bekasi:
Penerbit Media Maxima.
http://missions.itu.int/~indonesi/news/cp01122menlu.htm
Syamsuddin Haris dan M.Riefki Muna, Indonesia di Ambang Perpecahan?,
( Jakarta, 20000, hal. 267.
20