Hukum Perjanjian Internasional Kajian Te

Hukum Perjanjian Internasional
Kajian Teori dan Praktek
Justitia Reta Ridandi
[email protected]

DATA BUKU :
Nama Buku
Praktek

: Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan

Penulis

: Dr. Iur. Damos Dumoli Agusman, SH., MA.

Penerbit

: Refika Aditama

Tahun terbit


: 2014

Kota terbit

: Bandung

Bahasa Buku

: Berbahasa Indonesia

Jumlah halaman : 238 halaman
ISBN Buku

: 978-602-8650-28-1

PEMBAHASAN REVIEW
Hukum Perjanjian Internasional desawa ini telah mengalami pergeseran yang
radikal seiring dengan perkembangan hukum internasional. Hubungan
internasional akibat globalisasi telah ditandai dengan perubahan-perubahan
mendasar, antara lain munculnya subjek-subjek baru non-negara disertai

dengan meningkatnya interaksi yang intensif
antara subjek-subjek baru
tersebut. Indonesia juga mengalami fenomena ini, khususnya otonomi daerah
dan lembaga non-pemerintah yang interaksinya dengan elemen asing sudah
semakin meningkat. Perubahan mendasar tersebut bersamaan dengan
karakter pergaulan internasional yang semakin tidak mengenal batas negara,
berpeluang untuk melahirkan perkara-perkara hukum yang bersifat lintas
negara. Indonesia tidak lepas dari perubahan mendasar ini dan bahkan juga
mengalami proses tekanan dari luar negeri, yaitu adanya tuntutan kepastian
hukum di segala bidang termasuk kepastian hukum tentang hubungan antara
hukum nasional
dengan hukum internasional serta penerapan hukum
internasional dalam pengadilan nasional.
Dr. Iur.s Damos Dumoli Agusman, S.H., M.A. merupakah salah satu ahli hukum
yang sangat memiliki perhatian terkait Hukum Perjanjian Internasional lebih
khusus mengenai Teori Monisme dan Dualisme baik dari segi praktik maupun
teori. Penulis sehari-harinya beraktifitas di Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia sejak tahun 1988, dan bertugas di Direktorat Hukum dan Perjanjian
Internasional, yang tentu saja selalu terlibat dalam diskusi-diskusi dan
pekerjaan yang terkait dengan perjanjian internasional dimana Indonesia

menjadi pihak dalam perjanjian internasional tersebut. Berbekal aktifitas

sehari-harinya di Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional ini, menurut
saya beliau memiliki jiwa akademisi seperti mengajar dan meneliti.
Buku berjudul “Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik Indonesia”,
diterbitkan oleh Refika Bandung pada tahun 2010 ini berupaya mengulas
permasalahan hukum perjanjian internasional dalam aplikasinya di Indonesia
yang disertai dengan analisis tentang praktik hukum indonesia serta arah dan
kecenderungannya, khususnya tentang bagaimana hukum dan praktik
indonesia bereaksi terhadap perkembangan pesat hukum perjanjian
internasional.
Sejak pertengahan tahun 1980-an volume perdagangan internasional terus
bertambah dan seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional,
arbitrase internasional menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikaji oleh
banyak praktisi hukum terutama lawyer di berbagai negara. Arbitrase
komersial internasional merupak an sebuah metode penyelesaian sengketa di
luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa karena bersifat
fleksibel dan efektif. Arbitrase dapat dilakukan di luar negara di sela keringnya
wacana dan penerbitan buku soal hukum internasional di Indonesia, buku
karangan Damos Dumoli Agusman ini patut diberikan apresiasi. Buku tersebut

patut mendapat perhatian dikarenakan selain mengangkat permasalahan
klasik hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional juga
menawarkan suatu solusi yang tentu saja masih bisa diperdebatkan.
Dalam buku ini pada Bab Pertama yang merupakan bab Pendahuluan, bab ini
terbagi menjadi 2 sub bab yang terdiri dari Perkembangan Hukum Perjanjian
Internasional di Indonesia dan Perkembangan Dasar Hukum Nasional tentang
Perjanjian Internasional. Pada sub bab pertama terdapat kecenderungan bahwa
perbuatan negara yang bersifat komersial tidak lagi termasuk dalam doktrin
act of state (Tindakan Negara) yang mengakibatkan negara dengan atribut
kedaulatannya tidak lagi bisa bebas dari tuntutan perdata, dan melahirkan
konsep baru tentang state responsibility (tanggung jawab negara) yang
memungkinlan aparatur negara dapat diklaim oleh pihak asing dan sebaliknya
negara berhak mengajukan klaim atas nama warga negaranya. Perubahan
mendasar tersebut bersemaan dengan karakter pergaulan internasional yang
semakin tidak mengenal batas negara, berpeluang untuk melahirkan perkaraperkara hukum yang bersifat lintas negara. Sebagai contoh globalisasi dibidang
perdagangan dan investasi serta lahirnya pasar bebas telah melahirkan pula
pola hubungan yang lintas batas yang mengharuskan adanya pemahaman
terhadap hukum perjanjian internasional. Begitu terbukanya antar negara
mewarnai sistem internasional saat ini serta menciptakan interaksi yang
intensif antara Indonesia dengan masyarkat internasional akan menimbulkan

tumpang tindih antara hukum internasional termasuk perjanjian internasional
dengan hukum nasional.
Ketiadaan kajian tentang hukum perjanjian internsional dari perspektif hukum
tata negara dan keterbatasan pembahasan hukum internasional tentang
hubungannya dengan hukum indonesia mengakibatkan adanya benang
terputus (missing link) antara perjanjian internasional dengan hukum nasional.
Sekalipun hukum Indonesia mengenal konsepsi perjanjian internasional
(traktat) dan ratifikasi (pengesahan) namun konsepsi ini tidak memiliki akar
hukum yang tegas dalam hukum tata negara indonesia.Itulah sebabnya, masih
jarang ditemukan adanya penggunaan perjanjian internasional sebagai dalil

hukum bagi yurisprudensi Indonesia mengingat ketidakjelasan statusnya
sebagai sumber hukum positif bagi para penegak hukum. Relasi antara hukum
internasional dengan hukum nasional memang belum diatur dengan jelas
meskipun telah ada UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Hal
ini erat kaitanya dengan tidak tegasnya politik hukum yang dianut oleh
Indonesia
Bagian terpenting dari bab pendahuluan ini adalah sub bab Perkembangan
Dasar Hukum Nasional tentang Perjanjian Internasional. Hal ini dapat dilihat
dari

sejarah perkembangan dasar hukum nasional tentang perjanjian
internasional sejak awal kemerdekaan Indonesia yang terus berkembang dan
terus mengalami perbaikan hingga akhirnya terbentuk Peraturan Dasar Hukum
Nasional tentang Perjanjian Internasional yang berlaku saat ini.
Pada Bab Kedua dari buku ini, membahas 4 sub bab yang terdiri dari Definisi
Perjanjian
Internasional,
Pengertian
Perjanjian
Internasional
dan
Perkembangannya di Indonesia, Kaitan Pengertian Perjanjian Internasional dan
Nama (Nomenklatur) dalam Praktik Indonesia, Perjanjian Internasional dan
Otonomi Daerah.
Dalam Bab ini terdapat banyak istilah dan bentuk
internasional yang sering dipraktekan di Indonesia, seperti:

nama

perjanjian


a. Memorandum of Understanding (Memorandum Saling Pengertian)
Dari
perspektif
politis
Indonesia
menggunakan
MOU
untuk
menggambarkan perjanjian yang tidak formal yang tidak membutuhkan
prosedur yang ruwet serta”tidak terlalu mengikat”. MOU merupakan
judul yang paling banyak dibuat oleh Indonesia dalam perjanjianperjanjian bilateral.
b. Exchange of Notes ( Pertukaran Nota Diplomatik)
Merupakan suatu pertukaran penyampaian atau pemberitahuan resmi
posisi
pemerintah
masing-masing yang telah disetujui bersama
mengenai suatu masalah
tertentu. Instrumen dapat menjadi suatu
perjanjian internasional itu sendiri jika para

pihak bermaksud untuk itu.
c. Modus Vivendi
Dapat digunakan sebagai intrumen kesepakatan yang bersifat sementara
dan informal. Pada umumnya para pihak akan menindaklanjuti dengan
bentuk perjanjian yang lebih formal dan permanen.
Masih banyak istilah lain mengenai perjanjian internasional yang ada yaitu
traktat,
konvensi,
persetujuan
(agreement),
pengaturan,
Agreed
Minutes/Summary Records/Records of Discussion.
Menurut saya pembahasan pada bab ini menggunakan bahasa yang mudah
dipahami, namun penyajian istilah perjanjian internasional tidak selengkap
seperti pada buku “Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktik” karangan
Dr. Kholis Roisah, SH., M.Hum.
Pada Bab ketiga pada buku ini membahas mengenai Pembuatan Perjanjian
Internasional, Pemberlakuan Perjanjian Internasional, Pengakhiran Perjanjian
Internasional, Penyimpanan Perjanjian Internasional. Pada bab ini dijelaskan

tentang proses pembuatan perjanjian internasional menurut Pasal 6 UndangUndang No. 24 Tahun 2002 tentang Perjanjian Internasional, dibagi menjadi
beberapa tahapan proses, yaitu:

1.
2.
3.
4.
5.

Penjajagan
Perundingan
Perumusan Naskah Perjanjian
Penerimaan
Penandatanganan

Dari sisi internal Indonesia didasarkan pada beberapa komponen utama dalam
pembuatan perjanjian internasional, yaitu Lembaga Pemrakarsa, Mekanisme
Koordinasi dan Konsultasi, Proses Pengambilan Keputusan dalam Pembuatan
Perjanjian, Pedoman Delegasi, serta Surat Kuasa (Full Powers).
Pemberlakuan Perjanjian Internasional berdasarkan undang-Undang No.24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengadopsi model yang terdapat
pada Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional. Setelah itu
Konvensi Wina 1969 membedakan Pengakhiran Perjanjian yang didasarkan
pada kesepakatan para pihak dengan pengakhiran yang dilakukan secara
sepihak seperti pembatalan dan penghentian sementara yang harus dilakukan
mengikuti prosedur yang ditetapkan perjanjian itu atau melalui prosedur
Konvensi Wina 1969 tentang Invalidity, Termination, Withdrawal from or
Suspension of the Operation of Treaty. Sebagai contoh dari pengakhiran
perjanjian internasional adalah Indonesia, dalam praktiknya pernah mengakhiri
perjanjian internasional yaitu Timor Gap Treaty 1989 melalui pertukaran surat
(Exchange of Letter) antara kedua menteri luar negeri pada tahun 2000.
Pada Bab keempat tentang Pengesahan Perjanjian Internasional terdapat 3 sub
bab yang terdiri dari Pengertian, Perkembangan Pengertian Pengesahan dalam
Hukum Nasional Indonesia, serta Pengaturan Pengesahan atau Ratifikasi
menurut Praktik dan Undang-Undang no.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Menurut pasal 2 (1) b Konvensi Wina 1969tentang Perjanjian
Internasional, ratifikasi adalah:
“Ratification”, “acceptance”, “approval”, and “accession” mean in each
case the international act so named whereby a state establishes on the
international plane its consent to by a treaty;”

Ada dua perbuatan hukum yang dibedakan dalam rangka menjernihkan
konsepsi ratifikasi dari berbagai distorsi, yaitu:
1. Perbuatan hukum internal, yaitu persetujuan yang diberikan oleh organ
negara (parlemen) kepada Kepala Negara/ Kepala Pemerintah untuk
melakukan pengikatan diri kepada suatu perjanjian. Produk dari
perbuatan ini dapat berupa Undang-Undang (act) atau intsrumen lain.
2. Perbuatan
hukum
eksternal,
yaitu
ratifikasi
oleh
Kepala
Negara/Pemerintah terhadap perjanjian yang mensyaratkan ratifikasi.
Produk perbuatan ini berbentuk instrumen of ratification yang
ditandatangani oleh atau atas nama Kepala Negara/Pemerintah.
Penulis mengutip pendapat dari Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang mengakui
bahwa:
“Mengenai ratifikasi perjanjian ini ada beberapa hal yang menyebabkan
ketidakpastian
atau kekaburan. Satu diantaranya ialah tidak dibedakannya
2 tahap dalam ratifikasi
ini, yaitu pemberian persetujuan (approval) dan
tindakan pengesahan atau ratifikasi itu sendiri. Sering dipergunakan
kata

ratifikasi untuk mencakup seluruh proses yang meliputi kedua tahap tersebut
tadi”.
Pada Bab terakhir atau Bab kelima membahas tentang Teori Hubungan
Perjanjian Internasional dengan hukum nasional. Ada dua teori besar yang
dikenal untuk mengatur hubungan antara hukum internasional dengan hukum
nasional, yaitu; monisme dan dualisme. Teori monisme menempatkan hukum
internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem
hukum. Hukum internasional berlaku dalam lingkup hukum nasional tanpa
harus melalui proses transformasi melainkan inkorporasi sehingga tidak
dibutuhkan legislasi nasional yang sama untuk memberlakukan hukum
internasional dalam hukum nasional. Karena merupakan kesatuan sistem
hukum maka terdapat kemungkinan adanya konflik antara hukum internasional
dengan hukum nasional. Dengan demikian ada dua percabangan dari teori ini
yaitu lebih mengutamakan hukum internasional dibandingkan hukum nasional
(primat hukum internasional) atau sebaliknya (primat hukum nasional). Teori
dualisme menempatkan hukum internasional sebagai sistem yang terpisah dari
hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua
sistem tersebut. Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum
internasional
menjadi
hukum
nasional
berdasarkan
peraturanperundangundangan. Dengan adanya transformasi tersebut, maka kaidah
hukum internasional diubah menjadi kaidah hukum nasional untuk berlaku
sehingga tunduk pada dan masuk pada tata urutan perundangan nasional.
Karena merupakan dua sistem yang berbeda maka tidak mungkin terjadi
konflik antara keduanya. Berdasarkan kedua teori tersebut, Politik hukum
Indonesia soal posisi perjanjian internasioal dalam hukum nasional mula-mula
dapat dilacak dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi :
1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
DPR.
3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan
undang-undang.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka diperlukan persetujuan DPR untuk
membuat perjanjian dengan negara lain atau perjanjian internasional lainnya.
Definisi perjanjian internasional lain diartikan menurut penulis sebagai
perjanjian antara Indonesia dengan organisasi internasional. Meskipun telah
mensyaratkan perlu persetujuan DPR dalam membuat perjanjian internasional,
namun pasal tersebut belum berbicara dengan jelas posisi perjanjian
internasional dalam sistem hukum nasional.
Pada tataran praktek, setidaknya terdapat tiga tahap pergeseran yang
signifikan soal kata “persetujuan DPR” yaitu :


Periode awal kemerdekaan hingga tahun 1974, persetujuan DPR
dituangkan dalam suatu produk UU, namun UU dalam kaitan ini dimaknai
sebagai UU yang bersifat mengesahkan persetujuan DPR.





Periode 1974-Orde Baru, sekalipun tidak konsisten, UU yang
mengesahkan persetujuan DPR ini kemudian dimaknai UU dalam arti
formil dan bersifat penetapan.
Sejak adanya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundangundangan, UU yang mengesahkan bergeser menjadi UU yang
mengesahkan perjanjian itu sendiri sehingga UU ini adalah UU dalam arti
materil dan bersifat mengatur.

Pergeseran makna “persetujuan DPR” dalam praktek tersebut terjadi karena
memang belum jelas politik hukum yang diambil oleh Indonesia terkait
perjanjian internasional. UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
awalnya disusun untuk mengatur secara terperinci soal posisi perjanjian
internasional dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi politik
hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme dan dualisme dalam
UU tersebut. Terkait soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal 9
menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah
Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian
internasional tersebut (ayat 1), Pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan presiden. (ayat 2).”
Sebagai wacana pemikiran, Damos Dumoli Agusman mengajak pembaca untuk
menguji beberapa usulan beliau yang berkaitan dengan persoalan bagaimana
seharusnya politik hukum Indonesia soal perjanjian internasional diarahkan.
Setidaknya ada 3 wacana yang digulirkan, yaitu :
1. Monisme sebagai pilihan politik hukum karena mempercepat proses
pembentukan hukum.
2. Monisme akan mempercepat karena hanya menginkorporasi perjanjian
internasional melalui ratifikasi sehingga tidak perlu membuat UU yang
terpisah yang akan menghabikan waktu dan biaya. Jika memilih
dualisme, maka akan membebani Indonesia dengan proses legislasi.
3. Alasan historis, karena M. Hatta telah menyatakan lebih mengarah ke
supremasi perjanjian internasional.
4. Sistem hukum Indonesia bercermin ke eropa continental yang umumnya
berkarakter monisme.
Pembahasan mengenai Hukum Perjanjian Internasional dalam buku ini serta
dalam bentuk penyajian terkait praktik perjanjian internasional di Indonesia,
membuat buku ini memiliki nilai lebih untuk dapat dibaca oleh semua kalangan
baik akademisi, mahasiswa, praktisi dan Pemerintah, khususnya bagi
Pemerintah Republik Indonesia yang sering terkait dengan praktik pelaksanaan
perjanjian internasional atau yang terlibat dalam pembuatan perjanjian
internasional dimana Indonesia menjadi pihak.
Buku Review

Dokumen yang terkait

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

Hukum Konsumsi Tembakau (Merokok)

0 30 6

Strategi Bauran Pemasaran Umrah Pada Pt Abdi Ummat Wisata Internasional (ATTIN TOUR) Jakarta Timur

14 77 95

Kajian administrasi, farmasetik dan klinis resep pasien rawat jalan di Rumkital Dr. Mintohardjo pada bulan Januari 2015

19 169 0

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Kajian Visualisasi Motif Batik priangan Berdasarkan Estetika Sunda Pada kelom Geulis Sagitria Tasikmalaya

10 104 59

Kajian pemilihan warna dan kualitas karya pada ilustrasi manual penyandang buta warna total : (studi kasus : ilustrasi manual berwarna karya Rukmnunal Hakim)

1 36 86

Penolakan Terhadap Permohonan Pendaftaran Merk Yang Ditangani Oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan Ham Jawa Barat

1 23 1

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Atas Eksploitasi Dan Tindak Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 15 79

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22