Sejarah Metodologi Interpretation Al Qur

Sejarah Metodologi Interpretation Al-Qur'an dan Al-Hadist
(Klasik, Modern, Kontemporer)

Ahadin Winarko Wibisono
Institut Agama Islam Negeri Metro
Email:Ahadin043@gmail.com
Abstrak
Sejarah metodologi interpretation Al-Qur‟an dan Al-Hadist merupakan kajian
penelitian yang menjelaskan proses penafsiran pada permulaannya tercetusya penafsiran
terhadap Al-Qur‟an dan Al-Hadist. Sejarah merupakan suatu peristiwa yang terjadi dizaman
yang lalu dan berdampak pada banyak orang. Tidak semua peristiwa yang tejadi di masa lalu
merupakan sebuah sejarah. Metodologi merupakan sebuah metode yang digunakan dalam
menafsirkan Al-Qur‟an dan Al-Hadist setiap muffasir memiliki metode yang berbeda dan
menggunakan pendekatan yang berbeda – beda pula. Al-Qur‟an merupakan kitabullah yang
diturunkan berupa wahyu yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril di
Gua Hira saat nabi Muhammad SAW sedang menyendiri untuk merenung sedangkan hadis
merupakan pendukung dari Al-Qur‟an. Banyak sekali keistimewaan yang terdapat dalam AlQur‟an dari sajak Ayat – Ayatnya, bahasa yang digunakannya menggunakan bahasa Arab
yang mendapat julukan Bahasa Syurga karena kehalusan dan kelembutan dialeknya, tidak
hanya itu ayat – ayatnya berisi jawaban dari persoalan yang terjadi pada zaman itu dan
tempatnya adalah tempat yang sedang di tinggali (dimana keberadaan Nabi Muhammad
SAW). Penafsiran merupakan cara untuk mengartikan Al-Qur‟an karena Al-Qur‟an tidak bisa

di mengerti dengan mentah – mentah dan tidak banyak orang yang boleh melakukan
penafsiran pada Al-Qur‟an. Jika semua orang boleh melakukan penafsiran maka akan ada
sangat banyak pendapat yang simpang isur dan tanpa teori mendasar, penafsiran hanya orang
– orang tertentu yang boleh melakukannya setelah memenuhi syarat seorang muffasir.
Penafsiran mengalami peningkatan secara bertahab dan mengaalmi kemajuan yang cukup
pesat dari mulai penafsiran klasik, modern hingga Kontemporer. Penafsiran klasik merupakan
penafsiran yang dilakukan pada zaman setelah kenabian, penafsiran modern merupakan
Kata Kunci: Sejarah, Interpretation, Al-Qur‟an dan Hadist

Abstract
History methodology interpretation of the Qur'an and Al-Hadith is a research study
that explains the process of interpretation at the outset tercetusya interpretation of the Quran
and al-Hadith. History is an event that occurred in the days of the past and have an impact
on many people. Not all of the events that occurred in the past is history. The methodology is
a method used in the interpretation of the Quran and al-Hadith every muffasir have different
methods and using different approaches - also vary. The Qur'an is the Book of Allah revealed
in the form of revelation brought by the nabi Muhammad SAW through the angel Gabriel in
the cave of Hira when the nabi Muhammad SAW was alone to brood while Hadith is a
supporter of the Qur'an. Lots of privileges contained in the Qur'anic verse of the poem - the
Verses, that uses language using Arabic language dubbed Heaven for smoothness and

softness dialect, not only that verse - verse contains the answer to the problems that occurred
at that time and its place is being inhabited places (where the presence of Nabi Muhammad
1

SAW). The interpretation is a way to interpret the Qur'an because the Qur'an can not be
understood by the raw - uncooked and not many people are allowed to do the interpretation
of the Qur'an. If everyone is allowed to do the interpretation then there will be very many
opinions intersections Isur and without fundamental theory, interpretation only people certain people are allowed to do this after a muffasir qualify. The interpretation has
increased bertahab and mengaalmi progress quite rapidly from the start interpretation of
classical, modern to Contemporary. Classical interpretation of an interpretation made in the
days after the prophethood, a modern interpretation
Keywords: History, Interpretation, Qur'an and Hadith

A.

Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama samawi yang diyakini oleh pemeluknya sebagai

jalan hidup (way of life), tidak dapat dipungkiri transformasi mental dan sosial yang dibawah
oleh Islam telah menarik perhatian berbagai kalangan akademisi baik yang beragama Islam

(insider) maupun non muslim (outsider). Kajian Islam dalam istilah lain disebut studi islam
(Islamic studies) adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran,
kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Studi Islam, dilihat dari ruang lingkup
kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai perspektif
dan pendekatan. Banyak ragam dan cara seseorang memahami al-Qur‟an atau tafhim alQur‟an. Hal ini dikarenakan kemampuan seseorang untuk memahami dan menjelaskan
tentang esensi firmanAllah juga berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan dan pemahaman
seseorang itu sendiri. Perbedaan pemahaman ini juga tidak lepas dari berbagai faktor,
diantaranya tingkat kecerdasan, tingkat pendidikan, dan tingkat kefahaman agama yang
melatarbelakaninya.1
Karya-karya kaum muslim sangat mengagumkan dan mempunyai andil yang sangat
besar dalam penelitian, pengamatan, percobaan dan perhitungan. Sebagai contoh, sistem
desimal yang sekarang digunakan diseluruh dunia dikembangkan oleh ahli matematika
muslim Studi tentang agama-agama di kalangan muslim Indonesia mulai berkembang pada
dekade 40-an dan 50-an. Pada dekade ini muncul beberapa literatur tentang agama-agama
yang ditulis oleh beberapa intelektual muslim pada masa itu. Beberapa buku tentang agamaagama yang beredar pada dekade ini di antaranya adalah Ichtisar Agama-agama Besar (1949)
karya Bustami Ibrahim, Perkembangan Fikiran terhadap Agama (1951) karya Zainal Arifin
Abbas, al- Adyan (1957) karya Mahmud Yunus, dan Filsafat Patristik Kristen (1958) karya
Hasbullah Bakry. Pada dekade 60-an, literatur tentang agama-agama yang ditulis oleh sarjana

Ari Anshori, “Corak Tafhim Al-Qur‟an Dengan Metode Manhaji,” Profetika, Jurnal Studi Islam 16, no.

1 (Juni 2015): 25.
1

2

muslim semakin banyak bermunculan dengan tema-tema perbandingan dan ada yang sudah
menggunakan kata ―perbandingan dalam judulnya.
Di antara buku yang terbit pada dekade ini adalah Nabi Isa dalam Al-Qur‟an dan Nabi
Muhammad dalam Bible (1960) karya Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah
Pembahasan tentang Metodos dan Sistema) (1964) karya A. Mukti Ali, Yesus Kristus dalam
Pandangan Islam dan Kristen (1965) karya Hasbullah Bakry, Perbandingan Agama (1965)
karya Moh. Rifai, Muhammad dalam Perjanjian Lama dan Baru di Indonesia (1965) karya O.
Hashem, Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan Kristologi (1965) karya Djarnawi
Hadikusuma, Al-Qur‟an Sebagai Koreksi terhadap Taurat dan Injil (1966) karya Hasbullah
Bakry, dan Agama Kristen dan Islam serta Perbandingannya (1968) karya Abuyamin Ruham.
( Ali 1996, 57- 58). Munculnya buku Mukti Ali yang berjudul Ilmu Perbandingan Agama
(Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema) pada tahun 1964 menandai munculnya
gagasan tertulis mengenai kajian agama-agama dengan menggunakan perspektif ilmiah.
Munculnya


gagasan mengenai perlunya melakukan kajian agama dengan

menggunakan perspektif ilmiah melahirkan kebutuhan mengenai metode dan pendekatan
ilmiah apa yang harus diaplikasikan oleh sarjana muslim ketika melakukan kajian terhadap
berbagai agama. 2 Persoalan kemudian muncul ketika sejumlah sarjana muslim Indonesia
mempertanyakan validitas pendekatan ilmiah dalam memahami agama dengan benar tanpa
melibatkan perspektif teologis dan doktrin agama di dalamnya. Sebagian sarjana Muslim
bahkan menghendaki digunakannya pendekatan non-Barat dalam mengkaji agama terutama
mengenai Islam di Indonesia. Sarjana Muslim yang lain menghendaki metode penelitian yang
khas terhadap agama. Mulyanto Sumardi menyebutkan bahwa pada dekade 70-an telah
muncul dua kecenderungan di kalangan sarjana Muslim mengenai metode penelitian agama.
Ada sekelompok sarjana muslim yang menghendaki perlunya perumusan dan penggunaan
metode penelitian agama yang khas.
Kelompok ini beranggapan bahwa metode-metode yang selama ini yang digunakan
dalam penelitian agama sering kali kurang tepat sehingga tidak mampu menerangkan dengan
jelas apa sebenarnya makna di belakang fakta- fakta keagamaan itu. Kelompok yang lain
cenderung untuk mempertahankan metode yang selama ini telah digunakan. Mereka
berpandangan bahwa dalam penelitian agama tidak perlu membangun metode baru. Menurut
mereka, sebagaimana telah berjalan, para ahli bisa melakukan penelitian agama dengan
Dedi Wahyudi, “Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak Dengan

Program Prezi (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014),” JURNAL JPSD
(Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar) 1, no. 1 (2015): 4.
2

3

memanfaatkan metode berbagai disiplin yang sudah ada terutama dari disiplin ilmu-ilmu
sosial dan budaya. Mukti Ali sendiri menawarkan sintesis yang berusaha menggabungkan
kedua kecenderungan itu melalui gagasannya untuk menggunakan pendekatan religioscientific (ilmiah- agamais) atau scientific-cum-doktrinair dalam studi agama. Perbincangan
mengenai aspek metodologi dan pendekatan dalam penelitian agama mulai marak sejak
dekade 70-an. Sebenarnya, Mukti Ali telah memulainya sejak dekade 60-an, tetapi dekade 70
dan seterusnya diskusi mengenai aspek metodologi semakin meningkat seiring dengan
semakin berkembangnya penelitian agama di Indonesia khususnya di kalangan sarjana
Muslim.
Mengingat pentingnya tema ini, pada dekade 70-an sejumlah sarjana yang merupakan
peserta Program Purna Sarjana (SPS) di kalangan dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia yang
berkumpul di Yogyakarta secara bersama-sama berhasil menyusun naskah berjudul
Metodologi Penelitian Agama. Kemudian pada dekade 80-an muncul lagi buku tentang
penelitian agama yang di dalamnya juga membahas tentang metode dan pendekatan
penelitian agama, yaitu Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran (editor Mulyanto

Sumardi), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (A. Mukti Ali), dan Metodologi
Penelitiqan Agama Sebuah Pengantar (editor Taufik Abdullah dan Rusli Karim). Dua dari
tiga buku ini merupakan kumpulan tulisan dari sejumlah sarjana berkenaan dengan penelitian
agama. Pada dekade 90-an sejumlah literatur studi agama kembali bermunculan, diantaranya
adalah Metodologi Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Romdon. Buku ini banyak
mengupas mengenai metode dan pendekatan penelitian agama dalam perspektif ilmu
perbandingan agama.
Kemudian buku Studi Agama Historisitas atau Normativitas? Karya Amin Abdullah
yang membahas masalah studi agama di dalamnya di samping Islamic studies dan studi
kawasan. Buku Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek karya M. Atho Mudzhar
juga banyak mengupas tentang studi atau penelitian agama meski diarahkan untuk studi
Islam. Kemudian pada dekade awal abad ke- 21, muncul lagi beberapa literatur studi agama
yang berisi pembahasan tentang metodologi studi agama, di antaranya adalah Metode
Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Metodologi Penelitian Agama Teori
dan Praktik, dan Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Beberapa di antara buku
yang disebutkan di atas berasal dari kumpulan tulisan dari berbagai pakar atau sarjana
Muslim di berbagai seminar dan pertemuan ilmiah lainnya berkaitan dengan studi agama.
Buku- buku itu sengaja diterbitkan untuk disebarkan dalam rangka memperkenalkan
sejumlah metode dan pendekatan ilmah yang dapat diaplikasikan dalam penelitian agama.
4


Adanya literatur studi agama yang memperbincangkan dimensi metodologis dalam
studi agama sebagaimana yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa dimensi
metodologis merupakan bagian tak terpisahkan dari diskursus studi agama yang dirumuskan
secara berkesinambungan sejak dekade 60-an hingga kini di kalangan sarjana muslim. Itu
artinya bahwa perbincangan mengenai dimensi metodologis dalam studi agama telah
berlangsung selama setengah abad jika dihitung mulai dari buku Mukti Ali: Ilmu
Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Metodos dan Sistema) yang terbit pada
tahun 1964.
Konsistensi perbincangan mengenai metodologi dalam literatur studi agama di
Indonesia tidak hanya disebabkan oleh tujuan untuk memperkenalkan metode-metode dan
pendekatan-pendekatan studi agama yang selama ini berkembang di Barat tetapi juga upaya
untuk menemukan metode dan pendekatan yang lebih tepat dalam melakukan studi agama
yang objektif dan ilmiah di kalangan sarjana Muslim. Gagasan metodologis yang
berkembang dalam banyak literatur studi agama cenderung menganjurkan pendekatan ilmiah
dan memperkecil penggunaan pendekatan teologis- apologetik. Objektivitas memperoleh
penekanan yang kuat sementara unsur subyektivitas dianggap bisa menimbulkan sikap
apalogis dan penghakiman terhadap keyakinan agama lain. Gagasan metodologis yang telah
berkembang selama setengah abad itu tidak sepenuhnya disepakati. Sejumlah sarjana Muslim
justru keberatan dengan penggunaan pendekatan Barat dalam studi agama sebagaimana telah

disinggung sebelumnya. Sebagian mereka yang keberatan menganggap bahwa metode dan
pendekatan yang ditawarkan berasal dari Barat, yaitu metode yang diterapkan oleh kaum
orientalis dan bersifat agnostik- metodologis serta mengarah pada relativisme kebenaran
agama-agama. Mereka juga sangat meragukan kemungkinan diterapkannya sikap objektif dan
netral dalam mengkaji agama sebagaimana yang ditekankan dalam pendekatan ilmiah.
Perbedaan pandangan dan kritik terhadap berbagai pendekatan ilmiah tidak hanya
terjadi di kalangan sarjana muslim tetapi juga hal yang sama telah terlebih dahulu terjadi di
kalangan sarjana Barat, baik di kalangan sesama ilmuwan agama maupun antara teolog
(agamawan) dengan ilmuwan sosial. Kalau gagasan dan perdebatan metodologis dalam studi
agama di Barat telah dikaji dan dipublikasikan di Indonesia, gagasan dan perdebatan
mengenai metodologi studi agama di Indonesia khususnya di kalangan sarjana muslim
tampaknya belum dilakukan sehingga apa saja yang disepakati dan apa saja yang belum
mendapat titik temu serta bagaimana dinamika pemikiran di seputar metodologi studi agama
itu belum mendapat kajian yang semestinya. Demikian pula mengenai sejauhmana
metodologi Barat telah mempengaruhi dan terserap dalam pemikiran sarjana muslim serta
5

bagaimana gagasan orisinal sarjana muslim Indonesia mengenai dimensi metodologis dari
studi agama menjadi aspek yang menarik untuk dikaji lebih dalam.
Penelitian ini memanfaatkan data mengenai pemikiran sarjana muslim Indonesia

tentang metodologi studi agama melalui sejumlah literatur studi agama yang terpublikasi
dalam rentang waktu antara tahun 1964-2012. Penggunaan literatur dalam bentuk buku
pustaka sebagai bahan utama penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian ini merupakan
jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini membahas mengenai dinamika
pemikiran sekelompok sarjana muslim yang terdokumentasikan dalam buku-buku
terpublikasi dalam rentang waktu setengah abad (sejak 1964). Dengan demikian, penelitian
ini bersinggungan dengan sejarah pemikiran (kontemporer). Karena itu penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan yang menggunakan pendekatan sejarah pemikiran yang
merupakan salah satu varian dalam penelitian sejarah. Dalam sejarah pemikiran (history of
thought, history of ideas atau intellectual history) dikenal adanya pelaku (penulis) sejarah
pemikiran, yaitu perorangan, gerakan intelektual, dan pemikiran kolektif.3
Tafsir al-Qur‟an telah melewati fase-fase pertumbuhan dan perkembangan yang cukup
panjang , sejak dari mula pertamanya pada masa nabi SAW sampai sekarang. Oleh karena itu
perlu diketahui priodesasi pertumbuhannya, agar dapat dimengerti pasang surutnya, sumber
dan metodenya, serta oreantasi dan sistematikanya. Para pakar menjelaskan sejarah tafsir alQur‟an dalam tiga kategori utama yaitu kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan. Pertama
: Masa Kelahiran ; Pertama kali al-Qur‟an turun, ia langsung ditafsirkan oleh Allah yang
menurunkan al-Qur‟an tersebut. Artinya sebagian ayat yang turun itu menafsirkan
(menjelaskan) bagian yang lain sehingga pendengar atau pembaca dapat memahami
maksudnya secara baik berdasarkan penjelasan ayat yang turun itu. Sebagai contoh :
Ayat yang pertama kali turun (bacalah dengan nama tuhanmu) kita tidak tahu siapa

tuhanmu yang dimaksud, lalu Allah menjelaskan selanjutnya bahwa tuhanmu (yang telah
menciptakan) kalimat ini masih sangat umum lalu Allah menjelaskan (yakni menciptakan
manusia) hal inipun masih samara lalu dijelaskan. Sekiranya tafsir ini tidak diturunkan maka
tidak mustahil pembaca bahkan nabipun akan salah memperepsikan tuhan. Kedua : Masa
Pertumbuhan : Masa pertumbuhan dapat dikelompokkan dalam beberapa periode : 1. Periode
Nabi Muhammad Saw dan Sahabat (abad I H/VII M) pada waktu rasul masih hidup maka
penafsiran langsung dilakukan oleh beliau berdasarkan wahyu Allah Swt, sebagai contoh :
Rahmadi ,Abd. Rahman Jaferi dan Nurul Djazimah, “Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim tentang
Metodologi Studi Agama di Indonesia: Kajian terhadap Literatur Terpublikasi Tahun 1964-2012,” Tashwir 1,
no. 2 (Juli 2013): 31–36.
3

6

para sahabat bingung dan gelisah dengan kalimat zulm (kezaliman) dalam firman Allah
dalam surat al-An‟am ayat 82 (Orang- orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan
iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk), lalu rasul menjelaskan bahwa yang
dimaksud zulm disini adalah kesyirikan sesuai dengan firman Allah pada Surat Luqman:
(sesungguhnya mensekutukan Allah adalah kezaliman yang besar). Pada masa ini sumber
tafsir terkategorikan pada empat ; Al-Qur‟an Karim, hadits-hadits Nabi, Ijtihad dan istinbath
(melalui adat, budaya dan kebiasaan arab), dan cerita ahlul kitab baik dari yahudi maupun
nasrani. Periode ini berakhir dengan meninggalnya seorang sahabat yang bernama Abu
Thufail al- Laisi pada tahun 100 H di Kota Makkah 2. Periode Tabi‟in dan Tabi‟it tabi‟in (
abad 2 H / VIII M ). Sumber-sumber tafsir pada periode ini adalah : al-Qur‟an, hadits-hadits
nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra‟yu dan ijtihad. Pusat pengajian tafsir
menyebar di kota Makkah diantaranya dipimpin oleh Abdullah bin Abbas ( w. 63 H ), Sa‟id
Bin Jubair ( w.93 ), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin
Aslam dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas‟ud, diantara ciri-ciri tafsir masa ini
adalah memuat banyak cerita israiliyat, meriwayatkan dari riwayat yang disenangi saja dan
sudah muncul benih-benih fanatisme mazhab. Periode ini berakhir dengan ditandai
meninggalnya tabi‟in yang bernama Kholaf bin Khulaifat (w. 181 H) dan sedangkan masa
tabi‟it tabi‟in berakhir pada tahun 220 H. Ketiga : Masa Perkembangan : Perkembangan
tafsir dapat dikelompokkan dalam beberapa periode : Periode Ulama Mutaqaddimin (abad
III–VIII H/1X-XIII M), periode ini dimulai dari akhir zaman tabi‟it tabi‟in sampai akhir
pemerintahan dinasti Abbasiyah kira-kira dari tahun 150 H/782 M sampai tahun 656 H/1258
M atau mulai abad II sampai VII H. Sumber tafsir pada masa ini berupa : al-Qur‟an, hadits
Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi‟in, riwayat para tabinat tabi‟in, cerita ahlul
kitab, ijtihad dan istinbath mufassir.
Diantara para mufassir tersebut adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu‟bah Ibn
Hajjaj (w. 160 H), Periode Ulama Muta‟akhirin (abad IX- XII H / XII-XIX M), periode ini
muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656
H/1258 M sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada 1286 H/ 1888 M, sumber tafsir
pada masa ini al- Qur‟an, hadits Nabi Saw, riwayat para sahabat, riwayat para tabi‟in, riwayat
para tabi‟inat tabi‟in, cerita ahlul kitab, ijtihad dan istinbath mufassir, pendapat para mufassir
terdahulu.diantara para mufassir periode ini adalah al-Baidhawi (w. 692 H ) pengarang tafsir
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta‟wil ( tafsir al-Baidhowi ), Fakhruddin al-Razy ( w.606 H)
pengarang tafsir Mafatih al-Ghaib( Tafsir al-Kabir ), Periode Ulama Modern ( abad XIV H7

XIX M s/d Sekarang ), zaman ini bermula sejak abad XIV H atau akhir XIX Masehi sampai
sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam di Mesir Oleh Jamaluddin alAfghani ( 1254 H/ 1838 M ), Muhammad Abduh ( 1266 H / 1845 M ) diantara produk tafsir
pada masa ini adalah : Syeikh Ahmad Mustafa al-Maraghi ( w. 1952 M ) penulis tafsir alMaraghi tafsir ini sangat modern dan praktis, Sayyid Qutb penulis tafsir Fi Zilalil Qur‟an dan
Ali al-Shabuni pengarang tafsir Rawa‟i al-Bayan, Tafsir ayatul ahkam minal Qur‟an dan
kitab Sofwatu al-Tafasir.4

B.

Alqur’an dan Hadist
Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur‟an, memiliki segenap mu‟jizat yang sungguh

luar biasa. Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat gemar dan cenderung dengan
sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu sangat kagum dan apresiatif
terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk menggubah syair-syair indah.
Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga Arab yang paling mahir pada
saat itu yang begitu dielu- elukan. Di tengah eforia masyarakat Arab terhadap sastra pada saat
itu turunlah al- Qur‟an yang isinya sungguh luar biasa yang tidak bisa ditandingi oleh seorang
pujanggapun pada saat itu bahkan hingga akhir zaman. Turunnya al-Qur‟an membuat para
pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap isinya yang belum pernah mereka
temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya-tanya, ada apa dibalik
kekaguman mereka. Bagi mereka yang memperturutkan keingin-tahuan mereka, berusaha
mencari apa sebenarnya al-Qur‟an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-Qur‟an adalah
firman Allah, baru mereka paham mengapa isi al-Qur‟an itu demikian hebat dan agung. Hal
inilah yang membuat sebagian besar mereka beriman dan mengikuti orang yang membawa
al-Qur‟an itu, yaitu nabi Muhammad SAW.5
Upaya penghampiran manusia terhadap al-Qur‟an merupakan sesuatu yang belum final
atau bahkan mungkin tidak dapat menggapai kematangan.6 Al-Qur‟ān adalah kitab suci umat
Muslim yang terdiri dari 114 bab (sūras) dan lebih dari 6.000 ayat. Bagi saudara-saudara
Muslim, al- Qur‟ān lebih dari sekadar sebuah buku, ia diimani sebagai perkataan Allah yang
diwahyukan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW pada tahun 611 M saat
beliau berada dalam sebuah gua di gunung Hira„ sekitar 3 mil dari kota Mekah pada malam
Ahmad Soleh Sakni, “Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam,” JIA 2, no. XIV (Desember
2013): 63–65.
5
Muhammad Amin, “Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat,” Jurnal
Substantia Vol. 15, No. 1, 15, no. 1 (April 2013): 1.
6
Ani Umi Maslahah, “Al-Qur‟an, Tafsir Dan Ta‟wil Dalam Persepektif Sayyid Abu Al-A‟la AlMaududi,” Hermeneutik 9, no. 1 (Juni 2015): 22.
4

8

al-Qadr (the night of power). Pewahyuan al-Qur‟ān sendiri diyakini berlangsung kurang lebih
selama 23 tahun. Lamanya kurun waktu pewahyuan memberikan kekhasan tersendiri bagi alQur‟ān. Kekhasan pertama terletak pada pembagian periode dalam al-Qur‟ān yang dikaitkan
dengan daerah di mana Nabi Muhammad SAW berada ketika ayat tertentu diturunkan.
Secara umum periode pewahyuan dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Surah
Makkiyah, Madaniyah, dan yang diperlisihkan Surah Makkiyah umumnya dimengerti
sebagai surah yang diturunkan saat Nabi Muhammad SAW masih merada di Mekah atau
sebelum hijrah ke Madinah. Sebaliknya surah Madaniyah adalah surah-surah yang diturunkan
ketika Nabi sudah berhijrah ke Madinah. Sementara itu, sebagian surah yang lain disebut
surah yang diperselisihkan karena adanya ketidaksepahaman tentang kapan dan di mana
surah tersebut diturunkan.
Meskipun Surah Makkiyah dan Madaniyah dibedakan secara jelas, tetapi tetap saja
ditemukan ayat-ayat Madaniyah dalam surah-surah Makkiyah dan demikian pula sebaliknya.
Madaniyah terdiri dari 20 surah: (1) al- Baqarah; (2) Ali ‚Imran; (3) an-Nisa‟; (4) a lMa‟idah; (5) al-Anfal; (6) at-Taubah; (7) an-Nur; (8) al-Ahzab; (9) Muhammad SAW; (10)
al-Fath; (11) al-Hujurat; (12) al-Hadid; (13) al-Mujadalah; (14) al-Hasyr; (15) alMumtahanah; (16) al-Jumu‟ah; (17) al-Munafiqun; (18) at-Talaq; (19) at- tahrim; dan (20)
an-Nasr. Sementara itu yang diperselisihkan berjumlah 12 surah: (1) al-Fatihah; (2) ar-Ra‟d;
(3) ar-Rahman; (4) as-saff; (5) at- Tagabun; (6) at-Tatfif; (7) al-Qadar; (8) al-Bayyinah; (9)
az-Zalzalah; (10) al-Ikhlas; (11) al-Falaqi; dan (12) an-Nas. Dan sisanya, yaitu 82 surah,
digolongkan sebagai surah Makkiyah (Sirry, 2013; Amal, 2013). Mengetahui pembagian
periode itu menjadi penting sebagai alat bantu dalam menafsirkan al-Qur‟ān mengingat
masing-masing periode memiliki kekhasan tertentu.
Dalam kaitannya dengan umat beragama lain yang bersinggungan dengan Nabi
Muhammad SAW saat proses pewahyuan al-Qur‟ān masih berlangsung Mun‟in Sirry
mengulas secara menarik tentang kekhasan dua periode tersebut (Sirry, 2013: 11-33).
Menurutnya di Mekah, al-Qur‟ān kebanyakan mengarahkan gugatannya (baca: bersikap
negatif) terhadap agama Arab pagan. Situasi ini terkait dengan keyakinan orang-orang Arab
pagan yang menyembah banyak allah (politeisme). Selama berada di Mekah, Muhammad
SAW berhadapan dengan tantangan untuk berdakwah kepada orang-orang Arab pagan agar
meninggalkan penyembahan berhala dan beralih menyebah kepada Allah yang Esa seperti

9

yang terdapat dalam surah al-Haj (22):30-31. 7 “Maka bersujudlah Para Malaikat itu
semuanya bersama-sama, kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud
itu.”8

Jika al-Quran yang “berbahasa langit” tidak terlepas dari dinamika budaya (muntaj alṡaqāfah),1 maka apalagi hadis yang jelas-jelas merupakan “bahasa bumi” dari Nabi atas
peristiwa sosial pada masanya. Tentu saja ada keterikatan- kerikatan ruang-waktu yang
membelenggunya. Itu sebabnya, dibutuhkan kreatifitas-negosiatif untuk “menghidupkan”
hadis dalam kehidupan kekinian. Kenyataan hadis yang tidak sama dengan al-Quran, baik
pada tingkat kepastian hadirnya teks (qaṭ„ī al-wurūdah) maupun pada taraf kepastian argumen
(qaṭ„ī al-dalālah), dihadapkan pada fakta tidak adanya “jaminan otentik” yang menjamin
kepastian teks dan maknanya. Hadis bersifat ẓannī, tidak qaṭ„ī sebagaimana al-Quran. Tidak
adanya jaminan otentisitas ini memaksa disiplin ilmu hadis, melalui para pengkajinya,
bersusah payah merumuskan secara swadaya (tanpa kepastian dari Tuhan) konsep yang bisa
menjamin otentisitasnya, seperti rumusan untuk menguji sanad-nya, matan-nya, sebab
hadirnya, berikut derivasinya. Akan tetapi, pembacaan sosio-historis terhadap masa
pembukuan dan pembakuan hadis (yang “mematenkan” struktur bahasa dan periwayatan
hadis) tampaknya belum mendapat kajian yang memadai. Itu sebabnya, demi menemukan
otentisitas teks dan ketepatan maknanya, ruang kosong tersebut perlu mendapatkan
“perhatian khusus”.

9

Alquran adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala
sumber, basis bagi segala sains dan ilmu pengetahuan. Alquran adalah buku induk ilmu
pengetahuan, di mana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan, semuanya telah diatur
di dalamnya, baik yang berhubungan dengan Allah (hablum minallah) sesama manusia
(hablum minannas) alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu emperis,
ilmu agama, umum dan sebagainya. Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur‟an, memiliki
segenap mu‟jizat yang sungguh luar biasa. Ia diturunkan pada saat di mana masyarakat sangat
gemar dan cenderung dengan sastera dan syair-syair Arab. Masyarakat Arab pada saat itu
sangat kagum dan apresiatif terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mampu untuk
menggubah syair-syair indah. Perlombaan tahunan dilakukan untuk mencari siapa pujangga
Arab yang paling mahir pada saat itu yang begitu dielu- elukan. Di tengah eforia masyarakat
Wahyu Nugroho, “Orang Kristen Dalam Al-Qur‟an Belajar Dari Tafsir Surah Al-Baqarah (2):62 Dan
Al-Ma‟idah (5):82-83,” Gema Teologi 39, No. 2 (Oktober 2015): 208.
8
QS. Al Hijr: 30-31, n.d.
9
Kholis Hauqola, “Hermeneutika Hadis: Upaya Memecah Kebekuan Teks N.,” Teologia 24, no. 1 (Juni
2013): 2.
7

10

Arab terhadap sastra pada saat itu turunlah al- Qur‟an yang isinya sungguh luar biasa yang
tidak bisa ditandingi oleh seorang pujanggapun pada saat itu bahkan hingga akhir zaman.
Turunnya al-Qur‟an membuat para pujangga Arab terkesima dan merasa kagum terhadap
isinya yang belum pernah mereka temukan sebelumnya. Tidak sedikit dari mereka yang
bertanya-tanya, ada apa dibalik kekaguman mereka.
Bagi mereka yang memperturutkan keingin-tahuan mereka, berusaha mencari apa
sebenarnya al-Qur‟an itu. Ternyata setelah mereka mengetahui al-Qur‟an adalah firman
Allah, baru mereka paham mengapa isi al-Qur‟an itu demikian hebat dan agung. Hal inilah
yang membuat sebagian besar mereka beriman dan mengikuti orang yang membawa alQur‟an itu, yaitu nabi Muhammad SAW. Pasca al-Qur‟an turun muncul beberapa persoalan,
di antaranya adalah persoalan pemahaman terhadap ayat-ayatnya (tafsir). Semasa Nabi
Muhammad masih hidup persoalan ini tidak terlalu mengemuka. Hal ini disebabkan oleh
orang-orang di sekeliling beliau (para sahabat) selalu bertanya terhadap segala persoalan
yang menyangkut dengan pemahaman terhadap ayat al-Qur‟an. Di samping itu mereka juga
menyaksikan proses turunnya dan para sahabat adalah orang-orang yang sangat paham
dengan bahasa Arab itu sendiri.
Dengan demikian, Alquran dan Hadits merupakan sumber ilmu yang dikembangkan
oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam
ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu
adalah: Pertama, prinsip- prinsip semua ilmu dipandang kaum Muslimin terdapat dalam Al
Qur‟an. Dan sejauh pemahaman terhadap Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat
esoteris terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misterimisteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang
berguna untuk pembangunan paradigma ilmu. Kedua, Alquran dan Hadits menciptakan iklim
yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan
menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada
penegasan Tauhid.
Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan Alquran dan
Hadits merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Singkatnya, Alquran
dan Hadits menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam
konformitas. Wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW berasal dari Allah SWT,
merupakan sumber pengetahuan yang paling pasti. Namun, Alquran juga menunjukkan
sumber-sumber pengetahuan lain disamping apa yang tertulis di dalamnya, yang dapat

11

melengkapi kebenaran wahyu. Pada dasarnya sumber-sumber itu diambil dari sumber yang
sama, yaitu Allah SWT, asal segala sesuatu.
Namun, karena pengetahuan yang tidak diwahyukan tidak diberikan langsung oleh
Allah SWT kepada manusia, dan karena keterbatasan metodologis dan aksiologis dari ilmu
non-wahyu tersebut, maka ilmu-ilmu tersebut di dalam Islam memiliki kedudukan yang tidak
sama dengan ilmu pengetahuan yang langsung diperoleh dari wahyu. Sehingga, di dalam
Islam tidak ada satupun ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari bangunan epitemologis
Islam, ilmu-ilmu tersebut tidak lain merupakan bayan atau penjelasan yang mengafirmasi
wahyu, yang kebenarannya pasti. Di sinilah letak perbedaan epistemologi sekuler dengan
epistemologi Islam.

C.

10

Sejarah Metodologi Interpretetion Al-Qur’an dan Hadist
Secara etimologi kata tafsir berasal dari bahasa Arab yang berbentuk mashdar dari kata

fassar-yufassiru-tafsiran yang berarti al- bayan atau al-idhah (penjelasan, uraian, keterangan,
interpretasi dan komentar). Ada juga yang mengatakan kata tafsir berasal dari kata fasr dan
tafsirah yang berarti pengamatan dokter terhadap air (al-fasr) dan urine yang digunakan
sebagai indikator penyakit (tafsirah). Secara umum perkataan tafsir mengandung arti
menjelaskan, menguraikan atau dapat dikatakan bahwa tafsir mengandung arti penjelasan
atau penafsiran. Sementara itu, secara konseptual tafsir sering didefiniskan sebagai kasyf almurad „an al-lafdh al-musykil (menjelaskan apa yang dimaksudkan dari kalimat yang sulit)
Dalam bahasa teknis, tafsir lalu digunakan dalam arti penjelasan, penafsiran dan komentar
terhadap al-Quran yang berisi langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan yang
berperan membantu memahami al Quran, menjelaskan makna dan mengklarifikasi implikasiimplikasi hukumnya. Karena itu, para praktisi tafsir mendefenisikan tafsir sebagai ilmu yang
berhubungan dengan upaya memahami atau menjelaskan makna al-Quran dalam batas
kapasitas manusia.
Tafsir secara bahasa berarti menerangkan dan menjelaskan. Manna‟ Khalil al-Qatthan
menjelaskan bahwa arti tafsir secara bahasa adalah menyingkap. Sedangkan menurut istilah
tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw, menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Abu
Hayyan dalam al-Bahrul Muhith menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas
tentang cara menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur‟an, maksud-maksudnya, berbagai hukumnya
Sayid Qutub, “Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan Dalam Al Qur‟an dan Hadits,” Humaniora 2, no. 2
(Oktober 2011): 1349.
10

12

dan makna yang terkandung di dalamnya. Salah satu persoalan dasar dalam studi hadith
adalah masalah keaslian hadith, disebabkan karena sedikitnya sumber data dalam bentuk
tulisan dari abad pertama Islam. Di antara perkembangan paling baru dalam studi hadith
adalah tentang makna hadith bagi masyarakat. Salah satu di antaranya adalah munculnya
ketertarikan dalam perdebatan tentang otoritas hadith di kalangan Muslim, yang sudah mulai
muncul dari waktu ke waktu dalam sejarah Islam tetapi menjadi lebih intensif pada masa
sekarang.
Di beberapa negara Islam banyak karya yang mempertanyakan posisi hadith dalam
pemikiran keagamaan Islam yang ditandai dengan pembatasan peran hadith.11Dari abad ke-9,
kekuatan untuk menafsirkan dan memperbaiki hukum di masyarakat Islam tradisional ada di
tangan para ulama (fuqaha ), As-Sunnah terutama terkandung dalam hadits atau periwayatan
berisi sabda Nabi Muhammad (saw), tindakan diam- diamnya sebagai sikap persetujuannya.
Sementara hanya ada satu al-Quran, ada kompilasi banyak hadis dengan menyusun sistem
kompilasi yang paling otentik selama periode 850-915 Masehi. Enam diakui oleh Sunni
sebagai koleksi yang disusun oleh Muhammad al-Bukhari, Muslim bin al-Hajjaj, Abu
Dawud, Tirmidzi, Al-Nasa'i, Ibnu Majah (sesuai urutan periodisasi). Koleksi oleh al-Bukhari
dan Muslim dianggap paling otentik, masing-masing mengandung sekitar 7.000 hingga
12.000 hadis, meskipun sebagian besar berupa deretan pengulangan. Hadis telah dievaluasi
pada keasliannya, dan biasanya dengan menentukan ke-„adalahan (kapabilitas dan
kredibilitas) perawi yang disilsilahkan mereka Sedang bagi Syiah, as-Sunnah juga termasuk
bersumber dari dua belas Imam.12

D.

Klasik, Modern dan Kontemporer

1.

Kontemporer
Penggunaan al-Qur‟an sebagai sumber tafsir pada masa kontemporer mengalami

pergeseran dibandingkan dengan masa sebelumnya. Shahrur yang dikenal sebagai pemikir
liberal dan bermazhab subyektifis mengajukan sejumlah pembaharuan dalam penggunaan alQur‟an sebagai sumber tafsir, namun bagi Shahrur, al-Qur‟an merupakan sumber pertama
dan utama sehingga dalam hubungannya dengan sumber lain seperti al-sunnah.13

Luluk Fikri Zuhriyah, “Metode dan Pendekatan Dalam Studi Islam Pembacaan atas Pemikiran Charles
J. Adams,” Islamica 2, no. 1 (September 2007): 38.
12
Syafaul Mudawam, “Syari‟ah-Fiqih-Hukum Islam Studi tentang Konstruksi Pemikiran Kontemporer,”
Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 46, no. II (Juli 2012): 408–500.
13
Nur Mahmudah, “Al-Qur‟an Sebagai Sumber Tafsir Dalam Pemikiran Muhammad Shahrur,”
Hermeunetik 8, no. 2 (Desember 2014): 259.
11

13

Kontemporer berarti sezaman atau sewaktu. Di dalam kamus Oxford Learner‟s Pocket
Dictionary dijelaskan, ada dua pengertian dari contemporary. Pertama belonging to the same
time (termasuk waktu yang sama), dan yang kedua, of the present time; modern (waktu
sekarang atau modern). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kontemporer adalah pada masa
kini atau dewasa ini. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer
adalah yaitu sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.
Dari berbagai definisi dan pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir
kontemporer adalah penafsiran al-Qur‟an yang muncul dan berkembang dimulai semenjak
akhir abad ke-19 sampai saat ini. Pengertian ini sejalan dengan pendapat az-Zahabi dalam
Tafsir wa al-Mufassirun yang menyebutkan tafsir kontemporer dengan at-Tafsir fi al-„Ashr
al-Hadits yaitu tafsir di masa modern. Tafsir kontemporer mulai muncul berkenaan dengan
istilah pembaharuan yang sangat gencar dipopulerkan oleh

beberapa ulama yang

menginginkan Islam sebagai agama yang sudah sejak 14 abad silam. Pemahaman al-Qur‟an
yang terkesan “jalan di tempat” ini sungguh menghilangkan ciri khas al-Qur‟an sebagai kitab
yang sangat sempurna dan komplit sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik
maupun modern.

Ada dua poin penting seruan Muhammad Abduh tentang penafsiran

modern (kontemporer) yaitu: pertama, membebaskan pikiran manusia dari belenggu taqlid
dan yang kedua, mereformasi susunan bahasa Arab dalam redaksi
Ada tiga sumber penafsiran yang sudah masyhur di kalangan para mufassir yaitu bil
Ma‟tsur, bil Ra‟yi dan bil Isyaari. Sayyid Rasyid Ridha mengatakan bahwa tafsir
kontemporer memiliki perpaduan bentuk antara bil Ma‟tsur dan bil Ra‟yi atau yang disebut
dengan Shahih al-Manqul wa Sharih al- Ma‟qul (menggunakan riwayat yang benar dan nalar
yang bagus). Nasruddin Baidan menyebutnya sebagai izdiwaj yaitu perpaduan antara bentuk
bil Ma‟tsur dan bil Ra‟yi. Dalam hal ini kita akan melihat salah satu contoh perpaduan
tersebut dalam al-Qur‟an. Sebagaimana penafsiran Abul Kalam Azad tentang kesatuan Tuhan
dan kesatuan agama sebagai prinsip moral dan cita sosial al-Qur‟an. Pada surat al-Fatihah
ayat pertama, beliau memahami adanya aspek kemanusiaan yang terdapat di dalam surat alFatihah. Beliau melanjutkan bahwa pujian yang dimaksud di sini ditujukan secara ketat hanya
kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Pembatasan tersebut secara manusiawi
bertujuan mengingatkan hati dan pikiran manusia akan kekuatan luar biasa yang mengatasi
seluruh makhluk, sehingga seluruh aktivitas kehidupan tertuju pada-Nya. Penafsiran ayat ini
kemudian dikuatkannya dengan QS. Ali Imran ayat 191.
Abul Kalam Azad setelah menjelaskan definisi “pujian” dalam ayat tersebut secara
nalar yang logis, kemudian menguatkan penjelasannya dengan menyebutkan ayat lain sebagai
14

penjelasan lebih lanjut. Artinya ada keterkaitan antara nalar yang disampaikannya dengan alQur‟an. Hal ini merupakan suatu usaha menafsirkan ayat al-Qur‟an sebagaimana penafsiran
nabi. Yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an. Akan tetapi, Nabi tidak menggunakan
nalarnya dalam menafsirkan al-Qur‟an, melainkan wahyu yang Allah turunkan. 14 Adapun
metode yang kerap kali digunakan oleh para mufassir kontemporer adalah metode maudhu‟i
dan metode kontekstual. Quraish Shihab mengatakan pakar yang pertama sekali merintis
metode maudhu‟i adalah seorang guru besar dari Universitas al-Azhar yaitu: Ahmad AlKuuny. Sedangkan metode kontekstual dirintis oleh Fazlur Rahman. Sedangkan corak dari
tafsir kontemporer, Muhammad Husein Az-Zahabi dalam

at-Tafsir wa al-Mufassirun

menjelaskan bahwa corak yang berkembang pada masa kontemporer ini ada lima, yaitu:
corak„ilmi, madzhabi, ilhadi, falsafi, dan adabi ijtima‟i.
a)

Corak „Ilmi
Dalam corak penafsiran „ilmi seorang mufassir dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an

cenderung menyelaraskan antara teori ilmiah atau aspek metafisika alam dengan ayat alQur‟an. Al-Qur‟an yang bersifat universal telah memberikan gambaran seluas-luasnya
tentang fenomena alam semesta, yang ternyata setelah dicocokkan sangat berkesesuaian
dengan teori ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia pada masa ini. Di antara kitab-kitab
tafsir kontemporer yang menggunakan corak ini adalah sebagai berikut : (a) Kasyf al-Asrar
an-Nuaraniyyah al-Quraniyyah karangan Imam Muhammad bin Ahmad al-Iskandari tahun
1297 H, (b) Muqaranah Ba‟dhu Mabahits al-Haiah bi al-Warid fi an-Nushuus asy- Syari‟ah
karya Abdullah Basya Fikri tahun 1315 H, (c) Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an al-Karim karya
Syeikh Thanthawi Jauhari, (d) Karya-karya harun Yahya (Adnan Oktar). Corak Madzhabi
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan nuansa atau kecenderungan seorang mufassir
terhadap madzhab aqidah yang diyakininya. Perlu diperjelas bahwa di sini bukan madzhab
yang beroperasi dalam ruang lingkup fiqh tetapi mazhab dalam ruang lingkup aqidah. Di
antara mazhab-mazhab tersebut adalah: ahlussunnah waljama‟ah (sunni), Syi‟ah, Khawarij,
Mu‟tazilah, Jabariyah, Shifatiyah, dan Murji‟ah.
Az-Zahabi berkomentar setidaknya ada tiga golongan yang mempengaruhi penafsiran
mereka antara lain ; Golongan yang tidak memahami definisi tajdid (pembaharuan) secara
kompleks. Mereka terkesan memahaminya dengan parsial dan tidak menyeluruh. Oleh sebab
itu mereka meninggalkan seluruh pendapat ulama salaf terdahulu dan menafsirkan ayat-ayat
Dedi Wahyudi dan Tuti Alafiah, “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligences dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam,” MUDARRISA: Jurnal Kajian Pendidikan Islam
8, no. 2 (2016): 260.
14

15

al-Qur‟an sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan penafsiran mereka tergolong fasid
sebagai- mana pernyataan al-Hafizh al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi di dalam kitabnya alItqan. Golongan yang tidak memiliki keilmuan tafsir secara penuh. Sehingga mereka secara
langsung merusak “keotentikan” pemahaman al-Qur‟an dengan pendapat-pendapat mereka
yang sesat lagi “menyesatkan”. Golongan yang tidak memiliki kapasitas keimanan yang
sempurna. “yang menjadi salah satu syarat mufassir”. Dan juga tidak berjalan di atas aqidah
yang benar. Terlebih lagi mereka menafsirkan al-Qur‟an dengan akalnya yang sesat dan yang
tidak diridhai oleh agam.
Corak Adabi al-Ijtima‟i Dalam corak ini mufasir dalam menjelaskan al-Qur‟an
cenderung meng- gunakan maknanya dari sudut pandang konteks status sosial untuk
menjawab segala permasalahan ummat pada saat ini. Setidaknya ada beberapa perintis di
dalam corak ini. Seperti Muhammad Shahrur, Riffat Hasan, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu
Zayd, Muhammad Arkoun, Abul Kalam Azad, Fazlur Rahman, John Wansbrough, Farid
Essack, dan Sayyid Qutb. Adapun karakteristik dari tafsir kontemporer yang menjadi
keistimewaan tafsir masa ini adalah sebagai berikut: Tidak mengandung kisah-kisah
israilliyat dan nashraniyat. Bersih dari berbagai hadits maudhu‟ (hadits palsu) yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW atau kepada sahabat-sahabat beliau. Memadukan
antara teori kekinian atau kontekstualis dengan kaedah teori al-Qur‟an, sehingga terdapat
koherensi antara keduanya. Menyingkap dengan lugas aspek keindahan bahasa al-Qur‟an,
dan sangat singkat dan penjelasannanya tidak membosankan. Dari aspek ini nantinya akan
melahirkan corak tafsir adabi ijtima‟i. Tidak ada unsur penafsiran pembelaan terhadap sekte
mazhab tertentu. Lebih tepatnya karena permasalahan penafsiran terhadap sekte mazhab
hanyaterjadi pada masa klasik (salaf), sedangkan teori ini sangat bertentangan dari definisi
tafsir kontemporer.
Tafsir kontemporer adalah penafsiran al-Qur‟anul karim yang muncul dan berkembang
dimulai semenjak akhir abad ke-19 sampai saat ini. Munculnya dilatar-belakangi oleh
adanya gerakan pembaharuan (tajdid) Islam. Para ulama (mufassir) yang sangat masyhur
dalam merintis tafsir kontemporer di antaranya adalah Fazlur Rahman, Muhammad Abduh,
Sayyid Rasyid Ridha, Muhammad Amin al-Khuli, Fathuimah binti Syathi‟dan lain-lain.
Adapun ciri khas dari tafsir kontemporer adalah: bersih dari kisah Israilliyat dan Nashraniyat,
tidak mengandung hadits palsu, menyingkap ke- indahan bahasa, mempersatukan antara teori
ilmiah yang berkembang saat ini dengan

al-Qur‟an, sumber penafsirannya berbentuk

perpaduan antara bi al-Ra‟yi dan bi al-Ma‟tsur (izdiwaj), metode yang digunakan adalah
metode ijmali, tahlili, muqarran, maudhu‟i, dan kontekstual, , Corak yang berkembang dalam
16

tafsir ini adalah al-Laun al-„Ilmi, al-Madzhabi, al-Ilhadi, adabi al-Ijtima‟i, dan Falsafi. Tafsir
kontemporer telah memberikan kontribusi yang sangat banyak terhadap berbagai persoalan
ummat di era modern. Di antaranya memunculkan metode-metode baru dalam penafsiran alQur‟an yang menghasilkan berbagai konstruksi pemikiran baru dalam khazanah keilmuan
Islam baik dalam bidang aqidah, fiqih (mu‟amalah) maupun akhlak (etika). Lebih dari itu
para mufassir kontemporer juga berupaya memunculkan gagasan-gagasan baru dalam
lapangan politik, ekonomi, militer dan sosial masyarakat.
Lebih dari itu, perubahan kehidupan masyarakat kontemporer mengandaikan perlunya
pengkajian ulang terhadap proses pembukuan (serta pembakuan) hadis, tanpa harus
menafikan muatan spiritualitas Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah. Itu
sebabnya, formula yang menyatakan Islam itu “sesuai untuk setiap waktu dan tempat” (ṣāliḥ
li kulli zamān wa makān), sebenarnya lebih menunjukkan fleksibilitas dan elastisitas Islam,
bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih menekankan pandangan
ke depan (progresif), bukan ke belakang (regresif). Untuk itu, proses pembakuan
(tekstualisasi-normatif) dan dinamisasi (kontekstualisasi-historis) ajaran Islam memang harus
berjalan bersama-sama, seiring dengan gegap-gempita perubahan masyarakat dengan
pelbagai tantangannya. Teks tidak akan mendapatkan maknanya tanpa konteks, begitupun
konteks tidak menemukan signifikansinya tanpa teks.
2.

Klasik
Beliau menjelaskan bahwasanya metode klasik sudah banyak menyebabkan

perselisihan antara para ulama. Antara kaum salaf (ortodoks) dan kaum khalaf (kontemporer).
Sehingga dibutuhkan sebuah reformasi ilmu. Penjelasan ini sejalan dengan penjelasan
Kuntowijoyo

yang menyeru islamisasi pengetahuan. Artinya mengislamkan ilmu

pengetahuan secara komplit dan abstrak tanpa dikendalikan oleh kekakuan yang memperkecil
ruang lingkup berfikir ummat muslim. Kemudian Rasyid Ridha yang kita kenal sebagai
reformis dalam bidang keilmuan agama dan sosial juga sebagai murid dari Muhammad
Abduh juga menyerukan, serta mendukung aktivitas gurunya sebagai reformer. Semenjak
tahun 1326 H, Rasyid Ridha melakukan perjalanan ke negeri Syam untuk menyumbangkan
ide-ide cemerlangnya tentang keislaman dan permasalahan penting. Tidak kalah pentingnya
Fazlur Rahman, seorang sarjana dan ilmuan dari Pakistan yang sudah menghabiskan
pembelajaran keislamannya di Amerika. Beliau mengatakan sambil mengkritisi penafsiran
klasik tentang kaedah dan pemahaman terhadap al-Qur‟an menurutnya belum kompleks dan
menyelesaikan masalah-masalah modern pada masa sekarang ini.

17

Dalam paradigma tafsir klasik, menurut mereka, asumsi tersebut dipahami dengan cara
memaksakan konteks apapun ke dalam teks al-Qur‟an. Akibatnya, pemahaman yang muncul
cenderung tekstualis dan literalis.15
3.

Modern
Kata modern yang penulis pakai sebagai kategori mufassirun kedua mengandung dua

makna. Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh
Muhammad Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan
yang dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur‟ān dan Sunnah). Mufassir Sayyid Qutb Kata
modern yang penulis pakai sebagai kategori mufassirun kedua mengandung dua makna.
Makna pertama sejalan dengan semangat pemurniaan Islam yang diawali oleh Muhammad
Abdul Wahab pada abad 18 Masehi, yaitu mengembalikan Islam sesuai dengan yang
dinyatakan dalam sumber imannya (al-Qur‟ān dan Sunnah). Mufassir Sayyid Qutb. Dalam
interpretasi pada ayat diatas menjelaskan bahwa dalam Islam memprioritaskan dalam koridor
mencermati semua kepemilikannya dipastikan halal. Sedangkan batas minimum dan
maksimum standar kehidupan Muslim tidak ditentukan dalam al-Qur‟an secara konkrit
berarti secara analogi ummat Muslim dibenarkan menguasai harta yang banyak akan tetapi
tidak dalam keadaan mencintai harta tersebut secara berlebihan.16

E.

Simpulan
Islam merupakan salah satu agama samawi yang diyakini oleh pemeluknya sebagai

jalan hidup (way of life), tidak dapat dipungkiri transformasi mental dan sosial yang dibawah
oleh Islam telah menarik perhatian berbagai kalangan akademisi baik yang beragama Islam
(insider) maupun non muslim (outsider). Sebagai kitab suci ummat Islam, al-Qur‟an,
memiliki segenap mu‟jizat yang sungguh luar biasa. Alquran adalah kitab induk, rujukan
utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, basis bagi segala sains dan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, Alquran dan Hadits merupakan sumber ilmu yang
dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya.
Secara umum perkataan tafsir mengandung arti menjelaskan, menguraikan atau dapat
dikatakan bahwa tafsir mengandung arti penjelasan atau penafsiran. Sementara itu, secara
konseptual tafsir sering didefiniskan sebagai kasyf al-murad „an al-lafdh al-musykil
(menjelaskan apa yang dimaksudkan dari kalimat yang sulit) Dalam bahasa teknis, tafsir lalu
Asep Setiawan, “Studi Kritis atas Teori Ma‟na -cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur‟an,” Jurnal
Kalimah 14, no. 2 (September 2016): 228, doi:http://dx.doi.org/I 0.2 I I I I/klm/v/4i2.6I4.
16
Nurkhalis, “Positifikasi Asketisme Dalam Islam Dengan Pendekatan Paradigma Klasik dan M