Sejarah Mali Emas di Tengah Gurun Pasir
Sejarah Mali: Emas di Tengah
Gurun Pasir
Saat ini, Mali dikenal sebagai salah satu negara termiskin di
dunia. Harapan hidup dan angka melek huruf pun sangat rendah.
Kekerasan yang dilakukan oleh pemberontak dari suku Tauregs di
wilayah utara Mali mengancam negara miskin itu ter-disintegrasi
menjadi dua wilayah. Hal ini yang menjadikan Mali kian disorot
akhir-akhir ini. Namun Mali memiliki perjalanan sejarah yang tidak
selalu negatif dan menyedihkan. Dahulu, Mali adalah contoh
konkret dari kesuksesan sebuah kerajaan Islam. Hal itu membuat
iri masyarakat dunia. Di sana ada harta karun, sebuah tambang
emas di padang gurun.
Geograpi
Mali terletak di sebelah selatan Gurun Sahara. Ada sebuah batas
garis yang mencolok di sana; di sebelah Utara terdapat sebuah
padang pasir yang gersang dan tandus berbatasan dengan hutan
hujan di sebelah selatan. Yang dikenal dengan Sahel.
Mali sangat minim akan wilayah subur. Penduduk setempat lebih
memilih memanfaatkan tanah sebagai lahan tambang barang
yang bernilai. Emas dan garam telah menjadi komoditi yang
menggeliatkan perekonomian masyarakat Mali selama ratusan
tahun. Jalur perdagangan yang saat itu terbentang dari Mali ke
pantai Afrika Utara meberikan berkah bagi mereka. Para
pedagang di pantai Afrika Utara akan membayar mahal emas dan
garam hasil bumi Mali yang kemudian diekspor ke Eropa dan ke
Asia Barat atau Timur Tengah. Jalur perdagangan ini sangat
menguntungkan dan membuat etnis Mandinka (etnis utama di
Afrika Barat) menjadi orang-orang kaya.
Rute perdagangan di Afrika
Perkembangan Islam di Mali
Di jalur-jalur perdagangan, transaksi tidak hanya pada barangbarang dagangan saja. Pedagang muslim juga membawa Islam
selain membawa barang dagangan mereka. Sambil bertransaksi
emas dan garam, dakwah Islam juga gencar dilakukan. Dari tahun
700-an dan seterusnya, Islam perlahan mulai memiliki basis di
Sahel Afrika Barat. Awalnya negara-negara non muslim dari
Afrika Barat mencoba menghambat penyebaran Islam. Mereka
mengupayakan agar Islam tidak masuk di komunitas-komunitas
besar dengan cara memisahkan umat Islam dengan komunitas
tersebut. Namun upaya itu tidak berarti banyak, Islam semakin
diterima masyarakat dan negara-negara muslim pun mulai
bermunculan.
Kerajaan Islam pertama di Mali didirikan oleh seseorang yang
bernama Sundiata Keita. Ia merupakan seorang tokoh di masanya
dan legenda bagi orang-orang setelahnya. Kisah tentangnya terus
bergulir dalam kurun abad sejarah masyarakat Mali. Masa yang
lama dan daya ingat yang lemah membawa cerita tentang dirinya
menjadi kabur dan rancu bahkan cenderung diada-ada. Ada yang
mengisahkan bahwa ia memiliki kemampuan luar biasa, bisa
mencabut pohon besar seakar-akarnya kemudian di tanam lagi di
halaman rumah ibunya. Namun satu hal yang disepakati, dialah
pendiri kerajaan Islam pertama di Mali dan memiliki peranan yang
penting dalam pertumbuhan populasi umat Islam di Afrika Barat,
khususnya di tahun 1230. Dia menyebut raja dengan istilah
Mansa dalam bahasa Mandinka.
Mansa Musa dan Perjalanan Hajinya
Mansa kesepuluh Mali adalah Musa I, yang memerintah dari
1312-1377. Dia naik tahta tatkala saudaranya, Mansa Abu Bakar,
memimpin ekspedisi melintasi Samudera Atlantik untuk
menemukan benua Amerika jauh sebelum Columbus. Kisah paling
pemerintahan Mansa Musa menyebar dan banyak diketahui
lantaran perjalanan hajinya pada tahun 1324.
Sebagai seorang muslim yang taat, Mansa Musa bersikeras
menyempurnakan rukun Islam, yakni rukun Islam yang kelima
ibadah haji ke Mekah. Lokasi tempat tinggalnya yang jauh dan
terpencil membuat perjalanan spiritual ini dirasa sulit dan
mustahil bagi sebagian orang, bahkan di dunia modern saat ini
pun masih ada orang yang beranggapan demikian. Pada tahun
1324 Musa berangkat dari Mali dengan rombongan 60.000 orang
menuju tanah suci.
Gambaran Mansa Musa dari atlas Eropa
Dengan image sebagai salah satu kerajaan terkaya di dunia,
kafilah ini pun harus membuat kesan yang baik di daerah-daerah
yang mereka lewati. 12.000 pelayan Musa menemaninya dalam
perjalanan, masing-masing pelayan mengenakan sutra yang
mahal dan membawa £ 4 emas. 80 ekor iring-iringan onta
berbaris bagaikan mobil-mobil rombongan pemimpin negara di
era sekarang. Masing-masing onta membawa antara 50-300 pon
serbuk emas. Kemudian didermakan kepada orang miskin di
sepanjang perjalanan. Hewan-hewan eksotis dan orang-orang dari
semua lapisan masyarakat turut memperkuat kesan “wah” bagi
orang-orang yang melihat rombongan ini. Banyak riwayat dan
kisah dari berbagai daerah tentang perjalanan ini semakin
membuktikan glamornya prosesi perjalanan ini.
Dalam perjalanan menuju Mekah ini, Mansa Musa sempat
singgah di Mesir. Namun ia menolak bertemu dengan Sultan
Mamluk penguasa Mesir, karena ia enggan melakukan ritual
membungkukkan badan untuk memberi hormat kepada sang
sultan. Musa tahu hal itu tidak diperkenankan dalam Islam,
karena bentuk pernghormatan demikian hanyalah
dipersembahkan kepada Allah bukan kepada selain-Nya. Dia
membuat kesan cukup mendalam pada jajaran pemerintahan
Dinasti Mamluk, para pejabat tersebut kagum dengan
pemahaman Musa terhadap Alquran, menjaga shalat di awal
waktu, dan kesalehan pribadinya.
Saat di Mesir, Musa memperlakukan orang-orang yang ada di
Mesir sama dengan orang-orang yang ia temui di sepanjang
safarnya, baik rakyat maupun para pejabat. Ia membagi-bagikan
emas kualitas terbaik hasil bumi Mali. Tak disangka, apa yang
dilakukan Musa malah berdampak buruk terhadap perekonomian
Mesir. Harga emas di Mesir jadi anjlok dan melupuhkan
perekonomian Mesir. Satu dekade kemudian (10 tahun), Ibnu
Bathutah mengunjungi Mesir, ia mencatat kedermawanan Musa
yang kontraproduktif bagi masyarakat setempat, masih terasa.
Dari sini kita mengetahui betapa kayanya Mali dan kuatnya
perekonomian mereka hingga bisa berpengaruh pada negara lain
yang cukup jauh dari wilayah mereka.
Kembali Ke Mali
Dalam perjalanan kembali ke tanah airnya setelah haji, Mansa
Musa bersikeras membawa intelektual-intelektual muslim dan
orang yang paling berbakat untuk kerajaannya. Dengan kekayaan
yang sangat besar, ia berani membayar cendekiawan, seniman,
guru, arsitek, dan orang-orang dari semua profesi untuk datang
ke Mali dan berkontribusi pada pertumbuhan Islam di sana.
Orang-orang hebat dibawa ke Mali dari Mesir, Suriah, Irak,
Andalus, dan Hijaz.
Masjid Sankore dan universitas di Timbukutu dengan arsitektur khas Mali
Kebijakan Musa ini membawa efek yang sangat signifikan bagi
perkembangan Mali. Arsitektur bangunan di Mali mulai
menunjukkan corak arsitektur Spanyol, Arab, dan Persia.
Akulturasi unik ini menciptakan karakteristik baru, gaya Afrika
Barat yang masih terlihat pada arsitektur mereka kini. Kota
legendaris Timbuktu mendapat perhatian Mansa Musa Haji secara
khusus, dengan dibangunnya banyak masjid. Seperti Masjid
Sankore yang dibangun oleh arsitek terbaik di dunia, Ibnu Ishaq.
Mansa Musa membayar sang arsitek Andalusia itu dengan 200 Kg
emas sebagai upah pembangunan Masjid Sankore di Timbuktu.
Finansial kerajaan yang kuat, mampu membayar arsitek terbaik,
ulama, dan guru sehingga membuat Mali, dan Timbuktu secara
umum menjadi pusat pengetahuan Islam.
Pusat Ilmu Pengetahuan
Dampak yang paling signifikan dari program Musa Haji di Mali
adalah kerajaan tersebut tumbuh sebagai pusat pengetahuan.
Dengan ulama terbaik dari seluruh dunia Islam, Mali
mengembangkan salah satu tradisi pendidikan terkaya di dunia
pada saat itu. Perpustakaan ada di seluruh kota seperti Gao dan
Timbuktu. Perpustakaan pribadi dan umum memiliki ribuan buku
tentang materi fiqh Islam, astronomi, bahasa, sejarah, dll.
Universitas besar menarik siswa berbakat dari seluruh Afrika
untuk datang belajar di wilayah pusat pengetahuan ini.
Tradisi pengetahuan di Mali berlangsung sampai hari ini.
Kalangan keluarga masih memiliki koleksi buku di perpustakaan
pribadi dengan ratusan buku. Banyak dari buku-buku tersebut
sudah berusia ratusan tahun. Orang-orang Mali sangat menjaga
pengetahuan yang telah diwariskan dari zaman Mansa Musa,
sampai-sampai sangat sulit bagi orang luar untuk mengakses
buku-buku di perpustakaan besar.
Manuskrip dari Timbuktu tentang astronomi dan matematika.
Karena lingkungan mengancam buku-buku tersebut mengalami
kerusakan, naskah-naskah kuno ini sekarang diperlihara lembaga
desertifikasi dari Sahel. Masalah politik di Afrika Barat juga jadi
ancaman yang bisa menghancurkan naskah kuno peninggalan
sejarah itu. Karena itu, upaya membuat buku-buku tersebut
dalam versi digital sedang diupayakan demi menjaga
keberadaannya. Yayasan Pendidikan Timbuktu menjadi lembaga
terdepan yang mengupayakan pen-digitalan buku, sebelum buku-
buku tersebut punah dimakan usia. Berkat jasa yayasan ini, kita
bisa membaca buku-buku tersebut secara online.
Karena Mali menjadi pusat pengetahuan di Afrika Barat, Islam
pun memiliki tempat istimewa dalam kehidupan masyarakat
setempat. Lumrah, orang-orang biasa bisa menjadi pribadi yang
berpendidikan, baik di bidang agama maupun ilmu-ilmu dunia.
Efek pengetahuan ini terekam dalam catatan perjalanan Ibnu
Bathutah ke Mali pada tahun 1350-an. Ibnu Bathutah mengatakan
bahwa jika seorang pria ingin memiliki tempat duduk di shaf
masjid saat shalat Jumat, maka dia harus mengirim putranya
beberapa jam sebelum shalat dimulai agar ia dapat tempat di
ruang masjid, karena masjid akan sangat penuh meskipun masih
awal waktu.
Kesimpulan
Pentingnya possi Mali dan kontribusinya pada dunia bukanlah
suatu yang dilebih-lebihkan. Dalam sejarahnya, Mali adalah salah
satu pusat pengetahuan dan kekayaan Islam. Pengaruh Mali
terhadap dunia mulai menurun sejak abad ke-16 hingga 18,
sampai datang Prancis menjajah negeri tersebut pada tahun
1800-an. Rekam jejak sejarah ini tidak akan hilang. Hal ini akan
terus hidup dalam perjalanan umat Islam di Afrika Barat, dan
warisan itu akan tetap ada menjadi sumbangan bagi peradaban
dunia.
Sumber:
– Hamdun, Said, and Noel King. Ibn Battuta in Black Africa. 2nd
ed. Bellew Publishing Co Ltd, 1975. Print.
– Hill, M. (Jan, 209). The Spread of Islam in West Africa.
Retrieved from
http://spice.stanford.edu/docs/the_spread_of_islam_in_west_africa
_containment_mixing_and_reform_from_the_eighth_to_the_twenti
eth_century/
– Morgan, M. (2007). Lost History. Washington D.C. : National
Geographic Society.
– Quick, A. H. (2007). Deeper Roots. (3rd ed.). Cape Town: DPB
Printers and Booksellers.
– Diadaptasi dari artikel: http://lostislamichistory.com/a-goldmine-in-the-desert-the-story-of-mali/
Gurun Pasir
Saat ini, Mali dikenal sebagai salah satu negara termiskin di
dunia. Harapan hidup dan angka melek huruf pun sangat rendah.
Kekerasan yang dilakukan oleh pemberontak dari suku Tauregs di
wilayah utara Mali mengancam negara miskin itu ter-disintegrasi
menjadi dua wilayah. Hal ini yang menjadikan Mali kian disorot
akhir-akhir ini. Namun Mali memiliki perjalanan sejarah yang tidak
selalu negatif dan menyedihkan. Dahulu, Mali adalah contoh
konkret dari kesuksesan sebuah kerajaan Islam. Hal itu membuat
iri masyarakat dunia. Di sana ada harta karun, sebuah tambang
emas di padang gurun.
Geograpi
Mali terletak di sebelah selatan Gurun Sahara. Ada sebuah batas
garis yang mencolok di sana; di sebelah Utara terdapat sebuah
padang pasir yang gersang dan tandus berbatasan dengan hutan
hujan di sebelah selatan. Yang dikenal dengan Sahel.
Mali sangat minim akan wilayah subur. Penduduk setempat lebih
memilih memanfaatkan tanah sebagai lahan tambang barang
yang bernilai. Emas dan garam telah menjadi komoditi yang
menggeliatkan perekonomian masyarakat Mali selama ratusan
tahun. Jalur perdagangan yang saat itu terbentang dari Mali ke
pantai Afrika Utara meberikan berkah bagi mereka. Para
pedagang di pantai Afrika Utara akan membayar mahal emas dan
garam hasil bumi Mali yang kemudian diekspor ke Eropa dan ke
Asia Barat atau Timur Tengah. Jalur perdagangan ini sangat
menguntungkan dan membuat etnis Mandinka (etnis utama di
Afrika Barat) menjadi orang-orang kaya.
Rute perdagangan di Afrika
Perkembangan Islam di Mali
Di jalur-jalur perdagangan, transaksi tidak hanya pada barangbarang dagangan saja. Pedagang muslim juga membawa Islam
selain membawa barang dagangan mereka. Sambil bertransaksi
emas dan garam, dakwah Islam juga gencar dilakukan. Dari tahun
700-an dan seterusnya, Islam perlahan mulai memiliki basis di
Sahel Afrika Barat. Awalnya negara-negara non muslim dari
Afrika Barat mencoba menghambat penyebaran Islam. Mereka
mengupayakan agar Islam tidak masuk di komunitas-komunitas
besar dengan cara memisahkan umat Islam dengan komunitas
tersebut. Namun upaya itu tidak berarti banyak, Islam semakin
diterima masyarakat dan negara-negara muslim pun mulai
bermunculan.
Kerajaan Islam pertama di Mali didirikan oleh seseorang yang
bernama Sundiata Keita. Ia merupakan seorang tokoh di masanya
dan legenda bagi orang-orang setelahnya. Kisah tentangnya terus
bergulir dalam kurun abad sejarah masyarakat Mali. Masa yang
lama dan daya ingat yang lemah membawa cerita tentang dirinya
menjadi kabur dan rancu bahkan cenderung diada-ada. Ada yang
mengisahkan bahwa ia memiliki kemampuan luar biasa, bisa
mencabut pohon besar seakar-akarnya kemudian di tanam lagi di
halaman rumah ibunya. Namun satu hal yang disepakati, dialah
pendiri kerajaan Islam pertama di Mali dan memiliki peranan yang
penting dalam pertumbuhan populasi umat Islam di Afrika Barat,
khususnya di tahun 1230. Dia menyebut raja dengan istilah
Mansa dalam bahasa Mandinka.
Mansa Musa dan Perjalanan Hajinya
Mansa kesepuluh Mali adalah Musa I, yang memerintah dari
1312-1377. Dia naik tahta tatkala saudaranya, Mansa Abu Bakar,
memimpin ekspedisi melintasi Samudera Atlantik untuk
menemukan benua Amerika jauh sebelum Columbus. Kisah paling
pemerintahan Mansa Musa menyebar dan banyak diketahui
lantaran perjalanan hajinya pada tahun 1324.
Sebagai seorang muslim yang taat, Mansa Musa bersikeras
menyempurnakan rukun Islam, yakni rukun Islam yang kelima
ibadah haji ke Mekah. Lokasi tempat tinggalnya yang jauh dan
terpencil membuat perjalanan spiritual ini dirasa sulit dan
mustahil bagi sebagian orang, bahkan di dunia modern saat ini
pun masih ada orang yang beranggapan demikian. Pada tahun
1324 Musa berangkat dari Mali dengan rombongan 60.000 orang
menuju tanah suci.
Gambaran Mansa Musa dari atlas Eropa
Dengan image sebagai salah satu kerajaan terkaya di dunia,
kafilah ini pun harus membuat kesan yang baik di daerah-daerah
yang mereka lewati. 12.000 pelayan Musa menemaninya dalam
perjalanan, masing-masing pelayan mengenakan sutra yang
mahal dan membawa £ 4 emas. 80 ekor iring-iringan onta
berbaris bagaikan mobil-mobil rombongan pemimpin negara di
era sekarang. Masing-masing onta membawa antara 50-300 pon
serbuk emas. Kemudian didermakan kepada orang miskin di
sepanjang perjalanan. Hewan-hewan eksotis dan orang-orang dari
semua lapisan masyarakat turut memperkuat kesan “wah” bagi
orang-orang yang melihat rombongan ini. Banyak riwayat dan
kisah dari berbagai daerah tentang perjalanan ini semakin
membuktikan glamornya prosesi perjalanan ini.
Dalam perjalanan menuju Mekah ini, Mansa Musa sempat
singgah di Mesir. Namun ia menolak bertemu dengan Sultan
Mamluk penguasa Mesir, karena ia enggan melakukan ritual
membungkukkan badan untuk memberi hormat kepada sang
sultan. Musa tahu hal itu tidak diperkenankan dalam Islam,
karena bentuk pernghormatan demikian hanyalah
dipersembahkan kepada Allah bukan kepada selain-Nya. Dia
membuat kesan cukup mendalam pada jajaran pemerintahan
Dinasti Mamluk, para pejabat tersebut kagum dengan
pemahaman Musa terhadap Alquran, menjaga shalat di awal
waktu, dan kesalehan pribadinya.
Saat di Mesir, Musa memperlakukan orang-orang yang ada di
Mesir sama dengan orang-orang yang ia temui di sepanjang
safarnya, baik rakyat maupun para pejabat. Ia membagi-bagikan
emas kualitas terbaik hasil bumi Mali. Tak disangka, apa yang
dilakukan Musa malah berdampak buruk terhadap perekonomian
Mesir. Harga emas di Mesir jadi anjlok dan melupuhkan
perekonomian Mesir. Satu dekade kemudian (10 tahun), Ibnu
Bathutah mengunjungi Mesir, ia mencatat kedermawanan Musa
yang kontraproduktif bagi masyarakat setempat, masih terasa.
Dari sini kita mengetahui betapa kayanya Mali dan kuatnya
perekonomian mereka hingga bisa berpengaruh pada negara lain
yang cukup jauh dari wilayah mereka.
Kembali Ke Mali
Dalam perjalanan kembali ke tanah airnya setelah haji, Mansa
Musa bersikeras membawa intelektual-intelektual muslim dan
orang yang paling berbakat untuk kerajaannya. Dengan kekayaan
yang sangat besar, ia berani membayar cendekiawan, seniman,
guru, arsitek, dan orang-orang dari semua profesi untuk datang
ke Mali dan berkontribusi pada pertumbuhan Islam di sana.
Orang-orang hebat dibawa ke Mali dari Mesir, Suriah, Irak,
Andalus, dan Hijaz.
Masjid Sankore dan universitas di Timbukutu dengan arsitektur khas Mali
Kebijakan Musa ini membawa efek yang sangat signifikan bagi
perkembangan Mali. Arsitektur bangunan di Mali mulai
menunjukkan corak arsitektur Spanyol, Arab, dan Persia.
Akulturasi unik ini menciptakan karakteristik baru, gaya Afrika
Barat yang masih terlihat pada arsitektur mereka kini. Kota
legendaris Timbuktu mendapat perhatian Mansa Musa Haji secara
khusus, dengan dibangunnya banyak masjid. Seperti Masjid
Sankore yang dibangun oleh arsitek terbaik di dunia, Ibnu Ishaq.
Mansa Musa membayar sang arsitek Andalusia itu dengan 200 Kg
emas sebagai upah pembangunan Masjid Sankore di Timbuktu.
Finansial kerajaan yang kuat, mampu membayar arsitek terbaik,
ulama, dan guru sehingga membuat Mali, dan Timbuktu secara
umum menjadi pusat pengetahuan Islam.
Pusat Ilmu Pengetahuan
Dampak yang paling signifikan dari program Musa Haji di Mali
adalah kerajaan tersebut tumbuh sebagai pusat pengetahuan.
Dengan ulama terbaik dari seluruh dunia Islam, Mali
mengembangkan salah satu tradisi pendidikan terkaya di dunia
pada saat itu. Perpustakaan ada di seluruh kota seperti Gao dan
Timbuktu. Perpustakaan pribadi dan umum memiliki ribuan buku
tentang materi fiqh Islam, astronomi, bahasa, sejarah, dll.
Universitas besar menarik siswa berbakat dari seluruh Afrika
untuk datang belajar di wilayah pusat pengetahuan ini.
Tradisi pengetahuan di Mali berlangsung sampai hari ini.
Kalangan keluarga masih memiliki koleksi buku di perpustakaan
pribadi dengan ratusan buku. Banyak dari buku-buku tersebut
sudah berusia ratusan tahun. Orang-orang Mali sangat menjaga
pengetahuan yang telah diwariskan dari zaman Mansa Musa,
sampai-sampai sangat sulit bagi orang luar untuk mengakses
buku-buku di perpustakaan besar.
Manuskrip dari Timbuktu tentang astronomi dan matematika.
Karena lingkungan mengancam buku-buku tersebut mengalami
kerusakan, naskah-naskah kuno ini sekarang diperlihara lembaga
desertifikasi dari Sahel. Masalah politik di Afrika Barat juga jadi
ancaman yang bisa menghancurkan naskah kuno peninggalan
sejarah itu. Karena itu, upaya membuat buku-buku tersebut
dalam versi digital sedang diupayakan demi menjaga
keberadaannya. Yayasan Pendidikan Timbuktu menjadi lembaga
terdepan yang mengupayakan pen-digitalan buku, sebelum buku-
buku tersebut punah dimakan usia. Berkat jasa yayasan ini, kita
bisa membaca buku-buku tersebut secara online.
Karena Mali menjadi pusat pengetahuan di Afrika Barat, Islam
pun memiliki tempat istimewa dalam kehidupan masyarakat
setempat. Lumrah, orang-orang biasa bisa menjadi pribadi yang
berpendidikan, baik di bidang agama maupun ilmu-ilmu dunia.
Efek pengetahuan ini terekam dalam catatan perjalanan Ibnu
Bathutah ke Mali pada tahun 1350-an. Ibnu Bathutah mengatakan
bahwa jika seorang pria ingin memiliki tempat duduk di shaf
masjid saat shalat Jumat, maka dia harus mengirim putranya
beberapa jam sebelum shalat dimulai agar ia dapat tempat di
ruang masjid, karena masjid akan sangat penuh meskipun masih
awal waktu.
Kesimpulan
Pentingnya possi Mali dan kontribusinya pada dunia bukanlah
suatu yang dilebih-lebihkan. Dalam sejarahnya, Mali adalah salah
satu pusat pengetahuan dan kekayaan Islam. Pengaruh Mali
terhadap dunia mulai menurun sejak abad ke-16 hingga 18,
sampai datang Prancis menjajah negeri tersebut pada tahun
1800-an. Rekam jejak sejarah ini tidak akan hilang. Hal ini akan
terus hidup dalam perjalanan umat Islam di Afrika Barat, dan
warisan itu akan tetap ada menjadi sumbangan bagi peradaban
dunia.
Sumber:
– Hamdun, Said, and Noel King. Ibn Battuta in Black Africa. 2nd
ed. Bellew Publishing Co Ltd, 1975. Print.
– Hill, M. (Jan, 209). The Spread of Islam in West Africa.
Retrieved from
http://spice.stanford.edu/docs/the_spread_of_islam_in_west_africa
_containment_mixing_and_reform_from_the_eighth_to_the_twenti
eth_century/
– Morgan, M. (2007). Lost History. Washington D.C. : National
Geographic Society.
– Quick, A. H. (2007). Deeper Roots. (3rd ed.). Cape Town: DPB
Printers and Booksellers.
– Diadaptasi dari artikel: http://lostislamichistory.com/a-goldmine-in-the-desert-the-story-of-mali/