Solar Power Satellite SPS Alternatif Bar

Solar Power Satellite (SPS) :
Alternatif Baru Sumber Energi Listrik untuk Masa Depan
Oleh : Yuliman Purwanto
Abstrak
Sangat terbatasnya sumber daya alam sebagai sumber primer (air, bahan bakar fossil, gas alam,
panas bumi, dll.) untuk pembangkitan energi listrik telah memacu diversifikasi pemanfaatan
sumber primer lainnya, antara lain energi nuklir dan energi matahari. Kontroversi yang
ditimbulkan oleh pembangkit bertenaga nuklir akibat tingkat resiko yang tinggi menyebabkan
pembangunan pembangkit jenis ini mengalami pro-kontra dimana-mana. Energi matahari yang
bebas pencemaran dan bersifat eternal tidak bisa memberikan kontribusi yang cukup di
permukaan bumi karena ketergantungannya pada cuaca dan adanya siklus siang-malam. Sumber
energi primer yang eternal dan bebas pencemaran ini kini sedang diusahakan untuk dimanfaatkan
semaksimal mungkin dengan cara menampungnya di angkasa luar dan mengirimkannya ke bumi.
Inilah konsep dasar sistem SPS.
Konsep yang ditemukan oleh Dr. P. E. Glaser pada tahun 1968 ini telah membuka cakrawala
baru di bidang pemanfaatan maksimal energi matahari. Prinsip dasarnya adalah pengumpulan
energi matahari oleh satelit di angkasa luar (pada orbit sinkron bumi), mengirimkan energi
tersebut dalam bentuk gelombang radio ke bumi, dan kemudian mengubahnya menjadi energi
listrik. Karena pengumpulan energi matahari (dengan sel fotovoltaik) dilakukan di luar angkasa
maka pengaruh cuaca dihilangkan dan siklus siang-malam nyaris tak terjadi. Bahkan unjuk
kerjanya meningkat tajam karena di luar angkasa (di GEO) panel sel surya akan menerima

iluminasi cahaya lebih dari 22 jam untuk setiap harinya. Secara teoritis kapasitas daya yang
mampu dibangkitkan oleh sebuah satelit jenis ini cukup besar (5~10 GW) dan dampak
lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan
oleh pembangkit berbahan bakar fossil/nuklir.

Latar Belakang
Kebutuhan energi dunia akhir-akhir ini sangat meningkat tajam, terutama dengan munculnya
negara-negara industri raksasa. Peningkatan ini akan sangat terasa pada dekade-dekade awal
abad ke-21. Sebagai contoh, pada tahun 2000 kebutuhan energi listrik dunia akan mencapai 7~8
trilyun KWH dan pada tahun 2020 akan mencapai 14,5 trilyun KWH. Pada dekade ini, bahan
bakar fossil dan gas bumi sebagai sumber primer hanya akan mampu menyumbang 5 trilyun
KWH saja[1]. Padahal sumber primer jenis ini amat sangat terbatas, dan pada suatu saat kelak
benar-benar akan habis. Tenaga nuklir sebagai alternatif diversifikasi sumber energi listrik
hingga saat ini masih dibayangi masalah bahaya pencemaran radioaktif dan penanganan limbah
yang rumit serta mahal sehingga mengakibatkan sebagian masyarakat tak menghendaki
kehadirannya karena tingkat resiko yang relatif sangat tinggi. Walaupun demikian, hingga saat
ini energi nuklir sudah menyumbang 1,65 trilyun KWH dan akan mencapai puncaknya pada
tahun 2000 (3,5 trilyun KWH). Dengan ditemukannya teknologi pemrosesan ulang limbah
nuklir, sumbangan dari sektor nuklir bisa ditingkatkan menjadi maksimum 6 trilyun KWH pada


tahun 2010. Karena bahan uranium yang digunakan juga terbatas, maka titik tertinggi ini sulit
sekali dilampaui, dan bahkan pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi penurunan. Jika pada
dasawarsa ini pemrosesan limbah nuklir bisa lebih berhasil dan memungkinkan pengoperasian
"breeder reator" (LMFBR-Liquid Metal Fast Breeder Reactor), maka bisa diharapkan
penambahan energi hingga 2 trilyun KWH (maksimum). Dengan demikian maka di tahun 2020
kekurangan energi listrik dunia adalah sejumlah 4,5 trilyun KWH.
Pemanfaatan energi matahari di permukaan bumi sebagai sumber energi listrik diperkirakan
hanya akan mampu menyumbang kurang dari 1 trilyun KWH saja karena adanya ketergantungan
pada kondisi cuaca dan siklus siang-malam, dan sangat sulit untuk ditingkatkan kapasitasnya
karena masih rendahnya efisiensi sel fotovoltaik. Keadaan ini diperburuk dengan pendeknya
periode iluminasi sinar matahari yang hanya sekitar 6~8 jam saja setiap harinya. Lebih jauh lagi,
energi matahari yang sampai ke permukaaan bumi sudah jauh menyusut dibandingkan semasa
masih di angkasa luar. Sebagai contoh, di orbit sinkron bumi (Geosynchronous Earth OrbitGEO, sekitar 36.000 km di atas khatulistiwa) kerapatan energi matahari masih sekitar 1360
W/m22[2],[6]. Setelah mengalami banyak penyerapan/pantulan selama perjalannya ke permukaan
bumi, hanya tersisa sekitar 120 W/m2(pada sudut latitude 50o).
Di GEO, perioda iluminasi sinar matahari bisa mencapai 22 jam 48 menit tanpa gangguan cuaca
sama sekali. Jika ditempatkan di GEO, panel sel surya akan menghasilkan daya 11,25 kali lebih
besar dan waktu kerja hampir 3,8 kali lebih lama jika dibandingkan dengan panel yang sama di
permukaan bumi. Dari kenyataan ini dapatlah dimengerti bahwa pengumpulan energi matahari di
luar angkasa merupakan satu-satunya cara terbaik untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi

matahari. Konsep inilah yang mendasari sistem SPS.

Konsep Dasar SPS
Dr. Peter E. Glaser pada tahun 1968 telah mencetuskan konsep dasar SPS[4]. Di dalam konsep ini,
energi matahari dihimpun oleh sebuah satelit yang ditempatkan di orbit sinkron bumi dan lazim
disebut dengan spacetenna (space antenna). Energi yang terhimpun dalam bentuk energi listrik
dikirimkan ke bumi dalam bentuk energi elektromagnetik (gelombang radio). Menggunakan
sebuah pemancar berdaya ultra tinggi, energi radio ini dikirimkan ke bumi, dan diterima oleh
sebuah sistem antena penerima (rectifying antenna, rectenna) yang akan mengubahnya menjadi
energi listrik kembali dan didistribusikan ke pemakai. Prinsip yang sangat sederhana ini ternyata
memerlukan pertimbangan, perhitungan dan evaluasi banyak aspek dengan cermat dan
mendalam, karena sistem ini boleh dikatakan baru sama sekali dan menuntut penggunaan
teknologi sangat tinggi.
Karena terbatasnya ruang maka tulisan ini hanya akan membahas secara garis besar aspek
kontruksi spacetenna, rectenna, dan dampak lingkungan.
Spacetenna
Yang menjadi masalah paling utama adalah pembangunan satelit penampung energi matahari di
orbit sinkron bumi. Satelit ini harus berukuran raksasa karena harus menghimpun energi
matahari yang sanggup menghasilkan energi listrik yang optimal. Sebagai contoh, dengan tingkat


teknologi masa ini, agar mampu menghasilkan energi listrik sebesar 5 GW diperlukan jajaran sel
fotovoltaik berukuran 5x10x0,5 km[5]. Teknologi pembuatan sel surya ini hingga saat ini masih
terus disempurnakan agar mampu menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dari yang mampu
dicapai pada 1 dekade terakhir ini (18% untuk silikon dan 21% untuk gallium arsenide[6],[7]),
antara lain dengan penyempurnaan sel silikon celah pita-ganda (multiband gap) dan sel silikon
nir-bentuk (amorphous silicon cells).
Konversi arus listrik searah yang dihasilkan sel surya ke gelombang radio (dalam hal ini
mikrogelombang) dilakukan dengan tabung klystron, magnetron, atau solid state amplifier
berdaya tinggi. Frekuensi kerja yang dipilih adalah sebesar 2,45 GHz dengan alternatif frekuensi
5,8 GHz. Pemilihan frekuensi ini erat kaitannya dengan pertimbangan karakteristik peredaman
mikrogelombang oleh atmosfir, efisiensi dan masalah efek pemanasan ionosfir oleh
mikrogelombang. Sistem dan diameter antena pengirim yang digunakan untuk mengirimkan
energi mikrogelombang ke bumi akan mempengaruhi kemampuan daya yang dipancarkan,
kerapatan daya di ionosfir, diameter antena penerima, dan daya listrik arus searah yang akan
dihasilkan oleh rectenna. Tabel 1 memberikan gambaran karakteristik sistem mikrogelombang
dalam kaitannya dengan diameter antena yang digunakan pada frekuensi 2,45 GHz[8]. Dari tabel
ini dapat diketahui bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 5 GW di permukaan bumi
tanpa melewati batas ambang kerapatan daya 23 mW/cm2 di atmosfir, maka diperlukan diameter
rectenna sebesar 1 km. Batas ambang kerapatan daya sebesar maksimum 23 mW/cm2
diperkirakan cukup aman bagi mahluk hidup yang melintas berkas.

Tabel 1
Karakteristik

Karakteristik sistem mikro gelombang pada 2,45 Ghz
Batas Ionosfir 23 mW/Cm2

Diameter antena pengirim (km)

1

1,36

1,53

2

Daya gelombang-mikro terkirim (GW)

6,5


3,53

2,78

1,6

Kerapatan daya di ionosfir (mW/cm2)

23

23

23

23

Daya DC keluaran dari rectenna (GW)

5


2,72

2,14

1,2

10

7,6

6,8

5

Diameter rentenna agar mampu menangkap 88% energi terkirim (km)

Daya sebesar 5 GW per satelit ini diperkirakan sebagai daya optimum, baik dipandang dari segi
teknis maupun ekonomis. Daya ini bisa ditingkatkan hingga 10 GW bila penyempurnaan
efisiensi sel surya berhasil dengan baik.
Dimensi fisik satelit yang sangat besar ini menuntut teknologi dan biaya yang sangat tinggi.

Dengan telah dikuasainya teknologi pengiriman awak dan peralatan ke luar angkasa dengan
menggunakan pesawat ulang-alik, maka masalah transportasi pada dasarnya bisa diatasi. Panelpanel sel surya bagian demi bagian diangkut ke orbit rendah (low earth orbit/LEO) dengan
pesawat ulang-alik, dan dirakit di orbit ini. Jadi harus disediakan sebuah stasiun perakitan di

orbit ini. Pada tahapan kerja tertentu, hasil rakitan komponen satelit ini dikirim ke GEO dengan
menggunakan mesin pendorong bertenaga listrik.
Efisiensi total dari sistem SPS ini diperkirakan sebesar 7,5%, dengan distribusi efisiensi seperti
ditunjukkan pada Tabel 2. Umur hidup (life time) sebuah SPS diperkirakan tidak kurang dari 30
tahun dengan periode perawatan setiap 5 tahun. Grumman Aerospace Corporation[1]
memproyeksikan bahwa tingkat produksi yang mampu dihasilkan dengan teknologi tahun 2000an adalah 7 satelit (maksimum) per-tahun. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pembangunan
sebuah sistem SPS memakan waktu yang relatif sangan pendek dibandingkan pembangunan
jenis pembangkit energi listrik lainnya.

Sistem/Elemen/Faktor

Tabel 2
Distribusi efisiensi sistem SPS
Efisiensi

Orientasi pengarahan panel sel surya


91%

GaA1As (sel surya)

19,6% (tipikal)

Perancangan lariksel surya
(ketaksepadanan, interkoneksi,dll)

87,6%

Pemantulan sinar matahari

90%

Distribusi ke subsistem antena

92%


Distribusi di dalam slip-ring dan antena

96%

Konversi DC ke RF, peredam atmosfir,
pegumpulan oleh rectenna dan konversi RF ke DC

65%

Distribusi antar muka daya

98%

Rectenna
Dengan daya keluaran yang diharapkan sebesar 5 GW per satelit, maka rectenna yang
ditempatkan di permukaan bumi harus berdiameter 10 km. antena ini akan terdiri dari 10 milyar
komponen dipole yang berfungsi menerima berkas mikrogelombang dan mengubahnya ke energi
listrik (arus searah). Efisiensi yang diharapkan adalah sebesar 84%[1]. Seluruh konstruksi antena
beserta bangunan pendukungnya diperkirakan akan menempati daerah seluas 200 Km2, termasuk
zona penyangga seluah 100 km2.

Lokasi stasiun rectenna ditentukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, yakni
diusahakan dampak lingkungan yang sekecil mungkin. Ada beberapa alternatif yang mungkin
dipilih sebagai lokasi stasiun rectenna, antara lain:

1.
2.
3.
4.

di gurun pasir
di tengah hutan
di lepas pantai
di pulau kosong

Selain di gurun pasir yang praktis tidak berpenghuni sehingga masalah dampak kesehatan akibat
energi mikrogelombang pada mahkluk hidup praktis tak ada, maka di lokasi-lokasi lainnya
masalah ini harus diperhitungkan pada satwa yang menghuni lokasi tersebut.
Stasiun Rectenna di Gurun Pasir
Stasiun ini di bangun di tengah-tengah gurun pasir di sekitar katulistiwa. Keuntungannya adalah,
dengan adanya sumber energi listrik yang sangat besar ini maka daerah gurun di sekitar stasiun
akan dengan mudah dihijaukan karena pompa-pompa air raksasa bertenaga listrik bisa
dioperasikan. Gurun pasir dalam waktu yang relatif singkat akan berpotensi sebagai lahan
pertanian dan daerah perindustrian. Dengan demikian secara tidak langsung SPS bisa membatasi
meluasnya gurun, bahkan bisa mengurangi luasnya. Stasiun penerima di gurun pasir merupakan
pilihan yang terbaik. Hanya saja, tidak setiap negara memiliki gurun dan tidak setiap gurun yang
ada terletak di khatulistiwa.
Stasiun Rectenna di Tengah Hutan
Pembangunan stasiun rectenna di tengah hutan harus memperhatikan habitat binatang dan
tumbuhan yang ada. Dari semua jenis stasiun di tengah hutan ini yang paling tidak
menguntungkan karena dengan adanya pembangkit energi listrik yang besar akan menimbulkan
kerusakan hutan, walau secara tidak langsung. Dengan adanya sumber energi yang besar, dengan
sendirinya industri yang besar akan muncul dan kerusakan lingkungan (betapapun terbatasnya)
akan terjadi.
Stasiun Rectenna Lepas Pantai
Stasiun ini ditempatkan jauh di lepas pantai (misalnya pada zona ekonomi khusus 200 mil dari
pantai) yang bebas dari gempa tektonik, relatif sepi dari lau- lintas laut dan nelayan, serta sebisa
mungkin berada di sekitar garis khatulistiwa. Ada empat jenis struktur konstruksi stasiun
rectenna yang saat ini dikenal : struktur tiang pancang, struktur dongkrak, struktur mengambang,
dan struktur semi-tenggelam. Perbandingan unjuk kerja ke empat struktur ini ditunjukkan pada
Tabel 3. Dari ke empat jenis struktur ini, maka struktur semi-tenggelam (semi-submersible)
memiliki karakteristik yang terbaik.
Tabel 3
Perbandingan untuk kerja berbagai jenis stasiun rectenna

STRUKTUR
KESTABILAN
PERGERAKAN
KEDALAMAN

TIANG
PANCANG
baik
tak ada
sangat dangkal

DONKRA MENGAMBAN
SEMI
K
G
TENGGELAM
kurang
baik
baik
tak ada
besar
kecil
rawan
dalam
dalam

GEMPA BUMI
KEMAMPUAN
GERAK
MASALAH
KONSTRUKSI

rawan

baik

aman

aman

baik

baik

baik

baik

tak ada

tak ada

tak ada

tak ada

BIAYA

sedang

relatif
tinggi

sedang

relatif tinggi

Stasiun Rectenna di Pulau Kosong
Pulau kosong yang terbaik adalah pulau karang (kosong) dengan luas minimal 15x15 km dan
terletak di sekitar garis khatulistiwa. Dengan tiadanya tumbuhan maka diperkirakan populasi
burung/satwa lainnya juga rendah. Yang harus diperhatikan adalah lalu-lintas laut yang ada di
sekitar pulau yang dijadikan stasiun. Semakin jarang lalu-lintas yang ada tentu semakin baik.
Lokasi rectenna di pulau kosong merupakan pilihan yang terbaik bagi negara-negara kepulauan
seperti Indonesia.

Dampak Lingkungan
Aspek lingkungan yang akan dibahas di sini adalah dampak yang berkaitan dengan penggunaan
gelombang elektromagnetik (mikrogelombang) berdaya tinggi terhadap ekosistem dan
kesehatan. Secara umum, ada empat aspek lingkungan dominan yang harus dipertimbangkan
dampaknya akibat penggunaan mikrogelombang, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Dampak mikrogelombang terhadap mahluk hidup.
Dampak atmosfir.
Dampak pemanasan ionosfir.
Dampak pada astronomi.

Dampak mikrogelombang terhadap mahkluk hidup
Radio mikrogelombang tidak memiliki cukup energi untuk mengionisasi molekul (tidak seperti
radiasi sinar-X dan emisi radioaktif lainnya), tetapi memiliki kemampuan agitasi. Jika intensitas
radiasi mikrogelombang yang digunakan cukup tinggi (dalam tingkat mW/cm2) maka gelombang
ini akan menyebabkan kenaikan suhu molekul. Tubuh mahkluk hidup akan mulai meningkat
suhunya bila dikenai radiasi sebesar 4~30 mW/cm2. Sebuah studi menyebutkan bahwa batas
ambang aman bagi mahkluk hidup (terutama manusia) adalah 5 m/cm2 pada daerah frekuensi
1,5~100 GHz[9],[10]. Banyak studi telah dilakukan untuk mempelajari dampak yang ditimbulkan
oleh mikrogelombang terhadap mahkluk hidup, namun sejauh ini belum ada kesepakatan untuk
merumuskan secara pasti besarnya energi yang aman bagi mahkluk hidup serta dampak apa saja
yang mungkin timbul jika batas aman ini dilewati. Namun demikian, mengambil dari kenyataan
sehari-hari tentang penggunaan energi pengulang telekomunikasi terrestrial/TV, radar, dlsb.)
dengan aman, maka bisa diambil kesimpulan sementara bahwa kerapatan energi
mikrogelombang sebesar 5 mW/cm2 bisa dianggap memadai.

Kerapatan energi mikrogelombang di dalam dan di dekat rectenna seperti dilukiskan pada
Gambar 2.5 masing-masing adalah 23 mW/cm2 dan 0,005 mW/cm2. Kerapatan energi sebesar ini
bisa dipandang aman bagi mahkluk hidup (terutama manusia) mengingat bahwa dalam
kenyataan sehari-hari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh stasiun-stasiun radio,
TV dan sumber- sumber lainnya (mengambil contoh di AS) bisa mencapai 5x10-6 mW/cm2[5].
Dengan mengambil jarak minimum 25 km dari daerah zona penyangga rectenna, akan diperoleh
kerapatan energi yang hampir sama dengan bilangan ini. Artinya, pada jarak yang relatif dekat
dengan rectenna bisa diperoleh zona yang benar- benar aman bagi mahluk hidup. Yang sulit
untuk dihindari adalah bila ada sekawan burung yang mungkin terbang tepat di pusat berkas
mikrogelombang.
Dampak Atmosfir
Ini adalah dampak yang timbul pada saat perakitan spacetenna. Pada lapisan terrendah atmosfir
bumi tempat segala macam kehidupan berlangsung, dampak paling serius yang ditimbulkan
adalah pencemaran akibat semburan gas buang roket peluncur (HLLV - high lift launch vehicle)
selama peluncuran berlangsung. Efek ini memang bisa mengakibatkan perubahan cuaca lokal
dan penurunan kualitas udara bersih. Derajat perubahan cuaca ini memang sangat tergantung
pada kondisi meteorologis, ukuran dari pesawat peluncur dan frekuensi peluncuran. Inilah efek
tak langsung dari sistem SPS terhadap lingkungan atmosfir bumi. Efek ini akan menurun tajam
bila penyempurnaan mesin-mesin roket pendorong berhasil dengan baik, atau sampai
ditemukannya bahan bakar roket berbahan pencemaran rendah. Namun demikian, secara global
efek ini diperkirakan masih jauh lebih rendah dibandingkan efek serupa yang ditimbulkan oleh
mesin-mesin pembangkit konvensional berbahan bakar fossil, yang terus menerus menghasilkan
pollutan selama masa hidupnya.
Dampak Pemanasan Ionosfir
Energi mikrogelombang yang menembus ionosfir dapat meningkatkan aras energi ambient dan
suhu elektron yang membentuk lapisan D, E, dan F, yakni pada daerah yang terkena lintasan
energi. Efek yang terjadi mirip dengan efek pemanasan ohmis, yakni meningkatnya suhu fisik.
Peningkatan suhu pada lapisan F dapat menyebabkan mengumpulnya energi mikrogelombang
dan menyebabkan penyimpangan pada garis magnetik bumi. Secara langsung efek ini
menyebabkan penurunan kualitas telekomunikasi. Pada beberapa kasus juga diperkirakan
timbulnya interferensi pada komunikasi satelit yang menggunakan frekuensi kerja yang
berdekatan. Dengan demikian pemilihan lokasi stasiun rectenna di daerah terpencil atau di lepas
pantai akan sangat membantu menghindari timbulnya interferensi.
Dampak pada Astronomi
Sebagian besar komponen SPS, yakni panel-panel fotovoltaik, dihadapkan mengarah ke
matahari, dan sebagian yang lain (antena, rangka, dll) tidak menghadap ke matahari sehingga
memungkinkan timbulnya pantulan sinar matahari ke bumi. Jika pantulan yang dihasilkan oleh
keseluruhan sistem satelit cukup besar, maka ada kemungkinan timbulnya efek cahaya yang
cukup terang di waktu malam yang tampak dengan jelas dari bumi (night sky brightness effect).
Efek ini tentu tidak menguntungkan bagi dunia astronomi. Cahaya yang dihasilkan oleh sebuah

SPS diperkirakan seterang cahaya planet Venus dan bisa mengganggu astronomi optis. Efek
nihgt sky brightness bisa ditekan dengan pemakaian sesedikit mungkin bahan-bahan yang mudah
memantulkan cahaya matahari. Sedangkan astronomi radio yang menggunakan panjang
gelombang sentimeter pada teleskop radionya hanya akan terganggu bila lokasinya berdekatan
dengan lokasi rectenna atau bila teleskopnya mengarah langsung ke SPS. Belum ditemukan cara
yang tepat untuk mengatasi efek ini.

Kesimpulan
Dari deskripsi tentang sistem SPS dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari pertimbangan aspek teknologi, sistem SPS sangat mungkin diwujudkan dalam
waktu dekat.
2. Dampak lingkungan dari sistem ini relatif rendah, walau untuk beberapa kasus masih
diperlukan studi yang lebih intensif.
3. SPS sangat layak digunakan sebagai alternatif diversifikasi sumber energi di abad ke 21,
bahkan ada kemungkinan akan menjadi satu-satunya alternatif sumber energi terbarukan
di masa depan.

Pustaka
 Manned Space Operations in the 1980's and Energy Programs as Viewed by Grumman
Aerospace Corporation", Presentation for Keidanren Federation of Economic
Organizations, Japan, Apr. 1985.
 G.R. Woodcock and D.L. Gregory, "Orbital Solar Energy Technology Advances,"
Record af the 10th IECEC, Aug. 1975.
 K. Itoh, "Searching for Inexhaustive Energy in Space", 25th Anniversary Memorial
Lecture, Oyama Technical College, Japan, 1990 (Japanese).
 P.E. Glaser, "Power from the Sun", Science, vol. 162, No. 3856 (Nov. 1968).
 "Sattelite Power Systems Concept Development and Evaluation Program", Program
Assessment Report Statement of Findings, DOE/NASA, Nov. 1980.
 Vincent A. Caluori and Henry Oman, "Photovoltaic Solar Power Sateelites", Record of
the 12th IECEC, Sept. 1977.
 A.D. Tonelli and W.V. Mc Rae, "Design and Analysis of A 5000 MW GaA1As Satellite
Power System", Record of the 12th IECEC, Sept. 1977.
 G.D. Arndt and L.G. Monford, "Solar Power Satellite System Sizing Tradeoffs", NASA
Technical Paper 1804, Scientific and Technical Information Branch, 1981.
 David M. Pozar, "Microwave Engineering", Addison-Wesley Publishing Company,
1990.
 Rajeev Bansal, "AP-S Turnstile", IEEE Antennas & Propagation Magazine, vol. 32, No.
4, Aug. 1990.
 "Penyediaan Listrik dan Pertumbuhan Industri di Luar Dugaan", Suara Pembaharuan, 4
April 1991.
 Y. Yamashita and H. Hashimoto, "Concept of SPS Offshore Receiving Station and
Potential Sites", Proceeding of the 3 ISAS Space Energy Symposium, Maret 1994.

 Yuliman Purwanto, "Solar Power Satellite (SPS) : Sumber Baru Energi Listrik Abad ke21 dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia", Makalah pada Seminar dan Kongres
XX PPI-Jepang, Kyoto, 1991.
 Yuliman Purwanto, "Solar Power Satellite (SPS) : Sumber Energi Listrik pada Abab
XXI", KOMPAS, 28 Sept. 1995.
 L. Wilardjo, "Satelit Daya Surya, Mungkinkah?", SUARA PEMBANGUNAN, 30 Des.
1995.
 Yuliman Purwanto, "Satelit Daya Surya Akan Segera Datang?" SUARA
PEMBANGUNAN, 3 Feb. 1996.