Kebangkitan Gerakan Sayap Kanan di Eropa

Naomi Resti Anditya
14/364286/SP/26076
HI UGM

Kebangkitan Gerakan Sayap Kanan di Eropa:
Reproduksi Realita Sosial oleh Kelompok Elit Nasional
Pendahuluan
Dunia sedang menyaksikan sebuah pertunjukan dari menjamurnya sikap rasis dan
diskriminatif dari sebuah kelompok besar masyarakat, termasuk di benua Eropa yang telah lama
mencoba untuk menegakkan demokrasi, kebebasan, dan HAM. Terakhir kali Eropa menyaksikan
sebuah kebijakan yang diskriminatif dan berujung pada genosida dan perang dunia adalah pada
masa kejayaan Nazi di bawah Adolf Hitler. Era itu telah menjadi kemaluan dan trauma besar bagi
Eropa sehingga tidak ada negara Eropa yang hendak membangkitkan Nazi kembali. Akan tetapi,
di abad ke-21 ini, kelompok-kelompok dan partai-partai “neo-Nazi” sepertinya tampil kembali
dengan wajah baru dan berhadapan dengan subyek yang berbeda, yaitu Islam. Dalam beberapa
tahun belakangan, 1.3 juta imigran Muslim dari Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) terus
berdatangan karena tanah airnya dilanda perang sipil besar, seperti Suriah. Perubahan demografi
di Eropa tidak serta merta diterima dengan tangan terbuka, karena ternyata resistensi publik juga
besar. Mereka yang merasa negaranya tidak lagi menjadi milik ‘orang Eropa’ biasanya juga
mengembangkan sikap yang selaras dengan gerakan sayap kanan dan utamanya, memilih partai
politik yang secara ideologi berada di posisi far-right. Terdapat sedikitnya 9 partai politik yang

berideologi kanan dan memperoleh panggungnya tahun ini—bersaing ketat dengan partai
progresif maupun partai liberal di daratan Eropa. Mereka dapat memobilisasi penduduk dan
mendulang suara bagi dirinya, di saat yang bersamaan juga membuat ketegangan di antara orang
Eropa dan imigran meruncing. Hal ini, bersamaan dengan terpilihnya Trump di Amerika Serikat,
menguatkan asumsi sebagian orang bahwa demokrasi di Barat secara substansi mengalami
defisit. Hal ini pun berimbas pada ketidakpuasan populer terhadap kebijakan imigrasi Uni Eropa
yang diprakarsai oleh Angela Merkel.
Dalam paper ini, pertanyaan sederhana yang hendak diajukan adalah, “Mengapa publik
memiliki persepsi buruk terhadap imigran Muslim (gerakan sayap kanan berkembang) dan
cenderung tidak puas dengan kebijakan Uni Eropa dalam permasalahn pengungsi?” Jawabannya

bisa jadi banyak sekali, akan tetapi tulisan ini akan secara spesifik menekankan pada aktor
politik, yaitu kelompok elit yang paling penting di level nasional, yaitu partai politik. Dengan
menggunakan

pendekatan

dioperasionalisasikan

oleh


realisme
David

kristis
J.

(critical

Bailey,

realism)

tulisan

ini

Bhaskarian

berargumen


yang

bahwa

telah
publik

mengembangkan sikap (attitude) yang buruk terhadap imigran Muslim karena elit politik, yaitu
partai berideologi ekstrim kanan me-reproduksi ide dan realita sosial yang lebih buruk daripada
kenyataan yang sebenarnya mengenai imigran Muslim di Eropa. Hal ini juga membuat gerakan
sayap kanan semakin berkembang di Eropa. Partai politik bersayap kanan yang terus bangkit
dan bersaing kuat di level nasional mulai menggunakan strategi populis dan terus me-reproduksi
ide ini sebagai cara untuk memenangkan kursi elektoral pula, dibuktikan dengan memanasnya
isu mengenai kebijakan terkait pengungsi setiap pemilihan umum, dan yang terakhir memuncak
pada tahun 2016-2017.
Landasan Konseptual: Critical Realism (David J. Bailey)
Pembelajar realisme kritis memiliki keyakinan bahwa ide memainkan peran yang penting
dalam proses politik dan dalam memahami sebuah keluaran (outcomes) politik. Tradisi idesional
yang luas ini hendak menggambarkan dampak dari shared ideas, wacana, dan kerangka

ideasional dalam komunitas politik yang spesifik. Asumsi realisme kritis ini adalah bahwa makna
dan interpretasi dirumuskan dalam suatu lingkungan sosial seseorang. Menurut Bailey, ada
beberapa akademisi yang mengembangkan metode penjelasan ini lebih ketat lagi, dengan
mencoba menyematkan peran kausal (sebab-akibat) kepada ide untuk menjelaskan keluaran
politis (political outcomes). Dengan kata lain, untuk memahami sebuah aksi politik dan makna
yang melekat padanya, maka tidak hanya kerangka ide bersama yang perlu dianalisis, tetapi juga
bagaimana beberapa ide memiliki ‘causal power’ karena kemampuan mereka untuk
‘berinteraksi’ dan memengaruhi realita sosial. Bailey mengutip kalimat Colin Hay yang
mengatakan bahwa kita harus lebih mempedulikan peran yang dimainkan oleh pemahaman
tertentu dalam mendorong aksi politik yang dilakukan oleh aktor politik tertentu. Bagi Bailey,
ide merupakan sebuah pandangan mengenai realita sosial, tetapi juga memiliki peran untuk
membentuk sebuah realita sosial. Dalam hal ini, ide bukan hanya sekadar makna tetapi juga basis
dari strategi dari aksi manusia yang memproduksi dunia yang dialami.

Selain mengutip Colin Hay, Bailey juga mengutip ‘bapak realisme kritis’ yaitu Roy
Bhaskar. Ia melihat bahwa realitas sosial direproduksi oleh aktivitas-aktivitas dari individuindividu yang melekat secara sosial (socially-embedded) pada basis dari ide mengenai
masyarakat tersebut; sebuah aksi disebut sebagai kebenaran atas dasar keyakinan mengenai
dampak yang mungkin terjadi dari aksi tersebut terhadap realita sosial. Proses ini membuat
realitas dapat me-reproduksi dirinya. Selain itu, realita sosial juga disebut concept-dependent
karena ia mempertahankan diirnya di atas dasar ide yang dipegang teguh oleh anggotaanggotanya; struktur sosial hanya hadir dalam konsepsi mengenai masyarakat mengenai apa

yang mereka lakukan dan apa yang mereka kelola, yaitu dalam teori-teori atas aktivitas mereka
sendiri. Terakhir, realita sosial bagi Bhaskar juga knowledge-independent karena entitas sosial
(termasuk ide) bisa jadi tidak diketahui secara akurat, bahkan bisa jadi menyesatkan. Bagi
Bhaskar, inilah yang mendorong aktivitas investigasi dan riset saintifik; mereka menganggap
bahwa pengetahuan tidak pernah lengkap, sehingga mereka akan mencari rasional di baliknya.
Dengan petunjuk dari penelitian David J. Bailey berdasarkan asumsi Bhaskarian, maka
tulisan ini hendak melihat bahwa ketidaksetujuan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap
kebijakan imigrasi serta gerakan sayap kanan yang berkembang disebabkan oleh, salah satunya,
pengetahuan dan ide yang direproduksi oleh elit politik, yaitu partai, yang pengetahuannya
sendiri tidak lengkap atau bahkan tidak benar [ CITATION Dav08 \l 1033 ].
Persepsi terhadap Imigran oleh Publik
Dalam bagian ini, saya mengumpulkan beberapa hasil survei dari beberapa lembaga
survei ternama mengenai persepsi yang dimiliki oleh publik terhadap imigran Muslim serta
tingkat ke(tidak)puasan publik terhadap kebijakan Uni Eropa saat krisis pengungsi.

Dalam chart ini, 10 negara ‘kunci’ di Eropa menunjukkan
ketidakpuasan yang cukup signifikan terhadap cara Uni Eropa
menangani krisis pengungsi. Meskipun demikian, ketidakpuasan
ini masih rawan didefinisikan; apakah tidak puas karena
memang mereka tidak memiliki persepsi baik terhadap

pengungsi atau karena Uni Eropa tidak menerima cukup
pengungsi

[

CITATION

The163 \l 1033 ]

Berbagai chart yang saya tampilkan di atas merupakan persepsi publik yang telah
disurvei oleh Pew Research Center, yaitu perusahaan ternama yang rutin melakukan survei
terhadap sikap sosial masyarakat [ CITATION Wik16 \l 1033 ], dan infografis terbesar pada
bagian kedua berasal dari The Economist. Melalui berbagai charts tersebut, saya ingin
mendiskusikan 4 (empat) poin yang penting berkaitan dengan persepsi publik terhadap imigran
Muslim pada puncak krisis pengungsi tahun lalu:
1. Muslim selalu dianggap berbeda dan terpisah. Hal ini berkaitan dengan sikap orangorang Eropa yang cenderung ingin semua yang berada di Eropa harus mengadopsi kultur
yang sama, yaitu ‘kultur Eropa’. Dalam sejarahnya, orang-orang Eropa seringkali
menganggap Islam tidak kompatibel dengan Eropa yang budayanya didominasi oleh
tradisi Kekristenan.
2. Apabila diperhatikan, Hungaria dan Polandia selalu berada di peringkat teratas

negara yang memiliki opini publik buruk terhadap imigran Muslim. Beberapa riset
menunjukkan bahwa negara-negara di Eropa Utara paling resisten terhadap kebijakan
pengungsi Uni Eropa, karena mereka juga memiliki masalah dengan nasionalisme

ekstrim. Sedangkan negara-negara lain menunjukkan sikap yang lebih ramah dan terbuka
pada imigran Muslim. Meskipun demikian, bukan berarti gerakan sayap kanan dan
semangat diskriminatif tidak ada di negara-negara Eropa Barat dan Selatan. Kelompokkelompok ini pun semakin mendapatkan konstituen politik yang besar seiring dengan
dihembusnya angin pemilihan pemimpin.
3. Meskipun pengungsi Muslim dianggap sebagai sinyal dari ancaman terorisme,
namun publik tidak menganggap bawah pengungsi berpotensi menambah
kriminalitas. Memang pengungsi Muslim dari MENA, terutama Irak dan Suriah,
dianggap sebagai ancaman, sebagian karena ketakutan terhadap jaringan ISIS, namun
kriminalitas tidak serta merta dikaitkan dengan bertambahnya jumlah imigran Muslim
dari MENA. Artinya, pengungsi sebesar itu hanya dikaitkan dengan jaringan dari negara
asalnya dengan motif terror yang berbasis agama, namun tidak dipersepsi sebagai
ancaman kejahatan yang lebih independen dari terorisme.
4. Persepsi negatif terhadap Muslim paling terlihat di kalangan kelompok sayap
kanan. Mereka yang secara ideologi berada di kanan dan mendukung partai politik
berideologi kanan lebih banyak melihat pengungsi Muslim sebagai ancaman ketimbang
sebagai peluang. Hal ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Kebangkitan Partai Politik dan Gerakan Sayap Kanan: Bukan Terkuat, tetapi Tetap Kuat
Gerakan sayap kanan dan kelompok elit yang rasis dan mendukung diskriminasi
merupakan sebuah trauma tersendiri bagi negara-negara Eropa setelah tragedi Holocaust di
bawah Nazi. Meskipun semakin menurun dalam hal jumlah, namun partai politik di Eropa
tidaklah kehilangan pendukung, apalagi hilang. Sesuai dengan logika persamaan (logic of
equivalences) Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau, selalu terbentuk wacana-wacana yang
konstitutif (constitutive other) yang dibatasi oleh garis antagonistik [ CITATION Ern05 \l 1033 ].
Setelah era perang dunia, elektoral selalu merupakan kompetisi antara yang progresif-sosialis
dan konservatif atau liberal. Namun sekarang kompetisi telah berubah. Partai-partai yang disebut
‘neo-Nazi’ muncul dengan dukungan yang semakin menguat, bahkan ada yang baru pertama kali
mendapatkan kursi elektoral di parlemen, meskipun tidak memiliki agenda yang baru dan
reformis.

Sweden Democrats Party (SD) diberitakan selalu merespon ide mengenai imigrasi yang
telah membuat identitas Swedia mengalami erosi. Kent Ekeroth, anggota parlemen dari SD
mengatakan bahwa kebanyakan imigran berada di Swedia karena ingin mengambil manfaat dari
sistem kesejahteraannya dan mencoba menggunakan ‘uang Swedia’ untuk diri mereka sendiri.
Opini semacam ini hampir tidak pernah ada di Swedia, paling tidak marjinal. Swedia selalu
dibanggakan sebagai negara yang menerima pengungsi semakin banyak dari negara-negara
Eropa lain. Pada tahun 2006, SD hanya mendapat 2.9% suara, namun tahun 2015 lalu, SD

mendapat 13% suara, dan polling terakhir menunjukkan ia mendapat 20% suara. sekarang SD
menjadi partai kedua terbesar di Swedia, yang memperoleh konstituen dari berbagai kelas. Hal
demikian juga terjadi dengan National Front di Prancis. Begitu pula dengan partai PiS di
Polandia, di Belanda, di Denmark, Jerman dan Hungaria, yang tidak hanya menciptakan persepsi
anti-Islam tetapi juga mengembangkan sikap Euroskeptis semakin intensif. Seluruh partai ini
mendukung calon pemimpin populis, yang menargetkan kelompok spesifik dalam negara
tersebut. Biasanya konstituennya lebih tua, tidak memperoleh pendidikan di universitas, kelas
pekerja, kulit putih dan laki-laki. Namun beberapa kali kriterianya tidak selalu menunjukkan
demikian, karena ia bisa melintas kelas dan identitas. Orang-orang ini merasa tidak mendapat
banyak manfaat dari keanggotaan di Uni Eropa, tetapi mereka merasakan dampak dari krisis
Euro: kenaikan pajak, pemotongan keuntungan, dan pengangguran [ CITATION The1517 \l 1033
]. Argumen ini memang sering diberikan untuk menunjukkan bahwa faktor ekonomi berpengaruh
terhadap kebencian dan diskriminasi, tetapi ia hanya satu dari sekian faktor. Populisme, dalam
bahasa Laclau yaitu sebuah penanda (signifier) sosial-politik terhadap ‘kita’—the people—dan
‘mereka’, memberikan dampak yang lebih masif dari argument ekonomi. Kita dapat mengaitkan
strategi populisme dengan strategi nativisme dalam kaitannya dengan sentiment anti-Muslim dan
anti-imigran dalam tabel yang telah diberikan sebelumnya. Populisme di Eropa kebetulan
digunakan oleh peternak politik (political enterpreneur) dengan menggunakan marker identitas
‘Eropa’ dan ‘bukan Eropa/Islam’.
Meskipun hanya Yunani yang suara nasionalnya benar-benar dimenangkan oleh partai

sayap kanan, namun seluruh partai-partai ektrim kanan juga perlu disematkan kontribusi
terhadap reproduksi mengenai realita sosial atau ide terhadap imigran Muslim. Pada dasarnya
pengungsi berada di Eropa karena melarikan diri dari persekusi di negara asalanya. Banyak
orang yang harus mati dan berkorban untuk bisa sampai ke tempat yang lebih aman. Perlu

ditekankan pula bahwa tidak semua yang mengungsi ke negara lain, termasuk Eropa, benarbenar ingin menetap di sana. Pengungsi ini sebenarnya juga tidak ingin menjadi beban (mereka
yang sampai di negara lain biasanya bukanlah gelandangan, tetapi orang-orang yang memiliki
modal dan dapat bekerja) bagi negara host dan lebih senang bersama-sama dengan keluarga
dalam kultur yang mendukung mereka.
Meskipun demikian, kelompok elit sayap kanan cenderung mengabaikan persoalan ini
dan membesarkan isu bahwa pengungsi dan imigran hendak menjadikan Eropa sebagai negara
Islam, paling tidak negara yang didominasi oleh komunitas Muslim. Ada beberapa partai sayap
kanan yang gencar membingkai pengungsi dalam bingkai yang cenderung concept-dependent,
knowledge-independent, dan berasal dari individu yang socially-embedded (meskipun yang
ketiga tidak dapat saya buktikan secara pasti).
Marine Le Pen dari Front National—yang baru saja kalah dari Emmanuel Macron—
mengatakan bahwa pengungsi adalah virus Ebola yang hendak menyebar dan melakukan
Islamifikasi terhadap Prancis. Ia selalu mengaitkan Muslim sebagai kelompok yang
memberontak terhadap peraturan sekularisasi di Prancis, padahal tidak semua Muslim memiliki
intensi tersebut. Di Jerman ada National Democratic Praty (AFD) yang terkenal rasis dan juga

anti-semit. Yunani terkenal dengan Golden Dawn yang baru kali ini memiliki kursi di parlemen.
Mereka mengatakan, kesuksesannya meraih kursi ini selalu dikaitkan dengan alasan agar ‘kami
dapat membersihkan tanah ini dari kotoran’ (baca: orang-orang bukan Yunani). Di Finlandia, ada
True Finns yang juga mulai berjaya. Di Denmark, ada Danish People Party yang mendapatkan
27% kursi di parlemen. Pemimpin DPP, Pia Kjærsgaard mengatakan, “If they want to turn
Stockholm, Gothenburg or Malmö into a Scandinavian Beirut, with clan wars, honour killings
and gang rapes, let them do it. We can always put a barrier on the Øresund Bridge.”
Di Belanda, Geert Wilders memang sudah kalah. Namun partainya, Party for Freedom,
terus mendapatkan pamor. Ia sering dikutip menyampaikan kalimat-kalimat menyakitkan dan
rasis terhadap Muslim, serta bersikeras hendak mengembalikan seluruh penduduk Muslim di
Belanda ke negara asal mereka, meskipun latar belakang keluarganya juga cukup plural. Ia
mengatakan, “I don’t hate Muslims, I hate Islam” dan “Islam is the Trojan Horse in Europe. If
we do not stop Islamification now, Eurabia and Netherabia will just be a matter of time.” Selain
itu, di Hungaria ada partai Jobbik yang mendapatkan 14.7% kursi di parlemen. Jobbik mulai
mendapatkan ketenarannya seiring dengan terus berhembusnya isu imigran. Hungaria juga

terkenal sangat resisten terhadap peraturan kuota imigran. Viktor Orban, PM Hungaria sejak
2010 memperoleh kenaikan popularitas dari 28% di bulan April dan menanjak ke 43% di bulan
Oktober, karena kebijakannya membangun pagar tinggi untuk membatasi imigran. Argumen
yang paling banyak digunakan adalah ketakutan mereka terhadap kesejahteraan ekonomi. Di
Austria pun ada Austria Freedom yang mendapatkan 1/5 suara karena isu imigran yang terus
dihembuskan oleh kelompok elitnya. Pemimpinnya, Heiz-Christian Strache mengatakan “If
there are immigrants, from Turkey, who complain there is a cross hanging in the classroom at
school, then I say to them: ‘go back home’”. Kutipan ini memberikan kesan bahwa ia
mempersepsikan Muslim sebagai kelompok yang tidak menerima perbedaan dan tidak mau
berintegrasi dengan orang-orang Kristen Eropa. Di Italia, kelompok sayap kanan juga
berkembang, dengan Lega Nord

(Northern League) dengan pemimpinnya, Matteo Salvini,

sebagai partai besarnya yang mendapatkan 6% suara. Terakhir, Di Inggris ada UKIP (UK
Independence Party) yang meskipun kalah, tetapi cukup kuat di parlemen dan bahkan sukses
memobilisasi banyak orang untuk memilih leave pada referendum lalu tahun 2016. UKIP akan
kembali berlaga pada pemilihan umum selanjutnya di Inggris untuk mencari pengganti Theresa
May [ CITATION Huf14 \l 1033 ]. Selain narasi mengenai Islamifikasi, kelompok elit ini juga
menciptakan ide bahwa pengungsi diperlakukan lebih baik daripada warga biasa. Narasi ini
dikembangkan oleh SD di Sweden, oleh Le Pen dan Wilders. Para populis dan elit politik ini
terus mengeluarkan kalimat-kalimat yang mereka rasa terlalu politically correct bagi banyak
orang.
Masalah lain yang terjadi adalah para populis baru dari partai sayap kanan ini juga elit
politik yang selalu dikunci dan di-eksklusi oleh elit pemerintahan. Mereka juga cenderung tidak
mendukung kebijakan pemerintah yang kebanyakan Europhile dan percaya pada liberalisme,
integrasi pasar dan mekanisme pasar, kecuali Jobbik Hungaria. Mereka cenderung proteksionis
pula dalam hal ekonomi. Seiring dengan berkembangnya jumlah kursi bagi populis ini di dalam
parlemen, konsekuensinya, banyak dari partai mainstream liberal dan sosialis yang membentuk
koalisi untuk dapat memperoleh posisi lebih besar di parlemen, dan hal ini cukup menguras
tenaga dan mengacaukan politik kanan-dan-kiri [ CITATION Huf17 \l 1033 ].

Reproduksi Realita Sosial oleh Kelompok Elit (Tingkat Nasional)
Tentu tidak aneh apabila isu imigran dan persepsi buruk terhadap imigran Muslim
mendapatkan momentumnya sesuai dengan gelombang pemilihan nasional (national elections)
di Eropa. Partai politik dengan tokoh-tokoh kunci populis tersebut mencoba untuk menciptakan
dan membentuk realitas sosial sedemikian rupa yang diharapkan dapat membentuk sebuah aksi
politik tertentu, baik dalam bentuk perlawanan, protes, atau yang paling sederhana, dukungan
bagi kursi electoral bagi partai tertentu yang berideologi far-right. Realita sosial ini, seperti
ketiga ciri yang dikemukakan Bhaskar sebelumnya, cenderung tidak utuh, tidak sesuai
kenyataan, bahkan bisa jadi merupakan hasil dari mispersepsi oleh elit politik ini. Dalam
pembahasan sebelumnya telah didiskusikan bahwa para tokoh populis dan partai sayap kanan ini
menciptakan persepsi bahwa pengungsi hendak melakukan Islamifikasi Eropa dan juga persepsi
bahwa pengungsi diperlakukan lebih baik daripada warga biasa yang konsekuensi pada
kemunduran kesejahteraan.
Sebenarnya tulisan ini hendak memasukkan berbagai charts dan data yang telah
terbentuk rapi ke dalam sebuah bagan mengenai bagaimana elit-elit politik nasional di Eropa
menerima dan mereproduksi sebuah realitas sosial, tetapi data yang tersedia sangat tersebar dan
belum dikategorisasikan. Bagian ini akan memberikan ulasan sederhana mengenai cara partai
politik berideologi far-right di Eropa (yang sedang berkembang dari segi dukungan, bukan
jumlah) memotret dan menghasilkan ulang persepsi mengenai imigran Muslim di Eropa. Selain
itu, bagian ini juga akan menyertakan sebuah bagan menarik mengenai ide nativism yang
berkaitan erat dengan gerakan sayap kanan untuk melindungi identitas dan nilai-nilai negaranya.
Meskipun nativisme belum diketahui apakah dapat dianggap sebagai konsep, namun bagan
berikut dapat sedikit menunjukkan cara kelompok proteksionis menciptakan realitas itu dan
menuangkannya dalam rencana kebijakan [ CITATION Ait16 \l 1033 ].

Melalui tabel ini dapat dilihat bahwa dalam sebuah situasi yang multikultural dan adanya
gelombang penerimaan imigran yang besar, maka seseorang bisa memiliki sebuah pandangan
(wordlview) spesifik mengenai ‘kultur siapa’ dan ‘kultur apa’ yang harus diterima dalam sebuah
komunitas politik imajiner. Tidak berhenti hanya dalam tataran ide saja, tetapi pandangan atau
worldview itu biasanya diterjemahkan ke dalam beberapa rencana kebijakan, seperti dapat dilihat
di kolom sebelah kanan. Sejauh pengamatan. strategi yang dipakai oleh kelompok ini ada 2:
konservasi dan apa yang biasa disebut naming and shaming.
Konservasi berarti ada sebuah enclosure dan perlindungan bagi suatu pengetahuan,
budaya, dan aset politik tertentu di dalam komunitas politik, supaya mereka tidak mengalami
degradasi. Hal ini tertuang dalam barisan satu hingga empat, yang memperlihatkan bahwa ada
suatu norma, superficiality, dan pengetahuan tertentu yang harus dilindungi dari sentuhan dengan
pengetahuan atau superficiality lain. Dalam barisan kelima, apa yang muncul merupakan
mekanisme naming and shaming. Dalam strategi ini, komunitas politik akan melakukan eksklusi
terhadap bagian dari komunitasnya yang tidak memiliki visi yang sama dengan mereka, yaitu
dengan memberikannya label atau nama sebagai ‘yang lain’ (the other) dan dipermalukan
sedemikian rupa dengan menjadikan mereka sebagai komunitas yang secara moral dan etika
mengalami degradasi.

Kedua strategi ini dapat dikatakan selalu muncul dalam narasi anti-imigran dan antiMuslim di Eropa yang terus dihembus oleh tokoh-tokoh kunci dalam kelompok elit, yaitu partai
politik nasional, dalam badai pemilihan nasional. Bagi mereka yang mengikuti jejak realisme
kritis, xenophobia adalah sebuah buatan. Ketakutan, kebencian, serta sensitivitas dipolitisiasi dan
terus dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi sebuah komoditas yang baik bagi partai politik.
Dehumanisasi terhadap kelompok tertentu adalah kepentingan elektoral [ CITATION Reu15 \l
1033 ]. Menurut Nougayrède, dalam politik post-truth ini, tidak hanya apa yang terjadi sekarang
yang telah di-distorsi, tetapi juga apa yang tertulis di masa lalu. Tersebar secara daring videovideo rasis yang menggambarkan fantasi Eropa sebelum dan setelah migrasi. ‘Sebelum’
digambarkan pada tahun 1950an sebuah jalanan yang rapi dengan toko-toko dan taman yang
dipenuhi oleh populasi kulit putih yang bermain dengan gembira, sedangkan ‘setelah’
digambarkan dengan sekelompok orang-orang berkulit gelap menyerang perempuan, merusuh
melawan polisi, meneriakkan “Allahu Akbar” [ CITATION Nat16 \l 1033 ]. Pemilihan yang
selektif dan tidak utuh terhadap masa lalu dan apa yang terjadi sekarang telah menciptakan
insentif buruk bagi perlakukan ke sesame manusia. Bahkan bagi beberapa warga Eropa,
keberagaman di masa ini telah memberikan ketakutan alih-alih peluang. Bagi mereka, semakin
banyak orang, maka semakin buruk suatu keadaan dan suatu tempat [ CITATION Exp16 \l
1033 ].
Warga Eropa dalam sebuah survei juga menunjukkan bagaimana mereka melebihlebihkan jumlah populasi Muslim di negara mereka. Benar ada perubahan demografi, tetapi
survei ini seperti mengatakan bahwa warga Eropa memberikan afirmasi geopolitik mengenai
ekspansi dan ekspor Islam di Eropa dan negara Barat [ CITATION The162 \l 1033 ].

Survei ini menggambarkan bagaimana warga Eropa melebih-lebihkan jumlah populasi
Islam di negara Barat, sangat mungkin terjadi karena berbagai kampanye dan gerakan sayap
kanan selalu membawa isu anti-Muslim dan anti-imigran sehingga identitas Islam itu seakan
menggambarkan sebuah ancaman, yang pertama-tama tergambar dari pergeseran demografi.
Jelas bahwa persepsi ini dibuat dan dibentuk oleh berbagai elemen politik.
Laporan lain dari institut Chatam House menunjukkan bahwa 55% setuju dengan
pernyataan bahwa imigrasi harus dihentikan. Survei ini dilakukan setelah Donald Trump
mengeluarkan kebijakan travel ban terhadap imigran dari ‘negara-negara Muslim’ ke Amerika
Serikat. Oposisi publik terhadap migrasi dari ‘negara-negara Muslim’ ini paling intensif di
Austria, Polandia, Hungaria, Prancis, dan Belgia, meskipun negara-negara ini memiliki
penduduk Muslim yang sangat berbeda-beda [ CITATION Cha17 \l 1033 ].

.

Chatam House dalam surveinya mengatakan bahwa dalam setiap negara, setidaknya 38% dari
sampel menunjuk ‘sangat setuju’ terhadap pernyataan tersebut. Terkecuali Polandia, negaranegara ini berada di pusat dari krisis pengungsi atau mengalami serangan terorisme di beberapa
tahun belakangan. Perlu juga diketahui bahwa di negara-negara ini, kelompok radikal kanan
mengakar sebagai kekuatan politik dan mencari cara untuk memobilisasi ketakutan dan
kemarahan atas Islam ke dalam kotak suara, baik untuk pemilihan tahun 2017 maupun untuk
pemilihan-pemilihan selanjutnya [ CITATION Cha17 \l 1033 ].

Kesimpulan
Krisis pengungsi yang berlangsung sepanjang tahun 2016 lalu telah melahirkan wacana
mengenai intoleransi, diskriminasi, dan defisit demokrasi di Eropa. Kedatangan 1,3 juta
pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika Utara tidak selalu disambut dengan tangan terbuka,
karena ternyata banyak penduduk Eropa yang resisten terhadap kebijakan Uni Eropa terkait
penerimaan pengungsi. Tidak hanya itu, publik pun mengembangkan persepsi buruk terhadap
orang-orang Muslim, terutama yang berasal dari Timur Tengah. Selain itu, dukungan bagi
kelompok sayap kanan dan partai politik sayap kanan pun meningkat menjelang pemilihan

nasional, dengan wacana dominan mengenai kebijakan anti-pengungsi. Melalui pendekatan
realisme kritis Bhaskarian oleh David Bailey, tulisan ini berargumen bahwa

publik

mengembangkan sikap (attitude) yang buruk terhadap imigran Muslim karena elit politik, secara
spesifik partai berideologi ekstrim kanan, me-reproduksi ide dan realita sosial yang lebih buruk
daripada kenyataan yang sebenarnya mengenai imigran Muslim di Eropa. Dalam perspektif
Bhaskarian, ide tidak hanya memilik makna tetapi juga kekuatan untuk memberi dampak (causal
power) pada suatu tindakan politik dan juga mampu berinteraksi dan dapat mengubah realita
sosial. Sifatnya adalah socially embedded, concept-dependent, dan knowledge-independent.
Mispersepsi dari elit politik dapat menciptakan realita sosial yang timpang, tidak lengkap,
bahkan salah. Dalam tulisan ini, narasi dan persepsi yang dibangun oleh elit politik, yaitu partai
far-right, mengenai imigran Muslim menghambat penerimaan dan sikap terbuka orang-orang
Eropa bagi pengungsi. Elit politik ini selalu menarasikan pengungsi Muslim sebagai alarm atas
Islamifikasi Eropa dan pengambilan kesejahteraan oleh pengungsi, sementara realitanya tidak
selalu demikian, karena pada dasarnya pengungsi hanya mencari tempat untuk berlindung dari
persekusi di tanah kelahirannya.
Tulisan ini telah memberikan beberapa data berbentuk charts dan narasi mengenai
persepsi publik yang buruk terhadap pengungsi Muslim. Meskipun mereka (masih) menerima
pengungsi, namun kebanyakan dari publik menganggap pengungsi Muslim ingin hidup secara
distingtif dari masyarakat Eropa dan mereka juga takut akan ancaman terorisme, terkait jaringan
ISIS. Ada sebuah divide besar dalam persepsi publik di Eropa mengenai imigran Muslim dan hal
ini sangat berkaitan dengan ideologi yang mereka pegang (concept-dependent dan sociallyembedded) dan partai apa yang mereka pilih.
Seiring dengan bagain sebelumnya, tulisan ini juga telah menunjukkan bahwa partaipartai ekstrim kanan mulai memiliki posisi dan kursi di parlemen dan memperoleh dukungan.
Gelombang populisme kanan juga menjamur di berbagai negara di Eropa, tidak terkecuali di
Jerman, Inggris, Prancis, Austria, bahkan negara yang terkenal sangat moderat seperti Swedia
dan Denmark. Gelombang populisme ini menciptakan narasi dan penanda (signifier) mengenai
siapa ‘kami’ dan ‘yang lain’ dalam suatu komunitas politik yang berdaulat. Dalam konteks
Eropa, konstituen yang paling bisa dituai oleh para peternak politik adalah konstituen yang
didasarkan pada marker identitas antara siapa yang ‘Eropa’ dan ‘bukan Eropa’. Selain itu, seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, partai-partai ekstrim kanan ini juga menciptakan realita sosial

yang menggelisahkan dan mengkomodifikasi ketakutan untuk mendulang suara. Tokoh-tokoh
elit di Eropa ini disatukan oleh pemahaman bahwa imigran Muslim hendak melakukan
islamifikasi Eropa dan mengambil kesejahteraan serta kekayaan orang-orang Eropa, karena
mereka digambarkan sebagai orang-orang yang selalu mendapatkan privilese dan kemudahan
terlebih dahulu, tidak seperti orang-orang Eropa. Kenyataannya, para imigran ini lari dari
negaranya, menderita, mengorbankan banyak hal, dan terlebih lagi, mereka yang sampai di
Eropa biasanya orang-orang yang berpendidikan dan bisa bekerja, meski terkendala bahasa.
Dalam reproduksi realita sosial itu, tulisan ini melihat bahwa dalam situasi multikultural
dan penerimaan gelombang pengungsi yang besar, seseorang bisa memiliki sebuah pandangan
(wordlview) spesifik mengenai ‘kultur siapa’ dan ‘kultur apa’ yang harus diterima dalam sebuah
komunitas politik imajiner. Tidak berhenti hanya dalam tataran ide saja, tetapi pandangan atau
worldview itu biasanya diterjemahkan ke dalam beberapa rencana kebijakan, misalnya
konservasi dan naming-and-shaming. Konservasi berarti ada sebuah enclosure dan perlindungan
bagi suatu pengetahuan, budaya, dan aset politik tertentu di dalam komunitas politik, supaya
mereka tidak mengalami degradasi. Dalam strategi naming-and-shaming ini, komunitas politik
akan melakukan eksklusi terhadap bagian dari komunitasnya yang tidak memiliki visi yang sama
dengan mereka, yaitu dengan memberikannya label atau nama sebagai ‘yang lain’ (the other) dan
dipermalukan sedemikian rupa dengan menjadikan mereka sebagai komunitas yang secara moral
dan etika mengalami degradasi. Kedua strategi ini dapat dikatakan selalu muncul dalam narasi
anti-imigran dan anti-Muslim di Eropa yang terus dihembus oleh tokoh-tokoh kunci dalam
kelompok elit, yaitu partai politik nasional, dalam badai pemilihan nasional. Bagi mereka yang
mengikuti jejak realisme kritis, xenophobia adalah sebuah buatan. Ketakutan, kebencian, serta
sensitivitas dipolitisiasi dan terus dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi sebuah komoditas
yang baik bagi partai politik. Tidak hanya realita sosial yang terjadi sekarang, tetapi juga yang
terjadi di masa lalu. Inilah yang disebut dengan politik post-truth.
Daftar Pustaka
Bailey, D. J. (2008). Misperceiving Matters: Elite Ideas and the Failure. Comparative European Politics,
33–60.
Chatam House. (2017, February 7). What Do Europeans Think About Muslim Immigration? Retrieved
June 6, 2017, from Chatam House: https://www.chathamhouse.org/expert/comment/what-doeuropeans-think-about-muslim-immigration

CNBC News. (2017, February 8). Europe’s fear of Muslim immigration revealed in widespread survey.
Retrieved June 6, 2017, from CNBC News: http://www.cnbc.com/2017/02/08/europes-fear-ofmuslim-immigration-revealed-in-widespread-survey.html
Express UK. (2016, February 3). Migrant crisis countries see quality of life plummet, European
Commission study finds. Retrieved June 7, 2017, from Express UK:
http://www.express.co.uk/news/world/640791/migrant-crisis-survey
Guia, A. (2016). The Concept of Nativism and Anti-Immigrant Sentiments in. European University
Institute: Max Weber Working Paper, 6.
Huffington Post. (2014, May 25). European Elections: 9 Scariest Far-Right Parties Now In The
European Parliament. Retrieved June 6, 2017, from Huffington Post:
http://www.huffingtonpost.co.uk/2014/05/26/far-right-europe-election_n_5391873.html
Huffington Post. (2017, April 21). Why Are Far Right Parties Increasing Their Support Across Europe? A
Note On The French Election. Retrieved June 6, 2017, from Huffington Post:
http://www.huffingtonpost.co.uk/daphne-halikiopoulou/french-election-farright_b_16140574.html
Laclau, E. (2005). Populism: What's in a Name? In F. Panizza, Populism and the Mirror of Democracy (p.
32). London: Verso Book.
Nougayrède, N. (2016, October 31). Refugees aren’t the problem. Europe’s identity crisis is. Retrieved
June 7, 2017, from The Guardian:
https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/oct/31/refugees-problem-europe-identitycrisis-migration
Reuters. (2015, September 4). ‘EU migrant crisis created by political elite for electoral benefits’.
Retrieved June 7, 2017, from Reuters: https://www.rt.com/op-edge/314396-migrants-refugeeseurope-crisis/
The Economist. (2015, December 10). The march of Europe’s little Trumps. Retrieved June 6, 2017, from
The Economist: http://www.economist.com/news/europe/21679855-xenophobic-parties-havelong-been-ostracised-mainstream-politicians-may-no-longer-be
The Economist. (2016, May 23). Islam in Europe: perception and reality. Retrieved June 6, 2017, from
The Economist: http://www.economist.com/blogs/graphicdetail/2016/03/daily-chart-15
The Guardian. (2016, December 13). Europeans greatly overestimate Muslim population, poll shows.
Retrieved June 6, 2017, from The Guardian:
https://www.theguardian.com/society/datablog/2016/dec/13/europeans-massively-overestimatemuslim-population-poll-shows