Pedalungan Orang Orang Perantauan di Uju

Pedalungan:
Orang-orang perantauan di ‘Ujung Timur Jawa’1
YONGKY GIGIH PRASISKO
Alumni S2 Kajian Budaya & Media serta S2 Filsafat UGM
Peneliti Matatimoer Institute
e-mail: [email protected].

Signifikasi ‘Ujung Timur Jawa’: Tentang Java Oosthoek
Java Oosthoek merupakan istilah yang digunakan Belanda untuk menamai
wilayah dari Pasuruan sampai ke Blambangan. ‘Ujung Timur Jawa’2 sebelumnya
merupakan daerah yang diserahkan kepada VOC pada 11 November 1743, yang pada
saat itu, dianggap sebagai area ‘tak berpenghuni’ yang diperebutkan oleh pihak Matam,
Bali, pelarian Cina Makasar dan Belanda. Penyerahan wilayah ini dilakukan oleh Raja
Pakubuwana II dari Mataram kepada VOC, yang mencakup daerah Malang bagian
Timur sampai Banyuwangi, termasuk Blambangan, sebagai balasan atas pengembalian
tahta yang direbut VOC dari para pemberontak.3 Selama abad 18-19, JavaOosthoek
mengalami

transformasi—perubahan

sosio-ekonomi


dan

budaya—dari

wilayah

pemberontakan yang liar menjadi benteng perekonomian yang cukup penting yang
terintegrasi dengan pemerintah kolonial Belanda. Proses tersebut mensyaratkan
penataan kembali wilayah-wilayah kekuasaan dalam tatanan administratif. Proses
penataan juga mengimplikasikan arah politik belanda dari berdagang ke kolonialisasi.
Setelah padam pemberontakan Cina tahun 1743, Mataram harus menyerahkan
Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki dan sebagian Madura kepada
VOC sebagai ganti rugi. Selanjutnya VOC berhak memilih para pegawai kerajaan di
wilayah-wilayah tersebut. Sejak saat itu wilayah ‘Ujung Timur Jawa’ menjadi wilayah

Disampaikan dalam Seminar Budaya: Membincang Kembali Terminologi Budaya Pandalungan,
oleh Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jember Komisariat Sastra didukung Matatimoer
Institute, Graha Bina Insani, Jember, 10 Desember 2016.
1


2Dalam bahasa Belanda Oosthoek berarti Ujung Timur. Secara kontekstual, Ujung Timur Jawa
merupakan konstruksi Belanda, yang secara spasial bermakna periferi, yang belum tergarap.
Saya menggunakan istilah Ujung Timur Jawa dalam perspektif Belanda, hanya untuk
kepentingan menandai daerah-daerah awal tujuan migrasi pada abad 19 akhir sampai 20 awal.
Untuk selanjutnya pada pertengahan abad 20 dan seterusnya, istilah ini bisa dikatakan tidak
lagi relevan karena daerah yang dulunya disebut Ujung Timur telah menjadi benteng
perekonomian yang maju, atau bisa diganti dengan sebutan Pokok Jawa Bagian Timur.

Tentang pemberontakan ini lihat W.G.J Remmelink, The Chinese War and the Collapse of the
Javanese State, 1725-1743, (Leiden: KITLV, 1994). Lihat Sri Margana, Ujung Timur Jawa, 17631813: Perebutan Hegemoni Blambangan,penerjemah Khoirul Imam,(Yogyakarta: Pustaka Ifada,
2012), hlm. 40-41
3

1

gubernemen.4 Pada tahun 1799, orientasi monopoli perdagangan Belanda telah berakhir
sejak bubarnya VOC. Pemerintah Kerajaan Belanda kemudian mengambil alih wilayah
kekuasaan VOC. Sejak saat itu wilayah kekuasaan tersebut mengalami penataan
kembali dan memasuki masa imperialisasi.Dalam konteks ‘Ujung Timur Jawa’,

penataan dilakukan dengan membentuk Karesidenan baru, yang membawahi kabupaten
dan distrik. Pada pertengahan abad kedua 18, daerah Bandawasa dan Penarukan
berada dalam kekuasaan Belanda. Pada akhir abad 18, afdeeling Besuki, Bandawasa
dan Penarukan berada dalam satu karesidenan, yakni karesidenan Besuki.5 Tahun
1830, Pasuruan, mejadi salah satu kota penting karena ia menjadi pusat pemerintahan
karesidenan. Karesidenan Pasuruan waktu itu meliputi tiga kabupaten (afdeeling) yakni
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Bangil dan Kabupaten Malang.6 Probolinggo sejak
tahun 1811 masuk dalam Karesidenan Besuki dan pada tahun 1855, Probolinggo
merupakan bagian dari wilayah Karesidenan Pasuruan. Sejak saat itu wilayah
Karesidenan pasuruan terdiri dari Kabupaten Pasuruan, Malang, Bangil, Probolinggo,
Kraksan dan Lumajang. Perubahan penataan administrasi kerap disebabkan oleh
pemantapan manajemen eksploitasi dan pertambahan jumlah penduduk.7
Praktik eksploitasi tanah jajahan, sejak tahun 1830, dilakukan di bawah
pimpinan Gubernur Jenderal van den Bosch dengan sistem tanam paksa (cultuurstelsel).
Dalam hal ini, masa pemerintahan van den Bosch mempraktikkan pola pemerinahan
otoritarian, pemerintah memiliki kendali kuat terhadap wilayah jajahannya. Namun,
praktik tanam paksa menuai banyak kritik, karena dinilai menimbulkan penderitaan
dan eksploitasi pekerja. Kritik, utamanya, datang dari kaum liberal. Pengaruh liberal
dalam pola pemerintahan Belanda semakin kuat, yang ditandai dengan ditetapkannya
Undang-undang Agraria tahun 1870, yang membuka pintu lebar untuk modal asing.

Modal

tersebut

dalam

bentuk

investasi

pada

perusahaan

agroindustri

dan

pertambangan dengan syarat mendapat ijin dari pemerintah kolonial Belanda. Pada
saat itu, masa sejak 1870 sampai 1900 disebut dengan periode liberal, masa eksploitasi

oleh swasta yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi
melalui penghapusan hambatan perdagangan bebas, yang diharapkan akan mendorong
pembangunan

ekonomi.8

Pembaharuan

liberal

menuntut

pengurangan

peranan

pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis, pembebasan terhadap
4

Gubernemen merupakan wilayah otoritas langsung Pemerintah Kolonial Belanda.


5

Fransiscus Assisi, Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII sampai Medio Abad XIX),
Disertasi UGM, 1983, hlm. 265.
6

Ibid, hlm. 273.

7Refi

Refiyanto, Migrasi Orang-Orang Yogyakarta ke Pasuruan 1900-1930, Skripsi UNY, 2015, hlm. 59.

8

Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era
Reformasi, penerjemah Edisius Riyadi Terre, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hlm. 46.

2


pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa, dan diakhirinya kerja paksa dan
penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda.9
Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria 1870, alat produksi pokok
berupa tanah telah diliberalisasi. Maka terbukalah kesempatan yang luas untuk
membuka perusahaan perkebunan partikelir (Onderneming). Pembukaan perusahaan
perkebunan tersebut kemudian diikuti dengan penyediaan tenaga kerja. Kesempatan
kerja beserta upah akan menciptakan pasar tenaga kerja yang memenuhi permintaan
tenaga kerja perkebunan. Industrialisasi pertanian juga menuntut pembangunan
infrastruktur yang memadai seperti jalan raya, jalur kereta api, sistem irigasi,
pelabuhan maupun telekomunikasi.10 Dalam sistem kolonial, perkebunan diwujudkan
dalam bentuk usaha pertanian skala besar dan kompleks, bersifat padat modal,
penggunaan areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian kerja
rinci, pengguanaan tenaga kerja upahan, struktur hubungan kerja yang rapi, dan
penggunaan tehnologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta
penanaman tanaman komersial yang ditujukan untuk komoditi ekspor dipasar dunia.
Java Oosthoek terkenal dengan lahan yang subur, yang secara topografi cocok
untuk tanaman-tanaman perkebunan. Periode liberal di ‘Ujung Timur Jawa’ ditandai
dengan banyaknya pembukaan perkebunan partikelir antara lain di Pasuruan,
Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi. Sampai tahun
1939 di Jawa Timur, tercatat ada 528 hektar perkebunan swasta, 161.860 hektar tanah

sewa jangka panjang, 64.116 hektar sewa jangka pendek (lihat tabel 1). Wilayah Java
Oosthoek juga dikenal dengan perkebunan penghasil kopi,11 perkebunan tebu dan
tembakau.

9

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, penerjemah Dharmono Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press), hlm. 189.

10Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi,
(Yogyakarta: Aditya Media), hlm. 81.
11

P.S. Siswoyo,Kopi Internasional dan Indonesia, (Yogjakarta: Kanisius, 1993), hlm. 45. Lihat Indah
Ningtyas Oktasari,Perkebunan Kopi Rakyat di Jawa Timur 1920-1942, AVATARA, e-journal pendidikan
Sejarah, Volume 2 nomor 1, 2014, hlm. 127-128.

3

Tabel 1. Luas tanah yang ditanami pada perkebunan di Jawa dan Madura (dalam

hektar) tahun 1939
Daerah

Perkebunan
Pemerintah

Perkebunan
Swasta

Sewa
Jangka
Panjang

Perkebunan
di Kerajaan

Perkebunan
Tanah
Pribumi
Sewa

Jangka
Pendek
14.818
19.756

Total

Jawa Barat
Jawa
tengah
Yogyakarta
Surakarta
Jawa
Timur
Total

6.798
10.140

45.400

1.001

196.616
34.635

-

1.663

528

161.860

9.748
38.369
-

810
1.210
64.116

10.558
39.579
228.167

18.601

49.929

393.111

48.117

100.710

607.468

263.632
65.532

Sumber: Van der Kroef, 1960, hlm. 9312

Datangnya para perantau ke ‘Ujung Timur Jawa’
Sistem perkebunan partikelir dalam periode liberal memberlakukan sistem kerja
upah dan kontrak. Dalam sistem birokrasi, kelas Eropa berkedudukan di lapisan atas
sebagai prakarsa, penanam modal dan pengelola. Tenaga buruh biasanya berasal dari
golongan pribumi. Tenaga buruh kerap didatangkan dari luar daerah, yang
diperlakukan sebagai faktor dalam sistem produksi, terutama untuk dieksploitasi
tenaga kasarnya di lapangan dalam proses penanaman, pemeliharaan dan penuaian,
serta proses pengolahan bahan mentah di pabrik. Dalam menjalin hubungan antarkedua
lapisan itu, diperlukan perantara. Perantara dari pihak Eropa diperankan oleh tenaga
pembantu (asisten) dan pengawas (opzichter). Asisten muda berada di bawah asisten
senior dengan masa kerja 6 tahun lebih, sedang semua asisten ada di bawahopzichter
dan hoofd opzichter. Pimpinan umum ada di tangan administrateur, jabatan puncak
dalam carriere di perkebunan. Para tenaga buruh kerap disebut dengan kuli, yang
dikelompokkan dalam ploeg (regu), yang masing-masing diawasi oleh seorang mandor.
Beberapa mandor ada di bawah mandor kepala. Semua mandor dan kuli diawasi oleh
para asistendan opzichter. Ploeg merupakan unit-unit kerja yang terdiri dari unsurunsur etnis tertentu. Di dalamnya, tidak ada percampuran antara unsur-unsur etnis.
Ada kelompok etnik tertentu yang lebih sesuai untuk mengerjakan pekerjaan tertentu
seperti golongan Keling untuk pekerjaan penggalian bangunan, golongan Melayu untuk
transportasi, Cina dan Jawa untuk pekerjaan kebun,13 golongan Madura untuk

12

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Op. Cit., hlm. 85

13

Ibid, hlm, 145-148

4

pekerjaan kasar.14 Secara umum, masyarakat perkebunan memiliki karakteristik (1)
pluralistik, (2) tersegmentasi menurut golongan etnik, (3) rasialistik, (4) dualistik
berdasarkan sektor ekonomi Eropa dan non-Eropa, (5) dominasi sosial, ekonomi dan
politik kaum kolonial.15
Para perantau mulai berdatangan sebagai konskuensi dari banyaknya kebutuhan
tenaga buruh di lingkungan perkebunan. Dalam konteks ‘Ujung Timur Jawa’, para
perantau Madura mulai berdatangan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja,
khususnya di perkebunan-perkebunan partikelir yang banyak dibuka di sepanjang
‘Ujung Timur Jawa’.
Dalam konteks Madura, selama abad 19, kemiskinan menjadi permasalan sosial
yang kronis. Kekurangan beras dan bahan pangan yang terus-menerus, ditambah
dengan situasi yang memburuk karena bencana kelaparan, berturut-turut terjadi di
tahun 1877, 1903, 1918 dan 1933. Krisis ekonomi tahun 1929 juga memperparah
keadaan, yang membuat Van der Plas, gubernur Jawa bagian Timur, secara spesifik
mengalokasikan dana sosial untuk pulau Madura (Madura Welfaartsfonds).16 Keadaan
ini menjadi faktor pendorong banyaknya orang-orang Madura yang bermigrasi ke Jawa.
Selain persoalan sosial yang berlarut-larut di Madura, perkembangan perusahaan
perkebunan partikelir yang berkaitan dengan pembukaan daerah pedalaman di Jawa
Timur dalam paruh kedua abad ke 19 juga turut meningkatkan jumlah migrasi orangorang Madura. Dari Sumenep saja, setiap tahun rata-rata sepuluh ribu penduduk yang
bermigrasi. Perkebunan teh, gula dan tembakau memberikan pekerjaan kepada para
migran yang membludak. Bahkan, lahan penghasilan alternatif juga tercipta dari para
petani lokal yang menyerahkan sebagian atau seluruh lahan mereka kepada para
pendatang baru. Berangsur-angsur, daerah–daerah sekitar Jember, Malang dan
Lumajang, yang dulunya sedikit penduduknya, banyak dihuni orang Madura.17 Biasanya
para migran ini berangkat ke daerah yang berhadapan dengan kabupaten mereka. Jadi
arus migrasi dari Bangkalan, terutama tertuju ke Surabaya, Malang, Kediri, Madiun
dan Bojonegoro. Orang-orang Sampang terutama bermigrasi ke Pasuruan, Probolinggo
dan Lumajang. Sedangkan orang-orang Sumenep dan Pamekasan orientasi migrasinya
adalah ke Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.18 Hampir 2,5 juta orang Madura dalam
14 Edy Burhan, “Migrasi Orang Madura dan Jawa ke Jember (Suatu Kajian Historis Komparatif)”, dalam
jurnal Historia, Volume III No. 1/2006, hlm. 68
15

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Op. Cit., hlm. 149

Laurence Husson,“Eight Centuries of Madurese Migration to East Java”, dalam Asia and Pacific Migration
Journal, Volume 6, No. 1, hlm. 88

16

17 Werkschema Reboisatie Madoera, 1938:8. Lihat Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman:Pedagang,
Perkembangan Ekonomi dan Islam, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 24
18

Ibid, 9-10. Mengenai orang-orang Madura di Pasuruan lihat De Vries, 1931. Lihat Huub de Jonge, Op. Cit,
hlm. 24

5

tahun 1930 bertempat tinggal di luar Madura dan sebagian besar bertempat tinggal di
Jawa Timur.19
Di sisi lain, wilayah ‘Ujung Timur Jawa’ sebagai ‘tanah yang menjanjikan’ untuk
mengubah nasib, juga mendorong migrasi orang-orang Jawa, khususnya dari Jawa
Mataraman. Yogyakarta, dalam periode politik-ekonomi liberal, mengalami apa yang
disebut dengan monetisasi masyarakat pribumi. Sebelumnya, sistem birokrasi di
Yogyakarta terdiri dari dua, yakni birokrasi tradisional dan kolonial. Birokrasi
tradisional menerapkan sistem apanage. Sultan merupakan pemlik tanah, yang
dibagikan kepada para pembantunya sebagai tanah jabatan. Tanah apanage membentuk
stratifikasi sosial yang terdiri dari Sultan, patuh dan sikep. Sedangkan pihak aparatur
pemerintah kolonial berkuasa dalam menentukan dan melakukan penanaman tanaman
niaga. Ketika dalam masa politik-ekonomi liberal, terjadi perubahan sistem. Para
pekerja ditetapkan sebagai pekerja bebas dengan sistem kontrak dan upah. Hal ini
kemudian mengakibatkan proses monetisasi, yakni penerapan sistem uang dalam
perpajakan. Intensitas pajak yang dulunya dilakukan oleh birokrat tradisional semakin
berkurang.

Pengaruh

pemerintahan

kolonial

semakin

kuat,

terutama

sejak

diberlakukanya reformasi agraria. Tujuan reorganisasi atau reformasi agrariaadalah
untuk mengintegrasikan tanah-tanah yang terpencar dan terpotong menjadi sebuah
area perkebunan yang luas. Terbentuknya area perkebunan yang luas memudahkan
pengaturan jika dilihat dari segi manajemen, letak tanah, kebutuhan tenaga kerja serta
transportasinya.Proses reorganisasi ini dilakukan secara bertahap, dan baru tahun 1926
seluruh tanah apanagedan perkebunan berhasil direorganisasi.20 Proses reorganisasi
dan monetisasi menyebabkan petani semakin tergantung pada uang. Monopoli
perdagangan oleh pemerintah kolonial menjadikan masyarakat menjadi pihak yang
ditekan oleh penguasa. Banyaknya pengeluaran biaya penanaman, acara adat,
kebutuhan hidup dan beban pajak menyebabkan petani di Yogyakarta selalu megalami
kekurangan uang. Untuk menutupi kekuarangan uang, petani menyewakan lahannya
kepada pihak agroindustri, menggadaikan lahannya atau hutang dengan lintah darat
dengan bunga yang sangat tinggi. Jika hutang membengkak maka petani menggadaikan
sebagian atau seluruh lahannya. Jika hak dipindahkan maka hak kepemilikan akan
dicabut. Hal ini menyebabkan banyaknya jumlah kuli tlosor. Petani yang kehilangan
hak kepemilikan tanah ini, kemudian, lebih memilih bekerja di agroindustri.21 Kondisi
ini menyebabkan gelombang migrasi keluar dari Yogyakarta ke karesidenan lain yang
banyak tersedia lapangan pekerjaan dan lahan-lahan pertanian dengan kondisi
19 Statistical Pocketbook of Indonesia 1941, 1947:9. Dalam tahun 1930 orang Madura berjumlah 4,3 juta di
Indonesia, hampir 7,3% dari seluruh penduduk. Lihat Huub de Jonge, Op. Cit., hlm. 24
20

Suhartono,Op Cit., hlm. 96-97

21

Ibid hlm. 72

6

birokrasi yang lebih longgar, antara lain karesidenan Pasuruan dan Besuki. Para
migran asal Yogyakarta melewati Kediri sebagai tempat tinggal sementara kemudian
melanjutkan perjalanan ke arah Timur, ke karesidenan Pasuruan dan Besuki. Di
karesidenan Pasuruan, para migran Jawa tersebar di kabupaten Malang dan Lumajang,
yang tinggal di beberapa distrik antara lain Pagak, Turen, Kepanjen, Bululawang,
Tempeh, Lumajang, Kandangan dan Ranulamongan. Sampai tahun 1930, tercatat ada
15.796 migran dari Yogyakarta (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah migran asal Yogyakarta di Pasuruan Tahun 1930
Karesidenan

Jumlah

Kabupaten

Jumlah

Distrik

Jumlah

Malang

14.419 (7.527

Pagak

8.541

pria

dan

pria

6.892 wanita

(4.353
dan

4.118 wanita
Turen

2.859
pria

(1.543
dan

1.316 wanita
Kepanjen

± 1.000

Bululawang

Lebih

dari

800
Pasuruan

15.796

Lumajang

1.027

(554

Distrik lainnya

± 1.219

Tempeh

303 (168 pria

pria dan 473

dan

wanita

wanita
Lumajang

135

149 (75 pria
dan

74

wanita)
Kandangan

19 (9 pria dan
10 wanita)

Ranulamongan

556 (302 pria
dan

254

wanita)

Sumber :Volkstelling 1930 Deel VIII, hlm. 94: Volkstelling 1930 Deel III, hlm. 28 dan 3622
Khusus di Jember, dengan didirikannya perusahaan tembakau oleh Groge Birnie
pada 21 Oktober 1859, dengan nama NV Landbouw Maatscappij oud Djember LMOD,
gelombang migrasi mulai gencar, khususnya karena untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja perusahaan perkebunan. Geoge Birnie berhasil merangsang para pengusaha
22

Refi Refiyanto, Op. Cit., hlm. 117

7

Belanda untuk menanamkan modalnya di Jember. Perusahaan-perusahaan tersebut
antara lain Djelboek Maatscappij, Maatscappij Tabak Goemelar, Maatscappij Tabak
Soember Djeroek, Besoeki Tabak Maatscappij, NV Cultuur Maatscappij Iuid Djember,
Amsterdam Besoeki Tabak Maatscappij, Maatscappij Soekokerto Adjong, Soekokerto
Handel Maatscappij dan masih banyak puluhan kelompok pedagang Belanda (opkoper)
yang membeli tembakau jenis Naoogst dari penduduk setempat. Dengan perantara
orang Madura, tenaga kerja banyak didatangkan dari Madura, mereka mengajak sanak
saudara, tetangga dan orang Madura lain untuk pindah ke Jember. Sejak tahun 1870,
orang-orang Madura berduyun-duyun pindah dan menetap di daerah Jember. Selain
orang-orang Madura, mulai akhir abad 19, orang-orang Jawa juga mulai berdatangan ke
Jember. Para migran Jawa kebanyakan berasal dari daerah yang berpenduduk padat
dengan kondisi alam yang tidak baik seperti Bojonegoro, Ponorogo, Kediri dan sebagian
Vorstenladen.23 Perpindahan didukung dengan fasilitas jalur kereta api yang terbangun
sejak akhir abad 19, dari Surabaya-Probolinggo-Klakah,-Lumajang-Jember. Kedatangan
para migran Jawa sangat menguntungkan pihak pengusaha perkebunan, karena pekerja
Jawa dikenal sebagai pekerja yang baik dan ramah, daripada pekerja Madura yang
umumnya bertemperamen keras dan susah diatur.24
Gelombang migrasi yang besar, baik dari Jawa maupun Madura, dikarenakan
pada tahun 1880an jumlah perkebunan di daerah Jember semakin banyak dan
membutuhkan tenaga tenaga kerja yang banyak pula. Di Jember tahun 1870an, jumlah
penduduk Madura (44.041) nyaris dua kali lipat dari penduduk Jawa (23.822) (lihat
tabel 3). Eksistensi orang Madura lebih dominan jika dilihat dari segi jumlah daripada
orang Jawa. Hal ini dikarenakan migrasi orang Madura terjadi lebih awal daripada
migrasi orang Jawa.

23 Sejak tahun 1799 digunakan istilah “Vorstenladen” untuk menyebut daerah kerajaan Yogyakarta dan
Surakarta. Selanjutnya lihat G.P. Rouffaer, “Vorstenladen”, Adatrechtbundels, 34, 1931, hlm.2. Lihat
Suhartono, Op. Cit.hlm. 23.
24

Edy Burhan, Op. Cit., hlm, 66-69.

8

Tabel 3. Komposisi penduduk Jawa dan Madura yang pindah dan bermukim di afdeling
Jember tahun 1870-an
Distrik

Jumlah
Orang Madura

Orang Jawa

Kalisat

9.570

244

Mayang

9.318

473

Jember

8.025

1.134

Rambipuji

6.107

3.664

Tanggul

6.307

3.415

Puger

2.434

7.500

Wuluhan

2.280

7.350

44.041

23.822

Total

Sumber: J. Tennekes, "De Bevolkingsspreiding der Residentie Besoeki", dalam
Tijdschrift van het Konilijk Nederlandsche Aardrijkskundig Genootacha, Amsterdam,
196325
Lunga: Para perantau yang mengadu nasib
Para perantau yang bermigrasi khususnya ke ‘Ujung Timur Jawa’ tentu dalam
proses perpindahannya tidak berada dalam ruang yang kosong. Konsekuensi sosial dan
kultural terjadi sebagai efek dari pembawaan budaya para migran. Para perantau baik
dari Jawa maupun Madura26 mengharapkan adanya perubahan nasib di tanah
perantauan, di ‘Ujung Timur Jawa’. Harapan akan perubahan nasib berarti keinginan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Dalam konteks Madura, melihat sejarahnya,
ada dua pola migrasi orang Madura, yakni migrasi musiman dan permanen (seasonal
and permanent migration), istilah ongghâ (naik) dan (toron) muncul ketika terjadi
seasonalmigration.
Selama musim kemarau, ketika air sangat jarang, pekerja-pekerja migran meninggalkan
pulau (ongghâ) dan kembali (toron) lagi setelah masa panen, atau pada akhir Ramadhan,
untuk berpesta bersama keluarga mereka. Mereka biasanya tinggal di Jawa selama tiga
sampai enam bulan atau dua minggu sampai satu bulan. Para pedagang biasanya tinggal
lebih lama, enam bulan atau lebih. (Kuntowijoyo, 2002: 78)

Ongghâ terjadi ketika musim tanam sampai panen selesai, atau pada saat musim
kemarau, ketika orang Madura hendak mencari penghasilan tambahan, setelah sekitar
Lihat Edy Burhan Arifin, “Emas Hijau” di Jember Asal-Usul Pertumbuhan dan Pengaruhnya dalam
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat 1860-1980, Tesis UGM, 1989, hlm. 100.

25

26 Tentu para perantau itu tidak hanya orang-orang Jawa dan Madura. Untuk sementara saya masih
merajut benang historis-kultural hanya dari Jawa dan Madura, hanya demi kepentingan melihat
kemunculan istilah pedalungan. Tulisan ini juga masih dikembangkan untuk melihat lagi kemungkinan
peran orang Cina, Bugis, Arab dan kelompok etnis lain dalam konteks pertemuan berbagai kebudayaan
khususnya di ‘Ujung Timur Jawa’.

9

enam bulan melakukan pekerjaan pertanian. Sedangkan toron terjadi ketika hari raya
Idul Fitri di mana hari itu merupakan momen berkumpul bersama keluarga. Inilah
bentuk keterikatan para migran dengan kampung halamannya di Madura, jalinan ini
juga merupakan manifestasi kuatnya kekerabatan dan kekeluargaan para migran
dengan orang-orang di kampung halamannya.27 Dalam konteks perantau Madura,
ongghâ

bisa

diartikan

pergi

ke

tanah Jawa

dengan

harapan

meningkatkan

kesejahteraan hidup. Jika dilihat kembali selama abad 19, kemiskinan dan kelaparan
menjadi permasalahan kronis di Madura. Maka merantau ke tanah Jawa menjadi satu
solusi dalam mengatasi kesejahteraan hidup, yang turut diddorong dengan permintaan
tenaga kerja di perusahaan perkebunan partikelir yang menjamur di masa politikekonomi liberal.
Derasnya arus migrasi orang Madura ke ujung timur Jawa khususnya di akhir
abad ke 19 membuat mereka banyak bermukim dan jumlahnya cukup signifikan.
Bahkan, di daerah tertentu seperti di Jember, jumlah penduduk Madura lebih dominan,
hampir dua kali lipat, dari orang Jawa. Para migran Madura ini kemudian mendapat
sebutan pedalungan. Pedalungan berasal dari bahasa Jawa yang merupakan gabungan
dari dua kata, medal (satuan leksikal dari level krama, yang bermakna keluar, pergi,
merantau dan meninggalkan) dan lunga (berasal dari level bahasa ngoko, yang
bermakna berangkat, pergi atau keluar). Terminologi tersebut diperuntukkan bagi orang
asli Madura, secara genetis, yang tinggal dan menetap di luar pulau Madura, khusunya
di Jawa bagian timur. Sebutan ini disematkan oleh orang Jawa yang tinggal di Surabaya
dan Yogyakarta.28 Kecenderungan sebutan ini lahir di luar tanah perantauan—di luar
‘Ujung Timur Jawa—yang dimaksudkan untuk memberi nama para perantau Madura
yang jumlahnya cukup signifikan. Orang medalungan juga merujuk pada mereka yang
tinggal jauh dari rumah untuk waktu yang lama, bahkan sampai menetap, dan oleh
karenanya kehilangan karakter aslinya. Istilah ini kadang juga merujuk pada anak,
yang ayahnya Madura dan ibunya non-Madura, sebagai akibat dari migrasi (anak
medalungan). Istilah ini juga digunakan untuk membedakan atau mengopossisikan
antara Madura asli dengan orang Madura yang berada di luar pulau Madura.29 Para
perantau ini tidak ingin memutuskan hubungan dengan tanah aslinya atau kultur serta
27

Yongky Gigih Prasisko,Blandongan: Perebutan Kuasa Budaya Masyarakat Jawa dan Madura,
(Yogyakarta: LPRIS), hlm. 14-15.
Konstantinos Retsikas, “Being and Place: Movement, Ancestors, and Personhood in East Java, Indonesia”,
dalam The Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 13, No. 4 (Dec., 2007),hlm. 983

28

“Un autre terme celui d’ orang medalungan désigne ceux qui vivent loin de chez eux depuis longtemps qui
sont partis, qui on fait souche ailleurs et ont donc perdu de veu leur terre d’origine. Ce terme qualifie parfois
aussi les enfants de père madurais et de mère non-maduraise, nés à la suite d’une migration
(anakmedalungan). Les Madurais nés à Madura sont dénomés Madura Asli, par opposition à ceux nés en
dehors de l’île”, Laurence Husson, La migration Madurese vers l’est de Java, (Paris: L’Harmattan, 1995), hlm.
20-21
29

10

masyarakat tempat ia berasal. Mereka kebanyakan cocok dengan lingkungan—sosial
budaya—barunya, tetapi tetap tidak meninggalkan budaya aslinya, bahkan ketika
mereka memilih menetap. Mereka sangat sering berhubungan dengan budaya lain yang
dibawa kelompok etnis lain, mereka sepenuhnya sadar akan identitas mereka, dan
memiliki ungkapan untuk diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan kelompok
etnis lain.
Di sisi lain, dalam konteks Jawa, pada tahun 1743 Mataram telah menyerahkan
wilayah Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki dan sebagian
Madura kepada VOC dan menjadikannya gubernemen. Secara administratif Mataram
tidak berkuasa terhadap daerah-daerah tersebut, dan secara kognitif daerah tersebut
sudah dianggap ikut Belanda.Dalam tata negara Mataram, wilayah yang dekat dengan
kerajaan disebut dengan negaragung,30 sedangkan daerah luar kerajaan disebut
mancanegara.31 Daerah-daerah mancanegara di sebelah timur dan barat wilayahwilayah kerajaan mulai diambil alih oleh Inggris pada Agustus 1812 dan akhirnya
dikuasai oleh Belanda pada 1830. Secara kultural wilayah mancanegara ditempatkan
dalam posisi periferi yang beperan sebagai pendukung kerajaan dalam negaragung.
Ketika mancanegara sudah dikuasai Belanda, daerah dan masyarakatnya kemudian
dipahami sebagai pendukung Belanda.
“Tolé tékane waé, Landa bakal lunga saka bumi kéné.”32 Kalimat tersebut saya
kutip untuk menjelaskan makna lunga dalam kaitan antara Mataram dengan Belanda.
Lunga di sini bermakna menyingkir karena keberadaannya membuat banyak masalah,
dalam hal ini menunjuk Belanda. Ketika dibawa dalam konteksmancanegara sebagai
pendukung Belanda artinya wilayah dan masyarakatmancanegara secara kultural

30

Negaragung atau negara agung merupakan daerah inti kerajaan, lahan-lahan di kawasan keratin. Lahanlahan ini dipakai sebagai tanah-tanah raja (narawito, bumi pamajegan-Dalem) untuk menghasilkan produkproduk khusus, seperti sayur mayor dan buah-buahan, pajak dan tenaga kerja-bakti untuk keratin, dan
sebagai tanah jabatan (lungguh) atau tanah garapan untuk anggota keluarga raja serta pejabat tinggi
keratin. Lihat Peter Carey, KuasaRamalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 17851855 (Jilid III) edisi kedua, penerjemah Parakitri T. Simbolon, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2012), hlm. 998
Mancanegara merupakan daerah-daerah terluar atau provinsi –provinsi terjauh di kerajaan. Daerahdaerah terluar ini semula dimasukkan ke dalam harta warisan raja lewat penaklukan, diperintah langsung
oleh bupati daerah itu sendiri, berbeda dengan negaragung yang diperintah oleh patih atas nama raja. Lihat
Peter Carey, Op.Cit., hlm. 997. Ada juga kategori pasisirsebagai daerah luar, selain nagaragung sebagai
daerah inti atau dalamdan mancanegara sebagai daerah sekitar atau daerah tetangga. Lihat Soemarsaid
Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi tentang Zaman Mataram II Abad
XVI sampai XIX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 118

31

32 “Tandatangani saja, nak, orang Belanda bakal pergi dari bumi ini” (Cetak tebal kutipan oleh penulis).
Kalimat tersebut merupakan bisikan mistis yang dialami Sultan HB IX yang menandakan posisinya
berlawanan dengan Belanda. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa:Silang Budaya Kajian, Sejarah Terpadu,
Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Cetakan Keempat), penerjemah W.P. Arifin, R.S.
Hidayat, N.H. Yusuf,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Form Jakarta-Paris dan
École française d’Extrȇme-Orient, 2008), hlm. 69

11

adalah

orang-orang

tersingkir

dan

disingkirkan,

oleh

Mataram.

Penamaan

pedalungan(medal+lunga) untuk para perantau yang berada di luar kekuasaan
Mataram, khususnya di ‘Ujung Timur Jawa’ adalah praktik penyingkiran secara
kultural, bahwa mereka sudah bukan bagian dari Jawa-Mataram. Hal ini terbukti
dengan adanya percampuran kultur Jawa dengan kultur lain, yang membuatnya tidak
lagi membawa/menjaga kultur Jawa-Mataram yang asli. Tak hanya itu, dalam hal kelas
sosial secara historis, mancanegara adalah wilayah penaklukan Mataram, yang orangorangnya ditempatkan antara lain sebagai pembayar pajak yang mesti tunduk di bawah
penguasa. Kebanyakan mereka menempati kelas sosial rendah. Ketika mereka
merantau untuk menjadi tenaga kerja di perkebunan partikelir, mereka juga berada di
golongan kelas buruh. Jadi para perantau ini, dalam konteks Jawa, secara kultural
tersingkir dan secara sosial berada di golongan kelas bawah.
Pedalungan, sebuah hipotesis
Pertama, istilah pedalungan diperkirakan lahir pada periode ekonomi-politik
liberal sejak tahun 1870 sampai 1900, pada saat pemerintahan kolonial Belanda
membuka kran investasi swasta dalam mendirikan perusahaan, khususnya perusahaan
perkebunan partikelir. Pada saat itu, perusahaan perkebunan membutuhkan banyak
tenaga kerja yang diantaranya sebagai kuli, pekerja kasar, pekerja kebun, pembabat
alas, penggalian bangunan, tenaga kerja lapangan; penanaman, pemeliharaan dan
penuaian, serta proses pengolahan bahan mentah di pabrik. Secara birokrasi para
pekerja tersebut berada di golongan kelas bawah, di bawah golongan prakarsa, penanam
modal dan pengelola.
Kedua, pedalungan digunakan untuk menamai para perantau yang keluar
(lunga) dari kampung halamannya untuk mencari kerja demi tujuan mengubah nasib,
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Jika melihat konteks Madura, selama abad 19,
kemiskinan menjadi permasalan sosial yang kronis. Kekurangan beras dan bahan
pangan yang terus-menerus, ditambah dengan situasi yang memburuk karena bencana
kelaparan, menjadikan merantau sebagai satu solusi yang diharapkan mampu
mengubah kondisi hidup. Dalam konteks Mataram, tekanan dualisme kekuasaan;
Belanda dan Kerajaan, serta monetisasi menjadikan masyarakat hidup dalam
kekurangan. Hal ini mendorong mereka untuk bermigrasi atau merantau untuk mencari
lapangan pekerjaan. Selama periode ekonomi-politik liberal, perusahaan-perusahaan
perkebunan yang banyak dibuka, khususnya di Ujung Timur Jawa, memberikan mereka
banyak kesempatan menjadi tenaga kerja perkebunan.
Ketiga, pedalungan ditafsir sebagai praktik eksklusi dari pihak Madura untuk
menandai atau membedakan secara oposisional orang-orang Madura yang tinggal dan
menetap di luar pulau Madura dengan orang Madura yang tinggal di pulau Madura.
12

Dalam relasinya dengan Jawa, pedalungan digunakan untuk menamai para pendatang
Madura di tanah Jawa, yang jumlahnya cukup banyak, bahkan di daerah-daerah
tertentu jumlahnya sampai melebihi penduduk Jawa. Jumlah yang dominan ini berefek
menggeser eksistensi kelompok etnis lain. Maka dari itu istilah pendatang, perantau dan
pedalungan mengandung muatan politis perihal dominasi eksistensi sosio-kultural dan
legitimasi kuasa dalam suatu masyarakat. Menyandang label pendatang, perantau
maupun pedalungan, secara kultural diasingkan dari suatu masyarakat. Di sisi lain,
dalam

konteks

antarJawa,

pemberian

nama

pedalungan

merupakan

praktik

penyingkiran secara kultural terhadap orang-orang yang sudah keluar–lunga dari
wilayah Mataram–Negaragung. Mereka adalah orang-orang mancanegara—sejak 1743
di luar kekuasaan Mataram dan dikuasai Belanda—yang dianggap sudah ikut Belanda.
Mataram mengganggap orang-orang Mancanegara tersebut sudah lunga baik secara
geografis maupun kultural. Secara geografis mereka berada di luar wilayah (kekuasaan)
Mataram, secara kultural budaya mereka sudah bercampur dengan budaya lain, yang
berarti tergerusnya budaya Mataram asli. Melalui pemberian nama pedalungan, ada
praktik penyingkiran orang-orang perantauan, khususnya di Ujung Timur Jawa. Secara
kultural mereka adalah orang-orang yang tersingkir, dan secara kelas sosial mereka
berada di golongan kelas bawah (buruh).

13

Daftar bacaan
Arifin, E. B., 1989, “Emas Hijau” di Jember Asal-Usul Pertumbuhan dan Pengaruhnya
dalam Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat 1860-1980, Tesis UGM tidak
diterbitkan.
Arifin, E. B, 2006, “Migrasi Orang Madura dan Jawa ke Jember (Suatu Kajian Historis
Komparatif)”, dalam Historia, Volume III No. 1/2006.
Assisi, Fransiscus, 1983, Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII sampai
Medio Abad XIX), Disertasi UGM tidak diterbitkan.
Carey, Peter, KuasaRamalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,
1785-1855 (Jilid III) edisi kedua, penerjemah Parakitri T. Simbolon, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Husson, Laurence, 1995, La migration Madurese vers l’est de Java, Paris: L’Harmattan.
,“Eight Centuries of Madurese Migration to East Java”, dalam Asia and Pacific Migration
Journal, Volume 6, No. 1.
Jones, Tod, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama
Abad ke-20 Hingga Era Reformasi, penerjemah Edisius Riyadi Terre, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Jonge, Huub de, 1989, Madura dalam Empat Zaman:Pedagang, Perkembangan Ekonomi
dan Islam, Jakarta: PT Gramedia.
Kartodirdjo, S. dan Suryo, D.,Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi,
Yogyakarta: Aditya Media.
Konstantinos Retsikas, 2007, “Being and Place: Movement, Ancestors, and Personhood in
East Java, Indonesia”, dalam The Journal of the Royal Anthropological Institute,
Vol. 13, No. 4 (Dec., 2007).
Kuntowijoyo, 2002, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940,
Yogyakarta: Mata Bangsa.
Lombard, Denys, 2008, Nusa Jawa:Silang Budaya Kajian, Sejarah Terpadu, Bagian III:
Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Cetakan Keempat), penerjemah W.P.
Arifin, R.S. Hidayat, N.H. Yusuf, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
bekerjasama dengan Form Jakarta-Paris dan École française d’Extrȇme-Orient.
Margana, Sri, 2012, Ujung Timur Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan,
penerjemah Khoirul Imam,Yogyakarta: Pustaka Ifada.
Moertono, Soemarsaid, 1985, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau:
Studi tentang Zaman Mataram II Abad XVI sampai XIX, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Oktasari, I.N., 2014, Perkebunan Kopi Rakyat di Jawa Timur 1920-1942, AVATARA, ejournal pendidikan Sejarah, Volume 2 nomor 1.
Prasisko, Yongky Gigih, Blandongan: Perebutan Kuasa Budaya Masyarakat Jawa dan
Madura, Yogyakarta: LPRIS.

14

Refiyanto, Refi, 2015, Migrasi Orang-Orang Yogyakarta ke Pasuruan 1900-1930, Skripsi
UNY tidak diterbitkan.
Remmelink, W.G.J, 1994, The Chinese War and the Collapse of the Javanese State, 17251743, Leiden: KITLV.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, penerjemah Dharmono Hardjowidjono,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rouffaer, G.P., 1931, “Vorstenladen”, Adatrechtbundels, 34.
Siswoyo, P.S., 1993, Kopi Internasional dan Indonesia, Yogjakarta: Kanisius.
Statistical Pocketbook of Indonesia 1941, 1947, Batavia: Departement of Economic
Affairs, Central Bureau of Statistics.
Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Tennekes, J., 1963, "De Bevolkingsspreiding der Residentie Besoeki", Amsterdam:
Tijdschrift van het Konilijk Nederlandsche Aardrijkskundig Genootacha.
Vries, E. de, 1931, Landbouw en Welvaart in het regenschap Pasoeroean, Wageningen:
Landbouhageschool.
Werkschema Reboisatie Madoera, 1938, Pamekasan: Residentiekantoor.

15