Kajian Tentang Mutisme Selektif pada Sis

Kajian Tentang Mutisme Selektif pada Siswa di Sekolah Umum
Shanti Yanuarini
(yanuarsephti@gmail.com)
Program Studi Magister Sains Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRAK
Mutisme Selektif adalah kasus yang jarang dikaji di Indonesia. Pada umumnya, guru yang
belum mengenal gejala Mutisme Selektif akan mereduksi gangguan ini dengan penyebutan
kata “pemalu” padahal Mutisme Selektif ini mempunyai gejala yang berbeda dari sekedar
sifat pemalu.
Jika merujuk pada American Psychiatric Association, Mutisme Selective dideskripsikan
sebagai “persistent failure to speak in specific social situations (e.g., school, with playmates)
where speaking is expected, despite speaking in other situations” (American Psychiatric
Association, 2000, p. 125). Orangtua penderita Mutisme Selektif lebih senang memasukkan
anak mereka pada sekolah dasar umum karena anak Mutisme Selektif umumnya memiliki
fungsi organ tubuh yang normal. Dengan kata lain anak Mutisme Selektif memiliki
kemampuan berbicara dan mendengar dengan baik, hanya saja ia “menarik dirinya” dari
lingkungan sosial sehingga ia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Hal yang menjadi salah satu permasalahan dalam dunia pendidikan adalah banyaknya guru di
sekolah umum yang tidak dibekali dengan pemahaman psikologis anak berkebutuhan khusus,

sehingga mereka akan kesulitan memberikan terapi atau treatment yang terbaik dalam
menangani kasus ini. Makalah ini menawarkan penjelasan yang berbasis psikologis mengenai
kasus Mutisme Selektif, penyebab, gejala maupun contoh kasus Mutisme Selektif di sekolah
umum dan treatment yang dapat diberikan bagi kasus ini. Laporan yang diberikan merupakan
hasil studi literatur mengenai Mutisme Selektif dan laporan wawancara dengan guru
mengenai kasus Mutisme Selektif di sekolah umum.

Kata kunci : Mutisme Selektif, sekolah umum

Pendahuluan
Kasus Mutisme Selektife belum banyak menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia. Hal ini
terlihat dari sedikitnya refrensi berupa jurnal maupun buku berbahasa Indonesia yang secara
spesifik membahas mengenai kasus Mutisme Selektif. Sementara itu, laporan mengenai
jumlah penderita gangguan Mutisme Selektif juga jarang ditemukan karena minimnya
pengetahuan mengenai kasus Mutisme Selektif.

Kata Mutisme Selektif menunjuk pada gangguan yang terjadi pada anak dimana anak
memilih untuk berbicara pada situasi sosial tertentu (seperti misalnya di rumah atau di
lingkungan tempat dia merasa nyaman) dan tidak berbicara pada situasi sosial yang lain (di
sekolah atau di lingkungan yang dirasanya asing atau membuatnya tidak nyaman (DSM IV,

2000).
Menurut Wood (1981), berbicara adalah cara anak untuk mengkomunikasikan pemikirannya
untuk membangun kepercayaan atau pemahaman terhadap dunia mereka, diri mereka
maupun orang lain. Dengan berbicara atau berkomunikasi, seorang anak akan mampu
memahami dunia mereka dan hal-hal yang penting dalam hidup mereka dan jika mereka
dapat memahami dunia mereka, mereka akan dapat berlaku secara mandiri di lingkungan
tersebut. Komunikasi tersebut dapat terjadi secara verbal maupun secara non verbal(Wood,
1981). Bagi anak dengan gangguan Mutisme Selektif, ketiadaan komunikasi ini akan
menghambat pemahaman mereka atas dunianya dan menghambat kemandirian mereka untuk
berinteraksi secara baik.
Dalam kasus anak yang menderita gangguan Mutisme Selektif ini, saat di sekolah, guru biasa
mengkaitkan keadaan ini dengan sifat pemalu. Dalam penelitian yang diadakan oleh
Schwartz, Freedy, and Sheridan (2006) yang telah melakukan survey menyatakan dokter
penyakit anak menyebut ini sebagai sifat pemalu dan mereka meyakinkan orangtua bahwa hal
ini akan segera berlalu. Mutisme Selektif juga terkadang dipandang dalam 2 perspektif yakni
“karakter yang tidak dewasa dan manipulatif” atau “perasaan tegang dan cemas (Labbe and
Wiliamson, 1984)
Menurut kriteria yang terdapat dalam DSM IV, yang dikategorikan sebagai Mutisme Selektif
adalah :
1. Kegagalan untuk berbicara di situasi sosial tertentu (yang mana diharapkan

adanya kebutuhan untuk berbicara seperti contohnya di sekolah), namun ia
berbicara di situasi yang lain.
2. Gangguan yang dialami menganggu pencapaian pendidikan atau pekerjaan atau
dengan komunikasi sosial.
3. Lamanya gangguan ini sekurangnya 1 bulan (tidak terbatas pada bulan pertama di
sekolah)
4. Kegagalan untuk berbicara bukan karena gangguan komunikasi (contoh: gagap)
dan tidak muncul semata mata karena gangguan lain seperti misalnya gangguan
perkembangan pervasif, Schizophrenia atau gangguan psikotis lain.
Shyness atau pemalu adalah sebuah reaksi emosional sementara yang dipicu oleh datangnya
orang baru dan situasi baru (Cheek, 1989). Dalam penelitian yang diadakan oleh Cheek and
Watson, ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai apakah seseorang tersebut
pemalu atau tidak yakni : pipi merona, gemetar, merasa kesal, menjadi pendiam, pembicaraan
kaku, menggunakan perilaku non verbal, penarikan diri dari kontak sosial atau menghindari
interaksi (Cheek, 1984).
Walaupun Mutisme Selektif dan pemalu (shyness) mempunyai kesamaan pada hal menarik
diri pada kontak sosial, namun sesungguhnya keduanya memiliki pemahaman yang berbeda.
Anak dengan gangguan SM memiliki rasa percaya diri untuk berbicara pada situasi tertentu
misalnya dengan orangtua atau orang yang terdekat dan kasus ini dapat berlangsung lama.


Sementara dari definisi Cheek mengenai shyness menyatakan bahwa ini hanya berlangsung
sementara.
Gangguan Mutisme Selektif juga sering dikaitkan dengan Social Phobia. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Black dan Uhde, 1995 menyatakan bahwa 90% anak yang memiliki
gangguan SM juga memiliki hubungan dengan social phobia. yang ditandai dengan rasa
takut untuk menghadapi keadaan sosial atau kinerja yang mengekpos mereka dalam
pengawasan Ollendick & Hirshfeld-Becker (2002). Social Phobia umum terjadi pada usia
remaja dan terkadang pada masa anak-anak, dan jarang terjadi di usia diatas 25 tahun
(Scheneider et al, 2001)
Pada umumnya gangguan SM terjadi pada usia yang bervariasi tetapi terutama pada anak di
usia sekolah. Laporan menuliskan bahwa gangguan ini terjadi paling banyak pada usia 5 atau
6, tetapi dapat juga terjadi pada anak yang lebih muda yakni pada usia 2 tahun 7 bulan (Black
& Uhde, 1995) sampai 5 tahun 4 bulan (Ford et al., 1998). Santrock menyatakan bahwa anak
berusia 2,5 – 6 tahun memiliki kemampuan untuk menggunakan kata untuk mempengaruhi
perilaku, menjadi semakin mantap secara kognitif, mampu bekerjasama terutama pada
permainan sosiodrama. Dalam hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan sekolah, anak
anak pada masa akhir menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman teman sebaya.anak
anak memiliki waktu yang cukup banyak untuk berinteraksi bersama teman teman sebayanya.
Interaksi tersebut dapat terjadi di sekolah maupun di luar sekolah (Santrock, 2002). Bersama
rekan sebayanya, anak berusaha untuk mengembangkan hubungan dengan orang baru serta

berusaha untuk mengembangkan standar yang dimilikinya untuk dapat menilai diri sendiri
dan memperkaya pengetahuan mereka (Santrock, 2002). Ia juga mengembangkan
keterampilan untuk mendengarkan dan berkomunikasi secara efektif serta bergembira dan
memperlihatkan antusiasme dan kepedulian terhadap orang lain serta memiliki rasa percaya
diri dan selama masa bersekolah, mereka belajar untuk bersosialisasi dan mengikuti aturan
yang ditetapkan. Bagi anak penderita Mutisme Selektif, mereka menarik dirinya dan
bertindak sebagai pengamat saat teman temannya bermain. Dan konsekuensinya adalah
mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi baik secara
verbal maupun non verbal untuk membantu dirinya dalam menghadapi dunianya.
Sebuah penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa anak dengan gangguan mutisme
selektif lebih banyak diderita oleh anak perempuan daripada anak laki-laki (Kumpulainen,
2002; Standart & Couteur, 2003) dan rasio perempuan dibanding laki laki adalah 2,6 : 1
sampai 1,51 : 1 (Garcia, Freeman, Francis, Miller, & Leonard, 2004). Dapat dikatakan bahwa
dari 2 anak perempuan yang menderita mutisme selektif terdapat 1 anak laki laki menderita
gangguan yang sama.

Penyebab Mutisme Selektif
Menurut pendapat ahli, ada beberapa penyebab dari Mutisme Selektif ini seperti misalnya
kematian seseorang yang disayangi, perceraian orangtua, kecemasan dalam keluarga seperti
misalnya orangtua yang overprotektif (Black and Uhde (1995)), Ada yang menyatakan

karena adanya trauma pada masa kanak-kanak, atau karena faktor keturunan (Camposano
2011). Peneliti menemukan bahwa kebanyakan anak dengan gangguan Mutisme Selektif juga
memiliki keterkaitan dengan social phobia, salah satu tipe kecemasan sosial yang
menyebabkan rasa takut pada seseorang atau lebih atau situasi dimana orang tersebut
diekspose oleh orang yang tidak dikenal (Black & Udhe, 1995; Dummit, et al., 1997, as cited
in Chavira, et al. 2007; Yeganeh, et al., 2006)

Dalam sebuah literatur mengenai mutisme selektif, ada pula disebutkan bahwa mutisme
selektif dapat disebabkan karena berasal dari keluarga migran, trauma pada masa awal
sekolah, adanya luka/cedera pada mulut atau ada rahasia dalam keluarga (Hesselman 1883;
Kolvin & Fundudis 1981; Leonard & Topol 1993)

Jenis Jenis Mutisme Selektif
Porter (2008) membagi kasus Mutisme Selektif ini menjadi beberapa jenis yakni transient
mutism dimana ia menolak untuk berbicara selama beberapa minggu di awal namun
kemudian kembali seperti semula. Grup yang kedua disebut grup migran dimana anak yang
bilingual (memiliki kemampuan berbicara dalam 2 bahasa) memiliki rasa kurang percaya diri
untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Grup yang ketiga memiliki gangguan ganda seperti
misalnya keterlambatan perkembangan, berbicara dan bahasa, atau sindrom asperger.
Kelompok yang keempat disebut persistent mutism yang gejalanya bisa bertahan selama tiga

tahun atau lebih. Menurut penelitian, perkiraan untuk kelompok 4 ini diperkirakan sekitar 0,8
% per 1000 anak pada usia 7 tahun dan semakin menurun pada anak yang berusia di
bawahnya.
Sementara menurut Utnick, Mutisme Selektif dapat dibagi menjadi 4 tahap yakni :
1. Mild  berkomunikasi dengan keluarga atau yang dianggap dekat dengannya, sedikit
menggunakan simbol nonverbal untuk berkomunikasi dengan orang luar
2. Moderate  mampu memproduksi suara tanpa kata
3. Moderately severe berkomunikasi dengan bahasa non verbal (dengan gesture dll)
4. Severe  tidak berkomunikasi secara verbal maupun non verbal
Lebih lanjut lagi, Utnick juga menjelaskan mengenai ciri ciri anak SM di sekolah yakni :
1. Jika ia merasa cemas, maka ia akan duduk ataupun berdiri tanpa bergerak ataupun
berekspresi
2. Menatap langit langit apabila mendapat pertanyaan
3. Meningkatkan sensitivitas sensory termasuk pada saat di keramaian
4. Kesulitan untuk mengikuti kegiatan sosial yang melibatkan bahasa yang ekspresif
5. Kesulitan untuk melakukan kontak mata
6. Sulit baginya ketika ia menjadi pusat perhatian, padahal mereka merasa mereka
adalah pusat perhatian
7. Jika tidak tertangani, maka SM dapat memicu masalah lain termasuk rendah diri, dan
phobia pada sekolah dan pada teman lain


Tes Mutisme Selektif

Untuk mengetahui apakah anak atau siswa kita menderita mutisme selektif, Selective Mutism
Foundation telah membuat seragkaian pertanyaan tes yang merujuk pada diagnosa dalam
DSM IV maka ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab yakni :
Apakah anak anda memiliki ketakutan tanpa alasan untuk berbicara di depan kelas
atau dengan anak lain atau orang dewasa saat di sekolah, restaurant atau toko ?
2. Apakah kegelisahan itu mempengaruhi kehidupan sehari hari mereka?
1.

3. Apakah anak tampak cemas ketika berinteraksi dengan sebaya?
4. Ketika anak diharapkan untuk berbicara, apakah anak tersebut bereaksi dengan
memberi ekspresi kosong pada wajahnya?
5. Apakah anak tersebut melekat pada orangtua atau bersembunyi di kamar ketika ada
orang datang berkunjung?
6. Apakah anak tersebut tersenyum ketika sedang difoto oleh fotografer profesional
(selain foto yang diambil di rumah)?
7. Apakah anak tersebut memiliki kekuatiran secara berlebihan untuk berbicara di depan
umum?

8. Apakah anak tersebut memiliki kekuatiran secara berlebihan ketika dipanggil oleh
guru di kelas untuk respon verbal?
9. Apakah anak tersebut mengalami kesulitan pada performance non verbal di kelas ?
10. Apakah anak enggan untuk ke sekolah atau menghindari kegiatan sosial yang sesuai
dengan usianya?
11. Apakah anak mengalami sakit kepala atau sakit perut saat datang ke sekolah?
12. Apakah anak berbicara di rumah dengan menggunakan suara normal tetapi tidak
berkata apapun saat di depan umum?
13. Apakah komunikasi non verbal di sekolah atau tempat umum itu berlangsung lebih
dari 1 tahun?

Mutisme Selektif di sekolah
Sekolah adalah suatu lembaga formal yang dirancang untuk memberi pendidikan dan
pengetahuan pada anak. Berdasarkan lembaga yang mendirikan, sekolah di Indonesia dibagi
menjadi sekolah Negeri dan Sekolah Swasta. Berdasarkan fungsi atau manfaatnya, sekolah
dibagi menjadi SLB, Sekolah Inklusi dan Sekolah Umum. Menurut Putri (2012), Pendidikan
Inklusi merujuk pada sistem sekolah yang terbuka bagi semua siswa. Yang membedakan
sekolah umum dengan sekolah inklusi adalah sekolah umum menerima anak berkebutuhan
khusus tetapi anak tersebut harus menyesuaikan diri dengan standar dan proses belajar yang
dimiliki oleh sekolah umum, sementara sekolah inklusi menyaratkan penerimaan anak


berkebutuhan khusus dan menyediakan pelayanan untuk setiap anak berkebutuhan khusus
tanpa kecuali.
Deklarasi Bandung yang menyatakan bahwa “menjamin setiap anak berkelainan dan anak
berkebutuhan khusus lainnya mendapat kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan baik
dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, kesejahteraan, keamanan, dan bidang lainnya
sehingga menjadi generasi penerus yang handal”. Berdasarkan keputusan itulah maka setiap
anak, termasuk anak berkebutuhan khusus seperti gangguan Mutisme Selektif berhak untuk
masuk pada sekolah umum. Dikarenakan anak dengan gangguan Mutisme Selektif adalah
anak berkebutuhan khusus, maka merekapun patut untuk mendapatkan perhatian khusus.
Walau kasus Mutisme Selektif jarang dijumpai di sekolah reguler, namun bukan berarti tidak
ada kasus seperti ini di sekolah reguler. Dalam catatan Standard dan Couteur (2003) hal ini
berkaitan dengan “hidden SM” atau SM tersembunyi dimana siswa dalam kasus SM tidak
terdeteksi secara klinis saat di sekolah karena mereka bukanlah anak yang memiliki masalah
perilaku (seperti agresivitas atau memiliki perilaku menyimpang) saat kegiatan belajar di
kelas. Karena itulah data ataupun jurnal mengenai kasus mutisme selektif, terutama di
Indonesia, jarang ditemukan.

Wawancara dengan guru Sekolah Umum
Wawancara dilakukan oleh penulis untuk mengetahui sejauh mana pemahaman guru

mengenai kasus mutisme selektif. Pada umumnya guru belum familiar dengan kata Selective
Mutism karena belum pernah mendengar kasus itu sebelumnya. Jika diberi contoh kasus
mengenai mutisme selektif, guru menghubungkan kasus tersebut dengan sifat pemalu, tidak
nyambung dengan keadaan (berkaitan dengan kognitif), atau anak tersebut sedang
bermasalah. Contoh kasus yang diberikan mengenai anak mutisme selektif umumnya tidak
berkaitan dengan gejala yang dimiliki anak mutisme selektif yakni pemalu sehingga
bicaranya sedikit, atau karena dia anak baru sedikit bicara atau sebagai akibat karena dia
anak baru sehingga butuh penyesuaian. Jika menjumpai kasus anak dengan gangguan
mutisme selektif tersebut guru akan mengajak anak tersebut untuk berbicara, menghubungi
orangtua dari anak yang bersangkutan, menghubungi pihak yang berwenang di sekolah
(dalam hal ini adalah leader) untuk diambil tindakan, memasangkan dengan teman lain (peer
system) sampai dia merasa nyaman. Alternatif lainnya adalah dengan mengajaknya
berkomunikasi secara non verbal misalnya dengan bahasa tulis.

Intervensi yang dapat dilakukan oleh sekolah
Walau kasus Mutisme Selektif jarang ditemui di sekolah sekolah reguler, namun tidak ada
salahnya bagi sekolah untuk menyediakan pelatihan bagi guru mengenai pemahaman anak
berkebutuhan khusus di sekolah. Menurut Camposano (2011), guru memainkan peranan yang
penting atas proses terapi anak. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa mutisme
selektif ini dimulai saat anak mulai bersekolah sehingga guru wajib untuk dapat mengenali
gejala yang dimiliki oleh anak.
Pelatihan ini dapat bermanfaat untuk mengenalkan karakteristik anak Mutisme Selektif pada
khususnya dan anak berkebutuhan khusus pada umumnya, serta mempersiapkan guru dalam
memberikan intervensi yang sesuai apabila suatu saat terdapat anak berkebutuhan khusus

bersekolah di sekolah tersebut ataupun mengetahui bagaimana cara memberi penilaian pada
anak. Kepekaan untuk mengenali gejala gejala tersebut akan dapat membantu anak yang
bersangkutan karena jika hal ini dibiarkan saja, maka akan diterima menjadi kepribadian
yang melekat pada anak (Omdal 2008) dan mengganggu perkembangan akademis dan sosial
anak (Crundwell, 2006).
Selain memberikan informasi kepada guru mengenai karakteristik anak-anak berkebutuhan
khusu, dalam hal ini anak dengan gangguan mutisme selektif, tahap selanjutnya adalah
menyediakan informasi mengenai intervensi yang dapat di sekolah. Untuk itu sekolah perlu
menyediakan tenaga ahli psikologi untuk dapat membantu mengatasi masalah tersebut.
Contoh konkrit yang dapat dilakukan adalah dengan memberi training kepada guru mengenai
strategi berkomunikasi dengan anak Mutisme Selektif, misalnya dengan cara menghindari
pertanyaan tertutup (dengan jawaban ya atau tidak), aktif memanggil murid yang
bersangkutan untuk menjawab pertanyaan guru daripada sekedar meminta mereka sukarela
menjawab pertanyaan secara lisan, bersabar atau menyediakan waktu 3-5 detik agar siswa
SM dapat merespon, atau menyediakan aktivitas yang membutuhkan respon secara verbal.
Psikolog sekolah haruslah bekerja sama dengan guru, orangtua, terapis dan staf lain yang
berkaitan dengan kasus tersebut. Psikolog sekolah juga wajib membuat laporan mengenai
kasus yang terkait dengan Mutisme Selektif.
Sekolah juga harus mengadakan kerjasama dengan orangtua siswa melalui komunikasi yang
intens mengenai perkembangan anak terutama pada anak anak yang berkebutuhan khusus
(Santrock, 2000). Orangtua akan membantu anak untuk memberikan pemahaman ketika di
rumah.

Intervensi Konkrit
Berbagai metode digunakan untuk penyembuhan kasus Mutisme Selektif, namun seperti
halnya autis, hasil dari penyembuhan ini berbeda dari satu anak ke anak lain dikarenakan
kekhasan kasus dan kepribadian anak. Bagi anak mutisme selektif juga mempertimbangkan
tingkat kenyamanan dan rasa percaya diri anak. Berikut disajikan beberapa intervensi konkrit
yang pernah dilakukan untuk penyembuhan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jane Giddan dan kawan-kawan pada proses
penyembuhan seorang anak bernama Mimi, terapi dilakukan dengan bekerjasama dengan
berbagai ahli yakni ahli patologi bahasa dan ahli kesehatan mental. Dalam laporannya, jika
anak diam di sekolah selama 2 bulan dan tidak melakukan komunikasi secara verbal maupun
non verbal, maka perlu adanya intervensi dari ahli patlogi bahasa. Intervensi dapat diberikan
selama 2 bulan. Intervensi yang dilakukan pada sebuah kasus anak penderita mutisme selektif
diawali dengan permainan pantomim. Sesudah anak merespon dengan komunikasi non verbal
(anggukan ya atau tidak), maka dapat dilanjutkan dengan usaha untuk merekam suara si anak.
Terapis bahasa bertindak untuk mengkoreksi artikulasi, morfologi dan error dalam sintaksis.
Dalam proses ini, pemberian reward harus diberikan secara konsisten.
Seandainya anak masih belum mau berbicara walau sudah mendapat terapi dari ahli bahasa,
maka yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan intervensi dari ahli kesehatan
mental. Ahli kesehatan mental akan melakukan diagnosa dan terapi yang dibutuhkan. Jika
intervensi dari ahli kesehatan mental berhasil, maka akan dikembangkan pada setting sekolah
dan komunitas (Giddan et al.)

Metode terapi yang dilakukan oleh Netty Herawati adalah dengan menggunakan pendekatan
desensitiasi menggunakan fading terapi (membuat situasi yang nyaman bagi anak kemudian
memperkenakannya dengan situasi yang lebih sulit), pembiasaan dan positif reinforcement.
Hasil dari terapi tersebut adalah adanya perubahan dimana kemampuan anak lebih meningkat
dalam hal sosialisasi dan komunikasi verbal (Netty 2006). Terapi yang diberikan oleh Netty
ini melibatkan rekan sebaya, teman, guru maupun orangtua dari si anak.
Terapi lain dilakukan dalam penelitian mahasiswa UGM dengan nama terapi Aku Bisa Aku
Berani. Eli Puspitasari (2013), seorang mahasiswa fak psikologi Klinis UGM menggunakan
terapi dengan teknik pengukuhan positif, stimulus fading dan shaping. Pengukuhan positif
diberikan pada respon yang muncul dari anak, sementara stimulus fading adalah prosedur
yang diterapkan dengan melakukan kontrol stimulus pada satu perilaku yang diharapkan, dan
shaping adalah modifikasi perilaku yang memunculkan perilaku baru dengan memberi
pengukuh secara berturut turut dengan menghilangkan perilaku tujuan yang sebelumnya.
Proses yang dilakukan dibuat dengan metode permainan agar anak dapat merasa nyaman saat
proses terapi. Hasil dari terapi ini adalah meningkatnya komunikasi verbal dan non verbal
dari anak.
Dalam jurnal Kehle (2004) disebutkan bahwa terapi yang diberikan pada umumnya berbasis
pembelajaran dan terapi perilaku. Terapi perilaku ini termasuk juga pemberian reinforcemen,
meniru model, stimulus fading, shaping atau kombinasi dari metode metode tersebut. Salah
satu proses terapi yang dilakukan, anak mutisme selektif dapat memilih sebuah reward dan
untuk mendapatkan itu, rekannya memberitahukan harapan dari teman sebaya atas kata yang
diucapkannya. Terapi lain yang dilakukan melibatkan orangtua dan guru dengan secara
berkala berusaha meningkatkan penggunaan kata yang diucapkan dan guru ataupun orangtua
akan memberikan pujian atas usahanya tersebut (walau si anak menggunakan bisikan).
Contoh fading dapat dilakukan oleh guru misalnya dengan cara memberikan reward kepada
anak mutisme selektif hanya jika anak tersebut mengeluarkan suara, dan hanya suara saja.
Juga dapat dibentuk dengan gumaman, pengulangan huruf, membaca kalimat singkat dan
pada akhirnya ke tahap komunikasi normal.
Terapi juga dapat dilakukan dengan misteri motivator dimana guru memasukkan gambar atau
deskripsi sebuah reward pada amplop yang bertuliskan nama anak dan memberikan penanda
diluar amplop tersebut. Teman kelas dari anak tesebut juga diberitahu mengenai mistery
motivator itu dan mengatakan bahwa itu adalah reward untuk anak mutisme selektif tersebut
dan akan diberikan hanya jika anak tersebut berbicara di kelas.
Keterlibatan orangtua dapat dilakukan dengan cara membantu guru di kelas, dengan
menghadiri kelas tersebut. Komunikasi non verbal yang dilakukan anak harus diabaikan, dan
orangtua juga tidak perlu untuk menterjemahkan keinginan non verbal anak pada temannya.
Namun, jika anak mampu berbicara pada saat tertentu atau pada orang tertentu maka
komunikasi verbal tersebut patut untuk mendapatkan penghargaan
Guru harus dapat mengamati dan memahami perilaku anak termasuk juga peka
terhadap kebutuhan dan masalah anak. Menurut Sibert dalam presentasinya tentang
mutisme selektif, treatment dilakukan untuk mengurangi kecemasan anak,
membangun harga dirinya serta meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan
berkomunikasi dalam seting sosial. Pemaksaan agar anak mau berbicara dengan cara
terus menerus mengajaknya berbicara, atau sampai pada tahap mengancam anak
untuk berbicara hanya akan semakin meningkatkan kecemasan anak.

Kesimpulan :
Informasi mengenai anak berkebutuhan khusus menjadi penting untuk diketahui. Hal ini
disebabkan karena anak berkebutuhan khusus –dalam hal ini adalah kasus selective mutism)
berhak mendapat pendidikan yang sama dengan teman teman yang bersekolah di sekolah
reguler. Untuk itu pembekalan guru mengenai anak berkebutuhan khusus tidak hanya
dibagikan kepada guru sekolah inklusi saja, melainkan perlu dibagikan kepada guru-guru di
sekolah reguler. Pemberian informasi ini berguna untuk mengurangi adanya salah diagnosa
terhadap sebuah perilaku dengan mereduksinya kepada sifat pemalu ataupun memandang
anak sebagai “masalah”. Pada akhirnya, hasil yang diharapkan dari pemberian informasi itu
adalah kepekaan guru untuk menilai sebuah situasi dalam diri anak, dan pada akhirnya guru
juga dapat membantu untuk memberikan intervensi yang tepat bagi anak.
Kerjasama dengan orangtua juga merupakan salah satu kunci penting keberhasilan dari
sebuah terapi. Tanpa adanya kerjasama dengan orangtua, proses penyembuhan tidak akan
berhasil. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kita tidak dapat memaksakan
lamanya waktu terapi. Jangan berputus asa apabila waktu terapi memakan waktu lebih lama
dari yang diharapkan karena kesembuhan gangguan ini bergantung pada banyak hal, salah
satunya adalah tingkat kenyamanan dan rasa percaya diri anak.
Kerjasama orangtua, guru dan pihak sekolah dengan para terapis harus berjalan beriringan
karena apabila masing masing memiliki metode yang berbeda, maka proses penyembuhan
tidak akan berhasil. Untuk itu diharapkan adanya komunikasi yang baik dan kesamaan tujuan
antar pihak yang terkait.

Referensi buku :
American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-IV-TR 2000), 4th edition, Washington DC,.
Santrock, John W (2002), Life Span Development, Jakarta: Erlangga
Wood, S, Barbara (1981), Children and Communication, Verbal and Non Verbal Languange
Development, 2nd Edition, Prenctice Hal,
Mash, Eric. J. Abnormal Child Psychology, 3rd Edition, Thomson Wadsworth USA, 2005
Seligman, Martin E.P, Abnormal Psychology,4th Edition, 2001

Jurnal
Deklarasi Bandung, Indonesia Menuju Pendidikan Inklusi

Camposano, Lisa, Silent Suffering : Children with Selective Mutism, The Profesional
Counselor : Research and Practice Vol 1, Issue 1
R.T. Busse and Downey, Jenna (2011), Selective Mutism : A Three-Tiered Approach to
Prevention and Intervention, Chapman University
Victoria Roe, B. Phil. (2011), Silent Voices: Listening to Young People with Selective
Mutism, Paper presented at the British Educational Research Association Annual Conference,
held at the Institute of Education, London,
Manning, Philip and Source, George Ray (1993). Shyness, Self-Confidence, and Social
Interaction. Source: Social Psychology Quarterly, Vol. 56, No. 3, American Sociological
Association
Giddan, Jane J., Ross J. Gloria, Sechler, Linda L., Becker. Bonneta R. Selective Mutism in
Elementary School : Multidisciplinary Intervention, Language, Speech, and Hearing Service
in School, vol 28, American Speech Language Hearing Association
Kehle, Thomas J., Bray, Melissa A. & Theodore, Lea A. (2004), Selective Mutism : A
Primer for Parents and Educators, National Association of School Psychologists, 4340 East
West Highway, Suite 402, Bethesda,
Porter, L. (2008). Selective Mutism, an Extract from Young Children’s Behaviour, 3rd
Edition, Sydney, Elsveier.
Sharp, William G., Sheman Colleen, and Gross, Alan M., Selective Mutism and Anxiety: A
Review of the Current Conceptualization of the Disorder The University of Mississippi;
duPont Hospital for Children
Cheek, Jonathan M. & Watson, Arden K., The Definition of Shyness : Psychological
Imperialisn or Construct Validity, Jounal of Social Behavior & Personality 4th volume no 1
Utnick, Graciela Elizalde, Behavioral Intervention with Selective Mute Students : Strategies
and Symptom Severity, Brooklyn College, New York
Putri, Dwi Yanti Viona (2012), Proses Pembelajaran Pada Sekolah Dasar Inklusi, Jurnal
Ilmiah Pendidikan khusus Vol 1 no 3, September
Tesis :
Herawati, Netty (2006), Penerapan Terapi Perilaku Pada Anak Dengan Gangguan Mutisme
Selektio, Post Graduate Universitas Airlangga, 2006
Puspitasari, Eli. (2013), Terapi “Aku Bisa dan Aku Berani” Untuk Meningkatkan Komunikasi
Verbal dan Non Verbal Pada Anak Mutisme Selektif, Program Pasca Sarjana Magister Profesi
Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Jogyakarta
Pdf Online
Kervat, Gail, Classroom Strategies for Teachers of Selectively Mute Children

Presentasi
Seibert, Summer, Adapted from information presented by Dr. Elisa Shipon-Blum, President
& Director of Selective Mutism Anxiety Research and Treatment Center (Smart-Center)

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22