CINTA TAK SELAMANYA MEMILIKI MEMILIKI
CINTA TAK SELAMANYA MEMILIKI
Makassar, 01-09-2015
(Oleh : Watowuan Tyno)
Ingatanku masih pagi, saat pertama kali kau memberikan
senyuman yang paling manis dari beberapa wanita yang pernah
kutemui. Awalnya kita dipertemukan di suatu senja, di sebuah
kontrakan yang sudah cukup reot. Plafonnya sudah tak beraturan lagi,
bergantungan tanpa ada yang mengurusinya, dinding bercat putih
sudah memudar termakan usia. Namun keadaan itu tidak bisa
mengusik konsentrasi mata untuk menyaksikan keindahan permata
yang tersajikan lewat pancaran sinar dua bola matamu kala itu.
Layaknya aku tengah berada di dalam taman, dengan hamparan
bunga yang selalu menggoda setiap pengunjung yang datang.
Bayangkan, jika kita sedang berada dalam sebuah taman yang penuh
dengan berbagai macam bunga yang sedang bermekaran! Walaupun
begitu banyak bunga, namun sudah tentuh ada salah satu di antara
bunga-bunga yang sedang merekah mempunyai daya pikat yang
sangat kuat bagi para penikmat keindahannya. Ciptaan Tuhan yang
satu ini memang diidentikan dengan makluk Tuhan yang berhati lunak
alias para wanita. Tetapi bukan berarti hanya wanita yang suka dan
ingin memetiknya. Laki-laki juga seperti itu, walau tidak semuanya.
Kupu-kupu pun seakan bertengkar dan tawuran bila bunga yang
diinginkan telah dihinggapi kupu-kupu yang lain, apa lagi manusia.
Begitu pun aku yang saat itu asyik menikmati pemandangan di
wajahmu. Rasanya ingin segerah memetik hatimu, karena takut ada
yang mendahului.
Kau masih malu-malu menampakan tawa, saat salah satu dari
sahabatku memberikan tontonan yang mengundang tawa. Lebih
tepatnya cerita lucu. Kau tidak serta merta beradaptsi dengan
lingkungan yang baru bagi dirimu. Saat itu pula aku merasa bahwa
kau adalah orang yang tak mudah tunduk pada setiap godaan yang
datang. Dan agar kau tahu, aku mengagumi tipe wanita seperti ini.
Aku seakan terhipnotis dengan segala tingka lembutmu kala itu.
Kadang, tatapanku tertangkap matamu, saat aku terlalu larut dalam
pandangan ke arah wajahmu. Tapi bukan aku sendiri. Kau juga harus
mengakui bahwa kau pun begitu. Ya, kita sama-sama merasakan hal
yang sama. Aku merasa bahwa musim semi sedang bertandang di
hatiku. Bunga-bunga sedang bermekaran, menebarkan aroma yang
mampu memanjakan pernafasan. Dan bunga itu adalah kau, gadis
bermata bening, wajah bulat, hitam manis, lesung pipi.
Saat sang mentari perlahan-lahan kembali keperaduannya di
bawa kaki langit, saat suara malam telah terdengar, jangkrik-jangkrik
berdansa ria, mengiringi
malam merangkak naik menuju larut. Dan
aku terbangun dari kasur empuk yang bernama dunia imajinasi,
kemudian sadar bahwa aku masih anak bawang dalam romansa
kehidupan, yang diutus ke tanah asing untuk mencari seberkas
harapan dan seribu kepastian, menyelami lautan harapan dan
mengarungi samudera takdir bersama buku dan pena yang berairkan
tinta emas untuk mengukir masa depan. Sepenggal adegan yang
barusan terjadi disingkirkan sementara untuk membuka kembali buku
pelajaran yang baru diterima dari dosen. Kalkulus menjadi teman
bermain di atas meja biru, yang berada di sudut kanan kamar
kontarakanku. Bermain dengan pelajaran yang penuh dengan angka
ini sedikit menyita perhatian untuk membaca, memahami bahakan
memainkan jemari atau sekadar mencoret-coret buraman putih. Aku
menemukan rumus logika hati, bahwa di ujung satu tambah satu kita
hanya
dapat
menemukan
satu.
Sejak
hadirmu,
saat
itu
aku
menemukannya, menemukan rumus itu. Bahasa sederhananya, “kau
dan aku adalah satu”. Apakah kita akan menyatu dan terus bersatu?
Tanyaku, serupa monolog, kala itu.
Kau masih saja duduk bersama saudari-saudariku di sebelah
kamarku yang kebetulan kamarnya saling berhadapan. Asal kau tahu,
matematika memang membutuhkan tingkat perhatian yang tinggi,
tapi perhatianku lebih tinggi ke arahmu, dari balik pintu lewat lubang
kecil yang mungkin telah disediakan, mungkin saja Tuhan atau setan
yang sengaja membocorkan daun pintu itu. Ah, aku tak tahu. Sesekali
aku tersenyum sendirian, mungkin dikira gila jika ada yang tidak
sengaja melihatnya. Ya, wajar kalau aku sedang berada dalam situasi
yang jarang sekali kutemui. Memang ada, tapi tak seindah situasi saat
itu. Malam pun telah memeluk larut. Kau bersama sahabatmu yang
juga merupakan sahabat dari saudariku, memilih untuk menginap.
Ketika bola api kemerah-merahan kembali bertengger di atas
cakrawala ujung timur, menghangatkan penghuni bumi, kau bersama
sahabatmu beranjak pergi, dan hanya menitipkan nomor ponsel. Aku
masih ingat nomor itu, ekornya 603. Ingatanku memang cukup kuat,
apa lagi hanya empat tahun yang lalu. Rasa-rasanya seperti satu detik
yang barusan berlalu. Mungkin berlebihan menurutmu, tapi memang
kenyataannya
kisah
ini
masih
terbungkus
rapi
dalam
kantong
ingatanku. Bagamana mungkin kau tidak menitipkan nomor ponselmu,
jika laki-laki seperti ku yang memintanya. Terlalu PD ya? Tapi
nyatanya begitu kan? Kau tak bisa mengurung niatmu untuk
menitipkannya.
Sudah kukatakan, aku khawatir ada yang lebih dulu menancap
gasnya dan memboncengi hatimu. Makanya malam itu aku memilih
untuk menelponmu lebih dulu. Rumus ampu yang sering kugunakan
untuk menaklukan para wanita kuluncurkan. Awalnya memang sulit
untuk menggamit dawai hatimu. Hingga malam yang ketiga, kau pun
hanyut dalam pelukanku. Singkat cerita kita jadian.
Saat bersamamu, banyak kisah yang kita bingkai bersama,
banyak cerita yang kita sulam bersama, sesuai dengan buku harian
Sang pebolak balik hati, alias Sang pemilik cinta. Dia-lah yang menjadi
sutradara dari peran yang telah kita mainkan. Kita sama-sama saling
memberikan inspirasi. Banyak Susah dan senang yang kita lewati
bersama. Banyak canda tawa yang kita bagi berdua. Kadang
menertawakan hubungan yang kita jalani, kadang menertawakan
tingkah
kita
saat
berbagi
cerita,
kadang
terselip
beberapa
pertengkaran yang membuat kita sama-sama merasa patah dan luruh.
Membuatmu menangis layaknya anak kecil yang ingin dicolok permen
ke mulutnya, membuatmu membenci dirimu sendiri karena menjadi
sebab aku marah. Kadang kita seperti sepasang makhluk Tuhan yang
sedang jatuh cinta, kadang juga seperti dua orang yang tidak saling
mengenal.
Kau sering memintaku untuk memelukmu saat kita berada di
bawa selimut birumu yang tebal. Ingat, aku tak akan menceritakan hal
lain, mungkin kau sudah tahu maksudku. Kau sering melarangku jika
terlalu lama berhadapan dengan laptop, karena kau takut di hari tua
nanti aku yang duluan butah. Membeli susu gemuk untuk menjadi
penangkis, karena kau tahu aku sering menghabiskan malam dengan
membaca. Menantangku untuk meberikan materi kebidanan walau aku
tak tahu ilmu kebidanan. Ya, itu menjadi pengalamanku. Aku harus
membaca buku kebidanan terlebih dahulu sebelum menjelaskannya,
layaknya seorang guru, dan kau layaknya seorang siswa. Memintaku
untuk membuatkan puisi dan membacanya untuk meninabobokanmu.
Ketika ada kegiatan keorganisasian, kau selalu ikut denganku, kau
selalu berada di sampingku, karena takut aku tergoda oleh wanita lain.
Saat tensi forum diskusi mulai meningkat, saat aku tengah ngotot
beradu argument atau berdebat, kau sering mengingatkanku dengan
mengijak kakiku atau mencubit lenganku. Kau takut jika aku tak bisa
mempertahankan lagi argumentku. Kau takut kondisi forum memanas.
Kau takut melihat adegan ekstrim yang sering dimainkan dalam setiap
forum musyawara. Dan aku sadar bahwa kau mencintaiku.
Kita terus saling mengingatkan satu sama lain bahwa kita harus
menjaga kepercayaan orang tua kita untuk merai cita-cita. Dan itu
terbukti, kau mampu menyelesaikan kuliah D3 kebidanan dengan
mendapatkan peredikat lulus dengan pujian. Berarti jelas bahwa cinta
bukan untuk menjadi kita butah, tapi cinta membuat kita mampu
menangkap makna positif di dalam sebuah hubungan. Masih banyak
lagi yang terlukis di atas kanvas langit kota daeng sebagai saksi bisu
dari perjalanan panjang itu. Tiga tahun lebih lamanya kita bersama di
kota daeng. Setelah itu kau mendahuluiku untuk pulang ke kampung
halamanmu. Hanya janji yang pernah terucap bahwa kita akan terus
saling mencintai sampai kita disapa opa dan oma, sampai menutup
usia. Kita pernah mengurai janji, bahwa kita akan bersama-sama
menceritakan cerita cinta untuk anak cucu kita kelak, bahwa meraka
ada karena cinta, bukan karena birahi semata.
Memupuk dan merawat rasa cinta ketika dibatasi dengan
dinding jarak memang sangatlah sulit bagi sepasang makhluk Tuhan
yang sedang merajut cinta. Rasa kangen setiap hari, setiap jam, setiap
menit, bahkan setiap detik terus menumpuk dan kian menyiksa jiwa
sepasang nyawa yang sedang berada dalam kecepuk rindu. Dan itu
yang kita rasakan, bukan? Lewat telepon seluler kita berusaha untuk
membunuh rasa ridu yang membeludak walau sebentar saja. Kau
terus
memotivasiku
dari
jauh
agar
secepatnya
menyelesaikan
kuliahku. Hingga akhirnya aku mampu menyelesaikannya.
Hal yang paling ibah buatku, saat pangeran kesatriamu dipanggil
Tuhan sebelum aku benar-benar mengenal sosoknya. Aku rela tiga
minggu lebih tidak masuk kampus, hanya untuk terus berada di
sampingmu, hanya karena aku tak mampu membiarkanmu hanyut
dalam keterpurukan dan tenggelam dalam hitam. Aku takut kuliahmu
berantakan. Kepergian pangeranmu mengajari aku arti ketulusan dan
betapa berharganya seoarng Ayah. Membuat aku selalu dan sangat
merindukan sosok pangeranku di penghujung senjah yang beranjak
menggenggam sang malam. Membuatku seakan terbawa kembali
pada peristiwa yang dialami oleh Ayahku kala itu. Membuatku semakin
takut kehilangan orang yang aku sayangi. Membuat aku mengerti
betapa perihnya ditinggal pergi oleh orang yang sangat berarti dalam
hidup. Membuat aku terus memanjatkan syukur pada sang pemilik
kehidupan karena masih memberikan nafas untuk kedua orang tuaku.
Membuat aku mengenal Tuhan lebih dekat lagi.
Waktu terus berlalu, saat dinding jarak dan sekat waktu menjadi
tirai penghalang, satu yang utuh dari dua kepingan itu perlahan-lahan
tercecer, berserakan. Dan aku yakin Tuhan hanya memberikan waktu
untuk kita saling menginpirasi hingga mencapai cita-cita. Aku tahu
cinta tak selamanya meiliki. Aku tidak penah membencimu. Jika kau
ingin menghinaku, silahkan kau hina aku, silahkan kau sombongkan
dirimu sedikitpun aku tak kan marah, akan kubalas dengan sebuah
senyum dan doa atas kekhilafanmu. Cinta itu adalah karunia Ilahi yang
suci, dan sayang itu adalah rahasia yang diberikan agar kita saling
berbagi. Hidup ini memang penuh masalah, tanpa masalah kita tidak
akan pernah bijak dan dewasa. Semoga kau menjadi lebih dewasa
setelah mengambil hikma dari perjalanan panjang yang kita tempuh
bersama. Itu pun jika kau mampu memetik buah positifnya. Aku
do’akanmu dari jauh agar kau selalu diberi kemudahan dalam
berkarya demi hidumu dan keluargamu. Ingat, kau masih punya
tanggung jawab yang berat, untuk ke4 adikmu. Aku tak punya hak lagi
untuk melarangmu, tapi setidaknya aku yang pernah mengisi hidupmu
sekadar memberi pesan, fokus kerja itulah yang diharapkan semua
keluargamu. Terlebih kakak sulungmu yang ada diperantauan, yang
telah membantu membiayai kuliahmu sampai kau sukses. Siapa pun
jadi suamimu nanti, hargai dia. Lupakan hal bodoh yang pernah terjadi
waktu kita masih bersama demi keharmonisan rumah tangga. Bawalah
segudang pesan positif untuk membina bahtera rumah tanggamu di
kemudian hari.
Aku tak pernah menyesal dengan apa yang telah terjadi. Tuhan
sudah punya rencana untuk hidup kita masing-masing. Aku banyak
mendapat nilai positif selama bersamamu. Kau sering menjadi topik
utama
dalam
setiap
tulisanku,
di
setiap
jedah
waktu.
Sejak
bersamamu, aku merasa menjadi manusia yang kreatif menurut
versiku, menjadi manusia pemberani menurt gayaku, berani dalam
menyelesaikan suatu persoalan di dunia yang pelik ini.
Aku tahu, bahwa cinta adalah energi. Dalam ilmu fsika energi
bersifat kekal. Jika cinta adalah energi, maka cinta hanya berubah
menjadi
samudera
iklas
setelah
kata
“MELEPASKAN”
menjadi
keniscayaan atas cinta. Mencintai adalah mengenal Dia. Mengenal
makna di balik takdir-Nya. Mengenal simiotika dan gejolak kehidupan.
Mengenal setiap rasa dan logika yang dititipkan pada diri kita.
Bukankah mengenal dan mendekatkan diri pada-Nya adalah hakikat
hidup itu sendiri? Cinta itu rahasia Tuhan Sekuat apa kita mencintai,
selama apa kita setia, sebesar apa kita bersabar, jika tinta takdir tidak
menggoreskan apa yang menjadi harapan kita, maka semuanya tak
akan terwujud. Tuhan merangkai hidup ini tak seindah yang kita
dambakan, tapi tak seburuk yang kita cemaskan. Menuntun kita untuk
selalu memahami segalah maksud dan rencana-Nya.
Terima kasih atas segalanya yang pernah kau berikan hingga
aku memahami hakikat hidup itu sendiri, membantuku memahami
kakikat cinta itu sendiri. Jika Tuhan mempertemukan kita kembali di
kemudian hari, maka tidak ada kata untuk menolaknya. Jika tidak,
pasti kita akan bertemu di dunia berikud, stelah kita meninggalkan
dunia kita sekarang. Sekali lagi, terima kasih untukmu yang pernah
menghiasi hidupku. Terima kasih mantan kekasihku***
Makassar, 01-09-2015
(Oleh : Watowuan Tyno)
Ingatanku masih pagi, saat pertama kali kau memberikan
senyuman yang paling manis dari beberapa wanita yang pernah
kutemui. Awalnya kita dipertemukan di suatu senja, di sebuah
kontrakan yang sudah cukup reot. Plafonnya sudah tak beraturan lagi,
bergantungan tanpa ada yang mengurusinya, dinding bercat putih
sudah memudar termakan usia. Namun keadaan itu tidak bisa
mengusik konsentrasi mata untuk menyaksikan keindahan permata
yang tersajikan lewat pancaran sinar dua bola matamu kala itu.
Layaknya aku tengah berada di dalam taman, dengan hamparan
bunga yang selalu menggoda setiap pengunjung yang datang.
Bayangkan, jika kita sedang berada dalam sebuah taman yang penuh
dengan berbagai macam bunga yang sedang bermekaran! Walaupun
begitu banyak bunga, namun sudah tentuh ada salah satu di antara
bunga-bunga yang sedang merekah mempunyai daya pikat yang
sangat kuat bagi para penikmat keindahannya. Ciptaan Tuhan yang
satu ini memang diidentikan dengan makluk Tuhan yang berhati lunak
alias para wanita. Tetapi bukan berarti hanya wanita yang suka dan
ingin memetiknya. Laki-laki juga seperti itu, walau tidak semuanya.
Kupu-kupu pun seakan bertengkar dan tawuran bila bunga yang
diinginkan telah dihinggapi kupu-kupu yang lain, apa lagi manusia.
Begitu pun aku yang saat itu asyik menikmati pemandangan di
wajahmu. Rasanya ingin segerah memetik hatimu, karena takut ada
yang mendahului.
Kau masih malu-malu menampakan tawa, saat salah satu dari
sahabatku memberikan tontonan yang mengundang tawa. Lebih
tepatnya cerita lucu. Kau tidak serta merta beradaptsi dengan
lingkungan yang baru bagi dirimu. Saat itu pula aku merasa bahwa
kau adalah orang yang tak mudah tunduk pada setiap godaan yang
datang. Dan agar kau tahu, aku mengagumi tipe wanita seperti ini.
Aku seakan terhipnotis dengan segala tingka lembutmu kala itu.
Kadang, tatapanku tertangkap matamu, saat aku terlalu larut dalam
pandangan ke arah wajahmu. Tapi bukan aku sendiri. Kau juga harus
mengakui bahwa kau pun begitu. Ya, kita sama-sama merasakan hal
yang sama. Aku merasa bahwa musim semi sedang bertandang di
hatiku. Bunga-bunga sedang bermekaran, menebarkan aroma yang
mampu memanjakan pernafasan. Dan bunga itu adalah kau, gadis
bermata bening, wajah bulat, hitam manis, lesung pipi.
Saat sang mentari perlahan-lahan kembali keperaduannya di
bawa kaki langit, saat suara malam telah terdengar, jangkrik-jangkrik
berdansa ria, mengiringi
malam merangkak naik menuju larut. Dan
aku terbangun dari kasur empuk yang bernama dunia imajinasi,
kemudian sadar bahwa aku masih anak bawang dalam romansa
kehidupan, yang diutus ke tanah asing untuk mencari seberkas
harapan dan seribu kepastian, menyelami lautan harapan dan
mengarungi samudera takdir bersama buku dan pena yang berairkan
tinta emas untuk mengukir masa depan. Sepenggal adegan yang
barusan terjadi disingkirkan sementara untuk membuka kembali buku
pelajaran yang baru diterima dari dosen. Kalkulus menjadi teman
bermain di atas meja biru, yang berada di sudut kanan kamar
kontarakanku. Bermain dengan pelajaran yang penuh dengan angka
ini sedikit menyita perhatian untuk membaca, memahami bahakan
memainkan jemari atau sekadar mencoret-coret buraman putih. Aku
menemukan rumus logika hati, bahwa di ujung satu tambah satu kita
hanya
dapat
menemukan
satu.
Sejak
hadirmu,
saat
itu
aku
menemukannya, menemukan rumus itu. Bahasa sederhananya, “kau
dan aku adalah satu”. Apakah kita akan menyatu dan terus bersatu?
Tanyaku, serupa monolog, kala itu.
Kau masih saja duduk bersama saudari-saudariku di sebelah
kamarku yang kebetulan kamarnya saling berhadapan. Asal kau tahu,
matematika memang membutuhkan tingkat perhatian yang tinggi,
tapi perhatianku lebih tinggi ke arahmu, dari balik pintu lewat lubang
kecil yang mungkin telah disediakan, mungkin saja Tuhan atau setan
yang sengaja membocorkan daun pintu itu. Ah, aku tak tahu. Sesekali
aku tersenyum sendirian, mungkin dikira gila jika ada yang tidak
sengaja melihatnya. Ya, wajar kalau aku sedang berada dalam situasi
yang jarang sekali kutemui. Memang ada, tapi tak seindah situasi saat
itu. Malam pun telah memeluk larut. Kau bersama sahabatmu yang
juga merupakan sahabat dari saudariku, memilih untuk menginap.
Ketika bola api kemerah-merahan kembali bertengger di atas
cakrawala ujung timur, menghangatkan penghuni bumi, kau bersama
sahabatmu beranjak pergi, dan hanya menitipkan nomor ponsel. Aku
masih ingat nomor itu, ekornya 603. Ingatanku memang cukup kuat,
apa lagi hanya empat tahun yang lalu. Rasa-rasanya seperti satu detik
yang barusan berlalu. Mungkin berlebihan menurutmu, tapi memang
kenyataannya
kisah
ini
masih
terbungkus
rapi
dalam
kantong
ingatanku. Bagamana mungkin kau tidak menitipkan nomor ponselmu,
jika laki-laki seperti ku yang memintanya. Terlalu PD ya? Tapi
nyatanya begitu kan? Kau tak bisa mengurung niatmu untuk
menitipkannya.
Sudah kukatakan, aku khawatir ada yang lebih dulu menancap
gasnya dan memboncengi hatimu. Makanya malam itu aku memilih
untuk menelponmu lebih dulu. Rumus ampu yang sering kugunakan
untuk menaklukan para wanita kuluncurkan. Awalnya memang sulit
untuk menggamit dawai hatimu. Hingga malam yang ketiga, kau pun
hanyut dalam pelukanku. Singkat cerita kita jadian.
Saat bersamamu, banyak kisah yang kita bingkai bersama,
banyak cerita yang kita sulam bersama, sesuai dengan buku harian
Sang pebolak balik hati, alias Sang pemilik cinta. Dia-lah yang menjadi
sutradara dari peran yang telah kita mainkan. Kita sama-sama saling
memberikan inspirasi. Banyak Susah dan senang yang kita lewati
bersama. Banyak canda tawa yang kita bagi berdua. Kadang
menertawakan hubungan yang kita jalani, kadang menertawakan
tingkah
kita
saat
berbagi
cerita,
kadang
terselip
beberapa
pertengkaran yang membuat kita sama-sama merasa patah dan luruh.
Membuatmu menangis layaknya anak kecil yang ingin dicolok permen
ke mulutnya, membuatmu membenci dirimu sendiri karena menjadi
sebab aku marah. Kadang kita seperti sepasang makhluk Tuhan yang
sedang jatuh cinta, kadang juga seperti dua orang yang tidak saling
mengenal.
Kau sering memintaku untuk memelukmu saat kita berada di
bawa selimut birumu yang tebal. Ingat, aku tak akan menceritakan hal
lain, mungkin kau sudah tahu maksudku. Kau sering melarangku jika
terlalu lama berhadapan dengan laptop, karena kau takut di hari tua
nanti aku yang duluan butah. Membeli susu gemuk untuk menjadi
penangkis, karena kau tahu aku sering menghabiskan malam dengan
membaca. Menantangku untuk meberikan materi kebidanan walau aku
tak tahu ilmu kebidanan. Ya, itu menjadi pengalamanku. Aku harus
membaca buku kebidanan terlebih dahulu sebelum menjelaskannya,
layaknya seorang guru, dan kau layaknya seorang siswa. Memintaku
untuk membuatkan puisi dan membacanya untuk meninabobokanmu.
Ketika ada kegiatan keorganisasian, kau selalu ikut denganku, kau
selalu berada di sampingku, karena takut aku tergoda oleh wanita lain.
Saat tensi forum diskusi mulai meningkat, saat aku tengah ngotot
beradu argument atau berdebat, kau sering mengingatkanku dengan
mengijak kakiku atau mencubit lenganku. Kau takut jika aku tak bisa
mempertahankan lagi argumentku. Kau takut kondisi forum memanas.
Kau takut melihat adegan ekstrim yang sering dimainkan dalam setiap
forum musyawara. Dan aku sadar bahwa kau mencintaiku.
Kita terus saling mengingatkan satu sama lain bahwa kita harus
menjaga kepercayaan orang tua kita untuk merai cita-cita. Dan itu
terbukti, kau mampu menyelesaikan kuliah D3 kebidanan dengan
mendapatkan peredikat lulus dengan pujian. Berarti jelas bahwa cinta
bukan untuk menjadi kita butah, tapi cinta membuat kita mampu
menangkap makna positif di dalam sebuah hubungan. Masih banyak
lagi yang terlukis di atas kanvas langit kota daeng sebagai saksi bisu
dari perjalanan panjang itu. Tiga tahun lebih lamanya kita bersama di
kota daeng. Setelah itu kau mendahuluiku untuk pulang ke kampung
halamanmu. Hanya janji yang pernah terucap bahwa kita akan terus
saling mencintai sampai kita disapa opa dan oma, sampai menutup
usia. Kita pernah mengurai janji, bahwa kita akan bersama-sama
menceritakan cerita cinta untuk anak cucu kita kelak, bahwa meraka
ada karena cinta, bukan karena birahi semata.
Memupuk dan merawat rasa cinta ketika dibatasi dengan
dinding jarak memang sangatlah sulit bagi sepasang makhluk Tuhan
yang sedang merajut cinta. Rasa kangen setiap hari, setiap jam, setiap
menit, bahkan setiap detik terus menumpuk dan kian menyiksa jiwa
sepasang nyawa yang sedang berada dalam kecepuk rindu. Dan itu
yang kita rasakan, bukan? Lewat telepon seluler kita berusaha untuk
membunuh rasa ridu yang membeludak walau sebentar saja. Kau
terus
memotivasiku
dari
jauh
agar
secepatnya
menyelesaikan
kuliahku. Hingga akhirnya aku mampu menyelesaikannya.
Hal yang paling ibah buatku, saat pangeran kesatriamu dipanggil
Tuhan sebelum aku benar-benar mengenal sosoknya. Aku rela tiga
minggu lebih tidak masuk kampus, hanya untuk terus berada di
sampingmu, hanya karena aku tak mampu membiarkanmu hanyut
dalam keterpurukan dan tenggelam dalam hitam. Aku takut kuliahmu
berantakan. Kepergian pangeranmu mengajari aku arti ketulusan dan
betapa berharganya seoarng Ayah. Membuat aku selalu dan sangat
merindukan sosok pangeranku di penghujung senjah yang beranjak
menggenggam sang malam. Membuatku seakan terbawa kembali
pada peristiwa yang dialami oleh Ayahku kala itu. Membuatku semakin
takut kehilangan orang yang aku sayangi. Membuat aku mengerti
betapa perihnya ditinggal pergi oleh orang yang sangat berarti dalam
hidup. Membuat aku terus memanjatkan syukur pada sang pemilik
kehidupan karena masih memberikan nafas untuk kedua orang tuaku.
Membuat aku mengenal Tuhan lebih dekat lagi.
Waktu terus berlalu, saat dinding jarak dan sekat waktu menjadi
tirai penghalang, satu yang utuh dari dua kepingan itu perlahan-lahan
tercecer, berserakan. Dan aku yakin Tuhan hanya memberikan waktu
untuk kita saling menginpirasi hingga mencapai cita-cita. Aku tahu
cinta tak selamanya meiliki. Aku tidak penah membencimu. Jika kau
ingin menghinaku, silahkan kau hina aku, silahkan kau sombongkan
dirimu sedikitpun aku tak kan marah, akan kubalas dengan sebuah
senyum dan doa atas kekhilafanmu. Cinta itu adalah karunia Ilahi yang
suci, dan sayang itu adalah rahasia yang diberikan agar kita saling
berbagi. Hidup ini memang penuh masalah, tanpa masalah kita tidak
akan pernah bijak dan dewasa. Semoga kau menjadi lebih dewasa
setelah mengambil hikma dari perjalanan panjang yang kita tempuh
bersama. Itu pun jika kau mampu memetik buah positifnya. Aku
do’akanmu dari jauh agar kau selalu diberi kemudahan dalam
berkarya demi hidumu dan keluargamu. Ingat, kau masih punya
tanggung jawab yang berat, untuk ke4 adikmu. Aku tak punya hak lagi
untuk melarangmu, tapi setidaknya aku yang pernah mengisi hidupmu
sekadar memberi pesan, fokus kerja itulah yang diharapkan semua
keluargamu. Terlebih kakak sulungmu yang ada diperantauan, yang
telah membantu membiayai kuliahmu sampai kau sukses. Siapa pun
jadi suamimu nanti, hargai dia. Lupakan hal bodoh yang pernah terjadi
waktu kita masih bersama demi keharmonisan rumah tangga. Bawalah
segudang pesan positif untuk membina bahtera rumah tanggamu di
kemudian hari.
Aku tak pernah menyesal dengan apa yang telah terjadi. Tuhan
sudah punya rencana untuk hidup kita masing-masing. Aku banyak
mendapat nilai positif selama bersamamu. Kau sering menjadi topik
utama
dalam
setiap
tulisanku,
di
setiap
jedah
waktu.
Sejak
bersamamu, aku merasa menjadi manusia yang kreatif menurut
versiku, menjadi manusia pemberani menurt gayaku, berani dalam
menyelesaikan suatu persoalan di dunia yang pelik ini.
Aku tahu, bahwa cinta adalah energi. Dalam ilmu fsika energi
bersifat kekal. Jika cinta adalah energi, maka cinta hanya berubah
menjadi
samudera
iklas
setelah
kata
“MELEPASKAN”
menjadi
keniscayaan atas cinta. Mencintai adalah mengenal Dia. Mengenal
makna di balik takdir-Nya. Mengenal simiotika dan gejolak kehidupan.
Mengenal setiap rasa dan logika yang dititipkan pada diri kita.
Bukankah mengenal dan mendekatkan diri pada-Nya adalah hakikat
hidup itu sendiri? Cinta itu rahasia Tuhan Sekuat apa kita mencintai,
selama apa kita setia, sebesar apa kita bersabar, jika tinta takdir tidak
menggoreskan apa yang menjadi harapan kita, maka semuanya tak
akan terwujud. Tuhan merangkai hidup ini tak seindah yang kita
dambakan, tapi tak seburuk yang kita cemaskan. Menuntun kita untuk
selalu memahami segalah maksud dan rencana-Nya.
Terima kasih atas segalanya yang pernah kau berikan hingga
aku memahami hakikat hidup itu sendiri, membantuku memahami
kakikat cinta itu sendiri. Jika Tuhan mempertemukan kita kembali di
kemudian hari, maka tidak ada kata untuk menolaknya. Jika tidak,
pasti kita akan bertemu di dunia berikud, stelah kita meninggalkan
dunia kita sekarang. Sekali lagi, terima kasih untukmu yang pernah
menghiasi hidupku. Terima kasih mantan kekasihku***