Gereja Dan Pemanasan Global Telaah Histo

Gereja Dan Pemanasan Global: Telaah Historis Mengenai
Hasil-hasil Konferensi Internasional Pada Masalah
Pemanasan Global Dan Aplikasinya Bagi Gereja-gereja
di Indonesia

Tulisan ini sudah dimuat di Jurnal Transformasi Vol. 4 Edisi 2 Agustus 2008
Pendahuluan
Peningkatan temperatur suhu rata-rata di atmosfer, laut, dan daratan di bumi—yang acapkali
diistilahkan dengan pemanasan global—telah menjadi masalah yang berpotensi mengancam
keberlangsungan hidup di planet ini. Menurut temuan Intergovernmental Panel and Climate
Change (IPCC) yang merupakan sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih
dari 100 negara, pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu sebesar 0,6 – 0,7 derajat Celcius (1
derajat Fahrenheit) sejak tahun 1861. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global
akan meningkat 1,4 – 5,8 derajat Celcius (2,5 – 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100.
Bahkan untuk wilayah Asia, peningkatan temperatur rata-rata lebih tinggi sampai mencapai 10
kali lipat.
Penyebab pemanasan global terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil yang tidak
dapat diperbaharui, seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam. Pembakaran bahan bakar fosil
tersebut melepaskan karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke
atmosfer bumi.[1] Ketika atmosfer semakin dipenuhi dengan gas rumah kaca ini, ia semakin
menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.

Saat ini Indonesia didaulat sebagai negara keempat pembuang emisi gas rumah kaca
(Greenhouse Gas/GHG) di dunia. Tetapi jika berdasarkan indikator konversi lahan dan perusakan
hutan, posisi Indonesia sebagai ”aktor” penyebab pemanasan global berada di posisi ketiga.
Terkait dengan itu, Kepala Ekonomi dan Penasihat Pemerintah Inggris untuk Urusan Efek
Ekonomi Perubahan Iklim dan Pembangunan Sir Nicholas Stern mengatakan, ada empat
penyebab emisi gas rumah kaca, yaitu aktivitas dan pemakaian energi, pertanian, kehutanan, dan
limbah. Menurutnya emisi yang terbuang dari kebakaran hutan di Indonesia lima kali lebih besar
dari emisi yang terbuang di luar non-kehutanan.[2]
Sebagai ilustrasi, setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga
batubara akan menghasilkan emisi karbon-dioksida 5,6 juta ton/ tahun. Ilustrasi lain, sebuah

kendaraan bermotor yang memerlukan bahan bakar 1 liter per 13 km dan tiap hari memerlukan
BBM 10 liter, maka emisi karbon-dioksida yang dihasilkan sebanyak 30 kg/hari atau 9 ton/tahun.
Jadi bisa dibayangkan jika jumlah kendaraan bermotor di jalan-jalan Kota Bandung diasumsikan
sebanyak 500.000 kendaraan, maka dari sektor transportasi Kota Bandung menyumbang emisi
karbon-dioksida ke atmosfer sebanyak 4,5 juta ton/ tahun.[3]
Dampak Pemanasan Global
Saat ini Bandung sudah tak sesejuk 10 tahun yang lampau. Walaupun Kota Bandung tetap masih
relatif lebih sejuk jika dibandingkan dengan Kota Jakarta, tetapi sebenarnya suhu udara Kota
Bandung sudah jauh lebih panas dibandingkan dua dekade lalu. Dulu, suhu maksimal di Kota

Bandung hanya 25 derajat Celcius, sedangkan kini mencapai 30 derajat Celsius. Kepala Badan
Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Stasiun Geofisika Kelas I Kota Bandung, Henry
Subakti, membenarkan adanya kecenderungan kenaikan suhu udara di Bandung dengan tren
sebesar 2 derajat Celcius selama dua puluh lima tahun sebesar dua derajat Celcius.[4]
Tetapi dampak pemanasan global tidak hanya perubahan iklim.[5] Seperti efek domino,
menghangatnya iklim secara global akan menyebabkan masalah-masalah baru seperti berikut.
Yang pertama, kenaikan permukaan air laut. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan
lautan juga akan menghangat dan akan mencairkan banyak es di kutub—terutama sekitar
Greenland—yang selanjutnya akan lebih memperbanyak volume air di laut. Berdasarkan temuan
ilmuan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tinggi
permukaan laut di seluruh dunia telah bertambah 10-25 cm selama abad ke-20. Dan disinyalir,
ini akan terus meningkat 9-88 cm lagi pada abad ke-21.
Akibatnya kedaulatan Indonesia pun berpotensi terancam. Pasalnya, jika es yang meleleh di
kutub-kutub mengalir ke laut lepas dan menyebabkan permukaan laut bumi—termasuk laut di
seputar Indonesia—terus meningkat, maka pulau-pulau kecil yang terletak di batas terluar
Indonesia bisa lenyap dari peta bumi yang pada akhirnya menyebabkan garis kedaulatan negara
pun bisa menyusut. Bahkan menurut Emil Salim saat ini sudah hampir 20 pulau kecil telah
hilang dari wilayah Indonesia. Dan diperkirakan dalam 30 tahun mendatang—jika suhu bumi
terus menghangat—sekitar 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam.[6]
Selain itu, jika permukaan air laut semakin meninggi, sentra-sentra industri dan bisnis—seperti

tambak ikan, tambak udang, dan sawah pasang surut—yang bergantung pada kestabilan
permukaan air laut terancam gulung tikar. Salah satu penelitian yang dilakukan Institut Pertanian
Bogor di daerah pantai Karawang, Bekasi, dan Subang menemukan bahwa pada 1990 telah
terjadi kerugian sebesar US$ 55 juta, atau sekitar 120 miliar rupiah, yang diakibatkan oleh
kenaikan permukaan air laut, yaitu sekitar 60 cm pada sentra-sentra industri bisnis tersebut.[7]

Dampak yang kedua adalah meningkatnya kondisi cuaca ekstrim yang lazim ditandai dengan
badai tropis. Selain badai topan El Nino, La Nina yang merupakan fenomena Lautan Pasifik—
atau yang terbaru seperti Topan Nargis di Myanmar—contoh badai tropis lainnya adalah topan
Katrina yang menghantam New Orleans pada penghujung Agustus 2005.[8] Selain badai tropis,
curah hujan yang semakin tinggi juga akan semakin sering terjadi. Puluhan kota di Indonesia
akan dilanda banjir yang hebat seperti yang sering terjadi di Jakarta atau Semarang. Contoh
lainnya adalah hujan yang terjadi di Bombay, India pada 26 Juli 2005. Dalam 24 jam, curah
hujan telah mencapai 37 inci. Sedangkan ketinggian air mencapai 7 kaki, dan mengakibatkan
kurang lebih 1.000 jiwa tewas. Secara rata-rata, saat ini curah hujan di seluruh dunia telah
meningkat 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini.
Bertolak belakang dengan itu, gelombang panas yang semakin menyengat selain menguapkan air
laut, ia juga menghisap cadangan air tanah. Akibatnya kekeringan pada satu wilayah akan
semakin meluas, seperti yang terjadi di Gunung Kidul atau Wonogiri. Contoh lain dari
kekeringan yang mengerikan ini adalah seperti yang terjadi di danau Chad, sebuah danau yang

berbatasan langsung dengan empat negara yaitu Nigeria, Niger, Kamerun, dan Chad. Danau yang
pernah menjadi danau terbesar ke enam di dunia, hari telah mengalami penyusutan sebanyak
sepuluh kali dari luas aslinya.[9]
Kondisi cuaca yang ekstrim seperti di atas tentu menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan bagi
dunia pertanian Indonesia. Ketidakstabilan cuaca akan menimbulkan ketidakpastian musim
tanam dan musim panen. Tidak hanya itu, hujan yang deras akan memicu kebanjiran pada lahanlahan pertanian, dan sebaliknya kemarau yang panjang akan memicu kekeringan yang parah
pada lahan-lahan pertanian. Akibatnya, produktivitas petani akan sangat terganggu. Petani
Indonesia yang sudah dipersulit oleh pemerintah dengan kebijakan pangan yang tidak berpihak
pada petani; dan saat ini ditambah dengan dampak kenaikan BBM—akan menjadi barisan
masyarakat miskin yang baru.[10]
Yang ketiga, mewabahnya penyakit-penyakit tropis. Iklim yang hangat akan membuat wabah
penyakit yang lazim ditemukan di daerah tropis, semakin meluas ke daerah yang dingin dan subtropis seperti Eropa dan Amerika. Diperkirakan saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di
daerah dimana wabah malaria lazim terjadi. Jika iklim di bumi semakin menghangat, persentase
itu akan meningkat menjadi 60 persen.[11] Selain malaria, penyakit lain yang ditularkan oleh
nyamuk seperti demam berdarah juga akan melanda di seluruh dunia saat iklim menjadi lebih
hangat. Menurut IPCC, sekitar 3,5 milyar orang di tahun 2085 beresiko terkena penyakit demam
berdarah.
Selain dua penyakit tersebut, para ilmuwan memprediksikan akan muncul berbagai penyakit
baru. Ini terbukti dengan adanya SARS, flu burung, dan ebola. Contoh wabah lain yang sedang
hangat-hangatnya, yaitu Enterovirus 71 atau EV-71. Virus ini menyerang anak-anak,

menyebabkan sakit pada tangan, kaki, dan mulut serta kelumpuhan. Penularan dari penyakit ini

dapat melalui air liur, tinja, ingus dan lendir dari hidung atau kerongkongan. Beberapa tanda
penyakit tersebut meliputi demam, kulit bagai terbakar dan rasa sakit di dalam tenggorokan,
mulut, kaki dan ibu jari. Selain di Cina, virus ini telah ditemukan di Vietnam dan Singapura.
Disinyalir, wabah ini akan terus merebak di Cina selama beberapa bulan ke depan karena virus
itu cepat berkembang dalam cuaca panas.[12]
Berbagai Persetujuan Internasional Mengenai Masalah Pemanasan Global
Karena dampak pemanasan global ini sangatlah luas dan juga meresahkan, maka PBB
berinisiatif memprakarsai beberapa konferensi internasional pada masalah lingkungan hidup.
Secara keseluruhan PBB telah menyelenggarakan 16 konferensi mengenai masalah perubahan
iklim, tetapi dalam artikel ini hanya akan dibatasi pada tiga konferensi yang dianggap paling
penting dan juga yang paling sering dikutip di pelbagai buku, yaitu United Nations Conference
on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Conference of Parties 3 di
Kyoto, dan United Nations Climate Change Conference (UNCCC) di Denpasar.[13]
UNCED yang dilaksanakan di Rio de Janeiro Brazil (3-14 Juni 1992) dapat dikatakan sebagai
bagian dari upaya besar-besaran masyarakat global untuk memperbaiki dampak dari kegiatan
sosial ekonomi manusia terhadap lingkungan. Para delegasi dari 178 negara selain berupaya
membahas masa depan manusia dan keberlanjutan Planet Bumi, mereka juga mulai menyadari
kenyataan bahwa perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam harus

diintegrasikan dengan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan. Kesadaran ini pun memuncak
dengan lahirnya konsep “Pembangunan Berkelanjutan” yang didefinisikan sebagai pembangunan
yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Konsep ini diciptakan untuk mempertemukan dua kubu yang
sebelumnya dianggap bertentangan, yaitu pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan.
Pertemuan UNCED mencontohkan bahwa kalau seseorang miskin dan ekonomi suatu negara
lemah, maka lingkungan akan menderita; jika lingkungan dirusak dan sumber daya dipergunakan
secara berlebihan, masyarakat akan menderita dan ekonomi pun akan memburuk. Salah satu
hasil dari UNCED yang kemudian bermuara pada Protokol Kyoto adalah Kerangka Konvensi
mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change).
Konvensi yang mengikat secara hukum dan ditandatangani oleh 154 negara tersebut bertujuan
untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir.[14]
Hasil lain yang cukup penting dari UNCED adalah Deklarasi Rio. Deklarasi ini berisi 27 prinsip
yang dapat diaplikasikan secara universal untuk menjamin perlindungan lingkungan dan
pembangunan yang bertanggung jawab. Deklarasi ini dimaksudkan sebagai “Hak-hak Asasi
Lingkungan” (Environmental Bill of Rights). Selain itu adalah Konvensi Keanekaragaman
Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity) yang bertujuan untuk melestarikan
aneka sumber daya genetika/plasma nutfah, spesies, habitat dan ekosistem; menjamin

pemanfaatan secara berkelanjutan berbagai sumber daya hayati, dan untuk menjamin pembagian

manfaat keanekaragaman hayati secara adil. Dan yang terakhir adalah Prinsip-prinsip Rio
tentang Hutan (Rio Forestry Principles) yang terdiri dari 15 prinsip yang secara hukum mengikat
para pengambil keputusan di tingkat nasional dan internasional dalam rangka perlindungan,
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini juga
merupakan dasar-dasar proses untuk Konvensi Kehutanan Internasional (International Forestry
Convention).[15]
Persetujuan internasional yang berikutnya adalah Protokol Kyoto.[16] Protokol Kyoto adalah
protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang
dibentuk pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC
dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak
diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC
pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negaranegara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC. [17]
Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB, Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah
di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara
kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah,
jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini
berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam
gas rumah kaca seperti Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrosus Oksida (N2O), Sulfur
Heksafluorida (SF6), Hidrofluorokarbon (HFC), dan Perfluorokarbon (PFC) yang dihitung
sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari

pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan
penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.[18]
Pengurangan emisi gas rumah kaca ini diatur melalui mekanisme pembangunan bersih (Clean
Development Mechanism/ CDM). Mekanisme ini mengatur negara maju (Annex I) dalam
upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Melalui mekanisme CDM ini, diharapkan akan
memungkinkan adanya transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Seperti yang
tertera pada Protokol Kyoto artikel 12, tujuan mekanisme CDM adalah:
1. Membantu negara yang tidak termasuk sebagai negara Annex I, yaitu negara
berkembang, dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi
pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer.
2. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju agar dapat memenuhi target
penurunan emisi negaranya.

Keuntungan dari CDM adalah negara maju (Annex I) dapat memenuhi target penurunan emisi
secara fleksibel dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Selain itu, CDM memungkinkan
pemerintah dan pihak swasta di negara Annex I untuk mengembangkan proyek yang dapat
menurunkan emisi gas rumah kaca di negara berkembang.
Setelah proyek ini terbukti dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, maka negara Annex I
tersebut akan mendapatkan sebuah kredit yang dinamakan CER atau “certified emissions

reduction”. Kredit yang dihasilkan dari CER ini kemudian akan dihitung sebagai emisi yang
berhasil diturunkan oleh negara Annex I melalui CDM, yang dapat digunakan untuk memenuhi
target mereka di dalam Protokol Kyoto. Melalui proyek CDM, negara Annex I mendapat
keuntungan yaitu dapat melakukan penurunan emisi dengan harga yang relatif lebih murah jika
mereka harus mengembangkan proyek tersebut di negara mereka sendiri. Selain itu negara
berkembang sebagai tuan rumah proyek CDM mendapatkan keuntungan berupa bantuan
keuangan, transfer teknologi dan pembangunan yang berkelanjutan.
Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada,
Cina, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan
Bulgaria. Sayangnya Amerika Serikat yang merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca
terbesar (36,1%) belum meratifikasi protokol tersebut.[19] Pada awal Desember 2007, Australia
akhirnya ikut serta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negera
tersebut.
Persetujuan internasional mengenai pemanasan global yang termutakhir adalah Konferensi
Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Perubahan Iklim (United Nations Climate Change
Conference/UNCCC) diselenggarakan pada 3-15 Desember 2007 di Bali International
Conference Centre Nusa Dua, Bali. Konferensi ini diikuti oleh delegasi dari 189, dan para
pengamat dari pelbagai organisasi pemerintah dan NGO. Konferensi ini mencakup pertemuanpertemuan dari beberapa badan, termasuk Konferensi ke-13 dari para negara anggota UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change/COP 13), pertemuan ke tiga dari
para negara peserta Protokol Kyoto, dan juga pertemuan badan-badan subsider, serta pertemuan

dari menteri tiap negara peserta.
Konferensi ini diharapkan memiliki sasaran agar suhu bumi pada tahun 2050 tidak melebihi 2
derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Selain itu konferensi ini pun bertujuan menciptakan
pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon, mengurangi kemiskinan,
menghapus ketimpangan pendapatan antara negara maju dan negara berkembang, dan
meningkatkan kesejahteraaan sosial menuju dunia global yang lebih adil antara negara maju dan
negara berkembang.
Konferensi itu sendiri didominasi oleh pelbagai negoisasi mengenai keberlangsungan dari
Protokol Kyoto. Konferensi ini akhirnya menghasilkan Bali Road Map, yang berisi antara lain:

[20] Pertama, adaptasi. Negara peserta konferensi menyepakati untuk membiayai proyek
adaptasi di negara-negara berkembang, yang ditanggung melalui Clean Development Mechanism
(CDM) yang ditetapkan Protokol Kyoto. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment
Facility (GEF). Kesepakatan ini memastikan dana adaptasi akan operasional pada tahap awal
periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012), yaitu sebesar 37 juta euro. Walaupun
tidak tertutup kemungkinan dikarenakan jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah
mencapai sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012.
Kedua, teknologi. Peserta konferensi sepakat untuk memulai program strategis yaitu alih
teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini
adalah memberikan contoh proyek yang konkret, menciptakan lingkungan investasi yang

menarik, termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi.
GEF akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan
perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta. Peserta juga sepakat memperpanjang
mandat Grup Ahli Alih Teknologi selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian
khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga
keuangan.
Ketiga, REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries) merupakan
isu utama di Bali. Para peserta UNCCC sepakat untuk mengadopsi program dengan menurunkan
pada tahapan metodologi. REDD akan memfokuskan pada penilaian perubahan cakupan hutan
dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan
perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen
penting dalam perubahan iklim sampai 2012. Dengan skema REDD ini, Indonesia berpotensi
mendapatkan dana yang cukup besar mengingat Indonesia memiliki hutan tropis terluas setelah
Brazil dan Nigeria.[21]
Keempat, IPCC. Peserta sepakat untuk mengakui Laporan Assessment Keempat dari the
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling
komprehensif dan otoritatif.
Krisis Ekologis Dalam Iman Kristen
Akar dari krisis ekologis—termasuk masalah pemanasan global—dewasa kini, terletak pada
kekeliruan perspektif manusia modern mengenai alam. Alam hanya dianggap obyek yang dapat
memberikan keuntungan ekonomis bagi manusia. Atas nama profit, maka segala bentuk
eksploitasi alam dan tindakan tak beretika terhadap alam dapat dihalalkan. Borong pun
mengatakan perilaku manusia terhadap alamnya berubah ketika manusia memandang alam
dalam sikap “economic wants” dan bukan lagi sekedar “economic needs.” Manusia telah
mengubah sikapnya terhadap alam dari sikap “butuh” menjadi sikap “serakah” (1999:43).

Cikal bakal dari perspektif tersebut telah dirintis pada zaman Reinasans ketika orang mulai
membebaskan diri dari pengaruh Aristoteles dan Gereja, serta pada saat yang bersamaan
memperlihatkan minat baru atas alam. Penelitian terhadap alam dan minat terhadap matematika
menyebabkan kemajuan yang mengarah pada perumusan teori-teori ilmiah yang lebih memadai,
didasarkan pada eksperimen dan diekspresikan dalam bahasa matematis. Inilah embrio sains
modern yang kelahirannya kemudian didahului dan disertai perkembangan pemikiran filosofis
yang membawa pada rumusan ekstrim dualisme roh atau materi.
Rumusan tersebut muncul pada abad ke-17 dalam filsafat Rene Descartes yang mendasarkan
pandangannya atas alam pada pemisahan mendasar dua wilayah terpisah yang independen:
wilayah pikiran (res cogitans), dan wilayah materi (res extensa). Menurut Capra (2004:11-12)
pembagian Cartesian ini memungkinkan para ilmuwan memperlakukan materi sebagai barang
mati dan terpisah sama sekali dari diri mereka, dan melihat dunia material sebagai kumpulan
obyek berbeda yang dirakit menjadi suatu mesin besar.
Pernyataan terkenal Descartes “Cogito ergo sum”—aku berpikir, maka aku ada—telah
mengantar orang Barat untuk menyamakan identitasnya dengan pikirannya, alih-alih dengan
totalitas dirinya. Sebagai konsekuensi pemisahan Cartesian ini, sebagian besar individu
menyadari diri mereka sebagai ego-ego terisolir yang ada di “di dalam” tubuh mereka. Pikiran
dipisahkan dari tubuh dan diberi tugas sia-sia untuk mengendalikannya, sehingga menyebabkan
konflik nyata antara kehendak sadar dan insting bawah sadar. Setiap individu dipisahkankan
lebih jauh lagi ke dalam banyak sekali kotak yang terpisah berdasarkan aktivitasnya, bakatnya,
perasaannya, kepercayaannya, dan lain-lain, yang terlibat dalam konflik tiada akhir yang
akhirnya mengakibatkan kekacauan dan frustasi metafisis yang berlanjut terus-menerus.
Akibatnya alam dipandang sebagai dunia “di luar sana.” Alam hanyalah kumpulan obyek dan
peristiwa yang terpisah dari realita kemanusiaan. Meskipun harus diakui jika dualisme Cartesian
dan pandangan dunia mekanistik memiliki peranan yang penting dalam perkembangan fisika
klasik dan teknologi, tetapi saat ini dampak merusak yang diakibatkan berimbas pada
pengeksploitasian bumi beserta seluruh isinya. Karena atas sumbangsih Descartes inilah,
manusia menjadi makhluk yang over-confidence, yang merasa sebagai tuan atas segala sesuatu
dan berhak mendominasi alam untuk dikeruk sebanyak mungkin dan mendapat laba sebesar
mungkin.[22]
Berbeda dengan Barat, dunia Timur menganggap alam merupakan sesuatu yang sakral dan ilahi.
Di dalam alam yang suci tersebut, manusia diharuskan memberikan penghormatan kepada alam
sebagai ibadah kepada Sang Khalik yang telah memberikan bumi beserta isinya. Ketika
penghormatan tersebut lalai dikerjakan, maka akibatnya alam akan marah dan menghentikan
segala kebaikan yang selama ini ia berikan kepada manusia melalui pelbagai bencana.

Alam juga dipandang sebagai satu realitas tak terpisahkan—selamanya dalam gerak, hidup,
organik; spiritual dan material pada saat yang sama. Kemampuan alam secara inheren untuk
bergerak harus dipelihara dengan sungguh-sungguh. Segala tindakan manusia yang berhubungan
dengan alam, haruslah diperhitungkan dengan hati-hati. Karena ketika satu tindakan nir-etis
terhadap alam dilakukan, maka manusia dengan sendirinya sedang mengurai benang-benang
jaring pengaman ekologis yang kompleks tersebut. Ketika jejaring pengaman ekologis ini
diinterupsi oleh tindakan nir-etis manusia, maka konsekuensinya adalah munculnya berbagai
kekacauan dalam ekosistem yang akhirnya bermuara pada timbulnya berbagai bencana tak alami.
Karena adanya keterkaitan yang berkesinambungan ini pulalah, maka sepatutnya manusia
berprilaku layaknya anggota-anggota rumah tangga lainnya seperti tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme yang secara inheren membentuk jejaring kehidupan untuk menyokong
kehidupan itu sendiri (Capra, 2004:235).
Lalu bagaimana iman Kristen memandang krisis ekologis—khususnya pemanasan global—yang
telah menjadi keprihatinan secara global? Robert Borong menyatakan pemanasan global
merupakan akumulasi dari tindak pencemaran yang dilakukan manusia modern (1999:82-96).
Pencemaran berarti proses mengotori lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Dalam proses
tersebut peran dan keterlibatan dari manusia sangatlah dominan, meskipun ada juga pencemaran
yang terjadi karena proses alam misalnya melalui gunung berapi, banjir, atau longsor. Namun
kini dalam pencemaran lingkungan yang disebabkan proses alam, campur tangan manusia juga
tidak kalah dominannya. Artinya pemanasan global merupakan buah tangan dari manusia yang
tidak memahami hakekat dari penciptaan alam semesta oleh Allah.
Menurut Alkitab, alam semesta diciptakan Allah untuk tujuan yang luhur, yaitu untuk
dimanfaatkan oleh manusia. Tetapi pemakaian ini bukan merupakan pemakaian yang tak
bertanggung jawab, karena masih ada tujuan lainnya yaitu untuk dihuni oleh seluruh ciptaan
secara bersama. Itu sebabnya Allah adalah Sang Pemilik dari bumi dan seluruh isinya, dan Ia
berdaulat atas ciptaanNya tersebut. Manusia diciptakan sebagai bagian dari seluruh ciptaan diberi
tugas untuk menguasai bumi. Tetapi penguasaan ini lebih bersifat mandataris, artinya manusia
tidak hanya berhak menguras habis Bumi, tapi juga dibebankan dengan tanggung jawab
pemeliharaan atas Bumi.
Ketika Allah mencipta alam semesta, Ia tidak berhenti bekerja memelihara alam. Jejaring
kehidupan yang terorganisir, seperti rantai makanan, proses fotosintesis, ataupun proses
evaporasi, merupakan bukti Allah masih memelihara ciptaanNya. Allah bukanlah Deus Otiosus
(Tuhan Yang Menganggur) yang setelah mencipta membiarkan ciptaanNya berjalan sendiri
seperti mesin atau menyerahkan tugas pemeliharaan itu kepada manusia. Oleh karena itu sebagai
Gambar Allah, manusia seharusnya pun melakukan tindak pemeliharaan terhadap alam. Senada
dengan itu, Borong (1999:236) pun mengatakan bahwa penguasaan manusia atas alam yang
dilakukan dalam kerangka relasi manusia dan Tuhan, merupakan penguasaan yang mencakup
mengetahui ciptaan Allah (Kej 2:19-20), menggunakan dan memanfaatkan sumber-sumber alam

(Kej 1:29), dan yang terpenting mengusahakan serta memeliharanya (Kej 2:15). Dalam
menjalankan tugas penguasaan alam yang bertanggungjawab, manusia dituntut untuk menjaga
dan memelihara alam agar terjamin kelestariannya, dan sekaligus menjadi sumber nafkah yang
tak akan habis.
Contoh di Alkitab yang menunjukkan bukti bahwa manusia seharusnya memelihara lingkungan
adalah sabat tanah. Dalam Imamat 25:3-7 Allah menghendaki orang Israel untuk
mengistirahatkan lahan mereka setelah 6 tahun masa tanam. Maksud dari diadakannya sabat
tanah ini agar: (a) umat Allah menyadari bahwa kedudukan bukan sebagai pemilik tanah—
karena Allah adalah Sang Pemilik—melainkan hanya penyewa. Pemiliklah yang memiliki kuasa
absolut atas tanahnya. Penyewa sebagai pengguna lahan mengusahakan tanah berdasarkan
keinginan sang pemilik.; (b) umat menyadari bahwa pengelolaan tanah harus berorientasi pada
keberlangsungan hidup di masa yang akan datang. Allah menciptakan tanah tidak hanya untuk
satu generasi, tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan datang.
Jadi pemanasan global adalah buah dari tindakan nir-etis manusia yang akibat keserakahan dan
ketakbertanggungjawabannya terhadap alam, dan juga dengan tanpa memandang hak generasi
selanjutnya untuk menikmati berkat Allah dari alam, melakukan eksploitasi semaksimal mungkin
untuk mendapatkan keuntungan ekonomis sebanyak mungkin. Oleh karena itu titik tolak etika
lingkungan yang teosentris dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, adanya pengakuan
bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, adalah ciptaan Allah. Tetapi Allah tidak berhenti hanya
pada penciptaan karena Ia merupakan Allah yang memelihara ciptaanNya. Di dalam tugas
pemeliharaan ini, Allah mempercayakan pula kepada manusia. Sehingga sudah sepatutnya
manusia secara proaktif memelihara lingkungan. Kedua, penyalahgunaan kepemimpinan
manusia atas ciptaan Allah merupakan bentuk keberdosaan manusia. Manusia semestinya tidak
hanya memanfaatkan alam, tetapi harus melakukan pengelolaan pada saat yang bersamaan.
Rusaknya lingkungan merupakan akibat dari manusia yang dipenuhi dengan kerakusan akan
uang. Akibatnya alam hanya dipandang sebagai sumber ekonomi dengan mengorbankan
pemeliharaan atas alam.
Keterlibatan Gereja Indonesia Terhadap Masalah Pemanasan Global
Ada dua motif yang dapat dijadikan dasar gereja-gereja di Indonesia untuk melaksanakan tugas
pemeliharaan ciptaan. Motif yang pertama adalah motif teologis, yaitu sebagai upaya
melaksanakan misi gereja yang bersifat universal, artinya yang mencakup seluruh ciptaan. Tugas
pemeliharaan ini merupakan pelaksanaan panggilan gereja untuk menghadirkan shalom Allah di
bumi sebagai implementasi dari iman dan panggilannya. Gereja selaku persekutuan orang-orang
yang telah dibaharui dalam Kristus, dipanggil untuk bertobat dari penyalahgunaan dan perlakuan
nir-etis terhadap alam. Sehingga selain alam terlestarikan, tetapi juga alam akhirnya dapat
memancarkan kebesaran dan kemuliaan Sang Pencipta.

Motif yang kedua adalah motif pembangunan, yaitu sebagai salah satu cara yang ditempuh gereja
untuk mewujudkan peran sertanya yang aktif, positif, kritis, dan kreatif dalam mengisi
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia,
gereja dituntut memberikan kontribusi dalam pembangunan. Khususnya dalam membangun
manusianya, yang dalam hal ini adalah umat. Karena hakikat pembangunan sesungguhnya
tertuju pada diri manusia, yaitu membangun manusia Indonesia yang utuh. Artinya,
pembangunan harus menghasilkan manusia yang selaras dengan Allah, selaras dengan sesama,
dan selaras pula dengan alam. Oleh karena itu dalam konsep pembangunan Indonesia, tidak
terdapat pemisahan antara pembangunan material di satu pihak dan pembangunan lingkungan
hidup di pihak lain. Pembangunan barang-barang secara material tetap dibutuhkan bagi
kehidupan manusia itu sendiri, tetapi ini tidak lantas berarti pengembangan lingkungan hidup
pun dinomorduakan.[23]
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya bagaimana mempraktekkan kepedulian terhadap
lingkungan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Karena realitas sangat tergantung dari persepsi.
Minimnya ketidaktahuan dan ketidakpedulian gereja, khususnya umat, terhadap masalah
pemanasan global pasti didasarkan pada persepsi yang salah mengenai apa sebenarnya tugas
gereja di tengah dunia. Gereja ada di dunia sehingga gereja pun harus berjumpa dengan realita
dunia. Oleh karena itu tugas gereja di tengah dunia tentulah harus bersifat holistis. Untuk bersifat
holistis maka gereja dan umat harus menolak persepsi usang yang menganggap dunia sebagai
sesuatu yang jahat dan yang harus dihindari. Karena dunia dengan segala kejahatannya
berpotensi dapat melunturkan kemurnian iman jika gereja terlibat di dalamnya. Seperti halnya
yang pernah terjadi di masa awal Gereja Tertulianus dimana keterlibatan orang Kristen dalam
pemerintahan, militer, dan juga praktek sosial lainnya pada masa itu, sangatlah ditentang. Jadi
hidup terpisah dari dunia mutlak diperlukan agar kekudusan kekristenan dapat dicapai.
Pandangan itu jelas sangat bertolak belakang dengan kebenaran Alkitab. Walaupun dunia ini
sudah jatuh dalam dosa, tetapi Allah sangat mengasihi dunia ini. Sehingga Ia pun mengaruniakan
PutraNya yang tunggal untuk melakukan karya penebusan, dan bukan untuk menghakimi dunia.
Karena kasihNya itu, Ia menjadikan dunia ini tempatNya bekerja untuk menyelamatkan dunia.
Berdasarkan itu, semestinya respon orang Kristen sebagai umat pilihanNya bukanlah menolak
terlibat dalam dunia, tetapi berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaan Allah di tengah dunia ini.
Gereja—baik sebagai lembaga ataupun sebagai individu—harus hidup dalam dunia dan
memperbaharui dunia demi kemuliaanNya. Pekerjaan gereja di tengah dunia akan menjadi sakral
ketika itu dilakukan bagi kemuliaan Allah.[24] Jadi dikotomi antara sakral dan sekuler harus
ditolak dalam pemikiran dan kehidupan kekristenan.
Minimnya ketidaktahuan dan ketidakpedulian gereja dalam penanggulangan masalah pemanasan
global, juga disebabkan karena adanya mis-persepsi mengenai makna ibadah. Ibadah hanya
dipersepsikan sebagai suatu kegiatan seremoni keagamaan yang dilakukan di dalam gedung
gereja, dimana di dalamnya terdapat acara-acara seperti doa, menyanyikan lagu pujian, dan

perenungan firman Tuhan. Tetapi berdasarkan kata aslinya, ibadah itu diistilahkan dalam sharath
dan abodah dalam Perjanjian Lama, sedangkan dalam Perjanjian Baru kata yang digunakan
adalah latreia dan leitourgia. Semua istilah itu memiliki arti “kebaktian” tetapi juga berarti
“pelayanan”, terutama pelayanan kepada Tuhan. Selain itu kata leitourgia dalam masyarakat
Yunani diambil dari kata laos yang berarti “orang” dan ergon yang berarti “kerja.” Hubungan
yang sama pun terlihat dalam bahasa Indonesia. “Kebaktian” ialah upacara yang diadakan dalam
gereja, tetapi juga berarti semua pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang menghambakan diri
kepada Tuhan.
Jadi makna dari ibadah yang sejati adalah ketika umat Allah berkarya di tengah dunia sebagai
bentuk pengabdian kepada Sang Khalik. Ibadah bukanlah sekedar sebuah upacara keagamaan
yang berlangsung seminggu sekali di gedung gereja. Ibadah yang sejati adalah seperti yang
terdapat dalam Roma 12:1, yaitu ketika Allah dimuliakan dalam keseharian dan setiap detil kecil
dari kehidupan. Kahlil Gibran dalam bukunya The Prophet menuliskan demikian:
“…Siapakah yang dapat memisahkan iman dari tindakan, kepercayaan dari pekerjaan?…
Kehidupan keseharianmu adalah kuilmu dan agamamu. Ketika kamu masuk ke dalamnya,
ikutkan seluruh diri kamu bersamamu.”
Bumi Yang Lebih Hijau
Di dalam terang pemikiran tersebut, maka kita dapat beranjak dari etika ekonosentris yang
dirasuki hasrat mendalam untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari alam, menjadi
etika ekosentris yang lebih memandang alam sebagai mitra untuk terjaminnya kelestarian dari
kehidupan umat manusia. Etika ekosentris inilah yang lazim dikenal sebagai Etika Ekologi
Dalam, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menekankan hak hidup makhluk lain.
2. Menerapkan kebijakan dan manajemen lingkungan bagi semua makluk.
3. Menyadari alam harus dilestarikan, bukan untuk dieksploitasi secara membabi buta.
4. Menyadari bahwa perlindungan keaneka-ragaman hayati dan budaya adalah penting.
5. Menghargai dan memelihara tata alam.
6. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem.
7. Mengkritisi sistem ekonomi kapitalisme sambil menyodorkan sistem alternatif, yaitu
mengambil sambil memelihara.

Namun etika ini tak luput pula dari kekurangan. Orientasinya yang terlalu kepada alam,
menjadikan ia terkesan pantheisme. Oleh karena itu apa yang sudah diwariskan oleh etika
ekologi dalam harus dilengkapi dengan etika teosentris. Etika teosentris memiliki titik tolak pada
pengakuan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah; bahwa Allah mempercayakan kepada
manusia untuk menjadi pengelola dan pemelihara ciptaan Allah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, sebagai umat Allah yang berada di bumi Indonesia yang dipanggil
untuk menghadirkan shalom Allah, maka tidak ada alasan untuk tidak melibatkan diri dalam
penanggulangan masalah pemanasan global. Di bawah ini merupakan langkah-langkah praktis
yang bisa dilakukan orang Kristen untuk mewujudkan bumi yang lebih hijau.
1. Menghemat penggunaan listrik. Pemanasan global terjadi karena banyaknya konsentrasi
gas rumah kaca di atmosfer yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia beroperasi dengan menggunakan bahan
bakar fosil. Jadi dengan menghemat penggunaan listrik, maka secara tidak langsung juga
akan mengurangi emisi gas rumah kaca.
2. Penanaman pohon. Ini bisa dilakukan dalam skala besar seperti reforestasi ataupun dalam
skala kecil seperti menanam pepohonan di halaman rumah. Gas karbondioksida
dipergunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin banyak pohon atau
tanaman yang ditanam, maka semakin banyak pula karbondioksida yang diserap
tanaman.
3. Pengurangan penggunaan mobil dan kendaraan bermotor. Mobil dan kendaraan bermotor
menyumbangkan sekitar 70% karbondioksida ke atmosfer. Sehingga untuk mengurangi
efek emisi gas rumah kaca dapat dilakukan dengan menggunakan transportasi umum
seperti bis, angkot, ataupun busway. Di Amerika Serikat, transportasi umum mampu
menghemat kira-kira 5,3 milyar liter BBM dalam setahunnya atau sekitar 1,4 juta ton
karbondioksida.
4. Katakan tidak untuk tas plastik.
5. Ganti lampu hemat energi. Lampu fluorescent (CFL) yang berbentuk melingkar-lingkar
seperti ular ternyata dapat menghemat energi di rumah. Lampu CFL dengan kekuatan 7
watt sama dengan 40 watt lampu biasa.
6. Kurangi pemakaian AC. Untuk mengurangi pemakaian AC, salah satu solusi sederhana
adalah membuka jendela. Solusi lainnya adalah menggunakan kipas angin.
7. Membaca koran secara on-line. 10 kg kertas membutuhkan 1 batang pohon yang
membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk tumbuh menjadi besar. Jika koran

konvensional digantikan dengan koran on-line, maka penghematan penggunaan kayu
sekaligus pencegahan kerusakan hutan dapat dilakukan.
8. Matikan peralatan elektronik. Membiarkan peralatan elektronik dalam keadaan stand-by,
sama saja dengan membiarkan peralatan elektronik tersebut dalam keadaan menyala.
Dengan kata lain, energi listrik yang dipakai masih terus berjalan.
9. Daur ulang kertas, plastik, dan logam.

Daftar Pustaka
Borong, Robert P. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis Bagi Pekerjaan
Orang Kristen Dalam Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Fritjof Capra, Fritjof. The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru.
Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Granberg-Michaelson, Wesley. Menebus Ciptaan Konferensi Tingkat Bumi di Rio: Tantangan
Bagi Gereja-gereja. Jakarta: BPK, 1997.
Dadang Rusbiantoro, Dadang. Global Warming for Beginner: Pengantar Komprehensif Tentang
Pemanasan Global. Yogyakarta: O2, 2008.
Salim, Emil. Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Medyatama Sarana
Perkasa, 1987.
Susanta, Gatut dan Hari Sutjahjo. Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global.
Jakarta: Penebar Swadaya, 2008.
[1] Ada enam senyawa gas rumah kaca yang disepakati dalam Protokol Kyoto, yaitu Karbon
dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrooksida (N2O), Chloro-fluoro-carbon (CFCs), Hidro-fluorocarbon (HFCs), dan Sulful heksafluorida (SF6).
[2] Sumber harian umum Seputar Indonesia tanggal 24 Maret 2007.

[3] Di sela acara pencanangan pendidikan berkelanjutan yang berbasis lingkungan pada tanggal
25 Juli 2005, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengungkapkan bahwa kualitas udara kota Jakarta
saat ini berada pada urutan ke tiga terburuk di dunia, setelah Meksiko dan Panama. Adapun
komponen terbesar yang menyumbangkan polusi udara adalah asap kendaraan bermotor.
Menurutnya asap kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua, dapat menyumbangkan
80 persen polusi di Jakarta. Sedangkan 20 persen sisanya berasal dari industri. (Lihat
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/ 2005/07/25/brk,20050725-64350,id.html)
[4]
Lihat
88098,id.html

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2006/11/21/brk,20061121-

[5] Iklim berbeda dengan cuaca. Iklim adalah akibat jangka panjang dari radiasi matahari pada
rotasi bumi yang berbeda-beda menurut letak permukaan dan atmosfer bumi. Biasanya
perhitungannya dilakukan setiap tahun dan menurut temperatur rata-rata setiap musim.
Sedangkan cuaca adalah kondisi atmosfer khususnya di lapisan dekat tanah pada suatu tempat
dan suatu waktu. Pengukuran cuaca ini berdasarkan temperatur, kelembaban, angin, gumpalan
awan, matahari, dan curah hujan. Perubahan kondisi di atmosfer inilah yang disebut dengan
cuaca.
[6]
Lihat
103997,id.html).

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/07/19/brk,20070719-

[7] Robert P. Borong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: BPK, 1999), hal. 100
[8] Lihat NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, August
31, 2007. Atau lihat http://www.foxnews.com/story/0,2933,295272,00.html. Peter J.Webster, dari
Institut Teknologi Georgia, mengatakan bahwa air hangat yang menguap dari lautan dapat
menyebabkan badai tropis. Suhu air laut yang menghangat menyebabkan kecepatan angin dan
tingkat kebasahan topan akan semakin meningkat. Antara tahun 1970 dan 2004 rata-rata
temperatur
air
laut
di
daerah
tropis
meningkat
satu
derajat
(lihat
http://www.geografiana.com/dunia/fisik/intensitas-badai-siklon-kategori-terkuat-mengalamipeningkatan-3).
[9] Lihat http://earthshots.usgs.gov/LakeChad/LakeChad1973 untuk mendapatkan pencitraan
satelit
dari
Danau
Chad
pada
tahun
1973.
Lihat
juga
http://earthshots.usgs.gov/LakeChad/LakeChad1997 untuk mendapatkan pencitraan satelit dari
danau yang sama pada tahun 1997.
[10] Peneliti Center of Tropical Marine Ecology, Irendra Radjawali mengatakan kemiskinan akan
meningkat tajam pada 2050 akibat perubahan iklim (lihat di http://www.tempointeraktif.com/hg/

nasional/2007/11/22/brk,20071122-112128,id.html).
[11] Nyamuk malaria dapat berkembangbiak pada suhu 25 derajat Celcius hingga 27 derajat
Celcius.
[12]
Lihat
http://www.waspada.co.id/Berita/Luar-Negeri/Virus-EV-71-Bakal-MerebakDitemukan-Di-Vietnam-Singapura.html
[13] Lihat Dadang Rusbiantoro, Global Warming for Beginner:Pengantar Komprehensif Tentang
Pemanasan Global, (Yogyakarta:O2, 2008), hal 68-69.
[14] Lihat http://www.walhi.or.id/ kampanye/globalisasi/kttpemblan/ind_pf_rio+10_/
[15] Wesley Granberg-Michaelson, Menebus Ciptaan Konferensi Tingkat Bumi di Rio:
Tantangan Bagi Gereja-gereja, (Jakarta: BPK, 1997), hal. 95-98.
[16] Protokol Kyoto merupakan bagian dari Conference of Parties atau Konferensi Para Pihak.
CoP ini berwenang memutuskan agar konvensi-konvensi itu diimplementasikan. Sebelum
Protokol Kyoto (CoP 3), telah diadakan CoP 1 di Berlin (1995) dan CoP 2 di Jenewa (1996).
Menurut agenda CoP 4 (2007) akan diadakan di Denpasar.
[17] Negara-negara Annex I (negara industrial) adalah sebagai berikut: Australia, Austria,
Belarusia, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia,
Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Liechtenstein,
Lithuania, Luxembourg, Monaco, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal,
Romania, Rusia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Inggris, Amerika
Serikat.
[18] http://stone.undp.org/maindiv/gef/newslet/June98.pdf (diakses pada 21 Mei 2008, pukul
12.41 WIB).
[19] http://unfccc.int/resource/kpstats.pdf. Untuk mengetahui daftar terbaru para pihak yang telah
meratifikasinya
ada
di
dapat
diakses
oleh
para
pembaca
di
www.climnet.org/EUenergy/ratification/
calendar.html
[20] http://www.detiknews.com/poin-poin bali road map.htm
[21] Mengacu pada data yang dirilis Kantor Kementrian Lingkungan Hidup, Indonesia
merupakan penyumbang sepertiga laju deforestasi dunia yang mencapai 2 juta hektar per tahun.
Emisi CO2 yang dihasilkan sekitar 2,5 milyar ton CO2. Jika jumlah itu bisa ditekan menjadi 1

juta hektar per tahun, emisi karbon yang dikurangi mencapai 1,25 milyar ton CO2. dengan
asumsi harga 1 ton kredit karbon CO2 itu US$ 5, potensi laba yang bisa diraup Indonesia adalah
US$ 6 milyar per tahun atau sekitar US$ 6000 per hektar (Rusbiantoro, 2008: hal 74).
[22] Filsafat humanistik + kapitalisme materialistis + teknologi = etika ekonosentris, yaitu etika
yang berpusat pada profit (lihat Borong 1999:143).
[23] Emil Salim, Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, (Jakarta:Medyatama Sarana
Perkasa, 1987), hal. 27.
[24] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis Bagi
Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004), hal 50.