Rencana Pembangunan Lima Tahun Masa Orde

PROPAGANDA PEMBANGUNAN UNTUK MEMPEROLEH
LEGITIMASI KEKUASAAN PADA REZIM ORBA :
PROGRAM REPELITA TAHUN 1969-1984

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Sejarah Indonesia Kontemporer
yang dibina oleh Bapak Dewa Agung Gedhe Agung

Oleh:
Ali Akbar Rabsanjani
Hermin Mariane
Khamid Faujan Zumroni
Tabita Asih Panglipur
Trias Ulul Himmah

130731615735
130731615724
130731615723
130731607237
130731616743


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Desember 2015

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Beberapa Kebijakan yang Dikeluarkan Pemerintah Orba.......... 3
2.2 Pelaksanaan PELITA I-III tahun 1969 –1984........................... 4
2.3 Dampak dari PELITA I-III tahun 1969 – 1984.........................10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...............................................................................13
3.2 Saran ..........................................................................................13

Daftar Rujukan

14

1

2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Orde Baru merupakan sebuah masa berlakunya rezim yang dipimpin oleh
Suharto berkuasa di Indonesia menggantikan masa demokrasi terpimpin yang
dipimpin oleh Sukarno. Selama Orde Baru ini berlangsung, ekonomi Indonesia
mengalami perkembangan yang signifikan walaupun di sisi lain praktik korupsi,
kolusi serta nepotisme juga berlangsung. Ada yang mengatakan bahwasanya
kesuksesan pembangunan ekonomi yang diraih pada masa Orde baru ini, hanyalah
sebuah kekokohan yang semu. Sebenarnya perekonomian Indonesia bobrok,
rapuh di dalamnya.

Tim Redaksi (2008:21) menyatakan dalam bukunya bahwasanya bencana
terbesar lengsernya rezim ini adalah akibat dari perekonomian semu yang
dibangun dari hutang dan hutang tersebut banyak dikorup oleh kalangan-kalangan
elite pemerintah sendiri. Sehingga keberhasilan yang mereka ciptakan sebenarnya
adalah keberhasilan yang semu. Rakyatlah yang harus menanggung semua beban
hutang dengan membayar pajak dan penghilangan subsidi.
Orde Baru menggambarkan keberlanjutan sistem pemerintahan dari corak
revolusioner menuju tatanan yang kental dengan jargon stabilitas dan
berkonsentrasi pada pembangunan. Jika pada masa demokrasi terpimpin
disibukkan dengan persoalan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia, karena usai
Proklamasi Kemerdekaan 1945 Belanda masih bersikukuh untuk merebut dan
mempertahankan Indonesia yang dianggapnya masih dalam kekuasaannya, maka
Orde Baru fokus pada pembangunan dengan jargonnya yang terkenal,
developmentalisme, dan diaplikasikan dalam sebuah progran Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahunan) (Sanusi, 2014:13).
Akhirnya lima belas tahun sejak Pelita pertama dicetuskan pada tahun
1969, pemimpin Orde Baru benar-benar membawa Indonesia selangkah lebih
maju dibandingkan era demokrasi terpimpin, khususnya dalam bidang pangan.
Hal tersebut didukung oleh keberhasilan swasembada beras dalam masa Pelita III.


3

Ini menjadi legitimasi kekuasaan untuk pemimpin Orde baru. Citra bahwasanya
Orde baru lebih baik dibandingkan demokrasi terpimpinpun juga muncul.
Oleh karena itu makalah ini membahas tentang maksud apa yang
sebenarnya terkandung dibalik realita gencarnya pelaksanaan program
pembangunan ekonomi yang salah satu programnya adalah Pelita, yang
dilaksanakan pemimpin Orde baru. Pembahasan mengerucut pada pembangunan
Pelita I, II, dan III yang dilaksanakan pada tahun 1969-1984. Dilengkapi pula
dengan realita dibalik Repelita sendiri serta keberhasilannya.
Pentingnya membahas mengenai propaganda pembangunan untuk
memperoleh legitimasi kekuasaan pada rezim Orde baru melalui program repelita
tahun 1969-1984 adalah karena hal tersebut bisa dijadikan pelajaran penting yang
harus dijadikan pengalaman dan, dalam beberapa hal, serta dijadikan rujukan
untuk menciptakan model pemerintahan yang lebih baik. Apa yang baik bisa
diambil, dan yang jelek tidak diulangi kembali.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uaraian latar belakang di atas, maka diperoleh beberapa rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah orba?

2. Bagaimanakah pelaksanaan Pelita I-III tahun 1969 – 1984?
3. Bagaimanakah dampak dari Pelita I-III tahun 1969 – 1984?
1.3 Tujuan
Berdasarkan beberapa rumusan masalah yang sudah ada, dapat ditarik
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Menguraikan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah orba.
2. Menguraikan pelaksanaan Pelita I-III tahun 1969 – 1984.
3. Mengidentifikasi dampak dari Pelita I-III tahun 1969 – 1984.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Beberapa Kebijakan yang Dikeluarkan Pemerintah Orba
Dalam sejarah Indonesia masa kepemimpinan yang paling panjang adalah
masa kepemimpinan pemerintah Orde Baru. Sebagai pemimpin, ia berusaha untuk
menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional setelah peristiwa 1965.
Presiden berusaha menata kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik.
Moertopo (1981: 26-28) menjelaskan bahwa stabilitas politik dan keamanan
nasional merupakan syarat utama bagi kelangsungan pembangunan.
Hal yang menjadi sorotan pemerintah Orde Baru adalah pembangunan
politik luar negeri bebas-aktif, karena pada masa demokrasi terpimpin politik luar

negeri Indonesia lebih cenderung berkiblat pada negara-negara sosialis dengan
dasar dibentuknya poros dengan negara-negara sosialis seperti Peking, Pnom
Phen, Hanoi dan Pyongyang. Oleh karenanya pada masa kekuasaan Orde Baru
usaha merubah citra tersebut dilakukan dan Indonesia kembali menjadi anggota
PBB (Kusmanto, 2007:10).
Poesponegoro dan Notosusanto (2008:613) mengatakan bahwa pemerintah
berusaha memperbaiki hubungan Indonesia dengan luar negeri yang terputus
akibat politik konfrontasi. Selama masa demokrasi terpimpin, kebijakan politik
luar negeri lebih condong berhubungan dengan negara-negara sosialis. Sementara
dengan lahirnya Orde Baru (1966), kebijakan yang mengatasi ruang gerak
Indonesia di forum internasional itu dievaluasi, sesuai dengan tuntutan dan tujuan
Undang-Undang Dasar 1945. Konfrontasi terhadap Malasyia, Singapura, dan
Inggris berakhir karena dianggap tidak sesuai dengan dasar politik bebas-aktif,
maka dengan itu berakhir pula poros Jakarta-Pnomphen-Hanoi-Peking-Pyongyang
(Beijing).
Presiden juga memusatkan perhatian utamannya pada pembangunan
ekonomi. Harapannya apabila kehidupan ekonomi membaik, maka akan
mempermudah langkah pemerintah Orde Baru dalam memperoleh dan
memperkokoh legitimasi kekuasaannya dan merebut simpati rakyat (Hariyono,
2006:308-309). Beberapa kebijakan besar pemerintah Orde Baru yang sering


3

4

disebut trilogi pembangunan adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun
(REPELITA), Program Keluarga Berencana (KB), serta pemilihan umum tahun
1971 dan 1977.
Pemerintah Orde Baru membentuk suatu tim ekonomi yang bertugas
mendapatkan dukungan dari luar negeri. Tim tersebut memainkan peranannya
dalam mengatasi perekonomian negara yang semasa demokrasi terpimpin merosot
(Katoppo, 2000:270). Bersama dengan timnya pemerintah menyusun strategi
pembangunan periodik yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Program ini mulai dijalankan sejak 1 April 1969 melalui tahapantahapan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Sanusi (2014:74) menyatakan bahwa dengan konsep Pelita tersebut,
Indonesia benar-benar mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan daripada
masa demokrasi terpimpin. Rupanya pemerintah tidak ingin masuk ke dalam
lubang yang sama seperti demokrasi terpimpin, yang mana rakyat Indonesia jatuh
ke dalam kemiskinan serta kelaparan ada dimana-mana. Bersamaan dengan
kepercayaan dan stabilitas politik yang tercipta di dalam negeri, modal asing

mengalir ke Indonesia.
Adapun pula terdapat peran militer pada Repelita ini, nampak pada
komando ABRI yang berhasil menunjukkan pada dunia mengenai keberhasilan
pembangunan nasional di Indonesia. Sehingga sumbangsihnya adalah meyakinkan
negara donor berinvestasi di Indonesia. Selain itu peranan juga nampak saat Dwi
Fungsi ABRI yang terjadi pada masa Orde Baru, merupakan balance yang
dinamis dalam partnership sipil ABRI. Artinya hubungan antara sipil dan ABRI
harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab agar menciptakan dan menjaga
keseimbangan untuk mencapai stabilitas nasional untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional (Moertopo, 1982:256).
Swasembada beras menjadi isu yang sangat penting pada Orde Baru
karena hal tersebut merupakan prestasi yang tercatat dalam sejarah Orde Baru,
yang mana swasembada beras merupakan target mati Orde Baru yang menjadi
legitimasi kekuasaan, sekaligus menjadi pembentuk citra bahwasanya Orde baru
lebih baik daripada masa sebelumnya (Sanusi, 2014:80). Dari hal tersebut di atas
terbentuk suatu kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintah. Inilah hal yang

5

memang akan dicapai pemerintah, dengan cara menyukseskan pertumbuhan

ekonomi sebaik-baiknya demi mendapat legitimasi kekuasaan.
2.2 Pelaksanaan PELITA I-III tahun 1969 – 1984
2.2.1 Pelita I dan pelaksanaannya (1969-1974).
Pelita I dicanangkan pada tahun 1969, tepatnya pada tanggal 1 April.
Pelita I bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya,
sedangkan sasaran yang hendak dicapai ialah pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Poeponegoro & Notosusanto (2008:578) mengatakan bahwa pemerintah menitik
beratkan pada pembangunan di bidang pertanian, sesuai dengan tujuan
menggenjot pembangunan ekonomi melalui pembaruan bidang pertanian karena
sebagian besar penduduk hidup dari hasil pertanian.
Sanusi (2014:82) juga memaparkan bahwa dalam pelita I, pertanian dan
irigasi dimasukkan satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang.
Dijelaskan dalam rincian penjelasan bahwa tujuan hal ini adalah untuk
peningkatan produksi pangan, terutama beras. Berikut adalah kutipan kalimat
yang terdapat dalam buku Pedomen Repelita:
“Peningkatan produksi pangan bertujuan agar Indonesia dalam
waktu lima tahun jang akan datang tidak usah mengimpor beras
lagi. Tudjuan lain ialah memperbaiki mutu gizi pola konsumsi

manusia Indonesia melalui peningkatan produksi pangan jang
mengandung chewani dan nabati, terutama ikan dan katjangkatjangan. Akibat positif dari peningkatan produsi beras ialah
bahwa lambat laun tidak perlu lagi mengimpor pangan, sehingga
dengan demikian, devisa jang langka itu dapat digunakan untuk
mengimpor barang modal dan bahan baku jang diperlukan untuk
pembangunan sektor-sektor lain, terutama sektor industri.
Selandjutnja, peningkatan produksi pangan akan meningkatkan
taraf penghidupan para petani jang telah sekian lamanja hidup
dalam serba kesengsaraan dan kemiskinan.”
Dalam Repelita I diusahakan untuk memperkecil perbedaan antara
sumbangan sektor agraria dengan ektor industri, dikarenakan ekonomi masyarakat
Indonesia lebih berat ke agraris. Hal ini menyebabkan sumbangan sektor agraria
terhadap produksi nasional lebih besar daripada sumbangan sektor-sektor industri.

6

Untuk meningkatkan sektor produksi serta mutu sektor pertanian diperlukan
bahan-bahan baku yang dihasilkan oleh sektor industri, sehingga sektor industri
akan turut berkembang.
Selain mengembangkan di bidang pangan, proyek Repelita I ini mencakup

di bidang pendidikan pula. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan tenaga
kerja terdidik baik dari tenaga kejuruan maupun tenaga teknik. Peningkatan
tenaga kerja terdidik tersebut diperuntukkan untuk membantu pemerintah dalam
usaha-usaha pembangunan. Tak hanya dari segi peningkatan tenaga kerja terdidik,
usaha pembangunan pula menyentuh di bidang kerohanian dengan penyediaan
buku-buku pelajaran, kitab-kitab suci dan pembangunan tempa-tempat ibadah.
Dengan rencana pembangunan tersebut, tentu diperlukan biaya. Itulah mengapa
mulai digali sumber-sumber keuangan tabungan pemerintah, kredit jangka
menengah, dan kredit jangka panjang dari perbankan maupun penanaman modal
dan re-investasi oleh perusahaan asing dan perusahaan negara, serta bantuan luar
negeri berupa bantuan proyek dan bantuan program (Poesponegoro &
Notosusanto, 2008:579).
Bantuan selama proyek repelita I ini berjumlah Rp.288,2 miliar, digunakan
untuk pembangunan sektor-sektor listrik, perhubungan dan pariwisata, industri
dan pertambangan, pertanian, pendidikan, dan keluarga berencana. Bantuan
program adalah bantuan berupa beras, tepung terigu, gandum dan bulgur. Bantuan
tersebut telah berhasil membantu stabilisasi harga bahan pangan pokok. Selain itu,
ada pula bantuan program non-pangan, seperti kapas, benang tenun, dan pupuk.
Jumlah uang untuk dana Repelita ini diperkirakan sebesar Rp 1.420 miliar. Jumlah
pembiayaan dari Anggaran Pembangunan Negara adalah sebesar Rp 1.059 miliar,
sedangkan pebiayaan di luar anggaran berjumlah Rp. 361 miliar. Landasan yang
dipakai adalah sumber keuangan dalam negeri harus dimobilisasi sebanyak
mungkin daripada sumber luar negeri, sumber-sumber luar negeri hanya
dibutuhkan untuk mengisis kekurangan yang masih diperlukan (Poesponegoro &
Notosusanto, 2008:579).
Selama Repelita I dilakukan rahabilitasi terhadap perkebunan dan pabrikpabrik pengolahan yang telah ada. Pembangunan kesehatan dicanangkan pula
pembangunan dalam bidang kesehatan untuk memberantas penyakit menular dan
untuk meningkatkan kesehatan yang menunjang program keluarga berencana.

7

Oleh karenanya dilakukan pembangunan rehabilitasi sarana kesehatan, yaitu Balai
Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA), balai pengobatan, pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas), dan rumah sakit baik di provinsi maupun di kabupaten.
Iklim ekonomi yang semakin membaik mengundang para penanam modal dalam
negeri dan juga penanam modal asing. Sektor industri merupakan sektor yang
paling menarik bagi penanaman modal dalam negeri disusul oleh sektor
kehutanan, pariwisata, pehubungan, dan perkebunan (Poesponegoro &
Notosusanto, 2008:580-582).
2.2.2 Pelita II dan pelaksanaannya (1974 - 1979).
Setelah keberhasilan dari hasil pada Repelita I, pembangunan lantas
dilanjutkan kembali yakni dengan program Repelita II. Adanya Repelita II yang
dilangsungkan pada 1 April 1974 ini menandai kelanjutan pembangunan dari
Repelita I dengan sasaran utama yaitu:
1. Tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu yang lebih
baik.
2. Tersediannya bahan-bahan perumahan dan fasilitas-fasilitas lain yang
diperlukan, terutama untuk kepentingan rakyat banyak.
3. Keadaan prasarana yang semakin meluas dan sempurna.
4. Kesejahteran rakyat dan meluasnya kesempatan kerja.
Target utama dari Repelita II ini mencakup peningkatan beberapa sektor
seperti pertanian 4,6 %, industri 13 %, pertambangan 10,1 %, bangunan 9,2 % dan
sektor-sektor lainnya sekitar 7,7 %. Dengan laju pertumbuhan tersebut, akan
menjadi landasan yang lebih kuat sehingga pertumbuhan dapat membuka
lapangan pekerjaan yang cakupannya lebih luas.Tak hanya sebagai kelanjutan dari
Repelita I, Repelita II ini pula menambah lagi rancangan pembangunannya seperti
adanya program Transmigrasi dan padat karya. Untuk program transmigrasi ini
teruntukkan bagi penduduk yang bermukim di wilayah Jawa, Bali dan Lombok
akan dipindahkan terutama di daerah-daerah seperti Sumatera Selatan, Kalimantan
Tenggara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah (Poesponegoro &
Notosusanto, 2008:583).

8

Program baru dari Pelita II adakah Program Pembangunan Daerah Tingkat
I. Melalui Pembangunan tersebut disalurkan dana pembangunan bagi daerah
tingkat I. Sedangkan pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah, dan
pemerintah pusat hanya memberi pengarahan secara umum., serta bantuan dalam
pemasaran melalui pembangunan pasar-pasar inpres (Instruksi Presiden). Pada
tahun-tahun terakhir Repelita II pemerintah telah memberikan dana pembangunan
daerah-daerah sebanyak Rp 358 miliar rupiah. Langkah lain yang berhasil di
bidang pertanian yaitu perbaikan dan penyempurnaan irigasi, kira-kira 500 ribu
ha, pembangunan jaringan irigasi baru lebih kurang 500 ribu ha, dan pengaturan
serta pengembangan sungai dan ra lebih kurang 600 ribu ha (Poesponegoro &
Notosusanto, 2008:583).
Pelaksanaan dari Repelita II ini tentu mengalami beberapa macam
tantangan, yang pertama yaitu adanya kemerosotan ekonomi di negara-negara
industri yang menyebabkan berkurangnya hasil produksi di Indonesia. Di lain sisi,
inflasi yang terjadi di negara-negara industri menyebabkan naiknya harga barangbarang modal yang diperlukan untuk pembangunan. Kemudian yang kedua
disebabkan oleh krisis Pertamina. Walaupun harga minyak dipasar dunia naik, hal
itu tidak membawa manfaat sebagaimana diharapkan sebab terpaksa dipakai untuk
menutupi hutang-hutang pertamina. Musim kemarau yang panjang selama
beberapa tahun dan hama wereng menyebabkan merosotnya hasil padi. Walaupun
demikian repelita II tetap masih bisa dilaksanakan, terbukti dengan pertumbuhan
ekonomi rata-rata mencapai 7% pertahun. Pada awal pemerintahan Orde Bari
(1966) laju inflasi mencapai 650%. Pada masa akhir repelita I laju inflasi adalah
47%, sedangkan pada Repelita II turun menjadi 95% (Poesponegoro &
Notosusanto, 2008:583).
2.2.3 Pelita III dan pelaksanaannya (1979 - 1984).
Tidak jauh berbeda dengan rencana pembangunan nasional sebelumnya
pada Repelita I dan Repelita II, Repelita III merupakan kelanjutan selanjutnya.
Program ini dilaksanakan pada 1 April 1979 hingga berakhir pada 31 Maret 1984.
Asas yang dipakai dalam pembangunan tak jauh berbeda seperti pada Trilogi
pembangunan dengan fokus pada pemerataan. Pemerataan ini sendiri memiliki
berbagai langkah dan kegiatan yakni seperti :
a. Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak.
b. Kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.

9

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Pembagian pendapaatan.
Kesempatan kerja.
Kesempatan berusaha.
Kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
Penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air
Memperoleh keadilan.
Seperti yang telah terjabarkan sebelumnya, masalah pangan masih menjadi

fokus utama dari pemerintah dalam usaha pembangunan lima tahunnya. Usaha
yang ditempuh agar persediaan dan konsumsi terus meningkat yakni dengan
meningkatkan kegiatan intensifikasi, penganekaragaman dan perluasan kegiatan
pertanian. Di bidang lainnya pula mendapat perhatian, seperti di bidang sandang
dan adanya pembangunan perumahan rakyat (Poesponegoro & Notosusanto,
2008:585).
Di bidang pendidikan pemerintah menitikberatkan pada perluasan
pendidikan dasar, serta peningkatan pendidikan teknik dan kejuruhan pada semua
tingkat. Kemudian pada bidang kesehatan perbaikan kesehatan ditujukan untuk
meningkatkan pemberantasan penyakit menular, penyakit masyarakat,
peningkatan gizi, peningkatan sanitasi lingkungan, perlindungan terhadap bahaya
narkotika, penyediaaan obat-obatan yang semakin merata dan terbeli oleh rakyat,
penyediaan tenaga medis dan para medis. Pembangunan pusat kesehatan
masyarakat (PUSKESMAS) di kota-kota kecamatan dan di desa-desa juga
ditingkatkan (Poesponegoro & Notosusanto, 2008:586).
Selama Repelita III kesempatan kerja akan diperluas antara lain melalui
Proyek Padat Karya Guna Baru dengan sasaran utama memperluas kesempatan
kerja produktif dalam pembangunan atau rehabilitasi sarana ekonomi. Selama
Repelita III untuk mengatasi masalah kependudukan dan kesempatan kerja ialah
meningkatkan program transmigrasi. Selain itu diutamakan pula pembangunan
daerah-daerah yang terbelakang, daerah-daerah minus dan daerah-daerah yang
padat penduduknya (Poesponegoro & Notosusanto, 2008:587).
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan April 1974 yang
mengharuskan Bank Indonesia mengikuti dan menganalisis secara terus menerus
serta mendalami berbagai variabel, seperti neraca pembayaran, dampaka moneter
dari APBN, serta laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi guna menentukan
apakah program moneter perlu disesuaikan dalam 1 tahun anggaran. Kemudian
untuk menunjang terus berlangsungnya pembangunan pemerintah mengeluarkan

10

Pakjun 1983 (Paket Juni). Paket ini merupakan rangkaian pertama dan langkahlangkah diregulasi diberbagai bidang seperti keuangan dan perdagangan, yang
mendapat sambutan baik di kalangan usaha (Poesponegoro & Notosusanto,
2008:587).
2.3 Dampak dari Repelita I-III tahun 1969 - 1984
2.3.1 Dampak Pelita I
Dalam bidang pertanian, Pelita I memberikan dampak positif. Dengan
meningkatnya sebagian besar hasil pertanian. Beras naik rata-rata 4% setahun,
produksi kayu khususnya kayu rimba naik rata-rata 37,4% setahun. Selain
perkembangan yang semakin membaik di bidang pertanian, terdapat pula
perkembangan yang kurang menggembirakan di bidang produksi umbi-umbian,
kelapa, kopi, teh, dan kapas (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008:580).
Pada sektor perikanan memperlihatkan perkembangan yang
menggembirakan. Ekspor ikan, terutama udang, naik rata-rata 62% setahun.
Dengan membaiknya iklim ekonomi di Indonesia menjadikan para penanam
modal dalam negeri dan penanam modal asing tertarik untuk menanamkan
modalnya. Untuk sektor produksi industri terjadi peningkatan, antara lain
produksi semen mengalami kenaikan sebesar 51%. Industri tekstil mengalami
kemajuan, benang tenun meningkat dari 177.000 bal menjadi 316.247 bal.
Sedangkan bahan tekstil meningkat dari 449,8 juta menjadi 920 juta meter.
Pembangunan kesehatan dilakukan dengan membangun sarana kesehatan, jumlah
Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA) dalam tahun 1973 meningkat menjadi
6801 buah. Jumlah puskesmas meningkat dari 1227 buah dalam tahun 1969
menjadi 2343 buah dalam tahun 1973 (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008:580582).
Bila ditelaah lebih lanjutnya, adanya Pelita tersebut membuahkan sebuah
hasil yang sebagian besar berbuahkan ke arah positif. Meski demikian, adanya
sebuah pembangunan memiliki sisi lain pula yakni sisi dari segi dampak yang
bersifat negarif. Meski adanya dampak negatif ini tidak terlalu terlihat, pada Pelita
I ini dampak negarif dapat dilihat dari adanya dana atau anggaran yang di
habiskan demi berlangsungnya maupun terlaksananya Pelita. Dana yang di pakai
ada pula yang berasal dari kredit maupun re-investasi dengan perusahaan asing.

11

Di lain sisi hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan dengan
pihak asing.
Selain dari ketergantungan kepada pihak asing dari dana yang di pakai
dalam Pelita, ada pula dampak negarif yang disebabkan oleh para penanam model.
Membaiknya iklim ekonomi menjadikan mulai ramainya para pemilik modal
terutama dari pihak asing. Saat para penanam modal asing menanamkan
sahamnya, tentu berakibat dengan tumbuh kembangnya para penanam modal dari
dalam negeri. Dampak ini tidak begitu dirasakan sebagai sebuah damapk yang
membuahkan hal merugikan besar karena dilain sisi, hubungan tersebut lebih
banyaknya membuahkan hasil yang positif atau menguntungkan diantara kedua
belah pihak.
2.3.2 Dampak Pelita II
Repelita II mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret
1979. Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7% per tahun. Prioritas
utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Selain itu sasaran Repelita II ini
juga perluasan lapangan kerja.
Repelita II berhasil dilaksanakan dan memberikan dampak bagi Indonesia.
Pada Repelita II, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% setahun. Pada
masa awal pemerintahan Orde baru (1966) laju inflasi mencapai 650%. Pada masa
akhir Repelita I laju inflasi adalah 47%, sedangkan dalam tahun keempat Repelita
II turun menjadi 9,5%. Pada sektor pertanian terdapat kenaikan yang mencolok,
antara lain pada kelapa sawit dan teh (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008:583).
Terjadinya sebuah laju inflasi yang sifatnya labil dan tidak terduga mempengaruhi
tumbuh kembangnya sebuah pembangunan di Indonesia pada Orde Baru terutama
kondisi yang kala itu melakukan Pelita. Sehingga besar kemungkinan pada Pelita
II mengalami rintangan dan resiko yang berat karena dibarengi adanya inflasi
yang sedang terjadi.
Pada Pelita II, pemerintah berhasil menekan laju inflasi yang tinggi yang
mana adanya inflasi tersebut menyebabkan adanya tingkat ketergantungan dengan
asing yang tinggi. Untuk mensiasati kondisi seperti itu, pemerintah ingin

12

mengurangi adanya ketergantungan tersebut dengan peningkatan kegiatan ekspor
dan penstabilan kegiatan ekonomi. Hasil dari kegiatan ekspor ke luar negeri
membuahkan hasil untuk membayar segala macam dana pinjaman berupa kredit
berjangka waktu panjang, sedang maupun pendek.
Di bidang industri, produksi tekstil meningkat dari 900 juta menjadi 1,3
miliar meter. Indonesia yang dulunya mengimpor pupuk urea, pada periode ini
sudah mengekspor pupuk terutama ke negara-negara ASEAN. Produksi semen
menunjukkan kenaikan yang signifikan dari 900 ribu ton menjadi 5 juta ton.
Sehingga Indonesia bisa mengekspor semen ke luar negeri, seperti Australia,
beberapa negara Eropa, dan juga negara-negara ASEAN (Poesponegoro dan
Notosusanto, 2008:583-584).
2.3.3 Dampak Pelita III
Repelita III mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1979-31 Maret 1984.
Repelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala
bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan
Delapan Jalur Pemerataan (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008:585).
Perekonomian pada periode ini masih sangat dipengaruhi oleh
kebijaksanaan devaluasi November 1978, juga oleh resesi dunia yang sulit
diramalkan kapan akan berakhir. Kebijaksanaan yang sifatnya mendukung
kebijaksanaan November 1978 banyak dilakukan, khususnya yang bertujuan
untuk memperlancar arus barang. Dalam periode ini kebijaksanaan tersebut
dilakukan pada Januari 1982. Inti dari kebijaksanaan ini adalah memberi
keringanan persyaratan kredit ekspor, penurunan biaya gudang serta biaya
pelabuhan. Disamping itu eksportir dibebaskan dari kewajuban menjual devisa
yang diperolehnya dari hasil ekspor barang atau jasa kepada Bank Indonesia.
Dengan perkataan lain eksportiers ekarang bebas memiliki devisa yang
diperolehnya (Suroso, 1997:75)
Di bidang impor juga diberikan keringannan bea masuk dan PPN impor
untuk barang-barang tertentu. Kemudian dalam rangka meningkatkan ekspor,
Januari 1983 pemerintah memberlakukan kebijaksanaan imbal-beli (counter

13

purches). Di bidang penerimaan pemerintah menaikan biaya fiskal keluar negeri
dari Rp.25.000,- menjadi Rp. 150.000,-. Sementara itu dalam bidang perpajakan
mulai diberlakukan pungutan atas dasar undang-undang pajak yang baru (1984).
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang
belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecendrungan harga minyak yang
semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Keadaan ini
membuat posisis neraca pembayaran Indonesia semakin buruk. Untuk mengatasi
ancaman ini, juga dalam rangka meningkatkan daya saing produk Indonesia,
pemerintah memberlakukan devaluasi rupiah terhadap US$ sebesar 27,6% pada
30 maret 1983. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha
pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari
penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri. Untuk itu tanggal 31 Maret
1983 pemerintah memberlakukan kebijaksanaan bebas visa dari 26 negara yang
berkunjung ke Indonesia kurang dari 2 bulan. Maksudnya agar turis semakin
tertarik mengunjungi Indonesia.
Pada akhir tahun Repelita III perkembangan yang terjadi di lingkup
Internasional adalah bahwa nilai dollar menguat, tingkat bunga riil di AS
menguat, dana mengalir ke AS, likuiditas Internasional meningkat dan semakin
beratnya beban utang negara-negara yang sedang berkembang. Jika dianalisis
lebih dalam, kemajuan ekonomi bisa dicapai oleh pemerintahan Orde Baru
melalui komitmennya yang besar terhadap pembangunan ekonomi sebagai salah
satu cara mewujudkan legitimasi politiknya di hadapan rakyat (Sanusi, 2014:89).

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dari paparan materi yang sudah di uraikan dalam bab pembahasan,
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Orde baru merupakan masa kepemimpinan presiden Suharto yang mana pada
masa kepemimpinannya fokus perhatian ditujukan dalam mewujudkan
stabilitas politik serta menggenjot pembangunan dalam bidang ekonomi.
Salah satu programnya adalah Repelita, yang berhasil membuat langkah lebih
maju daripada era kepemimpinan demokrasi terpimpin. Swasembada beras
merupakan isu yang marak dibicarakan sebagai wujud kesuksesan Orde baru.
Namun dibalik kesuksesan itu terdapat maksud untuk memperoleh legitimasi
kekuasaan, simpati rakyat da citra lebih baik daripada era demokrasi
terpimpin.
2. Repelita I bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur
dengan penekanan pada bidang pertanian. Repelita II bertujuan untuk
meningkatkan pembangunan dan pemerataan. Kemudian Repelita III lebih
ditekankan pada bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
3. Pembangunan lima tahun (PELITA) dari I hingga III memiliki dampak dari
bidang ekonomi, pertanian, dsb. Pelita I (1969-1974) terjadi peningkatan
dalam bidang pertanian, perikanan, industri, dan kesehatan. Repelita II mulai
dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1974 hingga 31Maret 1979. Target
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7% per tahun. Prioritas utamanya
adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untukmemenuhi kebutuhan
pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Repelita III mulai dilaksanakan
sejak tanggal 1 April 1979-31 Maret 1984.Repelita III lebih menekankan pada
Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Arah dan kebijaksanaan
ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang.

13

Daftar Rujukan
Hariyono, Kebijakan Ekonomi di Awal Orde Baru Membuka Pintu Lebar-Lebar
bagi Modal Asing, Malang: Jurnal Eksekutif Volume 3, Nomer 3,
Desember 2006.
Katoppo, A. 2000. Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Sumitro
Djojohadikusumo. Jakarta: Sinar Harapan.
Kusmanto, H. 2007. Desa Tertekan Kekuasaan. Medan: BITRA Indonesia.
Moertopo, A. 1981. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: CSIS.
Poesponegoro & Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Sanusi, M. 2014. Kenangan Inspiratif Orde Lama & Orde Baru. Jogjakarta:
Saufa.
Suroso,P.C.1997. Perekonomian Indonesia.Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Pustaka.
Tim Redaksi. 2008. Apakah SoehartoPahlawan?. Yogyakarta: Bio Pustaka.

14