Atensi Global terhadap Konflik di Kawasa (1)
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Atensi Global terhadap Konflik di Kawasan Afrika: Perdagangan Senjata Ilegal,
Perang Saudara, Identitas Etnis dan Agama
Firsty Chintya Laksmi Perbawani
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
[email protected]
ABSTRAK
Afrika menjadi salah satu kawasan dengan intensitas konflik yang sangat tinggi serta
memakan setidaknya puluhan ribu jiwa tiap tahunnya. Mengapa 90% korban mati di daerah
konflik, khususnya Afrika sedangkan kawasan lain tidak? Penulis berargumen bahwa Afrika
merupakan benua dimana negara-negara didalamnya sangat konfliktual. Beberapa hal yang
menyebabkan konflik yang mampu menarik atensi global tersebut antara lain, karena
tingginya perdagangan senjata ilegal, konflik horisontal seperti banyaknya perang saudara,
identitas etnis yang masih sering terjadi, serta adanya konflik-konflik agama. Hal itulah yang
akhirnya mendorong global untuk memberikan atensinya dalam membantu menyelesaikan
konflik di kawasan Afrika. Dalam pembatasan perdagangan senjata ilegal misalnya, entitas
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah dengan membentuk rezim
internasional mengenai perdagangan senjata yaitu Arms Trade Treaty (ATT) atau Perjanjian
Perdagangan Senjata.
Kata-kata kunci: Afrika, arms trade treaty, civil war, konflik ZAOGA, perdagangan senjata
ilegal
1
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Konflik yang terus terjadi di Afrika bukan menjadi hal yang baru lagi. Melihat dari perspektif
sejarah dan global, memang sebenarnya apabila dibandingkan dengan jumlah korban selama
Perang Dunia I dan II, sebanyak kurang lebih 180 juta orang yang meninggal akibat konflik
dan kekejaman di Afrika tidak seberapa. Namun, hal tersebut tidak begitu saja membuat
atensi global turun. Karena hingga sekarang pun Afrika masih menjadi pantuan daerah
dengan tingkat dan intensitas konflik yang sangat tinggi. Penyebab konflik yang sangat
kompleks pun menjadi tantangan yang sulit untuk diselesaikan. Pada awal abad kedua puluh
satu, Afrika yang setidaknya terdiri dari lima puluh empat negara, sejak kemerdekaan, sekitar
sepertiga dari negara-negara tersebut telah mengalami kekerasan perang (Dunnigan & Bay
1996, 651-53). Tingkat kekerasan yang terjadi antar negara di Afrika memang berbeda-beda.
Afrika adalah benua besar, dimana budaya dan masyarakat didalamnya begitu variatif.
Tingkat kekerasan berbeda jauh antar negara dan juga kadang sulit untuk memprediksi di
mana kekerasan akan terjadi. Kenya, misalnya, berbatasan dengan lima negara lainnya, empat
di antaranya telah mengalami perang saudara: Ethiopia, Sudan, Somalia dan Uganda. Negara
kelima di perbatasannya adalah Tanzania, negara yang sebagian lahir dari revolusi (Revolusi
Zanzibar 1964). Dibandingkan dengan negara tetangga, Kenya sejauh ini telah terhindar skala
besar konflik sipil. Beberapa negara lain pun juga ikut dalam perang dan terkena dampak.
Namun intinya, pola kekerasan secara keseluruhan di Afrika benua adalah sangat
mengganggu dan layak untuk dianalisis. Dalam pendahuluan ini, penulis kembali
menegaskan argumen penulis, dimana konflik-konflik yang terjadi di Afrika dikarenakan oleh
beberapa hal, antara lain perdagangan senjata ilegal, perang saudara, hingga konflik
mengenai identitas kesukuan dan agama yang ada. Dalam makalah ini, penulis akan
membahas satu persatu sebab konflik tersebut, dengan juga mengorelasikannya dengan atensi
global serta upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka membantu mengurangi konflik yang
terus terjadi di Afrika.
2
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Perdagangan Senjata Ilegal: Arms Trade Treaty
Pedagangan senjata ilegal didefinisikan oleh United Nations Office for Disarmament Affairs
atau Komisi Pelucutan Senjata PBB sebagai perdagangan yang melanggar hukum nasional
ataupun hukum internasional dalam kata lain, ilegal. Perdagangan ini memberi dampak bagi
dunia internasional, yaitu menjadi biang keladi 90% korban mati di kawasan konflik. Negaranegara di Afrika, seperti Somalia, Kongo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan menjadi fokus
perdagangan senjata ilegal. Afrika Selatan memiliki peraturan senjata yang ketat dan sejak
peraturan itu diluncurkan tahun 2002, tingkat kejahatan dengan menggunakan senjata
menurun. Berdasarkan data statisik dewan penelitian kesehatan tahun 2002 hampir sepertiga
kasus pembunuhan tindak kejahatan dilakukan dengan menggunakan senjata. Tahun 2008
jumlahnya menurun menjadi sepersepuluh. Pam Crowsley dari lobi anti senjata, Gun Free
South Africa berpendapat: “Semakin sedikit adanya senjata, situasi akan semakin aman, dan
semakin sedikit jumlah kejahatan. Jika orang-orang tidak memiliki akses pada senjata,
kejahatan yang mereka lakukan juga makin sedikit.” tetapi pada kenyataannya tidak semudah
itu. Di Afrika Selatan saja, para pakar memperkirakan ada sekitar 500 ribu senjata ilegal.
Paradoksnya, kebanyakan senjata ilegal itu berasal dari pasar legal. Itu merupakan senjatasenjata yang dicuri atau hilang dulu jauh sebelum banyaknya perjanjian anti senjata dibuat
(Stäcker & Kostermans 2012).
Dunia pun dengan entitas yang berada di Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) mulai
membuat sebuah rezim internasional untuk mengatur perdagangan senjata. Apabila melihat
kembali pada konsep rezim internasional, menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional
adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan
keputusan, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspetasi atau
pengharapan aktor-aktor yang memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan
internasional (Banyu Perwita & Yanyan 2006). PBB pun pada tanggal 2 April 2013 resmi
3
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
membuat sebuah perjanjian yang dinamakan sebagai Arms Trade Treaty (ATT), dimana
perjanjian ini berisikan 28 pasal yang mengatur pembatasan perdagangan senjata
konvensional secara langsung. Dengan perjanjian ini, setidaknya angka perdagangan senjata
di Afrika berkurang.
Perang Saudara yang Beruntun
Keberadaan senjata-senjata yang sangat mudah dapat dicari pun juga dapat memicu adanya
perang saudara diantara negara di Afrika. Pengertian atau konsep perang saudara yaitu suatu
keadaan dimana saat konflik bersenjata yang, (1) menyebabkan lebih dari seribu kematian;
(2) menantang kedaulatan sebuah negara yang diakui secara internasional; (3) terjadi dalam
batas-batas yang diakui yang negara; (4) melibatkan negara sebagai salah satu pejuang utama;
(5) melibatkan pemberontak dengan kemampuan untuk membuat sebuah kelompok oposisi
terorganisir; dan (6) mampu memengaruhi prospek hidup bersama suatu negara setelah akhir
perang (Elbadawi & Sambanis 2000).
Dari sekian banyak perang saudara yang terjadi di Afrika, salah satu yang paling besar adalah
Perang Kongo (Guere du Kongo) yang terjadi di Republik Demokratik Kongo (RDK,
dulunya Zaire). Perang Kongo juga disebut sebagai Perang Dunia Ketiga di Afrika. Perang ini
sebenarnya bermula dari negara yang bernama Zaire. Pada tahun 1996, Mobutu mulai
kehilangan legitimasi di mata rakyatnya. Mobutu yang berstatus sebagai Perdana Menteri ini
telah memimpin Zaire sejak tahun 1965. Pada awal kepemimpinannya, Mobutu memiliki
kiprah politik yang sangat baik, ia dikenal sebagai sosok pemuda yang sangat cerdas,
memiliki semangat yang tinggi dan berpotensi menjadi pemimpin besar Zaire.
Kepemimpinannya di Zaire saat itu didukung oleh berbagai negara barat, termasuk Amerika
Serikat. Namun, seiring berjalannya waktu, Mobutu mulai menunjukkan sikap yang otoriter
dan banyak membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Zaire yang pernah maju
4
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
saat awal kepemimpinannya berubah menjadi stagnan dan cenderung mengalami
kemunduran. Angka PDB Zaire semakin mengalami kemerosotan dan banyak meresahkan
masyarakat. Tentara pun juga mulai bersikap berkebalikan dari fungsi utamanya, dimana para
tentara Zaire mulai menyerang dan menolak kepemimpinan Mobutu (Zapata 2009). Perang
Kongo ini pun berlangsung cukup panjang dan melibatkan setidaknya delapan negara di
Afrika beserta puluhan kelompok milisi yang ada.
Identitas Etnis dan Konflik Agama
Afrika memiliki prevalensi tinggi akan perang sipil dan ini umumnya dikaitkan dengan
keragaman etnis dari negara tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya gerakan
pemberontak Afrika yang selalu dikaitkan dengan indentitas etnis tertentu. Kebanyakan
masyarakat di kawasan Afrika masih cukup kuat memegang perbedaan etnis yang ada,
sehingga keberagaman tersebutlah yang memicu terjadinya konflik. Selain indentitas etnis,
konflik agama juga merupakan salah satu konflik yang seringkali memecah perdamaian di
negara-negara Afrika. Masyarakat Afrika setidaknya memiliki tiga agama yaitu, agama
tradisional, ajaran Islam dan penganut Kristen (Moller 2006, 6). Pada dasarnya, konflik
agama telah muncul sebelum era kolonialisme terjadi di Afrika. Namun pergerakan atas nama
keagamaan semakin masif muncul di era abad 19 hingga 20, yakni semenjak kolonialisme di
Afrika dimulai. Dalam masa tersebut, kontribusi kelompok - kelompok keagamaan dalam
memerjuangkan kemerdekaan Afrika semakin masif, tetapi keikutsertaan kelompok –
kelompok keagamaan tersebut justru yang kemudian akan mengancam stabilitas suatu negara
secara internal.
Penulis mengambil salah satu contoh konflik yang dapat merepresentasikan bagaimana
kuatnya faktor agama dalam memengaruhi adanya konflik di Afrika, yaitu konflik Zimbabwe
Assemblies of God Africa (ZAOGA) di Zimbagwe pada tahun 1960. ZAOGA merupakan
5
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
pergerakan radikal keagamaan di Zimbagwe yang mana mengklaim diri sebagai Gereja
Kristen Pantekosa dengan jemaat yang tinggi tingkat pengikutnya dibandingkan yang lain,
sehingga kelompok ini menuntut agar Zimbabwe berdiri sendiri menjadi negara nasionalisme
Kristen Pantekosa (Maxwell 2000, 252). Dengan agenda dasar menyebarkan nilai-nilai
keagamaan Kristen Pantekosa, ZAOGA kemudian merambah kearah yang lebih politis, yakni
mulai ingin menguasai negara. Setelah mendapatkan tampuk kepemimpinan di Zimbabwe,
ZAOGA kemudian menerapkan rezim pemerintahan yang otoriter dan meniadakan
pendidikan ataupun kegiatan keagamaan yang bersifat supranatural seperti animisme dan
dinamisme. Kebijakan tersebut tentu saja menyulut konflik dengan penganut keagamaan lain,
karena selain Kristen Pantekosa, masyarakat Zimbabwe masih banyak menganut agama
supranatural tersebut. Sehingga akhirnya terjadi konflik agama yang cukup masif di
Zimbabwe akibat pergerakan ZAOGA tersebut.
Kemungkinan sebab lain yang mampu meningkatkan probabilitas konflik agama di Afrika
juga mengenai determinasi pereokonomian. Afrika sebagai kawasan yang notabene dengan
tingkat perekonomian yang lemah di banyak negara, akan memudahkan justifikasi terhadap
tindakan kejahatan dan kekerasan (Miguel 2005, 1153). Salah satu konflik antaragama yang
didorong oleh klaim perekonomian terjadi di dalam masyarakat Tanzania, yang terjadi antara
pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama supranatural. Walaupun sebenarnya mayoritas
penduduk Tanzania memeluk agama Islam, namun masih sering terjadi kasus pembunuhan
terhadap perempuan. Hal ini disebabkan oleh tuduhan praktek ilmu sihir kepada para
perempuan yang menganut agama supranatural tersebut, karena agama supranatural ini kental
dengan ritual keagamaan seperti penyembahan. Hal tersebut dianggap sebagai sihir gelap
yang menyebabkan kondisi di Tanzania semakin memburuk. Seperti kekeringan, gagal panen,
rendahnya sumber daya alam, cuaca ekstrem hingga banjir berbulan-bulan membuat
6
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
masyarakat Tanzania kelaparan dan miskin (Miguel 2005, 1163). Pemikiran irrasional yang
mengatasnamakan agama tersebut telah meledakkan konflik yang korbannya cukup banyak.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah penulis jelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa 90% korban mati
di daerah konflik Afrika dan negara lain tidak, dikarenakan intensitas konflik di kawasan
Afrika begitu tinggi. Timbulnya konflik-konflik di Afrika pun dipengaruhi oleh beberapa hal.
Penulis menyingkatnya menjadi tiga pokok penyebab. Pertama, pergerakan perdagangan
senjata negara-negara di Afrika, seperti Somalia, Kongo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan
begitu tinggi. Adanya kemudahan dalam membeli atau menyimpan senjata pun mampu
meningkatkan probabilitas terjadinya konflik. Tidak ingin berlarut-larut, dunia pun
memberikan atensinya dengan cara ikut menandatangani sebuah perjanjian pada tahun 2013
yang diberi nama Arms Trade Treaty, dimana perjanjian ini berisikan 28 pasal yang mengatur
pembatasan perdagangan senjata konvensional secara langsung. Kedua, banyaknya konflik
antar negara di kawasan Afrika juga menjadi penyebab, memang sebenarnya apabila
dibandingkan dengan jumlah korban selama Perang Dunia I dan II, sebanyak kurang lebih
180 juta orang yang meninggal akibat konflik dan kekejaman di Afrika tidak seberapa.
Namun, hal tersebut tidak begitu saja membuat atensi global turun. Penulis memberikan
contoh Perang Kongo, dimana perang ini dinilai sebagai perang yang sangat besar karena
melibatkan setidaknya delapan negara di Afrika beserta puluhan kelompok milisi yang ada.
Lalu, yang ketiga yaitu adanya identitas etnis dan agama yang penulis nilai agar lebih bisa
dileburkan dan harusnya ada proses integrasi satu sama lain di kawasan Afrika. Penulis
memberikan konflik Zimbabwe Assemblies of God Africa (ZAOGA) di Zimbagwe pada
tahun 1960 dan juga konflik di Tanzania. Keterlibatan dunia dengan segala atensinya dapat
membantu mengurangi kemungkinan terjadinya konflik di Afrika yang sudah memakan
banyak korban jiwa dan meresahkan kestabilan di Afrika.
7
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Daftar Pustaka
Banyu Perwita. A & Yanyan, M. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Dunnigan, James F. and Austin Bay. 1996. A Quick and Dirty Guide to War. 3rd edn. New
York: WiIlliam Morrow and Company.
Elbadawi, Ibrahim & Sambanis, Nicholas. 2000. How Much War Will We See? Estimating
the Likelihood and Amount of War in 161 Countries, 1960-1998. Mimeo: The World
Bank Publishing.
Maxwell, David. 2000. Catch the Cockerel Before Dawn: Pentecostalism and Politics in PostColonial Zimbabwe, Africa: Journal of the International African Institute. 70:2, hal.
249-277.
Miguel, Edward. 2005. “Poverty and Witch Killing”, Review of Economic Studies 72:4 pp.
1153-1172.
Moller, Bjorn. 2006. “Religion, Conflict and Terrorism in East Africa” dalam Religion and
Conflict in Africa with Special Focus on East Africa. DIIS Report 2006: 6.
Oyeniyi, Adeleye. 2011. Conflict and Violence in Africa: Causes, Sources and Types [Online]
Tersedia
dalam:
https://www.transcend.org/tms/2011/02/conflict-and-violence-in-
africa-causes-sources-and-types/ (diakses pada 29 Desember 2015)
Stäcker, Claus & Kostermans, Dyan. 2012. Afrika Surga Bagi Senjata Ilegal [Online]
Tersedia dalam: http://www.dw.com/id/afrika-surga-bagi-senjata-ilegal/a-15792797
(diakses pada 29 Desember 2015)
8
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Zapata, Mollie. 2009. Congo: The First and Second Wars, 1996-2003 [Online] Tersedia
dalam: http://www.enoughproject.org/blogs/congo-first-and-second-wars-1996-2003
(diakses pada 30 Desember 2015)
Jumlah abstrak: 134 kata, konten: 1613 kata.
9
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Atensi Global terhadap Konflik di Kawasan Afrika: Perdagangan Senjata Ilegal,
Perang Saudara, Identitas Etnis dan Agama
Firsty Chintya Laksmi Perbawani
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
[email protected]
ABSTRAK
Afrika menjadi salah satu kawasan dengan intensitas konflik yang sangat tinggi serta
memakan setidaknya puluhan ribu jiwa tiap tahunnya. Mengapa 90% korban mati di daerah
konflik, khususnya Afrika sedangkan kawasan lain tidak? Penulis berargumen bahwa Afrika
merupakan benua dimana negara-negara didalamnya sangat konfliktual. Beberapa hal yang
menyebabkan konflik yang mampu menarik atensi global tersebut antara lain, karena
tingginya perdagangan senjata ilegal, konflik horisontal seperti banyaknya perang saudara,
identitas etnis yang masih sering terjadi, serta adanya konflik-konflik agama. Hal itulah yang
akhirnya mendorong global untuk memberikan atensinya dalam membantu menyelesaikan
konflik di kawasan Afrika. Dalam pembatasan perdagangan senjata ilegal misalnya, entitas
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah dengan membentuk rezim
internasional mengenai perdagangan senjata yaitu Arms Trade Treaty (ATT) atau Perjanjian
Perdagangan Senjata.
Kata-kata kunci: Afrika, arms trade treaty, civil war, konflik ZAOGA, perdagangan senjata
ilegal
1
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Konflik yang terus terjadi di Afrika bukan menjadi hal yang baru lagi. Melihat dari perspektif
sejarah dan global, memang sebenarnya apabila dibandingkan dengan jumlah korban selama
Perang Dunia I dan II, sebanyak kurang lebih 180 juta orang yang meninggal akibat konflik
dan kekejaman di Afrika tidak seberapa. Namun, hal tersebut tidak begitu saja membuat
atensi global turun. Karena hingga sekarang pun Afrika masih menjadi pantuan daerah
dengan tingkat dan intensitas konflik yang sangat tinggi. Penyebab konflik yang sangat
kompleks pun menjadi tantangan yang sulit untuk diselesaikan. Pada awal abad kedua puluh
satu, Afrika yang setidaknya terdiri dari lima puluh empat negara, sejak kemerdekaan, sekitar
sepertiga dari negara-negara tersebut telah mengalami kekerasan perang (Dunnigan & Bay
1996, 651-53). Tingkat kekerasan yang terjadi antar negara di Afrika memang berbeda-beda.
Afrika adalah benua besar, dimana budaya dan masyarakat didalamnya begitu variatif.
Tingkat kekerasan berbeda jauh antar negara dan juga kadang sulit untuk memprediksi di
mana kekerasan akan terjadi. Kenya, misalnya, berbatasan dengan lima negara lainnya, empat
di antaranya telah mengalami perang saudara: Ethiopia, Sudan, Somalia dan Uganda. Negara
kelima di perbatasannya adalah Tanzania, negara yang sebagian lahir dari revolusi (Revolusi
Zanzibar 1964). Dibandingkan dengan negara tetangga, Kenya sejauh ini telah terhindar skala
besar konflik sipil. Beberapa negara lain pun juga ikut dalam perang dan terkena dampak.
Namun intinya, pola kekerasan secara keseluruhan di Afrika benua adalah sangat
mengganggu dan layak untuk dianalisis. Dalam pendahuluan ini, penulis kembali
menegaskan argumen penulis, dimana konflik-konflik yang terjadi di Afrika dikarenakan oleh
beberapa hal, antara lain perdagangan senjata ilegal, perang saudara, hingga konflik
mengenai identitas kesukuan dan agama yang ada. Dalam makalah ini, penulis akan
membahas satu persatu sebab konflik tersebut, dengan juga mengorelasikannya dengan atensi
global serta upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka membantu mengurangi konflik yang
terus terjadi di Afrika.
2
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Perdagangan Senjata Ilegal: Arms Trade Treaty
Pedagangan senjata ilegal didefinisikan oleh United Nations Office for Disarmament Affairs
atau Komisi Pelucutan Senjata PBB sebagai perdagangan yang melanggar hukum nasional
ataupun hukum internasional dalam kata lain, ilegal. Perdagangan ini memberi dampak bagi
dunia internasional, yaitu menjadi biang keladi 90% korban mati di kawasan konflik. Negaranegara di Afrika, seperti Somalia, Kongo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan menjadi fokus
perdagangan senjata ilegal. Afrika Selatan memiliki peraturan senjata yang ketat dan sejak
peraturan itu diluncurkan tahun 2002, tingkat kejahatan dengan menggunakan senjata
menurun. Berdasarkan data statisik dewan penelitian kesehatan tahun 2002 hampir sepertiga
kasus pembunuhan tindak kejahatan dilakukan dengan menggunakan senjata. Tahun 2008
jumlahnya menurun menjadi sepersepuluh. Pam Crowsley dari lobi anti senjata, Gun Free
South Africa berpendapat: “Semakin sedikit adanya senjata, situasi akan semakin aman, dan
semakin sedikit jumlah kejahatan. Jika orang-orang tidak memiliki akses pada senjata,
kejahatan yang mereka lakukan juga makin sedikit.” tetapi pada kenyataannya tidak semudah
itu. Di Afrika Selatan saja, para pakar memperkirakan ada sekitar 500 ribu senjata ilegal.
Paradoksnya, kebanyakan senjata ilegal itu berasal dari pasar legal. Itu merupakan senjatasenjata yang dicuri atau hilang dulu jauh sebelum banyaknya perjanjian anti senjata dibuat
(Stäcker & Kostermans 2012).
Dunia pun dengan entitas yang berada di Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) mulai
membuat sebuah rezim internasional untuk mengatur perdagangan senjata. Apabila melihat
kembali pada konsep rezim internasional, menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional
adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan
keputusan, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspetasi atau
pengharapan aktor-aktor yang memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan
internasional (Banyu Perwita & Yanyan 2006). PBB pun pada tanggal 2 April 2013 resmi
3
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
membuat sebuah perjanjian yang dinamakan sebagai Arms Trade Treaty (ATT), dimana
perjanjian ini berisikan 28 pasal yang mengatur pembatasan perdagangan senjata
konvensional secara langsung. Dengan perjanjian ini, setidaknya angka perdagangan senjata
di Afrika berkurang.
Perang Saudara yang Beruntun
Keberadaan senjata-senjata yang sangat mudah dapat dicari pun juga dapat memicu adanya
perang saudara diantara negara di Afrika. Pengertian atau konsep perang saudara yaitu suatu
keadaan dimana saat konflik bersenjata yang, (1) menyebabkan lebih dari seribu kematian;
(2) menantang kedaulatan sebuah negara yang diakui secara internasional; (3) terjadi dalam
batas-batas yang diakui yang negara; (4) melibatkan negara sebagai salah satu pejuang utama;
(5) melibatkan pemberontak dengan kemampuan untuk membuat sebuah kelompok oposisi
terorganisir; dan (6) mampu memengaruhi prospek hidup bersama suatu negara setelah akhir
perang (Elbadawi & Sambanis 2000).
Dari sekian banyak perang saudara yang terjadi di Afrika, salah satu yang paling besar adalah
Perang Kongo (Guere du Kongo) yang terjadi di Republik Demokratik Kongo (RDK,
dulunya Zaire). Perang Kongo juga disebut sebagai Perang Dunia Ketiga di Afrika. Perang ini
sebenarnya bermula dari negara yang bernama Zaire. Pada tahun 1996, Mobutu mulai
kehilangan legitimasi di mata rakyatnya. Mobutu yang berstatus sebagai Perdana Menteri ini
telah memimpin Zaire sejak tahun 1965. Pada awal kepemimpinannya, Mobutu memiliki
kiprah politik yang sangat baik, ia dikenal sebagai sosok pemuda yang sangat cerdas,
memiliki semangat yang tinggi dan berpotensi menjadi pemimpin besar Zaire.
Kepemimpinannya di Zaire saat itu didukung oleh berbagai negara barat, termasuk Amerika
Serikat. Namun, seiring berjalannya waktu, Mobutu mulai menunjukkan sikap yang otoriter
dan banyak membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Zaire yang pernah maju
4
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
saat awal kepemimpinannya berubah menjadi stagnan dan cenderung mengalami
kemunduran. Angka PDB Zaire semakin mengalami kemerosotan dan banyak meresahkan
masyarakat. Tentara pun juga mulai bersikap berkebalikan dari fungsi utamanya, dimana para
tentara Zaire mulai menyerang dan menolak kepemimpinan Mobutu (Zapata 2009). Perang
Kongo ini pun berlangsung cukup panjang dan melibatkan setidaknya delapan negara di
Afrika beserta puluhan kelompok milisi yang ada.
Identitas Etnis dan Konflik Agama
Afrika memiliki prevalensi tinggi akan perang sipil dan ini umumnya dikaitkan dengan
keragaman etnis dari negara tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya gerakan
pemberontak Afrika yang selalu dikaitkan dengan indentitas etnis tertentu. Kebanyakan
masyarakat di kawasan Afrika masih cukup kuat memegang perbedaan etnis yang ada,
sehingga keberagaman tersebutlah yang memicu terjadinya konflik. Selain indentitas etnis,
konflik agama juga merupakan salah satu konflik yang seringkali memecah perdamaian di
negara-negara Afrika. Masyarakat Afrika setidaknya memiliki tiga agama yaitu, agama
tradisional, ajaran Islam dan penganut Kristen (Moller 2006, 6). Pada dasarnya, konflik
agama telah muncul sebelum era kolonialisme terjadi di Afrika. Namun pergerakan atas nama
keagamaan semakin masif muncul di era abad 19 hingga 20, yakni semenjak kolonialisme di
Afrika dimulai. Dalam masa tersebut, kontribusi kelompok - kelompok keagamaan dalam
memerjuangkan kemerdekaan Afrika semakin masif, tetapi keikutsertaan kelompok –
kelompok keagamaan tersebut justru yang kemudian akan mengancam stabilitas suatu negara
secara internal.
Penulis mengambil salah satu contoh konflik yang dapat merepresentasikan bagaimana
kuatnya faktor agama dalam memengaruhi adanya konflik di Afrika, yaitu konflik Zimbabwe
Assemblies of God Africa (ZAOGA) di Zimbagwe pada tahun 1960. ZAOGA merupakan
5
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
pergerakan radikal keagamaan di Zimbagwe yang mana mengklaim diri sebagai Gereja
Kristen Pantekosa dengan jemaat yang tinggi tingkat pengikutnya dibandingkan yang lain,
sehingga kelompok ini menuntut agar Zimbabwe berdiri sendiri menjadi negara nasionalisme
Kristen Pantekosa (Maxwell 2000, 252). Dengan agenda dasar menyebarkan nilai-nilai
keagamaan Kristen Pantekosa, ZAOGA kemudian merambah kearah yang lebih politis, yakni
mulai ingin menguasai negara. Setelah mendapatkan tampuk kepemimpinan di Zimbabwe,
ZAOGA kemudian menerapkan rezim pemerintahan yang otoriter dan meniadakan
pendidikan ataupun kegiatan keagamaan yang bersifat supranatural seperti animisme dan
dinamisme. Kebijakan tersebut tentu saja menyulut konflik dengan penganut keagamaan lain,
karena selain Kristen Pantekosa, masyarakat Zimbabwe masih banyak menganut agama
supranatural tersebut. Sehingga akhirnya terjadi konflik agama yang cukup masif di
Zimbabwe akibat pergerakan ZAOGA tersebut.
Kemungkinan sebab lain yang mampu meningkatkan probabilitas konflik agama di Afrika
juga mengenai determinasi pereokonomian. Afrika sebagai kawasan yang notabene dengan
tingkat perekonomian yang lemah di banyak negara, akan memudahkan justifikasi terhadap
tindakan kejahatan dan kekerasan (Miguel 2005, 1153). Salah satu konflik antaragama yang
didorong oleh klaim perekonomian terjadi di dalam masyarakat Tanzania, yang terjadi antara
pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama supranatural. Walaupun sebenarnya mayoritas
penduduk Tanzania memeluk agama Islam, namun masih sering terjadi kasus pembunuhan
terhadap perempuan. Hal ini disebabkan oleh tuduhan praktek ilmu sihir kepada para
perempuan yang menganut agama supranatural tersebut, karena agama supranatural ini kental
dengan ritual keagamaan seperti penyembahan. Hal tersebut dianggap sebagai sihir gelap
yang menyebabkan kondisi di Tanzania semakin memburuk. Seperti kekeringan, gagal panen,
rendahnya sumber daya alam, cuaca ekstrem hingga banjir berbulan-bulan membuat
6
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
masyarakat Tanzania kelaparan dan miskin (Miguel 2005, 1163). Pemikiran irrasional yang
mengatasnamakan agama tersebut telah meledakkan konflik yang korbannya cukup banyak.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah penulis jelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa 90% korban mati
di daerah konflik Afrika dan negara lain tidak, dikarenakan intensitas konflik di kawasan
Afrika begitu tinggi. Timbulnya konflik-konflik di Afrika pun dipengaruhi oleh beberapa hal.
Penulis menyingkatnya menjadi tiga pokok penyebab. Pertama, pergerakan perdagangan
senjata negara-negara di Afrika, seperti Somalia, Kongo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan
begitu tinggi. Adanya kemudahan dalam membeli atau menyimpan senjata pun mampu
meningkatkan probabilitas terjadinya konflik. Tidak ingin berlarut-larut, dunia pun
memberikan atensinya dengan cara ikut menandatangani sebuah perjanjian pada tahun 2013
yang diberi nama Arms Trade Treaty, dimana perjanjian ini berisikan 28 pasal yang mengatur
pembatasan perdagangan senjata konvensional secara langsung. Kedua, banyaknya konflik
antar negara di kawasan Afrika juga menjadi penyebab, memang sebenarnya apabila
dibandingkan dengan jumlah korban selama Perang Dunia I dan II, sebanyak kurang lebih
180 juta orang yang meninggal akibat konflik dan kekejaman di Afrika tidak seberapa.
Namun, hal tersebut tidak begitu saja membuat atensi global turun. Penulis memberikan
contoh Perang Kongo, dimana perang ini dinilai sebagai perang yang sangat besar karena
melibatkan setidaknya delapan negara di Afrika beserta puluhan kelompok milisi yang ada.
Lalu, yang ketiga yaitu adanya identitas etnis dan agama yang penulis nilai agar lebih bisa
dileburkan dan harusnya ada proses integrasi satu sama lain di kawasan Afrika. Penulis
memberikan konflik Zimbabwe Assemblies of God Africa (ZAOGA) di Zimbagwe pada
tahun 1960 dan juga konflik di Tanzania. Keterlibatan dunia dengan segala atensinya dapat
membantu mengurangi kemungkinan terjadinya konflik di Afrika yang sudah memakan
banyak korban jiwa dan meresahkan kestabilan di Afrika.
7
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Daftar Pustaka
Banyu Perwita. A & Yanyan, M. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Dunnigan, James F. and Austin Bay. 1996. A Quick and Dirty Guide to War. 3rd edn. New
York: WiIlliam Morrow and Company.
Elbadawi, Ibrahim & Sambanis, Nicholas. 2000. How Much War Will We See? Estimating
the Likelihood and Amount of War in 161 Countries, 1960-1998. Mimeo: The World
Bank Publishing.
Maxwell, David. 2000. Catch the Cockerel Before Dawn: Pentecostalism and Politics in PostColonial Zimbabwe, Africa: Journal of the International African Institute. 70:2, hal.
249-277.
Miguel, Edward. 2005. “Poverty and Witch Killing”, Review of Economic Studies 72:4 pp.
1153-1172.
Moller, Bjorn. 2006. “Religion, Conflict and Terrorism in East Africa” dalam Religion and
Conflict in Africa with Special Focus on East Africa. DIIS Report 2006: 6.
Oyeniyi, Adeleye. 2011. Conflict and Violence in Africa: Causes, Sources and Types [Online]
Tersedia
dalam:
https://www.transcend.org/tms/2011/02/conflict-and-violence-in-
africa-causes-sources-and-types/ (diakses pada 29 Desember 2015)
Stäcker, Claus & Kostermans, Dyan. 2012. Afrika Surga Bagi Senjata Ilegal [Online]
Tersedia dalam: http://www.dw.com/id/afrika-surga-bagi-senjata-ilegal/a-15792797
(diakses pada 29 Desember 2015)
8
Firsty Chintya 071411233015
Teknik Penulisan Ilmiah (PNS 101)
Zapata, Mollie. 2009. Congo: The First and Second Wars, 1996-2003 [Online] Tersedia
dalam: http://www.enoughproject.org/blogs/congo-first-and-second-wars-1996-2003
(diakses pada 30 Desember 2015)
Jumlah abstrak: 134 kata, konten: 1613 kata.
9