Hukum Perlindungan Konsumen dan Kasus Ka

Hukum Perlindungan Konsumen dan Kasus-Kasusnya
A. Pengertian
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Di dalam ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu
produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu pengertian yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir.
Pelaku usaha merupakan setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah
perusahaan korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan sebagainya.
B. Alasan Pokok Perlindungan Konsumen
1. Melindungi konsumen berarti melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan
oleh tujuan pembangunan nasional dalam Pembukaan UUD 1945.

2. Melindungi konsumen diperlukan untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat
rohani dan jasmani sebahai pelaku-pelaku pembangunan yang berarti juga untuk
menjaga kesinambungan pembangunan nasional.
3. Melindungi konsumen diperlukan untuk menghindarkan konsumen dari dampak
negatif penggunaan tekonologi.
4. Melindungi konsumen dimaksudka untuk menjamin sumber dana pembangunan yang
bersumber dari masyarakat konsumen.
C. Asas dan Tujuan

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan asas
yang relevan dengan pembangunan nasional. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999, terdapat lima asas perlindungan konsumen yaitu :
1. Asas manfaat
Asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen
yang harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Asas keadilan adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen
dimana memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah upaya memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini bertujuan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum, yakni baik pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen serta negara
menjamin kepastian hukum.
Sementara itu, tujuan dari perlindungan konsumen adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hakhaknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian

hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
D. Hak dan Kewajiban Konsumen
Perlindungan konsumen mengatur hak-hak yang patut diperoleh oleh konsumen. Hal
ini diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain hak-hak yang patut diperoleh oleh konsumen, diatur pula kewajiban yang harus
dilakukan oleh konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999,
yaitu :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
E. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Perlindungan konsumen juga mengatur tentang hak dan kewajiban bagi para pelaku
usaha. Hal ini dimaksudkan agar para pelaku usaha dapat menjalankan usahanya dengan
benar sehingga dapat tercapainya kesejahteraan baik bagi konsumen maupun pelaku usaha.
Hak dan kewajiban para pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 adalah sebagai berikut.

1. Hak pelaku usaha
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Kewajiban pelaku usaha
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif, yaitu pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam
memberikan pelayanan dan mutu pelayanan kepada konsumen;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat

dan/atau yang diperdagangkan. Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu
adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau
kerugian;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
F. Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengatur
perbuatan

hukum

yang

dilarang


memproduksi/memperdagangkan,

bagi

larangan

pelaku

usaha

dalam

yaitu

larangan

dalam

menawarkan/mempromosikan/


mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral/lelang dan larangan dalam periklanan.

Larangan dalam memproduksi/memperdagangkan
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak


mencantumkan

tanggal

kadaluwarsa

atau

jangka

waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. Jangka waktu

penggunaan/ pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata ‘best
before’ yang biasa digunakan dalam label produk makanan.;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal"
yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat

sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud
(barang-barang yang tidak membahayakan konsumen menurut peraturan perundangundangan yang berlaku).
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Larangan dalam menawarkan/mempromosikan/mengiklankan
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; barang dan/atau jasa tersebut telah
mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
c. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,

persetujuan atau afiliasi;
d. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
e. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
f. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

g. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
h. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
i. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
j. mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
3. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku
usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah
yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
4. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara
cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang
dijanjikannya.
5. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
6. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;

b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
7. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan
cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen.
8. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
Larangan dalam periklanan
1.Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
I. Sanksi
Setiap pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang sudah diatur dalam
perundang-undangan akan menerima sanksi. Sanksi ini dapat berupa sanksi administratif dan
sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 60 sampa Pasal 63 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999, yaitu :
1. Sanksi Administratif

a. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal
25 dan Pasal 26.
b. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00
(duaratus juta rupiah).
c. Tata cara penetapan sanksi administratif diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan.
2. Sanksi Pidana
a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
d. Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan
hukuman tambahan, berupa:


perampasan barang tertentu;



pengumuman keputusan hakim;



pembayaran ganti rugi;



perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;



kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau



pencabutan izin usaha.

J. Undang-Undang Lainnya

Perlindungan konsumen bukan hanya diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, tapi ada undang-undang lainnya yang materinya
melindungi kepentingan konsumen, seperti:
a. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undangundang;
b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah;
d. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
e. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
f. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
g. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
h. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
i. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World
Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
l. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
n. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan Atas Undang-undang Hak
Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987;
o. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
p. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
q. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
r. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
s. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
t. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan
intelektual (HAKI) diatur dalam Undang-undang :

a. Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta
b. Undang-undang Nomor 13 Tahun 97 tentang Paten
c. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek
Dimana undang-undang ini melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai
kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Kasus-Kasus yang Merugikan Konsumen
Produk Nestle di Indonesia Terancam Ditarik
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, hingga kini belum ada
produk Nestle di Indonesia yang diketahui tercemar daging kuda. "Badan POM sedang
meneliti sekarang, apakah ada (kandungan daging kuda)," kata Nafsiah di kompleks Istana
Negara, Jakarta, Selasa, 19 Februari 2013.
Menurut Nafsiah, penemuan jejak DNA kuda dalam produk Nestle merupakan hal baru.
Karena itu, Badan POM melakukan penelitian untuk mengetahui ada atau tidaknya
kandungan daging kuda dalam produk Nestle. "Kalau memang ada, tentu akan ditarik
(produknya)," ujar dia. "Tapi sampai sekarang belum ada.”
Nestle, perusahaan makanan terbesar dunia, menarik produk makanannya yang tercemar
daging kuda di Italia dan Spanyol. Langkah ini dilakukan setelah tes menunjukkan jejak DNA
kuda dalam produk itu. Perusahaan berbasis di Swiss ini menghentikan pengiriman produk
yang mengandung daging dari pemasok di Jerman.
Nestle merupakan perusahaan terbaru dalam barisan produsen pangan utama yang
menemukan jejak daging kuda dalam makanan berlabel daging sapi. Skandal daging kuda,
yang semula hanya ditemukan di Inggris, kini menyebar ke banyak negara Eropa. Juru bicara
perusahaan itu mengatakan, tingkat DNA kuda yang ditemukan sangat rendah, tapi di atas 1
persen.

Ford Pinto Desain yang Menimbulkan Malapetaka
Kasus Ford pinto bermula dari kesengajaan perusahaan mendesain mobil seperti itu dengan
maksud mendapat keuntungan yang besar. Dari kelalaian perusahaan, banyak terjadi
kecelakaan yang menyebabkan beberapa orang meninggal. Kasus tersebut bermula pada 9
Juni 1978, Perusahaan Ford menyetujui mengingat 1.5 juta Ford Pinto dan 30,000 Sedan
Mercury bobcat dan model hatchback untuk bahan bakar tangki disain untuk menjadikan
sarana angkut yang peka, ternyata desain yang telah disetujui oleh perusahaan mengalami
cacat karena apabila dilakukan benturan dibelakang akan mengalami kerusakaan.
Tindakan hasil penyelidikan oleh jalan raya lalu lintas keselamatan nasional kantor
penyelidikan cacat administrasi (Kasus # C7-38), oleh suatu lemaga dari pusat untuk
keselamatan auto, publisitas yang dihasilkan oleh pembeberan penerbitan nasional
menyangkut resiko (Majalah Bunda Jones Sept/Oct, 1977) dan hukuman yang paling besar
yang dihadiahi oleh suatu Dewan juri California atas kerusakan, kepada anak muda yang
telah terluka didalam Pinto bahan bakar tangki api (Grimshaw v Ford).
Sehingga pada tahun 1978, Ford memprakarsai penarikan kembali memberikan perisai
pelindung plastik untuk menjadi dealer-dipasang antara tangki bahan bakar dan baut
diferensial, lain untuk membelokkan kontak dengan shock absorber kanan belakang, dan
leher tangki bahan bakar baru diperpanjang filler yang lebih dalam tangki dan lebih tahan
terhadap putus di akhir tabrakan belakang.
April 1974, Pusat untuk Keselamatan Auto mengajukan petisi jalan raya lalu lintas
keselamatan administrasi nasional untuk mengingat Ford Pinto dalam kaitan dengan disain
tali pengikat pada tangki gas yang peka terhadap kekebocoran dan api rendah untuk
mengurangi kecepatan benturan. Petisi Pusat mengusulkan desain tersebut berdasarkan
laporan dari pengacara yang mengalami luka-luka serius
Tahun 1977, menurut Dowie dalam majalah Bunda Jones, menggunakan dokumen di Pusat
file, menerbitkan suatu artikel yang melaporkan bahaya dari disain tangki bahan bakar, dan
mengutip Dokumen perusahaan Ford yang membuktikan Ford itu mengetahui kelemahan di
dalam tangki bahan bakar sebelum dipasarkan tetapi bahwa suatu cost/benefit diusulkan studi
dilaksanakan bahwa itu akan ” lebih murah” untuk Ford membayar kewajiban untuk
kematian dan luka-luka karena kebakaran dibandingkan memodifikasi tangki bahan bakar
untuk mencegah api. Dowie menunjukkan Ford itu memiliki suatu hak paten atas suatu tangki

gas yang dirancang lebih baik pada waktu itu, tetapi pertimbangan gaya dan biaya itu
mengesampingkan perubahan apapun didalam mendisain tangki bensin Pinto.
Dengan penerbitan artikel dari Bunda Jones kasus publisitas Grimshaw, Pusat untuk
Keselamatan Auto menyampaikan kembali petisinya untuk penyelidikan cacat pada Pinto dan
Kasus ODI # C7-38 dibuka. Tes kehancuran ODI 1971-76 Pintos, sedan, hatchback
(Runabout) dan model station wagon, dan hasil menunjukkan pecahan tangki bahan bakar
dan kebocoran penting, didalam kasus setelah suatu dampak 30.31 MPH muatan keseluruhan
dari bahan bakar tangki keluar 1976 Pinto dalam waktu kurang dari satu menit. (Investigative
Melaporkan,phrase I , C7-38, Ford Pinto 1971-76 dan Macan bobcat Mercury 1975-76, Mei,
1978.).
Salah satu korban Ford Pinto terjadi pada tanggal 10 Agustus 1978, tiga gadis remaja berhenti
untuk mengisi bahan bakar tahun 1973 dengan menggunakan sedan Ford Pinto Setelah
pengisian, sopir kembali menutup gas yang kemudian jatuh, saat mereka menuju ke US
Highway 33. Mencoba untuk mengambil tutup gas tersebut, gadis-gadis berhenti di jalur
kanan bahu jalan raya karena tidak ada ruang di jalan raya untuk mobil. Tak lama kemudian,
van beratnya lebih dari 400 kilogram dan dimodifikasi dengan sebuah papan yang kaku untuk
bumper depan. Merekan bepergian pada lima puluh lima kilometer per jam dan terjebak saat
Ford Pinto berhenti. Dua penumpang meninggal di tempat kejadian ketika mobil meledak
menjadi kobaran api. Sopir itu dikeluarkan dan meninggal tidak lama kemudian di rumah
sakit. Memeriksa van lama setelah kecelakaan itu, polisi menemukan botol bir terbuka, ganja
dan pil kafein dalam. Berdasarkan fakta kasus, tampaknya salah satu dari sejumlah pihak bisa
bertanggung jawab dalam tindakan kriminal sipil atau dituntut.
Target jelas tampaknya pengemudi van. Tampaknya bisa saja dituntut karena pembunuhan
pidana atau keluarga korban bisa mengejar tindakan sipil, dalam terang fakta pengemudi
memiliki beberapa zat yang dikendalikan pada saat kecelakaan. Sebuah partai potensial kedua
terbuka untuk gugatan perdata adalah Indiana Highway departemen..Itu adalah desain mereka
yang tidak meninggalkan tempat berhenti yang aman di sepanjang Highway 33 di mana
mobil bisa menepi untuk keadaan darurat..Bahkan, jalan itu begitu berbahaya bahwa Elkart
County Warga ‘Komite Keselamatan sebelumnya menulis surat kepada departemen meminta
bahwa desain jalan dimodifikasi untuk menyediakan tempat berhenti yang aman untuk
keadaan darurat. Hal ini juga dibayangkan, pengemudi Pinto bisa ditemukan lalai untuk
menghentikan mobil di tengah jalan raya.

Kejutan pertama dari carne litigasi yang dihasilkan ketika jaksa negara bagian Indiana
mengajukan gugatan terhadap Perusahaan Ford Motor untuk kecerobohan pidana dan
pembunuhan sembrono. yang sangat dipublikasikan hukum perang dan terkenal sedang
berlangsung. Beberapa berpendapat penuntutan bertindak tidak etis dari hari pertama,
pengumpulan dan menyembunyikan bukti dari terdakwa dan menyembunyikan informasi
tentang kondisi pengemudi van. Apakah benar atau tidak, litigasi berikut menyebabkan
kerusakan yang akan mengambil Ford tahun untuk pulih dari.
Awas! Kosmetik Mengandung Merkuri Sebabkan Ketergantungan
TRIBUNNEWS.COM - Iklan magical cosmetic atau krim muka yang bisa membuat kulit
wajah menjadi putih seketika sangat gencar. Inilah yang membuat banyak wanita tergiur
tanpa mengetahui apa saja zat yang terkandung di dalamnya.
Apalagi banyak produk yang belum mendapat izin dari Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) namun sudah beredar luas di pasaran.
Menurut dr. Mutty Muzayyana, Sp.KK beberapa produk whitening mengandung merkuri.
Ketika bahan tersebut diabsorbsi kulit dan masuk ke dalam pembuluh darah. Penggunaan
merkuri dalam kosmetik dilarang di Amerika.
Meski demikian, kosmetik berbahan merkuri ini masih dipakai, khususnya wanita-wanita
Asia. Penjelasan ini disampaikan oleh Mutty dalam sebuah acara bertajuk Ketergantungan
Kulit Pada Magical Kosmetik , di Jakarta, (19/12/2013).
Banyak efek samping akibat penggunaan kosmetik yang mengandung merkuri gangguan
kerusakan saraf, keguguran, rebound effect, kerusakan lapisan dermis kulit dan berpotensi
kanker kulit, dan kerusakan saluran pencernaan, dan ginjal.
"Makanya para wanita harus lebih waspada dalam memilih jenis produk kosmetik, membaca
bahan-bahan pembuatnya adalah langkah paling sederhana yang harus dilakukan," tambah
Mutty.
Sayangnya saat ini masyarakat menganggap enteng dengan hal-hal tersebut dan belum sadar
akan bahayanya.
Padahal efek pemutih kulit itu hanya sementara lantaran jika tidak memakai lagi krim, kulit
justru akan menghitam dan memaksa pengguna memakai krim itu lagi. "Jadi pengguna
mengalami ketergantungan."

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24