S. perwakilan di indonesia ilmu negara

SITEM PERAWAKILAN RAKYAT DI INDONESIA
28 Apr
A. Pendahuluan
Setelah perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonseia Tahun 1945 ( UUD
1945 ), lembaga perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
mengalami perubahan yang sangat mendasar. Sebelum perubahan lembaga perwakilan rakyat
terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
sedangkan setelah perubahan menjadi tiga lembaga; yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Disamping itu baik sebelum
maupun sesudah perubahan UUD 1945 dikenal juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi maupun DPRD Kabupaten dan Kota.
Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan MPR merupakan lembaga tertinggi negara
dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Perwakilan dalam MPR terdiri dari tiga pilar
perwakilan yaitu perwakilan politik (political representation), yaitu para anggota DPR yang
dipilih dalam pemilihan umum, perwakilan fungsional (functional representation), yang terdiri
dari para utusan golongan dan perwakilan kedaerahan (regional representation) yaitu para utusan
daerah. Karena itu, MPR diartikulasikan sebagai representasi dan penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. MPR sebagai lembaga perwaklilan rakyat tidak sama dengan yang dikenal di berbagai
negara yang biasanya merupakan lembaga pembentuk undang-undang, akan tetapi hanya terbatas
sebagai pembentuk UUD termasuk melakukan perubahan yaitu sebagai lembaga konstituante.
Sedangkan lembaga perwakilan yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang itu

dalam ketatanegaraan Indonesia adalah DPR (walaupun tidak sepenuhnya karena dilakukan
bersama Presiden).
Perubahan yang terjadi tidak saja pada jumlah lembaga perwakilan rakyat akan tetapi
lebih jauh dari itu, yaitu perubahan pada susunan dan kedudukannya, kewenangannya serta
mekanisme pengisian jabatannya. Perubahan ini membawa implikasi yang sangat luas dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga negara
yang lainnya dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya dalam ketatanegaraan Indonesia,
maupun bagi perkembangan negara demokrasi modern. Walaupun sama-sama merupakan
lembaga perwakilan rakyat, ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda serta
keterwakilan (representasi) yang berbeda pula. Dari uruaian tersebut di atas terdapat beberapa
permasalahan yang akan dijawab dalam makalah singkat ini yaitu : a) Perubahan-perubahan apa
saja yang dilakukan terhadap sistem perwakilan dalam ketatanegaraan Indonesia setelah
perubahan UUD 1945, dari sisi kelembagaan, kedudukan dan kewenangan, mekanisme pengisian
jabatan serta hubungannnya dengan lembaga negara yang lainnya dalam sistem ketatanegaan
Indonesia. b) Sejauh mana perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi dan memberikan
dukungan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih demokratis setelah perubahan
UUD 1945.

B. Kerangka Teori Sistem Ketatanegaraan


Sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antar lembagalembaga negara.[1] Sistem pemerintahan negara mencakup folosofi yang menjadi dasar
hubungan, pengaturan mengenai hubungan serta pembagian kewenangan dan fungsi antar
lembaga negara serta institusi lainya yang terkait dengan gerak roda pemerintahan. Dengan
demikian sistem pemerintahan mencakup lembaga-lembaga negara, kewenangan dan fungsi
lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga-lembaga negara serta pelaksanaan berbagai
fungsi dan kewenangan lembaga negara dalam proses penyelengaraan pemerintahan.
Suatu negara hanya akan hidup dan bergerak dinamis jika dijalankan oleh lembagalembaga negara sebagai pemegang kekuasaan negara. Sedangkan kekuasaan negara itu
dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pada tingkat pusat maupun oleh lembaga negara pada
tingkat loka/daerah. Kekuasaan negara dibagi kepada lembaga-lembaga negara yang menurut
Miriam Budiardjo[2] dapat dibagi dalam dua cara, yaitu; pertama; secara vertikal, yaitu
pembagian kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini yang dimaksud adalah pembagian
kekuasaan antara bebarapa tingkat pemerintahan. Pembagian kekuasaan ini nampak jelas dapat
kita saksikan kalau kita bandingkan antara negara kesatuan, negara federal dan negara
konfederasi. Kedua, secara horisontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya.
Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lebih dikenal dengan trias politica.
Pada abad pertengahan berkembang dua teori mengenai sumber kekuasaan
pemerintah/raja. Pertama, kekuasaan datang dari atas yaitu dari Tuhan, seperti yang
dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Karena itu kekuasaan Tuhan diwakili oleh Sri Paus.
Seorang raja atau penguasa hanya dapat berkuasa kalau dilantik oleh Sri Paus atau wakilnya

yang mendapat restu dari Sri Paus. Kedua, adalah teori yang mengatakan bahwa kekuasaan itu
berasal dari rakyat dan didelegasikan pada para pemimpin dan rajanya. Jadi menurut pendapat
yang kedua ini raja secara simbolis mewakili rakyat dan dia berkewajiban melindungi hidup
rakyatnya serta harta benda dan tanahnya. Karena itu lembaga perwakilan rakyat yang
mendampingi raja hanyalah mendengar serta mengiyakan pendapat raja dan hal-hal yang akan
dilakukannya, dan lembaga perwakilan rakyat atau dewan itu tidak berwenang membahasnya.[3]
Pada tingkat ini raja dapat menjadi penguasa absolut.
Karena itulah pemikiran yang mendasari pembagian kekuasaan negara adalah bahwa
kekuasaan negara itu tidak diserahkan kepada satu badan akan tetapi dibagi dalam beberapa
badan negara agar tidak terjadi penyahgunaan kekuasaan negara oleh satu badan itu[4] yang
dikenal dengan doktrin trias politica. Doktrin ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke
(1632) dan Montesquieu (1689) dan pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan
(separation of power). Menurut John Locke kekuasaan negara itu dibagi dalam kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif yang masing-masing terpisah satu sama
lain. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan

eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan didalamnya termasuk
kekuasaan untuk mengadili dan kekuasaan federatif adalah kekuasaan dalam menjaga keamanan
negara dalam hubungannya dengan negara lain. Sedangkan Montesqieu memasukkan kekuasaan
mengadili termasuk dalam kekuasaan tersndiri yaitu kekuasaan yudikafif, sedangkan kekuasaan

federatif dimasukkan dalam kekuasaan eksekutif.
Akan tetapi sekarang ini, doktrin trias politika sebagai pemisahan kekuasaan yang murni
tidak lagi dapat dijalankan seperti yang dipikirkan oleh Montesqiueu. Tidak ada suatu negara pun
yang menjalankan pemisahaan kekuasaan itu secara murni bahkan Amerika Serikat sekalipun
yang dianggap sebagai negara yang paling mendekati prinsip trias politica itu. Hal in terjadi
karena perkembangan negara-negara modern yang begitu sangat kompleks dengan prinsip negara
kesejahteraan. Masing masing lembaga negara tidak bisa lagi secara kaku hanya pada bidangnya
kekuasaannya saja. Pemerintah tidak terbatas hanya menjalankan undang-undang, tapi juga ikut
membahas dan menentukan undang serta membuat berbagai peraturan pelaksanaannya, serta
lembaga legislatif ikut mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah dan dalam
beberapa hal pelaksanaan undang-undang perlu mendapat persetujuan lembaga legislatif.
Demikian halnya di Indonesia sejal awal para perumus UUD 1945 pada tahun 1945 telah
memperdebatkan prinsip trias politica ini, yang menurut Soekarno (Presiden Pertama RI) sudah
kuno dan sudah kedaluwarsa, kolot, tidak mencukupi, tidak bisa menjamin keadilan sosial,[5]
karena itu tidak perlu diikuti. Karena itu sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 tidak
menganut prinsip trias politica. Memang dalam UUD 1945 dikenal lembaga eksekutif
(Presiden), legislatif ( DPR ) dan yudikatif (Mahkamah Agung) sebagaimana halnya yang
dikenal dalam trias politica, akan tetapi terdapat suatu lembaga negara yang memiki kekuasaan
tertinggi yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat dan dianggap penjelamaan dari
seluruh rakyat Indonesia, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lembaga inilah yang

mengangkat Presiden, menetapkan garis-garis besar haluan negara dan Presiden adalah
Mandataris MPR. Jadi posisi MPR tidak bisa ditempatkan dalam kerangka teori trias politica.
Disamping itu fungsi legislatif bukanlah monopoli DPR, akan tetapi pembahasan dan persetujuan
berasama anatara Presiden dan DPR, bahkan posisi DPR dalam UUD 1945, lebih berfungsi
sebagai pengawas terhadap Presiden.
Moh. Mahfud[6] mengemukakan bahwa dalam studi ilmu negara dan ilmu politik dieknal
adanya tiga sistem pemerintahan negara, yaitu Presidental, Parlementer, dan Referendum.
a. Di dalam sistem Presidental dapat dicatat adanya prinsip-prinsip sebagai berikut :
– Kepala negara menjadi Kepala Pemerintahan
– Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR), Pemerintah dan Parlemen
adalah sejajar.
– Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden ,
– Eksekutif dan Legislatif sama-sama kuat.

b. Sistem Parlementer, menganut ciri-ciri sebagai berikut :
– Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, karena ia lebih bersifat
simbol nasional (pemersatu bangsa).
– Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri,
– Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan oleh Parlemen melalu mosi,
– (karena itu) kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah dari (dan tergatung pada )

parlemen.
Sebagai imbangan dari lebih lemahnya kabinet ini, maka kabinet dapat meminta kepala
Kepala Negara untuk membubarkan parlemen (DPR) dengan alasan-alasan yang sangat kuat
karena parlemen dinilai tidak representatif. Tapi jika demikian yang terjadi maka dalam
waktu yang relatif pendek kabinet harus menyelenggarakan pemilu untuk membentuk
parlemen baru.
c. Sistem Referendum. Dalam sistem ini, lembaga eksekutif merupakan bagian darti lembaga
legislatif. Jadi Lembaga Eksekutif adalah badan pekerja dari lembaga legislatif yang dibentuk
oleh lembaga legislatif sebagai pelaksana tugas pemerintah. Kontrol terhadap lemabaga
legislatif dalam sistem ini dilakukan langsuing oleh rakyat melalui lembaga referendum.
Pembuatan undang-undang di dalam sistem referendum ini diputuskan langsung oleh seluruh
rakyat nelalui dua macam mekanisme, yaitu :
– Referendum ogligator, yaitu referendum untuk menentukan disetujui atau tidaknya oleh
rakyat berlakunya suatu peraturan atau perundang-undangan baru. Referendum ini
disebut referendum wajib.
– Referendum fakultatif, yaitu referendum untuk menentukan apakah suatu peraturan atau
undang-undang yang sudah ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut.
Referendum ini merupakan referendum tidak wajib.
C. Kerangka Teori Sistem Perwakilan Rakyat


Sepanjang sejarah yang tercatat, sistem perwakilan rakyat telah dikenal dan berkembang
sejak masa Yunani Sebelum Masehi dan terus berkembang hingga sekarang ini. Pada masa
Yunani, organisasi negara kota Yunani SM pada umumnya terdiri dari seorang raja atau penguasa
sebagai kepala pemerintah, sebuah dewan penasihat penguasa, dan sebuah permusyawaratan
rakyat. Di negara kota Sparta dewan penasihat itu dinamakan Gerousia dan badan
permusyawaratan rakyat/polis disebut Apella yang di Athena disebut Ekklesia. Secara formal
setiap warga negara kota Athena adalah anggota Ekklesia (artinya mereka yang dipanggil) atau
lengkapnya Ekklesia tou dimou (permusyawaratan polis). Setiap anggota Ekklesia berhak untuk

didengar, serta ikut dalam pemungutan suara. Masalah yang dibicarakan mancakup semua
masalah yang terkait dengan kehidupan rakyat, misalnya pengalokasian dana untuk bangunan
umum, tempat-tempat ibadat, patung-patung, jalan jalan, kapal-kapal, masalah perang dan damai,
perjanjian dengan negara lain, pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, dan juga masalah
pemilihan para pejabat, pengawasan dan penghukuman mereka, dan lain-lain.[7]
Kerajaan Romawi mengambil alih organisasi kenegaraan dari Yunani itu. Pendiri negara
kota Roma, Romulus, memilih seratus orang dari para kepala keluarga dari pengikutnya yang
dinamakan Patres dan keturunannya disebut Patriciers (kaum ningrat), untuk menjadi dewan
penasihat yang dinamakan Senes yang kemudian dinamakan Senat. Disamping Senes, masih ada
dewan penasihat lain yang dinamakan Comitia, yang terdiri dari tiga jenis yaitu comitia, concilia,
dan contiones. Dari ketiga Jenis Comitia ini Comitia-lah yang terpenting, karena putusanputusan Comitia juga mempunyai kekuatan sebagai undang-undang dan dinamakan lex. Comitia

dalam sejarah Romawi kemudian berturut-turut dinamakan Comitia Curiata, Comitia
Centuriata, dan Comitia Tributa.[8]
Sebelum tahun 500 SM, Senat bersama Comitia Curiata, memilih raja,
mempertimbangkan hal-hal yang akan diajukan kepada raja, serta melakukan tugas-tugas
keagamaan dan yudisial tertentu. Kemudian timbul badan-badan lain yaitu Concilium Plebis
(perwakilan golongan rakyat biasa) dan Comitia Centuriata (perwakilan “komandan satuansertaus orang”) yang ikut serta dalam pembentukan undang-undang. Sampai sebelum tahun 287
SM, semua putusan kedua badan tadi memerlukan pengesahan Senat, sedangkan setelah itu,
semua putusan plebs sepenuhnya mempunyai kekuatan undang-undang.[9]
Pada masa pemerintahan Islam, khususnya setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW
yaitu sejak masa Khalifar Umar ibn Khattab dikenal Asy Asyura atau Ahl Halli Wal Aqdi, yaitu
musyawarah beberapa sahabat senior untuk menentukan kebijakan negara dan nuntuk
mengangkat khalifah, walaupun dalam bentuk yang belum terlembagakan secara tersendiri.[10]
Sebelum masa Islam, di kota Mekkah telah dikenal apa yang disebut Darun Nadwah, yaitu
perwakilan tokoh-tokoh masyarakat di kota Mekkah untuk merumuskan masalah negara dan
kemasyarakatan.[11] Pembentukan lembaga Majelis Asy Syura atau Ahl Halli Wal Aqdi yang
pertama sekali dalam sejarah Islam yaitu pada masa pemerintah Bani Umayyah II di Spanyol
yaitu pada masa Khalifah Al Hakam II (961-976 M). Pada saat itu anggota dari Ahl Halli Wal
Aqdi terdiri dari pembesar-pembesar negara dan sebagian lagi pemuka masyarakat, dan yang
bertindak sebagai ketua adalah langsung oleh Khalifah. Kedudukan anggota Majelis Asy Syura
ini adalah setingkat dengan pemerintah. Lembaga ini melakukan musyawarah dalam masalahmasalah hukum dan membantu khalifah menjalankan pemerintahan negara.[12]

Pada awal kerajaan-kerajaan Anglo Saxon – yang paling terkenal adalah Raja Kent dan
Wessex – raja hanya mengumumkan undang-undangnya dengan persetujuan Witans
( permusyawaratan orang-orang besar, orang awam, kaum rohaniawan dan golongan-golongan).
Dari lembaga Witans inilah kemudian berkembang dewan/badan penasihat bagi raja yang dikenal
dengan curiae regis, concilia dan kemudian magna concilia. Para anggota dewan ini dilibatkan
dalam masalah-masalah negara dengan maksud agar mereka terlibat juga dalam pelaksanaan
putusan-putusan raja.[13]

Di Inggeris pada awalnya badan ini dinamai magnum concilum, yang merupakan
lembaga feodal yang terdiri dari kaum ningrat dan rohaniawan, yaitu suatu lembaga yang
memberikan legitimasi bagi raja untuk memungut pajak kalau kas raja kosong. Karena hal ini
terlalu sering dilakukan oleh raja maka pada 15 Juni 1215, para bangsawan dan rohaniawan
memaksa raja untuk menandatangani Magna Charta, yaitu suatu piagam yang mengandung
prinsip bahwa Raja terikat kepada hukum dan rakyat mempunyai hak untuk menciptakan
mekanisme agar raja mematuhinya, kalau perlu melalui pemberontakan.[14] Pada tahun 1254,
keanggotaan magnum concilium mulai diperluas dengan ditambah wakil-wakil rakyat biasa (the
commoners) dari distrik-distrik (countes) dan kota-kota. Badan inilah yang kemudian
berkembang menjadi parlemen di Inggeris. Badan ini menyetujui permintaan raja akan tetapi
setelah mereka mengeluarkan keluhan dan uneg-unegnya, dan inilah yang menjadi fungsi
pertama dari parlemen.[15]

Karena terjadi perebutan kekuasaan antara raja dan parlement yang selalu muncul selama
lebih kurang 4 abad di Inggeris hingga terjadi perang saudara selama 1640-1648 menyebabkan
dihabpuskannya jabatan raja. Tampuk kekuasaan dipegang oleh parlemen yang kemudian
menimbulkan sistem diktatur. Walaupun kemudian tampuk kekuasaan dipegang kembali oleh
raja namun parlemen telah berhasil mengeluarkan beberapa keputusan penting yang membatasi
kekuasaan raja antara lain Habeas Corpus Act (1679) yang mencegah penangkapan/penahanan
seseorang secara sewenang-weanng oleh penguasa. Kemudian pada tahun 1689 keluar Bill of
Rights yang menutup kemungkinan peniadaan atau pengurangan kekuasaan parlemen oleh raja.
Raja tidak mungkin lagi menarik pajak dari rakyat tanpa persetujuan parlemen dan raja tidak
diperkenankan lagi menerbitkan peraturan-peraturan kecuali dalam rangka pelaksanaan undangundang buatan parlemen. Pada tingkat terjadilah pembedaan antara kekuasaan membentuk
undang-undang dan kekuasaan pemerintahan.[16]
Sejak abad ke-14, para anggota parlemen Inggeris secara lambat laun memisahkan diri ke
dalam dua kelompok yaitu kaum rohaniawan dan ningrat (the lords spiritual an temporal) di satu
pihak dan sisanya yaitu para wakil dari kota dan pedesaan di lain pihak. Mengingat perbedaan
sosial antara dua kelompok itu dianggap alamiah, terbagilah parlemen Inggeris dalam dua kamar
yaitu kamar pertama : The House of Lords dan kemar kedua : The House of Commons. Kamar
pertama ditempati oleh para anggota yang diangkat seumur hidup yaitu para kepala gereja dan
kaum ningrat bahkan anggota dari kaum ningrat bisa diwariskan kepada keturunannya sepanjang
masih memiliki keturunan laki-laki, sedangkan kamar yang kedua diisi oleh para anggota yang
memperoleh kedudukannya melalui pemilihan umum. Pemisahan dua kamar ini pada

perkembangan selanjutnya berhubungan erat dengan tata cara pengambilan putusan. Kamar yang
pertama : The House of Lords menjaga terhadap kecerobohan atau keradikalan kamar yang
kedua. [17]
Perkembangan yang sama juga terjadi di Eropa daratan, walaupun sedikit berbeda dengan
di Inggeris karena perkembangan lembaga perwakilan itu sering terputus oleh perang dan
revolusi yang terus menerus. Akan tetapi dalam lembaga perwakilan itu selalu terwakili
kelompok ningrat dan rohaniawan di satu pihank dan golongan rakyat biasa di pihak lain.
Berbeda dengan di Inggeris, di Amerika sebagai negara baru membentuk sistem
pemerintahan khususnya lembaga perwakilan berdasarkan teori-teori yang berkembang pada saat

itu berdasarkan pengalaman negara-negara Eropa dan Inggeris yang cukup lama. Parlemen di
Amerika Serikat terbagi dalam dua kamar yaitu terdiri dari Senat, kamar pertama, dan House of
Representatif (HoR), kamar kedua. Senat diisi oleh perwakilan negara-negara bagian yang dipilih
satu kali dalam 4 tahun, sedangkan Houseof Representative dipilih setiap 2 tahun sekali yang
mewakili daerah-daerah pemilihan secara proporsional di seluruh negara Amerika Serikat. Kedua
kamar parlemen di Amerika ini sama-sama memiliki hak membahas dan menyetujui setiap
undang-undang, walaupun dalam beberapa hal parlemen memiliki posisi yang lebih berwibawa
daripada HoR antara lain karena memiliki kewenangan selaku pengadilan dalam hal untuk
memberhentikan Predisen atau hakim federal. Setiap undang-undang diajukan dan di bahas oleh
masing-masing kamar dan disetujui oleh kamar lainnya serta oleh Presiden dan Presiden
memiliki hak veto dalam hal ia tidak setuju atas suatu rancangan undang-undang. Dalam hal
yang demikian rancangan undang-undang itu diputuskan secara final oleh sidang Congress
(gabungan Senat dan HoR), yang apabila disetujui oleh 2/3 anggota Congress rancangan undangundang itu menjadi undang-undang dan veto Presiden gugur.
Konsep perwakilan rakyat ini terus berkembang dan memiliki beberapa corak yang
berbeda sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Pada garis besarnya
paling tidak ada dua konsep yang menonjol dalam pemikiran Barat mengenai sistem perwakilan,
yaitu pertama; konsep yang terkait dengan hubungan antara lembaga perwakilan dengan
pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut ada dua konsep yang berkembang yaitu, pertama;
lembaga perwakilan dimaksudkan untuk mengekang dan mencegah tindakan sewenang-wenang
raja terhadap rakyat. Jadi lembaga perwakilan rakyat sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan
raja terhadap rakyat, kedua; lembaga perwakilan rakyat dimasudkan untuk menggantikan sistem
demokrasi langsung, sehingga melalui lembaga perwakilannya masyarakat dapat berpartisipasi
dalam penentuan masalah-masalah kenegaraan.
Konsep kedua, terkait dengan hubungan lembaga perwakilan dengan rakyatnya, yang
dalam hal ini berkembang dua konsep, yaitu pertama; wakil yang duduk dalam lembaga
perwakilan tidak tergantung pada kehendak atau instruksi dari mereka yang memilihnya artinya
para wakil itu bebas untuk bertindak dan mebuat kebijaksanaan nasional berdasarkan
keyakinannya sendiri. Menurut konsep ini, para wakil terpilih bukanlah untuk
membela/mengurus kepentingan para pemilihnya saja tetapi untuk kepentingan rakyat secara
keseluruhan. Inggeris dan Perancis, juga Jerman menganut konsep ini. Kedua; didasarkan pada
teori kedaulatan rakyat yang mengajarkan bahwa para wakil dalam lembaga perwakilan hanya
merupakan perantara saja (the people’s agents). Karenya para wakil itu harus mengikuti instruksi
para pemilihnya atau rakyat. Amerika Serikat termasuk penganut konsep yang kedua ini.[18]
Dalam perkembangan modern sekarang ini lembaga perwakilan rakyat telah berkembang
sedemikian rupa, sehingga memiliki fungsi yang cukup luas dan beragam dan tidak lagi terpaku
pada fungsi legislagi seperti konsep Montesqieu. Menurut Robert A. Packenham, seperti dikutip
Tambunan;[19] fungsi-fungsi lembagaperwakilan rakyat yang ditelitinya di Afrika, Asia dan
Amerika Selatan, adalah :
legitimation,
safety valve

recruitment, socialization, training
law making
interest articulation
“exit” fuction (penggantian pemerintah)
administrative oversight & patronage
arrange-running function
dacision making
mobilization
promote national integration and development of a national identity
representation & consensus building
election
channeling inter-group conflict
teaching
communication function.
LembagaPerwakilan Rakyat di Amerika Serikat memiliki fungsi, sebagai berikut :
representative
Legislatif
Administratif, misalnya dalam melakukan pengawasan terhadap administrasi
pemerintahan serta pengangkatan pejabat-pejabat administratif pemerintahan,
Investigative, seperti pada saat persiapan pembuatan rancangan undang-undang atau
penyelidikan atas kasus-kasus tertentu,
Judiciaf function, seperti impeachment terhadap Presiden maupun hakim federal

D. Struktur Ketatanegaraan Sebelum Perubahan UUD 1945

Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia telah telah dipergunakan tiga undang-undang
dasar, yaitu, pertama; Undang-Undang Dasar 1945, periode pertama, (18 Agustus 1945 s/d 28
Oktober 1949), periode kedua (5 Juli 1959 s/d Oktober tahun 1999) dan periode ketiga (1999sekarang), kedua; Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( 27 Desember 1949 s/d 16 Agustus
1950), dan ketiga; Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (17 Agustus 1950 s/d 4 Juli 1959)
Pada periode pertama, berlakunya UUD 1945 sangat singkat dengan menggunakan
sistem pemerintahan berdasar undang-unang dasar tersebut. Namun tidak bisa berjalan baik
karena masa revolusi dan perang kemerdekaan. Kabinet pertama yang terbentuk berdasar
undang-undang dasar 1945 adalah kabinet kuasi Presidensiil yang dibentuk pada tanggal 2
Sptember 1945.[20] Baru dua bulan kabinet terbentuk, keluarlah Maklumat Wakil Presiden
Nonor X Tahun 1945, yaitu penyerahan kekuasaan legislatif dari MPR dan DPR kepada Komite
Nasional Pusat (KNIP) sebelum MPR dan DPR terbentuk, dan pembentukan Badan Pekerja
KNIP. Atas usul Badan Pekerja KNIP tanggal 11 November 1945 dikeluarkan Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang berisi perubahan sistem pemerintahan menjadi
sistem Parlementer.
Pada saat berlakunya Konstitusi RIS, dimana negara Indonesia berubah menjadi Negara
Serikat, menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Demikian juga pada masa berlakunya
UUDS 1950 juga menerapkan sistem pemerintahan parlementer, yaitu kabinet dipimpin oleh
Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
Setelah kembali pada UUD 1945 dengan Dektrit Presiden 5 Juli 1959, berlakulah
kembali UUD 1945, yang dalam perkembangan praktek pemerintahan selanjutnya terjadi
berbagai penyimpangan dari ketentuan undang-undang dasar antara lain dengan sistem
demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama dan menjadikan Presiden Soekarno sangat berkuasa
dan menjadi Presiden seumur hidup. Pada masa Orde Baru Presiden Soeharto merubahnya
menjadi demokrasi Pancasila namun pada akhirnya juga tidak berjalan dengan baik.

Untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dinaut UUD 1945, perlu memperhatikan
penjelasan UUD 1945 yang menguraikan secara singkat sistem penyelenggaraan kekuasaan
negara yang dianut oleh undang-undang dasar tersebut. Dalam penjelasan itu diuraikan tentang
sistem pemerintahan negara yang terdiri dari tujuh prinsip pokok, yaitu sebagai berikut :
Prinsip negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan atas kekuasaan belaka
(machtstaat) dan prinsip sistem konstitusinal (berdasarkan atas konstitusi) tidak berdasar atas
absolutisme. Prinsip selanjutnya adalah kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penjelasan UUD 1945 menerangkan bahwa kedaulatan
dipegang oleh suatu badan, bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis
ini menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara, mengangkat Kepala Negara (Presiden)
dan Wakil Presiden. Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang
Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan
Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis.
Ia adalah mandatris dari Majelis. Presiden tidak “neben” tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.

MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara (TAP MPR NO. III/1978), sedangkan lembaga negara
yang lainnya adalah merupakan Lembaga Tinggi Negara dan Presiden memegang posisi sentral
karena dialah mandataris MPR.
Prinsip selanjutnnya, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di
bawah Majelis. Penjelasan UUD 1945 menguraikan bahwa dibawah MPR, Presiden adalah
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dalam menjalankan pemerintahan negara.
Kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden (concentration of power and
responsibility upon the presiden). Presiden adalah mandataris MPR, dia tunduk dan bertanggung
jawab kepada MPR. Dengan posisi madataris itulah Presiden memiliki diskresi kekuasaan dan
kewenangan yang sangat besar. Disamping memegang kekuasaan eksekutif (executive power),
Presiden juga sekaligus memegang kekuasaan legisltaf (legislative power). Meskipun demikian
ditegaskan bahwa kekuasaan Presiden sebagai kepala negara tidak tak terbatas. Presiden
senantiasa dapat diawasi oleh DPR, dan Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara
DPR. Karena itu Presiden harus dapat bekerja bersama-sama dengan DPR, akan tetapi Presiden
tidak bertanggungjawab kepada DPR.
Menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada
DPR. Karena itu kedudukan menteri-menteri negara tidak tergantung DPR akan tetapi tergantung
Presiden. Meskipun mereka adalah pembantu Presiden, tetapi Menteri-menteri negara bukan
pegawai tinggi biasa, karena menteri-menteri itulah yang menjalankan kekuasaan pemerintah
dalam praktek. Menteri-menteri negara memimpin departemen.
Lebih lanjut, penjelasan UUD 1945 menguarikan bahwa kedudukan DPR adalah kuat.
Disamping Presiden adalan Dewan Perwakilan Rakyat. DPR tidak dapat dibubarkan oleh
Presiden. Setiap saat DPR dapat mengawasi Presiden, dan jika dalam pengawasan itu DPR
menemukan bahwa Presiden telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD
atau yang telah ditetapkan oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk mengadakan
persidangan istimewa agar bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.
Kewenangan DPR yang diatur dalam UUD 1945 sangat minim, yaitu memberi
persetujuan atas undang-undang yang dibentuk Presiden (pasal 20 ayat 1 dan 2 jo pasal 5),
memberi persetujuan atas PERPU (pasal 22), memberi persetujuan atas anggaran (pasal 23) dan
persetujuan atas pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang
dilakukan oleh Presiden. Kewenangan DPR untuk mengawasi pemerintah/Presiden dan
kewenangan untuk meminta MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungan
jawab Presiden (fungsi kontrol) hanya diterangkan dalam penjelasan.
Disamping itu UUD 1945, juga mengintrodusir badan-badan negara yang lain seperti
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). DPA hanya untuk
memberi nasihat belaka kepada Presiden apakah diminta atau tidak diminta. DPA ini dijelaskan
dalam pejelasan UUD adalah semacan “Council of State”. Sedangkan BPK adalah badan negara
yang diberi tugas dan wewenang untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara,
yaitu suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, tapi tidak pula berdiri
di atas pemerintah.

Demikianlah sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan. Dalam
sistem seperti ini MPR merupakan lembaga negara terpenting karena lembaga ini adalah
penjelmaan seluruh rakyat. Setelah itu adalah Presiden, karena Presiden adalah “mandataris”
MPR. Dengan demikian kelembagaan negara dalam sistem pemerintahan ini terstruktur, yaitu
MPR memegang kekuasaan negara tertinggi sebagai sumber kekuasaan negara dan dibawahnya
adalah Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di bawah MPR.
Sistem seperti ini tidak menganut prinsip check and balances, dan tidak mengatur pembatasan
yang tegas penyelenggaraan kekuasaan negara antara lembaga negara. Karena kelemahan inilah
dalam praktek ketatanegaraan Indonesia banyak disalahgunakan dan ditafsirkan sesuai kehendak
siapa yang memegang kekuasaan.
Dengan demikian sistem perwakilan rakyat dalam periode UUD 1945, sebelum perubahan
khususnya MPR memiliki kewenangan yang sangat besar, yaitu sepenuhnya melaksanakan
kedaulatan rakyat dan dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam sistem
perwakilan itu sendiri terbagi dalam dua lembaga yaitu, pertama; MPR memiliki kewenangan
sangat besar yang anggotanya terdiri anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan
golongan , dan kedua; DPR, yang memiliki kewenangan hanya dalam bidang membahas dan
menyetujui rancangan undang-undang, rancangan Anggaran Belanja Negara dan melakukan
pengawasan terhadap pemerintah. Posisi kedua lembaga perwakilan – MPR dan DPR – tidak
seperti posisi parlemen dua kamar yang dikenal di negara-negara lain yaitu Senat dengan House
di Amerika Serikat, akan tetapi suatu sistem yang bersifat multicameral.
E. Struktur Ketatanegaraan Setelah Perubahan UUD 1945
Ada beberapa prinsip sistem pemerintahan yang dianut setalah perubahan UUD 1945,
yaitu pertama, prinsip negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang
kekuasaannya dibatasi oleh hokum dan konstitusi. Negara yang menempatkan kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due
process of law. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggaran peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[21] Prinsip negara hukum ini
diperkuat oleh prinsip penghormatan dan jaminan terhadap hak asasi mansuia.
Kedua, sistem konstitusional yang berdasarkan pada sistem check and balances yaitu sistem
yang saling mengimbangi antara lembaga-lembaga kekuasaan negara. Sistem ini memberikan
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara sesuai undang-undang dasar, tidak ada yang
tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masingmasing. Atas dasar semangat itulah perubahan pasal 1 ayat 2, UUD 1945 dilakukan, yaitu
perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat dan dalakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi
“Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti
bahwa kedautalan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang dasar yang
dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan
ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang dasar. Oleh karena itu
kedaulatan rakyat, dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presdiden, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang
diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara langsung dapat melaksanakan kedaulatannya untuk
menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui pemilihan umum.

Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas
sistem presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap
bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR dan DPD. Presiden hanya
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang
jenisnya telah ditentukan dalam undang-undang dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya
manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan
dalam undang-undang dasar.
F. Sistem Perwakilan Rakyat Sesudah Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 membawa perubahan yang cukup mendasar mengenai sistem
perwakilan dalam ketatanegaraan Indonesia. Paling tidak ada tigak aspek mendasar mengenai
lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945, yaitu; mengenai struktur kelembagaan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, fungsi dan kewenangannya serta pengisian anggota
lembaga perwakilan.
Ada tiga lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. MPR
memiliki fungsi yang sama sekali berbeda dengan DPR dan DPD, sedangkan DPR dan DPD
sendiri memiliki fungsi yang hampir sama, hanya saja DPD memiliki fungsi dan peran yang
sangat terbatas. Jika dilihat dari jumlah lembaga perwakilan rakyat maka sistem perwakilan yang
dianut bukanlah sistem bikameral karena ada tiga lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan jika
melihat hanya DPR dan DPD maka kedua lembaga perwakilan ini merupakan bentuk sistem
bikameral akan tetapi bukan sistem bikameral yang murni (strong bicameral). Keanggotaan DPR
adalah representasi rakyat di seluruh Indonesia secara proporsional melalui partai politik
(political representation) dan DPD sebagai representasi dari daerah (daerah provinsi) dari
seluruh Indonesia (regional representation) memiliki posisi yang sama sebagaimana tercermin
dalam jumlah anggota DPD yang sama banyaknya dari setiap provinsi.
Memperhatikan tugas dan kewenangan MPR dalam UUD 1945, sebagai lembaga
perwakilan, MPR hanya memiliki tiga fungsi yang pokok yaitu; fungsi legislasi yaitu melakukan
perubahan dan atau menetapkan undang-undang dasar, fungsi administratif, yaitu melantik
Presiden dan Wakil Presiden serta memilih/mengangkat Presiden atau Wakil Presiden dalam halhal tertentu, serta fungsi judikatif yaitu memutuskan untuk memberhentikan atau tidak
memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang diusulkan oleh DPR.
Dengan demikian dibanding dengan sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan dari MPR
menjadi sangat terbatas dan limitatif . Walaupun demikian kewenangan MPR merubah dan
menetapkan undang-undang dasar serta memberhentikan serta mengangkat dan memilih presiden
atau wakil presiden dalam hal-hal tertentu menunjukkan adanya kwenangan besar yang dimiliki
MPR. Hal ini adalah wajar karena MPR adalah gabungan dari seluruh anggota DPR dan DPD.

Sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945 DPR memiliki kekuasaan
membentuk undang-undang menunjukkan adanya semangat untuk memperkuat posisi DPR

sebagai lembaga legislatif. Namun dalam kenyataannya kewenangan DPR dalam pembentukan
undang-undang sama kuatnya dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah (Presiden)
yaitu masing-masing memiliki lima puluh persen hak suara, karena setiap undang-undang harus
memperoleh persetjuan bersama antara pemerintah dan DPR.
Disamping itu DPR memiliki fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi anggaran
terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui
anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Disinilah keterlibatan DPR dalam administrasi
pemerintahan, yaitu mengontrol agenda kerja dan program pemerintahan yang terkait dengan
perencanaan dan penggunaan anggaran negara. Dalam melakukan fungsi pengawasan DPR
diberikan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, serta hak yang dimiliki oleh
setiap anggota DPR secara perorangan yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan perndapat serta hak imunitas.
Dewan Perwakilan Rakyat juga memeliki fungsi-funsi lainnya yang tersebar dalam UUD
1945 yaitu :
– Mengusulkan pemberhentian Presiden sebagai tindak lanjut hasil pengawasan;
(pasal 7A)
– Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden dalam hal MPR tidak dapat
melaksanakan sidang untuk itu; (pasal 9)
– Memberikan pertimbangan atas pengengkatan duta dan dalam hal menerima duta
negara lain (pasal 13)
– Memberikan pertimbangan kepada Presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi;
(Pasala 14 ayat 2)
– Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain; (pasal 11)
– Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Pasal 23F)
– Memberikan persetujuan atas pengangkatan anggota Komisi Yudisial; (pasal 24B
ayat 3).
– Memberikan persetujuan atas pengangkatan Hakim Agung (Pasal 24A ayat 3);
– Mengajukan 3 dari 9 orang anggota hakim konstitusi; (pasal 24C ayat 3)
Dari berbagai fungsi DPR tersebut di atas tercermin adanya fungsi-administratif dari
DPR sebagai lembaga perwakilan disamping fungsi legislasi.
Mekanisme pengisian anggota DPR dipilih seluruhnya melalui pemilihan umum melalui
partai politik yaitu berdasarkan sistem perwakilan perorangan (peple representative). Karena itu

jumlah anggota DPR dari setiap dari adalah proporsional sesuai jumlah penduduknya, kecuali
dalam hal-hal tertentu karena kondisi daerah yang sangat jarang penduduknya. Secara konseptual
keterwakilan anggota DPR dalam lembaga menitik beratkan untuk menyuarakan kepentingan
nasional dengan tidak mengabaikan daerah yang diwakilinya (konstituen).
Disamping DPR terdapat DPD sebagai lembaga perwakilan yang dimaksudkan untuk
memberikan tempat bagi daerah-daerah menempatkan wakilnya dalam lembaga perwakilan
tingkat nasional untuk mengakomodir dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan daerahnya
sehingga memperkuat kesatuan nasional (national integration dan national identity). Dengan
demikian sistem perwakilan DPD adalah bersifat regional representative. DPD memiliki
kewenangan terbatas dibanding dengan DPR. Keterwakilan anggota DPD, adalah berasal dari
calon-calon perorangan dari setiap daerah provensi yang dipilih secara langsung oleh rakyat di
daerah tersebut. Hal ini dimkasudkan agar para anggota DPD fokus untuk menyuarakan
kepentingan-kepentingan daerahnya, yaitu seluruh aspek yang terkait dengan daerah yang
diwakilinya. Secara konseptual keterwakilan dari anggota DPD adalah merupakan agen dan
penyambung lidah konstituennsya yang ada di daerah dalam tingkat nasional.
UUD 1945, memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD dalam bidang legislasi,
anggaran serta pengawasan. Dalam bidang legislasi DPD hanya berwenang untuk mengajukan
dan ikut membahas Rancangan Undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (pasal 22D ayat 2 dan 2). Walaupun disebutkan
secara limitatif kewenangan DPD untuk mengajukan dan membahas RUU-RUU tersebut, namun
kewenangan itu tidak terbatas pada lima macam RUU itu saja, tetapi lebih luas dari itu yaitu
segala RUU yang ada kaitannya dengan kelima jenis substansi RUU yang telah disebutkan itu.
Disamping itu, DPD juga berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN
dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama (pasal 22D ayat 2). Keterlibatan
DPD untuk memberikan pertimbangan dalam pembahasan RUU tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan kepada DPD memberikan pandangan-pandangan dan pendapatnya atas
RUU-RUU tersebut karena pasti berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah. Kewenangan
bidang pengawasan yang diberikan kepada DPD hanya terbatas pada pengawasan atas undangundang yang terkait dengan jenis undang-undang yang ikut dibahas dan atau diberikan
pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya. Hal ini dilamaksudkan sebagai kesenimabungan
kewenangan DPD untuk mengawasi pelaksanaan berbagai RUU yang berkaitan dengan
kepentingan daerah. Selain itu DPD juga diberikan kewenangan untuk memberikan
pertimbangan atas pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Latar belakang pemberian
kewenangan ini disebabkan karena BPK itu adalah mengawasi penggunaan uang dari UU APBN
yang ikut diberikan pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya.

Dengan pertimbangan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan dimana para
anggota DPD tidak seperti senator yang mewakili negara bagian dalam sistem negara federal
akan tetapi mewakili bagian-bagian daerah Indonesia maka adalah tidak tepat menempatkan
DPD dalam posisi yang sangat kuat seperti itu, toh DPR juga mewakili daerah-daerah pemilihan

dari seluruh Indonesia. Pada sisi lain dari kajian studi banding sistem perwakilan di berbagai
negara ternyata bahwa sistem perwakilan seperti ini adalah lazim dipergunakan bahkan sebagian
besar sistem perwakilan itu menggunakan sistem dua kamar yang memiliki kewenangan yang
tidak sama. Menempatkan wakil-wakil daerah dalam suatu lembaga perwakilan yang secara
formal sederajat dengan lembaga perwakilan dan lembaga negara yang lain pada tingkat nasional
dianggap cukup untuk kepentingan daerah dan kepentingan merperkuat kesatuan nasional kita
(national integrity).
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sistem perawikan yang kita anut bukanlah sistem
bikameral akan tetapi masih sitem unikameral karena terdiri dari tiga kamar yaitu, DPR, DPD
dan MPR, dimana anggota MPR adalah terdiri dari dari anggota DPR dan anggota DPD (bukan
terdiri dari DPR dan DPD). Sedangkan dari sisi legislasi lebih tepat system perwakilan kita
adalah system unicameral.

Memperhatikan sistem perwakilan rakyat yang dianut setelah perubahan UUD 1945, telah
mengandung semangat demokrasi yang cukup kuat. Hal ini terbukti dengan adanya
penegasan mekanisme rekrutmen anggota lembaga perwakilan yang seluruhnya dipilih
melalui mekanisme yang sangat demokratis yaitu seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Demikian juga tercermin dalam upaya memperkuat posisi lembaga
perwakilan (DPR dan DPD) dengan menegaskan fungsi-fungsi lembaga perwakilan dalam
bidang legislasi dan anggaran yang lebih tegas. Disampiung itu pemberian hak-hak DPR dan
DPD yang dijamin UUD untuk mengawasi Presiden/pemerintah serta keterlibatan lembaga
perwakilan dalam penentuan kejabakan administrasi pemerintahan tertentu, menunjukkan
bahwa fungsi lembaga perwakilan telah menembus masalah-masalah administratif bahkan
pada beberapa fungsi yudikatif yaitu menuntut pemberhentian Presiden setlah melalui
penyeldikan oleh DPR serta penentuan hakim agung dan hakim konstitusi. Tetapi pada sisi
lain, kewenangan MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dikurangi yaitu hanya pada
fungsi legislasi pada tataran perubahan dan penetapan undang-undang dasar dan fungsi
administratif dalam pelantikan Presiden serta pemilihan Presiden atau wakil presiden dalam
hal-hal tertentu.
Pada sisi lain dengan jaminan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang dasar
memberikan hak-hak politik yang lebih nyata dan transparan kepada rakyat dalam melakukan
akes terhadap pemerintahan baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan
rakyat yang ada.

G. Kesimpulan
1. Lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945 terdiri dari Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Dilihat dari struktur kelembagaan tiga lembaga perwakilan rakyat tersebut jelaslah bahwa
sistem perwakilan yang dianut bukan sistem bikameral akan tetapi suatu sistem yang khas

Indonesia yang bersifat multikameral. Akan tetapi jika hanya melihatnya dari dua
lembaga perwakilan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah
dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini menunjukkan adanya sistem bikameral.
Akan tetapi melihat fungsi dan kewenangan DPD yang sangat terbatas sistem perwakilan
ini tidak menganut sistem bikameral murni (strong bicameralis).
2. Dari sisi kewenangan sebagai lembaga perwakilan rakyat, terdapat reduksi kewenangan
MPR dibanding dengan sebelum perubahan dan penguatan terhadap lemabaga DPR
sebagai representasi ppolitik (politic representation) dan penguatan pada akomodasi
keterwakilan daerah dengan dibentuknya DPD sebagai representasi daerah (regional
representation).
3. Posisi lembaga perwakilan secara keseluruhan ditempatkan pada posisinya sebagai
lembaga yang cukup kuat dan independen, memiliki posisi strategis bagi jalannya sistem
ketatanegaraan yang lebih baik dengan prinsip “check and balances”, serta memperkuat
demokrasi sebagai salah satu asas hukum tatanegara.

DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Suatu Studi SosioLegal atas Konstitusi 1956 -1959, Cet. kedua, Grafiti, Jakarta, 2001.
Fuad Said, Ketatanegaraan Menurut Syari’at Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur,
2001.
Janedri M. Gafar, Agung Djojosoekarto, at.al., Editor, Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Kerjasama Sekretariat Jenderal MPR dengan UNDP, 2003.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Kerjasama Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, 2004
———- Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Pertama, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005.

Kusuma, RM. A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan keduapuluh tujuh, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2005.
Moh.Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, Edisi Revisi,
Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Moh. Kusnadi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1981.
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2001.
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Cetakan Ketiga, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1952.
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi
MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan Indonesia, Jakarta, 2000.
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Hukum Tata Negara, Edisi Baru, CV.
Rajawali, Jakarta, Cetakan Kedua,1984
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, PT
RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2005.
Tambunan, A.S.S., Hukum Tata Negara Perbandingan, Puporis Publishers, Jakarta, 2001