Hari Ini Koruptor Masih Menang di Indone (1)

Hari Ini Koruptor Masih
Menang Di Indonesia
04 Mar 2015

Ruddy Agusyanto
Direktur Operasional di Pusat Analisa Jaringan Sosial (PAJS) dan Institut Antropologi Indonesia (IAI)

Ilustrasi Konpres Tersangka Korupsi Dana Haji (ANtARAFOTO)
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sungguh fenomenal di era reformasi ini. Lembaga yang satu ini
benar-benar banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Pejabat atau Petinggi Negara
di era sebelumnya (Orde Baru) yang tak pernah bisa diseret ke ranah hukum untuk diadili, kini
siapapun terkesan tak ada yang kebal hukum di negeri ini. Besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) saat itu pun tak luput dari terkaman KPK.

Oleh karena itu, setiap ada orang atau segolongan orang atau institusi negara yang lain mencoba menyudutkan
KPK, seakan-akan seluruh masyarakat segera bergerak berada di belakang KPK. Memang sudah relatif banyak
pejabat atau petinggi negara – baik dari golongan lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif – yang diadili.
Namun, pada kenyataan yang lain, sepertinya, korupsi juga tak berkurang di negeri ini, dan seolah-olah tak juga
membuat jera jaringan koruptor.

Mengapa demikian? Dari kenyataan ini, lalu apakah kehadiran KPK sudah berhasil melakukan pemberantasan

korupsi di negeri ini?

Apakah Seluruh Masyarakat Indonesia Benar Berada di Belakang KPK: Merasa Ikut Memiliki

KPK dalam hal ini bisa dikatakan relatif berhasil membentuk opini publik bahwa KPK identik dengan milik
masyarakat . Kenyataannya, ternyata tidak! Mereka yang sibuk membela, jika KPK sedang menghadapi

serangan, adalah para politikus atau para elite negeri ini. Masyarakat kelas bawah (golongan masyarakat
miskin) seperti tak pernah merasakan hubungannya dengan KPK.

Singkatnya, apapun yang dilakukan KPK untuk menyelamatkan uang negara, mereka (golongan bawah, miskin)
tak mampu merasakan dampaknya; dan sebaliknya mereka juga tak merasakan akibat dari korupsi yang
dilakukan oleh para pejabat atau petinggi negara – tak ada korelasi antara antara korupsi dengan nasib atau
kesejahteraan mereka. Inilah yang mereka alami dan rasakan.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika penulis simpulkan bahwa KPK kurang mensosialisasikan ke masyarakat
– terutama kelas bawah (kaum buruh, PKL dan sejenisnya). Konsekuensinya, ketika KPK tertimpa huru-hara
maka hanya para elite atau kelas menengah ke atas yang sibuk membelanya (absen dukungan masyarakat
miskin). Dalam hal ini, berarti KPK sebenarnya belum menjadi milik masyarakat Indonesia dan belum menjadi
kepedulian rakyat jelata.


"apapun yang dilakukan KPK untuk menyelamatkan
uang negara, mereka (golongan bawah, miskin) tak
mampu merasakan dampaknya; dan sebaliknya mereka
juga tak merasakan akibat dari korupsi yang dilakukan
oleh para pejabat atau petinggi negara – tak ada
korelasi antara antara korupsi dengan nasib atau
kesejahteraan mereka. Inilah yang mereka alami dan
rasakan"
Dengan demikian, penguatan KPK, juga diperlukan penguatan sosialisasi ke seluruh golongan masyarakat,
terutama masyarakat miskin, sebab sebenarnya merekalah yang paling merasakan dampak dari korupsi yang
terjadi. Hal ini perlu segera dilakukan, supaya KPK benar-benar dapat menjadi milik masyarakat Indonesia.
Selain itu, juga diperlukan transparansi kepada masyarakat, agar tidak mudah tertimpa isu dan tekanan politis,
serta mencegah terjadinya konflik kepentingan di internal tubuh KPK sendiri.

Jika melihat tindakan KPK dalam memberantas korupsi – pejabat atau petinggi negara yang merugikan
keuangan negara minimal Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) – maka perkerjaan KPK sungguh tak
terbayangkan jumlahnya. Aparat KPK mungkin tak punya waktu lagi untuk tidur – apalagi dengan jumlah aparat
yang sangat terbatas. Dengan kondisi ini, tidaklah keliru jika masyarakat mulai bertanya-tanya, apa indikator
KPK dalam menentukan bahwa kasus korupsi X menjadi perioritas dari pada kasus-kasus korupsi yang lain?


Masyarakat semakin bingung, ada beberapa kasus korupsi yang jumlahnya triliyunan rupiah yang belum
ditangani, sementara kasus korupsi milyaran sudah ditangani? Masalah indikator tersebut (transparansi) sangat
penting untuk memperkuat posisi KPK di tengah masyarakat, sehingga mereka benar-benar ikut merasa memiliki
KPK.

Saat ini, dengan absennya transparansi tentang indikator tersebut maka sebagian masyarakat (golongan bawah
atau miskin) merasa seolah-olah digiring untuk ikut meramaikan persaingan politik atau kepentingan para elit
negeri ini, dan mendapat kesan bahwa KPK ternyata juga tebang-pilih. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi.

Sudah Paham

Kita semua tahu bahwa korupsi di negeri ini sudah terjadi sekian lama - terjadi mulai dari level bawah hingga
atas - di hampir setiap lembaga negara; dan tak jarang pula banyak pakar menyimpulkan bahwa korupsi
sudah membudaya. Artinya, korupsi di lembaga negera sudah berakar sangat dalam. Dengan kata lain, bisa
disimpulkan bahwa sistem kontrol-monitoring-koordinasi (sistem KMK) setiap lembaga negara (eksekutiflegislatif-yudikatif) relatif lemah sehingga memberi banyak celah bagi tindakan korupsi.

Sebagai contoh, sistem voting di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat berpotensi atau rawan terjadi
transaksi regulasi atau rawan korupsi. Belum lagi masalah sistem dan proses rekrutmen petinggi KPK beserta
jajarannya, kemungkinan besar juga rawan kepentingan politik, korpusi.


Dengan demikian, jika sistem KMK semua lembaga negara tidak dibenahi atau diperkuat, maka kehadiran KPK
ibaratnya Petugas Pemadam Kebakaran yang harus siap setiap saat untuk memadamkan kebakaran atau api di
wilayah kerja yang sistem dan instalasi listriknya semrawut (rawan terjadi arus pendek).

Jika demikian adanya, tentu saja kehadiran KPK tak akan berpengaruh terhadap hilangnya korupsi (budaya
korupsi) di negeri ini. Artinya, hingga hari ini, jaringan koruptor masih jadi pemenangnya. Oleh sebab itu, patut
dipertanyakan political will dari Negara atau para elite negeri ini terhadap pemberantasan korupsi.

https://www.selasar.com/politik/hari-ini-koruptor-masih-menang-di-indonesia