Kasus Laut Cina Selatan dan Kepentingan

KASUS LAUT CINA SELATAN DAN KEPENTINGAN
NASIONAL CINA

OLEH :

BASRI HASANUDDIN LATIEF
E13111258

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013

2

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kasus Laut Cina Selatan dan
Kepentingan Nasional Cina”.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem
Politik dan Kebijakan Luar Negeri Cina, selain itu sebagai bahan acuan pembelajaran

bagi orang-orang yang ingin mengetahui bagaimana latar belakang konflik ini dan
kepentingan nasional cina dalam konflik ini
Saya menyadari sebagai penulis bahwa dalam makalah ini terdapat banyak
kekurangan, sehingga kami sangat memohon kritik dan saran agar kami dapat
berkembang serta dapat menciptkan makalah-makalah yang lebih baik dari ini.
Sekian dan terima kasih.
Makassar, 01 Oktober 2013

Penulis

1

DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................... 2
C. TUJUAN ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG KONFLIK LAUT CINA SELATAN ............. 3
B. KEPENTINGAN NASIONAL CINA DI LAUT CINA SELATAN... 8
1. Konsep Kepentingan Nasional....................................................... 8
2. Kepentingan Nasional Cina........................................................... 9
BAB III PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA

2

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dunia internasional ditengah masalah yang cukup kompleks kembali di perumit
oleh kasus yang terjadi di Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan merupakan bagian
dari samudra pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat
Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3.5 juta km². Berdasarkan
ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas
kedua setelah kelima samudra. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan
berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan

gas alam dan selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi
minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional.
Di Laut ini, ada lebih dari 200 pulau dan karang yang diidentifikasi, kebanyakan
darinya di daerah Kepulauan Spratly. Kepulauan Spratly tersebar seluas 810 sampai
900 km yang meliputi beberapa 175 fitur insuler yang diidentifikasi, yang terbesarnya
menjadi Kepulauan Taiping (Itu Aba) yang panjangnya 1,3 km dan dengan ketinggian
3,8 m. Pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan, yang membentuk kepulauan,
jumlahnya mencapai ratusan. Laut dan pulau-pulau yang sebagian besar tidak
berpenghuni tersebut di klaim oleh beberapa negara, klaim tersebut jelas tercermin
pada beragam nama yang digunakan untuk menyebut pulau-pulau dan laut tersebut.
Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah
(searah jarum jam dari utara) Republik Rakyat Cina (RRC) termasuk (Makau dan
Hongkong), Republik Cina (Taiwan), Filiphina, Malaysia, Singapura, Indonesia,
Brunei, dan Vietnam. Negara – Negara yang berbatasan inilah yang kemudian
memperebutkan wilayah tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Latar Belakang Konflik Laut Cina Selatan?
1


2. Kepentingan Nasional Cina di Laut Cina Selatan?
C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Latar Belakang Konflik Laut Cina Selatan
2. Untuk Mengetahui kepentingan Cina di Laut Cina Selatan
3.

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya
alam dan potensi geografis yang sangat besar. Sumber daya alam yang dimiliki
Laut Cina Selatan berupa minyak bumi dan gas alam yang terkandung di
dalamnya dengan jumlah yang cukup besar, serta memiliki potensi geografis,
karena kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional
(jalur lintas laut perdagangan internasional). Kawasan ini juga banyak dilalui oleh
Armada Angkatan Laut, baik berupa kapal tangker maupun Armada Angkatan
Laut dari negara-negara maju, seperti dari Amerika Serikat, Australia, Jepang,
Korea yang melintasi laut itu.

Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional,
merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis.
Sehingga menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi
kerja sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki
kandungan minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalamnya, serta
peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak
dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional
selama bertahun-tahun.
Hal ini dapat diketahui sejak tahun 1947 hingga saat ini tahun 2013. Dimana
terdapat pertikaian atau saling klaim antara negara yang mengaku memiliki dasar
kepemilikan berdasarkan batas wilayah laut atau perairan, seperti Republik
Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei
Darussalam. Selain saling klaim di antara negara-negara yang berlokasi di
perairan Laut Cina Selatan tersebut, juga terdapat kepentingan-kepentingan
negara-negara besar seperti : Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa Barat,
Jepang, Korea, Taiwan dalam hal keperluan pelayaran dan keperluan kandungan-

3

kandungan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang terkandung di

dalam wilayah Laut Cina Selatan tersebut.
Laut Cina Selatan terbentuk sebagai sebuah kepulauan. Dimana, benih-benih
perselisihan yang terdapat di Lautan itu, banyak di sebabkan oleh latar belakang
historis, baik dari segi penamaan terhadap lautan itu maupun batas-batas
kepemilikannya. Dalam hal penamaan misalnya, Republik Rakyat China (RRC),
menyebutnya dengan nama Laut Selatan saja. Filipina, menyebutnya dengan
nama Laut Luzón (Laut Filiphina Barat), karena keberatan dengan nama Laut
Cina Selatan, sebab seolah-olah kawasan itu milik Republik Rakyat Cina (RRC).
Sedangkan Vietnam menyebutnya dengan nama Laut Timur. Dari beberapa
negara yang mengklaim Laut Cina Selatan, diketahui Republik Rakyat Cina
(RRC) dan Vietnam adalah yang begitu gencar dalam mempertahankan kawasan
ini.
Perairan Laut Cina Selatan, di klaim oleh sejumlah negara. Republik Rakyat
Cina (RRC) berebut kepulauan Spartly dengan Brunei, Filiphina, Malaysia,
Vietnam, dan Taiwan. Sementara itu, kepulauan Paracel di klaim oleh Republik
Rakyat Cina (RRC), Taiwan, dan Vietnam. Ditelusuri dari akar permasalahannya,
konflik yang sebenarnya adalah mengenai klaim-klaim di wilayah perairan dan
kepulauan di kawasan Laut Cina Selatan yang terjadi mulai sejak Desember tahun
1947 dan terus berlanjut hingga saat ini tahun 2013. Di dalam kawasan Laut Cina
Selatan terdapat kepulauan Spartly dan Paracel yang tergolong titik rawan titik

rawan dalam soal klaim teritorial. Kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel
adalah yang menjadi fokus perebutan antara negara-negara pengklaim
(claimantans). Tetapi yang lebih di sorot adalah kepulauan Spartly yang
kemudian menjadi isu dominan Internasional.
Pada Desember 1947 Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim
hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan dengan menerbitkan peta yang tidak
hanya memuat kepulauan-kepulauan utama di wilayah Laut Cina Selatan, tetapi
juga memberi tanda sebelas garis putus-putus (yang juga di sebut garis-garis
berbentuk huruf U) di seputar wilayah perairan Laut Cina Selatan. Pihak Republik

4

Rakyat Cina (RRC) mengklaim saat peta tersebut diterbitkan pertama kali tidak
ada satupun negara yang menyampaikan protes diplomatik, sehingga terus
digunakan pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC), sejak setelah kemenangan
Partai Komunis 1949. Meski demikian, Republik Rakyat Cina (RRC) tidak
pernah secara terbuka menyatakan detail klaimnya tersebut. Pada tahun 1976
pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) secara paksa mengambil alih dan
menguasai kepulauan Paracel dari Vietnam. Kepulauan itu berada di sebelah
Utara kepulauan Spartly. Keduanya sama-sama di yakini kaya akan sumber daya

alam gas dan minyak bumi.
Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan, khususnya sengketa atas kepemilikan
kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel mempunyai riwayat yang panjang.
Berawal dari konflik yang disebabkan oleh klaim-klaim mengenai perbatasan di
wilayah perairan dan kepulauan di Laut Cina Selatan. Sejarah menunjukan
bahwa, penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara di antaranya
Ingris, Perancis, Jepang, Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, yang kemudian
melibatkan pula Malaysia, Brunei Darussalam, Filiphina,dan Taiwan.
Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan. Diawali
oleh tuntutan Republik Rakyat Cina (RRC) atas seluruh pulau-pulau di kawasan
Laut Cina Selatan yang mengacu kepada catatan sejarah, penemuan situs,
dokumen-dokumen kuno, peta-peta dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh
nelayannya. Menurut Republik Rakyat Cina (RRC) sejak 2000 tahun yang lalu,
Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Namun Vietnam
membantahnya dan menganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian
dari wilayah kedaulatannya. Vietnam menyebutkan kepulauan Spartly dan Paracel
secara efektif di dudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak
berada dalam penguasaan suatu negara.
Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan
Republik Rakyat Cina (RRC) di kawasan tersebut, sehingga pada saat perang

dunia II berakhir Vietnam Selatan menduduki kepulauan Paracel, termasuk
beberapa gugus di kepulauan Spartly. Selain Vietnam Selatan kepulauan Spartly

5

juga diduduki oleh Taiwan sejak perang dunia II dan Filiphina tahun 1971, alasan
Filiphina menduduki kepulauan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah
yang sedang tidak dimiliki oleh negara manapun. Filiphina juga menunjuk
perjanjian San-Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah
melepas haknya terhadap kepulauan Spartly. Malaysia juga menduduki beberapa
gugus kepulauan Spartly yang di namai terumbu layang. Menurut Malaysia,
langkah itu di ambil berdasarkan peta batas landasan kontinen Malaysia tahun
1979, yang mencakup sebagian dari kepulauan Spartly. Sementara Brunei yang
memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Ingris juga 1 januari 1984 kemudian
juga ikut mengklaim, namun Brunei hanya mengklaim perairan dan bukan gugus
pulau. Sampai saat ini negara yang aktif menduduki di sekitar kawasan ini adalah
Taiwan, Vietnam, Filiphina dan Malaysia. Dengan kondisi seperti ini, masalah
penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya akan menjadi
semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengolaan yang lebih berhati-hati.
Dimulai pada tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spartly, Vietnam

dan Republik Rakyat Cina (RRC) berperang di Lautan memperebutkan gugusan
batu karang Johnson (Johnson South Reef). Saat itu Angkatan Laut Vietnam di
halang-halangi oleh dua puluh kapal perang milik Republik Rakyat Cina (RRC)
yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan, sehingga terjadi bentrokan yang
mengakibatkan kurang lebih sebanyak 70 prajurit Angkatan Laut Vietnam tewas.
Sengketa perbatasan yang memicu perang besar juga terjadi di perbatasan darat
kedua negara pada tahun 1979 dan 1984. Selain itu juga seperti yang terjadi
antara Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam yakni pendudukan Republik
Rakyat Cina (RRC) atas Karang Mischief 1995, dan baku tembak antara kapal
perang Republik Rakyat Cina (RRC) dan Filiphina didekat pulau Campones
1996, menunjukan sengketa tersebut bisa tersulut menjadi konflik terbuka
sewaktu-waktu.
Sampai saat ini konflik klaim tumpang tindih yang terjadi di wilayah Laut
Cina Selatan masih terus berlangsung dan menjadi perdebatan antara beberapa
negara di kawasan ASEAN melalui perundingan diplomasi.

6

Melihat situasi yang semakin rumit, maka ASEAN mulai bertindak dan ikut
turun tangan menanggapi persoalan klaim teritorial yang terjadi di wilayah Laut

Cina Selatan. Karena jika konflik ini tidak ditanggapi dengan serius dan dibiarkan
begitu saja maka segala bentuk kerjasama di kawasan Laut Cina Selatan bisa
kehilangan daya dukung dan tidak berkelanjutan selain itu juga dapat megancam
keaman negara-negara ASEAN, dan sekitarnya. Sepuluh negara anggota ASEAN
sepakat mempercepat proses implementasi perilaku yang harus menjadi pegangan
sejumlah negara yang terlibat sengketa Laut Cina Selatan. Yakni dengan
diadakannya Declaration on the Conduct of Parties (DOC) yaitu hukum yang
mengikat pihak-pihak yang bertikai. ASEAN juga menunjukkan keinginan untuk
memulai penyusunan dan pembahasan kode etik DOC, yang kemudian akan
dibahas dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dan diterapkan di wilayah perairan
itu.
Aktor yang berperan didalamnya tidak hanya Vietnam dan Republik Rakyat
Cina (RRC), tetapi juga melibatkan beberapa negara anggota ASEAN, yaitu
Malaysia dan Filiphina, serta Taiwan. Klaim-klaim tersebut bisa berdasarkan
klaim atas sejarah yang beraneka ragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan
geostrategis negara-negara yang terlibat. Selain itu Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, saling
tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah dalam penentuan batas.
Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas
kawasan Laut Cina Selatan. Kepemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina
Selatan memperbesar masalah ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak
atas Laut Teritorial atau Landasan Kontinen. Persoalannya menjadi semakin
kursial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan
karena masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang berdasarkan
versinya sendiri, baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), demi
kepentingan masing-masing negara.

7

B. KEPENTINGAN NASIONAL CINA DI LAUT CINA SELATAN
1. Kepentingan Nasional
Dalam mencermati sepak terjang China yang begitu agresif di kawasan
Laut Cina Selatan menurut penulis dapat dilihat dari kepentingan
nasionalnya. Konsep kepentingan nasional pada dasarnya menjelaskan
bahwa untuk mencapai kelangsungan hidup suatu negara harus memenuhi
kebutuhannya

dengan

memenuhi

kepentingan

nasionalnya.

Dengan

tercapainya kepentingan nasional maka kehidupan Negara akan berlangsung
secara stabil, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun pertahanan
keamanan. Kepentingan nasional merupakan tujuan mendasar dan faktor
paling menentukan yang memandu para pembuat keputusan dalam
merumuskan politik luar negeri.
Kepentingan nasional (national interest) menurut Daniel S. Papp adalah
bahwa dalam kepentingan nasional terdapat beberapa aspek, seperti
ekonomi, ideologi, kekuatan dan keamanan militer, moralitas dan legalitas.
Dalam hal ini, faktor ekonomi pada setiap kebijakan yang diambil oleh suatu
negara adalah untuk meningkatkan perekonomian bersama. Bidang inilah
yang sering dinilai sebagai suatu kepentingan nasional (Daniel S. Papp,
1988). Kepentingan nasional juga dapat dipahami sebagai konsep kunci
dalam politik luar negeri. Konsep tersebut dapat diorientasikan pada
ideology suatu negara ataupun pada sistem nilai sebagai pedoman perilaku
suatu Negara terhadap negara lain. Artinya bahwa keputusan dan tindakan
politik luar negeri bisa didasarkan pada pertimbanganpertimbangan ideologis
ataupun dapat terjadi atas dasar pertimbangan kepentingan ekonomi. Namun
bisa juga terjadi interplay antara ideologi dengan kepentingan ekonomi
sehingga terjalin hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara
pertimbanganpertimbangan ideologis dengan kepentingan ekonomi yang
tidak menutup kemungkinan terciptanya formulasi kebijaksanaan politik luar
negeri yang lain atau baru (Sumpena Prawira Saputra, 1985).

8

Menurut Anak Agung Banyu Berwita dan Yanyan Mochmamad Yani,
konsep kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan dan
memahami perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan
dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Para penganut
realis menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk
mengejar power atau kekuasaan. Dalam ranah hubungan internasional power
adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol
satu negara terhadap negara lain baik secara individual maupun kolektif.
Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui cara halus atau
kasar. Antara lain adalah dengan teknik paksaan, atau kerjasama
(cooperation). Kekuasaan nasional dan kepentingan nasional dianggap
sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk
bertahan hidup dalam politik internasional (Anak Agung Banyu Perwita,
2006).
2. Kepentingan Nasional Cina
Klaim kepemilikan atas kawasan Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh
China sejak dekade 1970-an didasarkan pada tiga hal pokok yakni kemajuan
ekonomi,

politik

dankebutuhan

akan

pertahanan

dan

keamanan.

Pertumbuhan penduduk yang tergolong cepat memungkinkan adanya
peningkatan pemanfaatan energi minyak. Bagi China, dalam jangka panjang
cadangan minyak Laut Cina Selatan meskipun dalam jumlah yang belum
pasti tetap akan digunakan untuk menopang kebutuhan dalam negeri.
Kebutuhan akan cadangan minyak berlebih dari sumber baru sudah
dirasakan sejak pertengahan tahun 1970-an yakni ketika produksi minyak
China mengalami penurunan. Faktor eksternal yakni krisis minyak dunia
juga turut memengaruhi perekonomian dalam negeri akan pentingnya
cadangan minyak. Kemerosotan ini terus berlanjut sampai dekade
berikutnya meskipun tidak diketahui jumlahnya secara pasti. Kemungkinan
fakta ini dipengaruhi oleh cepatnya pertumbuhan penduduk dan

9

industrialisasi selama program modernisasi. Kecenderungan itu berdampak
pada permintaan masyarakat terhadap sumber energi mineral terus
bertambah. Sebagai konsekuensinya, China harus meningkatkan impor
minyak dan gas, memperbaiki kapabilitas berproduksi atau kerjasama
gabungan dalam mengeksplorasi daerah tepi pantai. Meningkatnya
kebutuhan China akan minyak terlihat dari kebijakan impor pada tahun
1993. Menurut penilaian Hisahiro Kanayama dari Institute for International
Policy Studies sampai bulan Juni 1994 diperkirakan kebutuhan energy
China terutama minyak akan melebihi jumlah produksinya (Asnani Usman
dan Rizal Sukma, Konflik Laut Cina Selatan dan Tantangan bagi ASEAN,
CSIS, 1997). Guna mengurangi impor minyak, dalam jangka panjang
negara ini memanfaatkan Laut Cina Selatan sebagai tempat memperoleh
lading minyak baru dan sekaligus sebagai jalur lalu lintas perdagangan. Dari
aspek politik, klaim tersebut berkaitan dengan strategi politik luar negeri
China terhadap negara-negara Asia Tenggara. Laut Cina Selatan dianggap
sebagai territorial China untuk memproyeksikan peranan strategisnya secara
aktual. Keterlibatan Beijing dalam persengketaan tersebut sematamata
hanya untuk menegaskan kembali perannya sebagai negara besar dalam
percaturan regional.
Berakhirnya konflik Kamboja telah mengubah peran Beijing yang
sebelumnya memanfaatkan isu tersebut untuk menarik negara-negara nonkomunis ke dalam pengaruhnya. Melalui langkah ini, China dapat
mengisolasi posisi Vietnam secara regional. Penyelesaian Kamboja
berdampak pada corak politik luar negeri China terhadap negara-negara
Asia Tenggara terutama yang tergabung dalam ASEAN. Sebagai upaaya
alternatif, negara tirai bambu ini berusaha mengembangkan hubungan
kerjasama baru khususnya dalam bidang politik dan ekonomi. Kebijakan ini
ditempuh sebagai upaya menghapus kesan “bahaya kuning atau ancaman
dari utara”. Isu bahaya kuning seringkali dikaitkan dengan adanya
pemberontakan komunis yang terjadi di beberapa negara Asia Tenggara

10

yang secara langsung maupun tidak disuport oleh China. Isu tersebut dan
juga peristiwa Tiananmen yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM telah
menurunkan citra internasional.
Dari bidang pertahanan dan keamanan, klaim China berkaitan dengan
kesalahan pengalaman masa lalu yang kurang memberi perhatian pada
potensi laut. Pertama, faktor lemahnya kekuatan laut sekeliling China
merupakan peluang yang mempermudah penetrasi imperialisme Barat yang
pada akhirnya berakibat pada terbagibaginya wilayah China ke dalam
penguasaan kekuatan asing. Selama Perang Dingin persepsi ancaman
terhadap Soviet muncul seiring dengan pembangunan pangkalan militernya
di Vietnam. Hal ini terlihat ketika China memberi “pelajaran” terhadap
Vietnam (1979) Uni Soviet juga telah mengirimkan armadanya sebagai
penangkal terhadap inisiatif Angkatan Laut China di Pulau Hainan dan
Kepulauan Paracel. Kedua, dalam kaitannya dengan kepentingan keamanan,
Cina membutuhkan suatu armada angkatan laut yang kuat dan pangkalan
yang strategis. Ketegasan sikap China dalam mempertahankan klaimnya
atas wilayah Laut Cina Selatan juga berkaitan dengan niatnya untuk
memperoleh status sebagai kekuatan maritim yang handal bukan hanya di
tingkat regional (Asia Timur dan Asia Tenggara) tapi juga internasional.
Sebagai salah satu sasaran program modernisasi, China berusaha
mengembangkan kemampuan Angkatan Laut guna meningkatkan statusnya
dari “kekuatan pantai” menjadi kekuatan laut biru (blue water navy), suatu
kekuatan yang memiliki kemampuan proyeksi jauh ke wilayah samudra
luas. Artinya kekuatan laut biru dapat dijadikan sebagai penyeimbang
kekuatan ekonomi yang semakin dipertimbangkan di arena internasional.
Selain ketiga hal di atas, China sensitive terhadap masalah kedaulatan akibat
penindasan asing. Bayang-bayang ancaman dari luar negeri muncul kembali
bersamaan dengan pecahnya Soviet menjadi beberapa negara merdeka. Bagi
pemimpin Beijing, semangat nasionalisme tersebut dapat menyebar
sehingga bisa menimbulkan disintegrasi bangsa. Fenomena ini berkaitan

11

dengan daerah-daerah minoritas yang pernah mengalami tekanan berat dari
pemerintah pusat. Strategi China dalam sengketa Laut Cina Selatan
merupakan paket yang sama dengan usaha mempertahankan integritas
teritorialnya. Kepentingan China terhadap Laut Cina Selatan terutama
Kepulauan Spratly dan Paracel tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi
dan menunjang program modernisasi namun juga upaya penyatuan Taiwan.
Apabila China berhasil menguasai dan mengontrol lalu lintas kapal yang
melintasi Laut Cina Selatan, maka negara ini mampu mempertahankan
integritas Taiwan sebagai teritorinya yang terwujud dalam semboyan “satu
China”.

12

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kawasan Laut Cina Selatan adalah suatu kawasan yang memiliki berbagai
potensi yang sangat besar, yakni berupa potensi sumber daya alam seperti minyak
bumi dan gas alam maupun kekayaan alam berupa hasil ikan yang melimpah yang
terkandung di dalamnya serta potensi geografis yang dimilkinya yakni letaknya yang
sangat strategis dan banyak di lalui oleh kapal-kapal milik Negara maju, sebagai jalur
distribusi minyak dunia, jalur pelayaran serta komunikasi internasional. Hal ini
banyak menarik perhatian Negara-negara yang masih membutuhkan energy untuk
perkembangan industrialisasinya. Baik Negara-negara yang berbatasan langsung
dengan Kawasan Laut Cina Selatan, maupun Negara-negara besar yang mempunyai
ambisi global tersendiri bagi kepentingan pribadi masing-masing Negara.
Kawasan Laut Cina Selatan merupakan salah satu yang penting bagi negaranegara yang membutuhkan energi bagi perkembangan industrialisasinya. Karena
kekayaan alam yang dimilikinya serta posisinya yang strategis, sehingga banyak
negara yang menginginkan kepemilikan kawasan ini. Laut Cina Selatan sebagai
kawasan yang memiliki banyak potensi yang terkandung di dalamnya di satu sisi
menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang sangat menguntungkan bagi negaranegara yang mempunyai kepentingan tersendiri terhadap kawasan ini, akan tetapi di
sisi lain karena besarnya potensi yang dimiliki oleh Laut Cina Selatan dan banyaknya
negara yang menginginkan kepemilikan kawasan ini maka kawasan Laut Cina
Selatan juga mengandung potensi konflik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa insiden

13

yang sempat terjadi di perairan Laut Cina Selatan, seperti bentrokan senjata yang
terjadi antara negara-negara yang berkonflik sepanjang konflik yang terjadi di
kawasan Laut Cina Selatan.
Keamanan kawasan Asia Timur pasca perang Dingin melahirkan ketidak pastian
strategis. Kondisi yang tidak pasti ini tentu saja mempengaruhi presepsi masingmasing negara baik yang terlibat secara langsung maupun negara-negara yang berada
di kawasan tersebut tapi tidak terlibat secara langsung. Tingginya dinamika interaksi
di Laut Cina Selatan menunjukan besarnya kapabilitas ekonomi, politik, dan militer
di kawasan ini. Konflik perbatasan dan klaim tumpang tindih yang terjadi di Kawasan
Laut Cina Selatan masih kerap terjadi di antara Negara-negara yang berbatasan
langsung dengan perairan yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki posisi
yang sangat strategis, dan hal ini menjadi perdebatan antar beberapa negara-negara
pengklaim kawasan tersebut. Beberapa upaya telah dilakukan dalam mengatasi
konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan salah satunya yakni dengan cara
diadakannnya perundingan-perundingan yang melibatkan beberapa negara yang
berkonflik hal ini ditujukan untuk meredam konflik yang tengah terjadi di kawasan
tersebut. Adapun hasil dari penelitin menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di Laut
Cina Selatan dan yang melibatkan Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Malaysia,
Taiwan, Filiphina, dan Brunei Darussalam ini menimbulkan implikasi-implikasi
politik dan keamanan yang diakibatkan oleh adanya pergesekan kepentingankepentingan di antara Negara-negara yang terlibat tersebut demi kepentingan masingmasing negara.

14

Apabila implikasi-implikasi tersebut dibiarkan begitu saja, dan tidak ditangani
dengan cepat maka dapat tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perang
terbuka, yang dapat merugikan negara-negara yang berkonflik, dan juga negaranegara yang ada di sekitar Laut Cina Selatan.

15

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Setyasih Harini, Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut Cina Selatan

Internet
http://www.anneahira.com/laut-cina-selatan.htm
http://judiono.wordpress.com/2009/01/05/mencermati-sengketa-teritorial-laut-cina-selatan/

16

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24