MANAJEMEN PERSEDIAAN JIT QUALITY COSTING
MANAJEMEN PERSEDIAAN JIT, QUALITY COSTING, DAR TARGET COSTING
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Manajemen
Dosen Pengampu:
Supami Wahyu Setyowati, SE.,MSA
Disusun Oleh :
Amin Satriyo Mei Cahyo
13510043
Rizaldi Umar Sidiq
13510125
M. Fahrudin
13510135
Akhmad Muzaki
13510141
Umi Nafisah Rahmawati
13510154
Rofi Nesti Rahayu
13510160
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
A. Manajemen Persediaan JIT
Perubahan lingkungan tradisional ke pemanufakturan maju yang diikuti dengan
persaingan tajam bahkan berlevel global mengakibatkan system manajemen dengan
pendekatan tradisional yang berbasis Economic Order Quantity (EOQ) dan metode minimalmaksimal tidak cocok lagi dalam lingkungan yang baru sehingga mendorong perusahaan
menggunakan Just In Time (JIT).
Dalam kondisi ideal, perusahaan yang menjalankan JIT akan membeli bahan baku
hanya untuk kebutuhan hari itu saja. Perusahaan tidak memiliki persediaan barang dalam
proses pada akhir hari tersebut, dan semua barang jadi yang diselesaikan hari itu telah
dikirimkan ke konsumen begitu produksi selesai. Dengan demikian, JIT berarti bahan baku
yang diterima segera masuk ke proses produksi, bahan-bahan produksi yang lain segera
digabungkan dan dikerjakan, dan produk yang telah jadi segera dikirimkan ke konsumen
Manufaktur JIT (Just in itme manufacturing) adalah suatu system berdasarkan tarikan
permintaan yang membutuhkan barang untuk ditarik melalui system oleh permintaan yang
membutuhkan barang untuk ditarik melalui system oleh permintaan yang ada, bukan
didorong kedalam system pada waktu tertentu berdasarkan permintaan yang diantisipasi.
Kebanyakan restoran cepat saji, seperti McDonalds, menggunakan system tarikan untuk
mengontrol persediaan barang jadi mereka. Ketika seorang pelanggan memesan hamburger,
maka hamburger itu diambil dari rak. Ketika jumlah hamburger mulai menipis maka juru
masak mulai memasak hamburger yang baru. Permintaan pelanggan manarik seluruh bahan
baku melalui system. Prinsip yang sama digunakan dalam mengatur proses produksi sehingga
setiap operasi memproduksi produk yang diperlukaan untuk memuaskan permintaan dari
operasi yang mendahuluinya.
JIT memiliki dua tujuan strategis yaitu: Untuk meningkatkan laba, dan memperbaiki
posisi bersaing perusahaan. Kedua tujuan ini dicapai dengan mengendalikan biaya,
memperbaiki kinerja pengiriman, dan meningkatkan kualitas1.
Just In Time merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki implikasi penting
dalam manajemen biaya. Ide dasar Just In Time sangat sederhana, yaitu berproduksi hanya
apabila ada permintaan (full system) atau dengan kata lain hanya memproduksi sesuatu yang
diminta, pada saat diminta, dan hanya sebesar kuantitas yang diminta.
Prinsip dasar Just In Time adalah peningkatan kemampuan perusahaan secara terus
menerus untuk merespon perubahan dengan minimisasi pemborosan.
Menurut Henri
Simamora dalam bukunya Akuntansi Manajemen, Just In Time adalah suatu keseluruhan
1
Hansen.Mowen. Management Accounting Edisi 7. 2005. Salemba Empat:Jakarta. Hal:477
filosofi operasi manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku
cadang, personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan2.
Perusahaan yang menerapkan Just In Time (JIT) akan mendapatkan keuntungan
antara lain : a) modal kerja dapat ditunjang dengan adanya persediaan karena penguranganpengurangan biaya persediaan, b)lokasi yang tadinya untuk menyimpan persediaan dapat
digunakan untuk aktivitas lain sehingga produktivitas meningkat.ik, c) waktu untuk
melakukan aktivitas produksi berkurang, sehingga dapat menghasilkan jumlah proudk lebih
banyak dan lebih cepat merespon konsumen.dan d) tingkat produk cacat berkurang,
menakibatkan penghematan dan kepuasan konsumen meningkat.
1. Prinsip Dasar Just in Time
Konsep dasar Just In Time sangat sederhana, yaitu berproduksi hanya apabila ada
permintaan atau dengan kata lain hanya memproduksi sesuatu yang diminta, pada saat
diminta, dan hanya sebesar kuantitas yang diminta. Prinsip dasar Just In Time adalah
peningkatan kemampuan perusahaan secara terus menerus untuk merespon perubahan dengan
memperkecil pemborosan. Terdapat empat aspek pokok dalam konsep Just In Time yaitu:
a. Menghilangkan semua aktifitas atau sumber-sumber yang tidak memberikan value
terhadap produk atau jasa yang dihasilkan
b. Menjaga kualitas barang yang diproduksi.
c. Mendorong perbaikan berkesinambungan untuk meningkatkan efisiensi (continuous
improvement).
d. Menyederhanakan aktivitas produksi dengan minimalisir biaya penyimpanan
persediaan
Intinya bahwa konsep just in time langsung di terapkan secara keseluruhan dari
persediaan itu, yakni mulai dari proses pembelian sampai dengan digunakan untuk proses
produksi barang. Perusahaan yang menggunakan pembelian Just In Time akan dapat menekan
hidden cost yang berhubungan dengan menahan tingkat persediaan yang tinggi. Biaya
tersembunyi ini meliputi jumlah ruang penyimpanan yang lebih besar dan biaya pemeliharaan
persediaan digudang3.
Untuk mengaplikasikan metode JIT maka ada tujuh prinsip yang harus dijadikan dasar
pertimbangan di dalam menentukan strategi sistem produksi, yaitu3:
1. Berproduksi sesuai dengan pesanan Jadual Produksi Induk
Sistem manufaktur baru akan dioperasikan untuk menghasilkan produk menunggu
setelah diperoleh kepastian adanya order dalam jumlah tertentu masuk. Tujuan
2
3
Rizki Mahrira. Manajemen Persediaan.2013
Supriyadi. Just In Time : Alat Pengendali Persediaan yang Efektiv. 2012
utamanya untuk memproduksi finished goods tepat waktu dan sebatas pada jumlah
yang ingin dikonsumsikan saja (Just in Time), untuk itu proses produksi akan
menghasilkan sebanyak yang diperlukan dan secepatnya dikirim ke pelanggan yang
memerlukan untuk menghindari terjadinya stock serta untuk menekan biaya
penyimpanan (holding cost).
2. Produksi dilakukan dalam jumlah lot (Lot Size) yang kecil untuk menghindari
perencanaan dan lead time yang kompleks seperti halnya dalam produksi jumlah
besar. Fleksibilitas aktivitas produksi akan bisa dilakukan, karena hal tersebut
memudahkan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam rencana produksi
terutama menghadapi perubahan permintaan pasar.
3. Mengurangi pemborosan (Eliminate Waste)
Pemborosan (waste) harus dieliminasi dalam setiap area operasi yang ada. Semua
pemakaian sumber-sumber input (material, energi, jam kerja mesin atau orang, dan
lain-lain) tidak boleh melebihi batas minimal yang diperlukan untuk mencapai target
produksi.
4. Perbaikan aliran produk secara terus menerus.
(Continous Product Flow Improvement) Tujuan pokoknya adalah menghilangkan
proses-proses yang menimbulkan bottleneck dan semua kondisi yang tidak produktif
(idle, delay, material handling, dan lain-lain) yang bisa menghambat kelancaran aliran
produksi.
5. Penyempurnaan kualitas produk (Product Quality Perfection)
Kualitas produk merupakan tujuan dari aplikasi Just in Time dalam sistem produksi.
Disini selalu diupayakan untuk mencapai kondisi “Zero Defect” dengan cara
melakukan pengendalian secara total dalam setiap langkah proses yang ada. Segala
bentuk penyimpangan haruslah bisa diidentifikasikan dan dikoreksi sedini mungkin.
6. Respek terhadap semua orang/karyawan (Respect to People)
Dengan metode Just in Time dalam sistem produksi setiap pekerja akan diberi
kesempatan dan otoritas penuh untuk mengatur dan mengambil keputusan apakah
suatu aliran operasi bisa diteruskan atau harus dihentikan karena dijumpai adanya
masalah serius dalam satu stasiun kerja tertentu.
7. Mengurangi segala bentuk ketidak pastian (Seek to Eliminate Contigencies)
Inventori yang ide dasarnya diharapkan bisa mengantisipasi demand yang berfluktuasi
dan segala kondisi yang tidak terduga, justru akan berubah menjadi waste bilamana
tidak segera digunakan. Begitu pula rekruitmen tenaga kerja dalam jumlah besar
secara tidak terkendali seperti halnya yang umum dijumpai dalam aktivitas proyek
akan menyebabkan terjadinya pemborosan bilamana tidak dimanfaatkan pada
waktunya. Oleh karena itu dalam perencanaan dan penjadualan produksi harus bisa
dibuat dan dikendalikan secara teliti. Segala bentuk yang memberi kesan
ketidakpastian harus bisa dieliminir dan harus sudah dimasukkan dalam pertimbangan
dan formulasi model peramalannya.
Ketujuh prinsip pelaksanaan Just in Time dalam sistem produksi di atas bukanlah
suatu komitmen perusahaan yang diaplikasikan dalam jangka waktu pendek, melainkan harus
dibangun secara berkelanjutan dan merupakan komitmen semua pihak dalam jangka panjang.
Dalam jangka pendek, ada kemungkinan aplikasi Just in Time dalam sistem produksi justru
akan menambah biaya produksi mengikuti konsekuensi proses terbentuknya kurva belajar.
2. Karakteristik JIT
a. Tata letak pabrik
Jit mengganti tata letak pabrik dengan sel manufaktur yang terdiri dari mesin mesin
yang dikelompokkan dalam kumpulan, biasanya dalam bentuk setengah lingkaran.
Mesin-mesin diatur sehingga mereka dapat digunakan untuk melakukan berbagai
operasi secara berurutan.
b. Pengelompokan dan pemberdayaan karyawan
Para karyawan diberikan suatu tingkat partisipasi yang lebih tinggi dalam manajemen
organisasi. Masukan pekerja dipandang dan digunakan untuk memperbaiki proses
produksi. Para manajer akan bertindak lebih sebagai fasilitator daripada sebagai
seorang supervisor.
c. Total Quality Control
TQC pada intinya adalah suatu pengejaran tanpa henti untuk kualitas yang sempurna,
usaha untuk mendapatkan suatu desain produk dan proses manufaktur tanpa cacat.
d. Ketertelusuran Biaya Overhead
JIT pada umumnya menurunkan persediaan hingga tingkat yang sangat rendah. JIT
menolak untuk menggunakan persediaan sebagai pemborosan namun sbagai solusi
dari masalah-masalah ini. Bahkan, persediaan tidak hanya dipandang sebagai
pemborosan namun dipandang sebagai suatu yang langsung berhubungan dengan
kemampuan perusahaan untuk bersaing4.
3. Biaya Persiapan dan Penyimpaan Pendekatan JIT
4
Hansen.Mowen. Management Accounting Edisi 7. 2005. Salemba Empat:Jakarta. Hal:479
JIT merupakan pendekatan untuk meminimalkan total biaya penyimpanan dan biaya
persiapan yang sangat berbeda dari pendekatan tradisional. Pendekatan tradisional
mengakui keberadaan persiapan dan kemudian menentukan kuantitas pesnan. JIT
tidak menerima biaya persiapan (atau pemesanan), JIT mencoba menekan biaya-biaya
sampai nol. Jika biaya persiapan dan biaya pemesanan menjadi tidak signifikan, maka
biaya yang tersisa untuk dikurangi adalah biaya penyimpanan, yang dicapai dengan
mengurangi persediaan sampai ke tingkat yang sangat rendah5.
Perbandingan manufaktur JIT dengan tradisional :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
JIT
Sistem tarik
- Persediaan tidak signifikan
- Pemasok kecil
- Kontrak pemasok jangka panjang
- Struktur selular
- Tenaga kerja berkeahlian ganda
- Pelayanan terdesentralisasi
- Keterlibatan karyawan tinggi
- Gaya manajemen memfasilitasi
- Pengendalian kualitas tota..
-Dominasi penelusuran langsung
(perhitungan biaya produk)
-
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tradisional
Sistem dorong
Persediaan signifikan
Pemasok besar
Kontrak pemasok jangka pendek
Struktur departemental
Tenaga kerja terspesialisasi
Pelayanan tersentralisasi
Keterlibatan karyawan rendah
Gaya manajemen mengawasi
Tingkat kualitas yang dapat diterima
Dominasi penelusuran penggerak
(perhitungan biaya produk)
Kontrak Jangka Panjang, Pengisian Kembali yang Berkelanjutan, Pertukaran Data
Elektronik dan JIT II. Dengan pengisian kembali berkelanjutan, pembuat barang mengambil
alih fungsi manajemen persediaan pengecer. Pembuat barang memberitahu pengecer kapan
dan berapa banyak persediaan yang harus dipesan kembali.
Pertukaran data elektronik adalah suatu bentuk awal dari perdagangan elektronik yang
pada intinya adalah suatu metode terotomatisasi dari pengiriman informasi dari komputer ke
komputer.Pengaturan bersama sering didukung dengan kontrak terbuka, jangka panjang yang
dianggap sebagai suatu kontrak abadi. Kontrak abadi tidak memiliki tanggal berakhir, tidak
membutuhkan penawaran ulang, sehingga menurunkan resiko permintaan bagi pemasok.
4.
Kierja Jatuh Tempo Solusi JIT
Kinerja jatuh tempo adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk menanggapi
kebutuhan pelanggan. Sistem JIT memcahkan masalah kinerja jatuh tempo bukan
dengan menimbun persediaan, tetapi dengan mengurangi tenggang waktu secara
5
Ibid. Hal 482
dramaris. Tenggang waktu yng lebih singkat akan meningkatkan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi tanggal penyerahan dan merespon dengan cepat
permintaan pasar. Jadi daya saing perusahaan dapat meningkat.
5. Menghindari Penghentian Produksi Dan Keandalan Proses
Kebanyakan penghentian produksi terjadi karena salah satu dari tiga alasan :
kegagalan mesin, kecacatan bahan baku atau subperakitan, dan ketidaktersediaan bahan baku
atau subperakitan. Memiliki persediaan adalah suatu solusi tradisional atas semua masalah
tersebut6.
a. Pemeliharaan Pencegahan Total. Kegagalan mesin nol adalah tujuan pemeliharaan
pencegahan total. Dengan memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan
pencegahan, sebagian besar kegagalan mesin dapat dihindari.
b. Pengendalian Kualitas Total. Masalah komponen yang cacat dengan berusaha
mencapai tingkat kerusahan nol. Karena manufaktur JIT tidak mengendalikan
persediaan untuk menggantikan komponen atau bahan yang rusak, maka penekanan
pada kualitas baik untuk bahan baku yang diproduksi secara eksternal meningkat
dengan tajam.
c. Sistem Kanban. Untuk menjamin bahwa komponen atau bahan baku tersedia ketika
dibutuhkan, digunakan sebuah sistem yang disebut sistem kanban. Ini adalah sebuah
sistem informasi yang mengendalikan produksi melalui penggunaan tanda atau kartu.
Kanban penarikan merinci kuantitas proses berikutnya yang harus ditarik dari proses
sebelumnya. Kanban produksi merinci kualitas yang harus diproduksi oleh proses
sebelumnya. Kanban pemasok digunakan untuk memberitahukan pemasok agar
menyerahkan lebih banyak komponen; dan juga merinci komponen tersebut
dibutuhkan.
6. Diskon dan Kenaikan Harga : Pembelian JIT versus Menyimpan Persediaan
Secara tradisional, persediaan disimpan sehingga perusahaan dapat mengambil
keuntungan diskon kuantitas dan melindungi diri dari kenaikan harga di masa mendatang atas
barang yang dibeli. Tujuannya adalah untuk menurunkan biaya persediaan. Sistem JIT
mencapai tujuan yang sama tanpa harus menyimpan persediaan. Solusi JIT adalah
menegosiasikan kontrak jangka panjang dengan sejumlah kecil pemasok terpilih yang
6
Ibid. Hal.484
berlokasi sedekat mungkin dengan fasilitas produksi dan membangun keterbatasan pemasok
secara lebih intensif.
7. Keterbatasan JIT
JIT bukan merupakan pendekatan yang dapat dibeli dan diterapkan dengan hasil
segera. Implementasinya merupakan proses evolusioner, bukan revolusioner. Di sini
dibutuhkan kesabaran. JIT sering kali disebut sebagai program penyederhanaan – namun ini
bukan berarti ia mudah atau sederhana untuk diterapkan.
Pekerja juga dapat terpengaruh oleh JIT. Dari studi yang dilakukan terlihat bahwa
pengurangan dan peyangga persediaan secara tajam dapat menyebabkan arus kerja yang
terpecah dan tingkat stress yang tinggi diantara para pekerja produksi. Kekurangan yang
paling menonjol dari JIT adalah tidak adanya persediaan untuk menyangga berhentinya
produksi. Pilihan lain, yang mungkin sebagai pendekatan pelengkap, adalah teori kendala
(TOC).
Teori Kendala
Setiap perusahaan menghadapi sumber daya yang terbatas dan permintaan yang
terbatas atas setiap produk. Keterbatasan-keterbatasn ini disebut kendala7.
Konsep Dasar
TOC memfokuskan pada tiga ukuran kinerja organisasi : throughput, persediaan, dan
beban operasi. Throughput adalah tingkat di mana suatu organisasi menghasilkan uang
melalui penjualan. Dalam istilah operasional, throughput adalah selisih antara pendapatn
penjualan dan biaya variabel tingkat unit seperti bahan baku dan listrik. Persediaan adalah
seluruh uang yang dikeluarkan organisasi dalam mengubah bahan baku menjadi throughput.
Beban operasi disefinisikan sebagai seluruh uang yang dikeluarkan organisasi untuk
mengubah persediaan menjadi throughput.
Produk yang Lebih Baik. Produk yang lebih baik berarti kualitas yang lebih tinggi. Hal ini
juga berarti bahwa perusahaan mampu memperbaiki produk dan menyediakan produk yang
sudah diperbaiki tersebut secara cepat ke pasar.
Harga yang Lebih Rendah. Persediaan yang rendah akan mengurangi biaya penyimpanan,
biaya investasi per unit, dan beban operasi lainnya seperti lembur dan beban pengiriman
khusus. Harga yang lebih rendah atau margin produk yang lebih tinggi dapat saja terjadi jika
kondisi kompetitif tidak memerlukan pemotongan harga.
Daya Tanggap. Tingkat persediaan menandakan kemampuan perusahaan untuk merespon.
Tingkat yang tinggi secara relatif terhadap pesaing akan mengakibatkan kelemahan
7
Ibid. Hal 490
kompetitif. Dengan kata lain, TOC menekankan pengurangan persediaan dengan mengurangi
teggang waktu.
Langkah-langkah TOC.
Teori kendala menggunakan lima langkah untuk mencapai tujuan memperbaiki
kinerja organisasi8 :
1. Mengidentifikasi kendala(-kendala) perusahaan.
2. Mengeksploitasi kendala(-kendala) yang mengikat.
3. Mensubordinasi apa saja yang lain dari keputusan yang dibuat pada langkah 2.
4. Mengangkat kendala(-kendala) yang mengikat.
5. Mengulangi proses.
Contoh Penerapan JIT :
Sebuah toko perbaikan TV lokal menggunakan 36.000 unit suku cadang tiap tahun
(rata-rata 100unit setiap hari kerja). Biaya Penempatan dan penerimaan pesanan adalah $20.
Toko memesan dalam lot berisi 400unit. Biaya penyimpanan persediaan per unit per tahun
adalah $4.
1. Total Biaya Pemesanan Tahunan
Biaya Pemesanan
= PD/Q
=$20x36.000/400
=$1.800
2. Total Biaya Penyimpana Tahunan
Biaya Penyimpanan =CQ/2
=$4x400/2
=$800
3. Total Biaya Persediaan Tahunan
Biaya Total
= Biaya Pemesanan + Biaya Penyimpanan
= $1.800 + $800
= $2.600
4. EOQ
EOQ = (2PD/C)½
=(2x20x36.000/4)½
=(36.000)½
=600
5. Total Biaya Persediaan tahunan dengan menggunakan kebijakan persediaan EOQ
8
Ibid hal 492
Biaya = (PD/Q) + (CQ/2)
= ($20x36.000/600) + ($4x600/2)
= $1.200 + $1.200
= $2.400
6. Berapakah yang dihemat setiap tahun dengan menggunakan EOQ dibanding dengan
menggunakan pesanan sebesar 400unit?
Penghematan = $2.600 - $2.400 = $200
7. Titik pemesanan kembali, asumsi tenggang waktu 3 hari
ROP = 100x3 = 300unit
8. Asumsi bahwa penggunaan suku cadang bisa mencapai 110unit/hari. Hitung
persediaan pengaman dan titik balik.
Persediaan pengaman = (110-100)3 = 30unit
ROP
= 110x3 = 330 unit atau 300 + 30 = 330 unit
B. Cost of Equality
1. Pengertian Kualitas
Terdapat berbagai macam pengertian dari kualitas, Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kualitas adalah ukuran baik buruknya sesuatu. Kualitas dapat pula didefinisikan
sebagai tingkat keunggulan. Jadi kualitas adalah ukuran relatif kebaikan (Supriyono, 1994 :
377-378). Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik
produk atau jasa yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan pelanggan
baik yang dinyatakan secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kualitas sebagai kecocokan untuk digunakan
yang artinya pemakai produk atau jasa seharusnya dapat memperhitungkan apa yang mereka
butuhkan dan inginkan pada produk atau jasa tersebut. Hansen dan Mowen (2004:441),
mendefinisikan kualitas sebagai berikut:
Quality is a relative measure of goodness
Definisi ini mengandung pengertian bahwa kualitas merupakan tingkat keunggulan
(excellence) atau ukuran relatif dari kebaikan (goodness). Sedangkan menurut Tjiptono dan
Diana (2003:3), terdapat beberapa kesamaan elemen-elemen dari sekian banyak definisi
kualitas yang ada, sebagai berikut:
1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap
merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa yang
akan datang).
Berdasarkan ketiga elemen di atas, kualitas adalah usaha yang dilakukan oleh manusia
(perusahaan) untuk memenuhi atau melebihi harapan pelanggan yang selalu berubah dan
dinamis, melalui produk, jasa, proses, dan lingkungan yang dihasilkan.
2. Dimensi Kualitas
Kualitas produk atau jasa adalah sesuatu yang memenuhi atau melebihi ekspektasi
pelanggan. Ekspektasi pelanggan itu dapat dijelaskan ke dalam delapan dimensi kualitas,
yaitu: (Hansen dan Mowen, 2006:6)
1. Kinerja (Performance), adalah tingkat konsistensi dan kebaikan fungsi-fungsi produk.
2. Estetika (Aesthetics), berhubungan dengan penampilan wujud produk (misalnya, gaya
dan keindahan) serta berhubungan dengan penampilan fasilitas, peralatan, personalia,
dan materi komunikasi yang berkaitan dengan jasa.
3. Kemudahan perawatan dan perbaikan (Serviceability), berkaitan dengan tingkat
kemudahan merawat dan memperbaiki produk.
4. Keunikan (Features), adalah karakteristik produk yang berbeda secara fungsional dari
produk-produk sejenis.
5. Reliabilitas (Reability), adalah probabilitas produk atau jasa menjalankan fungsi
dimaksud dalam jangka waktu tertentu.
6. Durabilitas (Durability), didefinisikan sebagai umur manfaat dari fungsi produk.
7. Tingkat kesesuaian (Quality of Conformance), merupakan ukuran mengenai apakah
sebuah produk atau jasa telah memenuhi spesifikasinya.
8. Pemanfaatan (Fitness for use), adalah kecocokan dari sebuah produk menjalankan
fungsi-fungsi sebagaimana yang diiklankan. Apabila sebuah produk mengandung
cacat desain yang parah, maka produk tersebut tidak bisa berfungsi meskipun tingkat
kesesuaian sesuai dengan spesifikasinya. Produk yang dikembalikan para pelanggan
seringkali disebabkan oleh adanya masalah dalam dimensi pemanfaatan ini.Dengan
demikian perbaikan kualitas berarti perbaikan satu atau lebih dari delapan dimensi
diatas sementara tetap mempertahankan kinerja dimensi yang lain.
3. Pengertian Biaya Kualitas
Biaya Kualitas (Biaya Mutu) atau dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Quality
Cost adalah Biaya-biaya yang timbul dalam penanganan masalah Kualitas (Mutu), baik
dalam rangka meningkatkan Kualitas maupun biaya yang timbul akibat Kualitas yang buruk
(Cost of Poor Quality). Dengan kata lain, Biaya Kualitas (Quality Cost) adalah semua biaya
yang timbul dalam Manajemen Kualitas (Quality Management). Secara mudah biaya kualitas
didefinisikan suatu biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan kualitas suatu barang yang
dihasilkan.
Sedangkan menurut Hansen dan Mowen (2004:443) mengatakan bahwa biaya
kualitas adalah biaya yang timbul karena mungkin atau telah terdapat produk yang buruk
kualitasnya. Dari definisi-definisi biaya kualitas yang dikemukakan diatas, terdapat beberapa
persamaan yaitu:
1. Biaya kualitas adalah biaya yang terjadi karena adanya atau kemungkinan adanya kualitas
produk yang rendah di dalam suatu perusahaan.
2. Biaya kualitas berhubungan dengan penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan
pencegahan produk cacat.
4. Pengklasifikasian Biaya Kualitas
Biaya kualitas berhubungan dengan dua sub kategori dari kegiatan- kegiatan yang
berhubungan dengan kualitas antara lain (Hansen dan Mowen, 2004:443):
a. Aktivitas Pengendalian (Control Activities), Kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan
untuk mencegah dan mendeteksi kualitas yang buruk (karena kualitas yang buruk
mungkin terjadi). Kegiatan pengendalian terdiri dari kegiatan pencegahan dan kegiatan
penilaian.
b. Aktivitas karena Kegagalan (Failure Activities), Kegiatan yang dilakukan oleh
perusahaan atau konsumen untuk merespon kualitas yang buruk (kualitas yang buruk
memang telah terjadi). Kegiatan karena kegagalan terdiri dari kegiatan karena kegagalan
internal dan kegagalan eksternal.
5. Informasi Biaya Kualitas
Pelaporan biaya kualitas mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan dan memberi
dasar perencanaan pengendalian, dan pembuatan keputusan manajerial. Sebagai contoh,
dalam mengkualitaskan penerapan program pemilihan pemasok untuk menghasilkan kualitas
masukan bahan, seorang manajer akan memerlukan penilaian terhadap:
1. Biaya kualitas saat ini untuk setiap kelompok.
2. Tambahan biaya yang berhubungan dengan program tersebut.
3. Penghematan yang diproyeksikan untuk setiap elemen dan setiap kelompok.
Pelaporan biaya kualitas sangat penting peranannya bagi suatu perusahaan apabila
perusahaan itu benar-benar serius menerapkannya dan memandang penting peningkatan
kualitas dan pengendalian biaya kualitas. Langkah pertama yang dilakukan adalah penilaian
biaya kualitas yang sesungguhnya terjadi saat ini. Daftar biaya kualitas yang sesungguhnya
terjadi untuk setiap kelompok biaya dapat memberikan dua pandangan, yaitu:
1. Daftar tersebut menunjukkan biaya kualitas untuk masing-masing kelompok sehingga
memungkinkan para manajer memperkirakan dampak keuangannya.
2. Daftar tersebut menunjukkan distribusi biaya kualitas setiap kelompok sehingga
memungkinkan para manajer untuk menaksir biaya relatif setiap kelompok.
6. Pemilihan Standar Kualitas
Dalam pemilihan standar kualitas dapat digunakan dua pendekatan, yaitu
(Supriyono,
2002:395-397):
1. Pendekatan Tradisional
Dalam pendekatan tradisional, standar kualitas yang dianggap tepat adalah tingkat
kualitas yang dapat diterima yang disebut acceptable quality level atau AQL. AQL
merupakan standar kualitas yang sederhana yang mengijinkan kemungkinan terjadinya
sejumlah tertentu produk rusak yang akan diproduksi dan dijual. Sebagai contoh, jika AQL
ditentukan sebesar 4%. Dalam kasus ini, lot produk atau produksi berjalan dan mempunyai
produk rusak tidak lebih dari 4% dapat dikirimkan kepada pelanggan. Biasanya AQL
menunjukkan status pengoperasian saat ini, bukan apa yang mungkin dicapai jika perusahaan
mempunyai program kualitas yang unggul. Sebagai dasar standar kualitas, AQL mempunyai
masalah yang sama dengan pengalaman masa lalu sebagai standar kualitas pemakaian bahan
dan tenaga kerja. AQL mungkin mengekalkan kesalahan-kesalahan masa lalu.
2. Pendekatan Kerusakan Nol
Standar kerja yang mengharuskan produk atau jasa yang diproduksi dan dijual sesuai
dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan merupakan definisi dari kerusakan nol.
Kerusakan nol mencerminkan filosofi Total Quality Control (TQC). Standar kerusakan nol ini
merupakan standar yang mungkin saja tidak tercapai sepenuhnya. Namun, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa standar tersebut dicapai dengan hasil yang mendekati ke standar yang
telah ditentukan tersebut. Kerusakan dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau
kurangnya perhatian. Kurangnya pengetahuan dapat diatasi dengan kepemimpinan yang lebih
efektif. Perlu diperhatikan juga bahwa konsep kerusakan nol ini juga berarti bahwa
manajemen harus berusaha mengeliminasi biaya-biaya kegagalan dan terus menerus mencari
cara-cara baru agar dapat meningkatkan kualitas.
3. Biaya Kualitas Optimal
Terdapat dua sudut pandang yang digunakan dalam mengoptimalisasi biaya kualitas. Masingmasing pandangan memberikan suatu gambaran bagi manajer perusahaan dalam mengelola
biaya kualitas yang ada di perusahaan, seperti yang diutarakan oleh Hansen dan Mowen
(2004:447): Adapun uraian mengenai kedua pandangan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pandangan Tradisional
Dalam sistem akuntansi manajemen tradisional optimalisasi biaya kualitas
menggunakan asumsi bahwa terdapat trade off antara biaya pencegahan dan biaya penilaian
(control cost) dengan biaya kegagalan internal dan eksternal (failure cost). Apabila control
cost meningkat maka failure cost akan menurun. Sepanjang penurunan biaya failure cost
lebih dari kenaikan control cost maka perusahaan perlu melanjutkan usaha pencegahan
produk rusak dalam hal ini yang akan meningkatkan control cost tidak dapat lagi menurunkan
failure cost. Oleh karena itu, sistem akuntansi manajemen tradisional menoleransi kegagalan
pada tingkat tertentu yang lebih sering dikenal dengan istilah acceptable quality level atau
AQL. Secara konseptual dan praktikal tidak diketahui alasan mengapa posisi biaya total
minimum pada pandangan ini bukannya pencapaian kualitas 100%.
b. Pandangan Kontemporer (Zero Defect)
Dalam pandangan ini tingkat optimal biaya kualitas terjadi jika tidak ada produk rusak
(zero defect). Model cacat nol (zero defect model) menyatakan bahwa dengan mengurangi
unit cacat hingga nol maka akan diperoleh keunggulan biaya. Pengelolaan biaya kualitas ini
dilakukan dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan menurut sudut pandang
tradisional.
Menurut Hansen dan Mowen (2004:447), terdapat tiga perbedaan dari kedua
pandangan itu, antara lain:
1. Biaya pengendalian tidak meningkat tanpa batas ketika mendekati kondisi kegagalan nol.
2. Biaya pengendalian dapat naik dan kemudian turun ketika mendekati kondisi kegagalan
nol.
3. Biaya produk gagal dapat ditekan menjadi nol.
4. Jenis-jenis Laporan Kinerja Kualitas
Laporan kinerja kualitas harus mengukur realisasi kemajuan atau perkembangan
program penyempurnaan kualitas dalam suatu organisasi. Terdapat empat jenis kemajuan
yang dapt diukur dan dilaporkan antara lain (Supriyono, 2002:402-411):
a. Laporan standar kualitas interim
Suatu organisasi harus menetapkan standar kualitas interin setiap tahunnya dan
membuat rencana untuk mencapai tingkat yang ditargetkan. Pada akhir periode,
laporan standar kualitas interim membandingkan biaya kualitas aktual untuk periode
tersebut dengan anggaran biayanya. Jadi, laporan standar kualitas interim dapat
digunakan untuk menunjukkan kemajuan yang berhubungan dengan standar atau
sasaran periode sekarang. Keunggulan laporan standar kualitas interim yaitu
perusahaan dapat memantau biaya kualitas sesungguhnya yang telah dikeluarkan,
dibandingkan dengan standar biaya kualitas yang dianggarkan. Sedangkan kelemahan
laporan standar kualitas interim yaitu laporan standar
kualitas interim hanya melihat
biaya kualitas yang sesungguhnya dan biaya kualitas yang dianggarkan tanpa melihat
faktor-faktor lain seperti aktivitas-aktivitas kualitas yang dilaksanakan perusahaan
bernilai tambah atau tidak sehingga perusahaan bisa mengurangi biaya yang timbul
karena aktivitas tidak bernilai tambah.
PT. Cintanusa
Laporan Kinerja Standar Interim: Biaya Kualitas
Tahun 1993
Kelompok
Biaya pencegahan:
Biaya tetap:
Pelatihan kualitas
Perekayasaan kualitas
Jumlah
Biaya Penilaian:
Biaya tetap:
Inspeksi bahan
Penerimaan produk
Penerimaan proses
Jumlah
Biaya Kualitas Sesungguhnya
Biaya Kualitas Dianggarkan
Selisih
Rp 90.000,00
120.000,00
Rp 210.000,00
Rp 80.000,00
120.000,00
Rp 200.000,00
Rp 10.000,00 R
0
Rp 16.000,00 R
Rp 40.000,00
20.000,00
60.000,00
Rp 120.000,00
Rp 56.000,00
30.000,00
54.000,00
Rp 140.000,00
Rp 16.000,00
10.000,00
6.000,00
Rp 20.000,00
L
L
R
L
Kegagalan internal:
Biaya variabel:
Sisa
Pengerjaan kembali
Jumlah
Rp 90.000,00
60.000,00
Kegagalan eksternal:
Biaya tetap:
Keluhan pelanggan
Biaya Variabel:
Garansi (jaminan)
Reparasi
Jumlah
Rp 50.000,00
40.000,00
30.000,00
Rp 120.000,00
Rp 115.000,00
Jumlah biaya kualitas
Rp 600.000,00
Rp 596.000,00
12,00%
11,92%
Persentase dari penjualan ##
Rp 150.000,00
Rp 78.000,00
63.000,00
Rp 141.000,00
Rp 12.000,00 R
3.000,00 L
Rp 9.000,00 R
Rp 50.000,00
30.000,00
35.000,00
0
10.000,00 R
5.000,00 L
Rp 5.000,00 R
Rp
4.000,00 R
0,08% R
Keterangan:
# Anggaran fleksibel berdasar penjualan sesungguhnya
## Penjualan sesungguhnya = Rp 5.000.000,00
b. Laporan biaya kualitas trend satu periode
Laporan biaya kualitas trend satu periode digunakan untuk menunjukkan kemampuan
yang berhubungan dengan kinerja kualitas tahun terakhir. Manajemen dapat memperoleh
wawasan tambahan dengan membandingkan kinerja tahun ini dengan cara membandingkan
biaya kualitas yang sesungguhnya terjadi pada tahun ini dan biaya kualitas yang
sesungguhnya tahun sebelumnya. Wahana untuk melakukan perbandingan tersebut adalah
laporan biaya kualitas trend satu periode karena periode yang digunakan satu tahun.
Keunggulan laporan biaya kualitas trend satu periode yaitu laporan ini memungkinkan
manajer untuk menilai trend jangka pendek dari program perbaikan kualitas perusahaan dan
menghasilkan informasi yang rinci mengenai wilayah-wilayah yang menghasilkan
keuntungan. Sedangkan kelemahan laporan biaya kualitas trend satu periode yaitu laporan ini
hanya menilai trend jangka pendek (satu tahun) sehingga penurunan biaya kualitas pada
periode tersebut belum tentu bisa dipertahankan pada periode-periode berikutnya.
PT. Cintanusa
Laporan Kinerja: Biaya Kualitas, Trend Satu Tahun
Tahun 1993
Kelompok
Biaya pencegahan:
Biaya Sesungguhnya 1993
Biaya Kualitas Sesungguhnya 1992
Selisih
Biaya tetap:
Pelatihan kualitas
Perekayasaan kualitas
Jumlah
Rp 90.000,00
120.000,00
Rp 210.000,00
Rp 92.000,00
200.000,00
Rp 292.000,00
Rp 2.000,00 L
80.000,00 L
Rp 82.000,00 L
Rp 40.000,00
20.000,00
60.000,00
Rp 120.000,00
Rp 62.500,00
38.300,00
62.400,00
Rp 163.200,00
Rp 22.500,00
18.300,00
2.400,00
Rp 43.200,00
Rp 86.000,00
70.000,00
Rp 150.000,00
Rp 4.000,00 R
10.000,00 L
Rp 6.000,00 L
Biaya Penilaian:
Biaya tetap:
Inspeksi bahan
Penerimaan produk
Penerimaan proses
Jumlah
Kegagalan internal:
Biaya variabel:
Sisa
Pengerjaan kembali
Jumlah
Kegagalan eksternal:
Biaya tetap:
Keluhan pelanggan
Biaya Variabel:
Garansi (jaminan)
Reparasi
Jumlah
Jumlah biaya kualitas
Persentase dari penjualan #
Rp 90.000,00
60.000,00
Rp 150.000,00
Rp 50.000,00
40.000,00
30.000,00
Rp 66.000,00
36.000,00
32.800,00
L
L
L
L
Rp 16.000,00 L
Rp 120.000,00
Rp 134.800,00
4.000,00 R
2.800,00 L
Rp 14.800,00 L
Rp 600.000,00
Rp 746.000,00
Rp 146.000,00 L
12,00%
14,92%
2,92% L
Keterangan:
# Penjualan sesungguhnya untuk tahun 1992 dan tahun 1993 besarnya sama yaitu Rp 5.000.000,00
c. Laporan trend biaya kualitas
Laporan ini untuk menunjukkan kemajuan sejak awal mula program penyempurnaan
kualitas dan menyediakan informasi yang berhubungan dengan perubahan relatif biaya
kualitas periode sebelumnya. Laporan ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai
kemajuan program peningkatan kualitas sejak mulai diterapkan. Keunggulan laporan trend
biaya kualitas yaitu perusahaan dapat memantau trend biaya kualitas yang tercermin
persentase biaya terhadap penjualan dan perusahaan berusaha untuk memperbaiki aktivitasaktivitas kualitas sehingga tercapai penurunan biaya kualitas yang stabil sampai mencapai
target yang telah ditetapkan.
d. Laporan biaya kualitas jangka panjang
Laporan ini menunjukkan kemajuan yang berhubungan dengan standar atau sasaran jangka
panjang. Laporan ini membandingkan biaya kualitas yang sesungguhnya terjadi untuk periode ini
dengan biaya yang diharapkan jika standar sama dengan tingkat penjualan periode ini.
PT. Cintanusa
Laporan Kinerja Jangka Panjang
Tahun 1993
Kelompok
Biaya pencegahan:
Biaya tetap:
Pelatihan kualitas
Perekayasaan kualitas
Jumlah
Biaya Penilaian:
Biaya tetap:
Inspeksi bahan
Penerimaan produk
Penerimaan proses
Jumlah
Kegagalan internal:
Biaya variabel:
Sisa
Pengerjaan kembali
Jumlah
Biaya Kualitas Sesungguhnya
Biaya Kualitas Dianggarkan
Selisih
Rp 210.000,00
Rp 50.000,00
40.000,00
Rp 90.000,00
Rp 40.000,00 R
80.000,00 R
Rp 120.000,00 R
Rp 40.000,00
20.000,00
60.000,00
Rp 120.000,00
Rp 20.000,00
15.000,00
Rp 35.000,00
Rp 90.000,00
120.000,00
Rp 90.000,00
60.000,00
Rp 150.000,00
Rp 20.000,00
20.000,00
45.000,00
Rp 85.000,00
L
L
R
L
Rp Rp 0
Rp 90.000,00 R
60.000,00 L
Rp 150.000,00 R
Rp -
Rp 50.000,00 R
40.000,00 R
30.000,00 L
Rp 120.000,00 R
Kegagalan eksternal:
Biaya tetap:
Keluhan pelanggan
Biaya Variabel:
Garansi (jaminan)
Reparasi
Jumlah
Rp 50.000,00
Rp 120.000,00
Rp 0
Jumlah biaya kualitas
Rp 600.000,00
Rp 125.000,00
Rp 475.000,00 R
12,00%
2,50%
9,50% R
Persentase dari penjualan #
40.000,00
30.000,00
Keterangan:
# Penjualan sesungguhnya untuk tahun 1993 sebesar Rp 5.000.000,00
C. TARGET COSTING
Pengertian target costing menurut Robert S.Kaplan dan A.A. Atkonsin ( 1998 : 224 )
adalah sebagai berikut : ‘Target costing is a cost management tool that planner use during
product and process design to drive improvement effort aimed at reducing the product’s
future manufacturing’.
Pengertian target costing menurut Revee (2000 : 385) adalah sebagai berikut : ‘Target
costing is defined as a cost management tool for reducing the overall cost of a product over
its entire life cycle with the help of production, engineering, R&D, marketing and accounting
departements’. Sedangkan pengertian target costing menurut Gorrison dan Noreen (2000 :
880) adalah sebagai berikut : ‘ Target costing is the process of determining the maximum
allowable cost for a new product and then developing a prototype that can be profitably made
for that maximum target cost figure.’
Maka dapat disimpulkan bahwa target costing adalah metode perencanaan laba dan
manajemen biaya yang difokuskan pada produk dengan mempertimbangkan proses
manufaktur sehingga metode target costing ini dapat digunakan oleh perancang sebelum
produk dan proses desain dilakukan untuk mencapai tujuan perbaikan usaha pada
pengurangan biaya operasional produk di masa depan. Target costing digunakan selama tahap
perencanaan dan menuntun dalam pemilihan produk dan proses desain yang akan
menghasilkan suatu produk yang dapat diproduksi pada biaya yang diijinkan pada suatu
tingkat laba yang dapat diterima serta memberikan perkiraan harga pasar produk, volume
penjualan dan tingkat fungsionalitas. Diatas semua itu, target costing merupakan alat yang
memperhatikan dan memfasilitasi komunikasi antar anggota dari cross-functional team yang
bertanggung jawab pada desain produk. Target costing lebih ke arah customer oriented,
semuanya ditentukan oleh konsumen dari harga, kualitas dan fungsi yang dibutuhkan oleh
konsumen.
Target costing merupakan perbedaan antara harga jual produk atau jasa yang
diperlukan untuk mencapai pangsa pasar tertentu dengan laba per satuan yang diinginkan
perusahaan. ( Hansen dan Mowen 2009 : 361 ). Harga penjualan mencerminkan spesifikasi
produk atau fungsi yang dinilai oleh pelanggan . Jika target biaya kurang dari apa yang saat
ini dapat tercapai, maka manajemen harus menemukan cara untuk melakukan penurunan
biaya yang menggerakkan biaya aktual ke target biaya. Mengupayakan penurunan biaya
adalah tantangan utama dari perhitungan target costing.
Perhitungan target costing merupakan metode pengerjaan terbalik dari harga untuk
menentukan biaya. Perhitungan target costing dapat digunakan paling efektif pada tahap
desain dan pengembangan siklus hidup produk. Pada tahap tersebut, keunggulan produk dan
biayanya masih cukup mudah disesuaikan. Target costing dimulai dengan memperkirakan
harga produk yang mencerminkan fungsi dan atribut produk serta kekuatan pesaing pasar.
Input pada proses target costing adalah vector harga pasar fungsional produk (market price
product functionality vektor) dimana proses perencanaan produk harus sesuai dengan target
yang mencerminkan kumpulan dari fungsi produk dimana produk tersebut harus sampai pada
konsumen. Disini terdapat dua elemen penting dalam perencanaan produk, yaitu :
1. Konsumen atau pasar pada umumnya menentukan harga yang akan dibayar untuk
produk dan fungsi desainnya. 18
2. Untuk memperluas usaha dimana ada pasar untuk produk yang sama tapi dengan
fungsi yang berbeda.
Proses target costing
Tujuan Pangsa Pasar
Target Harga
Fungsi Produk
Target laba
Target Biaya
Desain produk dan proses
Target biaya terpenuhi
Produksi produk
Proses target costing dibagi menjadi empat langkah utama, yaitu market driven costing,
product-level target costing, component-level target costing dan chained target costing.
1. Market Driven Costing
Proses ini dimulai dengan mengidentifikasi target harga penjualan yang merupakan
harga antisipasi produk saat diluncurkan. Harga ini harus dapat mencerminkan nilai hasil
pengamatan dari produk dimata konsumen, antisipasi relatif fungsional dan harga jual dari
penawaran yang kompetitif dan tujuan strategi perusahaan untuk produk. Manager dalam
merancang target harga pasar juga harus mengetahui hargaharga produk pesaing. Jika produk
pesaing mempunyai fungsi dan kualitas yang lebih tinggi maka target harga jual perusahaan
harus lebih rendah dari harga jual pesaing.
Jika fungsi dan kualitas produk perusahaan lebih tinggi maka harga jual dapat sama
dengan harga pesaing (meningkatkan market share) atau di atas harga pesaing (meningkatkan
profit) sehingga akhirnya strategi perusahaan untuk produk dimasa akan datang membantu
mempengaruhi harga jual pertama kali. Perusahaan mungkin ingin mengatur harga lebih
rendah untuk memperoleh market share dengan cepat atau harga yang lebih tinggi untuk
meningkatkan keuntungan jangka panjang secara keseluruhan dan menciptakan image secara
teknis yang bagus.
Setelah mengatur target harga, proses pembiayaan yang dikendalikan oleh pasar
(market driven costing) ini dilanjutkan dengan penetapan batas target laba 20 untuk produk
yang digantikan pada awal generasi, batas ini akan menjadi tanda batas laba secara historis
yang didapat oleh produk yang sudah ada. Batas historis ini disesuaikan dengan dua factor
tambahan yatu : a. Berapa biaya yang tidak biasa berada di depan (front-end), misalnya riset
and development, atau di belakang (back-end), misalnya sampah dari life-cycle. b.
Memperbaiki tujuan laba pada product line. Pada langkah terakhir, manajer menghitung
allowable cost dengan mengurangkan batas target laba dari harga yang ditargetkan. Allowable
cost merupakan biaya dimana produk harus dibuat jika itu untuk mendapatkan batas target
laba pada harga target penjualan. Tujuan dari proses market driven-costing adalah untuk
menyusun target cost yang akan dicapai.
2. Product-level Target Costing
Proses ini dimulai dengan biaya umum (current cost) dari produk yang dituju. Hal ini
merupakan biaya dimana perusahaan akan meluncurkan produk barunya tanpa perjanjian
dengan pengubah desain atau memperkenalkan proses yang memperbaiki proses manufaktur
yang sudah ada. Tanda pertentangan antara current cost dengan allowable cost memberikan
tim proyek suatu perkiraan dari pentingnya kesempatan pengurangan biaya yang harus
diidentifikasi untuk mencapai allowable cost. Tujuan pengurangan biaya tersebut dibagi
menjadi dua bagian, yaitu : a. Bagian yang dapat diterima 21 Bagian yang dapat diterima
yaitu pada tujuan target pengurangan biaya yang menangkap tingkat pengurangan biaya
dimana tim desain percaya bahwa mereka dapat memperoleh usaha mempertimbangkan
pengeluaran sebelum proses desain.
Ada 3 tipe dari teknik engineering yang memainkan peranan penting dalam mencapai
tujuan pengurangan target cost, yaitu value engineering, QFD dan design for manufactured
and assembly. b. Bagian yang tidak dapat diterima Bagian yang tidak dapat diterima pada
tujuan pengurangan biaya tersebut merupakan penghalang strategi pengurangan biaya.
Penghalang ini identik dengan sejauh mana perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan
lain. Morse et al (1996 : 236) menyatakan bahwa pembagian tujuan pengurangan biaya antara
yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima tersebut diambil berdasarkan
kemampuan dalam mempertimbangkan.
Pengaturan target costing pada tingkat produk yang terlalu agresif akan menghasilkan
target cost yang tidak dapat diterima dan bahkan merupakan kesalahan pada disiplin dari
target cost. Peraturan penting pada target cost adalah bahwa target cost tidak dapat dilanggar.
Pelaksanaan peraturan yang keras mengimpilikasikan bahwa jika tim desain menemukan cara
untuk memperbaiki fungsi produk, mereka dapat menggabungkan perbaikab itu hanya jika
mereka juga mengidentifikasi bagaimana menyeimbangkan tingkat additional cost.
Pengecualian dapat terjadi hanya jika fungsi yang diperbaiki mengijinkan target harga jual
ditingkatkan oleh jumlah yang 22 tersedia. Jika tim desain tidak dapat mencapai target cost
pada tingkat produk, maka aplikasi dari peraturan penting tersebut membutuhkan proyek
yang kecil. Ini merupakan aplikasi yang keras dari peraturan penting dimana perusahaan yang
berbeda benar-benar melaksanakan target cost dibandingkan dengan eprhitungan dari yang
diijinkan.
3. Component-level Target Costing
Dalam proses ini, tim desai target cost untuk setiap komponen yang berada di dalam
produk yang akan datang, target cost pada tingkat komponen ini membangun harga jual
supplier. Oleh karena itu, component-level target cost ini menyebabkan tekanan kompetitif
yang dihadapi oleh perusahaan terutama oleh supplier. Fungsi utama tersebut mencerminkan
kemampuan kerja yang penting dimana produk harus memilikinya dalam memenuhi
permintaan fungsi utamanya. Chief engineer menyusun target costing sebagai fungsi utama.
Engineer memutuskan tema dari produk dan memutuskan bahwa ada fungsi tertentu yang
harus diutamakan. Setelah fungsi utama target cost disusun, kemudian tim desain harus dapat
menemukan cara untuk mendesain fungsi tersebut pada setiap fungsi utama agar bisa
diproduksi pada target cost nya. Kemudian tim membagi fungsi utama ke dalam komponen-
komponen dan membagi target cost berdasarkan tingkat fungsi utama ke dalam component
level cost.
Adapun jumlah dari component level target cost harus sama dengan fungsi utama
yang mengisinya. 23 Component level target cost membangun harga jual yang dapat diijinkan
oleh supplier. Perusahaan tidak ingin menekan laba dari komponen supplier mereka menjadi
nol. Mereka ingin meyakinkan bahwa jumlah supply chain tersebut merupakan pendapatan
laba yang cukup untuk bertahan hidup, sementara mengirim produk permintaan konsumen
dengan biaya yang rendah. Oleh karena itu, mereka membawa supplier utama ke dalam
proses produk desain sedini mungkin. Supplier menyediakan dan menerima input ke dalam
proses desain untuk mengurangi biaya. Supplier juga menyediakan perkiraan biaya untuk
setiap komponen.
4. Chained Target Costing
Di lingkungan persaingan yang saat ini semakin tinggi, ini tidak begitu
menguntungkan untuk kebanyakan produsen yang efisien, karena ini juga membutuhkan
supply chain yang efisien. Salah satu cara utama untuk mendapatkan supply chain yang
efisien adalah melalui penggunaan chained target costing system. Sistem chained target
costing adalah rantai dimana output dari sistem target cost pembeli menjadi input dari sistem
target cost supplier. Bersaing yang dihadapi oleh pembeli kepada perancang produk supplier.
Jika supplier-nya supplier juga menggunakan target costing, maka rangkaian ini dlanjutkan
pada supply chain. Dengan cara ini, rangkaian sistem target cost memindahkan tekanan
bersaing untuk mengurangi biaya dari pembeli kepada supply chain sehingga membuat
jumlah rantai menjadi lebih efisien.
a.
Penentuan Biaya Produksi dengan metode Target Costing
Target costing merupakan perbedaan antara harga jual produk atau jasa yang
diperlukan untuk mencapai pangsa pasar tertentu dengan laba per satuan yang diinginkan
perusahaan menurut Hansen dan Mowen 2009 : 361 ). Apabila target cost yang telah dihitung
dibawah harga pokok produk yang sekarang dapat tercapai, maka manajemen harus
merencanakan suatu program pengurangan biaya untuk menurunkan biaya yang sekarang
dikeluarkan untuk menghasilkan produk ke target cost. Kemajuan yang dicapai dari program
pengurangan biaya tersebut diukur dengan membandingkan biaya sesungguhnya dengan
target cost.
Target costing merupakan sistem akuntansi biaya yang menyediakan informasi bagi
manajemen untuk memungkinkan manajemen memantau kemajuan yang dicapai dalam
pengurangan biaya produk menuju target cost yang telah ditetapkan. Dengan menggunakan
target costing ini maka dapat diketahui berapa biaya produksi yang diperkenankan, yaitu
dengan : Biaya produksi = harga jual – laba yang diinginkan perusahaan dari harga jual
Sebagai contoh, misalkan sebuah perusahaan X mempertimbangkan memproduksi mesin
penggali baru. Spesifikasi produk saat ini dan pangsa pasar yang ditarget meminta harga jual
mesin penggali baru adalah Rp 25.000.000,-. Laba yang 28 diinginkan oleh perusahaan
adalah Rp 5.000.000,- per unit. Target cost dihitung sebagai berikut : Target cost = Rp
25.000.000,- – Rp 5.000.000,- = Rp 20.000.000,- Pada saat sekarang ini, biaya produksi
sesungguhnya perusahaan adalah Rp 23.000.000,-. Dengan demikian pengurangan biaya
yang harus dilakukan agar perusahaan dapat mencapai target cost adalah sebesar Rp
3.000.000,- ( Rp 23.000.000,- – Rp 20.000.000,- ). Perusahaan harus mengupayakan
pengurangan biaya dengan menganalisis biaya produksi perusahaan dan mengurangi biayabiaya yang dapat dikurangkan untuk mencapai target cost tersebut. Target costing menyajikan
informasi perbandingan biaya produk sesungguhnya dengan target cost secara periodik untuk
memungkinkan manajemen memantau kemajuan program pengurangan biaya menuju target
cost.
b. Tujuan dan Alasan Menggunakan Target Costing
Tujuan metode target costing adalah untuk merancang biaya produk pada tahap
perencanaan daripada mencoba mengurangi biaya selama tahap manufaktur. Terdapat dua
alasan mengapa target costing sebaiknya digunakan perusahaan didalam situasi pasar yang
sangat kompetitif saat ini : 1. Perusahaan tidak dapat menentukan dan mengendalikan harga
jual produknya secara sepihak saja. Bila dibanding dengan tingkat permintaan, tingkat
penawaran jauh lebih tinggi sehingga pasar (konsumen) disini memegang peranan yang 29
sangat penting dalam menentukan harga suatu produk. Oleh karena itu perusahaan harus
menerapkan metode target costing untuk antisipasi harga pasar tersebut. 2. Sebagian besar
biaya produk ditentukan pada tahap desain. Bila produk sudah didesain dan lalu mulai
diproduksi, maka sedikit yang dapat dilakukan untuk melakukan pengurangan biaya secara
signifikan. Padahal kesempatan dalam melakukan pengurangan biaya terletak pada saat mendesain produknya. Perbedaan antara target costing dengan pendekatan untuk pengembangan
produk yang lain sangat mendalam. Yaitu, daripada mendesain produk dan kemudian mencari
berapa biayanya, lebih baik target costing disusun dulu dan kemudian produk baru didesain,
sehingga targetnya dapat diperoleh. (Gorrison dan Noreen, 2000 : 880-881)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Manajemen
Dosen Pengampu:
Supami Wahyu Setyowati, SE.,MSA
Disusun Oleh :
Amin Satriyo Mei Cahyo
13510043
Rizaldi Umar Sidiq
13510125
M. Fahrudin
13510135
Akhmad Muzaki
13510141
Umi Nafisah Rahmawati
13510154
Rofi Nesti Rahayu
13510160
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016
A. Manajemen Persediaan JIT
Perubahan lingkungan tradisional ke pemanufakturan maju yang diikuti dengan
persaingan tajam bahkan berlevel global mengakibatkan system manajemen dengan
pendekatan tradisional yang berbasis Economic Order Quantity (EOQ) dan metode minimalmaksimal tidak cocok lagi dalam lingkungan yang baru sehingga mendorong perusahaan
menggunakan Just In Time (JIT).
Dalam kondisi ideal, perusahaan yang menjalankan JIT akan membeli bahan baku
hanya untuk kebutuhan hari itu saja. Perusahaan tidak memiliki persediaan barang dalam
proses pada akhir hari tersebut, dan semua barang jadi yang diselesaikan hari itu telah
dikirimkan ke konsumen begitu produksi selesai. Dengan demikian, JIT berarti bahan baku
yang diterima segera masuk ke proses produksi, bahan-bahan produksi yang lain segera
digabungkan dan dikerjakan, dan produk yang telah jadi segera dikirimkan ke konsumen
Manufaktur JIT (Just in itme manufacturing) adalah suatu system berdasarkan tarikan
permintaan yang membutuhkan barang untuk ditarik melalui system oleh permintaan yang
membutuhkan barang untuk ditarik melalui system oleh permintaan yang ada, bukan
didorong kedalam system pada waktu tertentu berdasarkan permintaan yang diantisipasi.
Kebanyakan restoran cepat saji, seperti McDonalds, menggunakan system tarikan untuk
mengontrol persediaan barang jadi mereka. Ketika seorang pelanggan memesan hamburger,
maka hamburger itu diambil dari rak. Ketika jumlah hamburger mulai menipis maka juru
masak mulai memasak hamburger yang baru. Permintaan pelanggan manarik seluruh bahan
baku melalui system. Prinsip yang sama digunakan dalam mengatur proses produksi sehingga
setiap operasi memproduksi produk yang diperlukaan untuk memuaskan permintaan dari
operasi yang mendahuluinya.
JIT memiliki dua tujuan strategis yaitu: Untuk meningkatkan laba, dan memperbaiki
posisi bersaing perusahaan. Kedua tujuan ini dicapai dengan mengendalikan biaya,
memperbaiki kinerja pengiriman, dan meningkatkan kualitas1.
Just In Time merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki implikasi penting
dalam manajemen biaya. Ide dasar Just In Time sangat sederhana, yaitu berproduksi hanya
apabila ada permintaan (full system) atau dengan kata lain hanya memproduksi sesuatu yang
diminta, pada saat diminta, dan hanya sebesar kuantitas yang diminta.
Prinsip dasar Just In Time adalah peningkatan kemampuan perusahaan secara terus
menerus untuk merespon perubahan dengan minimisasi pemborosan.
Menurut Henri
Simamora dalam bukunya Akuntansi Manajemen, Just In Time adalah suatu keseluruhan
1
Hansen.Mowen. Management Accounting Edisi 7. 2005. Salemba Empat:Jakarta. Hal:477
filosofi operasi manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku
cadang, personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan2.
Perusahaan yang menerapkan Just In Time (JIT) akan mendapatkan keuntungan
antara lain : a) modal kerja dapat ditunjang dengan adanya persediaan karena penguranganpengurangan biaya persediaan, b)lokasi yang tadinya untuk menyimpan persediaan dapat
digunakan untuk aktivitas lain sehingga produktivitas meningkat.ik, c) waktu untuk
melakukan aktivitas produksi berkurang, sehingga dapat menghasilkan jumlah proudk lebih
banyak dan lebih cepat merespon konsumen.dan d) tingkat produk cacat berkurang,
menakibatkan penghematan dan kepuasan konsumen meningkat.
1. Prinsip Dasar Just in Time
Konsep dasar Just In Time sangat sederhana, yaitu berproduksi hanya apabila ada
permintaan atau dengan kata lain hanya memproduksi sesuatu yang diminta, pada saat
diminta, dan hanya sebesar kuantitas yang diminta. Prinsip dasar Just In Time adalah
peningkatan kemampuan perusahaan secara terus menerus untuk merespon perubahan dengan
memperkecil pemborosan. Terdapat empat aspek pokok dalam konsep Just In Time yaitu:
a. Menghilangkan semua aktifitas atau sumber-sumber yang tidak memberikan value
terhadap produk atau jasa yang dihasilkan
b. Menjaga kualitas barang yang diproduksi.
c. Mendorong perbaikan berkesinambungan untuk meningkatkan efisiensi (continuous
improvement).
d. Menyederhanakan aktivitas produksi dengan minimalisir biaya penyimpanan
persediaan
Intinya bahwa konsep just in time langsung di terapkan secara keseluruhan dari
persediaan itu, yakni mulai dari proses pembelian sampai dengan digunakan untuk proses
produksi barang. Perusahaan yang menggunakan pembelian Just In Time akan dapat menekan
hidden cost yang berhubungan dengan menahan tingkat persediaan yang tinggi. Biaya
tersembunyi ini meliputi jumlah ruang penyimpanan yang lebih besar dan biaya pemeliharaan
persediaan digudang3.
Untuk mengaplikasikan metode JIT maka ada tujuh prinsip yang harus dijadikan dasar
pertimbangan di dalam menentukan strategi sistem produksi, yaitu3:
1. Berproduksi sesuai dengan pesanan Jadual Produksi Induk
Sistem manufaktur baru akan dioperasikan untuk menghasilkan produk menunggu
setelah diperoleh kepastian adanya order dalam jumlah tertentu masuk. Tujuan
2
3
Rizki Mahrira. Manajemen Persediaan.2013
Supriyadi. Just In Time : Alat Pengendali Persediaan yang Efektiv. 2012
utamanya untuk memproduksi finished goods tepat waktu dan sebatas pada jumlah
yang ingin dikonsumsikan saja (Just in Time), untuk itu proses produksi akan
menghasilkan sebanyak yang diperlukan dan secepatnya dikirim ke pelanggan yang
memerlukan untuk menghindari terjadinya stock serta untuk menekan biaya
penyimpanan (holding cost).
2. Produksi dilakukan dalam jumlah lot (Lot Size) yang kecil untuk menghindari
perencanaan dan lead time yang kompleks seperti halnya dalam produksi jumlah
besar. Fleksibilitas aktivitas produksi akan bisa dilakukan, karena hal tersebut
memudahkan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam rencana produksi
terutama menghadapi perubahan permintaan pasar.
3. Mengurangi pemborosan (Eliminate Waste)
Pemborosan (waste) harus dieliminasi dalam setiap area operasi yang ada. Semua
pemakaian sumber-sumber input (material, energi, jam kerja mesin atau orang, dan
lain-lain) tidak boleh melebihi batas minimal yang diperlukan untuk mencapai target
produksi.
4. Perbaikan aliran produk secara terus menerus.
(Continous Product Flow Improvement) Tujuan pokoknya adalah menghilangkan
proses-proses yang menimbulkan bottleneck dan semua kondisi yang tidak produktif
(idle, delay, material handling, dan lain-lain) yang bisa menghambat kelancaran aliran
produksi.
5. Penyempurnaan kualitas produk (Product Quality Perfection)
Kualitas produk merupakan tujuan dari aplikasi Just in Time dalam sistem produksi.
Disini selalu diupayakan untuk mencapai kondisi “Zero Defect” dengan cara
melakukan pengendalian secara total dalam setiap langkah proses yang ada. Segala
bentuk penyimpangan haruslah bisa diidentifikasikan dan dikoreksi sedini mungkin.
6. Respek terhadap semua orang/karyawan (Respect to People)
Dengan metode Just in Time dalam sistem produksi setiap pekerja akan diberi
kesempatan dan otoritas penuh untuk mengatur dan mengambil keputusan apakah
suatu aliran operasi bisa diteruskan atau harus dihentikan karena dijumpai adanya
masalah serius dalam satu stasiun kerja tertentu.
7. Mengurangi segala bentuk ketidak pastian (Seek to Eliminate Contigencies)
Inventori yang ide dasarnya diharapkan bisa mengantisipasi demand yang berfluktuasi
dan segala kondisi yang tidak terduga, justru akan berubah menjadi waste bilamana
tidak segera digunakan. Begitu pula rekruitmen tenaga kerja dalam jumlah besar
secara tidak terkendali seperti halnya yang umum dijumpai dalam aktivitas proyek
akan menyebabkan terjadinya pemborosan bilamana tidak dimanfaatkan pada
waktunya. Oleh karena itu dalam perencanaan dan penjadualan produksi harus bisa
dibuat dan dikendalikan secara teliti. Segala bentuk yang memberi kesan
ketidakpastian harus bisa dieliminir dan harus sudah dimasukkan dalam pertimbangan
dan formulasi model peramalannya.
Ketujuh prinsip pelaksanaan Just in Time dalam sistem produksi di atas bukanlah
suatu komitmen perusahaan yang diaplikasikan dalam jangka waktu pendek, melainkan harus
dibangun secara berkelanjutan dan merupakan komitmen semua pihak dalam jangka panjang.
Dalam jangka pendek, ada kemungkinan aplikasi Just in Time dalam sistem produksi justru
akan menambah biaya produksi mengikuti konsekuensi proses terbentuknya kurva belajar.
2. Karakteristik JIT
a. Tata letak pabrik
Jit mengganti tata letak pabrik dengan sel manufaktur yang terdiri dari mesin mesin
yang dikelompokkan dalam kumpulan, biasanya dalam bentuk setengah lingkaran.
Mesin-mesin diatur sehingga mereka dapat digunakan untuk melakukan berbagai
operasi secara berurutan.
b. Pengelompokan dan pemberdayaan karyawan
Para karyawan diberikan suatu tingkat partisipasi yang lebih tinggi dalam manajemen
organisasi. Masukan pekerja dipandang dan digunakan untuk memperbaiki proses
produksi. Para manajer akan bertindak lebih sebagai fasilitator daripada sebagai
seorang supervisor.
c. Total Quality Control
TQC pada intinya adalah suatu pengejaran tanpa henti untuk kualitas yang sempurna,
usaha untuk mendapatkan suatu desain produk dan proses manufaktur tanpa cacat.
d. Ketertelusuran Biaya Overhead
JIT pada umumnya menurunkan persediaan hingga tingkat yang sangat rendah. JIT
menolak untuk menggunakan persediaan sebagai pemborosan namun sbagai solusi
dari masalah-masalah ini. Bahkan, persediaan tidak hanya dipandang sebagai
pemborosan namun dipandang sebagai suatu yang langsung berhubungan dengan
kemampuan perusahaan untuk bersaing4.
3. Biaya Persiapan dan Penyimpaan Pendekatan JIT
4
Hansen.Mowen. Management Accounting Edisi 7. 2005. Salemba Empat:Jakarta. Hal:479
JIT merupakan pendekatan untuk meminimalkan total biaya penyimpanan dan biaya
persiapan yang sangat berbeda dari pendekatan tradisional. Pendekatan tradisional
mengakui keberadaan persiapan dan kemudian menentukan kuantitas pesnan. JIT
tidak menerima biaya persiapan (atau pemesanan), JIT mencoba menekan biaya-biaya
sampai nol. Jika biaya persiapan dan biaya pemesanan menjadi tidak signifikan, maka
biaya yang tersisa untuk dikurangi adalah biaya penyimpanan, yang dicapai dengan
mengurangi persediaan sampai ke tingkat yang sangat rendah5.
Perbandingan manufaktur JIT dengan tradisional :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
JIT
Sistem tarik
- Persediaan tidak signifikan
- Pemasok kecil
- Kontrak pemasok jangka panjang
- Struktur selular
- Tenaga kerja berkeahlian ganda
- Pelayanan terdesentralisasi
- Keterlibatan karyawan tinggi
- Gaya manajemen memfasilitasi
- Pengendalian kualitas tota..
-Dominasi penelusuran langsung
(perhitungan biaya produk)
-
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tradisional
Sistem dorong
Persediaan signifikan
Pemasok besar
Kontrak pemasok jangka pendek
Struktur departemental
Tenaga kerja terspesialisasi
Pelayanan tersentralisasi
Keterlibatan karyawan rendah
Gaya manajemen mengawasi
Tingkat kualitas yang dapat diterima
Dominasi penelusuran penggerak
(perhitungan biaya produk)
Kontrak Jangka Panjang, Pengisian Kembali yang Berkelanjutan, Pertukaran Data
Elektronik dan JIT II. Dengan pengisian kembali berkelanjutan, pembuat barang mengambil
alih fungsi manajemen persediaan pengecer. Pembuat barang memberitahu pengecer kapan
dan berapa banyak persediaan yang harus dipesan kembali.
Pertukaran data elektronik adalah suatu bentuk awal dari perdagangan elektronik yang
pada intinya adalah suatu metode terotomatisasi dari pengiriman informasi dari komputer ke
komputer.Pengaturan bersama sering didukung dengan kontrak terbuka, jangka panjang yang
dianggap sebagai suatu kontrak abadi. Kontrak abadi tidak memiliki tanggal berakhir, tidak
membutuhkan penawaran ulang, sehingga menurunkan resiko permintaan bagi pemasok.
4.
Kierja Jatuh Tempo Solusi JIT
Kinerja jatuh tempo adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk menanggapi
kebutuhan pelanggan. Sistem JIT memcahkan masalah kinerja jatuh tempo bukan
dengan menimbun persediaan, tetapi dengan mengurangi tenggang waktu secara
5
Ibid. Hal 482
dramaris. Tenggang waktu yng lebih singkat akan meningkatkan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi tanggal penyerahan dan merespon dengan cepat
permintaan pasar. Jadi daya saing perusahaan dapat meningkat.
5. Menghindari Penghentian Produksi Dan Keandalan Proses
Kebanyakan penghentian produksi terjadi karena salah satu dari tiga alasan :
kegagalan mesin, kecacatan bahan baku atau subperakitan, dan ketidaktersediaan bahan baku
atau subperakitan. Memiliki persediaan adalah suatu solusi tradisional atas semua masalah
tersebut6.
a. Pemeliharaan Pencegahan Total. Kegagalan mesin nol adalah tujuan pemeliharaan
pencegahan total. Dengan memberikan perhatian lebih pada pemeliharaan
pencegahan, sebagian besar kegagalan mesin dapat dihindari.
b. Pengendalian Kualitas Total. Masalah komponen yang cacat dengan berusaha
mencapai tingkat kerusahan nol. Karena manufaktur JIT tidak mengendalikan
persediaan untuk menggantikan komponen atau bahan yang rusak, maka penekanan
pada kualitas baik untuk bahan baku yang diproduksi secara eksternal meningkat
dengan tajam.
c. Sistem Kanban. Untuk menjamin bahwa komponen atau bahan baku tersedia ketika
dibutuhkan, digunakan sebuah sistem yang disebut sistem kanban. Ini adalah sebuah
sistem informasi yang mengendalikan produksi melalui penggunaan tanda atau kartu.
Kanban penarikan merinci kuantitas proses berikutnya yang harus ditarik dari proses
sebelumnya. Kanban produksi merinci kualitas yang harus diproduksi oleh proses
sebelumnya. Kanban pemasok digunakan untuk memberitahukan pemasok agar
menyerahkan lebih banyak komponen; dan juga merinci komponen tersebut
dibutuhkan.
6. Diskon dan Kenaikan Harga : Pembelian JIT versus Menyimpan Persediaan
Secara tradisional, persediaan disimpan sehingga perusahaan dapat mengambil
keuntungan diskon kuantitas dan melindungi diri dari kenaikan harga di masa mendatang atas
barang yang dibeli. Tujuannya adalah untuk menurunkan biaya persediaan. Sistem JIT
mencapai tujuan yang sama tanpa harus menyimpan persediaan. Solusi JIT adalah
menegosiasikan kontrak jangka panjang dengan sejumlah kecil pemasok terpilih yang
6
Ibid. Hal.484
berlokasi sedekat mungkin dengan fasilitas produksi dan membangun keterbatasan pemasok
secara lebih intensif.
7. Keterbatasan JIT
JIT bukan merupakan pendekatan yang dapat dibeli dan diterapkan dengan hasil
segera. Implementasinya merupakan proses evolusioner, bukan revolusioner. Di sini
dibutuhkan kesabaran. JIT sering kali disebut sebagai program penyederhanaan – namun ini
bukan berarti ia mudah atau sederhana untuk diterapkan.
Pekerja juga dapat terpengaruh oleh JIT. Dari studi yang dilakukan terlihat bahwa
pengurangan dan peyangga persediaan secara tajam dapat menyebabkan arus kerja yang
terpecah dan tingkat stress yang tinggi diantara para pekerja produksi. Kekurangan yang
paling menonjol dari JIT adalah tidak adanya persediaan untuk menyangga berhentinya
produksi. Pilihan lain, yang mungkin sebagai pendekatan pelengkap, adalah teori kendala
(TOC).
Teori Kendala
Setiap perusahaan menghadapi sumber daya yang terbatas dan permintaan yang
terbatas atas setiap produk. Keterbatasan-keterbatasn ini disebut kendala7.
Konsep Dasar
TOC memfokuskan pada tiga ukuran kinerja organisasi : throughput, persediaan, dan
beban operasi. Throughput adalah tingkat di mana suatu organisasi menghasilkan uang
melalui penjualan. Dalam istilah operasional, throughput adalah selisih antara pendapatn
penjualan dan biaya variabel tingkat unit seperti bahan baku dan listrik. Persediaan adalah
seluruh uang yang dikeluarkan organisasi dalam mengubah bahan baku menjadi throughput.
Beban operasi disefinisikan sebagai seluruh uang yang dikeluarkan organisasi untuk
mengubah persediaan menjadi throughput.
Produk yang Lebih Baik. Produk yang lebih baik berarti kualitas yang lebih tinggi. Hal ini
juga berarti bahwa perusahaan mampu memperbaiki produk dan menyediakan produk yang
sudah diperbaiki tersebut secara cepat ke pasar.
Harga yang Lebih Rendah. Persediaan yang rendah akan mengurangi biaya penyimpanan,
biaya investasi per unit, dan beban operasi lainnya seperti lembur dan beban pengiriman
khusus. Harga yang lebih rendah atau margin produk yang lebih tinggi dapat saja terjadi jika
kondisi kompetitif tidak memerlukan pemotongan harga.
Daya Tanggap. Tingkat persediaan menandakan kemampuan perusahaan untuk merespon.
Tingkat yang tinggi secara relatif terhadap pesaing akan mengakibatkan kelemahan
7
Ibid. Hal 490
kompetitif. Dengan kata lain, TOC menekankan pengurangan persediaan dengan mengurangi
teggang waktu.
Langkah-langkah TOC.
Teori kendala menggunakan lima langkah untuk mencapai tujuan memperbaiki
kinerja organisasi8 :
1. Mengidentifikasi kendala(-kendala) perusahaan.
2. Mengeksploitasi kendala(-kendala) yang mengikat.
3. Mensubordinasi apa saja yang lain dari keputusan yang dibuat pada langkah 2.
4. Mengangkat kendala(-kendala) yang mengikat.
5. Mengulangi proses.
Contoh Penerapan JIT :
Sebuah toko perbaikan TV lokal menggunakan 36.000 unit suku cadang tiap tahun
(rata-rata 100unit setiap hari kerja). Biaya Penempatan dan penerimaan pesanan adalah $20.
Toko memesan dalam lot berisi 400unit. Biaya penyimpanan persediaan per unit per tahun
adalah $4.
1. Total Biaya Pemesanan Tahunan
Biaya Pemesanan
= PD/Q
=$20x36.000/400
=$1.800
2. Total Biaya Penyimpana Tahunan
Biaya Penyimpanan =CQ/2
=$4x400/2
=$800
3. Total Biaya Persediaan Tahunan
Biaya Total
= Biaya Pemesanan + Biaya Penyimpanan
= $1.800 + $800
= $2.600
4. EOQ
EOQ = (2PD/C)½
=(2x20x36.000/4)½
=(36.000)½
=600
5. Total Biaya Persediaan tahunan dengan menggunakan kebijakan persediaan EOQ
8
Ibid hal 492
Biaya = (PD/Q) + (CQ/2)
= ($20x36.000/600) + ($4x600/2)
= $1.200 + $1.200
= $2.400
6. Berapakah yang dihemat setiap tahun dengan menggunakan EOQ dibanding dengan
menggunakan pesanan sebesar 400unit?
Penghematan = $2.600 - $2.400 = $200
7. Titik pemesanan kembali, asumsi tenggang waktu 3 hari
ROP = 100x3 = 300unit
8. Asumsi bahwa penggunaan suku cadang bisa mencapai 110unit/hari. Hitung
persediaan pengaman dan titik balik.
Persediaan pengaman = (110-100)3 = 30unit
ROP
= 110x3 = 330 unit atau 300 + 30 = 330 unit
B. Cost of Equality
1. Pengertian Kualitas
Terdapat berbagai macam pengertian dari kualitas, Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kualitas adalah ukuran baik buruknya sesuatu. Kualitas dapat pula didefinisikan
sebagai tingkat keunggulan. Jadi kualitas adalah ukuran relatif kebaikan (Supriyono, 1994 :
377-378). Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik
produk atau jasa yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan pelanggan
baik yang dinyatakan secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kualitas sebagai kecocokan untuk digunakan
yang artinya pemakai produk atau jasa seharusnya dapat memperhitungkan apa yang mereka
butuhkan dan inginkan pada produk atau jasa tersebut. Hansen dan Mowen (2004:441),
mendefinisikan kualitas sebagai berikut:
Quality is a relative measure of goodness
Definisi ini mengandung pengertian bahwa kualitas merupakan tingkat keunggulan
(excellence) atau ukuran relatif dari kebaikan (goodness). Sedangkan menurut Tjiptono dan
Diana (2003:3), terdapat beberapa kesamaan elemen-elemen dari sekian banyak definisi
kualitas yang ada, sebagai berikut:
1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan.
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap
merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa yang
akan datang).
Berdasarkan ketiga elemen di atas, kualitas adalah usaha yang dilakukan oleh manusia
(perusahaan) untuk memenuhi atau melebihi harapan pelanggan yang selalu berubah dan
dinamis, melalui produk, jasa, proses, dan lingkungan yang dihasilkan.
2. Dimensi Kualitas
Kualitas produk atau jasa adalah sesuatu yang memenuhi atau melebihi ekspektasi
pelanggan. Ekspektasi pelanggan itu dapat dijelaskan ke dalam delapan dimensi kualitas,
yaitu: (Hansen dan Mowen, 2006:6)
1. Kinerja (Performance), adalah tingkat konsistensi dan kebaikan fungsi-fungsi produk.
2. Estetika (Aesthetics), berhubungan dengan penampilan wujud produk (misalnya, gaya
dan keindahan) serta berhubungan dengan penampilan fasilitas, peralatan, personalia,
dan materi komunikasi yang berkaitan dengan jasa.
3. Kemudahan perawatan dan perbaikan (Serviceability), berkaitan dengan tingkat
kemudahan merawat dan memperbaiki produk.
4. Keunikan (Features), adalah karakteristik produk yang berbeda secara fungsional dari
produk-produk sejenis.
5. Reliabilitas (Reability), adalah probabilitas produk atau jasa menjalankan fungsi
dimaksud dalam jangka waktu tertentu.
6. Durabilitas (Durability), didefinisikan sebagai umur manfaat dari fungsi produk.
7. Tingkat kesesuaian (Quality of Conformance), merupakan ukuran mengenai apakah
sebuah produk atau jasa telah memenuhi spesifikasinya.
8. Pemanfaatan (Fitness for use), adalah kecocokan dari sebuah produk menjalankan
fungsi-fungsi sebagaimana yang diiklankan. Apabila sebuah produk mengandung
cacat desain yang parah, maka produk tersebut tidak bisa berfungsi meskipun tingkat
kesesuaian sesuai dengan spesifikasinya. Produk yang dikembalikan para pelanggan
seringkali disebabkan oleh adanya masalah dalam dimensi pemanfaatan ini.Dengan
demikian perbaikan kualitas berarti perbaikan satu atau lebih dari delapan dimensi
diatas sementara tetap mempertahankan kinerja dimensi yang lain.
3. Pengertian Biaya Kualitas
Biaya Kualitas (Biaya Mutu) atau dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Quality
Cost adalah Biaya-biaya yang timbul dalam penanganan masalah Kualitas (Mutu), baik
dalam rangka meningkatkan Kualitas maupun biaya yang timbul akibat Kualitas yang buruk
(Cost of Poor Quality). Dengan kata lain, Biaya Kualitas (Quality Cost) adalah semua biaya
yang timbul dalam Manajemen Kualitas (Quality Management). Secara mudah biaya kualitas
didefinisikan suatu biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan kualitas suatu barang yang
dihasilkan.
Sedangkan menurut Hansen dan Mowen (2004:443) mengatakan bahwa biaya
kualitas adalah biaya yang timbul karena mungkin atau telah terdapat produk yang buruk
kualitasnya. Dari definisi-definisi biaya kualitas yang dikemukakan diatas, terdapat beberapa
persamaan yaitu:
1. Biaya kualitas adalah biaya yang terjadi karena adanya atau kemungkinan adanya kualitas
produk yang rendah di dalam suatu perusahaan.
2. Biaya kualitas berhubungan dengan penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan
pencegahan produk cacat.
4. Pengklasifikasian Biaya Kualitas
Biaya kualitas berhubungan dengan dua sub kategori dari kegiatan- kegiatan yang
berhubungan dengan kualitas antara lain (Hansen dan Mowen, 2004:443):
a. Aktivitas Pengendalian (Control Activities), Kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan
untuk mencegah dan mendeteksi kualitas yang buruk (karena kualitas yang buruk
mungkin terjadi). Kegiatan pengendalian terdiri dari kegiatan pencegahan dan kegiatan
penilaian.
b. Aktivitas karena Kegagalan (Failure Activities), Kegiatan yang dilakukan oleh
perusahaan atau konsumen untuk merespon kualitas yang buruk (kualitas yang buruk
memang telah terjadi). Kegiatan karena kegagalan terdiri dari kegiatan karena kegagalan
internal dan kegagalan eksternal.
5. Informasi Biaya Kualitas
Pelaporan biaya kualitas mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan dan memberi
dasar perencanaan pengendalian, dan pembuatan keputusan manajerial. Sebagai contoh,
dalam mengkualitaskan penerapan program pemilihan pemasok untuk menghasilkan kualitas
masukan bahan, seorang manajer akan memerlukan penilaian terhadap:
1. Biaya kualitas saat ini untuk setiap kelompok.
2. Tambahan biaya yang berhubungan dengan program tersebut.
3. Penghematan yang diproyeksikan untuk setiap elemen dan setiap kelompok.
Pelaporan biaya kualitas sangat penting peranannya bagi suatu perusahaan apabila
perusahaan itu benar-benar serius menerapkannya dan memandang penting peningkatan
kualitas dan pengendalian biaya kualitas. Langkah pertama yang dilakukan adalah penilaian
biaya kualitas yang sesungguhnya terjadi saat ini. Daftar biaya kualitas yang sesungguhnya
terjadi untuk setiap kelompok biaya dapat memberikan dua pandangan, yaitu:
1. Daftar tersebut menunjukkan biaya kualitas untuk masing-masing kelompok sehingga
memungkinkan para manajer memperkirakan dampak keuangannya.
2. Daftar tersebut menunjukkan distribusi biaya kualitas setiap kelompok sehingga
memungkinkan para manajer untuk menaksir biaya relatif setiap kelompok.
6. Pemilihan Standar Kualitas
Dalam pemilihan standar kualitas dapat digunakan dua pendekatan, yaitu
(Supriyono,
2002:395-397):
1. Pendekatan Tradisional
Dalam pendekatan tradisional, standar kualitas yang dianggap tepat adalah tingkat
kualitas yang dapat diterima yang disebut acceptable quality level atau AQL. AQL
merupakan standar kualitas yang sederhana yang mengijinkan kemungkinan terjadinya
sejumlah tertentu produk rusak yang akan diproduksi dan dijual. Sebagai contoh, jika AQL
ditentukan sebesar 4%. Dalam kasus ini, lot produk atau produksi berjalan dan mempunyai
produk rusak tidak lebih dari 4% dapat dikirimkan kepada pelanggan. Biasanya AQL
menunjukkan status pengoperasian saat ini, bukan apa yang mungkin dicapai jika perusahaan
mempunyai program kualitas yang unggul. Sebagai dasar standar kualitas, AQL mempunyai
masalah yang sama dengan pengalaman masa lalu sebagai standar kualitas pemakaian bahan
dan tenaga kerja. AQL mungkin mengekalkan kesalahan-kesalahan masa lalu.
2. Pendekatan Kerusakan Nol
Standar kerja yang mengharuskan produk atau jasa yang diproduksi dan dijual sesuai
dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan merupakan definisi dari kerusakan nol.
Kerusakan nol mencerminkan filosofi Total Quality Control (TQC). Standar kerusakan nol ini
merupakan standar yang mungkin saja tidak tercapai sepenuhnya. Namun, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa standar tersebut dicapai dengan hasil yang mendekati ke standar yang
telah ditentukan tersebut. Kerusakan dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau
kurangnya perhatian. Kurangnya pengetahuan dapat diatasi dengan kepemimpinan yang lebih
efektif. Perlu diperhatikan juga bahwa konsep kerusakan nol ini juga berarti bahwa
manajemen harus berusaha mengeliminasi biaya-biaya kegagalan dan terus menerus mencari
cara-cara baru agar dapat meningkatkan kualitas.
3. Biaya Kualitas Optimal
Terdapat dua sudut pandang yang digunakan dalam mengoptimalisasi biaya kualitas. Masingmasing pandangan memberikan suatu gambaran bagi manajer perusahaan dalam mengelola
biaya kualitas yang ada di perusahaan, seperti yang diutarakan oleh Hansen dan Mowen
(2004:447): Adapun uraian mengenai kedua pandangan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pandangan Tradisional
Dalam sistem akuntansi manajemen tradisional optimalisasi biaya kualitas
menggunakan asumsi bahwa terdapat trade off antara biaya pencegahan dan biaya penilaian
(control cost) dengan biaya kegagalan internal dan eksternal (failure cost). Apabila control
cost meningkat maka failure cost akan menurun. Sepanjang penurunan biaya failure cost
lebih dari kenaikan control cost maka perusahaan perlu melanjutkan usaha pencegahan
produk rusak dalam hal ini yang akan meningkatkan control cost tidak dapat lagi menurunkan
failure cost. Oleh karena itu, sistem akuntansi manajemen tradisional menoleransi kegagalan
pada tingkat tertentu yang lebih sering dikenal dengan istilah acceptable quality level atau
AQL. Secara konseptual dan praktikal tidak diketahui alasan mengapa posisi biaya total
minimum pada pandangan ini bukannya pencapaian kualitas 100%.
b. Pandangan Kontemporer (Zero Defect)
Dalam pandangan ini tingkat optimal biaya kualitas terjadi jika tidak ada produk rusak
(zero defect). Model cacat nol (zero defect model) menyatakan bahwa dengan mengurangi
unit cacat hingga nol maka akan diperoleh keunggulan biaya. Pengelolaan biaya kualitas ini
dilakukan dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan menurut sudut pandang
tradisional.
Menurut Hansen dan Mowen (2004:447), terdapat tiga perbedaan dari kedua
pandangan itu, antara lain:
1. Biaya pengendalian tidak meningkat tanpa batas ketika mendekati kondisi kegagalan nol.
2. Biaya pengendalian dapat naik dan kemudian turun ketika mendekati kondisi kegagalan
nol.
3. Biaya produk gagal dapat ditekan menjadi nol.
4. Jenis-jenis Laporan Kinerja Kualitas
Laporan kinerja kualitas harus mengukur realisasi kemajuan atau perkembangan
program penyempurnaan kualitas dalam suatu organisasi. Terdapat empat jenis kemajuan
yang dapt diukur dan dilaporkan antara lain (Supriyono, 2002:402-411):
a. Laporan standar kualitas interim
Suatu organisasi harus menetapkan standar kualitas interin setiap tahunnya dan
membuat rencana untuk mencapai tingkat yang ditargetkan. Pada akhir periode,
laporan standar kualitas interim membandingkan biaya kualitas aktual untuk periode
tersebut dengan anggaran biayanya. Jadi, laporan standar kualitas interim dapat
digunakan untuk menunjukkan kemajuan yang berhubungan dengan standar atau
sasaran periode sekarang. Keunggulan laporan standar kualitas interim yaitu
perusahaan dapat memantau biaya kualitas sesungguhnya yang telah dikeluarkan,
dibandingkan dengan standar biaya kualitas yang dianggarkan. Sedangkan kelemahan
laporan standar kualitas interim yaitu laporan standar
kualitas interim hanya melihat
biaya kualitas yang sesungguhnya dan biaya kualitas yang dianggarkan tanpa melihat
faktor-faktor lain seperti aktivitas-aktivitas kualitas yang dilaksanakan perusahaan
bernilai tambah atau tidak sehingga perusahaan bisa mengurangi biaya yang timbul
karena aktivitas tidak bernilai tambah.
PT. Cintanusa
Laporan Kinerja Standar Interim: Biaya Kualitas
Tahun 1993
Kelompok
Biaya pencegahan:
Biaya tetap:
Pelatihan kualitas
Perekayasaan kualitas
Jumlah
Biaya Penilaian:
Biaya tetap:
Inspeksi bahan
Penerimaan produk
Penerimaan proses
Jumlah
Biaya Kualitas Sesungguhnya
Biaya Kualitas Dianggarkan
Selisih
Rp 90.000,00
120.000,00
Rp 210.000,00
Rp 80.000,00
120.000,00
Rp 200.000,00
Rp 10.000,00 R
0
Rp 16.000,00 R
Rp 40.000,00
20.000,00
60.000,00
Rp 120.000,00
Rp 56.000,00
30.000,00
54.000,00
Rp 140.000,00
Rp 16.000,00
10.000,00
6.000,00
Rp 20.000,00
L
L
R
L
Kegagalan internal:
Biaya variabel:
Sisa
Pengerjaan kembali
Jumlah
Rp 90.000,00
60.000,00
Kegagalan eksternal:
Biaya tetap:
Keluhan pelanggan
Biaya Variabel:
Garansi (jaminan)
Reparasi
Jumlah
Rp 50.000,00
40.000,00
30.000,00
Rp 120.000,00
Rp 115.000,00
Jumlah biaya kualitas
Rp 600.000,00
Rp 596.000,00
12,00%
11,92%
Persentase dari penjualan ##
Rp 150.000,00
Rp 78.000,00
63.000,00
Rp 141.000,00
Rp 12.000,00 R
3.000,00 L
Rp 9.000,00 R
Rp 50.000,00
30.000,00
35.000,00
0
10.000,00 R
5.000,00 L
Rp 5.000,00 R
Rp
4.000,00 R
0,08% R
Keterangan:
# Anggaran fleksibel berdasar penjualan sesungguhnya
## Penjualan sesungguhnya = Rp 5.000.000,00
b. Laporan biaya kualitas trend satu periode
Laporan biaya kualitas trend satu periode digunakan untuk menunjukkan kemampuan
yang berhubungan dengan kinerja kualitas tahun terakhir. Manajemen dapat memperoleh
wawasan tambahan dengan membandingkan kinerja tahun ini dengan cara membandingkan
biaya kualitas yang sesungguhnya terjadi pada tahun ini dan biaya kualitas yang
sesungguhnya tahun sebelumnya. Wahana untuk melakukan perbandingan tersebut adalah
laporan biaya kualitas trend satu periode karena periode yang digunakan satu tahun.
Keunggulan laporan biaya kualitas trend satu periode yaitu laporan ini memungkinkan
manajer untuk menilai trend jangka pendek dari program perbaikan kualitas perusahaan dan
menghasilkan informasi yang rinci mengenai wilayah-wilayah yang menghasilkan
keuntungan. Sedangkan kelemahan laporan biaya kualitas trend satu periode yaitu laporan ini
hanya menilai trend jangka pendek (satu tahun) sehingga penurunan biaya kualitas pada
periode tersebut belum tentu bisa dipertahankan pada periode-periode berikutnya.
PT. Cintanusa
Laporan Kinerja: Biaya Kualitas, Trend Satu Tahun
Tahun 1993
Kelompok
Biaya pencegahan:
Biaya Sesungguhnya 1993
Biaya Kualitas Sesungguhnya 1992
Selisih
Biaya tetap:
Pelatihan kualitas
Perekayasaan kualitas
Jumlah
Rp 90.000,00
120.000,00
Rp 210.000,00
Rp 92.000,00
200.000,00
Rp 292.000,00
Rp 2.000,00 L
80.000,00 L
Rp 82.000,00 L
Rp 40.000,00
20.000,00
60.000,00
Rp 120.000,00
Rp 62.500,00
38.300,00
62.400,00
Rp 163.200,00
Rp 22.500,00
18.300,00
2.400,00
Rp 43.200,00
Rp 86.000,00
70.000,00
Rp 150.000,00
Rp 4.000,00 R
10.000,00 L
Rp 6.000,00 L
Biaya Penilaian:
Biaya tetap:
Inspeksi bahan
Penerimaan produk
Penerimaan proses
Jumlah
Kegagalan internal:
Biaya variabel:
Sisa
Pengerjaan kembali
Jumlah
Kegagalan eksternal:
Biaya tetap:
Keluhan pelanggan
Biaya Variabel:
Garansi (jaminan)
Reparasi
Jumlah
Jumlah biaya kualitas
Persentase dari penjualan #
Rp 90.000,00
60.000,00
Rp 150.000,00
Rp 50.000,00
40.000,00
30.000,00
Rp 66.000,00
36.000,00
32.800,00
L
L
L
L
Rp 16.000,00 L
Rp 120.000,00
Rp 134.800,00
4.000,00 R
2.800,00 L
Rp 14.800,00 L
Rp 600.000,00
Rp 746.000,00
Rp 146.000,00 L
12,00%
14,92%
2,92% L
Keterangan:
# Penjualan sesungguhnya untuk tahun 1992 dan tahun 1993 besarnya sama yaitu Rp 5.000.000,00
c. Laporan trend biaya kualitas
Laporan ini untuk menunjukkan kemajuan sejak awal mula program penyempurnaan
kualitas dan menyediakan informasi yang berhubungan dengan perubahan relatif biaya
kualitas periode sebelumnya. Laporan ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai
kemajuan program peningkatan kualitas sejak mulai diterapkan. Keunggulan laporan trend
biaya kualitas yaitu perusahaan dapat memantau trend biaya kualitas yang tercermin
persentase biaya terhadap penjualan dan perusahaan berusaha untuk memperbaiki aktivitasaktivitas kualitas sehingga tercapai penurunan biaya kualitas yang stabil sampai mencapai
target yang telah ditetapkan.
d. Laporan biaya kualitas jangka panjang
Laporan ini menunjukkan kemajuan yang berhubungan dengan standar atau sasaran jangka
panjang. Laporan ini membandingkan biaya kualitas yang sesungguhnya terjadi untuk periode ini
dengan biaya yang diharapkan jika standar sama dengan tingkat penjualan periode ini.
PT. Cintanusa
Laporan Kinerja Jangka Panjang
Tahun 1993
Kelompok
Biaya pencegahan:
Biaya tetap:
Pelatihan kualitas
Perekayasaan kualitas
Jumlah
Biaya Penilaian:
Biaya tetap:
Inspeksi bahan
Penerimaan produk
Penerimaan proses
Jumlah
Kegagalan internal:
Biaya variabel:
Sisa
Pengerjaan kembali
Jumlah
Biaya Kualitas Sesungguhnya
Biaya Kualitas Dianggarkan
Selisih
Rp 210.000,00
Rp 50.000,00
40.000,00
Rp 90.000,00
Rp 40.000,00 R
80.000,00 R
Rp 120.000,00 R
Rp 40.000,00
20.000,00
60.000,00
Rp 120.000,00
Rp 20.000,00
15.000,00
Rp 35.000,00
Rp 90.000,00
120.000,00
Rp 90.000,00
60.000,00
Rp 150.000,00
Rp 20.000,00
20.000,00
45.000,00
Rp 85.000,00
L
L
R
L
Rp Rp 0
Rp 90.000,00 R
60.000,00 L
Rp 150.000,00 R
Rp -
Rp 50.000,00 R
40.000,00 R
30.000,00 L
Rp 120.000,00 R
Kegagalan eksternal:
Biaya tetap:
Keluhan pelanggan
Biaya Variabel:
Garansi (jaminan)
Reparasi
Jumlah
Rp 50.000,00
Rp 120.000,00
Rp 0
Jumlah biaya kualitas
Rp 600.000,00
Rp 125.000,00
Rp 475.000,00 R
12,00%
2,50%
9,50% R
Persentase dari penjualan #
40.000,00
30.000,00
Keterangan:
# Penjualan sesungguhnya untuk tahun 1993 sebesar Rp 5.000.000,00
C. TARGET COSTING
Pengertian target costing menurut Robert S.Kaplan dan A.A. Atkonsin ( 1998 : 224 )
adalah sebagai berikut : ‘Target costing is a cost management tool that planner use during
product and process design to drive improvement effort aimed at reducing the product’s
future manufacturing’.
Pengertian target costing menurut Revee (2000 : 385) adalah sebagai berikut : ‘Target
costing is defined as a cost management tool for reducing the overall cost of a product over
its entire life cycle with the help of production, engineering, R&D, marketing and accounting
departements’. Sedangkan pengertian target costing menurut Gorrison dan Noreen (2000 :
880) adalah sebagai berikut : ‘ Target costing is the process of determining the maximum
allowable cost for a new product and then developing a prototype that can be profitably made
for that maximum target cost figure.’
Maka dapat disimpulkan bahwa target costing adalah metode perencanaan laba dan
manajemen biaya yang difokuskan pada produk dengan mempertimbangkan proses
manufaktur sehingga metode target costing ini dapat digunakan oleh perancang sebelum
produk dan proses desain dilakukan untuk mencapai tujuan perbaikan usaha pada
pengurangan biaya operasional produk di masa depan. Target costing digunakan selama tahap
perencanaan dan menuntun dalam pemilihan produk dan proses desain yang akan
menghasilkan suatu produk yang dapat diproduksi pada biaya yang diijinkan pada suatu
tingkat laba yang dapat diterima serta memberikan perkiraan harga pasar produk, volume
penjualan dan tingkat fungsionalitas. Diatas semua itu, target costing merupakan alat yang
memperhatikan dan memfasilitasi komunikasi antar anggota dari cross-functional team yang
bertanggung jawab pada desain produk. Target costing lebih ke arah customer oriented,
semuanya ditentukan oleh konsumen dari harga, kualitas dan fungsi yang dibutuhkan oleh
konsumen.
Target costing merupakan perbedaan antara harga jual produk atau jasa yang
diperlukan untuk mencapai pangsa pasar tertentu dengan laba per satuan yang diinginkan
perusahaan. ( Hansen dan Mowen 2009 : 361 ). Harga penjualan mencerminkan spesifikasi
produk atau fungsi yang dinilai oleh pelanggan . Jika target biaya kurang dari apa yang saat
ini dapat tercapai, maka manajemen harus menemukan cara untuk melakukan penurunan
biaya yang menggerakkan biaya aktual ke target biaya. Mengupayakan penurunan biaya
adalah tantangan utama dari perhitungan target costing.
Perhitungan target costing merupakan metode pengerjaan terbalik dari harga untuk
menentukan biaya. Perhitungan target costing dapat digunakan paling efektif pada tahap
desain dan pengembangan siklus hidup produk. Pada tahap tersebut, keunggulan produk dan
biayanya masih cukup mudah disesuaikan. Target costing dimulai dengan memperkirakan
harga produk yang mencerminkan fungsi dan atribut produk serta kekuatan pesaing pasar.
Input pada proses target costing adalah vector harga pasar fungsional produk (market price
product functionality vektor) dimana proses perencanaan produk harus sesuai dengan target
yang mencerminkan kumpulan dari fungsi produk dimana produk tersebut harus sampai pada
konsumen. Disini terdapat dua elemen penting dalam perencanaan produk, yaitu :
1. Konsumen atau pasar pada umumnya menentukan harga yang akan dibayar untuk
produk dan fungsi desainnya. 18
2. Untuk memperluas usaha dimana ada pasar untuk produk yang sama tapi dengan
fungsi yang berbeda.
Proses target costing
Tujuan Pangsa Pasar
Target Harga
Fungsi Produk
Target laba
Target Biaya
Desain produk dan proses
Target biaya terpenuhi
Produksi produk
Proses target costing dibagi menjadi empat langkah utama, yaitu market driven costing,
product-level target costing, component-level target costing dan chained target costing.
1. Market Driven Costing
Proses ini dimulai dengan mengidentifikasi target harga penjualan yang merupakan
harga antisipasi produk saat diluncurkan. Harga ini harus dapat mencerminkan nilai hasil
pengamatan dari produk dimata konsumen, antisipasi relatif fungsional dan harga jual dari
penawaran yang kompetitif dan tujuan strategi perusahaan untuk produk. Manager dalam
merancang target harga pasar juga harus mengetahui hargaharga produk pesaing. Jika produk
pesaing mempunyai fungsi dan kualitas yang lebih tinggi maka target harga jual perusahaan
harus lebih rendah dari harga jual pesaing.
Jika fungsi dan kualitas produk perusahaan lebih tinggi maka harga jual dapat sama
dengan harga pesaing (meningkatkan market share) atau di atas harga pesaing (meningkatkan
profit) sehingga akhirnya strategi perusahaan untuk produk dimasa akan datang membantu
mempengaruhi harga jual pertama kali. Perusahaan mungkin ingin mengatur harga lebih
rendah untuk memperoleh market share dengan cepat atau harga yang lebih tinggi untuk
meningkatkan keuntungan jangka panjang secara keseluruhan dan menciptakan image secara
teknis yang bagus.
Setelah mengatur target harga, proses pembiayaan yang dikendalikan oleh pasar
(market driven costing) ini dilanjutkan dengan penetapan batas target laba 20 untuk produk
yang digantikan pada awal generasi, batas ini akan menjadi tanda batas laba secara historis
yang didapat oleh produk yang sudah ada. Batas historis ini disesuaikan dengan dua factor
tambahan yatu : a. Berapa biaya yang tidak biasa berada di depan (front-end), misalnya riset
and development, atau di belakang (back-end), misalnya sampah dari life-cycle. b.
Memperbaiki tujuan laba pada product line. Pada langkah terakhir, manajer menghitung
allowable cost dengan mengurangkan batas target laba dari harga yang ditargetkan. Allowable
cost merupakan biaya dimana produk harus dibuat jika itu untuk mendapatkan batas target
laba pada harga target penjualan. Tujuan dari proses market driven-costing adalah untuk
menyusun target cost yang akan dicapai.
2. Product-level Target Costing
Proses ini dimulai dengan biaya umum (current cost) dari produk yang dituju. Hal ini
merupakan biaya dimana perusahaan akan meluncurkan produk barunya tanpa perjanjian
dengan pengubah desain atau memperkenalkan proses yang memperbaiki proses manufaktur
yang sudah ada. Tanda pertentangan antara current cost dengan allowable cost memberikan
tim proyek suatu perkiraan dari pentingnya kesempatan pengurangan biaya yang harus
diidentifikasi untuk mencapai allowable cost. Tujuan pengurangan biaya tersebut dibagi
menjadi dua bagian, yaitu : a. Bagian yang dapat diterima 21 Bagian yang dapat diterima
yaitu pada tujuan target pengurangan biaya yang menangkap tingkat pengurangan biaya
dimana tim desain percaya bahwa mereka dapat memperoleh usaha mempertimbangkan
pengeluaran sebelum proses desain.
Ada 3 tipe dari teknik engineering yang memainkan peranan penting dalam mencapai
tujuan pengurangan target cost, yaitu value engineering, QFD dan design for manufactured
and assembly. b. Bagian yang tidak dapat diterima Bagian yang tidak dapat diterima pada
tujuan pengurangan biaya tersebut merupakan penghalang strategi pengurangan biaya.
Penghalang ini identik dengan sejauh mana perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan
lain. Morse et al (1996 : 236) menyatakan bahwa pembagian tujuan pengurangan biaya antara
yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima tersebut diambil berdasarkan
kemampuan dalam mempertimbangkan.
Pengaturan target costing pada tingkat produk yang terlalu agresif akan menghasilkan
target cost yang tidak dapat diterima dan bahkan merupakan kesalahan pada disiplin dari
target cost. Peraturan penting pada target cost adalah bahwa target cost tidak dapat dilanggar.
Pelaksanaan peraturan yang keras mengimpilikasikan bahwa jika tim desain menemukan cara
untuk memperbaiki fungsi produk, mereka dapat menggabungkan perbaikab itu hanya jika
mereka juga mengidentifikasi bagaimana menyeimbangkan tingkat additional cost.
Pengecualian dapat terjadi hanya jika fungsi yang diperbaiki mengijinkan target harga jual
ditingkatkan oleh jumlah yang 22 tersedia. Jika tim desain tidak dapat mencapai target cost
pada tingkat produk, maka aplikasi dari peraturan penting tersebut membutuhkan proyek
yang kecil. Ini merupakan aplikasi yang keras dari peraturan penting dimana perusahaan yang
berbeda benar-benar melaksanakan target cost dibandingkan dengan eprhitungan dari yang
diijinkan.
3. Component-level Target Costing
Dalam proses ini, tim desai target cost untuk setiap komponen yang berada di dalam
produk yang akan datang, target cost pada tingkat komponen ini membangun harga jual
supplier. Oleh karena itu, component-level target cost ini menyebabkan tekanan kompetitif
yang dihadapi oleh perusahaan terutama oleh supplier. Fungsi utama tersebut mencerminkan
kemampuan kerja yang penting dimana produk harus memilikinya dalam memenuhi
permintaan fungsi utamanya. Chief engineer menyusun target costing sebagai fungsi utama.
Engineer memutuskan tema dari produk dan memutuskan bahwa ada fungsi tertentu yang
harus diutamakan. Setelah fungsi utama target cost disusun, kemudian tim desain harus dapat
menemukan cara untuk mendesain fungsi tersebut pada setiap fungsi utama agar bisa
diproduksi pada target cost nya. Kemudian tim membagi fungsi utama ke dalam komponen-
komponen dan membagi target cost berdasarkan tingkat fungsi utama ke dalam component
level cost.
Adapun jumlah dari component level target cost harus sama dengan fungsi utama
yang mengisinya. 23 Component level target cost membangun harga jual yang dapat diijinkan
oleh supplier. Perusahaan tidak ingin menekan laba dari komponen supplier mereka menjadi
nol. Mereka ingin meyakinkan bahwa jumlah supply chain tersebut merupakan pendapatan
laba yang cukup untuk bertahan hidup, sementara mengirim produk permintaan konsumen
dengan biaya yang rendah. Oleh karena itu, mereka membawa supplier utama ke dalam
proses produk desain sedini mungkin. Supplier menyediakan dan menerima input ke dalam
proses desain untuk mengurangi biaya. Supplier juga menyediakan perkiraan biaya untuk
setiap komponen.
4. Chained Target Costing
Di lingkungan persaingan yang saat ini semakin tinggi, ini tidak begitu
menguntungkan untuk kebanyakan produsen yang efisien, karena ini juga membutuhkan
supply chain yang efisien. Salah satu cara utama untuk mendapatkan supply chain yang
efisien adalah melalui penggunaan chained target costing system. Sistem chained target
costing adalah rantai dimana output dari sistem target cost pembeli menjadi input dari sistem
target cost supplier. Bersaing yang dihadapi oleh pembeli kepada perancang produk supplier.
Jika supplier-nya supplier juga menggunakan target costing, maka rangkaian ini dlanjutkan
pada supply chain. Dengan cara ini, rangkaian sistem target cost memindahkan tekanan
bersaing untuk mengurangi biaya dari pembeli kepada supply chain sehingga membuat
jumlah rantai menjadi lebih efisien.
a.
Penentuan Biaya Produksi dengan metode Target Costing
Target costing merupakan perbedaan antara harga jual produk atau jasa yang
diperlukan untuk mencapai pangsa pasar tertentu dengan laba per satuan yang diinginkan
perusahaan menurut Hansen dan Mowen 2009 : 361 ). Apabila target cost yang telah dihitung
dibawah harga pokok produk yang sekarang dapat tercapai, maka manajemen harus
merencanakan suatu program pengurangan biaya untuk menurunkan biaya yang sekarang
dikeluarkan untuk menghasilkan produk ke target cost. Kemajuan yang dicapai dari program
pengurangan biaya tersebut diukur dengan membandingkan biaya sesungguhnya dengan
target cost.
Target costing merupakan sistem akuntansi biaya yang menyediakan informasi bagi
manajemen untuk memungkinkan manajemen memantau kemajuan yang dicapai dalam
pengurangan biaya produk menuju target cost yang telah ditetapkan. Dengan menggunakan
target costing ini maka dapat diketahui berapa biaya produksi yang diperkenankan, yaitu
dengan : Biaya produksi = harga jual – laba yang diinginkan perusahaan dari harga jual
Sebagai contoh, misalkan sebuah perusahaan X mempertimbangkan memproduksi mesin
penggali baru. Spesifikasi produk saat ini dan pangsa pasar yang ditarget meminta harga jual
mesin penggali baru adalah Rp 25.000.000,-. Laba yang 28 diinginkan oleh perusahaan
adalah Rp 5.000.000,- per unit. Target cost dihitung sebagai berikut : Target cost = Rp
25.000.000,- – Rp 5.000.000,- = Rp 20.000.000,- Pada saat sekarang ini, biaya produksi
sesungguhnya perusahaan adalah Rp 23.000.000,-. Dengan demikian pengurangan biaya
yang harus dilakukan agar perusahaan dapat mencapai target cost adalah sebesar Rp
3.000.000,- ( Rp 23.000.000,- – Rp 20.000.000,- ). Perusahaan harus mengupayakan
pengurangan biaya dengan menganalisis biaya produksi perusahaan dan mengurangi biayabiaya yang dapat dikurangkan untuk mencapai target cost tersebut. Target costing menyajikan
informasi perbandingan biaya produk sesungguhnya dengan target cost secara periodik untuk
memungkinkan manajemen memantau kemajuan program pengurangan biaya menuju target
cost.
b. Tujuan dan Alasan Menggunakan Target Costing
Tujuan metode target costing adalah untuk merancang biaya produk pada tahap
perencanaan daripada mencoba mengurangi biaya selama tahap manufaktur. Terdapat dua
alasan mengapa target costing sebaiknya digunakan perusahaan didalam situasi pasar yang
sangat kompetitif saat ini : 1. Perusahaan tidak dapat menentukan dan mengendalikan harga
jual produknya secara sepihak saja. Bila dibanding dengan tingkat permintaan, tingkat
penawaran jauh lebih tinggi sehingga pasar (konsumen) disini memegang peranan yang 29
sangat penting dalam menentukan harga suatu produk. Oleh karena itu perusahaan harus
menerapkan metode target costing untuk antisipasi harga pasar tersebut. 2. Sebagian besar
biaya produk ditentukan pada tahap desain. Bila produk sudah didesain dan lalu mulai
diproduksi, maka sedikit yang dapat dilakukan untuk melakukan pengurangan biaya secara
signifikan. Padahal kesempatan dalam melakukan pengurangan biaya terletak pada saat mendesain produknya. Perbedaan antara target costing dengan pendekatan untuk pengembangan
produk yang lain sangat mendalam. Yaitu, daripada mendesain produk dan kemudian mencari
berapa biayanya, lebih baik target costing disusun dulu dan kemudian produk baru didesain,
sehingga targetnya dapat diperoleh. (Gorrison dan Noreen, 2000 : 880-881)