HUKUM PEMDA Tanggung Jawab Perusahaan

BAB III
PEMBAHASAN
A. Sinkronisasi CSR (Corporate Social Responsibility) dan TJSL (Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan) dalam Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Perijinan
Rumah Susun dengan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait.
Peraturan perundangan yang terkait dengan tanggung jawab sosial dan
lingkungan serta CSR (selanjutnya disebut TJSL dan CSR) dalam hirearki
perundang-undangan dimulai dengan Undang-undang. Namun sampai saat ini
belum ada undang-undang yang mengatur tentang TJSL dan CSR secara tersendiri
dan terpisah. Pengaturan paling tinggi tentang TJSL dan CSR ini terdapat dalam
bab V Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Sedangkan untuk pengaturan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan.
Dalam prakteknya, penerapan kewajiban TJSL dan CSR ini kemudian
pada pelaksanaanya dilimpahkan kepada daerah dengan melalui dibentuknya
suatu peraturan daerah yang akan mengaturnya secara lebih rinci dan operasional.
Pelimpahan ini menggunakan teori kewenangan dimana pemerintah daerah
melaksanakan ketentuan peraturan diatasnya. Dalam hirearkinya CSR dan TJSL
ini memiliki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:



Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas



Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Sosial Lingkungan Perseroan Terbatas



Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2011
tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan



Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2012

Berkenaan dengan dituangkannya TJSL dan CSR dalam sebuah peraturan
perundang-undangan pelaksana yang semakin menunjukkan tingkat operasional

yang semakin detail, terdapat beberapa pihak dengan pemikiran yang berbeda
dalam menanggapinya. Ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa TJSL dan

CSR adalah suatu untuk kemanusiaan dan lingkungan sehingga harus diatur
secara tegas dan jelas serta dituangkan dalam bentuk peraturan yang sah dan
mengikat. Sedangkan pihak yang menentang mengemukakan bahwa pengaturan
tentang pelaksanaan TJSL dan CSR tidak perlu diatur dengan tegas menggunakan
peraturan perundang-undangan namun cukup diserahkan pada para pelaku untuk
bagaimana pengaturannya kedepannya. Dalam ranah hukum indonesia sendiri,
sebagai suatu negera berkembang dan sebagai negara tujuan investasi
internasional dan pemasaran produk luar negeri, pemerintah memandang bahwa
sangat dibutuhkan suatu perangkat yang mengatur dengan tegas tentang
perlindungan hukum bagi para pemangku kepentingan dari suatu perusahaan yang
pada kaitannya dengan TJSL dan CSR adalah para masyarakat sekitar, konsumen
dan karyawan/keluarganya.4
Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi sendiri mengenai pengaturan
tanggung jawab sosial ini perlu diatur dalam suatu peraturan perundangundangan. Hal ini karena beberapa poin berikut:
Pertama,

MK


menganggap

peraturan

perundangan

di

Indonesia

menjadikan TJSL sebagai suatu kewajiban hukum melalui rumusan Pasal 74
merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU untuk mengatur dan
menerapkan TJSL dengan suatu sanksi, dan hal ini adalah benar, karena:
1. Secara faktual, kondisi sosial dan lingkungan telah rusak di masa lalu
ketika perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan sehingga
merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya.5
2. Budaya hukum di Indonesia tidak sama dengan budaya hukum negara lain,
utamanya negara industri maju tempat konsep CSR pertama kali
diperkenalkan di mana CSR bukan hanya merupakan tuntutan bagi

perusahaan kepada masyarakat dan lingkungannya tetapi juga telah
dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja perusahaan dan syarat bagi
perusahaan yang akan go public. Dengan kata lain, MK tampaknya
berpendapat bahwa sesuai kultur hukum Indonesia, penormaan TJSL
4 Sri Redjeki Hartono, 2010, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Suatu Kajian Komprehensif,
diakses dari http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pedata/848-tanggung-jawab-sosialperusahaan-suatu-kajian-komprehensif.html pada Kamis 16 Mei 2013, 1.28
5 Mahkamah Konstitusi, Above no.4 bagian 3. Pertimbangan hukum, subbagian Pendapat
Mahkamah, nomor 3.19, hal 91

sebagai norma hukum yang diancam dengan sanksi hukum merupakan
suatu keharusan demi tegaknya TJSL atau CSR.6
3. Menjadikan TJSL sebagai kewajiban hukum dinilai oleh MK justru untuk
memberikan kepastian hukum sebab dapat menghindari terjadinya
penafsiran yang berbeda-beda tentang TJSL oleh perseroan sebagaimana
dapat terjadi bila TJSL dibiarkan bersifat sukarela. Hanya dengan cara
memaksa tersebut akan dapat diharapkan adanya kontribusi perusahaan
untuk ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.7
Kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 tidak
menjatuhkan pungutan ganda kepada perseroan sebab biaya perseroan untuk
melaksanakan TJSL berbeda dengan pajak.8 Lebih jauh, disebutkan oleh MK

bahwa pelaksanaan TJSL didasari oleh kemampuan perusahaan, dengan
memerhatikan kepatutan dan kewajaran, yang pada akhirnya akan diatur lebih
lanjut oleh PP. Demikian pula tentang sanksi bagi perseroan yang tidak
melaksanakan TJSL, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 74 ayat (3)
yang merujuk pada sanksi hukum yang terdapat pada perundang-undangan
sektoral merupakan rumusan yang tepat dan justru memberikan kepastian hukum,
bila dibandingkan kalau UU PT menetapkan sanksi tersendiri. 9 Jadi, Mahkamah
Konstitusi tidak sependapat dengan para pemohon yang mengatakan adanya
berbagai pasal dalam perundang-undangan yang juga mengatur tentang TJSL
mengakibatkan ketidak-pastian hukum dan tumpang tindih sehingga tidak dapat
mewujudkan TJSL yang efisien berkeadilan.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma hukum yang
mewajibkan pelaksanaan TJSL oleh perusahaan tidak berarti meniadakan konsep
demokrasi ekonomi yang berintikan pada efisiensi berkeadilan seperti diatur
dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan tidak akan membuat TJSL sekedar
formalitas perusahaan saja, sebab:
1. prinsip demokrasi ekonomi memberi kewenangan kepada Negara untuk
tidak hanya menguasai dan mengatur sepenuhnya kepemilikan dan
pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam, serta untuk memungut pajak
6 Ibid, hal 92

7 Ibid, hal 93
8 Ibid, hal 92
9 Ibid, hal 93

semata, melainkan juga kewenangan untuk mengatur pelaku usaha agar
mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.10
2. pelaksanaan TJSL menurut Pasal 74 tetap akan dilakukan oleh perseroan
sendiri sesuai prinsip kepatutan dan kewajaran, Pemerintah hanya berperan
sebagai pemantau. Dengan demikian, tak perlu dikhawatirkan akan terjadi
penyalah-gunaan dana TJSL ataupun membuat perseroan melaksanakan
TJSL hanya sebagai formalitas belaka.
3. pengaturan TJSL dalam bentuk norma hukum merupakan suatu cara
Pemerintah untuk mendorong perusahaan ikut serta dalam pembangunan
ekonomi rakyat.11
Dewasa ini, tanggung jawab sosial telah berkembang menjadi etika bisnis
yang memiliki pengaruh dalam keberlanjutan usaha dan terutama dalam
memberikan suatu konstribusi pengembalian kepada masyarakat sekitar
perusahaan tersebut. Dalam prakteknya, penerapan kewajiban TJSL dan CSR ini
kemudian dilimpahkan kepada daerah dengan melalui dibentuknya suatu
peraturan daerah yang akan mengaturnya secara lebih rinci dan operasional. Salah

satu dari peraturan daerah tersebut yang menjadi acuan dalam pembahasan
tentang TJSL dan CSR dari pembangunan rumah susun ini sendiri adalah
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan (selanjutnya disebut Perda Jatim No 4/2011). Hal ini
diperjelas dengan adanya petunjuk pelaksana terhadap peraturan tersebut, yakni
terdapat dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 Tahun 2012.
Peraturan daerah (selanjutnya disebut Perda) ini memuat ketentuanketentuan tentang TJSL dan CSR bagi perusahaan-perusahaan yang ada di daerah
Jawa Timur sekaligus menjadi acuan bagi pembentukan perda-perda pelaksana
lainnya. Untuk daerah Malang sendiri Rancangan Peraturan Daerah tentang TJSL
dan CSR yang menjadi peraturan pelaksana Perda Jatim ini telah diwacanakan
sejak bulan Mei tahun 2012 dan direncanakan akan selesai pada bulan Desember
2012. Namun hingga makalah ini dibuat, Raperda tersebut masih belum disahkan
menjadi Perda Kota Malang.

10 Ibid, hal 98
11 Ibid.

Dalam perda yang diangkat dalam makalah ini yaitu Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi
Perijinan Rumah Susun (selanjutnya disebut Perda Malang No 3/2007) tidak

dicantumkan secara gamblang tentang tanggung jawab sosial yang harus
dilakukan oleh suatu perusahaan. Perda ini tidak memuat pasal atau bab tentang
tanggung jawab sosial ataupun pengaturan tentang pelaksanaannya. Namun secara
komprehensif, yang diambil dalam perda ini justru adalah suatu cikal bakal dari
apa yang dapat diterapkan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan pembangun
atau developer rumah susun apabila rancangan peraturan daerah kota Malang
tentang TJSL dan CSR akan disahkan nanti.
Menurut Perda Jatim No 4/2011 sebagai acuan dari peraturan tentang TJSL
dan CSR selama perda Kota Malang masih belum disahkan, yang menjadi
Program TSP sesuai pasal 11 adalah meliputi:
1. bina lingkungan dan sosial;
2. kemitraan usaha mikro, kecil , dan koperasi; dan
3. program langsung pada masyarakat.
Penjelasan tentang ketiga program ini kemudian dijelaskan pada pasal 1214 yang jika dijelaskan secara ringkas adalah sebagai berikut :
1. Bina lingkungan sosial yaitu program yang bertujuan mempertahankan
fungsi-fungsi lingkungan hidup dan pengelolaannya serta memberi
bantuan langsung kepada masyarakat yang berada dalam wilayah
sasaran, meliputi bina lingkungan fisik, sosial, usaha mikro dan
koperasi. (pasal 12)
2. Program kemitraan usaha mikro ini merupakan program untuk

menumbuhkan, meningkatkan dan membina kemandirian berusaha
masyarakat di wilayah sasaran. Aspek-aspek kegiatan dalam program
ini cukup banyak dan rinci. (pasal 13)
3. Program langsung pada masyarakat ini cukup banyak jenisnya dan
biasanya merupakan yang paling sering dilakukan oleh perusahaanperusahaan seperti hibah, beasiswa, subsidi, bantuan sosial, pelayanan
sosial, maupun perlindungan sosial. (pasal 14)

Jika dikaitkan dengan TJSL dan CSR dalam Perda Malang No 3/2007
diatas maka dapat diamati bahwa tanggung jawab sosial yang dilakukan dapat
dilakukan oleh perusahaan developer rumahs susun dalam perda ini masuk dalam
kategori bina lingkungan sosial. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal yang
selaras dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang tercantum dalam perda
Malang 3/2007.12
Hampir semua aspek yang diperhatikan oleh perusahaan developer rumah
susun ini meninjau aspek kenyamanan, ketertiban serta keselarasan dengan
penghuni dan masyarakat sekitar rumah susun tersebut yang nantinya merupakan
pemangku kepentingan dalam TJSL dan CSR nanti. Sehingga bentuk program
TJSL yang paling mendekati sesuai dengan kriteria yang dicantumkan dalam
ketentuan Perda Jatim No 4/2011 adalah tentang Bina lingkungan sosial.
Sedangkan untuk para pihak yang memberi dan menerima hasil dari

tanggung jawab sosial dalam perda Malang No 3/2007 ini jika dikaitkan dengan
Perda Jatim No 4/2011 yaitu:
1. Pihak pemberi atau perusahaan. Dalam perda Malang No 3/2007 ini
telah disebutkan bahwa badan yang dimaksud dalam perda adalah
suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas,perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan,
firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga,
dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainya. 13
Pemilik adalah perseorangan atau Badan Hukum yang memiliki satuan
Rumah Susun yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas
tanah.
Pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh Pemerintah,
Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi dan Badan Usaha
Milik Swasta. (pasal 8 ayat (2))
2. Pemangku Kepentingan seperti yang sesuai dengan ketentuan adalah
penghuni rumah susun, masyarakat sekitar, dan karyawan/keluarganya.
12 Pasal-pasal ini akan diterangkan lebih lanjut pada bagian B pembahasan.
13 Lihat Ketentuan Umum pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 3 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Perijinan Rumah Susun


Sehubungan dengan pemangku kepentingan masyarakat, perusahaan
developer punya kewajiban menyediakan rumah susun yang layak huni dan
berada di lokasi yang tepat. Apabila perusahaan dalam operasinya terpaksa
memindahkan penduduk, maka dalam melakukan pemindahan perusahaan wajib
melaksanakan konsultasi dengan masyarakat yang tergusur dalam masalah:
1. persetujuan pindah dari masyarakat,
2. kesepakatan nilai kompensasi,
3. kesepakatan mekanisme pemberian kompensasi, dan
4. kepastian dilaksanakannya berbagai kesepakatan, melalui pengawasan
pihak ketiga apabila diperlukan.
Konsultasi dan negosiasi dengan masyarakat sekitar sebelum menggusur
juga termasuk salah satu tanggung jawab sosial dari perusahaan. Untuk
membangun suatu kesetaraan dan keseimbangan dengan lingkungan dan
masyarakat sekitar, perusahaan tidak bisa secara semena-mena mengadakan
penggusuran lahan warga. Karena itu butuh diadakan negosiasi dan pemberian
kompensasi kepada masyarakat sekitar.
Untuk menghindari masalah-masalah pada kedepannya maka sebelum
diadakan pendirian rumah susun, pertama-tama harus melewati tahap analisis
AMDAL untuk melihat kelayakan dan kesesuaian lokasi rumah susun tersebut.
Berikut adalah hasil analisis antara Perda No 3/2007 jika dikaitkan dengan
Peraturan Daerah Kota Malang No 15 Tahun 2001 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (berikutnya disebut sebagai Perda Malang 15/2001) yaitu:
Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Daerah Kota Malang Nomor
15 Tahun 2001 dijelaskan bahwa: Studi kelayakan pada umumnya meliputi
analisis dari aspek teknis dan aspek ekonomis-finansial. Dengan ayat ini, maka
studi kelayakan bagi usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi komponen analisis teknis,
analisis ekonomi-finansial, dan analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Oleh
karena itu, analisis mengenai dampak lingkungan hidup sudah harus disusun dan
mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab sebelum kegiatan
konstruksi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan. Hasil analisis
mengenai dampak lingkungan hidup dapat digunakan sebagai masukan bagi

penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, disamping dapat
digunakan sebagai masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah. Analisis
mengenai dampak lingkungan hidup khususnya dokumen rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup juga merupakan
dasar dalam sistem manajemen lingkungan (Environmental Management System)
usaha dan atau kegiatan.
Apabila kita lihat dalam Pasal 1 angka 18 Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rumah Susun, terdapat aturan yang serupa dalam
syarat kelayakan untuk membuat suatu bangunan. Dalam pasal ini dijelaskan
bahwa Rumah Susun harus dibangun dengan memenuhi Persyaratan teknis yaitu
persyaratan mengenai struktur bangunan, keamanan, keselamatan, kesehatan,
kenyamanan dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun termasuk
kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan serta disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Dan
untuk Persyaratan administratif terdapat didalam Pasal 1 angka 19 yaitu
persyaratan mengenai perijinan usaha dari penyelenggara pembangunan rumah
susun, ijin lokasi dan/atau peruntukkannya perijinan mendirikan bangunan, serta
ijin layak huni yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan.
Kedua hal tersebut juga telah diatur dan berkesesuaian dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan
Tanah. Dalam penjelasan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:


Ayat (1)

Syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah, yaitu dalam bentuk
pedoman teknis penatagunaan tanah yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari
penyelesaian administrasi pertanahan, antara lain pemindahan hak, peralihan hak,
peningkatan hak, penggabungan, dan pemisahan hak atas tanah.


Ayat (5)

Pedoman teknis penatagunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan
dan pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi, dan seimbang (LOSS) di
wilayah perdesaan, serta aman, tertib, lancar, dan sehat (ATLAS) di wilayah
perkotaan, yang menjadi persyaratan penyelesaian administrasi pertanahan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1).



Pasal 14

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini antara lain pedoman teknis
penatagunaan

tanah,

persyaratan

mendirikan

bangunan,

persyaratan

memanfaatkan bangunan, persyaratan dalam Analisis mengenai Dampak
Lingkungan, persyaratan usaha, dan ketentuan lainnya yang diatur dalam
peraturan perundangan-undangan.
Salah satu contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Dedy
Rahmawanto pada tahun 2001 tentang AMDAL dari rumah susun Kutobedeh
Kota Malang. Penelitian yang diadakan oleh Dedy ini terutama tentang hubungan
antara pembangunan rusun di perkampungan Kutobedah dengan dampak sosial
pada kawasan. Penelitian ini mengikutsertakan identifikasi aspek-aspek sosial,
demografi, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat yang mengalami
perubahan akibat adanya proyek rumah susun.
Hasil temuan Penelitian ini kemudian menunjukkan tidak adanya dampak
negatif yang timbul sebagai konsekuensi pembangunan rusun sehingga pada
akhirnya dapat menimbulkan implikasi bahwa pemecahan masalah perkampungan
kumuh di perkotaan dengan pengadaan rusun yang tidak menggusur penduduk
merupakan alternative yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah.
Hal ini adalah salah satu contoh nyata tanggung jawab sosial yang
seharusnya dilakukan oleh perusahaan pembangun/developer/pemilik rumah
susun dalam pengadaan proyek rumah susun tersebut yaitu dengan sebelumnya
melakukan penelitian tentang dampak pembangunan rumah susun tersebut
terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar proyek.
Selain itu bentuk TJSL dan CSR lainnya yang dapat diterapkan yaitu pada
para penghuni sekaligus masyarakat sekitar yaitu dengan penanaman pohon
disekitar lokasi rumah susun. Dengan adanya penanaman pohon ini selain
penghuninya mendapatkan lingkungan yang sehat didalam rumah susun, juga
menghijaukan dan melestarikan lingkungan dan pemukiman masyarakat sekitar
lokasi rumah susun.
B. Bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) dan TJSL (Tanggung
Jawab Sosial Dan Lingkungan) dalam Peraturan Daerah Kota Malang

Nomor 3 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Dan Retribusi Perijinan
Rumah Susun serta alasan Ketentuan Tersebut Diatur dalam Perda yang
Dimaksud
Tanggung jawab sosial adalah strategi perusahaan mempertahankan
keberlanjutannya, dengan memperhitungkan berbagai variabel internal dan
eksternal. Berbagai variabel tersebut berwujud pihak-pihak yang dapat
terpengaruh serta mempengaruhi jalannya operasi perusahaan dalam mencapai
tujuannya. Jika dikaitkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan pembangun
rumah susun, maka pihak-pihak yang dapat terpengaruh dalam pengoperasian
rumah susun ini adalah penghuni dan masyarakat serta karyawan/keluarganya
sekitar rumah susun tersebut merupakan beberapa di antara banyak pemangku
kepentingan yang sahih, sehingga dampak perusahaan terhadap mereka harus
dipikirkan dengan masak.
Salah satu wujud tanggung jawab sosial perusahaan ada yang bersifat
internal dan bersifat eksternal. Tanggung jawab sosial yang bersifat internal
adalah menjamin kesejahteraan para karyawan. Karyawan beserta keluarganya
merupakan bagian tidak terpisahkan dalam roda produksi perusahaan. Sedangkan
yang secara eksternal, wujud CSR adalah minimalisasi dampak negatif dan
maksimalisasi dampak positif operasi perusahaan. Wujud tanggung jawab sosial
perusahaan dalam minimalisasi dampak negatif adalah pemberian kompensasi
yang setara terhadap masyarakat terkena dampak bila perusahaan dalam
operasinya harus memindahkan kelompok masyarakat tertentu ke luar dari
wilayah dampak operasinya.
Sedangkan tanggung jawab sosial perusahaan dimuat dalam dua aksi besar
yaitu maksimalisasi dampak positif dan minimalisasi dampak negatif. 14 Dampak
positif yang dimaksud dalam klausa ini adalah terhadap kebutuhan masyarakat,
penghuni maupun karyawan sekitar perusahaan. Pada saat dan sepanjang kegiatan
perusahaan memang untuk memenuhi kebutuhan dan atau permintaan masyarakat,
maka kegiatan tersebut dianggap positif. Akan tetapi kegiatan yang dilaksanakan
tersebut dapat menimbulkan dampak negatif apabila mempunyai akibat buruk
14 Endro Sampurno, Mekanisme Kontribusi CSR, Disampaikan dalam Seminar Sehari
Keterlibatan Corporate Social Responsibility (CSR), diakses dari www.CSRIndonesia.com pada 8
Mei 2013, 00.27

bagi lingkungan dan faktor-faktor produksi yang lain. Timbulnya dampak negatif
itulah yang perlu dan harus diatur dan diminimalisasi agar tidak merugikan
masyarakat dilingkungan dan para pemangku kepentingan.15
Dalam mengadakan pembangunan suatu bangunan termasuk dalam
membangun rumah susun, perusahaan developer atau pemiliknya sebelumnya
harus sudah memperkirakan beberapa faktor tertentu seperti:
1. Definisi wilayah dampak operasional perusahaan.
2. Pendefinisian wilayah dampak operasional perusahaan sangat penting
untuk menentukan cakupan tanggung jawab sosial perusahaan.
Wilayah dampak ini kemudian dapat dibedakan menjadi wilayah
dampak langsung dan wilayah dampak tak langsung.
3. Pemangku kepentingan (sasaran obyek csr) yang dapat mempengaruhi
operasi perusahaan.
4. Beberapa pemangku kepentingan yang penting adalah penghuni,
karyawan dan keluarganya, dan masyarakat sekitar.
5. Pendefinisian kebutuhan masyarakat di wilayah dampak,
6. Identifikasi modal-modal masyarakat
7. Identifikasi kelompok rentan di wilayah dampak tersebut yang perlu
diberdayakan dalam kegiatan CD Perusahaan.
8. Minimisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif
Hal ini sebagai sebuah upaya pengendalian dampak sosial perusahaan
yang harus didasarkan pada basis data yang cukup sebagai landasan penyusunan
perencanaannya.
Pertama, harus dikatakan bahwa tanggung jawab sosial menunjukkan
kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas
daripada sekadar terhadap kepentingan perusahaan belaka. Artinya, keuntungan
dalam bisnis tidak mesti dicapai dengan mengorbankan kepentingan pihak lain,
termasuk kepentingan masyarakat luas.
Dalam penggunaan istilah TJSL dan CSR terdapat beberapa pandangan
yang ada, yaitu beberapa yang menganggap kedua istilah ini artinya sama, dan ada
15 Sri Redjeki Hartono, 2010, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Suatu Kajian Komprehensif,
diakses dari http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pedata/848-tanggung-jawab-sosialperusahaan-suatu-kajian-komprehensif.html pada 16 Mei 2013, 1.28

pula yang membedakan keduanya. Di Indonesia sendiri kedua istilah ini dikenal
berbeda. Perbedaan kedua istilah ini sudah diterangkan dalam tinjauan pustaka
diatas.
Dalam prakteknya di Indonesia sendiri istilah yang digunakan tergantung
pada peraturan perundang-undangan yang digunakan. Menurut undang-undang
tertinggi yang mengatur tentang Tanggung jawab sosial yaitu Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU No
40/2007) pasal 1 angka 3, istilah yang digunakan adalah TJSL (Tanggung jawab
sosial lingkungan) sebagai pengertian dari istilah CSR sendiri.
Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, ada empat bidang
yang dianggap dan diterima termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung
jawab sosial perusahaan. Dalam dewasa ini bidang-bidang ini adalah untuk apa
yang dikenal sebagai CSR modern yang definisnya lebih luas daripada Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan.
1. Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna
bagi kepentingan masyarakat luas. Keterlibatan perusahaan dalam
kegiatan sosial ini secara tradisional dianggap sebagai wujud paling
pokok, bahkan satu-satunya, dari apa yang disebut sebagai tanggung
jawab sosial perusahaan.
2. Perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola
sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan
mendapatkan keuntungan- keuntungan bagi perusahaan tersebut.
Demikian pula, sampai tingkat tertentu, masyarakat telah menyediakan
tenaga-tenaga professional bagi perusahaan yang sangat berjasa
mengembangkan perusahaan tersebut.
3. Dengan tanggung jawab sosial, perusahaan memperlibatkan komitmen
moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu
yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.
4. Dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut manjalin hubungan
sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian
perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadiranya dalam masyarakat
tersebut.

Dalam perda tentang rumah susun ini, tanggung jawab sosial yang lebih
terlihat adalah dibidang keempat yaitu keterlibatan sosial perusahaan dengan
masyarakat sekitarnya agar perusahaan tersebut dapat lebih diterima oleh
masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari isi dari pasal-pasal yang diatur
dalam perda tersebut lebih menekankan pada tanggung jawab developer terhadap
kenyamanan dan keserasian pembangunan rumah susun tersebut dengan
masyarakat sekitarnya. berikut adalah poin-poin tanggung jawab sosial
perusahaan pembangun rumah susun terhadap masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.
TJSL perusahaan terhadap penghuni dan masyarakat sekitar rumah susun
yang terdapat dalam Perda No 3/2007 adalah sebagai berikut:
1. Pasal 3 huruf b, membangun rumah susun perlu diperhatikan beberapa
faktor penting seperti harus meningkatkan daya guna dan hasil guna
tanah di daerah perkotaan tersebut. Dalam pengadaan rumah susun ini
juga harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan
menciptakan lingkungan pemukiman dan usaha yang lengkap, serasi
dan seimbang. Asas serasi dan seimbang yang dimaksud dalam pasal
ini lebih dimaksudkan kepada pemanfaatan rumah susun untuk
mencegah timbulnya kesenjangan sosial.
2. Pasal 24 ayat 1, rumah susun harus ditempatkan atau dilokasikan
sesuai peruntukannya dan memperhatikan keserasian lingkungannya.
3. Pasal 24 ayat 2, lokasi rumah susun harus ditempatkan pada lokasi
yang memiliki akses dan hubungan dengan saluran pembuangan
sampah, pembuangan air hujan dan saluran pembuangan limbah.
Saluran-saluran ini harus ditempatkan sedemikian rupa agar tidak
memberikan dampak lebih lanjut kepada masyarakat sekitarnya.
pengelolaan saluran-saluran ini juga merupakan tanggung jawab dari
pemilik gedung rumah susun tersebut.
4. Pasal 24 ayat 3, lokasi rumah susun juga harus memperhatikan
keamanan, ketertiban, dan gangguan pada lokasi disekitar rumah susun
tersebut. Dengan adanya pembangunan rumah susun didaerah yang
dituju harus memperhatikan faktor-faktor diatas, pengadaan rumah

susun dilokasi tersebut harus mengindahkan ketertiban apakah rumah
susun itu memberikan gangguan terhadap lokasi sekitar. Faktor-faktor
ini harus diperhatikan sebagai wujud tanggung jawab sosial dari
pemilik atau developer rumah susun tersebut.
Lebih lanjut juga ditegaskan bahwa dalam tata letak bangunan rumah
susun itu harus memperhatikan kepadatan lingkungan sekitar lokasi
dan keserasian serta keselamatan lingkungan sekitar.
5. Pasal 27, dilengkapi prasarana lingkungan dan fungsi penghubung baik
ke dalam maupun ke luar dengan penyediaan jalan setapak, kenderaan
dan tempat parkir.
6. Pasal 28, rumah susun dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan
utilitas umum.
Sedangkan dalam hal TJSL terhadap karyawan dan pekerja dari
perusahaan atau pengurus rumah susun itu sendiri tidak dicantumkan dalam perda
ini. Sehingga masih ada satu pemangku kepentingan yang berhak atas TJSL dari
perusahaan yang masih belum menerima hak-haknya.

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan

B. Saran

Daftar Pustaka
Daftar Pustaka Buku


Hendrik Budi Untung. 2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar
Grafika.



Amin Widjaja. 2008. Corporate Social Responsibility (CSR). Jakarta:
Harvarindo.



Helmi. 2010. Hukum Lingkungan Dan Perizinan Bidang Lingkungan Hidup.
Bandung: Unpad Press.

Daftar Pustaka Internet


Endro Sampurno. Mekanisme Kontribusi CSR. Disampaikan dalam Seminar
Sehari Keterlibatan Corporate Social Responsibility (CSR). [online]. Diakses
dari www.CSRIndonesia.com. [8 Mei 2013, 00.27]



Sri Redjeki Hartono. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Suatu Kajian
Komprehensif. [online]. Diakses dari
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pedata/848-tanggung-jawab-sosialperusahaan-suatu-kajian-komprehensif.html [16 Mei 2013, 1.28]



Maria R. Nindita Radyati. 2012. Pemangku Kepentingan dan Penentuan
Strategi. [online]. Diakses dari http://www.mmcsrusakti.org/printpdf/865 [16
Mei 2013, 03.54]



Sri Redjeki Hartono. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Suatu Kajian
Komprehensif. [online]. Diakses dari
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pedata/848-tanggung-jawab-sosialperusahaan-suatu-kajian-komprehensif.html [16 Mei 2013, 1.28]

Peraturan Perundang-undangan


Mahkamah Konstitusi. Above Nomor 4 Bagian 3. Pertimbangan hukum, subbagian Pendapat Mahkamah, nomor 3.19.



Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
dan Retribusi Perijinan Rumah Susun



Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas



Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan