Makalah Filsafat Ilmu Sosial Tentang Har

Makalah Filsafat Ilmu Sosial
Tentang
“Haruskah Kita Berasumsi Bahwa Orang Lain Bersikap Rasional”

Oleh Kelompok 5
Mouhammad Iqbal

1201829/2012

Rahmadiasyah

1201821/2012

Seski Bakti Syafeli

12060--/2012

Yulia Eka Putri

1201794/2012


JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2015
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Filsafat Rasionalisme satu aliran filsafat modern, yaitu empirisme. Rasionalisme
sangat bertentangan dengan empirisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan
yang sangat sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu
bentuk pengenalan yang kabur. Lebih detail, Rasionalisme adalah merupakan faham atau
aliran yang berdasarkan rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu tidak ada sumber
kebenaran yang hakiki.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir
abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan
yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan
akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar
sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Hal ini menjadi menampak
lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena

pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat
sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian
kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua
gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton
sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam
mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian rasionalisme?
2. Apakah yang menjadi alasan dan sebab tentang pemikiran rasionalisme?
3. Bagaimana penjelasan alasan dan tindakan-tindakan Irrasional?
4. Bagaimana pemahaman Rasionalitas dalam penjelasan alasan?
5. Bagaimana pemikiran rasionalisme dalam kaitan prinsip perikemanusian?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan mengenai pemikiran rasionalisme.
2. Menjelaskan tentang alasan dan sebab tentang pemikiran rasionalisme.
3. Menjelaskan alasan dan tindakan-tindakan Irrasional.
4. Menjelaskan bagaimana pemahaman rasionalitas dalam penjelasan pemahaman.
5. Menjelaskan bagaimana pemikiran rasionalisme dalamkaitan prinsip kemanusian.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Rasionalisme
Mereka yang menyesuaikan diri dengan berbagai perbedaan di antara orang-orang dan
beraneka macam kebudayaan dan subkultur––mereka yang memiliki kepekaan multikultural––
biasanya berusaha menghindari sikap menjatuhkan penilaian. Artinya, mereka mendesak bahwa
berbeda bukan berarti jelek, bahwa orang hendaknya tidak diharapkan untuk melakukan berbagai
macam hal sama seperti “kita” (siapa pun yang dimaksud dengan “kita” ini), dan hendaknya
tidak dinilai tidak sempurna atau buruk karena mereka tidak mampu melakukannya. Kepekaan
multikultural menentang etnosentrisme yang menegaskan bahwa mereka yang berbeda dengan
“kita” bersifat rasional. Alih-alih, kepekaan multikultural ini mengarahkan pada kita untuk
menyelidiki apa yang tampak pada kita sebagai perilaku atau kebiasaan yang aneh dengan cara
mengungkapkan rasionalitas mutlaknya kepada kita. Menurut rasionalisme, untuk menjelaskan
berbagai tindakan manusia (yang dilawankan dengan, katakanlah gerakan bintang atau amuba)
berarti menyampaikan latar belakangnya; dan menyampaikan latar belakang berarti
memperlihatkan bagaimana mereka sebagai makhluk rasional telah memberikan keyakinan dan
keinginan para agen.
Kita akan menilai kelebihan dan kekurangan rasionalisme, dalam proses mencari makna
kepekaan multikultural. Untuk dapat melakukan penilaian ini, kita mulai dengan pembedaan
penting antara tindakan dan gerakan. Menurut Clifford Geertz (1974) yang seorang antropolog
mengarahkan perhatian pada suatu pembedaan yang dibuat filsuf Gilbert Ryle (1949). Ryle

mengkhayalkan dua anak laki-laki yang kelopak matanya berkontraksi dengan cepat. Pada anak
pertama, gerakan itu adalah kedutan, sedangkan pada anak kedua adalah sebuah kedipan.
Kedutan bukanlah sesuatu yang dilakukan oleh anak laki-laki itu, tetapi semata-mata merupakan
sesuatu yang terjadi pada anak itu; tiba-tiba kelopak matanya berkedip. Sebaliknya, kedipan
merupakan tindakan yang dilakukan oleh anak kedua––sesuatu yang dilakukan secara sengaja
dengan tujuan menyampaikan suatu pesan.
Gagasan deskripsi tipis dan tebal menarik perhatian pada penggolongan dasar di dalam ilmuilmu sosial, yaitu antara gerakan tubuh dan tindakan manusia. Gerakan tubuh artinya sama
dengan kata-katanya; gerakan salah satu anggota badan dengan cara tertentu. Berbeda dengan
gerakan, tindakan selalu merupakan sesuatu yang dilakukan oleh seorang agen, sesuatu yang

dikerjakan dengan tujuan tertentu. Jadi, saya mengangkat bahu adalah sebuah gerakan.
Sedangkan saya mengangkat tangan untuk memilih adalah sebuah tindakan karena saya
melakukannya untuk menunjukkan dukungan terhadap seorang kandidat. Berbeda dengan
gerakan tubuh, tindakan bukan sekedar fenomena yang diamati secara fisik. Sejumlah tindakan,
misalnya seperti pengendalian diri, tidak melibatkan gerakan fisik sama sekali.
Para filsuf aliran rasionalisme menyimpulkan dari kejadian itu bahwa semua tindakan untuk
dapat disebut tindakan harus bersifat rasional pada tataran tertentu. Menurut mereka, untuk
mengungkapkan berbagai alasan atas sebuah tindakan adalah untuk mengetahui keyakinan dan
keinginan yang menjamin tindakan tersebut dari sudut pandang aneh. Louch dan Dray
menegaskan bahwa segala usaha untuk memahami suatu tindakan, tak peduli betapa

membingungkan atau ganjil pada mulanya, haruslah mencakup usaha memperlihatkan
bagaimana tindakan tersebut secara rasional dari sudut keyakinan dan keinginan agen. Mereka
menyatakan bahwa para agen manusia haruslah bersifat rasional.
2.2 Alasan dan Sebab
Mari kita asumsikan sejalan dengan pemikiran kaum rasionalis bahwa tindakan
membutuhkan

penjelasan

alasan.

Sebenarnya,

mengatakan

bahwa

sebuah penjelasan-

alasan berusaha memberikan alasan orang yang benar-benar menyebabkan dia bertindak dengan

cara tertentu merupakan hal yang secara krusial menyesatkan. Sebuah “alasan” merupakan
sebuah struktur abstrak yang terdiri atas proposisi-proposisi tertentu yang bertindak sebagai
premis, dan proposisi-proposisi lainnya sebagai kesimpulan. Begitulah, alasan tak lebih
merupakan isi pemikiran seseorang yang diungkapkan dalam kalimat-kalimat tertentu. Alasan
adalah apa yang dipikirkan atau dirasakan sang agen. Akan tetapi, apa yang dipikirkan atau
dirasakan oleh seorang agen haruslah dibedakan dari kepemilikannya atas pikiran atau perasaan
tertentu. Mempunyai suatu pemikiran atau perasaan merupakan suatu keadaan atau proses
psikologis, sedangkan isi proses sendiri bukan. Mempunyai sebuah alasan tidak sama dengan
alasan itu sendiri.
Apa yang diyakini dan dikehendaki seorang agen adalah apa yang ada di dalam alasannya;
tapi bahwa agen itu meyakini dan menghendaki apa yang dia lakukan adalah sesuatu yang
memberikan penjelasan (kausal) atas tindakannya. Para agen memiliki suatu alasan untuk
bertindak sebagai akibat dari keterlibatannya dalam suatu proses penalaran praktis. Proses

penalaran praktis adalah sebuah proses dimana keyakinan dan keinginan anteseden para agen
diubah dan dihadirkan bersama-sama untuk menciptakan landasan bagi tindakan-tindakan
mereka. Yang terakhir, banyak tindakan yang biasanya dilakukan tanpa pemikiran atau perhatian
yang jelas. Bagaimanapun juga, tindakan-tindakan tersebut dapat dijelaskan sebagai hasil proses
penalaran praktis yang telah menjadi hal biasa, sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prinsipprinsip proses semacam itu.
2.3 Penjelasan – alasan dan Tindakan – Tindakan Irrasional

Bagi para rasionalis, apa yang tampaknya merupakan tindakan-tindakan irrasional––
irasional karena dikerjakan tanpa alasan yang jelas atau nalar yang jelas––pada akhirnya bersifat
rasional sepanjang semuanya merupakan tindakan. Menurut rasionalisme, berdasarkan
definisinya, tindakan bersifat rasional, sehingga tindakan-tindakan irasional hanya merupakan
sebuah sub kelas tindakan-tindakan rasional. Dengan demikian, kaum rasionalis meyakini bahwa
tugas para peneliti adalah untuk membuktikan di balik permukaan dalam menemukan dasardasar rasional atas berbagai tindakan, bahkan tindakan-tindakan yang tampaknya tidak memiliki
landasan semacam itu. Namun demikian, sekarang saya akan berusaha memperlihatkan bahwa
para agen mungkin akan bertindak secara irasional, meskipun kenyataannya mereka bertindak
berdasarkan suatu proses penalaran praktis. Jadi, bertolak belakang dengan rasionalisme, para
agen mungkin mempunyai banyak alasan atas berbagai tindakan mereka, walaupun alasan-alasan
itu mungkin masih bersifat irasional. Dengan cara demikian, tindakan-tindakan mereka bisa jadi
bersifat irasional dan sekalipun demikian masih merupakan tindakan.
Kesimpulannya: untuk menjelaskan tindakan-tindakan intensional, kita tidak perlu
mengasumsikan bahwa para agen bersikap rasional dalam pengertian bahwa proses penalaran
praktis mereka secara logis menjamin perilaku mereka. Tindakan-tindakan irrasional dapat dan
haruslah dijelaskan melalui penjelasan-alasan (sama seperti tindakan rasional), tapi penjelasan
rasional tidak perlu memperkirakan bahwa alasan seorang agen dijamin secara rasional.
Menjelaskan sebuah tindakan intensional berarti memilih proses penalaran praktis yang
menyebabkannya, dan proses ini bisa jadi tidak logis dan masih memainkan peranan yang
bersifat penjelasan. Berbeda dengan rasionalisme, suatu keterikatan untuk menjelaskan tindakantindakan intensional dengan jalan memberikan alasan tidak mempersyaratkan bahwa kita harus


meyakini semua tindakan bersifat rasional dalam tataran tertentu. Kegiatan intensional tidak
terbatas pada ranah rasional.
2.4 Rasionalitas dalam Penjelasan – Alasan
Secara umum penjelasan tindakan haruslah mengasumsikan bahwa para pelaku pada
umumnya bersikap rasional. Dalam pengertian yang lebih sempit ini, rasionalisme memang
benar. Dengan memberikan praduga bahwa rasionalitas hanya merupakan nasihat kebijaksanaan
metodologis tidak cukup untuk menghubungkan sekaligus gagasan “tindakan” dan “rasionalitas”.
Karena asumsi bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk rasional dan bahwa perilaku
mereka benar-benar dapat dinalar, pada kenyataannya merupakan sebuah prinsip dasar seluruh
tindakan yang menjelaskan dengan jalan menemukan alasan-alasan yang menyebabkannya.
Dengan kata lain, untuk menjelaskan berbagai tindakan manusia dalam pengertian proses
penalaran yang menyebabkannya, kita harus memberikan praduga bahwa pada umumnya
manusia bersifat rasional.
2.5 Prinsip Perikemanusiaan
Rasionalitas dan tindakan intensional sangat erat kaitannya satu sama lain. Tindakantindakan

yang

disebabkan


oleh

proses

penalaran

praktis,

dan

yang

diterangkan

melalui penjelasan-alasan yang pada umumnya harus memberikan pra-anggapan hubungan
rasional antara keyakinan, keinginan dan tindakan para agen. Keterkaitan antara intensionalitas
dengan rasionalitas ini kadang-kadang meluas sampai pada sebuah tesis yang lebih kuat
berkenaan dengan rasionalitaspemikiran orang lain.
Persoalan filosofis umum contoh ini adalah bahwa pengertian inteligibilitas merupakan

suatu konsep yang tidak bersifat tetap maupun universal. Apa yang merupakan inteligibilitas
dapat berbeda-beda tergantung pada bentuk kehidupan tertentu yang sedang diselidiki. Yakni,
tindakan dapat dimengerti dengan banyak cara, apa yang dapat berfungsi sebagai inteligibilitas
tidak identik dengan semua masyarakat atau kebudayaan. Orang-orang Barat modern mungkin
lebih mudah menghargai jenis inteligibilitas yang terlibat dalam aktivitas rasional secara
instrumental. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa banyak bentuk inteligibilitas yang lain yang tidak
bisa berjalan dalam kebudayaan kita sendiri dan dalam sejumlah besar kebudayaan orang lain.

Memang, salah satu kontribusi utama antropologi adalah mengungkapkan banyak dan beragam
cara yang digunakan untuk mencapai inteligibilitas.
Ikhtisar
Perilaku agen dijelaskan dengan menggunakan penjelasan-penjelasan berdasarkan alasan
yang menuntut proses-proses penalaran yang menyebabkan agen bertindak sebagaimana
kehendak mereka. Proses penalaran semacam ini dapat ditemukan hanya dengan berasumsi
bahwa agen dan berbagai aktivitas mereka dapat dimengerti dalam pengertian bahwa mereka
dapat dipahami. Tetapi untuk memahami, meyakini, menginginkan dan bertindak secara umum
harus berkaitan secara rasional. Dengan kata lain, tanpa praduga bahwa agen rasional maka
seluruh usaha untuk menginterpretasikan makna aktivitas mereka––dan dengan demikian pokok
persoalan untuk mendeskripsikan perilaku mereka sebagai aktivitas intensional––akan bisa
rusak. Oleh karena itu, kita harus berasumsi bahwa pada umumnya agen adalah rasional.

Tetapi frase “pada umumnya” dalam jawaban ini penting sekali. Pertama, dalam kasus
tertentu agen mungkin rasional: proses penalaran praktis mereka mungkin tidak logis. Kedua,
apa yang dimaksudkan dengan mengikuti prinsip-prinsip rasional––dan oleh karena terdiri dari
apakah inteligibilitas tersebut––bisa berbeda-beda dari setting-kultur ke setting-kultur yang lain.
Oleh karena itu, meskipun kita menganggap agen lain pada umumnya rasional kita tidak perlu
beranggapan bahwa mereka selalu rasional. Lagi pula, apa yang dapat kita terangkan sebagai
rasional sendiri mungkin tidak sama antara waktu dan tempat.

BAB III
PENUTUP
Rasionalisme menegaskan bahwa tindakan manusia pada tingkatan tertentu harus bersifat
rasional. Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta,
daripada melalui iman, dogma atau ajaran agama. Rasionalisme selalu melihat kepada tindakan
yang menurutnya rasional (masuk akal). Para rasionalis terlebih dahulu membedakan antara
gerakan dengan tindakan. Tindakan yang rasional menurut pemikiran rasionalisme adalah
tindakan yang memiliki alasan dan sebab. Alasan adalah sebuah keinginan atau keyakinan dari
agen yang melakukan suatu tindakan. Sedangkan sebab adalah suatu keadaan yang menyebabkan
seseorang harus bertindak rasional sesuai keadaan tersebut.
Rasionalisme memandang Irasional sebagai tindakan yang tidak jelas dan tidak patut dilakukan
atau tidak umum dilakukan sehingga tidak mampu dinilai secara nalar (logika). Pemikir
rasionalisme memandang bahwa ada perbedaan mendasar dari tindakan rasional dengan
irasional. Lalu yang akan dilihat lebih jauh disini adalah di dalam ilmu sosial apakah kita akan
selalu melihat dan berasumsi bahwa orang lain harus bersikap rasional?. Di dalam ilmu sosial
sepertinya pemikiran rasionalisme tidak dapat dipakai secara sepenuhnya. Ilmu sosial melihat
segala sesuatu dengan prinsip perikemanusiaan. Untuk mengetahui secara mendalam
berdasarkan prinsip kemanusiaan, maka layaknya peneliti kita harus menggunakan metode Thick
Description (deskripsi secara mendalam), dimana penelitian akan berusaha memahami hal yang
diteliti secara emik. Jadi, sehingga walaupun pada awalnya hal yang kita teliti bersifat irasional,
namun setelah kita berusaha memahaminya dari sudut pandang agen yang kita teliti itu, maka
kita akan mampu memahaminya.

Keperpustakaan
Choirima. 2011. “Haruskah Kita Berasumsi Bahwa Orang Lain Bersikap Rasional?”
http://choirima.blogspot.com/2011/11/haruskah-kita-berasumsi-bahwa-orang.html (Diakses
10 April 2015)
Damazier, Yutimah. 2011.“ Haruskah Kita Berasumsi Bahwa Orang Lain Bersikap Rasional?”
https://sociousgirl.wordpress.com/2011/05/13/haruskah-kita-berasumsi-bahwa-orang-lainbersikap-rasional/. (Diakses 10 April 2015)
Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer.Yogyakarta: Jendela

Haruskah Kita Berasumsi Bahwa Orang Lain Bersikap Rasional?
Rasionalisme menegaskan bahwa tindakan manusia pada tingkatan tertentu harus bersifat
rasional. Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta,
daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi
ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk
menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan
atau takhayul. Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum,
misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang
menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan
(emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
Rasionalisme selalu melihat kepada tindakan yang menurutnya rasional (masuk akal). Para
rasionalis terlebih dahulu membedakan antara gerakan dengan tindakan. Dalam hal ini
dicontohkan 2 orang yang melakukan gerakan mengedipkan mata. Orang yang pertama
mengedipkan mata karena kedutan, sedangkan orang yang kedua mengedipkan mata karena
memiliki tujuan dan makna yang ditujukan kepada orang lain. Contoh tersebut yang lebih
berkaitan dengan pandangan rasionalis adalah tindakan yang kedua yang merupakan tindakan
dengan tujuan dan makna yang ditunjukan kepada orang lain dan dapat dimaknai secara rasional.
Para filsuf aliran rasionalisme menyimpulkan dari kejadian itu bahwa semua tindakan untuk
dapat disebut tindakan harus bersifat rasional pada tataran tertentu. Untuk mengemukakan alasan
dari tindakan adalah mengetahui keyakinan dan keinginan yang menjamin tindakan tersebut dari

pandangan aneh. Dengan cara seperti itu mereka merasionalisasinya dalam pengertian yang
mnunjukan bahwa hal itu memang perlu dan patut dilakukan
Tindakan yang rasional menurut pemikiran rasionalisme adalah tindakan yang memiliki alasan
dan sebab. Alasan adalah sebuah keinginan atau keyakinan dari agen yang melakukan suatu
tindakan. Sedangkan sebab adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang harus brtindak
rasional sesuai keadaan tersebut.
Rasionalisme memandang Irasional sebagai tindakan yang tidak jelas dan tidak patut dilakukan
atau tidak umum dilakukan sehingga tidak mampu dinilai secara nalar (logika). Pemikir
rasionalisme memandang bahwa ada perbedaan mendasar dari tindakan rasional dengan
irasional. Lalu yang akan dilihat lebih jauh disini adalah di dalam ilmu sosial apakah kita akan
selalu melihat dan berasumsi bahwa orang lain harus bersikap rasional?. Di dalam ilmu sosial
sepertinya pemikiran rasionalisme tidak dapat dipakai secara sepenuhnya.
Ilmu sosial melihat segala sesuatu dengan prinsip perikemanusiaan. Hal tersebut dikarenakan
kita tidak bisa selalu mendoktrin apakah orang tersebut bertindak secara rasional. Para ilmuwan
sosial harus mampu memahami orang lain dan menyelami makna dan tujuan dari apa yang
mereka lakukan. Prinsip perikemanusiaan melihat bahwa para agen yang melakukan tindakan
adalah dapat dimengerti. Contohnya saja : seseorang yang menerabas lampu merah secara
rasional adalah melanggar aturan dan hukum yang ada. Namun kita bisa memahaminya dengan
cara yang lain, bisa jadi orang yang menerabas lampu merah adalah karena dia memiliki tujuan
lain atau hal lain yang membuatnya menerabas lampu merah.
Untuk mengetahui secara mendalam berdasarkan prinsip kemanusiaan, maka layaknya peneliti
kita harus menggunakan metode Thick Description (deskripsi secara mndalam). Dalam
penelitian ilmu sosial, khusunya ilmu antropologi seperti penelitian Clifford Geertz, maka

penelitian akan berusaha memahami hal yang diteliti secara emik, baru kemudian diterjemahkan
secara etik. Secara emik adalah bagaimana peneliti berusaha memahami segala sesuatu
berdasarkan pemahaman masyarakat yang diteliti. Jadi, walaupun pada awalnya hal yang kita
teliti bersifat irasional, namun setelah kita berusaha mmahaminya dari sudut pandang agen yang
kita teliti itu, maka kita akan mampu memahaminya.
Haruskah kita harus berasumsi bahwa orang lain bersikap rasional? dan apakah kita harus
senantiasa menolak untuk memahami seuatu yang tidak rasional menurut kita? Jawabannya
adalah “TIDAK”. Karena kita bisa memahami seseorang/tindakan seseorang dengan mengetahui
alasan, tujuan dari agen yang melakukan tindakan tersebut. Kita tidak prlu beranggapan bahwa
mereka selalu rasioanl. Lagipula, apa yang dapat diterangkan secara rasioanal sendiri mungkin
tidak sama antara waktu dan tempat. Ilmu sosial mengajarkan kehidupan yang arif dan mampu
memahami orang lain, bukan hidup tanpa perasaan dan mengagungkan rasionalisme yang bisa
menjebak kita ke dalam egoisme.