MAKALAH PSIKOLOGI TENTANG MORAL DAN AGAM

MAKALAH PSIKOLOGI TENTANG
MORAL DAN AGAMA REMAJA
MORAL DAN AGAMA REMAJA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai
dengan harapam social tanpa terus dibimbing,diawasi didororng dan diancam hukuman seperti
yang dialami waktu anak-anak.
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali
dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi. Salzman
mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence)
terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri,
dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah "Perkembangan Moral dan Keagamaan
Remaja" dapat dirumuskan sebagai berikut:
1). Bagaimana perkembangan moral remaja?
2). Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan moral remaja?
3). Bagaimana pula perkembangan keagamaan remaja?

C. Prosedur Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yaitu langkah-langkah yang ditempuh dengan pendekatan Metode Library
Research (kepustakaan) yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
D. Sistematika pembahasan
Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu pertama pendahuluan meliputi latar belakang masalah,
perumusan masalah, proses pemecahan masalah dan sistematika pembahasan itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Moral Remaja
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk
menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu,
seperti:
1. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan,
memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
2. Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilainilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus
dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan
kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing,
diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.

Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya

ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang
sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima
perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
1). Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
2). Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
3). Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis
kode social dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan
terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4). Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5). Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap
pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan
semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya
berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai
sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.

Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus
dicapai selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan
terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam
keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini
menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu
menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari
hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada
rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1). Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2). Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode
prilaku.
3). Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Perkembangan moral adalah salah satu topic tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu
mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai
tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis,
dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis
kepada remaja.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilainilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anakanak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang
siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain

(dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana
yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh
dikerjakan.
Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori
psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan
superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak

disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego
yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur
kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benarbenar memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk
mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku
moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan
semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawabdari perbuatanperbuatannya.
B. Perkembangan Keagamaan Remaja.
Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat
dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan
siapa dia, dan akan menjadi apa dia.
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang
keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat

sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan
terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap
kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan
untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubunganhubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan
orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama merupakan
dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan
kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada
kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala
mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka
abaikan (Bossard dan Boll, 1943).
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman
dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga
membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan
tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia
ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari
eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami

perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru
memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan,
maka pada masa remajamereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam
tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini
sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua
mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan
kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.
Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama
masa remaja ini.

Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama
anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan
bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational
religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih abstrak dan
hipotesis. Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak
dan remaja. Oser & Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan bahwa remaja
usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan
pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama.
Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan cirriciri pokoknya saja.

James Fowler (1976) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius.
Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja
akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk
pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan
religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual.
Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk
menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks
pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting
dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah
mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan
untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting
dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah
agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi
tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan,
yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional
(konatif) mengalami perkembangan.

Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis
besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang
secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan
remaja adalah sebagai berikut:
1). Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a) Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang
kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan
ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau
mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain.
c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang
enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2). Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
a) Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual,
bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.

b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan
dipilihnya.
c) Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja

ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang
baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis
keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari
rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan
pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan
agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima
agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas
menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilainilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus
dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode
prilaku.
3). Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, Ani, 2006, Psikologi Perkembangan, Ciputat : Press Group

Desmita, 2007. Psikologi Perkembangan, Bandung : Rosda Karya
Fatimah Enung, 2006. Psikologi Perkembangan, Bandung : Pustaka Setia
Hamalik Oemar, 1995. Psikologi Remaja (dimensi-dimensi perkembangan), Bandung: Maju
Mundur
Hartati Netty, 2004. Islam dan Psikologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hurlock, Elizabeth B. 1980, Psikoilogi Perkembangan, New York: McGraw-Hill, Inc.
Nurihsan, Juntika, 2007. Perkembangan Peserta Didik, Bandung : Sekolah Pasca Sarjana UPI
Panuju, Panut, 1999, Psikologi Remaja, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya
Santrock, John W., 1996, Adolescence (Perkembangan Remaja), The University of at Dallas:
Times Mirror higher Education
Santrock, John W, 1983, Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup), University of
Texas at Dallas: Brown and Bench-mark
Yusuf, Syamsu, 2007, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Rosda Karya
http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-psikologi-tentang-moral-dan.html
Makalah Perkembangan Moral Remaja

Makalah Perkembangan Moral Remaja

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Narkoba (singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya) adalah
bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun
disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat
menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.Yang termasuk jenis Narkotika adalah :
ü Tanaman papaver, opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko), opium obat, morfina, kokaina,
ekgonina, tanaman ganja, dan damar ganja.
ü Garam-garam dan turunan-turunan dari morfina dan kokaina, serta campuran-campuran dan sediaansediaan yang mengandung bahan tersebut di atas.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada
aktivitas mental dan perilaku. Zat yang termasuk psikotropika antara lain : Rohypnol, Magadon, Valium,
Mandarax, Amfetamine, Fensiklidin, Metakualon, Metifenidat, Fenobarbital, Flunitrazepam, Ekstasi,
Shabu-shabu, dsb.

Bahan Adiktif berbahaya lainnya adalah bahan-bahan alamiah, semi sintetis maupun sintetis
yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang dapat mengganggu sistim syaraf pusat,
seperti : Alkohol yang mengandung ethyl etanol, inhalen/sniffing (bahan pelarut) berupa zat organik
(karbon) yang menghasilkan efek yang sama dengan yang dihasilkan oleh minuman yang beralkohol atau
obat anaestetik jika aromanya dihisap. Contoh: lem/perekat, aceton, ether, dsb.

Ekstasi merupakan narkoba jenis psikotropika, sejenis pil dari kumpulan Amphetamine-Type
Stimulant (ATS). Secara kimianya, ia dikenal dengan 3,4 Methylenedioxymethamphetamine (MDMA).
Ekstasi dapat membuat tubuh si pemakai memiliki energi yang lebih dan juga bisa mengalami dehidrasi
yang tinggi. Sehingga akibatnya dapat membuat tubuh kita untuk terus bergerak.

1.2 Tujuan Penulisan
·

Untuk mengetahui jenis – jenis narkoba yang ada

·

Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci apa itu ekstasi

·

Untuk mengetahui bagaimana ciri – ciri khusus seseorang yang mengkonsumsi ekstasi

·

Untuk mengetahui dampak dan efek yang ditimbulkan dari penggunaan ekstasi khususnya bagi remaja
BAB II
PERMASALAHAN
Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini
diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam
jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika
ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu
dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari
sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan
bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya
membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu
kondisi tertentu.

Sesungguhnya kebanyakan remaja percaya terhadap Tuhan dan menjalankan agama, karena
mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama, karena bapak ibunya orang beragama, teman dan
masyarakat sekelilingnya rajin beribadah maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan
ajaran-ajaran agama sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup.
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik sejalan dengan
perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tidak di sadari tindak keagamaan yang mereka lakukan
di topangi oleh praktek kebatinan yang mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilemma yang
kabur bagi para remaja.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Moral Remaja
Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini
diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam
jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika
ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu
dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru.
Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan
atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak
diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan
mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat
mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu.
Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja
ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.
Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau

pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu
memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilainilai tersebut.
(Dariyo, A. 2004.)

Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk
menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
1.

Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara
kebersihan dan memelihara hak orang lain.

2.

Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.

Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilainilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai
remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian mau
membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong,
dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.

Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya
ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.Tidak kalah pentingnya,
sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab
orang tua dan guru.
Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh
remaja yaitu:
1.

Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.

2.

Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul
sebagai kekuatan moral yang dominant.

3.

Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis kode social
dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai
masalah moral yang dihadapinya.

4.

Penilaian moral menjadi kurang egosentris.

5.

Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan
bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap
pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua
kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan
suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan
menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.

Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilainilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak
ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk
dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua,
saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh
dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori
psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego.
Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego
adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan
disadari, namun tidak memiliki moralitas.

3.2 Tahap – tahap Perkembangan Moral Remaja
Menurut Kohlberg (Crain, 1992; Gunarsa, 1990; Miller, 1993; Papilia, Olds Feldman, 1998;
Santrock, 1999; Turner dan Helms 1995) ada beberapa tahap perkembangan moral, diantaranya :
preconventional morality, morality of convemtional role conformity, dan morality of autonomy moral
principles.
1.

Tahap Pra-Konvensional (Pre-Conventional Morality)
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang
dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat prakonvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung.
Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni
melihat diri dalam bentuk egosentris. Ketika berada dalam suatu tekanan, maka individu akan menuruti
perintah/peraturan guna menghindari hukuman (punishment) dan ingin memperoleh suatu hadiah
(reward).

·

Pada Fase 1, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang
dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang
melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai
tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya.

·

Pada Fase 2, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap
dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu
juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak
didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam
tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan
untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

2.

Tahap Perkembangan Konvensional (Morality of Conventional Role Conformity)
Individu sebenarnya telah menginternalisasikan nilai – nilai dari pihak orangtua dan guru.
Mereka mulai memperhatikan sifat – sifat yang baik yang disenangi dan diharapkan oleh orang lain.

Mereka ingin menjadi goodboy atau goodgirl. Agar dikatakan sebagai anak yang baik, maka individu akan
melakukan tindakan – tindakan yang menyenangkan orang lain.
Tujuannya, agar dirinya mudah diterima dalam lingkungan sosial masyarakat. Tingkat
konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
·

Pada Fase 3, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima
persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan
masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran
tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk
hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden
rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang
stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di fase
ini mereka bermaksud baik.

·

Pada Fase 4, penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam
memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan
akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan
pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus
fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu sehingga
ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia
salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan
yang buruk dari yang baik.

3.

Tahap Pasca-Konvensional (Morality of Autonomy Moral Principles)
Orang mulai menyadari adanya konflik antara standar nilai moralitas dengan pertimbangan
prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Jadi, ia sudah mampu menilai dan mengevaluasi suatu
tindakan/keputusan itu benar atau salah menurut pertimbangan hati nurani. Ia berani mengambil resiko
terhadap keputusan dan tindakannya secara terbuka. Ia tidak lagi takut terhadap ancaman atau
berkeinginan supaya memperoleh pengakuan sosial dari orang lain.

Ia berpegang pada prinsip – prinsip kebenaran manusia secara universal. Umumnya mereka yang
telah mencapai golongan dewasa muda atau umur 21 tahun keatas telah mencapai tahap ini, sedangkan
remaja dianggap belum memiliki kemampuan ini, karena belum matang secara penuh kapasitas
intelektualnya.
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan
enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari
masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional
sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
·

Pada Fase 5, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang
berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang
tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolute. Sejalan dengan itu, hukum dilihat
sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan
kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyakbanyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.

·

Pada Fase 6, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal.
Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan
keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak
penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut
dan bukannya secara hipotetis secara. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan
dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran
sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi
cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud
pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini
ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.
(Gunarsa, Y.S.D. dan Gunarsa, S.D. 1991)
3.3 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral Remaja

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan moral remaja, dimana faktor –
faktor tersebut dapat mengakibatkan dampak negatif bagi perkembangannya bahkan dapat menurunkan
moral dikalangan remaja. Faktor yang bisa mempengaruhi moral remaja juga mempengaruhi ketika dia
menginjak dewasa.
Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan moral remaja yaitu sebagai berikut :
1.

Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga

2.

Pengaruh lingkungan yang tidak baik

3.

Tekanan psikologi yang dialami remaja

4.

Gagal dalam studi/pendidikan

5.

Peranan media massa

6.

Perkembangan teknologi modern

1.

Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga
Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari
tetapi didalam soal keagamaan hal itu seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang
bertindak tidak sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik.

2.

Pengaruh lingkungan yang tidak baik
Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan
materialistik. Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat apa
saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk.

3.

Tekanan psikologi yang dialami remaja
Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah diakibarkan adanya perceraian atau
pertengkaran orang tua yang menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari
pelampiasan.

4.

Gagal dalam studi/pendidikan

Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat pendidikan, mempunyai waktu senggang yang
banyak, jika waktu itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika dia
berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan waktunya.
5.

Peranan Media Massa
Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi, karena remaja sedang mencari
identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti
pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya.

6.

Perkembangan teknologi modern
Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti mengakses informasi dengan cepat, mudah dan
tanpa batas juga memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai dengan mereka.
(Anonim. 2011)
3.4 Dampak Perkembangan Moral yang Dialami Remaja
Dalam perkembangan moralnya, remaja yang mencapai kematangan moral akan mengalami
perubahan pada dirinya sendiri, dan orang lain pun akan menyadari perubahan tersebut. Dampak dalam
perkembangan moral terutama terjadi karena pengaruh dari lingkungannya sendiri.
Berikut ini adalah dampak dari perkembangan moral yang dialami oleh remaja :

·

Mempunyai standar moral yang diakui dan diyakini dirinya dan kelompoknya.

·

Merasa bersalah bila menyadari perilakunya tidak sesuai dengan standar moral yang diyakininya.

·

Merasa malu bila sadar terhadap penilaian buruk kelompoknya.

1.

Mempunyai standar moral yang diakui dan diyakini dirinya dan kelompoknya.
Apabila seorang remaja telah mencapai kematangan moral pada perkembangannya maka Ia akan
memiliki moral yang sudah dapat kita katakan sejalan dengan pemikiran orang dewasa, dimana remaja
tersebut sudah memiliki standar moral yang diakui dan diyakini oleh dirinya sendiri, misalnya apabila ada
suatu perbuatan atau perilaku yang tidak baik dilakukan oleh orang lain Ia sudah dapat memutuskannya

sendiri bahwa apa yang terjadi tersebut sudah tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dan tidak baik
dilakukan.

2.

Merasa bersalah bila menyadari perilakunya tidak sesuai dengan standar moral yang diyakininya.
Jika seorang remaja berpendapat bahwa yang Ia lakukan salah dan tidak baik untuk dilakukan dan Ia
merasa bersalah atas perbuatannya, itu merupakan suatu bukti bahwa remaja tersebut telah mencapai
kematangan moral, karena Ia sudah dapat dan mampu untuk berpikir lebih atas segala tindakan dan
perbuatan yang dilakukannya sendiri.

3.

Merasa malu bila sadar terhadap penilaian buruk kelompoknya.
Seorang remaja akan memiliki rasa malu apabila Ia sadar terhadap penilain buruk yang diberikan oleh
orang yang disekitarnya, ini juga merupakan dampak dari perkembangan moral remaja yang terjadi, jika
orang – orang yang berada disekitarnya menyadarkan dirinya akan perbuatan atau tindakan yang
seharusnya tidak Ia lakukan karena perbuatan tersebut tidak baik maka Ia akan merasa malu dan
bersalah atas tindakan yang dilakukannya.

(Haricahyono, C. 1989)

3.5 Perkembangan Keagamaan pada Remaja
Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat
dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa
dia, dan akan menjadi apa dia. Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri
atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada
umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan
terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya

akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang
harapan-harapannya. Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk
memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang
bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.
Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya. Penemuan lain
menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan
keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang
pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali
melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman
dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga
membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku
dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini.
Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari
eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah
mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru
memiliki kemampuan berpikir simbolik.
Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remaja mereka
mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi.
Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama dipengaruhi oleh perkembangan
kognitifnya. Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang
tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan
kognitif, mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis
besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara
kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah
sebagai berikut:
1.

Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:

a.

Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat
kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak
selalu selaras dengan perbuatannya.

b.

Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar
berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama
lain.

c.

Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan
melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.

2.
a.

Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan
agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.

b.

Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.

c.

Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat
membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik (shalih)
dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang
penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.

(Monks, F.J. dan Knoers, A.M.P. 1992)
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilainilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai
remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:

1.

Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.

2.

Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.

3.

elakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Tahap – tahap perkembangan moral remaja terbagi tiga yaitu :

1.

Tingkat Pra Konvensional :

v Fase 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
v Fase 2 : Orientasi Minat pribadi
2.

Tingkat Konvensional

v Fase 3 : Orientasi keserasianinterpersonal dankonformitas
v Fase 4 : Orientasi hukuman dan aturan
3.

Tingkat Pasca-Konvensional

v Fase 5 : Orientasi kontrak sosial
v Fase 6 : Orientasi Etika Universal

Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan moral remaja yaitu sebagai berikut :
· Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga
· Pengaruh lingkungan yang tidak baik
· Tekanan psikologi yang dialami remaja
· Gagal dalam studi/pendidikan
· Peranan media massa
· Perkembangan teknologi modern

Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari
eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah
mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru
memiliki kemampuan berpikir simbolik.

4.2 Saran
Untuk dapat mempermudah pemahaman pembaca terhadap materi perkembangan moral dan
agama pada remaja ini, pembaca dapat mencari beberapa informasi lain mengenai perkembangan
peserta didik dari beberapa sumber kemudian dapat dibandingkan dengan makalah ini.

Diposkan oleh almahendra chaniago di 18:12
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
http://almachaniago.blogspot.com/2013/02/makalah-perkembangan-moral-remaja.html