Perlindungan Hak Bermukim MBR dan Warga Miskin Perkotaan - repository civitas UGM

  2012 Kerja Sama antara Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

TIM BUKU

  

Pengarah

Indroyono Soesilo, Sekretaris Kementerian Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat

  

Adang Setiana, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan

Perumahan Rakyat

Panut Mulyono, Dekan Fakultas Teknik UGM

  

Penanggung Jawab

Nyoman Shuida, Asisten Deputi Urusan Perumahan dan Permukiman

Bakti Setiawan, Ketua Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM

  

Penulis

  

Budi Prayitno

Alfredo Sani Fenat

Mahditia Paramita

  

Penyunting

Endah Dwi Fardhani

Endang Sri Rahayu

  

Erlia Rahmawati

Pratiwi Utami

Hellatsani Widya Ramadhani

  

Tata Grafis

Lailia Rachmani

Yuhendra

  

  

ISBN :

978-602-9476-25-5

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT

  

REPUBLIK INDONESIA

2012

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN SEKRETARIS KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

  Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk semua,

  Kota adalah jantung dari aktivitas masyarakat Indonesia semen- jak mayoritas masyarakat kini telah hidup di kota. Pemberian hak ber- mukim kepada seluruh penghuni kota, akan didapatkan efek balik yang bernilai strategis, karena keamanan bermukim yang dirasakan seluruh warga kota merupakan modalitas potensial yang mampu memicu produktivitas dan pertumbuhan lebih lanjut dari kota. Dengan demiki- an, sangatlah penting untuk melakukan suatu kajian untuk menelaah upaya perlindungan terhadap hak bermukim di kota dalam kerangka hak akan kota.

  Hak untuk bermukim mengindikasikan kondisi di mana rumah yang ditinggali oleh warga kota berada dalam keadaan layak dan sehat. Dalam konstruksi ini, maka rumah yang dikategorikan sebagai rumah kumuh menjadi indikasi bahwa penghuninya belum mendapatkan hak bermukim yang sesungguhnya. Untuk itu, pemerintah perlu melaku- kan intervensi melalui pembentukan pola ruang permukiman yang memicu munculnya peningkatan produktivitas kerja dan adanya akses atas pelayanan publik dasar, yakni pendidikan dan kesehatan. Dengan adanya fasilitas pelayanan publik, infrastruktur, dan investasi sosial me- madai yang berada di lingkungan kawasan kumuh, maka lambat laun akan terjadi transformasi menjadi kawasan yang lebih layak. Pemba- ngunan infrastruktur dan akses layanan publik adalah perlindungan yang efektif untuk mencegah meluasnya kawasan kumuh, khususnya di perkotaan.

  Selama ini, komitmen untuk menjamin hak bermukim di kota dari seluruh penghuninya kurang ditunjukkan oleh pemerintah. Peng- huni liar (squatter) misalnya, walaupun mereka membangun rumah- nya di atas tanah ilegal, bukan berarti pemerintah dapat secara mudah mengusir mereka. Hak bermukimnya perlu dilindungi, sehingga akan lebih baik apabila pemerintah melakukan kebijakan relokasi, dengan menyediakan aset-aset penghidupan seperti yang telah ada di tempat tinggal sebelumnya, sehingga pendekatan sosial dan kemanusiaan ma- sih dapat dirasakan oleh mereka.

  Buku ini berusaha memaparkan secara komprehensif tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mewujudkan penanganan permuki- man berbasis hak, juga langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya. Apabila rekomendasi dan pertimbangan yang dimuat dalam buku ini dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya secara konsekuen, maka kita dapat optimis bahwa krisis yang melanda sektor perumahan dan permukiman saat ini akan segera teratasi.

  Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

  Jakarta, Desember 2012 Sekretaris Kemenko Kesra

  Indroyono Soesilo

KATA PENGANTAR

  Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk semua, Hak untuk bermukim di kota merupakan salah satu hak dasar yang sering diabaikan oleh pemerintah. Ini merupakan hal yang ironis mengingat urgensi dari pemenuhan hak tersebut terlihat sedemikian mencoloknya di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Untuk mem- buktikan hal ini, kita dapat menyodorkan fakta bahwa masih banyak jumlah backlog yang diderita masyarakat dan masih cukup luasnya ka- wasan kumuh yang bertebaran di pusat-pusat kota besar.

  Salah satu manifestasi nyata dari pemenuhan hak akan kota adalah hak untuk bermukim. Hak untuk bermukim ini sangat dibutuh- kan terutama oleh penduduk kota yang tinggal di kawasan kumuh. Se- lama ini mereka sering dianggap sebagai beban oleh pemerintah kota. Pandangan demikian menyebabkan pemerintah mengingkari hak ber- mukim dari penghuni kawasan kumuh, yakni dengan menggusur tem- pat tinggal mereka. Demikian juga halnya dengan penghuni liar, yakni mereka yang tinggal dikawasan ilegal. Meskipun tinggal dikawasan ile- gal namun mereka tetap warga negara yang semestinya mendapat per- lindungan. Pemerintah tidak dapat serta merta mengusir tanpa peduli dengan nasib mereka nantinya. Akan lebih baik apabila pemerintah melakukan kebijakan relokasi sehingga pendekatan kemanusiaan ma- sih dapat dirasakan oleh mereka.

  Dalam kondisi demikian, kita patut bersyukur dengan diluncur- kannya buku ini. Semoga buku ini hadir sebagai jawaban atas apa yang dibutuhkan selama ini, yaitu pegangan dan panduan yang jelas dan komprehensif tentang perlindungan hak bermukim bagi MBR dan war- ga miskin di perkotaan. Memang, buku tersebut bukan panacea atau obat yang mujarab untuk mengatasi segala masalah. Namun demikian, buku tersebut setidaknya mampu menjadi panduan/pedoman dasar yang merangkai kebijakan perumahan di masa depan agar lebih efektif dan berhasil.

  Kami mengapresiasi tim penyusun buku beserta pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunannya, di antaranya seluruh peserta dari rangkaian diskusi, karena kami menyadari bahwa penyusunan buku tersebut bukanlah hal yang sederhana. Membuat analisis kebijakan tentang Perlindungan terhadap Hak Bermukim bagi MBR dan Warga Miskin di Perkotaan merupakan kerja yang multidimensi karena meli- batkan lintas aktor, lintas disiplin ilmu, dan lintas sektor juga mem- butuhkan usaha, energi, dan dana yang tidak sedikit. Selamat atas di- luncurkannya buku ini. Kami harapkan para pemangku kepentingan dapat menjadikan buku yang ada sebagai acuan dalam bertindak dan melakukan evaluasi dalam pembangunan permukiman.

  Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, Jakarta, Desember 2012

  Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat

  Adang Setiana

  BAB I HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN__11 A. Kontribusi MBR dan Warga Miskin Kota__14 B. Kebijakan Pertanahan di Perkotaan__17 C. Bermukim di Perkotaan Indonesia__22 D. Jaminan Keamanan Bermukim dan Kepemilikan Tanah__29 E. Perspektif HAM dan Hak Bermukim__41 BAB II PENGATURAN PEMERINTAH DALAM HAK BERMUKIM__49 A. Pengaturan Penguasaan atas Tanah__54 B. Pengaturan Lembaga dan Pembiayaan Pertanahan__63 C. Pembelajaran dari Negara Lain__74 BAB III STRATEGI PERLINDUNGAN HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN__93 A. Peralihan Hak Bermukim bagi MBR dan Warga Miskin__109 B. Kepemilikan Tanah Komunal__111 C. Tata Kelola Tanah melalui Good Governance___116 EPILOG__149 DAFTAR PUSTAKA__151

DAFTAR SINGKATAN

  APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BAB Buang Air Besar BKM Badan Keswadayaan Masyarakat BLUD Badan Layanan Umum Daerah BPD Bank Pembangunan Daerah BPN Badan Pertanahan Nasional BPS Badan Pusat Statistik BUMN Badan Usaha Milik Negara CCO Certificate of Customary Ownership CSR Corporate Social Responsibility HAM Hak Asasi Manusia HGB Hak Guna Bangunan HGU Hak Guna Usaha HP Hak Pakai Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat Kemendagri Kementerian Dalam Negeri Kemenpera Kementerian Perumahan Rakyat

  KK Kepala Keluarga

  KSM Kelompok Swadaya Masyarakat

  KTP Kartu Tanda Penduduk

  LIS Land Information System LSM Lembaga Swadaya Masyarakat MAP Management Assistane Program

  MBR Masyarakat Berpenghasilan Rendah MCK Mandi, Cuci, Kakus

  MDGs Millenium Development Goals

  NLIS National Land Information System

  P2BJ Panitia Pengadaan Barang Jasa

  P2BPK Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok PBB Pajak Bumi dan Bangunan PAMSIMAS Penyediaan Air Minum Sanitasi Berbasis Masyarakat Perum Perumnas Perusahaan Umum Perumahan Nasiona PKH Program Keluarga Harapan PKK Program Kredit Komunitas PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PP Peraturan Pemerintah PPP Public Private Partnership PPAT Pejabat Pembuat Akta Tanah PPSP Program Pembangunan Sanitasi Permukiman PRT Pembantu Rumah Tangga

  RAB Rincian Anggaran Belanja

  Raskin Beras Miskin RS/RSS Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana RSRTLH Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni RTLH Rumah tak layak huni SANIMAS Sanitasi Berbasis Masyarakat SDM Sumber Daya Manusia SHCF Social Housing Finance Corporation

  SPK Surat Perintah Kerja

  SPM Standar Pelayanan Minimal SPPIP Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruk- tur Perkotaan

  UKM Usaha Kecil-Menengah UU Undang-Undang UU PKP Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permu- kiman WNI Warga Negara Indonesia WSLIC Water Supply and Sanitation for Low Income Commu­ nities Project 

PROLOG

  Isu tentang hak bermukim di kota berkaitan erat dengan penghu- ni kawasan kumuh. Meski bukan berarti isu tersebut hanya berhubung- an secara eksklusif dengannya. Ini dikarenakan diskursus hak bermu- kim di kota sesungguhnya menyentuh dimensi pembangunan kota secara makro dan holistik. Ketersediaan lapangan kerja dan besarnya perputaran uang di perkotaan menjadi faktor penarik banyaknya orang yang pindah dan tinggal di kota. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 memprediksikan bahwa urbanisasi akan mencapai 68 persen pada ta- hun 2025 dan tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa sudah di atas 87 persen.

  Keberadaan para pendatang selain menambah kepadatan pen- duduk dan membutuhkan perlindungan kepastian bermukim, juga rentan memperluas kawasan kumuh dan hunian liar. Secara konstitu- sional, negara harus memenuhi hak dasar warga negaranya, sehingga intervensi pemerintah diperlukan untuk menjamin hak bermukim ma- syarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan warga miskin di perkotaan.

  Keterkaitan erat antara hak bermukim dan kawasan kumuh muncul karena para penghuni kawasan kumuh merupakan pihak yang haknya untuk bermukim di kota paling rentan untuk dicabut dan diabai kan. Ini karena kawasan kumuh sebagai tempat mereka tinggal dan bertahan hidup sangat jarang dilindungi oleh status keamanan bermukim (secure tenure) oleh pemerintah.

  Buku ini akan membahas potensi MBR dan warga miskin di perkotaan sebagai gold dust urban economy yang sering terlupakan, dan gagasan tentang hak akan kota. Pembahasan dilanjutkan dengan pentingnya jaminan keamanan bermukim serta dampak negatif yang muncul apabila jaminan bermukim tersebut tidak terpenuhi. Penyele- saian kawasan kumuh sering kali dianggap bisa diselesaikan dengan penataan kawasaannya saja. Faktanya, diperlukan regulasi yang tegas dan rinci, yang tidak hanya menonjol pada awal perencanaan tetapi juga harus konsisten hingga tataran implementasi. Karenanya diperlu- kan pula lembaga khusus yang mengatur pertanahan dan perlindung- an hak bermukim.

  Dalam buku ini dibahas pula tata kelola tanah melalui good go­ vernance dan strategi perlindungan yang dilakukan pemerintah baik dari aspek regulasi, kelembagaan, dan pembiayaan. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memperbesar akses MBR dan warga miskin dalam mengakses sumber daya permukiman serta mendapatkan jaminan kepastian bermukim.

BAB I HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN Kota merupakan mesin pembangunan yang menjadi tempat

  ideal untuk melakukan kerja sama. Orang-orang dengan berbagai latar belakang dan kapasitas secara kolektif menciptakan dinamika ekonomi atas dasar variasi kemampuan, operasi, sumber daya, pengetahuan, dorongan personal, kepemimpinan, dan kemauan politik. Modalitas ini akan mampu didayagunakan secara maksimal manakala kota diorgan- isasi secara efisien melalui kombinasi perencanaan spasial dan peren- canaan sumber daya secara bersama-sama. Perencanaan ini dilakukan dengan memperhatikan berbagai komponen yang ada dan berbagai proses ekonomi yang eksis, baik yang bersifat primer maupun sekunder, pencipta atau pendorong, produsen maupun konsumen (Mutter dalam Payne, 2002: v).

  Kota juga merupakan pusat kegiatan masyarakat yang tingkat pertumbuhan penduduknya terus mengalami peningkatan. Pertumbu- han ini dapat berasal dari migrasi dari perdesaan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun pertumbuhan penduduk alami.

  Beberapa faktor terjadinya migrasi ke kota adalah karena faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota karena adanya peluang kerja, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang lebih baik.

  Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan migrasi ke kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat memengaruhi masa dan hasil panen. Ban- yak petani terlilit utang dan kehilangan tanah, lalu terpaksa mencari lapang an kerja lain di kota. Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali migrasi terjadi secara tempo- rer dan berulang; masyarakat desa pergi ke kota, mencari peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung. Setelah mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa.

Kontribusi MBR dan Warga Miskin Kota

  Menjadikan kota sebagai habitat yang ramah bagi warganya merupakan pengakuan terhadap kontribusi MBR dan warga miskin kota sebagai warganegara yang berharga. Mereka sesungguhnya memiliki potensi yang signifikan untuk menunjang kemajuan kota, sedemikian rupa sehingga mereka seringkali dijuluki sebagai debu emas dari eko- nomi perkotaan (gold dust of urban economy).

  Istilah ini merupakan metafora yang menarik karena mampu mengilustrasikan posisi orang miskin dalam perkotaan. Di satu sisi, mereka seringkali dianggap sebagai

  Mereka

  debu yang tidak berharga dan tidak diperhatikan oleh pemerintah dan sesungguhnya kaum elit kota sehingga kebijakan

  memiliki potensi

  yang dibuat seringkali tidak mengin-

  yang signifikan

  dahkan efek bagi kemanfaatan dan

  untuk menunjang

  keadilan kaum miskin. Namun di

  kemajuan kota,

  balik stereotip dan tampilan permu- kaannya yang seringkali dipandang

  sedemikian rupa

  sebelah mata tersebut, sesungguh-

  sehingga mereka

  nya MBR dan warga miskin kota

  seringkali dijuluki

  memberikan manfaat yang signifi-

  sebagai debu

  kan bagi berlangsungnya kehidupan kota secara lancar dan efektif. Diam-

  emas dari ekonomi

  diam, tanpa mendapatkan bantuan

  gold dust of kota (

  dari pemerintah –jika malah bukan- urban economy). nya direpresi– mereka memberikan manfaat yang besar bagi pertumbuhan ekonomi melalui pengisian po- sisi dan peran sosio-ekonomi informal.

  MBR dan warga miskin kota memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kota, terutama bagi kota yang sedang mengalami geliat industrialisasi. Periode industri- alisasi sangat bergantung pada keberadaan tenaga kerja murah ber- jumlah banyak. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan sebagai daya tarik investasi di kota. Jenis tenaga kerja semacam ini biasanya meru- pakan golongan penduduk miskin yang berpendidikan rendah dan rela dibayar murah. Golongan pekerja ini dapat dikerahkan untuk memba- ngun objek dan infrastruktur yang dibutuhkan oleh kota yang sedang berkembang, seperti rumah, jembatan, jalan, hotel, atau pusat perbe- lanjaan. Selain itu, hanya golongan pekerja ini pula yang bersedia un- tuk melakukan pekerjaan-pekerjaan krusial untuk menjaga kebersihan kota seperti mengangkut sampah, memelihara saluran pembuangan, atau merawat taman.

  Demikian pula dengan pekerjaan-pekerjaan “marjinal” seperti pengasuh bayi, pembantu rumah tangga (PRT), pelayan, pembersih, tukang cuci, sopir taksi, dan porter. Semua ini tidak akan ada yang melakukan apabila tidak ada penduduk miskin, yang biasanya tinggal di kawasan kumuh dan ilegal di kota.

  MBR dan warga miskin kota juga biasanya menyelenggarakan usaha-usaha ekonomi informal seperti makanan kaki lima, perdagang- an asongan dan eceran, dan warung pinggir jalan. Melalui usaha-usaha tersebut, ekonomi rakyat dapat digiatkan karena perputaran uang ter- jadi secara deras di antara sesama rakyat kecil, baik itu produsen mau- pun konsumennya. Di negeri ini, sebagaimana pengalaman historis telah membuktikan, kegiatan ekonomi riil seperti itu seringkali menjadi penyelamat di saat krisis ekonomi yang parah melanda.

  Untuk memastikan bahwa MBR dan warga miskin kota mampu merealisasikan potensinya, tidak cukup memproteksi mereka dengan berbagai kebutuhan dasar seperti kesehatan, tempat tinggal yang la- yak, nutrisi, keamanan, dan pembebasan dari eksploitasi. Mereka juga memerlukan penjaminan atas kemampuan mereka untuk berkembang melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Dalam rangka mengikutsertakan mereka dalam dinamika ekonomi, mereka perlu mendapatkan kepastian tentang tempatnya di dalam masyarakat dan eksistensinya dalam terminologi fisik-spasial. Untuk itu perlu diupaya- kan perluasan kebebasan MBR dan warga miskin kota agar mereka dapat menjadi agen perubahan yang mampu menyumbangkan nilai tambah lebih banyak lagi bagi kota secara umum, dan mampu mengu- rangi kemiskinan di komunitasnya secara khusus.

  Potensi mereka harus dijaga agar tetap bisa memberikan kon- tribusi. Untuk itu banyak cara yang bisa dilakukan, terutama jika pemerintah mengembangkan kemitraannya dengan pihak swasta. Perusahaan-perusahaan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masif menjalankan proses produksi di kota bisa dijadikan sasaran un- tuk mengembangkan dan melanggengkan potensi MBR dan warga miskin, salah satu contohnya adalah melakukan program pemberdaya- an masyarakat. Atau apabila pemerintah lebih serius menangani per- lindungan potensi tersebut, pemerintah kota dapat menegaskan lang- kahnya dengan membuat program resmi yang berkerja sama dengan pemangku kewajiban dari pihak swasta. Sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan gold dust urban economy, pemerintah bisa melibatkan mereka dalam proses pemanfaatan tanah yang adil.

  Dalam keseluruhan upaya tersebut, pemberian jaminan hak ber- mukim di kota menempati posisi yang fundamental. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, pemberian jaminan hak bermukim meru- pakan hak utama yang menjadi syarat dari ketahanan dan keberlanjut- an kehidupan MBR dan warga miskin kota. Kedua, kebanyakan MBR dan warga miskin kota merupakan penduduk yang tinggal di yakni ka- wasan kumuh dan ilegal. Kawasan semacam ini rentan untuk dicabut hak keamanan bermukimnya, dengan cara penggusuran atau peng- usiran paksa.

  Untuk bermukim, tanah adalah kebutuhan setiap orang. Namun di sisi lain, banyak orang terutama orang kaya, hanya menggunakan ta- nah sebagai komoditas dan investasi harta, karena harga tanah yang dinamis sesuai dinamika dan keadaan ekonomi negara. Kepemilikan ta- nah juga mempunyai kekuatan dalam integrasi sosial maupun kepen- tingan individu. Identitas sosial dalam kepemilikan tanah sangat ber- guna untuk memperebutkan kekuasaan ataupun sumber pendapatan.

  Dengan alasan itulah, dibutuhkan struktur yang bertanggung jawab pada administrasi tanah dan atribusinya, adanya intervensi-in- tervensi terkait distribusi tanah, dan bisa menjadi sarana mediasi kon- flik yang kerap muncul karena perampasan dan penggunaan tanah yang tidak sesuai. Maka dari itu, keberadaan kebijakan pertanahan di perkotaan sangatlah penting untuk meregulasi kepemilikan dan me- lindungi hak bermukim warga negara dengan adil. Manfaat kebijakan pertanahan sangat luas, tidak hanya pada tataran yang berdampak langsung pada tanah tetapi juga bisa mendukung kondisi ekonomi global dan sosial politik.

Kebijakan Pertanahan di Perkotaan

  Dengan adanya kebijakan pertanahan, masalah kepemilikan ta- nah harus menjadi fokus tersendiri untuk dikaji, karena kebijakan kepe- milikan tanah yang komprehensif sangat diperlukan untuk memini- malisir dampak dari hak bermukim yang tidak terjamin dan diharapkan akan mampu menangani isu-isu permasalahan spesifik di setiap nega- ra, sehingga akan ada jaminan keamanan bagi penduduk. Menurut Dey (2006), terdapat enam tujuan kebijakan kepemilikan. Penjelasan nya dapat dilihat pada skema berikut.

Tabel 1.1 Enam Tujuan Kebijakan Kepemilikan

  Adanya peningkatan kegiatan ur- banisasi akan mendorong pen- ingkatan kebutuhan perumahan. Untuk mencegah peningkatan permukiman kumuh, maka diper-

  Mendorong adanya investasi lukan pembangunan perumahan pembangunan dan perbaikan dengan kondisi layak huni dan sa- perumahan. rana prasarana yang memadai.

  Jaminan kepemilikan menjadi dasar bagi setiap orang untuk melakukan pembangunan baru atau perbaikan perumahan di atas tanah yang didi- aminya. Pembangunan pprumahan perlu didukung adanya kredit yang me- madai. Salah satu syarat kredit for-

  Meningkatkan akses kredit mal adalah kepemilikan tanah. Se- formal hingga kepemilikan tanah dapat menjadi jaminan dalam kredit for- mal tersebut.

  Salah satu pendapatan daerah adalah pajak kepemilikan tanah, dengan adanya pembayaran pajak

  Meningkatkan pendapatan atas kepemilikan tanah maka akan daerah dari pajak. meningkatkan pendapatan daerah.

  Hasil dari pembayaran pakan terse- but dapat digunakan pemerintah dalam meningkatkan fasilitas sosial.

  Pembangunan dilaksanakan bu- kan untuk kepentingan keuntung- Meningkatkan pengaruh sek- an pengembang swasta, dengan tor publik atas pasar tanah demikian pembangunan lebih di- dan perumahan. arahkan untuk meningkatkan kese- jahteraan rakyak terutama masyara- kat miskin. Kebijakan harus jelas untuk mem-

  Meningkatkan efisiensi pasar berikan arahan dalam peman- tanah dan perumahan. faatannya, mengingat sifat tanah yang terbatas. Kebijakan tidak hanya melayani kaum elit, sehingga dengan adanya

  Meningkatkan ekuitas pasar kebijakan tanah akan memberikan tanah perumahan. hak dan jaminan keamanan yang sama bagi semua lapisan masyara- kat.

  Sumber: Dey, dkk, 2006 Di akhir abad 20, banyak kebijakan yang mengkaji tentang tanah lebih fokus pada intervensi langsung oleh pemerintah, misalnya me- ningkatkan kepemilikan tanah negara, redistribusi penguasaan lahan, pembatasan tanah dan kepemilikan, membentuk agen pertanahan dan asosiasi pengembang, dan lain-lain. Kebijakan tersebut jarang menca- pai sasaran karena alasan teknis dan politis seperti kurangnya sumber finansial dan kemauan politik, hubungan kekuasaan yang mengham- bat perubahan, atau korporatisme yang mengekploitasi status quo (French Development Cooperation, 2009).

  Fokus yang sama juga terjadi pada kebijakan tanah di perkotaan pada 1970 dan 1980-an. Ada tiga topik utama yang saling melengkapi dan mengisi tergantung pada perhatian Negara, yaitu nasionalisasi ta- nah, langkah-langkah untuk membatasi kepemilikan tanah, dan pem- bentukan agen pengembangan properti atau asosiasi pengembang. Nasionalisasi tanah, yang dapat diperpanjang hingga terhapusnya semua kepemilikan privat, mayoritas terjadi di negara-negara sosialis di Asia dan negara di bawah rezim Afrika yang mengikuti model sosialis. Kebijakan ini menunjukkan pembatasan terhadap sentralisme yang berlebihan terhadap administrasi tanah, kontrol yang tidak efektif dan alokasi penggunaan tanah untuk mengamankan kehendak atas pemili- han pemanfaatan tanah.

  

Pembatasan kepemilikan bertujuan untuk

membatasi jumlah tanah yang bisa dimiliki

individu di desa dan kota. Tujuannya agar

distribusi tanah untuk warga negara bisa merata

dan menghindari kondisi ketika banyak tanah

tidak dipakai sedangkan di sekitarnya terdapat

area kumuh dan hunian liar.

  Pembatasan kepemilikan bertujuan untuk membatasi jumlah ta- nah yang bisa dimiliki individu di desa dan kota. Tujuannya agar distri- busi tanah untuk warga negara bisa merata dan menghindari kondisi ketika banyak tanah tidak dipakai sedangkan di sekitarnya terdapat area kumuh dan hunian liar. Kebijakan ini menggunakan peraturan hu- kum untuk mencegah orang memiliki banyak tanah untuk tujuan spe- kulasi, serta memfasilitasi terciptanya persediaan tanah untuk publik dengan adanya kelebihan tanah yang layak.

  Saat inisiatif mengenai nasionalisasi dan pembatasan kepemi- likan tanah dilakukan, di saat itu juga akan terbentuk agensi tanah dan asosiasi pengembang. Peran agensi tanah adalah menentukan persedi- aan tanah publik yang kemudian bisa dikembangkan, sementara aso- siasi pengembang melakukan proyek-proyek terkait perumahan baik industrial maupun komersial di lokasi persediaan tanah tersebut, atau bekerja sama dengan pemilik tanah privat.

  Inisiatif ini digunakan banyak negara hingga awal 1990-an dan secara teoretis memungkinkan otoritas publik memengaruhi pilihan pengembang dan menyediakan tanah produktif melalui pasar tanah. Namun pada kenyataannya, inisiatif tersebut mengecewakan karena adanya pembatasan teknis dan sistem politis yang ada.

  Kelemahan sistem tersebut secara politis telah menuai banyak kecaman. Banyak yang berargumen bahwa agensi tanah mengganggu kinerja pasar tanah karena menerapkan sistem harga ganda dan ada- nya kompetisi dengan pihak swasta yang tidak bersubsidi. Meskipun kritik terhadap model intervensi publik pada tahun 1970-an dibenar- kan, tetap saja harus diingat bahwa model dari pertumbuhan kota yang sangat bergantung pada sistem pasar tidaklah realistis, dan tidak ada model seperti itu yang secara liberal dikembangkan oleh negara.

  Dalam kebijakan pertanahan ada dua intervensi yang dibedakan menjadi intervensi langsung dan tidak langsung dari pemerintah. In- tervensi langsung mencakup identifikasi jenis-jenis hak atas tanah yang mempunyai dasar hukum, kemungkinan status hukumnya, serta kewa- jiban, larangan, dan kewenangan untuk menggunakan tanah. Interven- si pun tidak dilakukan serta merta. Ada perangkat dan prosedur khusus yang digunakan pada jenis intervensi ini, di antaranya adalah pengem- bangan skema dan rencana yang telah dirancang karena dalam setiap aksi yang dilakukan pemerintah pasti didahului perencanaan baik dari segi anggaran maupun jangka waktu intervensinya. Selain itu juga bisa berupa perencanaan manajemen tanah, pembuatan masterplan, serta reorganisasi, pembagian, dan penyediaan layanan yang berhubungan dengan tanah.

  Prosedur dan perangkat khusus tersebut kemudian diaplikasi- kan di wilayah yang termasuk dalam kota administratif atau di daerah- daerah khusus yang sengaja dipilih seperti di area yang sedang dikem- bangkan, wilayah irigasi, dan wilayah dalam jaringan infrastruktur. Ini dilakukan agar kebijakan dapat terimplementasi dengan luas hingga ke semua wilayah, mengingat urgensi kepemilikan tanah dan jaminan atas hak bermukim juga ada di semua wilayah.

  Inisiatif yang dilakukan pemerintah terkadang tidak tepat sasaran. Tak jarang pula terjadi tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya. Untuk menghindari hal tersebut, maka prosedur-prosedur di dalam kepemilikan tanah perlu dicermati misalnya transfer dan penilaian tanah publik. Setelah semua prosedur itu dilalui baru kemudian intervensi bisa diimplementasikan oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam ranah itu seperti administrator yang bertanggung jawab atas manajemen tanah, institusi-institusi khusus, agensi pertanahan, atau asosiasi pengembang.

  Sedangkan untuk intervensi tidak langsung, aksi yang dilaku- kan pemerintah tidak langsung berimbas pada kepemilikan tanah itu sendiri namun pada hal-hal yang menaunginya. Pemerintah memberi- kan perhatian terhadap jenis-jenis yang berbeda dari penggunaan ta- nah yang produktif dengan melakukan kontrol pada perubahan fungsi tanah dan memengaruhi pasar tanahnya. Pemerintah juga menentu- kan persediaan tanah publik dan memanfaatkan perangkat perpajakan seperti pajak tahunan dan pajak perubahan fungsi tanah atau penam- bahan nilai pada tanah tersebut. Kebijakan pinjaman, meregulasi akti- vitas yang berhubungan dengan pengembangan tanah, dan mempro- mosikan serta mengatur kepemilikan tanah.

Bermukim di Perkotaan Indonesia

  Sebelum membahas mengenai jaminan keamanan bermukim berikut strategi-strategi untuk mengimplementasikannya, perlu terlebih da- hulu didapatkan gambaran mengenai kondisi empiris yang terjadi di Indonesia. Dengan mencermati penjelasan yang telah disampaikan di atas, data yang perlu dicermati antara lain tingkat kemiskinan, tingkat urbanisasi, luas kawasan kumuh, struktur tenaga kerja, dan jumlah kekurangan rumah (backlog). Pencermatan atas data tersebut dapat di- gunakan sebagai latar belakang untuk menggambarkan seberapa be- sar tantangan yang dihadapi dalam upaya untuk memberikan jaminan keamanan bermukim. Sebab, data yang definitif mengenai jumlah aku- rat dari penduduk yang membutuhkan jaminan keamanan bermukim, berikut sebaran lokasi dan profesinya, tidak tersedia di Indonesia.

Gambar 1.1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia

  miskin pedesaan miskin perkotaan miskin perkotaan jumlah penduduk miskin

  10

  20

  30

  40 Maret 2011 Maret 2012

  Sumber: BPS 2012 Dari keterangan di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin, meskipun mengalami penurunan, sampai saat ini jumlahnya masih cukup besar. Di perkotaan, persentasenya mencakup 8,78 persen atau 10,65 juta orang. Jumlah sebesar ini merupakan angka populasi MBR dan warga miskin kota yang menjadi kontributor utama atas gold dust of urban economy. Meskipun jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih sedikit daripada yang ada di desa, namun data tersebut sebaik- nya tidak dibaca secara optimis. Justru dengan banyaknya penduduk miskin di pedesaan, dikhawatirkan akan ada banyak di antara mereka yang melakukan urbanisasi di kota.

  BPS memprediksikan bahwa urbanisasi akan mencapai 68 per- sen pada tahun 2025 atau naik dari 48 persen pada tahun 2005. Bahkan, tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada 2025 sudah di atas

  80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Padahal pola-pola yang ada selama ini menunjukkan, alih-alih meraih kesejahteraan yang lebih layak, kondisi kesejahteraan mereka tidak bertambah baik di kota. Artinya, apa yang terjadi hanyalah perpindah- an lokasi kemiskinan dari desa ke kota. Problem ini terkait erat dengan gagalnya pemerintah melakukan pemerataan pembangunan, suatu masalah yang sudah terjadi sejak lama.

  Gagalnya para pendatang bersaing dalam kehidupan kota nis- caya juga akan meningkatkan luas kawasan kumuh dan liar. Pada ta- hun 2009 saja, jumlah luas kawasan kumuh telah mencapai 57.000 ha, naik dari tahun 2004 sebesar 54.000 ha. Kecenderungan kenaikan ini diperkirakan akan terus berlanjut. UN-Habitat (2007) pernah mem- perkirakan, tidak kurang dari dua juta masyarakat perkotaan di Indo- nesia akan tinggal di kawasan kumuh pada 2030. Ini merupakan suatu prediksi yang seolah mementahkan optimisme pemerintah, yang de- ngan program akselerasinya melalui pencanangan tahun 2020 sebagai “tahun kota bebas kumuh”.

  Berkaitan dengan struktur ketenagakerjaan di Indonesia, mayo- ritas tenaga kerja bergerak di sektor informal. Berdasarkan data BPS ta-

  

hun 2011, dalam 117 juta angkatan kerja, 109 juta di antaranya telah

mendapatkan pekerjaan. Rinciannya, 41,5 juta tenaga kerja formal dan

sisanya merupakan tenaga kerja informal (sebanyak 68,2 persen). Di

  antara para pekerja sektor informal yang bekerja di kota, dapat diper- kirakan bahwa banyak di antara mereka yang menjadi bagian dari gold dust of urban economy. Hampir dapat dipastikan pula, banyak di anta- ra mereka yang sangat membutuhkan jaminan keamanan bermukim karena mereka tinggal di kawasan yang rentan.

  Walaupun disebut sebagai gold dust urban economy, MBR dan warga miskin kota tetap saja merupakan kelompok yang paling mem- butuhkan jaminan atas hak bermukim. Sebab, menurut perspektif ini, MBR dan warga miskin kota mempunyai kontribusi besar dalam pem- bangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, namun mereka juga merupakan kelompok yang paling rentan dalam masyarakat. Kerentanan tersebut disebabkan oleh kemampuan ekonomi mereka yang lemah. Dengan kondisi tersebut, mereka akan kesulitan untuk mengakses rumah yang layak dan aman, yakni rumah yang didirikan di atas tanah dengan status legal terjamin. Sebagai akibatnya, mereka ter- paksa tinggal di rumah tanpa jaminan keamanan bermukim sehingga seringkali menjadi korban penggusuran pemerintah.

  Tanpa adanya kriteria yang jelas tentang MBR mengakibatkan segala desain, kebijakan, dan rancangan sebaik apapun belum bisa berjalan dengan baik karena hal itu membuat birokrasi sebagai organ pelaksana kebijakan tidak dapat bekerja dengan efektif. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif, birokrasi harus bekerja secara terukur, fokus, dan terkontrol. Kejelasan sasaran dan tujuan merupakan variabel penting yang mendeterminasi keberhasilan dari operasional- isasi kerja birokrasi. Dalam kaitannya dengan MBR, kejelasan tersebut terkait dengan pengertian yang jelas dan baku tentang kriteria warga yang dikategorikan sebagai MBR.

  Kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan MBR ini penting karena tanpanya, kebijakan dan program yang dijalankan oleh berba- gai kementerian akan menjadi tumpang tindih dan tidak sinkron. Bank Dunia menyebutkan kriteria orang miskin yaitu orang yang pendapa t- an per kapitanya kurang dari 2 dolar per hari. Namun ternyata kriteria ini tidak serta merta diadopsi oleh berbagai kementerian yang meng- urusi kemiskinan di Indonesia. Setiap kementerian di Indonesia yang bertanggung jawab dalam hal pengatasan masalah kemiskinan memi- liki kriteria masing-masing dalam menentukan kelompok masyarakat yang akan dilayani.

  Idealnya, terdapat satu kriteria umum untuk menentukan kate- gori warga yang dikatakan sebagai golongan MBR. Selanjutnya, kriteria umum tersebut diturunkan ke dalam kriteria-kriteria khusus yang di- dasarkan pada perbedaan profesi (petani, nelayan, buruh, penganggur- an, dan lain-lain) atau perbedaan kondisi (anak jalanan, lansia, korban narkoba, penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, dan lain-lain). Kriteria yang baku dan komprehensif tersebut akan menjadi bagian in- tegral yang fundamental dari usaha pemberian jaminan hak bermukim.

  Sebagai masyarakat yang hidup di perkotaan, hak bermukim MBR dan warga miskin harus dijamin. Kelima hak itu adalah tanah, rumah, prasarana, aset komunitas, dan kelembagaan. Berikut adalah ta- bel yang menunjukkan jenis hak yang perlu dijamin beserta program- program yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai target per- lindungan keamanan bermukim.

Tabel 1.2 Hak yang Dijamin dalam Keamanan Bermukim

  Jenis hak yang dijamin Target dalam keamanan bermukim

  TANAH (penyediaan tanah) Aman dan berkeadilan Hak Milik dan Hak Sewa

  Program : Distribusi penguasaan ta- nah secara berkeadilan RUMAH Program : Bedah kampung, Pemban-

  Rumah sosial/rumah sing- gunan Perumahan Berbasis pada Ke- gah, rumah sewa, rumah sub- lompok (P2BPK), Perumahan sosial, sidi yang layak dan terjangkau

  Subsidi perumahan, dan Bantuan stimulan PRASARANA Standar Pelayanan Minimal (SPM)

  Penataan Ruang, Perumahan dan Program : Keterpaduan pem-

  Permukiman dalam pelayanan air bangunan permukiman dengan bersih, pengelolaan sanitasi dan prasarana perkotaan (Strategi limbah, pengelolaan sampah, trans-

  Pembangunan Permukiman dan portasi publik, jaringan drainse,

  Infrastruktur Perkotaan/SPPIP), dan sistem penerangan/ jaringan listrik

  Program PAMSIMAS, SANIMAS Harmonis, guyub, berkelanjutan;

  Ruang bersosialisasi/ruang terbuka Program : SDM, ruang komunal, dan publik; Kedekatan dengan sumber finansial mata pencaharian

  KELEMBAGAAN Program : lembaga keuangan mikro, Kemitraan kelompok arisan dan menabung, dan lembaga usaha Menurut Nurmandi (2006: 127), ada enam sektor yang saling berhubung an di perkotaan yang harus ditangani pemerintah yaitu lingkungan, infrastruktur, pertanahan, perumahan, fasilitas sosial, dan pembangunan ekonomi.

  Skema 1.1 Sektor yang harus Mendapat Perhatian Pemerintah di Perkotaan

  Pembangunan Jumlah penduduk

  Infrastruktur ekonomi miskin

  SEKTOR PERKOTAAN YANG PERLU MENDAPAT PERHATIAN PEMERINTAH

  Fasilitas Perumahan

  Pertanahan sosial Lingkungan mencakup penyediaan dan penanganan penggu- naan sumber daya air, udara, dan tanah yang berkesinambungan. Sek- tor infrastruktur meliputi air bersih, jalan dan jembatan, fasilitas pendu- kung seperti komunikasi, sanitasi, hingga fasilitas pengelolaan sampah. Sektor pertanahan adalah pendaftaran tanah, pemetaan, prosedur peralihan hak atas tanah, perencanaan penggunaan lahan, dan sistem perpajakan atas tanah.

  Penyediaan perumahan bagi semua golongan masyarakat dan pengorganisasian pembiayaan pembangunan perumahan termasuk dalam sektor perumahan. Fasilitas sosial yaitu tersedianya layanan pen- didikan, kesehatan, keamanan yang memadai, program penanganan kaum miskin yang optimal, bahkan fasilitas rekreasi. Sektor terakhir adalah sektor ekonomi yang sangat berpengaruh pada perkembangan perkotaan seperti manufaktur, distribusi barang dan jasa, jasa konstruk- si, perbankan, serta asuransi.

  Agar jaminan bermukim di perkotaan bisa efektif maka dua hal yang perlu dilakukan adalah, pertama penjaminan hak bermukim MBR dan warga miskin harus masuk dalam satuan kinerja pelayanan dasar perkotaan yang nantinya akan dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Kedua, perlu diformulasikan jabaran yang rinci dan teknis untuk pelayanan dasar di dalam pemenuhan hak bermukim.

  Selain itu, problem mengenai backlog juga terkait erat dengan wacana pemberian keamanan bermukim. Seseorang yang tidak mem- punyai rumah secara otomatis juga tidak memiliki jaminan keamanan bermukim. Harga rumah dan tanah yang terlalu mahal serta kurang- nya keberpihakan pemerintah pada kaum tak berumah adalah faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Dari data BPS tahun 2012, jum- lah backlog setiap tahun semakin meningkat, dari 5,8 juta unit pada 2004 menjadi 7,4 juta unit tahun 2009, kemudian mencapai 13,6 juta unit pada 2010. Setiap tahun, jumlah permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 dengan kemampuan membangun yang hanya 200.000 sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap tahun jumlah backlog meningkat sebanyak 700.000.

  Dari data BPS

  Dengan rumus tersebut, maka pada tahun 2012 diperkirakan jumlah back­

  tahun 2012, jumlah log telah mencapai 15 juta. backlog setiap tahun

  Dengan mencermati data di atas,

  semakin meningkat,

  dapat disimpulkan bahwa upaya untuk

  dari 5,8 juta unit

  memberikan jaminan keamanan ber-

  pada 2004 menjadi

  mukim bagi seluruh warga kota meru- pakan tantangan yang sangat berat dan

  7,4 juta unit tahun untuk itu membutuhkan kerja keras. 2009, kemudian

  Pola pembangunan nasional secara

  mencapai 13,6 juta

  umum dan pembangunan perkotaan unit pada 2010. secara khusus telah berkontribusi da- lam menciptakan kondisi tersebut. Suatu upaya pembaruan dan re- orientasi pembangunan perlu dilakukan dengan segera dengan tanpa melupakan perencanaan yang matang.

  Upaya pemberian jaminan keamanan bermukim merupakan salah satu langkah penting yang perlu dijadikan prioritas bersama oleh semua pihak karena apabila jaminan tersebut telah ada, inisiatif-insiatif pembangunan lain akan menjadi lebih mudah dan efektif untuk dilaku- kan.

Jaminan Keamanan Bermukim dan Kepemilikan Tanah

  Kepemilikan tanah (land tenure) adalah cara untuk menguasai atau memiliki suatu tanah, atau seperangkat hubungan di antara orang- orang yang terkait dengan tanah dan produk-produknya. Sistem kepe- milikan tanah dapat bersifat formal maupun informal. Sistem formal diciptakan atas dasar UU dan peraturan hukum yang berlaku, sedang- kan sistem informal biasanya tidak tertulis dan didasarkan atas adat is- tiadat serta tradisi. Konsep kepemilikan tanah juga dapat ditinjau dari sudut pandang jaminannya. Menurut UN-Habitat, jaminan bermukim (secure tenure) merupakan suatu persetujuan di antara individu atau kelompok atas hak menggunakan tanah dan properti sebagai tempat tinggal.

  Jaminan atas keamanan bermukim tidak hanya melalui bentuk- bentuk legal formal seperti hak yang terdaftar atau sertifikat tanah, me- lainkan juga melalui instrumen dan aspek-aspek lain, misalnya kontrak sewa jangka panjang yang jelas, pengakuan atas hak-hak adat, dan per- mukiman informal yang notabene perselisihan di dalamnya bisa disele- saikan dengan efektif dan aksesibel.

  Skema 1.2 Syarat Kepemilikan Tanah SYARAT KEPEMILIKAN TANAH YANG AMAN DAN TERJAMIN

  Mendapatkan perlindungan efektif dari negara dalam menghadapi penggusuran paksa

  Mendapat kebebasan untuk menjual tanah dan mengalihkan hak atas tanah melalui warisan

  Penghuni memiliki akses terhadap kredit di bawah kondisi-kondisi tertentu

  Sumber: FIG/UNHCS dalam UN­Habitat, 2003 Sementara itu, kepemilikan dikatakan tidak terjamin apabila warga yang tinggal di atasnya dapat diusir setiap saat. Terdapat ber- bagai kondisi bermukim yang lazimnya tidak terjamin, misalnya per- mukiman yang sepenuhnya ilegal, pendudukan tanah yang ditoleransi hanya sesaat, atau pendudukan yang legitimasinya atas dasar adat. De- ngan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bermukim formal pasti mendapat jaminan, berbeda dengan sistem bermukim informal.

  Tantangan terbesar adalah bagaimana memberikan jaminan ber- mukim bagi semua model kepemilikan tanah yang ada, termasuk yang bersifat informal. Hal ini penting dan mendesaj untuk segera diwujud- kan karena ikhtiar untuk memberikan jaminan bermukim bagi semua warga negara merupakan salah satu wujud pokok dari pemenuhan hak asasi untuk bertempat tinggal dengan layak, nyaman, dan aman.

  Banyak negara yang mencantumkan “hak akan rumah yang la- yak” dalam konstitusinya. Hak yang sama juga muncul dalam berbagai traktat Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, hak yang lebih penting beru- pa hak untuk dapat secara bebas memiliki dan mentransfer properti, sebagai cerminan dari jaminan keamanan bermukim, ternyata justru absen dari pertimbangan para pembuat konstitusi dan traktat. Tidak diberikannya hak untuk memiliki, menukar, dan mentransfer properti secara bebas justru berkontribusi pada terbentuknya kawasan kumuh itu sendiri. Orang-orang tinggal di kawasan kumuh karena hak mereka untuk tinggal di kawasan formal tidak dijamin oleh pemerintah. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya disinsentif atas upaya investasi penghuni kawasan kumuh terhadap rumah dan lingkungannya. Keti- adaan hak atas properti juga membuat mereka tidak bisa mengakses kredit dan modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha produktif.

  Terdapat suatu pola laten yang menghubungkan pemberian jaminan hak akan keamanan bermukim dengan peningkatan kese- jahteraan umum yang selama ini kurang disadari pemerintah. Pola tersebut dirumuskan ke dalam siklus peralihan utilitas: hak atas ke- amanan bermukim membuahkan kapital, kapital membuahkan inovasi dan kreativitas, dan selanjutnya membuahkan kesejahteraan.

  Pemberian jaminan keamanan bermukim mampu membangkit- kan kekuatan kawasan kumuh yang disebut oleh ekonom Peru Hernan- do de Soto sebagai modal mati (dead capital). Modal mati merupakan hilangnya manfaat yang mungkin diperoleh dari nilai-nilai suatu aset tertentu. Menurut de Soto, kebanyakan modal mati terendap dalam kawasan kumuh, yang merupakan kawasan yang propertinya dimiliki secara informal oleh penghuninya namun tidak diakui secara legal oleh pemerintah.

  Ketidakjelasan status bermukim pada properti tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya ketiadaan sistem pemberian hak yang jelas karena kebijakan pemerintah yang buruk, atau restriksi birokrasi yang mempersulit upaya pemberian hak. Ketidakjelasan sta- tus bermukim menyebabkan terhambatnya upaya kapitalisasi properti, misalnya dengan cara Terbengkalainya modal mati dalam jumlah besar seperti ini sangatlah merugikan, karena sesungguhnya apabila mampu dimanfaatkan secara semestinya, yakni melalui upaya pengakuan dan pengintegrasian ke dalam ekonomi pasar, maka modal mati tersebut dapat memicu pertumbuhan.

  Untuk mengubah orientasi berbasis perencanaan dan proyek menuju ke arah baru yang berbasis pada hak dan kepastian hukum, beberapa langkah substantif perlu segera dilakukan. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menghilangkan berbagai peraturan re- striktif yang selama ini menghambat jaminan keamanan bermukim. Selanjutnya, melalui berbagai terobosan inovatif dan strategis, lambat laun diharapkan semua penghuni kota tinggal di atas tanah yang di- jamin keamanan bermukimnya.

  Selain itu, pemerintah perlu menghapus pandangan negatif bah- wa orang miskin tidak mau untuk membayar pajak dan biaya layanan- layanan publik apabila kelak mereka mendapatkan jaminan keamanan bermukim dan kawasannya ditingkatkan levelnya menjadi kawasan formal. Pandangan ini tak berdasar, patronistik, dan ignoran. Sebab, fakta membuktikan, selama ini orang-orang miskin dengan senang hati membayar kewajibannya dan sekaligus melakukan investasi jangka panjang untuk rumah dan lingkungannya apabila mereka mendapat- kan jaminan keamanan bermukim.

Konsep Dasar Kepemilikan Tanah

  Kepemilikan tanah merupakan penguasaan sebidang tanah yang dipegang atau dimiliki atas tanah. Sistem kepemilikan tanah ter- diri dari dua yaitu kepemilikan formal dan informal. Sistem kepemilikan formal dilaksanakan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kepemilikan tanah informal pada dasarnya dimiliki secara adat.