Memahami Tingkat Melek Politik Warga di Kabupaten Sleman - repository civitas UGM

  

Memahami Tingkat Melek Politik War ga

di Kabupaten Sleman

Tim Peneliti

  

Jur usan Politik dan Pemer intahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univer sitas Gadjah Mada

  K OM I SI PEM I LI H AN U M U M K ABU PAT EN SLEM AN

  

Memahami Tingkat Melek Politik War ga

di Kabupaten Sleman

TIM PENELITI

  

Fasilitator FGD

Mada Sukmajati, Muhammad Mahsun

  

Analisis data dan penyusunan lapor an

Abdul Gaffar Kar im, Ashar i Cahyo Edi,

Desi Rahmaw ati, Ristyan Widiasw ati

  

Jur usan Politik dan Pemer intahan

FISIPOL UGM

Resear ch Centr e for Politics and Gover nment (PolGov)

  

Gd. BA FISIPOL UGM Lt . 4 R. BA 403. Jl. Sosio Yust icia Bulaksumur Yogyakar t a 55281. No

Telp: 0274- 552212; 555880; 563362 (ext . 150).

  

Email: polgov@ugm.ac.id; polgov.ugm@gmail.com

  DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 2

M ETODE PENELITIAN DAN SISTEM ATIKA PENULISAN ......................................................................... 4

KERANGKA TEORI: LITERASI POLITIK .................................................................................................. 5

Definisi Lit erasi Polit ik .................................................................................................................... 5

  Elem en-elem en Lit erasi Polit ik ....................................................................................................... 5 Urgensi Lit erasi Polit ik ................................................................................................................... 6 M em bent uk M asyarakat yang Lit erat e secara Polit ik ..................................................................... 7 Tant angan Lit erasi Polit ik ............................................................................................................... 8

  

TEM UAN-TEM UAN ............................................................................................................................ 8

Pengguna Hak Pilih Secara Kuant it at if: sekilas t injauan secara um um ............................................ 8 Kualit as Lit erasi Polit ik Penduduk Slem an: t em uan FGD ............................................................... 10 Fakt or-fakt or yang M em pengaruhi Tingginya Part isipasi Pemilih ................................................. 10 Pendidikan Pem ilih yang Belum Efekt if ........................................................................................ 12 Beberapa Usulan Rekomendasi yang M uncul dari FGD ................................................................ 16 Kesim pulan FGD .......................................................................................................................... 18

REKOM ENDASI KEBIJAKAN .............................................................................................................. 18

  

BIBLIOGRAFI .................................................................................................................................... 20

LAM PIRAN..……………………………………………………………………………………………………………………………………..22

  PENDAHULUAN

  Hajat an demokr asi di Indonesia yang digelar tahun 2014 lalu menunjukkan tingginya par tisipasi pemilih secar a nasional. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 75,11% pemilih ter catat menggunakan hak pilihnya (KOMPAS.com, 2014a). Angka ini meningkat dar i per iode pemilu 2009 yang mencatatkan 70,99% kehadir an pemilih, dan melampaui tar get Komisi Pemilihan Umum/ KPU sebesar 75% (detikcom, 2014). Sementar a itu pada Pemilu Pr esiden (Pilpr es), w alaupun mengalami sedikit penur unan dibandingkan per iode sebelumnya namun par tisipasi pemilih masih tinggi yaitu sekitar 70% (KOMPAS.com, 2014b).

  Senada dengan capaian di tingkat nasional, Kabupaten Sleman juga mencatatkan tingginya angka par tisipasi pemilih. Kabupaten Sleman mer aih angka par tisipasi pemilih ter tinggi di DIY. Pada Pilpr es 2014 lalu 81,7% pemilih menggunakan hak pilihnya. Capaian ini lebih tinggi dar i Kota Yogyakar ta (77,15%), Kabupaten Bantul (81,3%), Kulonpr ogo (79,3%) dan Gunungkidul yang hanya 77,04% (Har ianJogja.com, 2014a). Dalam pemilu legislatif 2014, angka par tisipasi di Kabupaten Sleman bahkan mencapai 83,276%, melebihi capaian saat pemilu legislatif 2009 yang hanya sekit ar 70% (Har ianJogja.com, 2014b). Tidak hanya itu KPU Kabupaten Sleman selaku penyelenggar a pemilu di kabupaten ini juga mer aih penghar gaanTer baik II KPU Aw ar d 2014 dalam kategor i Kr easi Sosialisasi dan Par tisipasi Pemilu (Kedaulatan Rakyat

1 Online, 2014) .

  Namun demikian tingginya capaian par tisipasi pemilih masih menyisakan skeptisi sme pada banyak kalanganyang menilai bahw a r ealisasi demokr asi di Indonesi a masih sebatas pada demokr asi pr osedur al, belum mencapai demokr asi substansial. Apakah capai an kuantitas ter sebut mencer minkan kualitas demokr asi? Cukupkah kita memaknai demokr asi hanya dengan capaian angka?

  Banyak ahli, aktivis, maupun peser ta pemilu di Indonesia member ikan catatan khusus ter hadap pemilu 2014 yang mengindikasikan kuatnya pr aktik politik uang; bagaimana pelanggar an pemilu dalam bentuk ini dipr aktikkan secar a t er buka di semua daer ah dan level pemilihan. Ketua Dew an Kehor matan Penyelenggar a Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie, misalnya, menyatakan bahw a pr aktik politik uang dilakukan secar a massif (Republika Online, 2014a). Deputi Koor dinator Jar ingan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykur udin Hafidz menyor oti pr aktik ini yang dilakukan secar a ter ang-ter angan dalam ber agam bentuk seper ti uang, amplop, dan kar tu asur ansi (KOMPAScom, 2014c). Sementar a itu Aspinall & Sukmajati tidak hanya mengelabor asi bentuk-bentuk pr aktik politik uang di lebih dar i tiga puluh daer ah namun juga mengkaitkannya dengan politik patr onase yang ditengar ai menjadi aspek sentr al dalam str ategi kampanye sebagian besar kandidat (Aspinall & Sukmajati 2015:10).

  Meski politik uang mendominasi pr aktek pelanggar an kampanye pada pemilu 2014, pelanggar an lain juga penting dilihat dalam konteks kualitas elektor al. Dir ektur Komunikasi Indonesia Indicator (I2), Rustika Her lambang mengungkapkan bahw a media menyor oti ber agam pelanggar an pemilu. Selain didominasi oleh politik uang (52%), pemilu lalu juga diw ar nai dengan penggelembungan suar a (18%), pemilu ulang

1 Penghar gaan ini diper oleh melalui pr estasi KPU Sleman dalam menggunakan media Ular Tangga Pemiluuntuk mengenalkan pemilu pada kalangan pelajar .

  atau pencoblosan ulang (12%), pelanggar an kode etik (9%), ser ta penghitungan ulang

  2 sebesar 9% (Republika Online, 2014b) .

  Di Kabupaten Sleman, kasus pelanggar an pemilu juga banyak dilapor kan, w alaupun bukti-buktinya sulit ditemukan, khususnya pelanggar an dalam bentuk politik uang. Misalnya seper ti yang diutar akan oleh Ketua Panw aslu Sleman Sutoto Jatmiko bahw a pihaknya banyak mener ima aduan atas mar aknya “ser angan fajar ” di Sleman namun belum menemukan bukti (Republika Online, 2014c). Pr aktek pelanggar an pemilu ter sebut sulit dihilangkan mengingat adanya demand dan supply . Di samping itu, pembuktian yang sulit akan mempengar uhi tidak tuntasnya dalam penyelesai an hukum.

  Realitas di atas mengar ah pada pr aktek pembajakan demokr asi yang ter str uktur dan sistematis. Pemilu ber kualitas memer lukan pr akondisi yang baik dalam

  cont est ant vot er voice

  hal peser ta pemilu ( ), pemilih ( ), dan suar a pemilih ( ). Ter kait

  vot er

  dengan pemilih ( ) atau semua w ar ga negar a yang memiliki hak pilih difasilitasi secar a baik untuk menggunakan hak pilihnya. Dan, pada saat yang ber samaan tidak boleh or ang yang tidak memiliki hak pilih difasilitasi sebagai pemilih. Sedangkan

  voice

  pemilih ( ) har us dipastikan bahw a suar a pemilih memiliki makna dalam ar ti suar a pemilih dicatat apa adanya tanpa ada manipulasi dan ditr ansfer ke dalam kur si sesuai mekanisme yang telah ditentukan (Sigit Pamungkas, 2010).

  Dalam melihat kualitas pemilu, “pr efer ensi politik” mer upakan aspek penting. Afan Gaffar (1994: 34) dalam Javanese Vot er s melihat dua hal penting dalam pembentukan pr efer ensi politik pemilih ketika pemilu; 1) kecender unan munculnya pemilih patr onase yakni pemilih yan mendasar kan pada pilihannya pada ketokohan dan figur ter tentu, yang dianggap dapat menci tr akan dir inya sebagai pemimpin; 2) munculnya fenomena ABS (Asal Bapak Senang), yakni pemilih yang tidak memiliki

  

follower

r asionalitas dan hanya menjadi pemilih yang mengikuti pada suar a mayor itas.

  Par tisipasi pemilu yang bekualitas, mensyar at kan adanya pemilih yang cer das dan kr itis. Hal ter sebut akan ter penuhi jika pemilih melek politik. Her yanto (2012: 109) melihat substansi kekuatan liter asi politik ada pada par tisipasi politik w ar ganegar a yang kr itis dan member dayakan t er kait dengan konsep-konsep pokok politik yang akan ber dampak pada kehidupan w ar ga. Liter asi politik bukanlah semata konsep nor matif, melainkan baur an antar a pengetahuan, skill dan sikap politik.

  Pemilih tidak hanya per lu mempunyai pengetahuan dan kesadar an melainkan juga bebas dar i segala bentuk intimidasi dar i ber bagai pihak. Jika tidak, maka par tisipasi pemilih hanya akan ber henti di kotak suar a. Untuk menjaga kualitas demokr asi par tisipasi pemilih diper lukan lebih dar i sekedar mencoblos, melainkan juga per an ser ta dalam pengaw asan demokr asi, sehingga pr osedur dan substansi demokr asi dapat ter penuhi dengan baik.

  Demokr asi memiliki tantangan untuk menjadikan par tisipannya melek politik. Oleh kar enanya, pendidikan politik per lu diintensifkan agar pemilih dapat dikategor ikan melek politik. Ter lebih dengan adanya fakt a bahw a di Kabupaten Sleman Angka par tisipasi pemilih pemula yang mencapai 77.000 pemilih atau 10 per sen dar i 2 total pemilih. Pemilih pemula mer upakan segmen penting dalam pemilu. Menur ut Nur

  

Hasil ter opong pember itaan pengamanan pemilu yang telah dilakukan Indonesia Indicator (I2), lembaga

r iset ber basis pir anti lunak Ar tificial Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui pember itaan (media mapping). Budi Har iyanto (2012: 130) pr efer ensi pemilih pemula ser ingkali dinilai bar u pada tahap pener imaan (akseptabilitas) dan belum sampai pilihan politik (elektabilitas).

  Menyikapi hal ter sebut, penyelenggar a pemilu di Kabupaten Sleman telah melakukan ber bagai upaya untuk menghadir kan pemilu yang ber kualitas. Mi salnya, Divisi Sosialisasi, Pendidikan Politik KPU Sleman menyelenggar akan ber bagai upaya pendidikan politik untuk pemilih pemula maupun ber agam segmen masyar akat pemilih

  3

  lainnya . Selanjutnya, dalam r angka mew ujudkan amanat dar i pasal 6 PKPU No. 5 Tahun 2015 yang menyebutkan bahw a penyelenggar a Pemilu w ajib melaksanakan sosialisasi dan pendidikan politik bagi pemilih maka KPU Sleman juga akan mer intis desa melek politik (Kabar Kota, 2015).

  Kompleksitas per masalahan di at as t elah mendor ong Jur usan Politik dan Pemer intahan FISIPOL UGM dan KPU Kabupaten Sleman untuk melakukan kajian ter hadap aspek liter asi politik (“melek politik”) di balik tingginya par tisipasi masyar akat pada pemilu tahun 2014. Kajian ini hendak memet akan secar a umum tentang apakah tingginya par tisipasi politik w ar ga Sleman dalam Pemilu 2014 memang disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan kesadar an politik masyar akat yang tinggi ataukah kar ena ada hal lain? Bagaimana melek politik w ar ga selama ini ter bentuk? Faktor apa saja yang mempengar uhi ter bentuknya melek politik w ar ga? Kebijakan apa saja yang per lu dir umuskan untuk meningkatkan melek politik w ar ga?

  Namun demikian, ber bagai ket er bat asan membatasi lingkup penelitian ini; tidak dengan melakukan sur vey pada masyar akat pemilih, namun melakukan pemetaan umum ber dasar kan penget ahuan dar i aktor -aktor kunci yang kami nilai memiliki pengetahuan/ pemahaman yang cukup tent ang kondisi masyar akat di Kabupaten Sleman.

METODE PENELITIAN DAN SISTEMATI KA PENULISAN

  Penelitian tentang “Memahami Tingkat Melek Politik War ga di Kabupaten Sleman” ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang ter batas; dimana desk st udy maupun field st udy dilakukan secar a ter batas.

  Pada tahap paling aw al dilakukan pengumpulan data sekunder dengan metode

  

desk st udy . Dalam tahapan ini fokus pada liter atur mengenai liter asi politik ser ta

  dokumen, r egulasi, dan data yang ter kait dengan pemilu, khususnya yang ber kait an langsung dengan konteks Kabupaten Sleman. Kar ena itu juga dikaji bahan-bahan yang telah dipublikasikan, yang ter kait dengan i su-isu str ategis dalam penyelenggar aan pemilu dan pr ogr am liter asi politik di Kabupaten Sleman tahun 2014, ter masuk buku, statistik, hasil monitor ing dan evaluasi, dokumen r esmi dar i KPU dan lembaga lain, hasil penelitian lembaga lain, dan lain-lain. Hasil desk study ini dikaji dengan menggunakan analisa fr aming dan analisa isi.

  Tahap kedua adalah pengumpulan data pr imer , yang kar ena ber bagai

  focused gr oup discussion

  keter bat asan maka hanya dilakukan melalui (FGD). Aktivitas 3 ini ber tujuan untuk memetakan pandangan umum par a aktor kunci mengenai kondisi

  

Untuk pemilih pemula misalnya dilakukan dengan menyelenggar akan Cer das Cer mat Kepemiluan dan

demokr asi di sekolah-sekolah SMA/ seder ajat dan Training of Tr ainer (ToT) ter hadap gur u-gur u

Pendidikan Kew arganegar aan (PKn) di Kabupaten Sleman. Selanjutnya lihat pada bagian D. Temuan- Temuan yang menyar ikan r agam pendidikan politik yang telah dilakukan KPU Kabupaten Sleman. liter asi politik masyar akat pemilih di Kabupaten Sleman. FGD ini telah diselenggar akan pada tanggal 3 Juli 2015 dengan melibatkan 19 nar asumber yang ber asal dar i aktivi s NGO yang memiliki komunitas masyar akat dampingan (mar ginal, difabel, dan miskin), par tai politik, penyelenggar a pemilu, dan tenaga kependidikan di Kabupaten Sleman.

  Analisis menyelur uh atas data yang telah ter kumpul kemudian dijadikan dasar untuk menyusun lapor an ini, yang ter dir i dar i lima bab, meliputi: Pengantar , Metode Riset, Ker angka Konsep, Temuan dan Rekomendasi.

  KERANGKA TEORI : LITERASI POLITIK Definisi Liter asi Politik

  Seseor ang dikatakan memiliki liter asi politik jika ia mampu mengidentifikasi hak dan kew aji bannya sebagai w ar ga negar a, mer asionalisasi pilihan-pilihan politiknya dan mengevaluasi kiner ja lembaga-lembaga politik, dalam kait annya dengan pemenuhan hak dan kew aji bannya sebagai w ar ga negar a.

  Namun demikian, mengidentifikasi definisi li ter asi politik secar a konseptual bukan peker jaan mudah. Ilmuan politik sebagian besar menilai liter asi politik adalah konsep yang abstr ak. Namun hal ini tidak mengur angi kesepakat an par a ilmuan, bahw a liter asi politik mer upakan hal ur gen dalam membangun kehidupan yang demokr atis.

  Ter dapat beber apa pemikir an tentang liter asi politik yang penting untuk diper timbangkan. Di antar anya adalah Westhom et. al. (1990) dan Denver dan Hands (1990). Liter asi politik menur ut Westholm et al. (1990) pada dasar nya adalah kompetensi w ar ga negar a. Kompetensi yang dibentuk agar seor ang w ar ga negar a siap menjalankan per annya dalam kehidupan demokr asi.

  Liter asi politik, kata Denver dan Hands (1990, p. 263), mer upakan pengetahuan dan pemahaman tentang pr oses politik dan isu-isu politik. Pengetahuan dan pemahaman ini memungkinkan w ar ga negar a untuk secar a efektif melaksanakan per annya sebagai w ar ga negar a. Pengetahuan dan pemahaman ini oleh Cassel dan Lo

  

polit ical exper t ise, polit ical awar eness,

  (1997), disebut sebagai yang intinya mer ujuk pada sejauhmana seor ang individu member i per hatian dan memahami politik.

  Elemen-elemen Liter asi Politik

  Elemen-elemen liter asi politik mencakup pengetahuan, keter ampilan dan nilai (Andr ew et .al., 2008). Kesemuanya digunakan agar mampu ber per an secar a baik dalam

  public life, ,

  kehidupan publik. Menilik Osler dan Star key (2005) pada hakikatnya adalah

  

The t er m ‘public life’ is used in it s br oadest sense t o encompass r ealist ic knowledge

of and pr epar at ion for conflict r esolut ion and decision-making r elat ed t o t he main

economic and social pr oblems of t he day, including each individual’s expect at ions of

and pr epar at ion for t he wor ld of employment , and discussion of t he allocat ion of

public r esour ces and t he r at ionale of t axat ion. Such pr epar at ions ar e needed

whet her t hese occur in locally, nat ionally or int er nat ionally concer ned

or ganizat ions or at any level of societ y fr om for mal polit ical inst it ut ions t o infor mal

gr oups, bot h at local or nat ional

  Pendidikan politik dalam r angka meningkatkan liter asi politik sejatinya ber ada dalam bingkai pendidikan kew ar gaan ( citizenship educat ion ). Cit izenships , tegas Heyw ood (2004), adalah tentang ikatan dan hubungan r esipr okal dalam bingkai hak dan kew aji ban ant ar a w ar ga negar a dengan negar a. Salah satunya adalah polit ical

  

r ight s . Hak memilih, hak dipilih, hak menagih kiner ja pejabat publik adalah contoh

  sejumlah hak-hak politik w ar ga negar a. Dalam ker angka kew ar gaan t er sebut, liter asi

  (cit izenship educat ion),

  politik juga mer upakan hasil dar i pendidikan kew ar gaan yang lebih luas dengan mencakup civil r ight s dan social r ight s .

  Dengan ber cer min pada kasus par tisipasi politik per empuan, Mudhok (2005) lebih jauh, menyatakan bahw a liter asi politik setidaknya bisa ditilik dar i beber apa elemen: (1) kehir auan dan kesadar an pent ingnya aktivitas dan insitutsi politik, kew enangannya, dan per annya; (2) kemampuan untuk membuat opini dan otonomi

  out come

  posisi dalam pr oses politik dalam r angka menghasilkan suatu politik; (3) pengetahuan mengenai kebijakan, per encanan dan anggar an pemer intah untuk pembangunan dan pelayanan ublik; (4) par tisipasi dalam kegiatan politik.

  Ur gensi Liter asi Politik

  Kondisi di mana masyar akat memiliki level liter asi politik yang memadai sangat penting bagi kehidupan demokr asi yang sehat. Stoker (2005) menyatakan bahw a sifat mendasar dar i politik dalam si stem demokr asi sungguh r umit. Tanpa dir ecoki dengan kor upsi dan kolusi sekalipun, upaya untuk mengagr egasi kepentingan, mengelola negosiasi, lalu muncul dengan satu keputusan yang disetujui ber sama mer upakan hal yang sangat sulit. Mengingat kompleksnya sist em, institusi ser ta mekanisme yang ada

  polit ical amat eur s,

  maka ia pun menyebut w ar ga negar a sebagai par a amatir dalam

  piece meal,

  politik. Yakni yang pihak yang ber par tisipasi dalam politik secar a spor adis, dengan kapasitas secar a r elatif lebih r endah dibanding par a pr ofesional politik seper ti

  lobbiest , aktivi s LSM, kader par pol, anggota dewan.

  Kontr adiksi ter sebut, jika tidak dikelola, bi sa memunculkan banyak masalah.

  Per t ama par t icipat ion fat igue

  , yang paling ekstr im, adalah sinisme ter hadap politik, , hingga keter putusan w ar ga dar i politik. Kekecew aan yang mendalam bisa ber ujung memudar nya keper cayaan dan dukungan publik ter hadap sistem demokr asi. Dengan level liter asi politik yang ter batas, ada r esiko bagi w ar ga untuk mudah dipengar uhi oleh pr opaganda politik sehingga mendukung kekuatan non-demokr atis. Apatisme yang ber hulu pada ketakcukupan kesadar an, penget ahuan, dan ketr ampilan politik bisa pula ber ujung pada per ilaku yang mer usak ( defecting ) seper ti dengan sengaja menjual suar a dalam pemilu.

  Kedua daily gover ning

  , tanpa liter asi politik yang cukup mengenai pr aktik dan

  policymaking, meningkatkan r esiko menjauhnya politik dar i kepentingan publik.

  (supply-side account abilit y)

  Per tanggungjaw aban dar i atas menjadi lemah. Misalnya, minimnya pengetahuan tentang siklus dan car a ber par tisipasi ser ta monitor ing per encanaan dan penganggar an daer ah ber sinonim dengan ter batasnya kontr ol publik ter hadap pemer intahan daer ah. Refleksi advokasi per encanaan par tisipatif dan penelusur an belanja publik di Bantul dan Kebumen misalnya, menunjukkan aksekutif dan legislatif dengan leluasa menganulir hak-hak publik, dengan melakukan misalokasi anggar an dan pr ogr am tatkala kontr ol publik lemah (Anw ar & Sunaji, 2008). Di aspek

  demand-side,

  liter asi politik penting untuk agar w ar ga negar a mampu menjadi pelaku aktif yang mengontr ol kedaulatan yang ia mandatkan kepada pejabat publik.

  Membentuk Masyar akat yang Liter ate secar a Politik out come

  Bagaimana liter asi politik ter bentuk? Liter asi politik mer upakan hasil ( ) dar i pendidikan politik ( polit ical educat ion) . Yang utama adalah sosialisasi politik. Penger tian sosialisasi di sini bukanlah pr oses instan mendengar kan penjelasan dalam w or kshop ataupun tr aining. Sosialisasi pada dasar nya adalah upaya untuk membangun kesadar an dan tingkat kognisi tent ang politik. Ia mer upakan pr oses inter nal, yang dibentuk baik melalui pendidikan baik for mal maupun infor mal.

  Secar a for mal, di mana pun, pemer intahan demokr atis senantiasa ber upaya mengajar kan liter asi politik bagi gener asi bar u, yang mana itu ber implikasi bagi pendidikan publik pada umumnya. Saha (2000) menemukan, pada usia dini, anak-anak di Amer ika, Inggr is dan Austr alia mulai memper oleh fondasi bagi pengetahuan politiknya. Konsep-konsep politik diser ap dan dimaknai. Ia menggar isbaw ahi, sosialisasi politik dan pembelajar an politik sejak kecil menjadi basi s bagi per kembangan lanjut dar i sikap dan kebiasan politiknya. Ter lepas, tentunya, kualitas dan komitmen pendidikan politik ter sebut tentunya ber agam. Wai, Yuen, dan Leung (2009) mengingatkan bahw a isu netr alitas gur u menjadi sentr al dalam pendidikan di sekolah.

  Sementar a itu, car a infor mal, seseor ang mendapatakan sosialisasi politik melalui

  Exposur e

  keter libatannya dalam ber bagai aktivitas politik. politik bisa ber asal dar i lingkungan ker ja, lingkungan sosial, dan seter usnya. Kecender ungan or ang untuk, misalnya, per misif t er hadap politik uang, juga dipengar uhi oleh pengalaman ber par tisipasi atau mengalami pemilu di sejumlah per iode. Dampak aktivitas politik ini didukung oleh temuan Saha (2000), di mana pengalaman politik menentukan aktivisme politik di masa-masa selanjutnya.

  Hasil pr oses pembentukan liter asi politik ter sebut dengan baik dir umuskan oleh Westheimer dan Kahe (2004). Menur ut mer eka, demokr asi w ar ga negar a yang baik yang ter bentuk melalui pendidikan politik dan kew ar ganegar an dicir ikan oleh tiga hal.

   per sonally r esponsible cit izens,

  Per tama, yang ditandai oleh kemauan membayar pajak, mematuhi hukum, mau ber gotong-r oyong, hingga memiliki solidar itas sosial.

   Kedua par t icipat or y cit izens,

  , yang dicir ikan kemauan untuk aktif ber komunitas, mau belajar ter kait sistem kepemer intahan dan politik, mau mengor ganisir komunitas dan mengetahui str ategi untuk mencapai tujan- tujuan ber sama.

   Ket iga just ice-or ient ed cit izens,

  , yang ditandai oleh kemampuan secar a kr itis menilai sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik. Selain itu, w ar ga yang ber oeientasi pada pencapai an keadilan juga memiliki kemauan untuk menjaw ab pr oblem ketidakadilan, mengetahui bagaimana menggalang ger akan sosi al w ar ga negar a ser ta mempengar uhi secar a si stemik. Tiga cir i ini penting sebab, w ar ga negar a yang baik tidak saja bi sa ber tanggungjaw ab ketika menjalankan hak-hak politiknya dalam pemilu, namun di saat yang sama juga memiliki solidar itas dengan sesama w ar ga, tidak membuang sampah

  pr ivilege

  sembar angan, hingga menolak membayar suap untuk memper oleh layanan publik.

  Tantangan Liter asi Politik

  Liter asi politik tentu tidak bisa dicapai melalui “sistem kebut sebulan” ala sosialisasi jelang pemilu. Setidaknya ada dua tantangan mendasar dar i upaya membangun liter asi politik.

  Per t ama , ber kaitan dengan komitmen politik. Pihak yang paling dir ugikan ketika

  masyar akat liter ate secar a politik adalah elit. Jauh Har i Tandon (2002) mengingatkan tentang gap akuntabilitas yang sengaja diper tahankan. Dalam kultur tr ansisi dimana budaya politik non-demokr atis masih kuat, w ar ga memilih kandidat dengan logika kultur al—kesamaan etnisitas, budaya, agama, dan seter usnya. Diandaikan, kesamaaan ter sebut akan ber tr ansfor masi dalam pr aktik politik yang aspir atif. Sebaliknya, logika par a elit ketika ber hadapan dengan w ar ga dan pr aktik r epr esentasi simbolik adalah ekonomi politik. Dua logika ini tidak ber temu, dan akuntabilitas ur ung ter jadi. Jika liter asi politik meningkat, elit menjadi pihak yang paling ter ancam.

  Kedua , ber kaitan dengan aspek teknokr atis per ancangan pr ogr am/ kegiatan.

  Sebagai pr oyek jangka panjang, upaya membangun liter asi politik memer lukan kebijakan, pr ogr am/ kegiatan, dengan r ute jalan yang jelas. Kelemahan yang mencolok, sejauh ini, belum ada desain kebijakan kew ar gaan yang jelas, yang menjadi bingkai dar i pendidikan politik pada khususnya. Tidak jelas bangunan besar substansinya, str at egi dan pendekat an yang dipilih, hingga upaya penyiapan sumber daya manusia pelaksananya. Secar a kr onis, dar i tahun ke tahun yang tampak adalah kegiatan sosialisasi sesaat menjelang per helatan pemilu. Ini diper par ah dengan kur ang sinkr onnya antar sektor yang memiliki tupoksi r elevan, lantar an kuatnya ego sektor al.

  Ket iga

  , selama ini liter asi politik masih dibebankan kepada KPU/ KPUD. Padahal, jika misinya adalah untuk mengembangkan insan w ar ga negar a yang aktif, maka lembaga-lembaga pemer intah yang lain har us aktif memfasilitasi keter libat an publik et .al. (Andr ew 2008). Sayangnya, lembaga-lembaga ini belum optimal ber per an. Di level lokal, misalnya, SKPD-SKPD belum mau membuka infor masi ter kait dokumen per encanaan dan penganggar an, betapapun Indonesia telah memiliki UU Keter bukaan Infor masi. Kar ena itu, jika liter asi politik mencakup kesadar an ber par tisipasi melebihi pr osesi pemilu, maka lembaga-lembaga pemer intah di luar KPU/ KPUD penting untuk membuka dir i, member ikan infor masi yang r elevan dan memfasilitasi par tisipasi masyar akat.

  TEMUAN-TEMUAN Pengguna Hak Pilih Secar a Kuantitatif: sekilas tinjauan secar a umum

  Sebagaimana t elah disampaikan dalam latar belakang, motivasi untuk melakukan penelitian ter batas tent ang tingkat/ kualitas liter asi pemilih di Kabupaten Sleman ini dilatar belakangi oleh tingginya par tisipasi pemilih di Kabupaten Sleman (lebih dar i 80%) sehingga menimbulkan per tanyaan tentang apakah tingginya tingkat par tisipasi secar a kuantitatif ini juga menunjukkan tingginya tingkat melek politik masyar akat pemilih secar a kualitatif. Tingginya tingkat pemilih ini juga sempat menghadir kan “kecur igaan” tentang apakah kar akter penduduk (ur ban/ sub ur ban atau r ur al) di tiap kecamatan ber pengar uh ter hadap per sentase keikutser taan dalam pemilu. Tetapi setelah ditelusur i dar i data kuantitatif, ter nyata hal ter sebut tidak cukup ter bukti, kecuali dilakukan penelitian mendalam tentang motivasi pemilih di tiap-tiap kecamatan.

  Tabel Per sentase Pengguna Hak Pilih di Kabupaten Sleman

  Kecamatan Jumlah Jumlah % pengguna % pengguna % pengguna Pemilih Penggguna hak pilih di kec. hak pilih di hak pilih di Hak Pilih thd pemilih di kec. thd total kec. thd total kec. masing- pemilih di pengguna hak masing kab pilih di kab

Gamping 69880 57843 82.77% 7.06% 8.64%

Godean 52452 43850 83.60% 5.35% 6.55%

Moyudan 25877 22150 85.60% 2.70% 3.31%

Minggir 25283 21279 84.16% 2.60% 3.18%

Sayegan 36669 31529 85.98% 3.85% 4.71%

Mlati 74514 58762 78.86% 7.18% 8.78%

Depok 107982 79256 73.40% 9.68% 11.84%

Ber bah 40028 32800 81.94% 4.01% 4.90%

Pr ambanan 39333 32518 82.67% 3.97% 4.86%

Kalasan 59042 48511 82.16% 5.92% 7.25%

Ngemplak 45613 37780 82.83% 4.61% 5.64%

Ngaglik 74285 59213 79.71% 7.23% 8.85%

Sleman 50474 42620 84.44% 5.20% 6.37%

Tempel 39857 34347 86.18% 4.19% 5.13%

Tur i 26575 23302 87.68% 2.85% 3.48%

Pakem 27906 23903 85.66% 2.92% 3.57%

Cangkr ingan 23190 19615 84.58% 2.40% 2.93%

818960 669278 81.72%

% total 81.72% pengguna hak pilih thd total pemilih

  Sumber data: KPUD Sleman 2014

  Sebagaimana tampak dalam tabel, secar a umum tingkat pengguna hak pilih pada tingkat kecamatan cukup mer ata, tidak ada per bedaan yang mencolok. Per sentasi pengguna hak pilih di kecamatan-kecamatan sub ur ban di Kabupaten Sleman, misalnya Depok, Mlati, Ngaglik, dan Gamping memang ter lihat lebih r endah jika dibandingkan Tur i, Pakem, dan Cangkr ingan yang lebih r ur al. Tetapi per bedaan ter sebut tidaklah mencolok. Kedua, ada per bedaan yang cukup ber ar ti dar i sisi jumlah penduduk pada kecamatan sub ur ban dibandingkan kaw asan r ur al sehingga bilangan pembaginya menjadi tidak setar a. Sehingga per sentase per kecamatan ini per lu dilihat secar a lebih teliti; setidaknya dengan membandingkannya dar i ber agam sudut pandang.

  Kar ena itu kami menyajikan per hitungan kedua, yaitu per bandingan antar a pengguna hak pilih di kecamatan ter hadap total pemilih di kabupaten. Dar i sana ter lihat bahw a pemilih yang tinggal di kaw asan sub ur ban lebih banyak menggunakan hak pilihnya dibandingkan mer eka yang tinggal di kaw asan r ur al. Namun apakah kuantitas tingginya pengguna hak pilih ini mer upakan bukti tingginya kualitas pemahaman politik atau tingginya tingkat melek politik mer eka, tidak bi sa dijustifikasi secar a t er gesa-gesa. Melainkan, per lu pendalaman yang cukup melalui penelitian yang lebih dalam.

  Per bandingan per sentase yang ketiga, yaitu antar a pengguna hak pilih pada kecamatan dibandingkan dengan total pengguna hak pilih di kabupaten. Lagi-lagi kecamatan-kecamatan yang lebih sub ur ban menunjukkan tingkat pengguna hak pilih yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan-kaw asan yang lebih r ur al. Tetapi seper ti halnya pada per bandingan yang kedua, capai an kuantitas tidak ser ta mer ta menunjukkan capaian kualitas.

  FGD yang dilakukan bar u-bar u ini tidak dilakukan untuk mencar i jaw aban pada level kecamatan, melainkan untuk mencar i gambar an umum tentang kualitas pengguna hak pilih di Kabupaten Sleman. Dan untuk melihat gambar an umum itu, batasan administr atif seper ti kecamatan bukan menjadi pr ior itas kar ena ada batasan lain yang agaknya lebih kr usial untuk dilihat, yaitu “batasan” mengenai jenis/ kelompok masyar akat pemilih, sebagaimana akan coba di per lihatkan sebagaimana ber ikut.

  Kualitas Liter asi Politik Penduduk Sleman: temuan FGD

  FGD yang diselenggar akan pada tanggal 3 Juli 2015 di FISIPOL UGM dihadir i 27 peser ta dar i kalangan CSO (baik dar i unsur per empuan, pemuda, or ganisasi keagamaan, bur uh, dan lain-lain), penyelenggar a pemilu pada level teknis (misalnya pada tingkat kecamatan/ PPK), par tai politik, gur u, dan mahasisw a yang mer epr esentasikan kelompok pemuda (selengkapnya dapat dilihat dalam Daftar Hadir FGD Liter asi Politik PolGov JPP UGM).

  Demi efektivitas penggalian infor masi dar i par a peser ta, par a peser ta dibagi kedalam dua kelompok FGD yang masing-masing mendiskusikan tentang sejauh mana tingkat liter asi politik masyar akat pemilih di Sleman telah ber pengar uh pada per ilaku memilih mer eka. Juga, faktor -faktor yang telah mempengar uhi tingkat melek politik ini. Apakah tingkat par tisipasi pemilih Sleman yang sew aktu pemilu legislatif dan pemilu pr esiden tahun 2014 lalu mencapai lebih dar i 80% ini bisa menggambar kan kualitas pengetahuan dan kesadar an politik masyar akat yang ber mukim di kaw asan Kabupaten Sleman Pr ovinsi DIY. Dua kelompok diskusi ini masing-masing dipandu oleh seor ang fasilitator dan keduanya diikuti oleh r epr esentasi dar i kelompok yang hadir , yaitu CSO, penyelenggar a pemilu, par tai politik, pemuda, dan gur u.

  Aktivitas yang sebatas pada penyelenggar aan satu kali FGD ini sudah bar ang tentu tidak bisa menghasilkan jaw aban mendalam/ gambar an utuh mengenai kondisi liter asi politik masyar akat pemilih di Sleman. Tetapi, dengan mengundang beber apa pihak yang diyakini memiliki pengetahuan cukup tentang kondisi masyar akat pemilih di Kabupaten Sleman, maka setidaknya FGD ini ber hasil mengidentifikasi sejumlah isu besar sebagai gambar an umum tentang kondisi liter asi politik masyar akat pemilih di Kabupaten Sleman.

  Faktor -faktor yang Mempengar uhi Tingginya Par tisipasi Pemilih

  Secar a umum , peser ta FGD Kelompok 1 maupun Kelompok 2 ber pendapat bahw a tingkat par tisipasi pemilu yang tinggi secar a kuantitatif belum tentu membuktikan tingkat liter asi politik masyar akat yang juga tinggi/ baik. Walaupun kesadar an politik yang baik sangat mungkin menjadi pendor ong bagi tingginya tingkat par tisipasi masyar akat pemilih di Sleman, namun keber adaan hal-hal lain juga har us diper timbangkan sebagai faktor yang mempengar uhi motivasi pemilih atau keputusan mer eka dalam menentukan pilihan. Beber apa hal yang ter angkum dalam dua kelompok FGD ini adalah sebagai ber ikut:

  1. Pengetahuan politik yang telah baik Sekalipun sebagian besar peser ta FGD cukup skeptis dengan tingkat liter asi politik pemilih di Sleman sebagai penyebab dar i tingginya par tisipasi pemilih tahun lalu, namun tetap ada keyakinan bahw a masi h ada pemilih yang memilih dengan kesadar an dan penget ahuan, khususnya par a pemilih dar i kalangan ter didik (mahasisw a, dan sebagainya).

  2. Politik uang sebagai motivator pemilih Seper ti halnya dalam FGD-FGD sejenis yang per nah dilakukan oleh JPP

  Fisipol UGM (i.e. Aspinall & Sukmajati, 2015; JPP FISIPOL UGM, 2015), par a peser ta FGD kali ini baik dar i kalangan CSO maupun par tai politik juga mengungkapkan kecur igaannya tentang politik uang sebagai salah satu motivator negatif yang mendor ong par a pemilih untuk per gi ke TPS dan menyalur kan suar anya dalam pemilu lalu. Sayangnya, politik uang ter utama dalam bentuk cash—ser angan fajar — juga disebutkan hadir hingga ke kaw asan-kaw asan yang dihuni oleh kelompok masyar akat yang memiliki pendidikan for mal yang baik.

  Peser ta FGD kelompok 2 menyor oti pr aktik politik uang ini dalam kaitannya dengan tingkat apatisme masyar akat yang tinggi ter hadap politisi yang telah ber ubah menjadi sikap opor tunis untuk tur ut ser ta dalam pember ian suar a, tet api sekaligus juga menyebabkan r endahnya kontr ol masyar akat ter hadap caleg/ aleg. Keapati san w ar ga ter hadap caleg/ pemilu, disebutkan oleh anggota Panitia Pemilihan Kecamat an (PPK) dalam diskusi pada Kelompok 2, juga tampak dar i keacuhan masyar akat t er hadap infor masi mengenai caleg yang telah dipampang oleh PPK di papan pengumuman. Namun ketika politik uang dilancar kan banyak diantar a mer eka yang menanti “jatah” yang diber ikan dalam bentuk uang maupun ber agam fasilitas yang ditaw ar kan oleh par a caleg. Pember ian mat er i oleh caleg kemudian diter ima dengan senang hati dan mendor ong pemilih dengan per asaan tanpa beban per gi ke TPS dan menyalur kan suar anya. Dalam diskusi ini muncul istilah yang cukup popular di kalangan masyar akat maupun caleg: NPWP ( Nomor

  Pir o, Wani Pir o

  ), yang disinyalir telah membentuk r elasi “beli-putus” antar a caleg dan pemilih. Pember ian uang dar i caleg kepada pemilih membuat mer eka dengan r ingan datang ke TPS dan member ikan suar a mer eka dengan t anpa beban ter tentu. Demikian juga, caleg t er pilih juga secar a tanpa beban akan menjalankan aktivit asnya sebagai aleg, kar ena “tanggung jaw abnya” telah diber ikan dalam bentuk uang saat pemilu.

  Fenomena politik uang juga disebutkan menjadi bagian dar i politik pr imor dial dimana caleg ber usaha melakukan apapun demi mendapatkan posisi politik ter tentu dan ini memang menjadi tantangan yang besar bagi upaya untuk melakukan pendidikan politik/ pemilu/ pemilu. Apalagi ketika potr et pemilih yang paling dominan adalah masyar akat umum yang secar a umum pula masih menghendaki keber adaan politik uang, baik yang dikoor dinir (atas nama kelompok masyar akat ter tentu) maupun individu.

  3. Mobilisasi suar a Masih ter kait dengan politik uang, faktor lain yang disebutkan tur ut mendukung tingginya tingkat par tisipasi adalah mobilisasi suar a oleh br oker politik ter utama yang ber asal dar i kalangan per angkat pemer intahan ter endah/ desa maupun tokoh masyar akat lainnya. Peser ta pada FGD kelompok 1 mengatakan bahw a par a pemilih yang belum cukup ter didik secar a politik ser ing dihadapkan

  not abene deal-

  pada mobilisasi oleh par a tokoh masyar akat ini yang ter libat dalam

  deal

  politik dengan caleg. Misalnya negosiasi mer eka untuk mendapatkan fasilitas pembangunan, ser agam senam, dan lain lain yang diper untukan bagi umum/ kelompok ter tentu kemudian sebagai konsekuensinya diper tukar kan dengan memobilisasi suar a anggota masyar akat kepada calon ter sebut.

  Selanjutnya, mobilisasi suar a yang ber kaitan dengan isu gender dan patr iar ki. Dar i diskusi pada kelompok 1 juga diungkapkan bahw a tingginya par tisipasi dan kecender ungan memilih calon ter tentu juga sangat mungkin dilatar belakangi oleh dominasi laki-laki (kepala keluar ga) dalam menggir ing suar a anggota keluar ganya. Mir ip dengan temuan FGD ser upa yang per nah diselenggar akan oleh JPP UGM pada Mei 2015 lalu (JPP FISIPOL UGM, 2015), cer ita tentang bagaimana kepala keluar ga mempengar uhi anggota keluar ganya untuk memilih calon yang ia pilih juga muncul dalam diskusi ini. Demikian juga soal i su kur angnya kapasit as caleg per empuan, ser ta dukungan set engah hati par pol ter hadap kandidat per empuan yang semata demi memenuhi syar at administr atif 30% caleg yang ditentukan oleh r egulasi pemilih. Disini, isu yang muncul adalah, liter asi politik juga ter kendala pada per spektif patr iar ki yang melingkupi tidak saja pemilih, tetapi juga par tai politik dan par a caleg itu sendir i.

  Pendidikan Pemilih yang Belum Efektif

  Lalu, apakah hal-hal di atas t er jadi kar ena masyar akat belum mendapatkan pendidikan politik/ pemilu? Kedua kelompok FGD sama-sama menyatakan bahw a pendidikan politik/ pemilu sebenar nya telah banyak dilakukan untuk banyak kelompok masyar akat, hanya saja belum efektif baik dalam hal jangkauan, mater i, ataupun str ategi. Pendidikan politik/ pemilu yang telah dilakukan juga belum mampu menghalau politik uang maupun penger ahan suar a baik yang dilakukan oleh apar at, kepala keluar ga, atau bahkan pendamping pemilih.

  1. Pendidikan politik/ pemilu yang belum mer ata dan efektif untuk kelompok minor itas Sebagai contoh, untuk kelompok minor itas penyandang disabilitas. Peser ta dar i Kelompok FGD 1 menyampaikan bahw a tr ansfer pengetahuan melalui pendidikan politik/ pemilu untuk penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman sebenar nya mulai ser ing dilakukan; khususnya menyangkut sosi alisasi tentang hak dan tata car a memilih. Tetapi pada sisi lain, peser ta FGD juga menggar isbaw ahi bahw a pada r ealitasnya banyak w ar ga masyar akat yang ber kebutuhan khusus ini belum memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan for mal (banyak yang tidak tidak sekolah dan sebagainya). Kar ena it u, khususnya pada kelompok 1 FGD, secar a umum peser ta menilai bahw a kendala t eknis t elah mengakibat kan beber apa hal:

   sosialisasi mengenai hak dan tata car a memilih belum dilakukan secar a mer at a

  dan efektif sehingga masih banyak kekelir uan teknis dalam pember ian suar a

   kur angnya dukungan dar i keluar ga kar ena ketidaktahuan mer eka bahw a

  anggota keluar ga mer eka yang menyandang disabilitas memiliki hak dan ketr ampilan dalam menggunakan hak pilih

   t r ansfer of knowledge

  kesulitan untuk tenaga sosialisasi (par a pendamping), ter kadang ketika mer eka tidak tahu bahw a yang didampingi sudah mendapatkan infor masi mengenai dan tata car a memilih mer eka justr u melakukan pemaksaan

   ter kadang par pol juga belum cukup memper lihatkan per annya dalam melakukan

  pendampingan dan sosisalisasi bagi kelompok difabel. Apa yang dilakukan par pol bukan pendidikan politik/ pemilu melainkan pengar ahan agar memilih calopn dar i par tainya.

  Hal yang ber beda dihadapi oleh kelompok minor itas tr ansgender . Aktivis dar i kelompok ini mencer itakan bahw a, jangankan mendapatkan pendidikan politik/ pemilu, kelompok mer eka bahkan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan justifikasi untuk ter libat di dalam politik, salah satunya kar ena banyak diantar a mer eka adalah pendatang. Sulitnya mendapatkan jastifikasi politik ini juga ber implikasi pada tidak diper olehnya hak-hak politik sebagaimana mestinya, apalagi akses mendapatkan infor masi dan dukungan tentang itu. Pendapat ini menjadi ber beda dengan data sosi alisasi pendidikan politik/ pemilu oleh KPU yang menyebutkan bahw a kelompok tr ansgender mer upakan salah satu kelompok yang mendapatkan sosi alisasi ( KPU Kab. Sleman 2014). Walau demikian, per bedaan ini bisa mer ujuk pada i su belum mer atanya infor masi di kalangan kelompok/ aktivis tr ansgender .

  2. Pendidikan politik/ pemilu untuk pemilih pemula Sementar a itu untuk pemilih pemula, r esponden dar i gur u menyampaikan kesulitannya t entang pendidikan pemilih untuk pemula. Aktivitas yang banyak