Asal Usul Frase Bhinneka Tunggal Ika Pad
Asal Usul Frase Bhinneka Tunggal Ika Pada
Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila
Turiman Fachturahman Nur
Email: [email protected]. HP 08125695414
Semboyan atau seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis di
dalam pita berwarna dasar putih yang dicengkram oleh cakar Elang
Garuda Pancasila adalah semboyan yang berasal bahasa Jawa Kuno.
Perkataan Bhinneka itu adalah gabungan dua perkataan: Bhinna dan Ika.
Kalimat itu seluruhnya dapat disalin: Keragaman dalam persatuan dan
Persatuan dalam keragaman. Frase ini sangat dalam makna artinya,
karena menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,
walaupun keluar memperlihatkan perbedaan atau keragaman. Kalimat
itu telah tua dan pernah dipakai oleh pujangga ternama Empu Tantular
dalam buku Sutasoma dan negarawan Prabu Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada di zaman peradapan Majapahit pada abad XIV.
Prase
Bhinneka
Tunggal
Ika
telah
sama-sama
diakui
dan
dirasakan mempunyai "kekuatan" untuk menyatukan, mengutuhkan dan
meneguhkan bangsa Indonesia yang majemuk atau disebut sebagai salah
satu sarana pengintegrasi bangsa Indonesia atau sebagai jatidiri bangsa
Indonesia.
B e r h a s i l ny a
p em im p i n
bangsa
k it a
un t uk
m en g g a l i
dan
menetapkan sebagai semboyan di dalam bagian lambang negara adalah
karya besar yang tak ternilai, tetapi ada pertanyaan yang perlu diajukan,
siapakah yang menempatkan semboyan tersebut pada bagian lambang
negara dan apa latar belakang pemikirannya?
Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam bukunya
Bung Hatta Menjawab, 1979, disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka
Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah merdeka semboyan itu
diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid Pontianak
dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Pebruari
1950".[1]
Istilah "ciptaan Bung Karno" dalam pernyataan Mohammad Hatta di
atas menurut hemat penulis kurang tepat, karena dengan pernyataan itu
memberikan pengertian, bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika
adalah ciptaan Bung Karno. Pernyataan ini juga akan bertentangan
dengan pidato Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di
Istana Negara yang menyatakan bahwa "di bawahnya tertulis seloka
buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika, Bhina ika tunggal ika –
berjenis-jenis tetapi tunggal".
Berdasarkan isi pidato Presiden Soekarno di atas, semboyan itu adalah
buatan
Empu
Tantular.
Pernyataan
ini
sejalan
dengan
hasil
penyelidikan Mohammad Yamin, seperti yang dikemukakan dalam buku
6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang menyatakan, bahwa semboyan
itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan huruf yang
jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang
kitab Sutasoma pada masa Madjapahit pada abad XIV. Adapun arti
seloka Jawa lama itu adalah walaupun berbeda-beda ataupun berlainan
agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam, bahasa
latin: e pluribus unum[2].
Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana seloka itu menjadi
bagian dari lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II?
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan sekretaris pribadi
Sultan Hamid II (Max Yusuf Alkadrie)[3] , bahwa semboyan itu
menjadi bagian dari lambang negara adalah merupakan kesepakatan
antara Sultan Hamid II dengan Mohammad Hatta, Soekarno yaitu atas
usul Presiden Soekarno untuk mengganti pita yang dicengkram Garuda,
yang semula direncanakan berwarna merah putih kemudian diganti
menjadi warna putih dan Presiden Soekarno mengusulkan supaya di
atas pita warna putih tersebut dimasukan seloka Bhinneka Tunggal
Ika. Sebab warna merah putih dianggap sudah terwakili dalam warna
dasar perisai Pancasila.[4]
Dengan demikian yang dimaksudkan oleh Mohammad Hatta
dengan pernyataan bahwa "Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah
ciptaan Bung Karno". Dalam buku Bung Hatta Menjawab tahun 1978 itu
maksudnya semboyan itu adalah usulan Presiden Soekarno.
Sekalipun demikian kita dapat mengetahui asal usul semboyan
tersebut, namun apakah arti yang sebenarnya dari semboyan Bhinneka
Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma dan bagaimana semboyan itu
disebutkan?
Menelusuri arti sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika, maka
semboyan ini terdapat pada wirama ke-139 bait ke lima dari kitab
Sutasoma yang bahasa aslinya: [5]
"Rwaneka dahtu winuwus wars buddha wisma/
Bhinneka rakwa ring spa kena parwanosen/
Mangka Wing Jinatwa kalawan Siwatwa Tunggal/
Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrawa/
(disebutkan dua perwujudan Beliau yaitu Siwa dan Buddha/
Berbeda konon, tapi kapan dapat dibagi dua/
Demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/
Berbeda itu satu tidak ada kebenaran yang mendua)"
Arti Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma itu artinya berbeda
itu tetapi satulah itu atau menurut terjemahan Muhammad Yamin:[6]
“…berbedalah itu, tetapi satulah itu. Seloka ini falsafah awalnya
berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam kerajaan
Keprabuan Majapahit, karena pada waktu itu aliran agama sangat banyak
dan aliran fikiran demikian juga. Untuk maksud itu seloka itu disusun
oleh Empu Tantular dengan tujuan untuk menyatukan segala
aliran dengan mengemukakan persamaan. Persamaan inilah yang
mengikat segalanya, yaitu Bhinneka Tunggal Ika…”
Falsafah Bhinneka Tunggal Ika ini di zaman Keprabuan Majapahit
dilaksanakan oleh Kepala Negara Putri Buana dan oleh Prabu Hayam
Wuruk dan kemudian diteruskan oleh negarawan Menteri Sepuh
Aditiawarman. Patut pula untuk diketahui, bahwa semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, pertama kali diselidiki oleh Prof. H. Kern pada tahun 1888
Verspreide Geschriften 1916. IV, hal 172 dalam lontar Purusadacanta
atau lebih dikenal dengan Sutasoma (lembar 120) yang disimpan
diperpustakaan Kota Leiden, dan kemudian diselidiki kembali oleh
Muhammad Yamin.
Kemudian
semboyan
itu
menempuh
proses
kristalisasi
mulai
pergerakan nasional 1928 sampai berdirinya negara Republik Indonesia
1945 dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lambang negara
sejak 8 Februari 1950.
Latar belakang pemikiran Bhinneka Tunggal Ika dapat dijelaskan
melalui keterangan Mohammad Hatta dalam Bukunya Bung Hatta
Menjawab, 1979 menyatakan[7], bahwa Ke Ika-an di dalam Bhinneka
Tunggal Ika, adalah berujud unsur-unsur kesatuan dalam kehidupan
bangsa, dalam arti adanya segi-segi kehidupan politik, ekonomi,
kebudayaan dan kejiwaan yang bersatu dan dipegang bersama oleh segala
unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu. Unsur keanekaragaman tetap ada pada
daerah-daerah dari berbagai adat dan suku. Akan tetapi, makin sempurna
alat-alat perhubungan, semakin pesat pembauran putra putri bangsa dan
semakin bijak pegawai Pemerintah dan Pemimpin Rakyat melakukan
pimpinan, bimbingan dan pengayoman terhadap rakyat seluruhnya, maka
akan pastilah pula bahwa unsur-unsur ke Bhinneka itu lambat laun akan
cenderung meleburkan diri dan semangatnya kepada unsur ke-lka-an.
Bhinneka
Tunggal
Ika
ini
menegaskan
pula,
betapa
pentingnya
dihubungkan dengan Pancasila sebagai tali pengikat untuk memperkuat
unsur ke-lka-an dari adanya unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu, dengan
kenyataan bahwa dalam lambang negara kita dimana jelas tergambar
Pancasila dengan Ketuhanan terletak dipusatnya, maka satu-satunya
tulisan yang dilekatkan jadi satu dengan lambang itu adalah perkataan
Bhinneka Tunggal Ika itu.
Seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang
negara itu memberikan makna tersirat dan tersurat, bahwa bangsa
Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi kemajukan itu bukanlah
ancaman tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap
menghargai kemajemukan bangsa.[8]
Akar sejarah dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari
Empu Tantular, 1350 M, sebagaimana telah diteliti oleh Muhammad
Yamin, hasil penelitian yang dibukukan dalam buku: 6000 Tahun Sang
Merah Putih, beliau menyatakan :[9]
"Apabila kita pelajari buah fikiran ahli filsafah Indonesia sesudah abad
ke-XIV sampai kini, maka kagumlah kita kepada pertjikan otak ahli pemikir
Empu Tantular, seperti dijelaskan dalam kitab Sutasoma yang dikarangnya
dalam jaman kentiana keperabuan Majapahid pada pertengahan abad keXIV. Hal itu bukanlah suatu hal yang sudah mati.
Dari ahli filsafah Tantular yang ulung itu berasal kalimat Bhineka Tunggal
Ika, dan tanhana dharma mangrwa. Artinya seluruh kalimat seloka Tantular
itu : berbedalah itu, tetapi satulah itu ; dan didalam peraturan undangundang tidak adalah diskriminasi atau dualisme. Seloka filsafah itu berasal
dari pada tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam negara
keperabuan Majapahit dizaman emas. Aliran agama pada waktu itu
memang banyak dan aliran pikiranpun demikian juga. Begitu pula aliran
kebudayaan. Kehidupan rohani yang meriah itu disebabkan karena
perkembangan kelahiran dan kebathinan yang bergelora. Bagaimana
jalannya untuk menyatukan berbagai aliran fikiran, supaya jangan timbul
perpecahan? Seloka itu dapat menyatukan segala aliran dengan
mengemukakan persamaan, dengan pengertian bahwa diantara berbagai
fikiran, perbedaan agama dan perbedaan filsafah ada jugalah persamaan
yang menyatukan. Dan persamaan inilah yang mengingkat segalanya, yaitu
Bhineka Tunggal Ika berjenis-jenis, tetapi tetap tinggal bersatu. Dan dalam
perbedaan fikiran dan pendapat adalah persamaan yang dapat mengikat
dalam pokok kesatuan.
Satu agama tidaklah lebih atau kurang daripada agama lain. Demikian pula
dengan aliran politik dan aliran kebudayaan. Itu ditegaskan oleh Empu
Tantular. Janganlah segala aliran itu dinilai berbagai-bagai, dan jangan
diadakan diskriminasi dan dualisme, melainkan sungguh sama nilai dan
sama harganya. Rasa toleransi dapat menyatukan segala aliran.
Itu adalah filsafah Bhineka Tunggal Ika dizaman kencana Indonesia di
dalam abad ke-XIV, seperti dilaksanakan oleh Kepala Negara Puteri
Teribuana dan oleh Perabu Ajam Wuruk, seperti dilancarkan oleh negarawa
Menteri Sepuh Aditiawarman yang arif bijaksana dan Patih Mangkubumi
Gadjah Mada yang dinamis. Demikianlah akibatnya filsafah pemersatu bagi
berbagai agama, aliran fikiran politik dan kebudayaan, sehingga negara
Majapahit oleh adanya alat mempersatu itu menjadi bertambah besar dan
mendapat corak yang sebenar-benarnya sesuai dengan watak dan
peribadinya. 232 tahun lamanya negara Majapahit berkembang dari 1293
sampai 1525. seperti susunan fikiran ahli pemikir Indonesia Empu Tantular
dalam abad XIV itu dapat memberi dasar bagi berbagai fikiran yang
beraneka ragam dan menghindarkan masyarakt serta negara dari
perpecahan yang meruntuhkan, begitu pulalah ajaran Panca Sila itu
mengandung maksud untuk memberi dasar bagi perjuangan negara
Indonesia yang dilahirkan atas persatuan dan kemerdekaan yang berdaulat.
Dan sudah ternyata pula Panca Sila itu dapat mempersatukan Bangsa
Indonesia sejak hari Proklamasi sampai waktu kini. Jadi seperti filsafah
Tantular, maka ajaran Panca Sila ialah sistem filsafah yang mengandung
daya pengikat atau alat pemersatu dalamnya untuk memperkuat persatuan
Bangsa, yang menjadi sarat mutlak bagi kemerdekaan. Hal itu dapat
difahamkan. Ajaran Panca Sila sebagai alat mempersatu tidaklah saja
menjadi faktor azasi dalam memperkuat kemerdekaan yang bersemangat,
tetapi juga sangatlah penting bagi pelaksanaan pembinaan Bangsa
Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1928 dan menjadi Nation
Indonesia sejak tahun Proklamasi 1945.
Jadi tegaslah, bahwa ajaran Panca Sila itu benar-benar suatu sistem falsafah
untuk mempersatukan berbagai aliran, dan diatasnya dibentuk Negara
Indonesia yang meliputi daerah Indonesia yang menjadi dukungan Bangsa
Indonesia yang bersatu".
Keterangan Muhammad Yamin di atas semakin membuktikan, bahwa seloka
Bhinneka Tunggal Ika yang menurut keterangan Presiden Soekarno adalah
masukan dari seorang ahli bahasa, maka bisa dipastikan yang dimaksudkan
adalah Muhammad Yamin, hal inipun dikuatkan ketika terminologi Pancasila
dinyatakan oleh Presiden Soekarno, juga atas usulan ahli bahasa, "Namanya
bukan Panca Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila, Sila artinya azas atau
dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia,
kekal dan abadi"[10], maka yang dimaksudkan oleh Soekarno dengan teman
kita seorang ahli bahasa itu tidak lain adalah Muhammad Yamin.
Berdasarkan paparan diatas pertanyaan akademisnya apa sebenarnya
seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep lambang negara, apakah seperti
yang dipahami saat ini, yaitu berbeda-beda tetapi satu jua, transkrip Sultan
Hamid II , 15 April 1967 menjawab perspektif tentang Bhinneka Tunggal
Ika itu secara jelas:[11]
"……ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang
mentjekram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja
terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang
begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja,
tetapi menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip,
karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti
rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna
perisai, selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki
mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik"
dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia,
karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan
"kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang
Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan
jang menondjol dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan
republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini
lambang negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara
pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh
sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e
pluribus unum".
Berdasarkan transkrip Sultan Hamid II di atas, bahwa masuknya seloka
Bhinneka Tunggal Ika pada pita yang dicengkram cakar Elang Rajawali
Garuda Pancasila adalah sebuah sinergisitas atau perpaduan terhadap
pandangan
kenegaraan
ketika
itu,
yaitu
antara
paham
federalis
(kebhinnekaan) dengan paham kesatuan/Unitaris (Tunggal), sebagaimana
kita ketahui Sultan Hamid II adalah tokoh berpandangan federalisme yang
mengutamakan prinsip keragaman dalam persatuan, sedangkan Soekarno
adalah tokoh berpandangan unitaris yang mengutamakan prinsip persatuan
dalam keragaman, hal ini memberikan makna secara semiotika hukum,
bahwa pembacaan Bhinneka Tunggal Ika yang tepat seharusnya adalah
keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman, karena kata
Bhinneka artinya keragaman, sedangkan Tunggal artinya satu, dan Ika
artinya itu, maknanya yang beragam-ragam satu itu dan yang satu itu
beragam-ragam, apakah yang satu itu, yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Bukankah sebuah paham multikulturisme modern dan
itulah jati diri bangsa Indonesia serta salah satu pilar kebangsaan Indonesia
yang bernama Bhinneka Tunggal Ika.
Menelusuri sejarah terbentuknya RIS 1949 dalam kaitannya dengan
lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila bersemboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang ditetapkan menjadi Lambang Negara RIS, pada tanggal
11 Februari 1950 memberikan penegasan, bahwa Bhinneka Tunggal Ika
adalah merupakan frase jati diri kebangsaan Indonesia yang tepat untuk
menyatukan dua paham kenegaraan ketika itu, yaitu federalis yang diwakili
oleh Sultan Hamid II dan unitaris yang diwakili oleh Soekarmo, mengapa
demikian ? karena secara historisitas yuridis sebenarnya lambang negara
dengan mengambil figur Elang Rajawali Garuda Pancasila yang dirancang
oleh Sultan Hamid II Tahun 1950 adalah dimaksudkan sebagai Lambang
Negara
Republik
Indonesia
Serikat
(RIS)
berdasarkan
perintah
konstitusional pada Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949 yang menyatakan:
“Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara”, hanya kemudian
gambar Lambang Negara yang ditetapkan 11 Februari 1950 oleh Kabinet
dan Parlemen RIS tersebut berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 6 Peraturan
Pemerintah No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara yang diundangkan
pada Lembaran Negara No 111 Tahun 1951 Tanggal 17 Oktober 1951
menyatakan: “Warna Perbandingan-perbandingan Ukuran dan Bentuk
Garuda adalah seperti dilukiskan dalam gambar tersebut dalam pasal 6,
sedangkan
Pasal
6
Peraturan
Pemerintah
Nomor
66
Tahun
1951
menyatakan: “Bentuk warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara
Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan
Pemerintah ini.” Selanjutnya sejak saat itulah yaitu sejak tanggal 17
Oktober 1951 menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang –Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950
sebagaimana ditegaskan pada Bagian III Pasal 3 ayat (3) yang menyatakan:
Materai dan Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah.
Pertanyaannya secara historis yuridis atau secara akademis, gambar atau
lukisan lambang negara siapakah yang dilampirkan secara resmi dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 sebagaimana dimaksud Pasal
3 jo Pasal 6 tersebut di atas ? bukankah secara historis yuridis adalah
gambar lambang negara yang dirancang dan diperbaiki untuk terakhir
kalinya oleh Sultan Hamid II pada masa RIS sebagaimana telah ditetapkan
pada tanggal 11 Februari 1950 oleh Kabinet dan Parlemen RIS dan
dokumen otentik gambar/lukisannya saat ini berada di ruang pribadi
almarhum H. Mas Agung pada Yayasan Mas Agung jalan Kwitang Senen
Jakarta Pusat, artinya gambar/lukisan Lambang Negara yang dilampirkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 3 jo
Pasal 6 sebagai pelaksanaan atau perintah Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 adalah gambar Lambang Negara
rancangan Sultan Hamid II, yaitu Elang Rajawali Garuda Pancasila yang
berasal dari Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950,
sebagaimana disempurnakan untuk terakhir kalinya sejak ditetapkan pada
tanggal 11 Februari 1950 atau dengan kata lain secara de fakto dan de jure
adalah Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan
Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949 yang kemudian secara de jure
ditetaplan kembali menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sejak 17 Oktober 1951 berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 1951 sebagai pelaksanaan perintah (imperatif) pada Pasal
3 ayat (3) UUDS 1950.
Kemudian pernyataan teks hukum-normatif yang sama juga pada pasal 46 jo
Pasal 50 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan sebagaimana diundangkan
dalam Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5035 Tahun 2009, pada tanggal 9 Juli 2009 menyatakan :
Pasal 46 : Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda
Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa
jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda”
Pasal 47 (1) : Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga
pembangunan. (2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor
berbulu 19, dan leher berbulu 45.
Pasal 48 (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa.
(2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah
ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah
perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;b. dasar Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan
persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia
dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar
Kerakyatan
yang
Dipimpin
oleh
Hikmat
Kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di
bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah
perisai.
Pasal 49: Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri
atas: a. warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai; b. warna
putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai; c. warna kuning emas
untuk seluruh burung Garuda; d. warna hitam di tengah-tengah perisai
yang berbentuk jantung; dan e. warna alam untuk seluruh gambar lambang
Selanjutnya pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
menyatakan :
Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 tercantum
dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Berdasarkan Pasal 46 s/d 49 jo Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 di atas sebagai pelaksanaan perintah (imperatif) Pasal 36 C UndangUndang Dasar tahun 1945 amendemen kedua, maka sejak tahun 2000
secara konstitusional ditegaskan menjadi Lambang Negara Kesatuan
Republik
Indonesia
berdasarkan
UUD
1945
amendemen
kedua
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 36 A : Lambang Negara ialah Garuda
Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Patut diketahui bersama oleh publik dan para pembaca, bahwa masuknya
rumusan Pasal 36 A UUD 1945 amandemen kedua tersebut adalah
merupakan
rekomendasi
hasil
penelitian
Tesis
penulis
(Turiman
Fachturahman Nur) tentang ”Sejarah hukum Lambang Negara Republik
Indonesia” pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
bagian hukum dan kehidupan kenegaraan yang telah dipertahankan secara
ilmiah dihadapan dewan penguji: Prof Dr Dimyati Hartono, Prof Dr H.
Azhary,SH, Prof Dr Koesnadi Hardjoseomantri,SH pada hari Rabu tanggal
11 Agustus 1999 yang kemudian ditindak lanjuti dengan Seminar Nasional
Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan di
Pontianak Kalimantan-Barat pada tanggal 3-4 Juni 2000 yang dihadiri oleh
berbagai elemen tokoh masyarakat, mahasiswa, jurnalis, guru sejarah
berbagai sekolah dan akademisi berbagai perguruan tinggi, pemerintah
daerah (Gubernur, Bupati) se kalimantan Barat serta anggota DPRD
Provinsi Kalimantan Barat, anggota DPR RI yang berasal dari Kalimantan
Barat dengan menghadirkan para anggota PAH I MPR-RI Amandemen
Kedua UUD 1945, Ketua MPR-DPR RI Ir .Akbar Tanjung, Prof Dr Dimyati
Hartono dari UI Jakarta, Prof Dr Sri Soemantri Martosoewigyo dari UNPAD
Bandung dan telah merekomendasikan, bahwa kesimpulan hasil Seminar
Nasional tersebut yang dirumuskan oleh tim perumus seminar: Garuda
Wiko, SH,Msi dan Firdaus, SH, Msi untuk dijadikan kesepakatan bersama
para peserta seminar sebagai rumusan amandemen kedua UUD 1945 tahun
2000 dengan menambah ketentuan Pasal 36 UUD 1945, yaitu ketentuan
tentang
Lambang
Negara
dan
Lagu
Kebangsaan
Indonesia
yang
sebelumnya secara konstitusional belum diatur dalam UUD 1945 dan
rumusan
dimaksud
dari
hasil
amademen
kedua
UUD
1945
adalah
sebagaimana rumusan Pasal 36 A, yaitu Lambang Negara Ialah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Pasal 36 B: Lagu
Kebangsaaan ialah Indonesia Raya.
Menurut risalah sidang MPR tahun 2000, bahwa masuknya ketentuan
mengenai lambang negara dan lagu kebangsaan kedalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang melengkapi
pengaturan mengenai bendera negara dan bahasa negara yang telah
ada sebelumnya merupakan ikhtiar untuk memperkukuh kedudukan
dan
makna
hubungan
atribut
kenegaraan
internasional
yang
ditengah
terus
kehidupan
berubah.
Dengan
global
dan
kata
lain,
kendatipun atribut itu tampaknya simbolis, hal tersebut tetap penting,
karena menunjukkan identitas dan kedaulatan suatu negara dalam
pergaulan
internasional.
Atribut
kenegaraan
itu
menjadi
simbol
pemersatu seluruh bangsa Indonesia ditengah perubahan dunia yang
tidak
jarang
sebuah
berpotensi
negara
dan
mengancam
bangsa
tak
keutuhan
terkecuali
dan
bangsa
kebersamaan
dan
negara
Indonesia.[12]
Bung Hatta Menjawab, wawancara Mohammat Hatta dengan Z Yasni,
Cetakan ketiga, Gunung Agung, Jakarta, 1978, halaman 108.
[1]
Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih, Siguntang, 1954, hal
168
[2]
Wawancara Peneliti dengan Max Yusuf Alkadrie pada hari Selasa, 6
Januari 1999, jam 10:53 s/d 11.00 WIB di skretariat Yayasan Sultan Hamid
II, Jeruk Purut. Jakarta Selatan.
[3]
[4] Transkrip Sultan Hamid II pada Solichim Salam, 15 April 1967 halaman 5 menyatakan: " menurut Paduka Jang
Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai
ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai, selandjutnja meminta saja
untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik"
dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara
pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang
Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan"
jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang
negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah
dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum".
[5] Muhammad Yamin, ibid , hal.165
[6]
Muhammad Yamin, ibid , hal 169
Bung Hatta Menjawab , wawancara Mohammat Hatta dengan Z Yasni,
Cetakan ketiga, Gunung Agung , Jakarta, 1978 , ahal 107.
[7]
Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Jakarta, Gunung Agung, 1978,
hal 107.
[8]
[9]
Muhammad Yamin, op cit, hal 456-457
Pidato Soekarno, 1 Juni 1945 dalam rapat BPUPKI, Sejarah Pancasila,
1947.
[10]
Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15
April 1967.
[11]
MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat.,
2007, Sekretariat Jenderal MPR.RI.
[12]
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa
Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata
neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam
Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka
Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi
pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk
menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma,
karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.
Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat
Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
PENTINGNYA SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA
Day 1,191, 18:18 • by Itelat
Arti Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau kitab
sutasoma karangan Mpu Tantular / Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika
memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa,
dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Dipersatukan
dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang negara Republik Indonesia yaitu
Burung Garuda Pancasila. Di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang
bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Kata-kata tersebut dapat pula diartikan : Berbeda-beda tetapi
tetap satu jua.
Makna Bhineka Tunggal Ika dalam Persatuan IndonesiaSebagaimana dijelaskan dimuka bahwa
walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki kebudayaan
dan adat-istiadat yang beraneka ragam namun keseluruhannya merupakan suatu persatuan.
Penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No.
66 tahun 1951, 17 Oktober diundangkan tanggal 28 Nopember 1951, dan termuat dalam
Lembaran Negara No. II tahun 1951.Makna Bhineka Tunggal Ika yaitu meskipun bangsa dan
negara Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adatistiadat yang bermacam-macam serta beraneka ragam kepulauan wilayah negara Indonesia
namun keseluruhannya itu merupakan suatu persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia.
Keanekaragaman tersebut bukanlah merupakan perbedaan yang bertentangan namun justru
keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya justru memperkaya sifat dan
makna persatuan bangsa dan negara Indonesia.Dalam praktek tumbuh dan berkembangnya
persatuan suatu bangsa (nasionalisme) terdapat dua aspek kekuasaan yang mempengaruhi yaitu
kekuasaan pisik (lahir), atau disebut juga kekuasan material yang berupa kekerasan, paksaan dan
kekuasaan idealis (batin) yang berupa nafsu psikis, ide-ide dan kepercayaan-kepercayaan. Proses
nasionalisme (persatuan) yang dikuasai oleh kekuasaan pisik akan tumbuh dan berkembang
menjadi bangsa yang bersifat materialis. Sebaliknya proses nasionalisme (persatuan) yang dalam
pertumbuhannya dikuasai oleh kekuasaan idealis maka akan tumbuh dan berkembang menjadi
negara yang ideal yang jauh dari realitas bangsa dan negara. Oleh karena itu bagi bangsa
Indonesia prinsip-prinsip nasionalisme itu tidak berat sebelah, namun justru merupakan suatu
sintesa yang serasi dan harmonis baik hal-hal yang bersifat lahir maupun hal-hal yang bersifat
batin. Prinsip tersebut adalah yang paling sesuai dengan hakikat manusia yang bersifat
monopluralis yang terkandung dalam Pancasila.Di dalam perkembangan nasionalisme didunia
terdapat berbagai macam teori antara lain Hans Kohn yang menyatakan bahwa :“ Nasionalisme
terbentuk ke persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah negara dan kewarganegaraan “.
Bangsa tumbuh dan berkembang dari analisir-analisir akar-akar yang terbentuk melalui jalannya
sejarah. Dalam masalah ini bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang
memiliki adat-istiadat dan kebudayaan yang beraneka ragam serta wilayah negara Indonesia
yang terdiri atas beribu-ribu kepulauan. Oleh karena itu keadaan yang beraneka ragam itu
bukanlah merupakan suatu perbedaan yang saling bertentangan namun perbedaan itu justru
merupakan daya penarik kearah resultan sehingga seluruh keanekaragaman itu terwujud dalam
suatu kerjasama yang luhur yaitu persatuan dan kesatuan bangsa. Selain dari itu dalam kenyataan
objektif pertumbuhan nasionalisme Indonesia telah dibentuk dalam perjalanan sejarah yang
pokok yang berakar dalam adat-istiadat dan kebudayaan. Prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia
(Persatuan Indonesia) tersusun dalam kesatuan majemuk tunggal yaitu :a) Kesatuan sejarah;
yaitu bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dalam suatu proses sejarah.b) Kesatuan nasib;
yaitu berda dalam satu proses sejarah yang sama dan mengalami nasib yang sama yaitu dalam
penderitaan penjajah dan kebahagiaan bersama.c) Kesatuan kebudayaan; yaitu keanekaragaman
kebudayaan tumbuh menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional.d) Kesatuan asas kerohanian;
yaitu adanya ide, cita-cita dan nilai-nilai kerokhanian yang secara keseluruhan tersimpul dalam
Pancasila.Berdasarkan prinsip-prinsip nasionalisme yang tersimpul dalam sila ketiga tersebut
dapat disimpulkan bahwa naionalisme (Persatuan Indonesia) pada masa perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia memiliki peranan historis yaitu mampu mewujudkan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Jadi “ Persatuan Indonesia “ sebagai jiwa dan semangat
perjuangan kemerdekaan RI.D. Peran Persatuan Indonesia dalam Perjuangan Kemerdekaan
IndonesiaMenurut Muhammad Yamin bangsa Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu
bangsa dalam panggung politik Internasional melalui suatu proses sejarahnya sendiri yang tidak
sama dengan bangsa lain. Dalam proses terbentuknya persatuan tersebut bangsa Indonesia
menginginkan suatu bangsa yang benar-benar merdeka, mandiribebas menentukan nasibnya
sendiri tidak tergantung pada bangsa lain. Menurutnya terwujudnya Persatuan Kebangsaan
Indonesia itu berlangsung melalui tiga fase. Pertama Zaman Kebangsaan Sriwijaya, kedua
Zaman Kebangsaan Majapahit, dan ketiga Zaman Kebangsaan Indonesia Merdeka (yang
diplokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945). Kebangsaan Indonesia pertama dan kedua itu
disebutnya sebagai nasionalisme lama, sedangkan fase ketiga disebutnya sebagai nasionalisme
Indonesia Modern, yaitu suatu Nationale Staat atau Etat Nationale yaitu suatu negara
Kebangsaan Indonesia Modern menurut susunan kekeluargaan yang berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa serta kemanusiaan.Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, pengertian “
Persatuan Indonesia “ adalah sebagai faktor kunci yaitu sebagai sumber semangat, motivasi dan
penggerak perjuangan Indonesia. Hal itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi
sebagai berikut : “ Dan perjuangan pergerakan Indonesia telah sampailah pada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur “.Cita-cita
untuk mencapai Indonesia merdeka dalam bentuk organisasi modern baik berdasarkan agama
Islam, paham kebangsaan ataupun sosialisme itu dipelopori oleh berdirinya Serikat Dagang
Islam (1990), Budi Utomo (1908), kemudian Serikat Islam (1911), Muhammadiyah
(1912),Indiche Partij (1911), Perhimpunan Indonesia (1924), Partai Nasional Indonesia (1929),
Partindo (1933) dan sebagainya. Integrasi pergerakan dalam mencapai cita-cita itu pertama kali
tampak dalam bentuk federasi seluruh organisasi politik/ organisasi masyarakat yang ada yaitu
permufakatan perhimpunan-perhimpunan Politik Kemerdekaan Indonesia (1927).Kebulatan
tekad untuk mewujudkan “ Persatuan Indonesia “ kemudian tercermin dalam ikrar “ Sumpah
Pemuda “ yang dipelopori oleh pemuda perintis kemerdekaan pada tanggal 28 Oktober 1928
diJakarta yang berbunyi :
a. PERTAMA. Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Bertumpah darah Satu Tanah Air
Indonesia.
b. KEDUA. Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Berbangsa Satu Bangsa Indonesia.
c. KETIGA. Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia.
Kalau kita lihat, Sumpah Pemuda yang mengatakan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa
Indonesia maka ada tiga aspek Persatuan Indonesia yaitu :
1. Aspek Satu Nusa : yaitu aspek wilayah, nusa berarti pulau, jadi wilayah yang dilambangkan
untuk disatukan adalah wilayah pulau-pulau yang tadinya bernama Hindia Belanda yang saat itu
dijajah oleh Belanda. Ini untuk pertama kali secara tegas para pejuang kemerdekaan meng-klaim
wilyah yang akan dijadikan wilayah Indonesia merdeka.
2. Aspek Satu Bangsa : yaitu nama baru dari suku-suku bangsa yang berada da wilayah yang
tadinya bernama Hindia Belanda yang tadinya dijajh oleh Belanda memplokamirkan satu nama
baru sebagai Bangsa Indonesia. Ini adalah awal mula dari rasa nasionalisme sebagai kesatuan
bangsa yang berada di wilayah sabang sampai Merauke.
3. Aspek Satu Bahasa : yaitu agar wilayah dan bangsa baru yang bterdiri dari berbagai suku dan
bahasa bisa berkomunikasi dengan baik maka dipakailah sarana bahasa Indonesia yang ditarik
dari bahasa Melayu dengan pembaharuan yang bernuansakan pergerakan kearah Indonesia yang
Merdaka. Untuk pertama kali para pejuang kemerdekaan memplokamirkan bahasa yang akan
dipakai negara Indonesia merdeka yaitu bahasa Indonesia.
Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itulah pangkal tumpuan cita-cita menuju
Indonesia merdeka. Memang diakui bahwa persatuan berkali-kali mengalami gangguan dan
kerenggangan. Perjuangan kemerdekaan antara partai politik/ organisasi masyarakat pada waktu
itu dangan segala strategi dan aksinya baik yang kooperatif maupun non kooperatif terhadap
pemerintahan Hindia Belanda mengalami pasang naik federasi maupun fusi dalam gabungan
politik Indonesia (1939) dan fusi terakhir Majelis Rakyat Indonesia.
Indonesia di jajah BELANDA selama 350 tahun atau 3,5 Abad, maka untuk itu Indonesia
memilih semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA, yang bertujuan untuk mempersatukan bangsa
Indonesia agar dapat mengusir penjajah dari bumi ibu pertiwi ini.Tetapi semboyan Bhinneka
Tunggal Ika pada zaman sekarang sudah tidak berguna lagi di masyarakat Indonesia, karena
banyaknya tawuran antar Desa, Antara pelajar, dan lain-lain sudah menjamur di seluruh pelosok
Indonesia.Jadi Pengorbanan masyarakat dulu sudah tidak berarti lagi di zaman sekarang, pada
zaman dahulu banya peristiwa heroik terjadi setelah ataupun sebelum kemerdekaan, contoh saja
peristiwa besar yang terjadi di kota SURABAYA pertempuran antara arek-arek SURABAYA dan
sekitarnya melawan para tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia, tetapi dengan
gagahnya pemuda-pemuda itu bersatu dan mengusir tentara sekutu.Semua itu di lakukan agar
para anak cucunya di masa depan agar bisa merasakan kehidupan yang lebih baik dari mereka,
maka untuk itu kita harus membangkitkan rasa NASIONALISME kita terhadap bangsa ini,
jangan cuma pada saat Malaysia mengklaim sesuatu milik kita menjadi kepunyaan mereka, maka
kita harus menghargai jasa para pahlawan zaman dulu, karena tanpa jasanya kita tidak bisa hidup
nyaman seperti sekarang ini.
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan Indonesia,dimana kita haruslah dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya
tanpa memandang suku bangsa,agama,bahasa,adat istiadat,warna kulit dan lain-lain.Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dimana setiap daerah memiliki
adat istiadat,bahasa,aturan,kebiasaan dan lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya tanpa adanya kesadaran sikap untuk menjaga Bhineka tunggal Ika pastinya akan terjadi
berbagai kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap oarng akan
hanya mementingkana dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa perduli kepentngan
bersama.Bila hal tersebut terjadi pastinya negara kita ini akan terpecah belah.Oleh sebab itu
marilah kita jaga bhineka tunggal ika dengan sebai-baiknya agar persatuan bangsa dan negara
Indonesia tetap terjaga dan kita pun haruslah sadar bahwa menyatukan bangsa ini memerlukan
perjuangan yang panjang yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam menyatukan wilayah
republik Indonesia menjadi negara kesatuan.
Bhinneka Tunggal Ika ialah moto atau slogan negara Indonesia. Frasa ini bermaksud 'Berbedabeda tapi Tetap Satu juga' . Bhinneka bermaksud 'beraneka'. Tunggal bermaksud 'satu'. Ika
bermaksud 'itu'.
Moto ini mula diperkenalkan semasa Indonesia merdeka pada tahun 1945 selepas berjuang
melalui 'buluh runcing' daripada Belanda dan Jepun. Sultan Abdul Hamid II dari Pontianak,
Kalimantan memperkenalkannya dan disokong oleh Presiden Indonesia ketika itu, Sukarno.
Moto ini dicatat pada logo Garuda Pancasila iaitu logo negara Indonesia. Istilah ini digunakan
kerana mahu menunjukkan kelainan dan bangsa Indonesia yang rencam dan ratusan pulau tetapi
dapat disatukan melalui satu negara yang unik, Indonesia.
Asal usul
Bhinneka Tunggal Ika berasal dari karya puisi kuno berbahasa Jawa yang ditulis oleh Mpu
Tantular semasa Empayar Majapahit yang berpusat di pulau Jawa pada abad ke-14. Tentunya
puisi ini berunsur agama Buddha yang menjadi anutan penduduk Jawa beragama Hindu dan
Buddha.
Puisinya :
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana mangrwa.
Maksudnya :
Kewujudan Buddha dan dewa Siva dilihat berbeza,
Tentu berbeza tetapi kebenaran boleh dikenal pasti,
Sebab kebenaran Buddha dan Siva satu jua, dharma
Kelihatan beraneka tetap satu jua, itulah kewajipan.
Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila
Turiman Fachturahman Nur
Email: [email protected]. HP 08125695414
Semboyan atau seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis di
dalam pita berwarna dasar putih yang dicengkram oleh cakar Elang
Garuda Pancasila adalah semboyan yang berasal bahasa Jawa Kuno.
Perkataan Bhinneka itu adalah gabungan dua perkataan: Bhinna dan Ika.
Kalimat itu seluruhnya dapat disalin: Keragaman dalam persatuan dan
Persatuan dalam keragaman. Frase ini sangat dalam makna artinya,
karena menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,
walaupun keluar memperlihatkan perbedaan atau keragaman. Kalimat
itu telah tua dan pernah dipakai oleh pujangga ternama Empu Tantular
dalam buku Sutasoma dan negarawan Prabu Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada di zaman peradapan Majapahit pada abad XIV.
Prase
Bhinneka
Tunggal
Ika
telah
sama-sama
diakui
dan
dirasakan mempunyai "kekuatan" untuk menyatukan, mengutuhkan dan
meneguhkan bangsa Indonesia yang majemuk atau disebut sebagai salah
satu sarana pengintegrasi bangsa Indonesia atau sebagai jatidiri bangsa
Indonesia.
B e r h a s i l ny a
p em im p i n
bangsa
k it a
un t uk
m en g g a l i
dan
menetapkan sebagai semboyan di dalam bagian lambang negara adalah
karya besar yang tak ternilai, tetapi ada pertanyaan yang perlu diajukan,
siapakah yang menempatkan semboyan tersebut pada bagian lambang
negara dan apa latar belakang pemikirannya?
Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam bukunya
Bung Hatta Menjawab, 1979, disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka
Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah merdeka semboyan itu
diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid Pontianak
dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Pebruari
1950".[1]
Istilah "ciptaan Bung Karno" dalam pernyataan Mohammad Hatta di
atas menurut hemat penulis kurang tepat, karena dengan pernyataan itu
memberikan pengertian, bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika
adalah ciptaan Bung Karno. Pernyataan ini juga akan bertentangan
dengan pidato Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di
Istana Negara yang menyatakan bahwa "di bawahnya tertulis seloka
buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika, Bhina ika tunggal ika –
berjenis-jenis tetapi tunggal".
Berdasarkan isi pidato Presiden Soekarno di atas, semboyan itu adalah
buatan
Empu
Tantular.
Pernyataan
ini
sejalan
dengan
hasil
penyelidikan Mohammad Yamin, seperti yang dikemukakan dalam buku
6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang menyatakan, bahwa semboyan
itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan huruf yang
jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang
kitab Sutasoma pada masa Madjapahit pada abad XIV. Adapun arti
seloka Jawa lama itu adalah walaupun berbeda-beda ataupun berlainan
agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam, bahasa
latin: e pluribus unum[2].
Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana seloka itu menjadi
bagian dari lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II?
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan sekretaris pribadi
Sultan Hamid II (Max Yusuf Alkadrie)[3] , bahwa semboyan itu
menjadi bagian dari lambang negara adalah merupakan kesepakatan
antara Sultan Hamid II dengan Mohammad Hatta, Soekarno yaitu atas
usul Presiden Soekarno untuk mengganti pita yang dicengkram Garuda,
yang semula direncanakan berwarna merah putih kemudian diganti
menjadi warna putih dan Presiden Soekarno mengusulkan supaya di
atas pita warna putih tersebut dimasukan seloka Bhinneka Tunggal
Ika. Sebab warna merah putih dianggap sudah terwakili dalam warna
dasar perisai Pancasila.[4]
Dengan demikian yang dimaksudkan oleh Mohammad Hatta
dengan pernyataan bahwa "Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah
ciptaan Bung Karno". Dalam buku Bung Hatta Menjawab tahun 1978 itu
maksudnya semboyan itu adalah usulan Presiden Soekarno.
Sekalipun demikian kita dapat mengetahui asal usul semboyan
tersebut, namun apakah arti yang sebenarnya dari semboyan Bhinneka
Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma dan bagaimana semboyan itu
disebutkan?
Menelusuri arti sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika, maka
semboyan ini terdapat pada wirama ke-139 bait ke lima dari kitab
Sutasoma yang bahasa aslinya: [5]
"Rwaneka dahtu winuwus wars buddha wisma/
Bhinneka rakwa ring spa kena parwanosen/
Mangka Wing Jinatwa kalawan Siwatwa Tunggal/
Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrawa/
(disebutkan dua perwujudan Beliau yaitu Siwa dan Buddha/
Berbeda konon, tapi kapan dapat dibagi dua/
Demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/
Berbeda itu satu tidak ada kebenaran yang mendua)"
Arti Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma itu artinya berbeda
itu tetapi satulah itu atau menurut terjemahan Muhammad Yamin:[6]
“…berbedalah itu, tetapi satulah itu. Seloka ini falsafah awalnya
berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam kerajaan
Keprabuan Majapahit, karena pada waktu itu aliran agama sangat banyak
dan aliran fikiran demikian juga. Untuk maksud itu seloka itu disusun
oleh Empu Tantular dengan tujuan untuk menyatukan segala
aliran dengan mengemukakan persamaan. Persamaan inilah yang
mengikat segalanya, yaitu Bhinneka Tunggal Ika…”
Falsafah Bhinneka Tunggal Ika ini di zaman Keprabuan Majapahit
dilaksanakan oleh Kepala Negara Putri Buana dan oleh Prabu Hayam
Wuruk dan kemudian diteruskan oleh negarawan Menteri Sepuh
Aditiawarman. Patut pula untuk diketahui, bahwa semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, pertama kali diselidiki oleh Prof. H. Kern pada tahun 1888
Verspreide Geschriften 1916. IV, hal 172 dalam lontar Purusadacanta
atau lebih dikenal dengan Sutasoma (lembar 120) yang disimpan
diperpustakaan Kota Leiden, dan kemudian diselidiki kembali oleh
Muhammad Yamin.
Kemudian
semboyan
itu
menempuh
proses
kristalisasi
mulai
pergerakan nasional 1928 sampai berdirinya negara Republik Indonesia
1945 dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lambang negara
sejak 8 Februari 1950.
Latar belakang pemikiran Bhinneka Tunggal Ika dapat dijelaskan
melalui keterangan Mohammad Hatta dalam Bukunya Bung Hatta
Menjawab, 1979 menyatakan[7], bahwa Ke Ika-an di dalam Bhinneka
Tunggal Ika, adalah berujud unsur-unsur kesatuan dalam kehidupan
bangsa, dalam arti adanya segi-segi kehidupan politik, ekonomi,
kebudayaan dan kejiwaan yang bersatu dan dipegang bersama oleh segala
unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu. Unsur keanekaragaman tetap ada pada
daerah-daerah dari berbagai adat dan suku. Akan tetapi, makin sempurna
alat-alat perhubungan, semakin pesat pembauran putra putri bangsa dan
semakin bijak pegawai Pemerintah dan Pemimpin Rakyat melakukan
pimpinan, bimbingan dan pengayoman terhadap rakyat seluruhnya, maka
akan pastilah pula bahwa unsur-unsur ke Bhinneka itu lambat laun akan
cenderung meleburkan diri dan semangatnya kepada unsur ke-lka-an.
Bhinneka
Tunggal
Ika
ini
menegaskan
pula,
betapa
pentingnya
dihubungkan dengan Pancasila sebagai tali pengikat untuk memperkuat
unsur ke-lka-an dari adanya unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu, dengan
kenyataan bahwa dalam lambang negara kita dimana jelas tergambar
Pancasila dengan Ketuhanan terletak dipusatnya, maka satu-satunya
tulisan yang dilekatkan jadi satu dengan lambang itu adalah perkataan
Bhinneka Tunggal Ika itu.
Seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang
negara itu memberikan makna tersirat dan tersurat, bahwa bangsa
Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi kemajukan itu bukanlah
ancaman tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap
menghargai kemajemukan bangsa.[8]
Akar sejarah dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari
Empu Tantular, 1350 M, sebagaimana telah diteliti oleh Muhammad
Yamin, hasil penelitian yang dibukukan dalam buku: 6000 Tahun Sang
Merah Putih, beliau menyatakan :[9]
"Apabila kita pelajari buah fikiran ahli filsafah Indonesia sesudah abad
ke-XIV sampai kini, maka kagumlah kita kepada pertjikan otak ahli pemikir
Empu Tantular, seperti dijelaskan dalam kitab Sutasoma yang dikarangnya
dalam jaman kentiana keperabuan Majapahid pada pertengahan abad keXIV. Hal itu bukanlah suatu hal yang sudah mati.
Dari ahli filsafah Tantular yang ulung itu berasal kalimat Bhineka Tunggal
Ika, dan tanhana dharma mangrwa. Artinya seluruh kalimat seloka Tantular
itu : berbedalah itu, tetapi satulah itu ; dan didalam peraturan undangundang tidak adalah diskriminasi atau dualisme. Seloka filsafah itu berasal
dari pada tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam negara
keperabuan Majapahit dizaman emas. Aliran agama pada waktu itu
memang banyak dan aliran pikiranpun demikian juga. Begitu pula aliran
kebudayaan. Kehidupan rohani yang meriah itu disebabkan karena
perkembangan kelahiran dan kebathinan yang bergelora. Bagaimana
jalannya untuk menyatukan berbagai aliran fikiran, supaya jangan timbul
perpecahan? Seloka itu dapat menyatukan segala aliran dengan
mengemukakan persamaan, dengan pengertian bahwa diantara berbagai
fikiran, perbedaan agama dan perbedaan filsafah ada jugalah persamaan
yang menyatukan. Dan persamaan inilah yang mengingkat segalanya, yaitu
Bhineka Tunggal Ika berjenis-jenis, tetapi tetap tinggal bersatu. Dan dalam
perbedaan fikiran dan pendapat adalah persamaan yang dapat mengikat
dalam pokok kesatuan.
Satu agama tidaklah lebih atau kurang daripada agama lain. Demikian pula
dengan aliran politik dan aliran kebudayaan. Itu ditegaskan oleh Empu
Tantular. Janganlah segala aliran itu dinilai berbagai-bagai, dan jangan
diadakan diskriminasi dan dualisme, melainkan sungguh sama nilai dan
sama harganya. Rasa toleransi dapat menyatukan segala aliran.
Itu adalah filsafah Bhineka Tunggal Ika dizaman kencana Indonesia di
dalam abad ke-XIV, seperti dilaksanakan oleh Kepala Negara Puteri
Teribuana dan oleh Perabu Ajam Wuruk, seperti dilancarkan oleh negarawa
Menteri Sepuh Aditiawarman yang arif bijaksana dan Patih Mangkubumi
Gadjah Mada yang dinamis. Demikianlah akibatnya filsafah pemersatu bagi
berbagai agama, aliran fikiran politik dan kebudayaan, sehingga negara
Majapahit oleh adanya alat mempersatu itu menjadi bertambah besar dan
mendapat corak yang sebenar-benarnya sesuai dengan watak dan
peribadinya. 232 tahun lamanya negara Majapahit berkembang dari 1293
sampai 1525. seperti susunan fikiran ahli pemikir Indonesia Empu Tantular
dalam abad XIV itu dapat memberi dasar bagi berbagai fikiran yang
beraneka ragam dan menghindarkan masyarakt serta negara dari
perpecahan yang meruntuhkan, begitu pulalah ajaran Panca Sila itu
mengandung maksud untuk memberi dasar bagi perjuangan negara
Indonesia yang dilahirkan atas persatuan dan kemerdekaan yang berdaulat.
Dan sudah ternyata pula Panca Sila itu dapat mempersatukan Bangsa
Indonesia sejak hari Proklamasi sampai waktu kini. Jadi seperti filsafah
Tantular, maka ajaran Panca Sila ialah sistem filsafah yang mengandung
daya pengikat atau alat pemersatu dalamnya untuk memperkuat persatuan
Bangsa, yang menjadi sarat mutlak bagi kemerdekaan. Hal itu dapat
difahamkan. Ajaran Panca Sila sebagai alat mempersatu tidaklah saja
menjadi faktor azasi dalam memperkuat kemerdekaan yang bersemangat,
tetapi juga sangatlah penting bagi pelaksanaan pembinaan Bangsa
Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1928 dan menjadi Nation
Indonesia sejak tahun Proklamasi 1945.
Jadi tegaslah, bahwa ajaran Panca Sila itu benar-benar suatu sistem falsafah
untuk mempersatukan berbagai aliran, dan diatasnya dibentuk Negara
Indonesia yang meliputi daerah Indonesia yang menjadi dukungan Bangsa
Indonesia yang bersatu".
Keterangan Muhammad Yamin di atas semakin membuktikan, bahwa seloka
Bhinneka Tunggal Ika yang menurut keterangan Presiden Soekarno adalah
masukan dari seorang ahli bahasa, maka bisa dipastikan yang dimaksudkan
adalah Muhammad Yamin, hal inipun dikuatkan ketika terminologi Pancasila
dinyatakan oleh Presiden Soekarno, juga atas usulan ahli bahasa, "Namanya
bukan Panca Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang
teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila, Sila artinya azas atau
dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia,
kekal dan abadi"[10], maka yang dimaksudkan oleh Soekarno dengan teman
kita seorang ahli bahasa itu tidak lain adalah Muhammad Yamin.
Berdasarkan paparan diatas pertanyaan akademisnya apa sebenarnya
seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep lambang negara, apakah seperti
yang dipahami saat ini, yaitu berbeda-beda tetapi satu jua, transkrip Sultan
Hamid II , 15 April 1967 menjawab perspektif tentang Bhinneka Tunggal
Ika itu secara jelas:[11]
"……ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang
mentjekram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja
terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang
begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja,
tetapi menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip,
karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti
rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna
perisai, selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki
mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik"
dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia,
karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan
"kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang
Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan
jang menondjol dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan
republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini
lambang negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara
pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh
sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e
pluribus unum".
Berdasarkan transkrip Sultan Hamid II di atas, bahwa masuknya seloka
Bhinneka Tunggal Ika pada pita yang dicengkram cakar Elang Rajawali
Garuda Pancasila adalah sebuah sinergisitas atau perpaduan terhadap
pandangan
kenegaraan
ketika
itu,
yaitu
antara
paham
federalis
(kebhinnekaan) dengan paham kesatuan/Unitaris (Tunggal), sebagaimana
kita ketahui Sultan Hamid II adalah tokoh berpandangan federalisme yang
mengutamakan prinsip keragaman dalam persatuan, sedangkan Soekarno
adalah tokoh berpandangan unitaris yang mengutamakan prinsip persatuan
dalam keragaman, hal ini memberikan makna secara semiotika hukum,
bahwa pembacaan Bhinneka Tunggal Ika yang tepat seharusnya adalah
keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman, karena kata
Bhinneka artinya keragaman, sedangkan Tunggal artinya satu, dan Ika
artinya itu, maknanya yang beragam-ragam satu itu dan yang satu itu
beragam-ragam, apakah yang satu itu, yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Bukankah sebuah paham multikulturisme modern dan
itulah jati diri bangsa Indonesia serta salah satu pilar kebangsaan Indonesia
yang bernama Bhinneka Tunggal Ika.
Menelusuri sejarah terbentuknya RIS 1949 dalam kaitannya dengan
lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila bersemboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang ditetapkan menjadi Lambang Negara RIS, pada tanggal
11 Februari 1950 memberikan penegasan, bahwa Bhinneka Tunggal Ika
adalah merupakan frase jati diri kebangsaan Indonesia yang tepat untuk
menyatukan dua paham kenegaraan ketika itu, yaitu federalis yang diwakili
oleh Sultan Hamid II dan unitaris yang diwakili oleh Soekarmo, mengapa
demikian ? karena secara historisitas yuridis sebenarnya lambang negara
dengan mengambil figur Elang Rajawali Garuda Pancasila yang dirancang
oleh Sultan Hamid II Tahun 1950 adalah dimaksudkan sebagai Lambang
Negara
Republik
Indonesia
Serikat
(RIS)
berdasarkan
perintah
konstitusional pada Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949 yang menyatakan:
“Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara”, hanya kemudian
gambar Lambang Negara yang ditetapkan 11 Februari 1950 oleh Kabinet
dan Parlemen RIS tersebut berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 6 Peraturan
Pemerintah No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara yang diundangkan
pada Lembaran Negara No 111 Tahun 1951 Tanggal 17 Oktober 1951
menyatakan: “Warna Perbandingan-perbandingan Ukuran dan Bentuk
Garuda adalah seperti dilukiskan dalam gambar tersebut dalam pasal 6,
sedangkan
Pasal
6
Peraturan
Pemerintah
Nomor
66
Tahun
1951
menyatakan: “Bentuk warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara
Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan
Pemerintah ini.” Selanjutnya sejak saat itulah yaitu sejak tanggal 17
Oktober 1951 menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang –Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950
sebagaimana ditegaskan pada Bagian III Pasal 3 ayat (3) yang menyatakan:
Materai dan Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah.
Pertanyaannya secara historis yuridis atau secara akademis, gambar atau
lukisan lambang negara siapakah yang dilampirkan secara resmi dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 sebagaimana dimaksud Pasal
3 jo Pasal 6 tersebut di atas ? bukankah secara historis yuridis adalah
gambar lambang negara yang dirancang dan diperbaiki untuk terakhir
kalinya oleh Sultan Hamid II pada masa RIS sebagaimana telah ditetapkan
pada tanggal 11 Februari 1950 oleh Kabinet dan Parlemen RIS dan
dokumen otentik gambar/lukisannya saat ini berada di ruang pribadi
almarhum H. Mas Agung pada Yayasan Mas Agung jalan Kwitang Senen
Jakarta Pusat, artinya gambar/lukisan Lambang Negara yang dilampirkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 3 jo
Pasal 6 sebagai pelaksanaan atau perintah Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 adalah gambar Lambang Negara
rancangan Sultan Hamid II, yaitu Elang Rajawali Garuda Pancasila yang
berasal dari Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950,
sebagaimana disempurnakan untuk terakhir kalinya sejak ditetapkan pada
tanggal 11 Februari 1950 atau dengan kata lain secara de fakto dan de jure
adalah Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan
Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949 yang kemudian secara de jure
ditetaplan kembali menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
sejak 17 Oktober 1951 berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 66 Tahun 1951 sebagai pelaksanaan perintah (imperatif) pada Pasal
3 ayat (3) UUDS 1950.
Kemudian pernyataan teks hukum-normatif yang sama juga pada pasal 46 jo
Pasal 50 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan sebagaimana diundangkan
dalam Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5035 Tahun 2009, pada tanggal 9 Juli 2009 menyatakan :
Pasal 46 : Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda
Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa
jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda”
Pasal 47 (1) : Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga
pembangunan. (2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor
berbulu 19, dan leher berbulu 45.
Pasal 48 (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa.
(2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah
ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah
perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;b. dasar Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan
persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia
dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar
Kerakyatan
yang
Dipimpin
oleh
Hikmat
Kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di
bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah
perisai.
Pasal 49: Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri
atas: a. warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai; b. warna
putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai; c. warna kuning emas
untuk seluruh burung Garuda; d. warna hitam di tengah-tengah perisai
yang berbentuk jantung; dan e. warna alam untuk seluruh gambar lambang
Selanjutnya pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
menyatakan :
Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 tercantum
dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Berdasarkan Pasal 46 s/d 49 jo Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 di atas sebagai pelaksanaan perintah (imperatif) Pasal 36 C UndangUndang Dasar tahun 1945 amendemen kedua, maka sejak tahun 2000
secara konstitusional ditegaskan menjadi Lambang Negara Kesatuan
Republik
Indonesia
berdasarkan
UUD
1945
amendemen
kedua
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 36 A : Lambang Negara ialah Garuda
Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Patut diketahui bersama oleh publik dan para pembaca, bahwa masuknya
rumusan Pasal 36 A UUD 1945 amandemen kedua tersebut adalah
merupakan
rekomendasi
hasil
penelitian
Tesis
penulis
(Turiman
Fachturahman Nur) tentang ”Sejarah hukum Lambang Negara Republik
Indonesia” pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
bagian hukum dan kehidupan kenegaraan yang telah dipertahankan secara
ilmiah dihadapan dewan penguji: Prof Dr Dimyati Hartono, Prof Dr H.
Azhary,SH, Prof Dr Koesnadi Hardjoseomantri,SH pada hari Rabu tanggal
11 Agustus 1999 yang kemudian ditindak lanjuti dengan Seminar Nasional
Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan di
Pontianak Kalimantan-Barat pada tanggal 3-4 Juni 2000 yang dihadiri oleh
berbagai elemen tokoh masyarakat, mahasiswa, jurnalis, guru sejarah
berbagai sekolah dan akademisi berbagai perguruan tinggi, pemerintah
daerah (Gubernur, Bupati) se kalimantan Barat serta anggota DPRD
Provinsi Kalimantan Barat, anggota DPR RI yang berasal dari Kalimantan
Barat dengan menghadirkan para anggota PAH I MPR-RI Amandemen
Kedua UUD 1945, Ketua MPR-DPR RI Ir .Akbar Tanjung, Prof Dr Dimyati
Hartono dari UI Jakarta, Prof Dr Sri Soemantri Martosoewigyo dari UNPAD
Bandung dan telah merekomendasikan, bahwa kesimpulan hasil Seminar
Nasional tersebut yang dirumuskan oleh tim perumus seminar: Garuda
Wiko, SH,Msi dan Firdaus, SH, Msi untuk dijadikan kesepakatan bersama
para peserta seminar sebagai rumusan amandemen kedua UUD 1945 tahun
2000 dengan menambah ketentuan Pasal 36 UUD 1945, yaitu ketentuan
tentang
Lambang
Negara
dan
Lagu
Kebangsaan
Indonesia
yang
sebelumnya secara konstitusional belum diatur dalam UUD 1945 dan
rumusan
dimaksud
dari
hasil
amademen
kedua
UUD
1945
adalah
sebagaimana rumusan Pasal 36 A, yaitu Lambang Negara Ialah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Pasal 36 B: Lagu
Kebangsaaan ialah Indonesia Raya.
Menurut risalah sidang MPR tahun 2000, bahwa masuknya ketentuan
mengenai lambang negara dan lagu kebangsaan kedalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang melengkapi
pengaturan mengenai bendera negara dan bahasa negara yang telah
ada sebelumnya merupakan ikhtiar untuk memperkukuh kedudukan
dan
makna
hubungan
atribut
kenegaraan
internasional
yang
ditengah
terus
kehidupan
berubah.
Dengan
global
dan
kata
lain,
kendatipun atribut itu tampaknya simbolis, hal tersebut tetap penting,
karena menunjukkan identitas dan kedaulatan suatu negara dalam
pergaulan
internasional.
Atribut
kenegaraan
itu
menjadi
simbol
pemersatu seluruh bangsa Indonesia ditengah perubahan dunia yang
tidak
jarang
sebuah
berpotensi
negara
dan
mengancam
bangsa
tak
keutuhan
terkecuali
dan
bangsa
kebersamaan
dan
negara
Indonesia.[12]
Bung Hatta Menjawab, wawancara Mohammat Hatta dengan Z Yasni,
Cetakan ketiga, Gunung Agung, Jakarta, 1978, halaman 108.
[1]
Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih, Siguntang, 1954, hal
168
[2]
Wawancara Peneliti dengan Max Yusuf Alkadrie pada hari Selasa, 6
Januari 1999, jam 10:53 s/d 11.00 WIB di skretariat Yayasan Sultan Hamid
II, Jeruk Purut. Jakarta Selatan.
[3]
[4] Transkrip Sultan Hamid II pada Solichim Salam, 15 April 1967 halaman 5 menyatakan: " menurut Paduka Jang
Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai
ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai, selandjutnja meminta saja
untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik"
dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara
pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang
Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan"
jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang
negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah
dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum".
[5] Muhammad Yamin, ibid , hal.165
[6]
Muhammad Yamin, ibid , hal 169
Bung Hatta Menjawab , wawancara Mohammat Hatta dengan Z Yasni,
Cetakan ketiga, Gunung Agung , Jakarta, 1978 , ahal 107.
[7]
Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Jakarta, Gunung Agung, 1978,
hal 107.
[8]
[9]
Muhammad Yamin, op cit, hal 456-457
Pidato Soekarno, 1 Juni 1945 dalam rapat BPUPKI, Sejarah Pancasila,
1947.
[10]
Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15
April 1967.
[11]
MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat.,
2007, Sekretariat Jenderal MPR.RI.
[12]
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa
Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata
neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam
Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka
Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi
pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk
menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma,
karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.
Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat
Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
PENTINGNYA SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA
Day 1,191, 18:18 • by Itelat
Arti Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau kitab
sutasoma karangan Mpu Tantular / Empu Tantular. Secara mendalam Bhineka Tunggal Ika
memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa,
dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Dipersatukan
dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.
Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang negara Republik Indonesia yaitu
Burung Garuda Pancasila. Di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang
bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika. Kata-kata tersebut dapat pula diartikan : Berbeda-beda tetapi
tetap satu jua.
Makna Bhineka Tunggal Ika dalam Persatuan IndonesiaSebagaimana dijelaskan dimuka bahwa
walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki kebudayaan
dan adat-istiadat yang beraneka ragam namun keseluruhannya merupakan suatu persatuan.
Penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No.
66 tahun 1951, 17 Oktober diundangkan tanggal 28 Nopember 1951, dan termuat dalam
Lembaran Negara No. II tahun 1951.Makna Bhineka Tunggal Ika yaitu meskipun bangsa dan
negara Indonesia terdiri atas beraneka ragam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adatistiadat yang bermacam-macam serta beraneka ragam kepulauan wilayah negara Indonesia
namun keseluruhannya itu merupakan suatu persatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia.
Keanekaragaman tersebut bukanlah merupakan perbedaan yang bertentangan namun justru
keanekaragaman itu bersatu dalam satu sintesa yang pada gilirannya justru memperkaya sifat dan
makna persatuan bangsa dan negara Indonesia.Dalam praktek tumbuh dan berkembangnya
persatuan suatu bangsa (nasionalisme) terdapat dua aspek kekuasaan yang mempengaruhi yaitu
kekuasaan pisik (lahir), atau disebut juga kekuasan material yang berupa kekerasan, paksaan dan
kekuasaan idealis (batin) yang berupa nafsu psikis, ide-ide dan kepercayaan-kepercayaan. Proses
nasionalisme (persatuan) yang dikuasai oleh kekuasaan pisik akan tumbuh dan berkembang
menjadi bangsa yang bersifat materialis. Sebaliknya proses nasionalisme (persatuan) yang dalam
pertumbuhannya dikuasai oleh kekuasaan idealis maka akan tumbuh dan berkembang menjadi
negara yang ideal yang jauh dari realitas bangsa dan negara. Oleh karena itu bagi bangsa
Indonesia prinsip-prinsip nasionalisme itu tidak berat sebelah, namun justru merupakan suatu
sintesa yang serasi dan harmonis baik hal-hal yang bersifat lahir maupun hal-hal yang bersifat
batin. Prinsip tersebut adalah yang paling sesuai dengan hakikat manusia yang bersifat
monopluralis yang terkandung dalam Pancasila.Di dalam perkembangan nasionalisme didunia
terdapat berbagai macam teori antara lain Hans Kohn yang menyatakan bahwa :“ Nasionalisme
terbentuk ke persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah negara dan kewarganegaraan “.
Bangsa tumbuh dan berkembang dari analisir-analisir akar-akar yang terbentuk melalui jalannya
sejarah. Dalam masalah ini bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang
memiliki adat-istiadat dan kebudayaan yang beraneka ragam serta wilayah negara Indonesia
yang terdiri atas beribu-ribu kepulauan. Oleh karena itu keadaan yang beraneka ragam itu
bukanlah merupakan suatu perbedaan yang saling bertentangan namun perbedaan itu justru
merupakan daya penarik kearah resultan sehingga seluruh keanekaragaman itu terwujud dalam
suatu kerjasama yang luhur yaitu persatuan dan kesatuan bangsa. Selain dari itu dalam kenyataan
objektif pertumbuhan nasionalisme Indonesia telah dibentuk dalam perjalanan sejarah yang
pokok yang berakar dalam adat-istiadat dan kebudayaan. Prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia
(Persatuan Indonesia) tersusun dalam kesatuan majemuk tunggal yaitu :a) Kesatuan sejarah;
yaitu bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dalam suatu proses sejarah.b) Kesatuan nasib;
yaitu berda dalam satu proses sejarah yang sama dan mengalami nasib yang sama yaitu dalam
penderitaan penjajah dan kebahagiaan bersama.c) Kesatuan kebudayaan; yaitu keanekaragaman
kebudayaan tumbuh menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional.d) Kesatuan asas kerohanian;
yaitu adanya ide, cita-cita dan nilai-nilai kerokhanian yang secara keseluruhan tersimpul dalam
Pancasila.Berdasarkan prinsip-prinsip nasionalisme yang tersimpul dalam sila ketiga tersebut
dapat disimpulkan bahwa naionalisme (Persatuan Indonesia) pada masa perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia memiliki peranan historis yaitu mampu mewujudkan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Jadi “ Persatuan Indonesia “ sebagai jiwa dan semangat
perjuangan kemerdekaan RI.D. Peran Persatuan Indonesia dalam Perjuangan Kemerdekaan
IndonesiaMenurut Muhammad Yamin bangsa Indonesia dalam merintis terbentuknya suatu
bangsa dalam panggung politik Internasional melalui suatu proses sejarahnya sendiri yang tidak
sama dengan bangsa lain. Dalam proses terbentuknya persatuan tersebut bangsa Indonesia
menginginkan suatu bangsa yang benar-benar merdeka, mandiribebas menentukan nasibnya
sendiri tidak tergantung pada bangsa lain. Menurutnya terwujudnya Persatuan Kebangsaan
Indonesia itu berlangsung melalui tiga fase. Pertama Zaman Kebangsaan Sriwijaya, kedua
Zaman Kebangsaan Majapahit, dan ketiga Zaman Kebangsaan Indonesia Merdeka (yang
diplokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945). Kebangsaan Indonesia pertama dan kedua itu
disebutnya sebagai nasionalisme lama, sedangkan fase ketiga disebutnya sebagai nasionalisme
Indonesia Modern, yaitu suatu Nationale Staat atau Etat Nationale yaitu suatu negara
Kebangsaan Indonesia Modern menurut susunan kekeluargaan yang berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa serta kemanusiaan.Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, pengertian “
Persatuan Indonesia “ adalah sebagai faktor kunci yaitu sebagai sumber semangat, motivasi dan
penggerak perjuangan Indonesia. Hal itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi
sebagai berikut : “ Dan perjuangan pergerakan Indonesia telah sampailah pada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur “.Cita-cita
untuk mencapai Indonesia merdeka dalam bentuk organisasi modern baik berdasarkan agama
Islam, paham kebangsaan ataupun sosialisme itu dipelopori oleh berdirinya Serikat Dagang
Islam (1990), Budi Utomo (1908), kemudian Serikat Islam (1911), Muhammadiyah
(1912),Indiche Partij (1911), Perhimpunan Indonesia (1924), Partai Nasional Indonesia (1929),
Partindo (1933) dan sebagainya. Integrasi pergerakan dalam mencapai cita-cita itu pertama kali
tampak dalam bentuk federasi seluruh organisasi politik/ organisasi masyarakat yang ada yaitu
permufakatan perhimpunan-perhimpunan Politik Kemerdekaan Indonesia (1927).Kebulatan
tekad untuk mewujudkan “ Persatuan Indonesia “ kemudian tercermin dalam ikrar “ Sumpah
Pemuda “ yang dipelopori oleh pemuda perintis kemerdekaan pada tanggal 28 Oktober 1928
diJakarta yang berbunyi :
a. PERTAMA. Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Bertumpah darah Satu Tanah Air
Indonesia.
b. KEDUA. Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Berbangsa Satu Bangsa Indonesia.
c. KETIGA. Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia.
Kalau kita lihat, Sumpah Pemuda yang mengatakan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa
Indonesia maka ada tiga aspek Persatuan Indonesia yaitu :
1. Aspek Satu Nusa : yaitu aspek wilayah, nusa berarti pulau, jadi wilayah yang dilambangkan
untuk disatukan adalah wilayah pulau-pulau yang tadinya bernama Hindia Belanda yang saat itu
dijajah oleh Belanda. Ini untuk pertama kali secara tegas para pejuang kemerdekaan meng-klaim
wilyah yang akan dijadikan wilayah Indonesia merdeka.
2. Aspek Satu Bangsa : yaitu nama baru dari suku-suku bangsa yang berada da wilayah yang
tadinya bernama Hindia Belanda yang tadinya dijajh oleh Belanda memplokamirkan satu nama
baru sebagai Bangsa Indonesia. Ini adalah awal mula dari rasa nasionalisme sebagai kesatuan
bangsa yang berada di wilayah sabang sampai Merauke.
3. Aspek Satu Bahasa : yaitu agar wilayah dan bangsa baru yang bterdiri dari berbagai suku dan
bahasa bisa berkomunikasi dengan baik maka dipakailah sarana bahasa Indonesia yang ditarik
dari bahasa Melayu dengan pembaharuan yang bernuansakan pergerakan kearah Indonesia yang
Merdaka. Untuk pertama kali para pejuang kemerdekaan memplokamirkan bahasa yang akan
dipakai negara Indonesia merdeka yaitu bahasa Indonesia.
Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itulah pangkal tumpuan cita-cita menuju
Indonesia merdeka. Memang diakui bahwa persatuan berkali-kali mengalami gangguan dan
kerenggangan. Perjuangan kemerdekaan antara partai politik/ organisasi masyarakat pada waktu
itu dangan segala strategi dan aksinya baik yang kooperatif maupun non kooperatif terhadap
pemerintahan Hindia Belanda mengalami pasang naik federasi maupun fusi dalam gabungan
politik Indonesia (1939) dan fusi terakhir Majelis Rakyat Indonesia.
Indonesia di jajah BELANDA selama 350 tahun atau 3,5 Abad, maka untuk itu Indonesia
memilih semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA, yang bertujuan untuk mempersatukan bangsa
Indonesia agar dapat mengusir penjajah dari bumi ibu pertiwi ini.Tetapi semboyan Bhinneka
Tunggal Ika pada zaman sekarang sudah tidak berguna lagi di masyarakat Indonesia, karena
banyaknya tawuran antar Desa, Antara pelajar, dan lain-lain sudah menjamur di seluruh pelosok
Indonesia.Jadi Pengorbanan masyarakat dulu sudah tidak berarti lagi di zaman sekarang, pada
zaman dahulu banya peristiwa heroik terjadi setelah ataupun sebelum kemerdekaan, contoh saja
peristiwa besar yang terjadi di kota SURABAYA pertempuran antara arek-arek SURABAYA dan
sekitarnya melawan para tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia, tetapi dengan
gagahnya pemuda-pemuda itu bersatu dan mengusir tentara sekutu.Semua itu di lakukan agar
para anak cucunya di masa depan agar bisa merasakan kehidupan yang lebih baik dari mereka,
maka untuk itu kita harus membangkitkan rasa NASIONALISME kita terhadap bangsa ini,
jangan cuma pada saat Malaysia mengklaim sesuatu milik kita menjadi kepunyaan mereka, maka
kita harus menghargai jasa para pahlawan zaman dulu, karena tanpa jasanya kita tidak bisa hidup
nyaman seperti sekarang ini.
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan Indonesia,dimana kita haruslah dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya
tanpa memandang suku bangsa,agama,bahasa,adat istiadat,warna kulit dan lain-lain.Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dimana setiap daerah memiliki
adat istiadat,bahasa,aturan,kebiasaan dan lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya tanpa adanya kesadaran sikap untuk menjaga Bhineka tunggal Ika pastinya akan terjadi
berbagai kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap oarng akan
hanya mementingkana dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa perduli kepentngan
bersama.Bila hal tersebut terjadi pastinya negara kita ini akan terpecah belah.Oleh sebab itu
marilah kita jaga bhineka tunggal ika dengan sebai-baiknya agar persatuan bangsa dan negara
Indonesia tetap terjaga dan kita pun haruslah sadar bahwa menyatukan bangsa ini memerlukan
perjuangan yang panjang yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam menyatukan wilayah
republik Indonesia menjadi negara kesatuan.
Bhinneka Tunggal Ika ialah moto atau slogan negara Indonesia. Frasa ini bermaksud 'Berbedabeda tapi Tetap Satu juga' . Bhinneka bermaksud 'beraneka'. Tunggal bermaksud 'satu'. Ika
bermaksud 'itu'.
Moto ini mula diperkenalkan semasa Indonesia merdeka pada tahun 1945 selepas berjuang
melalui 'buluh runcing' daripada Belanda dan Jepun. Sultan Abdul Hamid II dari Pontianak,
Kalimantan memperkenalkannya dan disokong oleh Presiden Indonesia ketika itu, Sukarno.
Moto ini dicatat pada logo Garuda Pancasila iaitu logo negara Indonesia. Istilah ini digunakan
kerana mahu menunjukkan kelainan dan bangsa Indonesia yang rencam dan ratusan pulau tetapi
dapat disatukan melalui satu negara yang unik, Indonesia.
Asal usul
Bhinneka Tunggal Ika berasal dari karya puisi kuno berbahasa Jawa yang ditulis oleh Mpu
Tantular semasa Empayar Majapahit yang berpusat di pulau Jawa pada abad ke-14. Tentunya
puisi ini berunsur agama Buddha yang menjadi anutan penduduk Jawa beragama Hindu dan
Buddha.
Puisinya :
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana mangrwa.
Maksudnya :
Kewujudan Buddha dan dewa Siva dilihat berbeza,
Tentu berbeza tetapi kebenaran boleh dikenal pasti,
Sebab kebenaran Buddha dan Siva satu jua, dharma
Kelihatan beraneka tetap satu jua, itulah kewajipan.