ANALISIS TIPOLOGI PENGGUNAAN INTERNET DI KALANGAN SISWA SMK SWASTA (Studi Pada Siswa SMK 2 Mei, SMK Bhakti Utama, dan SMK Bhinneka di Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2009/2010)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS TIPOLOGI PENGGUNAAN INTERNET DI KALANGAN SISWA SMK SWASTA

(Studi Pada Siswa SMK 2 Mei, SMK Bhakti Utama, dan SMK Bhinneka di Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2009/2010)

Oleh

RIO ADITYA NUGRAHA

Perbedaan fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) antara SMK swasta di Bandar Lampung menunjukkan adanya kesenjangan digital di-karenakan punya dan tidak punya akses Internet. Kesenjangan digital ini diduga menyebabkan kesenjangan dalam menggunakan internet, yang pada akhirnya me-nimbulkan kesenjangan dalam pemanfaatan/penggunaan internet. Riset ini bertujuan untuk menggambarkan tipologi penggunaan internet oleh siswa SMK swasta di Bandar Lampung.

Tipologi penggunaan internet yang dibedakan menjadi user (pengguna internet rendah) dan manipulator (pengguna internet tinggi) dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Penelitian ini difokuskan pada tipologi penggunaan internet siswa SMK 2 Mei, SMK Bhakti Utama dan SMK Bhinneka di Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2009/2010 yang memiliki ciri-ciri kesenjangan digital.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa dari 3 SMK swasta di Bandar Lampung yaitu SMK 2 Mei, SMK Bhakti Utama, dan SMK Bhinneka. Sampel melibatkan responden sebanyak 180 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah klaster random sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipologi penggunaan internet siswa sebagai berikut: Secara spesifik; dari ketiga SMK swasta tersebut, dilihat dari frekuensi menggunakan internet adalah mayoritas terkategori sebagai users (tidak pernah menggunakan internet, jika ada perlu saja, atau mengakses internet sekali dalam seminggu) 89,4% responden, dan minoritas manipulators (pengguna berat, mengakses internet 3 – 4 hari seminggu /setiap hari) 10,5% dari total responden. Namun dari indikator lain, user tertinggi ada pada indikator intensitas (menggunakan internet setiap hari) yaitu 97,2% responden dan user terendah pada penggunaan Facebook (65,5%). Sedangkan sebaliknya manipulator tertinggi ada pada Facebook (34,4%) dan manipulator terendah ada pada indikator intensitas, yaitu 2,8% responden.


(2)

ABSTRACT

TYPOLOGY ANALYSIS OF INTERNET USES BY STUDENTS AT PRIVATE TECHNIQUE SENIOR HIGH SCHOOL

(Study At Studens Of SMK 2 Mei, SMK Bhakti Utama, And SMK Bhinneka in Bandar Lampung Year 2009/2010)

By

RIO ADITYA NUGRAHA

Difference of Information and Communication Technology (ICT) facility among private technique senior high school students in Bandar Lampung show the existence of digital divide because of have and have not access to internet. Digital divide assumes causes gap in internet uses, therefore causes gap in internet gratifications. This research aim’s to describe typology of internet uses at private technique senior high school students in Bandar Lampung.

Typology of internet uses which categoryzed in user (low internet adopter) and manipulator (high internet adopter) will be known after the evaluation. This research focused on typology of internet use by students at SMK 2 Mei, SMK Bhakti Utama, and SMK Bhinneka in Bandar Lampung Year 2009/2010 which has signs of digital divide.

This type of research is quantitative descriptives. The population in this research are students from 3 private technique senior high school in Bandar Lampung which are SMK 2 Mei, SMK Bhakti Utama, and SMK Bhinneka. Samples involves 180 students as respondents. Cluster random sampling is used as the method for taking samples.

The results of internet uses typology by students shows: Specifically overall 3 private technique senior high school, by frequence of using internet, majority categoryzed as users (never use internet, if any task, or accesing internet once a week) 89,4% respondents, and minority of manipulators (heavy users, accesing internet 3 – 4 times a week/everyday) 10,5% respondents. Meanwhile, from other indicators, most user at intensity indicator (use internet everyday) 97,2% respondents and less user in Facebook (65,5%). Othewise, manipulator most on Facebook use (34,4%) and less manipulator at intensity indicator, 2,8% respondents.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Internet 1. Pengertian dan Sejarah Internet

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu cepat akhir-akhir ini telah turut meramaikan aktivitas komunikasi antarmanusia, terutama dengan internet. Teknologi internet ditemukan menjelang masuknya abad ke-21 di saat-saat jatuhnya pemerintahan sosialisme komunisme Uni Soviet, serta merebaknya paham kapitalisme dan demokrasi di Eropa Timur, termasuk wilayah Rusia dan kawasan Asia.

Oleh karena itu, para teknolog idealis yang mengembangkan internet yakin bahwa kehadiran media ini dengan cepat akan menyebarluaskan nilai-nilai baru dalam membangun pemerintahan yang lebih transparan. Selain itu batas-batas teritorial suatu negara menjadi tidak relevan. Dalam kepustakaan masa depan, tidak sedikit yang berbicara tentang tamatnya riwayat negara bangsa sehingga menimbulkan government without government (Camilleri, 1994). Para analisis meramalkan akan berakhirnya kedaulatan negara karena meningkatnya kesadaran transnasional.1

1

Hafied Cangara, loc.cit, hlm. 469. Penggunaan radio dan televisi misalnya masih dapat diawasi oleh kekuatan politik suatu negara, tapi pembatasan tersebut tidak dapat diberlakukan pada internet. Karena hubungan melalui internet dan e-mail juga tidak bisa diawasi dan dibatasi oleh pemerintah mana pun. Teknologi internet juga telah memberi keuntungan pada warga negara miskin karena memberi kenikmatan pada mereka yang dulu hanya dinikmati negara maju, seperti jurnal ilmiah dari negara apa pun bisa didapatkan dimanapun kita berada.


(4)

Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah terjadi kemajuan yang sangat cepat. Begitu cepatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan sehingga informasi yang dihasilkan 30 tahun terakhir ini lebih banyak dari informasi yang diproduksi selama 5000 tahun sebelumnya. “Knowledge today is spreading faster than at any time before in human history” (Suarez, Marcelo M. dkk, 2004).2 Semua itu tak lepas dari peran internet sebagai new media.

Internet merupakan singkatan dari International Networking atau Interconnection Networking yang berarti sebuah jaringan komputer global yang menghubungkan jutaan komputer di seluruh dunia (melalui jaringan komunikasi satelit global dan kabel telepon lokal) sehingga setiap komputer yang terkoneksi di dalamnya dapat berkomunikasi atau bertukar data tanpa dibatasi jarak, waktu dan tempat. Di sisi lain internet merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi budaya yang menembus batas-batas negara, mempercepat penyebaran, pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan ilmuwan dan cendekiawan di seluruh penjuru dunia.3

Secara fisik, internet dianalogikan seperti jaring laba-laba (the web) yang menyelimuti bola dunia yang terdiri dari node (spot, atau titik-titik) yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Internet juga bisa dipandang seperti sebuah kota elektronik yang sangat besar (the matrix) di mana setiap penduduknya memiliki alamat (internet address) yang dipakai untuk bertukar informasi. Ia merupakan gudang informasi tanpa batas, sebagai database atau perpustakaan

2

Loc.cit, hlm. 470.

3

W. J Severin & J. W Tankard, Teori komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa. Edisi Ke-5, Cetakan ke-1 2005. hlm 11.


(5)

multimedia yang sangat besar dan lengkap, bahkan internet dianggap duplikasi dunia riil dalam bentuk maya (Akil, 2005).

Internet merupakan suatu medium komunikasi baru yang memungkinkan kita untuk mengakses informasi mengenai topik apapun serta berapa banyaknya, dari seluruh belahan dunia tanpa dibatasi wilayah (Ishadi, 1999 : 45). Internet sebagai media baru yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan media massa lainnya seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, dan sebagainya. Internet menggabungkan (hybrid) semua karakter media massa.

Penggunaan internet memungkinkan berkat kemajuan teknologi satelit komunikasi, termasuk mempercepat pertumbuhan digitisasi, penggunaan komputer, faksimile, dan telepon selular. Teknologi satelit juga berhasil menciptakan kombinasi-kombinasi sistem komunikasi yang sangat luar biasa, terutama terjadinya dukungan antara sistem komputer, internet dan dunia penyiaran dan penerbitan media. Toffler dalam Gun (2004) menggambarkan bahwa sistem komunikasi komputer akan meningkatkan partisipasi secara luas dan pemerataan dalam kehidupan sosial dengan mengizinkan untuk mengakses informasi dengan mudah.4

Begitu cepatnya perkembangan media internet dapat dilihat pada tingkat penggunaan (uses) media ini di kalangan masyarakat Amerika misalnya, pada tahun 1998 baru ada 1 dari 5 orang yang membaca internet, tetapi dua tahun sesudah itu meningkat menjadi 1 dari 3 orang sudah menjadi pengguna (user). Kemajuan ini juga juga terjadi di bidang legislatif, di mana Kongres AS yang

4


(6)

biasanya hanya menerima 500 e-mail per minggu, sekarang meningkat menjadi 2000 e-mail, atau naik sekitar 400%. Keadaan yang sama juga terjadi di Buenos Aires, Brasilia pada tahun 2002, di mana lembaga pemerintahan rata-rata menerima lebih dari 400 pesan e-mail per hari, dan beberapa pejabatnya menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk per hari untuk merespons pesan-pesan tersebut. Lain halnya di Yordania dan Korea Selatan, penduduk cenderung menggunakan alamat net daripada alamat Boullevard, sementara di Indonesia kehadiran internet telah mematikan bisnis pos karena kalah dari segi biaya dan kecepatan. Juga informasi melalui web banyak digunakan sebagai media global untuk berhubungan dengan negara luar dan negara asalnya. Misalnya para pekerja, pelajar, dan mahasiswa asing yang tinggal di luar negeri dapat mengikuti perkembangan negara asalnya lewat electronic newspapers, dan menggantikan peranan kantor pos dengan menggunakan e-mail.

Sejak pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat dunia dalam suatu demonstrasi di International Computer Communication Conference (ICCC) pada bulan Oktober 1972 (ISOC Organization), internet telah membawa perubahan yang revolusioner bagi kehidupan komunikasi manusia. Sepanjang tahun 1980an, internet telah tersebar ke sebagian besar lembaga-lembaga akademik dan pusat-pusat riset di Amerika Serikat dan ke banyak lokasi lain di seluruh dunia. Kemudian pada tahun 1991, internet telah digunakan secara umum untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk kepentingan komersil.

Menjelang tahun 1995, diketahui bahwa sekitar 30 juta orang yang berasal dari lebih dari seratus negara telah terkoneksi dan memanfaatkan akses internet


(7)

tersebut. Pada awalnya internet hanya digunakan untuk memudahkan riset, pemrograman, surat dan informasi secara elektronik di kalangan para pendidik, akademisi dan peneliti. Kemudian internet menjadi suatu sistem komunikasi global besar yang digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia untuk berbagai tujuan seperti hiburan, akademik, bisnis, pencarian informasi dan komunikasi massa.

Penemuan teknologi internet seolah mewujudkan konsep yang dikemukakan oleh

McLuhan pada tahun 1960an lalu tentang “desa global” atau global village.5 Istilah global village tersebut digunakan untuk menggambarkan kondisi dunia yang mana pengaruh teknologi komunikasi telah menghilangkan sekat-sekat geografis dan mengatasi keterpisahan jarak, sehingga dunia seakan menjadi satu perkampungan besar.

Jutaan orang kini telah menghabiskan begitu banyak waktu mereka dalam dunia maya, atau yang lebih dikenal dengan istilah cyberspace. Istilah cyberspace tersebut pertama kali digunakan oleh William Gibson dalam novel fiksi sains-nya Neuromancer6 yang diterbitkan tahun 1984. Sejak itu istilah cyber tersebut dikaitkan dengan ruang konseptual dimana orang berinteraksi memakai teknologi komunikasi berperantara komputer Computer Mediated Communication (CMC) dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan CMC. Interaktifitas menjadi salah satu faktor yang menjadi kekuatan teknologi ini (Fidler dalam Nurist, 2005).

5

McLuhan, M. (1968). War & Peace in the Global Village. New York: Bantam. (Dalam W. J Severin & J. W Tankard, Teori komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa. Edisi Ke-5, Cetakan ke-1 2005. hlm 467)

6


(8)

Cikal Bakal jaringan internet yang kita kenal sekarang ini pertama kali dikembangkan tahun 1969 dengan nama ARPANET (US Defense Advanced Research Projects Agency) oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Kejadian ini dua bulan setelah Neil Armstrong melangkah ke bulan.

Sebelum tahun 1960 pertanyaan utama dalam penyelenggaraan suatu sistem

komunikasi komputer adalah “Bagaimana mentransmisikan data melewati suatu medium komunikasi dengan andal dan efisien”. Hasil dari perkembangan ini

adalah teori informasi, teori sampling, dan beberapa konsep pengelolaan sinyal. Pada pertengahan tahun 1960 dimulai era packet switching, dan pertanyaan pada

riset komunikasi komputer menjadi: ”Bagaimana menyediakan suatu jasa komunikasi melewati jaringan-jaringan yang berbeda yang saling terhubung”. Hasil dari perkembangan ini adalah pengembangan teknologi internetwork, model protocol layer, datagram dan stream transport service, dan paradigma client server. Internetworking adalah merupakan suatu abstraksi yang kuat yang memperbolehkan pembahasan kompleksitas dari teknologi komunikasi beragam di bawahnya. Dengan menyembunyikan detail setiap perangkat keras jaringan dan menyediakan suatu lingkungan komunitas tingkat tinggi.

ARPANET dibangun dengan sasaran untuk membuat jaringan komputer yang tersebar untuk mneghindari pemusatan informasi di satu titik yang dipandang rawan untuk dihancurkan bila terjadi peperangan. Dengan cara ini diharapkan apabila suatu bagian dari jaringan terputus, maka jalur yang melalui jaringan tersebut secara otomatis dipindahkan ke saluran lainnya.


(9)

Langkah awalnya dimulai dengan gebrakan besar yang dilakukan UCLA, sewaktu komputer pertama dikoneksikan ke ARPANET. ARPANET sendiri dikoneksikan ke empat site, satu diantaranya ke UCLA ini, selainnya ke Stanford research Institute (SRI), UC Santa Barbara, dan University of Utah. Internet mulai digunakan untuk kepentingan akademis dengan menghubungkan beberapa perguruan tinggi tersebut.

Pada awalnya internet berasal dari sebuah jaringan komputer yang terdiri dari beberapa komputer yang dihubungkan dengan kabel, sehingga membentuk sebuah jaringan (network). Kemudian jaringan-jaringan tersebut saling dihubungkan lagi sehingga membentuk inter-network. Untuk bisa berhubungan dengan jaringan inter-network tersebut, sedikitnya kita harus mempunyai terminal (komputer) dalam sebuah jaringan lokal (network) yang mempunyai sambungan ke jaringan lain. Pada tahun 1977, terdapat lebih dari 100 mainframe dan komputer mini yang terkoneksi ke ARPANET yang sebagian besar masih di Universitas. Dengan adanya fasilitas ini, memungkinkan dosen-dosen dan mahasiswa dapat saling berbagi informasi satu dengan lainnya tanpa perlu meninggalkan komputer mereka.

Di awal tahun 1980-an, ARPANET terpecah menjadi dua jaringan, yakni ARPANET dan MILNET (sebuah jaringan militer), akan tetapi keduanya mempunyai hubungan sehingga komunikasi antar jaringan tetap dapat dilakukan. Pada mulanya jaringan interkoneksi ini disebut DARPA Internet, tapi lama-kelamaan disebut Internet saja.


(10)

Kemudian langkah ini disusul dengan dibukanya layanan Usenet dan Bitnet yang memungkinkan internet diakses melalui sarana komputer pribadi (PC). Protokol standar TCP/IP mulai diperkenalkan pada tahun 1982, disusul dengan penggunaan sistem DNS (Domain Name Service) pada 1984.

Di tahun 1986 lahir National Science Foundation Network (NSFNET), yang menghubungkan para periset di seluruh negeri dengan 5 buah pusat super komputer. Jaringan ini kemudian berkembang untuk menghubungkan berbagai jaringan akademis lainnya yang terdiri atas universitas dan konsorsium-konsorsium riset. NSFNET mulai menggantikan ARPANET sebagai jaringan riset utama di Amerika. Pada bulan Maret 1990 ARPANET secara resmi dibubarkan. Pada saat NSFNET dibangun, berbagai jaringan internasional didirikan dan dihubungkan ke NSFNET. Australia, negara-negara Skandinavia, Inggris, Perancis, Jerman, Kanada dan jepang segera bergabung.

Pada awalnya, internet hanya menawarkan layanan berbasis teks, meliputi remote access, e-mail/messaging, maupun diskusi melalui Mailing List. Layanan berbasis grafis seperti World Wide Web (WWW) saat itu masih belum ada. Yang ada hanyalah layanan yang disebut Gopher yang dalam beberapa hal mirip seperti web yang kita kenal saat ini, kecuali sistem kerjanya yang masih berbasis teks. Kemajuan berarti dicapai pada tahun 1990 ketika World Wide Web mulai dikembangkan oleh CERN (Laboratorium Fisika Partikel di Swiss) berdasarkan proposal yang dibuat oleh Tim Berners-Lee. Namun demikian, WWW browser yang pertama baru lahir dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1992 dengan nama Viola. Viola diluncurkan oleh Pei Wei dan didistribusikan bersama CERN


(11)

WWW. Tentu saja web browser yang pertama ini masih sangat sederhana, tidak secanggih browser modern yang kita gunakan saat ini.

Terobosan berarti lainnya terjadi pada 1993 ketika InterNIC didirikan untuk menjalankan layanan pendaftaran domain. Bersamaan dengan itu, Gedung Putih (White House) mulai online di Internet dan pemerintah Amerika Serikat meloloskan National Information Infrastructure Act. Penggunaan internet secara komersial dimulai pada 1994 dipelopori oleh perusahaan Pizza Hut, dan Internet Banking pertama kali diaplikasikan oleh First Virtual. Setahun kemudian, Compuserve, America Online, dan Prodigy mulai memberikan layanan akses ke Internet bagi masyarakat umum (M.Sutiyadi dkk., 2007).

Saat ini, terdapat lebih dari 4.000.000 host internet di seluruh dunia. Sejak tahun 1988, Internet tumbuh secara eksponensial, yang ukurannya kira-kira berlipat-ganda setiap tahunnya.

2. Sejarah Perkembangan Internet di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu bangsa pertama di Asia yang bergabung dalam dengan jaringan UUCP (Unix-to Unix Copy). Simpul utama UUCP adalah indovax, sedang simpul kedua adalah indogtw. Kedua simpul tersebut terhubung ke KAIST, Korea, dan SEISMO, yang akhirnya terhubung ke UUNET di Virginia, Amerika Serikat pada akhir tahun 1985.

Sekitar tahun 1980-an berdirilah suatu jaringan yang menghubungkan 5 universitas melalui fasilitas dial-Up yang disebut UNInet. Kelima Universitas tersebut adalah yaitu Universitas Indonesia (UI, Jakarta), Universitas Terbuka


(12)

(UT, Jakarta), Institut Teknologi Bandung (ITB, Bandung), Universitas Gajah Mada (UGM, Yogyakarta), dan Institut Teknologi Surabaya (ITS, Surabaya). Jaringan ini melewatkan maksimum data sebesar 2Mb perbulan. Pada akhirnya jaringan ini tidak dapat berkembang karena kurangnya dana dan infrastruktur yang belum memadai.

Dalam kurun waktu akhir tahun 1980-an, berbagai jenis program dan rencana jaringan berkembang. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) membangun jaringan nasional dengan teknologi paket radio yang diberi nama JASIPAKTA. Jaringan ini merupakan jaringan kelas B yang pertama di Indonesia. Pada waktu itu para pengguna radio amatir telah mulai menggunakan komputer untuk komunikasi internasional. Sementara itu Dewan Riset Nasional (DRN) menginisiasi studi perbandingan untuk mengimplementasikan suatu jaringan Imu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Nasional yang nantinya dikenal dengan nama IPTEKnet. Ketika itu Bulletin Board System (BBS) juga dipergunakan secara luas.

Pada awal tahun 1990-an, infrastruktur jaringan nasional masih dalam tahap awal, sehingga hampir tidak ada interaksi antar-institusi untuk memecahkan masalah ini. Akhirnya pada bulan Mei 1992 diadakan pertemuan informal antara BPP Teknologi, LAPAN, STT Telkom dan Universitas Indonesia (UI) untuk mem-bahas permasalahan jaringan ini. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama

’Paguyuban’.

Sebagai kelanjutan dari pertemuan tersebut terjadilah kerja sama antar institusi anatara lain pembangunan link radio antara LAPAN dan BPPT pada bulan Mei


(13)

1992 dengan laju pertukaran data sebesar 100 Kb per jam yang dipergunakan untuk e-mail, FTP, dan usenet news. Pada bulan Juni 1992 Universitas Indonesia membuka kembali jaringan UUCP untuk umum. Jaringan ini telah beroperasi sejak era UNInet tahun 1980-an. Untuk mengatasi masalah biaya komunikasi internasional yang sangat tinggi, kepada para pengguna diberlakukan penarifan. Sambungan UUCP merupakan satu-satunya sambungan komunikasi internasional yang tersedia untuk umum hingga tahun 1994. Jaringan ini dipergunakan oleh berbagai institusi pemerintah, penelitian, pendidikan, dan komersil.

Akhirnya pada tahun 1994 Internet masuk ke Indonesia. Top Level Domain ID primer yang dibangun di server UUNET pada bulan Juli 1992 dipindahkan ke ADFA. Kemudian server Domain tingkat dua (Second Level Domain) dibangun pula untuk mendaftar domain ac.id, go.id, dan or.id.

Pada bulan Juni 1994 jaringan Iptek nasional IPTEKnet sebagai Internet Service Provider (ISP) yang pertama di Indonesia terhubung ke Internet dengan kapasitas bandwith sebesar 64 Kbps. Konsep dan desain IPTEKnet diuji coba terlebih dahulu dengan dibentuknya Mikro IPTEKnet sebagai embrio dari IPTEKnet sejak bulan April 1993. Mikro IPTEKnet ini menghubungkan 6 simpul penyedia informasi (BPPT, Biro Pusat Statistik, Litbang-Departemen Kesehatan, PDII-LIPI, PUSDATA-Departemen Perindustrian, Pustaka-Litbang Departemen Pertanian). Pengelolaan IPTEKnet diserahkan kepada BPP Teknologi. Pada 10 November 1994 pengelolaan second level domain go.id diserahkan kepada IPTEKnet.7

7


(14)

3. Aplikasi Internet

Internet sebenarnya mengacu kepada istilah untuk menyebut sebuah jaringan, bukannya suatu aplikasi tertentu. Karenanya, internet tidaklah memiliki manfaat apa-apa tanpa adanya aplikasi yang sesuai. Internet menyediakan beragam aplikasi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Setiap aplikasi berjalan diatas sebuah protokol tertentu. Istilah "protocol" di internet mengacu pada satu set aturan yang mengatur bagaimana sebuah aplikasi berkomunikasi dalam suatu jaringan. Sedangkan software aplikasi yang berjalan diatas sebuah protokol disebut sebagai aplikasi client. Di bagian ini, kita akan berkenalan secara sepintas dengan aplikasi-aplikasi yang paling sering dimanfaatkan oleh pengguna internet (M.Sutiyadi, dkk., 2007).

a. WWW (World Wide Web)

Dewasa ini, WWW atau yang sering disebut sebagai "web" saja adalah merupakan aplikasi internet yang paling populer. Demikian populernya hingga banyak orang yang keliru mengidentikkan web dengan internet.

Secara teknis, web adalah sebuah sistem dimana informasi dalam bentuk teks, gambar, suara, dan lain-lain yang tersimpan dalam sebuah internet webserver dipresentasikan dalam bentuk hypertext. Informasi di web dalam bentuk teks umumnya ditulis dalam format HTML (Hypertext Markup Language). Informasi lainnya disajikan dalam bentuk grafis (dalam format GIF, JPG, PNG), suara (dalam format AU, WAV), dan objek multimedia lainnya (seperti MIDI, Shockwave, Quicktime Movie, 3D World).


(15)

Web dapat diakses oleh perangkat lunak web client yang secara populer disebut sebagai browser. Browser membaca halaman-halaman web yang tersimpan dalam webserver melalui protokol yang disebut HTTP (Hypertext Transfer Protocol). Dewasa ini, tersedia beragam perangkat lunak browser. Beberapa diantaranya cukup populer dan digunakan secara meluas, contohnya seperti Microsoft Internet Explorer, Mozilla Firefox, maupun Opera, namun ada juga beberapa produk browser yang kurang dikenal dan hanya digunakan di lingkungan yang terbatas. Seiring dengan semakin berkembangnya jaringan internet di seluruh dunia, maka jumlah situs web yang tersedia juga semakin meningkat. Hingga saat ini, jumlah halaman web yang bisa diakses melalui internet telah mencapai angka miliaran. Untuk memudahkan penelusuran halaman web, terutama untuk menemukan halaman yang memuat topik topik yang spesifik, maka para pengakses web dapat menggunakan suatu search engine (mesin pencari). Penelusuran berdasarkan search engine dilakukan berdasarkan kata kunci (keyword) yang kemudian akan dicocokkan oleh search engine dengan database (basis data) miliknya. Dewasa ini, search engine yang paling sering digunakan antara lain adalah Google (www.google.com) dan Yahoo (www.yahoo.com) (M.Sutiyadi, dkk., 2007 ).

b. Electronic Mail/E-mail/Messaging

E-mail atau kalau dalam istilah Indonesia, surat elektronik, adalah aplikasi yang memungkinkan para pengguna internet untuk saling berkirim pesan melalui alamat elektronik di internet. Penulis pun memiliki alamat rio_antz@yahoo.co.id. Para pengguna e-mail memilki sebuah mailbox (kotak surat) elektronik yang tersimpan dalam suatu mailserver. Suatu Mailbox memiliki sebuah alamat sebagai


(16)

pengenal agar dapat berhubungan dengan mailbox lainnya, baik dalam bentuk penerimaan maupun pengiriman pesan. Pesan yang diterima ditampung dalam mailbox, selanjutnya pemilik mailbox sewaktu-waktu dapat mengecek isinya, menjawab pesan, menghapus, atau menyunting dan mengirimkan pesan e-mail.

Layanan e-mail biasanya dikelompokkan dalam dua basis, yaitu e-mail berbasis client dan e-mail berbasis web. Bagi pengguna e-mail berbasis client, aktifitas per-e-mailan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak e-mail client, misalnya Outlook Express atau Thunderbird. Perangkat lunak ini menyediakan fungsi-fungsi penyuntingan dan pembacaan e-mail secara offline (tidak tersambung ke internet), dengan demikian, biaya koneksi ke internet dapat dihemat.

Koneksi hanya diperlukan untuk melakukan pengiriman (send) atau menerima (recieve) e-mail dari mailbox. Sebaliknya, bagi pengguna e-mail berbasis web, seluruh kegiatan per-e-mailan harus dilakukan melalui suatu situs web. Dengan demikian, untuk menggunakannya haruslah dalam keadaan online. E-mail berbasis web biasanya disediakan oleh penyelenggara layanan e-mail gratis seperti google-mail (www.gmail.com) atau YahooMail (mail.yahoo.com).

Beberapa pengguna e-mail dapat membentuk kelompok tersendiri yang diwakili oleh sebuah alamat e-mail. Setiap e-mail yang ditujukan ke alamat e-mail kelompok akan secara otomatis diteruskan ke alamat e-mail seluruh anggotanya. Kelompok semacam ini disebut sebagai milis (mailing list). Sebuah milis didirikan atas dasar kesamaan minat atau kepentingan dan biasanya dimanfaatkan untuk keperluan diskusi atau pertukaran informasi diantara para anggotanya. Saat


(17)

ini, salah satu server milis yang cukup banyak digunakan adalah Yahoogroups (M.Sutiyadi, dkk., 2007).

c. File Transfer

Fasilitas ini memungkinkan para pengguna internet untuk melakukan pengiriman (upload) atau menyalin (download) sebuah file antara komputer lokal dengan komputer lain yang terhubung dalam jaringan internet. Protokol standar yang digunakan untuk keperluan ini disebut sebagai File Transfer Protocol (FTP).

FTP umumnya dimanfaatkan sebagai sarana pendukung untuk kepentingan pertukaran maupun penyebarluasan sebuah file melalui jaringan internet. FTP juga dimanfaatkan untuk melakukan proses upload suatu halaman web ke webserver agar dapat diakses oleh pengguna internet lainnya.

Secara teknis, aplikasi FTP disebut sebagai FTP client, dan yang populer digunakan saat ini antara lain adalah Cute FTP dan WS_FTP, Aplikasi-aplikasi ini umumnya dimanfaatkan untuk transaksi FTP yang bersifat dua arah (active FTP). Modus ini memungkinkan pengguna untuk melakukan baik proses upload maupun proses download. Tidak semua semua server FTP dapat diakses dalam modus aktif. Untuk mencegah penyalahgunaan—yang dapat berakibat fatal bagi sebuah server FTP—maka pengguna FTP untuk modus active harus memiliki hak akses untuk mengirimkan file ke sebuah server FTP. Hak akses tersebut berupa sebuah login name dan password sebagai kunci untuk memasuki sebuah sistem FTP server. Untuk modus passive, selama memang tidak ada restriksi dari pengelola server, umumnya dapat dilakukan oleh semua pengguna dengan modus


(18)

anonymous login (log in secara anonim). Kegiatan men-download software dari Internet misalnya, juga dapat digolongkan sebagai passive FTP (M.Sutiyadi, dkk., 2007).

d. Remote Login

Layanan remote login mengacu pada program atau protokol yang menyediakan fungsi yang memungkinkan seorang pengguna internet untuk mengakses (login) ke sebuah terminal (remote host) dalam lingkungan jaringan internet. Dengan memanfaatkan remote login, seorang pengguna internet dapat mengoperasikan sebuah host dari jarak jauh tanpa harus secara fisik berhadapan dengan host bersangkutan. Dari sana ia dapat melakukan pemeliharaan (maintenance), menjalankan sebuah program atau malahan meng-install program baru di remote host.

Protokol yang umum digunakan untuk keperluan remote login adalah Telnet (Telecommunications Network). Telnet dikembangkan sebagai suatu metode yang memungkinkan sebuah terminal mengakses resource milik terminal lainnya (termasuk hard disk dan program-program yang ter-install didalamnya) dengan cara membangun link melalui saluran komunikasi yang ada, seperti modem atau network adapter. Dalam hal ini, protokol Telnet harus mampu menjembatani perbedaan antar terminal, seperti tipe komputer maupun sistem operasi yang digunakan.

Aplikasi Telnet umumnya digunakan oleh pengguna teknis di internet. Dengan memanfaatkan Telnet, seorang administrator sistem dapat terus memegang


(19)

kendali atas sistem yang ia operasikan tanpa harus mengakses sistem secara fisik, bahkan tanpa terkendala oleh batasan geografis.

Namun demikian, penggunaan remote login, khususnya Telnet, sebenarnya mengandung resiko, terutama dari tangan-tangan jahil yang banyak berkeliaran di internet. Dengan memonitor lalu lintas data dari penggunaan Telnet, para cracker dapat memperoleh banyak informasi dari sebuah host, dan bahkan mencuri data-data penting sepert login name dan password untuk mengakses ke sebuah host. Kalau sudah begini, mudah saja bagi mereka-mereka ini untuk mengambil alih sebuah host. Untuk memperkecil resiko ini, maka telah dikembangkan protokol SSH (secure shell) untuk menggantikan Telnet dalam melakukan remote login. Dengan memanfaatkan SSH, maka paket data antar host akan dienkripsi (diacak) sehingga apabila "disadap" tidak akan menghasilkan informasi yang berarti bagi pelakunya (M.Sutiyadi, dkk., 2007 ).

e. IRC (Internet Relay Chat)

Layanan IRC, atau biasa disebut sebagai "chat" saja adalah sebuah bentuk komunikasi di internet yang menggunakan sarana baris-baris tulisan yang diketikkan melalui keyboard. Dalam sebuah sesi chat, komunikasi terjalin melalui saling bertukar pesan-pesan singkat. Kegiatan ini disebut chatting dan pelakunya disebut sebagai chatter. Para chatter dapat saling berkomunikasi secara berkelompok dalam suatu chat room dengan membicarakan topik tertentu atau berpindah ke modus private untuk mengobrol berdua saja dengan chatter lain. Kegiatan chatting membutuhkan software yang disebut IRC Client, diantaranya mIRC, Yahoo Messenger, Gtalk, MSN Messenger.


(20)

Ada juga beberapa variasi lain dari IRC, misalnya apa yang dikenal sebagai MUD (Multi-User Dungeon atau Multi-User Dimension). Berbeda dengan IRC yang hanya menampung obrolan, aplikasi pada MUD jauh lebih fleksibel dan luas. MUD lebih mirip seperti sebuah dunia virtual (virtual world) dimana para penggunanya dapat saling berinteraksi seperti halnya pada dunia nyata, misalnya dengan melakukan kegiatan tukar menukar file atau meninggalkan pesan. Karenanya, selain untuk bersenang-senang, MUD juga sering dipakai oleh komunitas ilmiah serta untuk kepentingan pendidikan (misalnya untuk memfasilitasi kegiatan kuliah jarak jauh). Belakangan, dengan semakin tingginya kecepatan akses internet, maka aplikasi chat terus diperluas sehingga komunikasi tidak hanya terjalin melalui tulisan namun juga melalui suara (teleconference), bahkan melalui gambar dan suara sekaligus (video conference) (M.Sutiyadi, dkk., 2007).

B. Tinjauan Tentang Digital Divide (Kesenjangan Digital)

Barangkali tidak terlalu salah apabila ada orang yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia kini hidup dalam 20 abad sekaligus: hidup di dalam zaman modern dan dalam zaman batu. Bukti bahwa bangsa kita hidup di dalam zaman modern bukan saja karena merupakan negara ketiga di dunia yang telah mengoperasikan satelit komunikasi (Palapa), melainkan karena kehidupan di kota metropolitan yang bertaraf jet-set. Dan bukti bahwa bangsa kita masih hidup di zaman batu, nun jauh di sana di ufuk timur masih ada saudara-saudara kita (yang masih mengenakan koteka) yang memerlukan peningkatan peradaban sehingga setara dengan saudara-saudara di daerah lainnya.


(21)

Tak perlu membaca habis novel Tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, di sana-sini sudah banyak terlihat fakta; pendidikan semakin mahal dan orang miskin

‘dilarang’ sekolah. Institusi pendidikan berlomba-lomba mendirikan Sekolah Berstandar Internasional (SBI), tapi ternyata di sisi lain banyak sekolah negeri maupun swasta yang gedungnya hampir roboh. Problem tersebut jelas memerlukan pemerataan pendidikan, selain secara konsepsional juga dengan segera: jika tidak, kesenjangan akan semakin menganga.

Untuk menempa suatu bangsa agar menjadi bangsa yang cerdas diperlukan waktu yang lama dengan menanamkan ilmu pengetahuan serta membangun infrastruktur yang memadai terutama dalam hal Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Karena penulis berpendapat selama ini kita banyak mengadopsi ‘pemikiran’ hedonis dari Barat (seperti kapitalisme dan liberalisme), namun sedikit mengadopsi teknologinya. Barat memiliki teknologi mutakhir di bidang informasi dan komunikasi namun tidak secara gratis menyebarluaskannya pada negara berkembang, kecuali atas nama paten dan hak cipta (atau menjadikan negara berkembang hanya menjadi tempat pemasaran produk TIK, sampai tempat e-waste dumping), padahal teknologi (khususnya yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi) dibuat untuk kemaslahatan dan mempertinggi martabat dan kualitas hidup seluruh manusia, bukan hanya terbatas pada negara maju saja. Karena tidak semua negara memiliki infrastruktur teknologi informasi yang memadai, sudah dipastikan masyarakatnya mengalami kesenjangan di bidang komunikasi dan akses informasi, atau lebih tepatnya sering disebut dengan digital literacy atau digital divide.


(22)

Perjuangan terhadap dominasi global di bidang komunikasi membuahkan usaha melahirkan Piagam Komunikasi Kelompok Masyarakat (People’s Communication Charter) yang lahir di Belanda pada 1999. Tujuan piagam ini adalah untuk menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda dalam sebuah dokumen atas hak atas komunikasi yang bertumpu pada keyakinan bahwa di dunia terdapat lingkungan budaya yang unik yang perlu dilindungi dan didukung. Disusul World Summit on the Information Society (Pertemuan Masyarakat Tingkat Tinggi Sedunia) di Jenewa yang disponsori oleh PBB pada 2003. Dalam pertemuan ini dibicarakan seputar akses media, terutama digital divide (kesenjangan digital) dan kebebasan media dalam agenda global, dengan mengukuhkan bahwa masalah-masalah ini menjadi bagian dari kepentingan internasional.

Digital divide adalah suatu istilah yang untuk menerangkan jurang perbedaan antara mereka yang mempunyai kemampuan dalam hal akses dan pengetahuan dalam penggunaan teknologi modern, dengan mereka yang tidak berpeluang tidak menikmati teknologi tersebut. Teknologi digital bukan sekedar soal akses, Digital divide bukanlah sekadar masalah kesenjangan antara siapa yang memperoleh akses terhadap teknologi digital dengan siapa yang tidak, dan para peneliti membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk menyadari bahwa hal ini lebih merupakan kesenjangan antara siapa yang memperoleh keuntungan dari akses terhadap teknologi digital dengan siapa yang tidak. Selama ini perusahaan-perusahaan multinasional ingin kita berpikir tentang kesenjangan akses, sehingga dalam usaha penutupan kesenjangan tersebut, pasar akan meluas.


(23)

Teknologi komputer, telekomunikasi diperkirakan dapat meningkatkan kualitas hidup manusia, namun peningkatan ini baru dapat dimanfaatkan oleh sebagian

orang saja, ada “jarak/kesenjangan” yang timbul antara mereka yang memiliki

kemampuan (skill) menggunakan komputer dan akses kepada teknologi dan yang tidak memiliki. Digital divide terjadi di seluruh dunia, termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat :

a. Perbedaan penghasilan, komunitas yang tidak mendukung, diskriminasi terhadap ras, gender, usia.

b. Ketidak mengertian atas perubahan ekonomi (berbasis informasi/IPTEK). c. “The gap in Internet Access betwen those at the highest and lowest income

levels grew by 29 percent in one year alone” (Akh Haries Yulianto, 2006).8 Digital divide mempunyai arti sebagai kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau kelompok masyarakat) dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atas akses teknologi informasi dan komunikasi/TIK (Information and Communication Technologies/ ICT) atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas.9

Jadi, digital divide atau “kesenjangan digital” sebenarnya mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam suatu negara dan atau antar negara.

Perkembangan teknologi banyak mempengaruhi beragam tatanan kehidupan masyarakat. Pada dasarnya, telematika dinilai sangat penting tak saja karena potensi generiknya sebagai productivity tool dalam penciptaan nilai tambah tetapi

8

http://www.cert.or.id/~budi/presentations/menjembatani-digital-divide-2.ppt

9


(24)

juga enabling tool bagi (hampir) semua masyarakat. Karenanya, kesenjangan dalam hal ini berpotensi melahirkan persoalan kesenjangan baru dalam masyarakat atau memperparah persoalan kesenjangan yang ada, terutama di negara berkembang atau kelompok masyarakat/ daerah yang relatif tertinggal.

Digital divide atau kesenjangan digital mengacu pada kesenjangan atau jurang yang menganga di antara mereka yang dapat mengakses teknologi informasi (TI) dan mereka yang tidak dapat melakukannya. Ketakseimbangan ini bisa berupa ketakseimbangan yang bersifat fisik (tidak mempunyai akses terhadap komputer dan perangkat TI lain) atau yang bersifat keterampilan yang diperlukan untuk dapat berperan serta sebagai warga digital. Jika pembagian mengarah ke kelompok, maka senjang digital dapat dikaitkan dengan perbedaan sosial-ekonomi (kaya/miskin), generasi (tua/muda), atau geografis (perkotaan/pedesaan). Sejalan dengan berkembangnya dan makin tidak terpisahkannya Internet dengan TI, maka digital divide mencakup juga ketakseimbangan akses terhadap dunia maya. C. Tinjauan Tentang Tipologi Penggunaan Internet

Penelitian APJII, Guo Ling dan Horigan menggambarkan adopsi atau penggunaan internet yang tidak sama walaupun aksesnya sama. Faktor usia, gender, kondisi sosial ekonomi, budaya, (bahkan politik) mempengaruhi bagaimana seseorang menggunakan internet. Fatul Wahid (2007) menemukan bahwa perempuan lebih rendah dalam mengakses internet.

Karena itu menurut Jan A.G.M. Van Dijk (2005) bahwa digital divide bukanlah

sekedar “punya” dan “tidak punya” akses kepada media digital baru—utamanya komputer dan internet—tetapi merupakan fenomena multiproses orang mengakses


(25)

media, yaitu motivasi, keterampilan, penggunaan (usage) dan konsekuensinya secara sosial, ekonomi, maupun politik. Artinya, bisa saja kondisi akses sama tetapi pengadopsian berbeda seperti ditemukan pada penelitian empiris di atas (Guo Ling, Horigan, Fatul Wahid), atau karena akses yang berbeda (punya dan tidak punya) yang menyebabkan adopsi yang berbeda.

Pada tahun 2007 organisasi Pew Internet & American Life Project mengeluarkan publikasi data-data baru mengenai penggunaan alat-alat teknologi informasi dan komunikasi (CIT), atau yang disebut Information Gadgets (IG). Data-data tersebut menarik, sebab;

a. Memberi gambaran pasar komputer, elektronik dan internet di AS.

b. Memberi gambaran mengenai kebiasaan dan perilaku konsumen dan pengguna internet, dan

c. Memberi gambaran pola penggunaan internet yang mungkin akan sama dengan negara lainnya.

Ringkasan riset/survei ini adalah sebagai berikut:

a. 8% adalah “deep users” yang berpartisipasi dalam penggunaan aplikasi web dan mobile.

b. 23% adalah adopter teknologi yang berat dan pragmatik. Kelompok ini bersedia menggunakan alat-alat elektronik baru untuk turut dalam social networking atau untuk mempertinggi prduktivitas pekerjaan profesional. c. 10% adalah pemakai alat-alat mobile untuk voice, text dan entertainment/

hiburan.

d. 10% adalah pemakai alat-alat informasi IG (Information Gadgets), tetapi menganggap alat-alat IG merepotkan hidup.


(26)

e. 49% hanya kadang-kadang saja menggunakan alat-alat IG modern dan enggan memiliki konektivitas elektronik.

Riset ini menggunakan 3 dimensi untuk mengukur dan mengategori hubungan manusia dengan teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga dimensi ini adalah sebagai berikut:

a. Aset-aset: Survei menanyakan orang tentang tingkat penggunaan internet, cellphone, dan perangkat elektronika lainnya yang dapat menghubungkan dengan Internet. Selain itu, ditanya juga jenis servis digital dan konsumsi servis ini.

b. Aktivitas: Survei menanyakan aktivitas pemakai, seperti download audio/video, publikasi konten online sendiri, dan aktivitas lainnya pada cellphone dan komputer.

c. Pandangan: Survei menanyakan pandangan pemakai apakah CIT membantu produktivitas, membantu hobi-hobi dan membantu hubungan dengan keluarga dan kerabat.

Hanya saja, penulis melihat tipologi di atas mengkategorisasi penggunaan internet berdasarkan paradigma perusahaan-perusahaan produsen Information Gadgets. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam hal independensi karena cenderung menghasilkan jawaban yang dikehendaki perusahaan tertentu terhadap survei.

Horigan (2007) membuat simplifikasi dari bentuk tipologi. Dengan melihat penggunaannya, pengguna internet dapat dipetakan tipologinya menjadi 3 (tiga) kategori yaitu:


(27)

1. The elite users adalah kategori adopter yang merasa sangat puas dengan penggunaan internetnya.

2. The middle-of-the-road users adalah kategori adopter yang berorientasi pada tugas-tugas. Mungkin kelompok ini mendapatkan kepuasan sehingga terus mengadopsi, dan bila tidak adopter dikelompok ini segera drop-out dari penggunaan internet.

3. Few technology assets adalah kategori adopter yang karena aksesnya yang mudah menggunakan fasilitas internet tetapi tidak dirasakan sebagai kebutuhan. Jadi sering drop-out.

Tipologi ini juga menurut Horigan dapat dipakai untuk indikator masyarakat informasi.10

Namun tiga poin tipologi yang dikemukakan Horigan tersebut di atas masih kurang cocok untuk penelitian dengan objek siswa SMK swasta. Tipologi Horigan hanya kompatibel jika objek adalah pengguna intens pemilik IG atau alat-alat informasi (Information Gadgets). Padahal, tidak semua siswa memiliki IG seperti telepon selular yang memiliki konektivitas ke internet.

Sedangkan penelitian ini terfokus lebih kepada objek yang mendapat akses internet berbeda. Khususnya siswa SMK swasta dengan tipologi siswanya berdasarkan pola adopsi atau penggunaan pada koneksitas internet, tentunya dengan fakta ketersediaan infrastruktur atau sarana dan prasarana yang berbeda di tiap sekolah.

10


(28)

Adapun Turkle (1995) menggambarkan dua fokus subkultur pengguna internet, yaitu: user dan manipulator. Tipologi pengguna Internet menurut Turkle dapat dibedakan menurut penggunaannya.

“The User approach focuses on the consumption of the technology, whereas the Manipulator approach the emphasizes both consumption and production of media content…”

Pendekatan User memfokuskan pada konsumsi terhadap teknologi, sedangkan pendekatan Manipulator merangkum tidak hanya sekedar konsumsi pada teknologi, namun juga produksi terhadap isi media, seperti hacker dan cracker.

Pendekatan ini sederhana namun paling tepat dan mampu mendeskripsikan tipologi penggunaan internet siswa SMK swasta. User & Manipulator sebagai skill siswa dalam pola adopsi/penggunaan internet dengan melihat perbedaan infrastruktur dan aksesibilitas internet di sekolah.

D. Tinjauan tentang Uses and Gratifications

Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif. Menurut para pendirinya, Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Rakhmat, Jalaluddin: 1984), uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan


(29)

(atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain (Adi Prakosa : 2007).11

Model ini merupakan pergeseran fokus dari tujuan komunikator ke tujuan komunikan. Model ini menentukan fungsi komunikasi massa dalam melayani khalayak. Penulis melihat teori ini sangat cocok dengan keberadaan internet sebagai mass multimedia, karena audiens dianggap aktif dan selektif memilih informasi yang akan mereka terima, serta dapat dilihat sampai sejauh mana pengguna internet berinteraksi dan menggunakannya.

Pendekatan uses and gratifications untuk pertama kali dijelaskan oleh Elihu Katz (1959) dalam suatu artikel sebagai reaksinya terhadap Bernard Berelson (1959) bahwa penelitian komunikasi tampaknya akan mati. Katz menegaskan bahwa bidang kajian yang sedang sekarat itu adalah studi komunikasi massa sebagai persuasi. Dia menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian komunikasi sampai waktu itu diarahkan kepada penyelidikan efek kampanye persuasi kepada khalayak. Katz mengatakan bahwa penelitiannya diarahkan kepada jawaban terhadap pertanyaan Apa yang dilakukan media untuk khalayak (What do the media do to the people?). Kebanyakan penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi massa berpengaruh kecil terhadap khalayak yang dipersuasi; oleh karena itu para peneliti berbelok ke variabel-variabel yang menunjukkan yang menimbulkan lebih banyak efek, misalnya efek kelompok.

Model uses and gratifications menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi

11


(30)

bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Jadi bobotnya ialah pada khalayak yang aktif, yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus.

Pendekatan uses and gratifications sebenarnya juga tidak baru. Di awal dekade 1940-an dan 1950-an para pakar melakukan penelitian mengapa khalayak terlibat dalam berbagai jenis perilaku komunikasi. Penelitian yang sistematik dalam rangka membina teori uses and gratifications telah dilakukan pada dekade 1960-an d1960-an 1970-1960-an, buk1960-an saja di Amerika, tetapi juga di Inggris, Finl1960-andia, Swedia, Jepang, dan negara-negara lain.

Karl Erik Rosengren dalam karyanya yang berjudul “Uses and Gratifications; A Paradigm Outlined” yang dimuat dalam “The Uses of Mass Communications” (Blumler and Katz, 1974: 269) menyajikan paradigm uses and gratifications model yang disertai penjelasan dengan gambar 1.

Butir pertama paradigma tersebut melambangkan infrastruktur biologis dan psikologis yang membentuk landasan semua perilaku sosial manusia. Kebutuhan biologis dan psikologis inilah yang membuat seseorang bertindak dan mereaksi.

Mengenai kebutuhan biasanya orang merujuk kepada hirarki kebutuhan (need hierarchy) yang ditampilkan oleh Abraham Maslow (1954). Ia membedakan lima perangkat kebutuhan dasar:

a. Physiological needs (kebutuhan fisiologis) b. Safety needs (kebutuhan keamanan) c. Love needs (kebutuhan cinta)

d. Esteem needs (kebutuhan penghargaan)


(31)

Sehubungan dengan hirarki tersebut, kebutuhan yang menarik perhatian para peneliti uses and gratifications adalah kebutuhan cinta, kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri.

Gambar 1. PARADIGMA USES AND GRATIFICATIONS MODEL

Butir 1, 2 dan 3 pada gambar menunjukkan interaksi antara faktor internal dan eksternal, atau dengan istilah yang konkret antara seseorang dengan masyarakat sekitar. Dengan meninggalkan kebutuhan dasar (basic needs) untuk sementara, marilah kita lihat butir 2 dan 3, ciri individual (individual characteristics) dan ciri masyarakat (societal characteristics). Minat para peneliti terkonsentrasikan pada butir 2, ciri individual, khususnya ciri ekstra individual, misalnya posisi sosial.

3

(11) Society including media structures

1 Basic needs

4

Perceived Problems 5

Perceived Solutions

6 Motives

7 Media Behavior 8

Other Behavior

9

Gratifications or Non

Gratifications

2

(10) Individual Characteristics Including


(32)

Sementara itu proses intra-individual erat kaitannya dengan butir 1, 4, 5, 6 dan 9 pada paradigma tersebut.

Untuk mendapatkan kejelasan mengenai model uses and gratifications ini dapat dikaji Gambar 2. yang diketengahkan oleh Katz, Gurevitch dan Haas.

Gambar 2. USES AND GRATIFICATIONS MODEL

Social Environment (Lingkungan Sosial): 1.Ciri-ciri demografis 2.Afiliasi kelompok 3.Ciri-ciri kepribadian ( psycho-logical dispositions) Individual’s Needs (Kebutuhan Khalayak): 1.Kognitif 2.Afektif 3.Integratif Personal 4.Integratif Sosial 5.Pelepasan Ketegangan Non Media Sources of Need Satisfaction (Sumber pemuasan kebutuhan yang berhubungan dengan non media): 1.Keluarga, teman-teman 2.Komunikasi interpersonal 3.Hobbies 4.Tidur 5.Dll Mass Media Use (Penggunaan Media Massa): 1.Jenis-jenis media: koran (suratkabar), majalah, radio, TV, film dan internet 2.Isi media 3.Terpaan media 4.Konteks sosial dan terpaan media Media Gratifications (Functions) (Pemuasan media [Fungsi]): 1.Surveillance (pengamatan lingkungan) 2.Diversi/ Hiburan 3.Identitas personal 4.Hubungan sosial


(33)

Model ini memulai dengan lingkungan sosial (social environment) yang menentukan kebutuhan kita. Lingkungan sosial tersebut memenuhi ciri-ciri afiliasi kelompok dan ciri-ciri kepribadian. Kebutuhan individual (individual needs) dikategorisasikan sebagai cognitive needs, affective needs, personal integrative needs, social integrative needs dan escapist needs.

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

1) Cognitive needs (kebutuhan kognitif) :

Kebutuhan yang berkaitan dengan informasi, pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai lingkungan, juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk penyelidikan kita.

2) Affective needs (Kebutuhan afektif) :

Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan pengalaman-pengalaman yang estetis, menyenangkan, dan emosional.

3) Personal integrative needs (Kebutuhan pribadi secara integratif) :

Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status individual. Hal-hal tersebut diperoleh dari hasrat dan harga diri.

4) Social integrative needs (Kebutuhan sosial secara integratif)

Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kontak dengan keluarga, teman, dan dunia. Hal-hal tersebut didasarkan pada hasrat untuk berafiliasi.


(34)

5) Escapist needs (Kebutuhan pelepasan) :

Kebutuhan yang berkaitan dengan upaya menghindarkan tekanan ketegangan, dan hasrat akan keanekaragaman.

Sebagai bandingannya adalah modifikasi model uses and gratifications hasil aplikasi di Jepang yang ditampilkan oleh Profesor Ikuo Takeuchi, guru besar pada universitas Tokyo yang juga menjadi Direktur Institute of Journalism and Communication Studies.

Model Prof. Takeuchi yang dimuat dalam Journal “Studies of Broadcasting” terbitan tahun 1986 itu menjelaskan paradigma uses and gratifications yang berbunyi : What kind of people in which means of communication and how, yang terjemahannya adalah kira-kira sebagai berikut : “Jenis khalayak mana dalam keadaan bagaimana dipuaskan oleh kebutuhan apa dari sarana komunikasi mana

dan bagaimana”.

Gambar 3. SKEMA APLIKASI USES AND GRATIFICATIONS DI JEPANG Media

images

Occasional conditions for exposure to the media

Exposure to mass communica-tions (motive and actual behavior)

Non media sourcer

Gratifications pattern The social

conditions

Personal characteristics


(35)

Ditegaskan oleh Prof. Takeuchi bahwa unsur-unsur yang hendaknya dihayati secara perspektif, adalah ciri-ciri pribadi (personal characteristics) khalayak, kondisi sosial, (social conditions) khalayak, kebutuhan (needs) khalayak, motivasi dan perilaku nyata menanggapi terpaan komunikasi massa beserta pola kebutuhan (gratifications pattern), tetapi semua faktor pada akhirnya harus dipandang sebagai faktor yang menerangkan pola kebutuhan (Gambar 3).

Selain hubungan kelompok (group relations) dan ketegangan kelompok (group tensions), peristiwa-peristiwa politik dan sosial tercakup dalam kondisi sosial (social condition). Tekanan-tekanan yang bersifat kondisional itu menimbulkan kepada khalayak yang antara satu sama lainnya memiliki ciri-ciri pribadi (personal characteristics) yang berbeda, dan citra media (media images) berdasarkan pengalaman dalam hal kebutuhan. Dan kondisi-kondisi yang timbulnya kadang-kadang (occaptional conditions) memerlukan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan motivasi bagi kebutuhan yang tertuju kepada terpaan komunikasi massa. Selanjutnya penelitian ini akan lebih fokus pada uses atau penggunaan media internetnya saja.

E. Tinjauan tentang Siswa

Peserta didik (siswa) menurut Aminuddin Rasyad dalam Syaiful Bahri Djamarah (2000), adalah seseorang atau sekelompok orang yang bertindak sebagai pelaku pencari, penerima dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkannya untuk mencapai tujuan.12 Anak didik (siswa) adalah setiap orang yang menerima

12

Syaiful Bahri D, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta, Rineka Cipta, 2000


(36)

pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Anak didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunyai akal. Anak didik adalah unsur manusiawi yang penting dalam kegiatan interaksi edukatif. Ia dijadikan sebagai pokok persoalan dalam semua gerak kegiatan pendidikan dan pengajaran.

Jadi, anak didik adalah ”kunci” yang menentukan untuk terjadinya interaksi

edukatif. Dalam perspektif pedagogis, anak didik adalah sejumlah makhluk yang menghajatkan pendidikan. Anak didik adalah manusia yang mempunyai potensi untuk dijadikan kekuatan agar menjadi manusia susila yang cakap.13

Menurut Sutari Iman Barnadib, Suwarno dan Siti Mechtari, masih dalam Syaiful Bahri Djamarah, sebagai makhluk manusia peserta didik atau anak didik (siswa) memiliki karakteristik tertentu, yakni :

1. Belum memiliki pribadi dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik (guru),

2. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik,

3. Memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu yaitu kebutuhan biologis, rohani, sosial, inteligensi, emosi, kemampuan bicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari), latar belakang sosial, latar belakang biologis (warna kulit, bentuk tubuh dan lainnya), serta perbedaan individual.

13


(37)

Siswa atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar. Ada beberapa hal yang perlu di-perhatikan dalam melihat karakteristik siswa, antara lain :

1. Karakteristik atau keadaan yang berkenaan dengan kemampuan awal atau prerequisite skills, seperti kemampuan intelektual, kemampuan berfikir, mengucapkan hal-hal yang berkaitan dengan aspek psi-komotor dan lain-lain.

2. Karakteristik yang berhubungan dengan latar belakang dan status sosial (sociocultural).

3. Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan ke-pribadian seperti sikap, perasaan, minat dan lain-lain.

Pengetahuan mengenai karakteristik siswa ini memiliki arti yang cukup penting dalam interaksi belajar-mengajar. Adapun karakteristik siswa yang dapat mem-pengaruhi kegiatan belajar siswa antara lain :

1. Latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan. 2. Gaya belajar.

3. Usia kronologi. 4. Tingkat kematangan.

5. spektrum dan ruang lingkup minat. 6. Lingkungan sosial ekonomi.

7. Hambatan-hambatan lingkungan dan kebudayaan. 8. Intelegensia.

9. Keselarasan dan attitude. 10.Prestasi belajar.


(38)

Kaitannya dengan penelitian ini penulis memilih siswa SMK swasta sebagai objek studi penelitian. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas men-definisikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara SMP/MTs.

SMK swasta mempunyai keunggulan dalam hal pembelajaran teknologi dalam berbagai bidang kejuruan dan keterampilan, namun sekolah harus menyediakan infrastrukturnya secara mandiri, khususnya pada Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

F. Kerangka Pikir

Kerangka Pikir adalah penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi obyek permasalahan kita. Kerangka pemikiran disusun berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan. Kerangka pikir merupakan argumentasi kita dalam merumuskan hipotesis.14 Namun dalam penelitian ini penulis memilih deskriptif saja tanpa hipotesis.

Berkaitan dengan penelitian ini penulis melihat penggunaan internet di kalangan siswa SLTA, khususnya SMK swasta yang mengunggulkan keterampilan siswa semakin lama semakin meningkat. Penggunaan Internet untuk keperluan pendidikan yang semakin meluas terutama di negara-negara maju, merupakan fakta yang menunjukkan bahwa dengan media baru ini (internet) memang

14

Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial, Jakarta, Bumi Aksara, 1996, hlm. 33.


(39)

dimungkinkan diselenggarakannya proses belajar mengajar yang lebih efektif. Hal itu terjadi karena dengan sifat dan karakteristik Internet yang cukup khas, sehingga diharapkan bisa digunakan sebagai media pembelajaran pasca literer sebagaimana media lain telah dipergunakan sebelumnya seperti radio, televisi, LCD projector, video conference, CD-ROM Interaktif dan lain-lain.

Sebagai media yang diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses belajar mengajar di sekolah, internet harus mampu memberikan dukungan bagi terselenggaranya proses komunikasi interaktif antara guru dengan siswa sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Kondisi yang harus mampu didukung oleh internet tersebut terutama berkaitan dengan strategi pembelajaran yang akan dikembangkan, yang kalau dijabarkan secara sederhana, bisa diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan untuk mengajak siswa mengerjakan tugas-tugas dan membantu siswa dalam mem-peroleh pengetahuan yang dibutuhkan dalam rangka mengerjakan tugas-tugas tersebut (Boettcher, 1999).

Hal tersebut memperlihatkan bahwa secara nyata internet memang akan bisa digunakan dalam seting pembelajaran di sekolah, karena memiliki karakteristik yang khas yaitu (1) sebagai media interpersonal dan juga sebagai media massa yang memungkinkan terjadinya komunikasi one-to-one maupun one-to-many, (2) memiliki sifat interaktif, dan (3) memungkinkan terjadinya komunikasi secara sinkron (syncronous) maupun tertunda (asyncronous), sehingga memungkinkan terselenggaranya ketiga jenis dialog/komunikasi yang merupakan syarat bagi terselengaranya suatu proses belajar mengajar.


(40)

Dari sejumlah studi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa internet memang bisa dipergunakan sebagai media pembelajaran, seperti studi telah dilakukan oleh Center for Applied Special Technology (CAST) pada tahun 1996, yang dilakukan terhadap sekitar 500 murid kelas lima dan enam sekolah dasar. Ke-500 murid tersebut dimasukkan dalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang dalam kegiatan belajamya dilengkapi dengan akses ke Internet dan kelompok kontrol. Setelah dua bulan menunjukkan bahwa kelompok eksperimen mendapat nilai yang lebih tinggi berdasarkan hasil tes akhir.

Kemudian sebuah studi eksperimen mengenai penggunaan Internet untuk mendukung kegiatan belajar mengajar Bahasa Inggris yang dilakukan oleh Anne L. Rantie dan kawan-kawan di SMU 1 BPK Penabur Jakarta pada tahun 1999, menunjukkan bahwa murid yang terlibat dalam eksperimen tersebut mem-perlihatkan peningkatan kemampuan mereka secara signifikan dalam menulis dan membuat karangan dalam bahasa Inggris.

Dengan demikian terlihat bahwa sebagaimana media lain yang selama ini telah dipergunakan sebagai media pendidikan secara luas, Internet juga mempunyai peluang yang tak kalah besarnya dan bahkan mungkin karena karakteristiknya yang khas maka di suatu saat nanti Internet bisa menjadi media pembelajaran yang paling terkemuka dan paling dipergunakan secara luas.15

Namun ternyata harapan untuk mewujudkan internet sebagai media pembelajaran pada siswa SLTA khususnya SMK swasta menemukan banyak hambatan. Salah satunya adalah kendala kesenjangan dan jurang perbedaan (gap) antara

15


(41)

pemilik/pengguna teknologi (the haves) dan mereka yang tidak memiliki atau menggunakan teknologi (the have nots). Hal ini menimbulkan kesenjangan digital (digital divide). Bahkan tidak hanya sampai pada masalah ‘punya’ dan ‘tidak

punya’ akses ke Internet, lebih jauh lagi sampai pada masalah siswa tidak mempunyai kemampuan (skills) yang memadai untuk menggunakan New media tersebut. 16 Terutama kesenjangan digital ini dihadapi oleh sekolah swasta, yang harus menyediakan secara mandiri laboraturium dan koneksitasnya ke internet.

Kota Bandar Lampung memiliki 102 SLTA yang terdiri dari SMA sekolah Negeri (17 sekolah) dan Swasta (35 sekolah), Madrasah Aliyah (MA) negeri (2 sekolah) dan swasta (11 sekolah), serta sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri (7 sekolah) dan swasta (32 sekolah), yang berbeda koneksinya ke internet. Ada sekolah yang telah terkoneksi ke internet (kabel dan nirkabel), laboraturium komputer maupun kelasnya. Ada yang hanya terkoneksi di laboratorium komputer saja (dalam jumlah yang cukup).

Ada yang terkoneksi di laboratorium dalam jumlah yang tidak cukup sehingga pelajaran internet hanya berupa demonstrasi saja. Ada yang tidak terkoneksi ke internet tapi memiliki laboratorium komputer, bahkan ada yang tidak mempunyai laboratorium komputer. Keadaan ini menunjukkan kesenjangan digital di-karenakan punya dan tidak punya akses ke internet. Mengutip keyakinan kaum teknolog maka keadaan ini akan menyebabkan kesenjangan dalam pengadopsian internet oleh kalangan pendidikan di SLTA, khususnya para siswa SMK swasta.

16


(42)

Perbedaan pengadopsian Internet juga dipengaruhi oleh persepsi siswa SMK swasta sebagai pengguna (Internet Users). Di satu sisi siswa melihat internet sebagai bagian dari tugas sekolah, sehingga faktor koneksitas internet sekolahnya menjadi kendala. Di sisi lain, siswa sebagai pengguna internet tidak lagi mem-posisikan diri sebagai objek seperti dalam teori jarum hipodermik, namun juga sebagai pengguna aktif. Menilik Teori Uses and Gratifications yang digagas Elihu Katz, pengguna media sangat selektif untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi.

Tidak seperti televisi, radio ataupun suratkabar, internet sebagai new media lebih condong ke arah yang dimaksudkan teori Uses and Gratifications. Siswa mungkin mengadopsi internet lebih banyak dikendalikan oleh faktor-faktor kebutuhan personal seperti memperluas teman sebaya, mendapatkan hiburan, sebagai gaya hidup, ingin menjadi kosmopolit menjadi warga dunia. Karena itu, walaupun di sekolahnya tidak terkoneksi ke internet, tetapi tidak menjadi kendala dalam hal memanfaatkan internet sebagai new media.

Hal yang ingin dicapai penulis selanjutnya adalah menganalisis tipologi penggunaan internet oleh siswa berdasarkan user dan manipulator (Turkle : 1995). Pemetaan tipologi ini menjadi penting supaya pemerintah, praktisi pendidikan dan pihak yang berkepentingan dapat mengetahui letak kesenjangan dan dapat melakukan usaha untuk meminimalisirnya. Lebih lanjut, tipologi ini juga bertujuan untuk melihat apakah kesenjangan terjadi bukan hanya karena punya atau tidak punya akses, namun juga motivasi siswa sendiri untuk mengakses di luar sekolahnya (lihat Van Dijk : 2005).


(43)

1. Bagan Kerangka Pikir17

17

Dengan berbagai modifikasi dari Paradigma Uses & Gratifications Model Elihu Katz, Gurevitch & Haas, serta tipologi penggunaan internet (users & manipulators) oleh Turkle (1995).

Motives

(Gratification Sought-Pencarian Kepuasan)

Uses

(Penggunaan/

Pola Adopsi)

Gratifications

(Gratification Obtained-Pemerolehan Kepuasan)

Internet Users Typology

(Tipologi Pengguna Internet)

Users:

Only consumes the technology

(Mobile & Gadgets users, etc)

Hanya mengonsumsi teknologi (pengguna alat informasi, aksesnya yang mudah

menggunakan internet tapi tak dirasakan sebagai kebutuhan)

Manipulators:

both consumes and produces the media content

(Deep users and heavy adopter) Mengonsumsi dan memroduksi isi media (pengguna berat dan mendapatkan kepuasan dari adopsi internet)

Digital Divide

(Kesenjangan Digital)


(44)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketika Profesor Amerika Daniel Bell dan futurolog Jepang Yoneji Masuda memprediksi datangnya era informasi pada tahun 1970-an, banyak orang tidak menyangka bahwa pada suatu masa manusia akan masuk dalam suatu dunia baru yang disebut masyarakat informasi global (global information society). Daniel Bell menamakan era baru (new era) ini sebagai masyarakat pascaindustri yang mengandalkan perekonomian pada produksi ilmu pengetahuan1.

Globalisasi informasi yang terjadi sekarang ini dimungkinkan oleh penggunaan media elektronik dalam mengirim dan menerima informasi, terutama dari segi kecepatan dan keberlanjutan dari pesan-pesan dalam berbagai bahasa. Dimulai dengan pemakaian radio, kemudian televisi dan terakhir melalui jaringan internet dimana efeknya berlangsung secara serentak memasuki ruang-ruang yang dihuni manusia. Para ahli komunikasi menyebut fenomena ini sebagai gejala time-space compression atau menyusutnya ruang dan waktu.

Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat seperti dunia maya atau internet, menimbulkan implikasi sosial dan budaya (Johan P. Wisok, 2007).

1

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi, Jakarta, Rajawali Pers 2009, hlm 468.


(45)

Sekarang ini semua kategori menurut social space dalam masyarakat berdasarkan umur, jenis kelamin, agama, status sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, tidak ada artinya dalam cyberspace (internet). Bahkan dengan media cetak sekalipun, internet memperlihatkan sifat revolusioner yang egalitarian. Sebuah suratkabar misalnya bisa memuat sebuah tulisan jika ditulis oleh seseorang yang mempunyai reputasi tinggi. Hal ini tidak berlaku dalam internet, karena siapa saja bisa mengirim informasinya ke dalam cyberspace. Di sini terlihat bahwa internet berperanan sebagai the great equalizer. Oleh para teknolog, internet didefinisikan sebagai jaringan komunikasi global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local/wide area network) dan komputer pribadi (stand alone), yang memungkinkan setiap komputer yang terhubung kepadanya dapat melakukan komunikasi satu sama lain (Brace, 1997)2.

Internet dalam waktu yang relatif singkat semenjak pertama kali terbuka peng-gunaannya untuk pemakaian umum pada tahun 1986, jaringan komunikasi ini telah merambah dengan kecepatan luar biasa ke seluruh pelosok dunia tak terkecuali Indonesia. Pada tahun 1999 lebih dari 100 juta orang (di seluruh dunia) menggunakan Internet dan jumlah tersebut masih terus akan bertambah, seiring dengan bertambahnya kesadaran orang akan perlunya informasi dan semakin banyaknya kemudahan-kemudahan yang bisa didapat melalui internet. (Hardjito; Internet Untuk Pembelajaran)3. Kegiatan berinternet akan bertambah dua kali lipat setiap 100 hari, dan diperkirakan setelah tahun 2005 sebanyak 1 miliar

2

Harris Fazlurrahman, http://curhatpendidikan.blogspot.com/2008/07/analisis-teoritik-hubungan-penggunaan.html diakses 14/09/2009

3

http://nayel.multiply.com/journal/item/11?&item_id=11&view:replies=reverse diakses 14/09/2009


(46)

penduduk dunia akan tergabung dan terhubung satu sama lain melalui jaringan Internet.

Indonesia telah terkoneksi pada internet global mulai tahun 19944 sebagai hasil dari komunitas penelitian dan akademik, hingga tahun 2005 menurut data Asosiasi Pengguna Jasa Indonesia (APJII) jumlah pemakai mencapai 16.000.000 orang dengan jumlah pelanggan internet sebanyak 1.500.000 (18 Mei 2008). Pada September 2009 menurut Internet World Stats ada 30 juta pengguna internet di Indonesia. Namun bila dibandingkan dengan negara-negara lain, utamanya adalah negara ASEAN, tingkat penetrasi penggunaan internet di Indonesia sangat ketinggalan, hanya mencapai 12,5% dari populasi. Bila dibandingkan dengan Brunei Darussalam yang mencapai 55,5%, kemudian 65,7% pengguna Internet di Malaysia, 72,4% di Singapura, 24,4% penduduk Thailand, dan 24,8 % di Vietnam. Indonesia jelas ketinggalan dalam hal penggunaan Internet. Padahal pemerintah dalam target Millenium development Goals (MDGS) menetapkan 59% penduduk mengakses internet pada tahun 2015.

Terlebih lagi adopsi internet dalam dunia pendidikan. International Telecommunication United (ITU) melaporkan hingga tahun 2000 tercatat hanya 1800 sekolah yang terkoneksi ke internet. Sampai tahun 2007 baru 10.000 dari 220.000 sekolah yang telah terkoneksi ke internet atau 4,5% persen saja (ISODEL, 2007). Keadaan ini akan menyebabkan adanya kesenjangan digital yang didefinisikan sebagai pemisah (gap) antara siapa yang punya dan tidak punya akses kepada internet dan komputer. Dalam definisi tersebut, akses berarti

akses secara fisik yaitu punya komputer personal dan koneksi internet. ‘Punya’

4


(47)

dan ‘tidak punya’ menyebabkan ketidakseimbangan (inequality) dalam hal manfaat.

Orang yang tidak menggunakan teknologi digital akan kehilangan banyak kesempatan (opportunity) dan tersingkir dari masyarakat. Issue kesenjangan digital tersebut meliputi gap pengetahuan, computer literacy, dan gap dalam partisipasi di masyarakat informasi. Dengan demikian, dalam dunia pendidikan kesenjangan digital akan menyebabkan kesenjangan dalam memanfaatkan internet, yang pada akhirnya menyebabkan disparitas mutu pendidikan.

Namun penelitian yang dilakukan oleh APJII (2005), Guo Ling (2007) dan Horigan (2007) mengungkapkan bahwa penggunaan internet didominasi generasi muda. Mereka (generasi muda) ini tidak hanya menggunakan internet untuk memperoleh pengetahuan, hiburan, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang sifatnya hanya menggunakan secara pasif tetapi juga secara aktif mengekspresikan diri melalui internet. Horigan mengelompokkan pengguna generasi muda ini sebagai ciri pengguna masyarakat informasi.

Penelitian APJII, Guo Ling dan Horigan juga menggambarkan adopsi internet yang tidak sama walaupun aksesnya sama. Faktor usia, gender, kondisi sosial ekonomi bahkan budaya mempengaruhi bagaimana seseorang menggunakan internet. Fatul Wahid (2007) menemukan bahwa perempuan lebih rendah dalam mengakses internet.

Karena itu menurut Jan A.G.M. Van Dijk (2005) bahwa digital divide bukanlah

sekedar “punya” dan “tidak punya” akses kepada media digital baru—utamanya komputer dan internet—tetapi merupakan fenomena multiproses orang mengakses


(48)

media, yaitu motivasi, keterampilan, penggunaan (usage) dan konsekuensinya secara sosial, ekonomi, maupun politik. Artinya, bisa saja kondisi akses sama tetapi pengadopsian berbeda seperti ditemukan pada penelitian empiris di atas (Guo Ling, Horigan, Fatul Wahid), atau karena akses yang berbeda (punya dan tidak punya) yang menyebabkan adopsi dan penggunaan yang berbeda. Hal senada diungkapkan oleh Karen Wade dari Project T.E.C.H, bahwa kesenjangan digital bukan hanya masalah punya ataupun tidak punya akses ke internet, tetapi juga berkaitan skill menggunakan internet secara efektif.5

Turkle (1995) dalam melihat penggunaan internet, menggambarkan dua fokus subkultur penggunanya, yaitu; user dan manipulator. Tipologi pengguna Internet dibedakan menurut users dan manipulators.

“The User approach focuses on the consumption of the technology, whereas the Manipulator approach the emphasizes both consumption and production of media content…”

Pendekatan ini paling tepat dan mampu mendeskripsikan tipologi penggunaan internet siswa SLTA khususnya SMK swasta yang menjadi fokus penulis dalam karya ilmiah ini. User & Manipulator sebagai skill siswa dalam pola adopsi atau penggunaan internet dengan melihat perbedaan infrastruktur dan aksesibilitas internet di sekolah. Siswa yang terkategori user cenderung memanfaatkan internet hanya alakadarnya dan tidak menjadi kebutuhan. Siswa yang terkategori manipulator memiliki kecenderungan lebih banyak mengakses internet karena fasilitas (akses) yang dimiliki dan dirasakan sebagai kebutuhan pokok.

5

Karen Wade, What Digital Divide Means To You? Courtesy Youtube: Internet for Everyone.org, www.freepress.net


(49)

Kota Bandar Lampung kini memiliki 102 SLTA6 yang terdiri dari SMU sekolah Negeri (17 sekolah) dan Swasta (35 sekolah), Madrasah Aliyah (MA) negeri (2 sekolah) dan swasta (11 sekolah), serta sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri (7 sekolah) dan swasta ( 32 sekolah), yang berbeda koneksinya ke internet.

Ada sekolah yang telah terkoneksi ke internet (kabel dan nirkabel), laboraturium komputer maupun kelasnya. Ada yang hanya terkoneksi di laboratorium komputer saja (dalam jumlah yang cukup). Ada yang terkoneksi di laboratorium dalam jumlah yang tidak cukup sehingga pelajaran internet hanya berupa demonstrasi saja. Ada yang tidak terkoneksi ke internet tapi memiliki laboratorium komputer, bahkan ada yang tidak mempunyai laboratorium komputer sama sekali.

Keadaan ini menunjukkan kesenjangan digital dikarenakan punya dan tidak punya akses ke internet. Beberapa sekolah yang mempunyai program Sekolah Berstandar Internasional (SBI) sekolahnya terkoneksi ke internet. Sementara di sekolah lain, implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)-nya dalam kurikulum beragam, ada yang memiliki laboratorium komputer tetapi tidak terkoneksi, ada yang mempunyai laboraturium komputer yang jumlah dan kualitas sarananya sangat tidak memadai, bahkan tidak mempunyai komputer sama sekali. Keadaan ini dapat menyebabkan kesenjangan digital (digital divide), yang didefinisikan oleh Sciadas (2002) sebagai:

...as the gap between information and communications technology (ICT) “haves” and “have-not”.

6


(1)

Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMAN 1 Bandarlampung, bertepatan dengan peringatan ke-50/ulang tahun emas sekolah. Di tahun yang sama, setelah mengikuti ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) dengan Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) 0316031044.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja lapangan (PKL) sebagai reporter di Suratkabar Harian (SKH) Lampung Post pada Februari - April 2008. Penulis sempat menjadi host program religi di beberapa stasiun TV lokal; SigerTV dan TegarTV, serta host program Mutiara Pagi di Star Radio 106,7 FM. Pada masa semester akhir, penulis juga sempat bekerja paruh waktu (freelance) di bagian design & layout percetakan Media Konsultan (MK) Bandar Lampung.

Organisasi yang pernah penulis tekuni dan paling berkesan selama menjadi mahasiswa adalah Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Unila. Selain itu penulis juga pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Komunikasi FISIP Unila, Forum Studi Pengembangan Islam (FSPI) FISIP Unila, Group Ngaji Kreatif (GeNK) Palestine, GEMA Pembebasan, Forum Bedah Buletin Al-Islam, Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK), Bengkel Jurnalisme dan kini Hizbut Tahrir Indonesia.

Penulis sempat mengikuti Kongres Mahasiswa Islam Indonesia (KMII) oleh BKLDK pada 18 Oktober 2009 selama sehari di lapangan Basket Hall Gelora Bung Karno, Jakarta. Lebih dari 5.000 orang mahasiswa/i dari Aceh hingga Papua berkumpul menyatukan tekad menegakkan syariah dan khilafah.


(2)

Sembari harap-harap cemas memasuki tahun ketujuh, menatap wajah kedua orangtua penulis tersadar akan hakikat eksistensinya di Unila. Usaha terus dilakukan menggapai tujuan amanat, mengejar asa dan meraih mimpi. Menutup sementara kotak petualangan. Sejenak meyakinkan diri bahwa di balik hari esok pun perjuangan setelah lulus kuliah belumlah usai. Skripsi ini digarap dengan semangat membara didukung para dosen dan teman-teman satu tim yang tersisa. Hanya satu kata yang mungkin dapat terucap dalam doa. Melewati akhir dari sebuah permulaan; Wisuda!


(3)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah S.W.T, Penguasa alam semesta, kehidupan, dan manusia. Tiada daya dan upaya serta kekuatan yang penulis miliki untuk menyelesaikan skripsi ini, selain berkat daya, upaya dan kekuatan yang dianugerahkan-Nya. Shalawat beriring salam semoga selalu Allah curahkan kepada qudwah hasanah, pengemban serta penyampai ideologi Islam kepada seluruh ummat manusia, yaitu Sayyid al-Anbiya wa 'al-Mursalin Rasulullah Muhammad S.A.W.

Karya ilmiah berjudul ‘ANALISIS TIPOLOGI PENGGUNAAN INTERNET DI KALANGAN SISWA SMK SWASTA’ (Studi Pada SMK 2 Mei Bandarlampung, SMK Bhakti Utama Bandarlampung, dan SMK Bhinneka Bandarlampung Tahun Pelajaran 2009/2010) ini merupakan syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar sarjana di Universitas Lampung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi.

Tema penelitian yang diangkat dalam skripsi ini bagian dari proyek penelitian tim dosen Dra. Ida Nurhaida, M.Si., Dhanik Sulistyarini, S.Sos, M. Comm & Med. Std, Dr. Riswanti Rini, M.Si, dan Dr. Herpratiwi, M.Si, tahun 2009 dengan judul DIGITAL DIVIDE, ADOPSI DAN TIPOLOGI PENGGUNAAN INTERNET DI KALANGAN PENDIDIKAN (Studi Dampak Implementasi Teknologi Informasi Komunikasi di SLTA Kota Bandar Lampung).


(4)

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna sehingga saran dan bimbingan sangat penulis harapkan agar karya ilmiah ini dapat bermanfaat di masa depan. Dalam rangkaian proses penulisan skripsi ini penulis telah melibatkan dan merepotkan banyak pihak, orang-orang baik yang berjasa bagi penulis;

Peranan Ibu Dr. Riswanti Rini, M.Si. dan Ibu Dra. Ida Nurhaida, M.Si., selaku Pembimbing Skripsi dan Pembahas/Penguji Skripsi ini teramat banyak untuk di-ungkap. Mereka berdua dengan segala ketulusan memberikan bimbingan, arahan, dukungan dan nasihat berharga pada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Tanpa peran mereka berdua, skripsi ini mungkin akan menjadi skripsi yang jauh dari kriteria sebuah skripsi yang layak. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan, serta terimakasih yang tak terhingga dari penulis untuk mereka.

Selain itu, tak lupa penulis ingin ucapkan terimakasih banyak kepada Bapak Drs Hi Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Lampung, Bapak Drs. Sarwoko, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Tony Wijaya, S.Sos, M.A, dan Bu Anna Gustina, S.Sos, M.Si. selaku dosen Pembimbing Akademik, Pak Margono, Pak Ces, Pak Ibe, Pak Firman, Bu Dhanik, Bu Nina, Bu Bangun, Pak Piping, Pak Hartono, seluruh staf pengajar jurusan Ilmu Komunikasi, serta seluruh staf akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Mereka secara langsung maupun tidak telah memberikan banyak dorongan dan dukungan, selama penulis menempuh masa studi di kampus Unila.

Terimakasih pula untuk seluruh adik-adik siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini, juga pada Bapak Kisworo (SMK 2 Mei), Mbak Nancy (SMK Bhakti Utama) dan Pak Poniman (SMK Bhinneka) yang telah membantu jalannya penelitian mulai dari pra-riset 12 Januari 2010 hingga riset 12 Maret 2010 ini.


(5)

Seluruh kakak-adik Komunikasi, juga Angkatan 2003 yang tersisa; Hamidah, Ningrum, Yulia B, Erna, Sigit, Bambang, Anton, Loudy, keep the spirit! Kawan seperjuanganku menuju wisuda; Radiansyah, Heru, Ricky, Gito, Kris, Rica, Okta. Kalian telah membuktikan pada penulis arti dari ‘man jadda wajada’...

Alumni, pengurus dan magang UKPM Teknokra; Maaf tak sempat disebutkan namanya, banyak kenangan di Pojok PKM yang susah dilukiskan oleh kata-kata. Angkatan 26 Teknokra; Padli, M Reza, Suci GP, Hendy, Taufik, Iskandar, Hanafi, Riki, Anastasia, Linda, Habib, Dian, Nash, Asri, kita semua sahabat selamanya. Tetaplah berpikir merdeka!

Jazakallah khairan katsir untuk para syabab Hizbut Tahrir, ikhwan & akhwat FSPI, kerabat kerja Lampost, Tribun, TegarTV, SigerTV, StarFM dan MK+OC. Untuk orang-orang yang telah menjadi sumber inspirasi bagi pemikiran penulis, yaitu Rasulullah S.A.W, Para Khalifah Rasyidah, Muhammad II (Al-Fatih), Taqiyuddin An-Nabhany, Sayyid Qutb, Malcolm X, Maryam Jameela (Margareth Marcus), Prof. Dr. Hassan Ko Nakata, HOS Tjokroaminoto, HAMKA.

Adik-adikku yang kusayangi; Randy, Ricky, Rayhan & Fadhly, terima kasih atas semangat tiada tara yang kalian berikan. Selaksa rasa cinta, terimakasih dan doa penulis ucapkan pada Mama dan Papa yang telah bersabar menunggu saat-saat yang berbahagia seperti saat ini. Sungguh, penulis tak akan pernah bisa membalas parade ketulusan dan karnaval pengorbanan yang telah mereka berdua curahkan kepada penulis. Ibunda Sri dan Ayahanda Husain adalah pahlawan sejati yang pernah penulis kenal dalam hidup ini secara nyata. Seluruh siang dan malam telah mereka habiskan secara total untuk mewujudkan keberhasilan penulis. Untaian doa, tetesan peluh dan perasan tenaga yang mereka curahkan menjadi bukti bahwa


(6)

penulis bukanlah apa-apa dan tak akan pernah menjadi apa-apa tanpa mereka berdua. Allah, Engkau Maha Tahu apa yang mereka perbuat, dan Engkau Maha Tahu apa yang akan mereka dapat. Semoga Engkau berkenan membahagiakan mereka berdua di dunia dan akhirat.

Sekali lagi, terimakasih pada semuanya, atas segala bimbingan, dukungan, bantuan dan doa kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di kampus hijau Unila, almamater tercinta. Semoga Allah S.W.T membalas semua kebaikan itu dengan pahala yang berlipat ganda. Amin.

Walhamdulillahirabbil’alamin

Bandarlampung, 5 Agustus 2010 Penulis