Komodifikasi Anas Urbaningrum di Televis
Komodifikasi Anas Urbaningrum di
Televisi
K
melibatkan
omodifikasi menghampar di seluruh program televisi. Ia
menjelma dalam berbagai bentuk program televisi, baik
program hiburan maupun program berita. Termasuk,
dalam
mantan
pengerangkaan
Ketua
Umum
realitas
DPP
kasus
Partai
korupsi
yang
Demokrat
Anas
Urbaningrum?
Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx
sebagai “ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata
itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan
dibandingkan tujuan-tujuan lain [Burton: 2008]. “Dalam studi media,
determinasi ekonomi mewujud dalam perspektif yang melihat media
semata-mata sebagai capitalist venture. Fungsi-fungsi ideologi di balik
beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai faktor sekunder,”
tegas Oscar H. Gandy Jr [1997].
Dalam penjelasan tentang ekonomi politik (komunikasi), Vincent
Mosco [2009] menyejajarkan komodifikasi dengan spasialisasi dan
strukturisasi. Komodifikasi diartikan sebagai proses transformasi nilai
1|syaiful HALIM
guna menjadi nilai tukar, sedangkan spasialisasi mengarah pada
persoalan teknologi sebagai infrastruktur untuk mengatasi kendala
geografis dan strukturisasi mempertegas keberadaan proses hubungan
sosial di antara kelas sosial, gender, dan ras.
Baran dan Davis [2009] juga menyinggung persoalan fetisme
komoditas
atau
pemujaan
terhadap
komoditas—istilah
yang
dikemukakan Karl Marx, yang menunjukkan keterkaitan produk buruh
dengan
produk
komoditas—dalam
konteks
komodifikasi.
Proses
komodifikasi didefinisikan sebagai proses transformasi menggunakan
nilai-nilai hidup yang digunakan manusia—menjadi nilai yang bisa
ditukarkan, seperti nilai tukar mata uang Dollar. Transformasi nilai
produk ditentukan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan individu
dan sosial. Komodifikasi menghilangkan produk dari konteks sosial
yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam
segi bisnis dan ideologi nilai “pasar bebas”.
Jauh sebelumnya, Georg Lukács (1885-1971) dalam History and
Class
Consciousnes
menjelaskan
bahwa
kapitalisme
menguasai
seluruh dimensi kehidupan masyarakat sehingga interaksi dalam
kehidupan masyarakat ini selalu ditandai oleh pemiskinan makna hidup
yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi kemanusiaan
dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat yang
mampu memaknai kebebasan dirinya kemudian diganti oleh adanya
2
aktivitas pertukaran nilai uang yang secara objektif menimbulkan
keterasingan hidup. Proses ini disebut komodifikasi.
Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga
aspek konsentrasi komodifikasi, yakni isi media, khalayak, dan pekerja.
Menurut saya, tiga aspek yang ditawarkan Mosco itu merupakan
“kendaraan” untuk mendekati dan memahami perspektif komodifikasi
dalam industri media. Transformasi pesan menjadi produk yang bisa
diterima pasar menjadi konsep kunci Mosco. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, konsep kunci itu bisa diartikan sebagai perlakuan atas isi
media sebagai komoditas yang bisa diterima pasar.
Graeme Burton mengartikan interaksi media dan khalayak
sebagai hubungan pedagang dan pembeli. Media adalah pedagang
yang juga memproduksi dan mendistribusikan produk bernama pesan,
sedangkan khalayak merupakan pembeli dan penikmat produk itu.
John Fiske [2010] juga memiliki catatan yang sama tentang
komodifikasi isi media, “Kapitalisme adalah sebuah sistem, yang di
atas semua yang lain, menghasilkan berbagai komoditas, sehingga
membuat
komoditas
seolah-olah
hal
yang
alami
pada
jantung
kebanyakan praktik ideologisnya. Kita belajar untuk memahami hasrat
kita dalam artian komoditas yang diproduksi untuk memenuhi hasrat
tersebut; kita belajar untuk berpikir atas permasalahan kita dalam
artian komoditas yang digunakan untuk mengatasi permasalahan
3
tersebut.”
Semua
kritik
itu
bersumber
dari
satu
masalah,
pesan
ditransformasikan sebagai komoditas atau produk. Bahkan, pesan itu
harus
bisa
memenuhi
hasrat
dan
mengatasi
permasalahan
“pembeli”nya. Dan, Idi Subandy Ibrahim [2011] memastikan bahwa
logika komersialisme dan komodifikasi itu telah menjadi cara berpikir
para pengelola pers dalam kegiatan jurnalistiknya. “Pers diarahkan
sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating.
Dalam logika budaya seperti ini jelas sulit kita menempatkan
kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan
kuasa,” keluhnya.
Tentang komodifikasi khalayak, Mosco mendasarkannya pada
pengujian yang dilakukan
oleh Nicholas Garnham atas prinsif
komodifikasi media, yakni produksi langsung produk media dan
penggunaan media untuk menyempurnakan proses komodifikasi. Dari
arah berbeda, Dallas Smythe (1977) mengadopsi batasan itu untuk
menunjukkan bahwa khalayak merupakan komoditas utama media
massa.
Media massa merupakan bagian dari proses yang melihat
perusahaan media memproduksi khalayak untuk diantarkan kepada
pengiklan. Para perancang program di media membuat programprogram menarik untuk menarik minat khalayak. Dan, menurut
4
Smythe, itu lebih dari sekadar "makan siang gratis". Karena pada
intinya, para programmer mengikat penonton untuk bertahan di
kanalnya
sambil
menikmati
iklan-iklan
yang
dihidangkan.
Pada
akhirnya, keberadaan para penonton itu menjadi komoditas yang
ditawarkan
kepada
pengiklan.
Karena
keberadaan
penonton
itu
memperlihatkan segmentasi, target, dan positioning sebuah kegiatan
pemasaran. Dan para pengiklan membeli dan mengisi jeda iklan
dengan iklan-iklan produk didasarkan pada perhitungan segmentasi,
target, dan positioning pemasaran tadi. Berdasarkan asumsi tersebut,
sesungguhnya khalayak juga merupakan “pekerja” dan kiprahnya
menjadi bagian dari kegiatan “produksi” isi media. Ia dikondisikan agar
senantiasa menjadi bagian dari komoditas media, karena ia menjadi
penentu lahirnya rating dan share bagi televisi.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Philip Smith, khalayak—Karl
Marx
menyebutnya
masyarakat—tidak
lagi
dipandang
sebagai
kehidupan bersama yang berciri sosial, melainkan dilihat semata-mata
sebagai modal bisnis, yaitu aset pasar yang dapat menyerap produkproduk yang dihasilkan industri-industri mereka. Dan situasi itu sangat
memungkinkan, karena menurut Baudrillard dalam Consumer Society
[1998], kita hidup dalam era di mana masyarakat tidak lagi didasarkan
pada pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model
Marxisme), melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang
signifikansinya
sewenang-wenang
(arbitrer)
dan
tergantung
5
kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya sebagai
“kode” (the code).
Dalam kaitan pengujian komodifikasi isi media dan komodifikasi
khalayak, menurut Mosco, ada kecerderungan mengabaikan aspek
komodifikasi
pekerja
dan
proses
produksi.
Mosco
menunjukkan
pemikiran Vraverman (1974) yang berupaya mengakhiri pemarjinalan
itu. Pekerja diasumsikan bukan lagi bagian dari kesatuan konsep. Ia
juga bukan perancang karya. Bahkan, ia bukan tenaga pelaksana.
Dalam proses komodifikasi, konsep dipisahkan dari eksekusi dan
keahlian
dipisahkan
Komodifikasi
dari
terkonsentrasi
kemampuan
pada
melaksanakan
kekuatan
konseptual
pekerjaan.
di
kelas
manajerial sebagai perwakilan pemodal. Pada akhirnya, komodifikasi
menjadikan pekerja sekadar koresponden, dengan distribusi baru dari
keahlian dan kekuatannya dalam berproduksi. Lebih ekstrim lagi,
pekerja diasumsikan layaknya penonton.
Pemaparan Mosco tentang komodifikasi pekerja mengingatkan
saya pada pemikiran Karl Marx dalam Das Kapital (volume pertama,
1867)—seperti dikutip Bima Saptawasana dan Haryanto Cahyadi dalam
Kebudayaan sebagai Kritik Ideologi: Diteropong dari Perspektif para
Eksponen neo-Marxisme. Dalam buku tersebut Marx menjelaskan
bahwa dari keterasingan manusia sebagai manusia dan status dirinya
sebagai pekerja atas buruh pabrik mengakibatkan dampak budaya
6
yang lebih parah: manusia sekadar menjadi buruh pabrik (proletar)
yang tidak lagi semata-mata terasing dari dunia keberadaan dirinya
sebagai
manusia,
melainkan
sekadar
menjadi
alat
produksi
kapitalisme. Georg Lukács menyebutkan kondisi itu sebagai reifikasi,
yakni proses merosotnya dimensi manusia yang utuh menjadi benda
belaka: manusia kehilangan jati dirinya sebagai subjek pelaku (agent)
bagi
dirinya
sendiri
karena
lenyapnya
kreativitas—konsep
itu
dikembangkan Lukács dengan mengaitkan konsep rasionalisasi Max
Weber dan konsep fetisisme komoditi Karl Marx.
L
antas,
bagaimana
dengan
perayaan
kasus
korupsi
yang
melibatkan Anas Urbaningrum di televisi?
Tak
bisa
dipungkiri,
pekan-pekan
terakhir
ini
nama
Anas
Urbaningrum menjadi “mitos” yang tengah dilanggenkan ranah
jurnalisme televisi di Tanah Air. Nama itu nyaris setiap jam mengisi
rundown program-program teresterial di seluruh stasiun televisi swasta
nasional, dengan berbagai framing dan pengemasan.
Anas Urbaningrum menjadi newsmaker bukan hanya terkait
kecerdasannya sebagai politisi muda dari sebuah partai pemenang
pemilu, tapi juga keterkaitannya dengan kasus korupsi terpopular yang
menjerat banyak nama di partainya, juga gerakan politis pasca-
7
mundur sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat dan intro-intro
“nyanyian”nya yang menggoda iman para pengelola media. Dalam
sekejap, media pun menghembuskan persoalan baru di luar konteks
Koruspsi Hambalang.
Di luar itu semua, media (atas nama khalayak) sangat berharap
banyak, ia bisa menjadi kunci untuk mengungkap selubung korupsi di
partainya, orang-orang kuat di partainya, bahkan tokoh-tokoh kuat di
pemerintahan. Plus, kalau boleh berhitung-hitungan politis, ada juga
jawaban soal nasib Partai Demokrat dan calon presiden yangbakal
diusung pada pemilu mendatang. Karena itu, ia dan orang-orang di
sekelilingnya, kawan atau lawannya, atas nama framing, mendapatkan
kesempatan lebih untuk dikutip seluruh opininya dalam wawancara
secara doorstep atau acara-acara talkshow.
Para produser tidak ragu-ragu untuk menambah durasi kutipan
dari di bawah 20 detik (standar durasi sound bite yang umumnya
diberlakukan) menjadi lebih panjang dibandingkan durasi biasanya.
Narasi seakan dianggap tidak mampu menggantikan kutipan itu.
Bandingkan dengan hasil penelitian Daniel Hallin yang menyinggung
pergeseran durasi “cuplikan suara” dari 60 detik pada 1968 menjadi
8,5 detik pada 1988 [Kitlet: 2000]. Penambahan durasi sound bite itu,
menurut saya, menyimpan kepentingan tertentu. Yang paling kentara,
tentu saja nilai jual para “aktor” di sekitar kasus korupsi tersebut!
8
Dalam bahasa berbeda, pemikir postmodernis Jean Baudrillard
menyebutnya sebagai transparansi kejahatan (transparency of evil) di
era media, yakni situasi ketika para aktor yang diduga kuat sebagai
bagian dari pelaku konspirasi itu justru diberi ruang bersuara lantang
pada jam-jam tayang utama (prime time) dan mengisi waktu luang
dalam ruang keluarga. Dan Idi Subandy Ibrahim mendeskripsikan
situasi itu sebagai sebuah potret absurd bagaimana logika drama dan
informasi politik telah berbaur di dalam logika industri infotainment
yang membuat tayangan dan kejahatan harus dikemas dalam format
hiburan agar menarik pemirsa, dan dengan demikian berarti pula
meningkatkan rating dan menambah pemasukan iklan.
Alih-alih kemeriahan itu menghadirkan kejelasan akan kasus
korupsi dan konteks di baliknya, khalayak justru makin dibuat bingung
dengan keberlimpahan komunikasi itu. Karena, di era simulacrum ini
sesungguhnya khalayak bukan hanya berhubungan dengan media
televisi untuk mendapatkan informasi itu, tapi juga media cetak dan
media online. Bahkan, jejalan info-info dari situs-situs jejaring sosial
dan pertemanan. Meski demikian, hal itu tidak serta-merta membuat
media televisi berhenti memproduksi berita dan program-program
nonteresterial bertemakan korupsi yang melibatkan para “actor” itu,
sekaligus
mempertarungkannya
dengan
berbagai
program
yang
menghibur dan sensasional lainnya.
9
“Pemberitaan di seputar perseteruan hukum dan skandal politik
tingkat tinggi adalah pemberitaan yang sarat sensasi dan kontroversi.
Media televisi akan berupaya melakukan politik sensasi ini dengan
harapan
khalayak
semakin
tertarik
dan
pada
gilirannya
rating
meningkat,” sindir Idi Subandy Ibrahim.
Bahwa situasi sosiokultural yang menghimpun metafora media,
sejarah media, sistem politik, regulasi pemerintah, dan kondisi sosial
masyarakat, menjadi asupan-asupan utama bagi kelompok-kelompok
usaha pemilik media yang tergabung dalam sebuah konglomerasi, juga
pada industri media dan khalayak. Pada praktiknya, visi dan kekuatan
konglomerasi menjadi invicible hand di balik seluruh kegiatan industri
media. Pada akhirnya, hegemoni yang dimetamorfosiskan dalam
bentuk ekonomi politik media itu diimplementasikan dalam bentuk
target perusahaan (baca: peraihan keuntungan). Dalam bahasa yang
lebih sederhana, hal itu diterjemahkan media sebagai orientasi kepada
khalayak (konsumen). Berdasarkan pijakan pemikiran itu, media pun
harus membuka ruang selebar-lebarnya pada strategi komodifikasi,
dimulai dari khalayak, organisasi (ruang redaksi), pekerja (para
jurnalis), dan teks televisi (kasus-kasus korupsi), untuk ditawarkan
kepada khalayak.
Barker [2012] menandai situasi itu sebagai model hegemonik,
yang memberikan penegasan bahwa ideologi dalam berita diyakini
10
bukan sebagai akibat dari intervensi langsung oleh pemilik atau
bahkan bukan suatu usaha manipulasi secara sadar oleh para
wartawan, melainkan akibat dari sikap rutin dan praktik kerja para staf.
Wartawan
berita
mempelajari
konvensi-konvensi
dan
kode-kode
tentang “bagaimana harus melakukan”, mereproduksi ideologi sebagai
suatu pendapat umum (common sense).
Pada akhirnya, strategi komodifikasi terkait kasus-kasus korupsi
itu pun menjelmakan hiperealitas dan deaktualisasi. Atau, lebih
tepatnya deaktualisasi di seluruh elemen: khalayak yang kritis,
lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, para jurnalis televisi, dan
teks televisi itu sendiri (hiperrealitas). Artinya, perayaan realitasrealitas antikorupsi di televisi itu harus ditulis dengan tanda petik,
“antikorupsi”, karena hal sesungguhnya sekadar drama dan tebaran
hiburan berselubung program berita. Artinya lagi, khalayak tidak akan
memperoleh
kejelasan
yang
sejelas-jelasnya,
apalagi
seobjektif-
objektifnya, dari kasus-kasus korupsi melalui penayangan berita-berita
di televisi. Karena, televisi adalah ruang hampa yang sekadar
memperkenalkan mitos-mitos, yang akan sangat jauh membawa
khalayak ke alam yang tercerahkan.
Lebih jauh, Barker mengurai paradoks itu sebagai berikut: bahwa
teks utama televisi, produksi berita menempati posisi yang strategis
dalam debat tentang televisi dalam konteks pengaruh yang diduga,
11
dan sering kali ditakuti, terhadap kehidupan publik. Di sisi lain, berita
dianggapnya bukan lagi “jendela dunia” yang tanpa perantara,
melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang
membentuk “realitas”.
Dalam situasi seperti itu, menurut John McManus dalam MarketDriven Journalism: Let the Citizen Beware? (1994), tekanan pasar yang
menggerakkan seluruh logika praktik berita mendesak idealisme
profesi jurnalisme ke pinggir perbincangan dan etika jurnalistik disorot
hanya ketika ada kasus-kasus besar seperti yang melibatkan kalangan
pejabat di seputar kekuasaan. Artinya, perayaan realitas kasus
koruopsi yang melibatkan Anas Urbaningrum di televisi adalah
paradoks
dalam
dunia
jurnalisme
dan
sekaligus
memarjinalkan
kesakralan idealisme profesi jurnalis televisi ke tepian tanpa kharisma.
Dan, hal itu sangat terkait dengan satu kata kunci: komodifikasi.[]
12
DAFTAR PUSTAKA
Baran, Stanley J. and Davis, Dennis K. Davis. 2009. Mass
Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future.
Bonton: Wadsworth Cangange Learning.
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies: Teori & Praktik. Bantul: Kreasi
Wacana.
Boyd, Andrew. 1988. Broadcast Journalism: Techniques of Radio and
Television News. London: Focal Press.
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar
Kepada Studi Televisi. Bandung: Jalasutra.
__________. 2008. Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya
Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar
Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Eriyanto. 2007. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik
Media. Yogyakarta: LKiS.
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Edward Arnold.
Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah
Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
__________. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Halim, Syaiful. 2009. Gado-gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan
Ecek-ecek. Jakarta: Gramata Publishing.
__________. 2012. Postkomodifikasi
Tangerang: Matahati Production.
Media
&
Cultural
Studies.
13
Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertarutan
Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas.
Jakarta: Penerbit Kanisius.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan,
dan Pornografi. Yogyakarata: Penerbit Kanisius.
Ibrahim, Idi Subandy. 2011. Kritik Budaya Komunikasi; Budaya, Media
dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia.
Yogyakarta: Jalasutra.
Kitley, Philip. 2000. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Jakarta:
Lembaga Studi Pers Pembangunan dan Institut Studi Arus
Informasi.
McQuail, Dennis. 1987. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Morissan. 2009. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola
Radio & Televisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mosco, Vincent. 2009. The Policial Economy of Communication.
London: Sage Publication.
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam
Era Post-Metafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
Storey, John. 2010. Cultural
Yogyakarta: Jalasutra.
Studies
dan
Kajian
Budaya
Pop.
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta:
LKiS.
__________. 2009. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta:
LKiS.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (ed).
Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Kanisius.
2005.
Teori-teori
White, Ted. 1996. Broadcast News Writing, Reporting, and Producing.
London: Focal Press.
14
PENULIS
syaiful HALIM. Lahir di Jakarta pada 11 Desember 1967, dan
menempuh pendidikan sejak SD hingga perguruan tinggi di Jakarta.
Terakhir, menuntaskan pendidikan formal di Kampus Tercinta Institut
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi
Jurusan Ilmu Jurnalistik dan Magister Komunikasi Universitas Mercu
Buana (UMB) Jakarta Program Studi Media and Politic Communication.
Sejak di bangku kuliah aktif menulis puisi, cerpen, artikel, dan
kolom, dan dimuat di sejumlah media massa. Semasa kuliah, ia sempat
bekerja sebagai jurnalis di sebuah tabloid wanita. Setelah selesai
kuliah, ia bekerja sebagai copywriter di sebuah perusahaan farmasi
multinasional. Setahun kemudian pindah ke lingkungan sebuah industri
media televisi di Jakarta.
Pada 2003, ia mendapatkan grant dari Internews, In-Docs, dan
Broadcast Centre Universitas Indonesia untuk menggarap sebuah film
dokumenter tentang pemilu. Hasilnya adalah film dokumenter Saat
15
Menebar Mimpi yang diputar di layar Jakarta International Film Festival
(Jiffest) 2004. Tahun berikutnya, ia mendapat kesempatan untuk
mengikuti Long Documentary Scriptwritting Workshop Jiffest 2005. Di
saat bersamaan, film dokumenter Atjeh Lon Sayang yang diproduksi
bersama teman-temannya di komunitas Matahati Production diputar di
layar Jiffest 2005. Di luar kedua film itu, ia telah membuat beberapa
film dokumenter bertemakan masalah sosial dan budaya: Petualang
Cilik, Selamanya Mutiara, Cokek, The Legend of Pang Tjin Nio, Kita
selalu Bersama, Masyarakat nan Sakato, dan Dua Perempuan. Pada
1995,
ia
pernah membuat
skenario
sinetron
Deru Debu
yang
ditayangkan stasiun SCTV.
Selain sebagai praktisi televisi, ia juga mengajar di perguruan
tinggi swasta di Bandung dan Jakarta. Kerap, ia juga memenuhi
undangan untuk berbicara seputar jurnalisme televisi atau film
dokumenter. Buku yang telah diterbitkan: Gado-gado Sang Jurnalis:
Rundown Wartawan Ecek-ecek (Gramata Publishing, November 2009);
Memotret Khatulistiwa: Panduan Praktis Produksi Dokumenter Televisi
(Gramata Publishing, Juli 2010); Tayangan Video Mirip Artis: Pertaruhan
Objektivitas dan Kearifan Media (Gramata Publishing, Desember 2010);
dan Media dan Komunikasi Politik (Aspikom dan Puskombis UMB,
November 2011); Postkomodifikasi Media & Cultural Studies (Matahati
Production, Mei 2012); dan Budaya, Politik, dan Media (Matahati
Production, Mei 2012).[]
16
Televisi
K
melibatkan
omodifikasi menghampar di seluruh program televisi. Ia
menjelma dalam berbagai bentuk program televisi, baik
program hiburan maupun program berita. Termasuk,
dalam
mantan
pengerangkaan
Ketua
Umum
realitas
DPP
kasus
Partai
korupsi
yang
Demokrat
Anas
Urbaningrum?
Komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan Karl Marx
sebagai “ideologi” yang bersemayam di balik media. Menurutnya, kata
itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan
dibandingkan tujuan-tujuan lain [Burton: 2008]. “Dalam studi media,
determinasi ekonomi mewujud dalam perspektif yang melihat media
semata-mata sebagai capitalist venture. Fungsi-fungsi ideologi di balik
beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai faktor sekunder,”
tegas Oscar H. Gandy Jr [1997].
Dalam penjelasan tentang ekonomi politik (komunikasi), Vincent
Mosco [2009] menyejajarkan komodifikasi dengan spasialisasi dan
strukturisasi. Komodifikasi diartikan sebagai proses transformasi nilai
1|syaiful HALIM
guna menjadi nilai tukar, sedangkan spasialisasi mengarah pada
persoalan teknologi sebagai infrastruktur untuk mengatasi kendala
geografis dan strukturisasi mempertegas keberadaan proses hubungan
sosial di antara kelas sosial, gender, dan ras.
Baran dan Davis [2009] juga menyinggung persoalan fetisme
komoditas
atau
pemujaan
terhadap
komoditas—istilah
yang
dikemukakan Karl Marx, yang menunjukkan keterkaitan produk buruh
dengan
produk
komoditas—dalam
konteks
komodifikasi.
Proses
komodifikasi didefinisikan sebagai proses transformasi menggunakan
nilai-nilai hidup yang digunakan manusia—menjadi nilai yang bisa
ditukarkan, seperti nilai tukar mata uang Dollar. Transformasi nilai
produk ditentukan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan individu
dan sosial. Komodifikasi menghilangkan produk dari konteks sosial
yang lebih bermakna menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dalam
segi bisnis dan ideologi nilai “pasar bebas”.
Jauh sebelumnya, Georg Lukács (1885-1971) dalam History and
Class
Consciousnes
menjelaskan
bahwa
kapitalisme
menguasai
seluruh dimensi kehidupan masyarakat sehingga interaksi dalam
kehidupan masyarakat ini selalu ditandai oleh pemiskinan makna hidup
yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi kemanusiaan
dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat yang
mampu memaknai kebebasan dirinya kemudian diganti oleh adanya
2
aktivitas pertukaran nilai uang yang secara objektif menimbulkan
keterasingan hidup. Proses ini disebut komodifikasi.
Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga
aspek konsentrasi komodifikasi, yakni isi media, khalayak, dan pekerja.
Menurut saya, tiga aspek yang ditawarkan Mosco itu merupakan
“kendaraan” untuk mendekati dan memahami perspektif komodifikasi
dalam industri media. Transformasi pesan menjadi produk yang bisa
diterima pasar menjadi konsep kunci Mosco. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, konsep kunci itu bisa diartikan sebagai perlakuan atas isi
media sebagai komoditas yang bisa diterima pasar.
Graeme Burton mengartikan interaksi media dan khalayak
sebagai hubungan pedagang dan pembeli. Media adalah pedagang
yang juga memproduksi dan mendistribusikan produk bernama pesan,
sedangkan khalayak merupakan pembeli dan penikmat produk itu.
John Fiske [2010] juga memiliki catatan yang sama tentang
komodifikasi isi media, “Kapitalisme adalah sebuah sistem, yang di
atas semua yang lain, menghasilkan berbagai komoditas, sehingga
membuat
komoditas
seolah-olah
hal
yang
alami
pada
jantung
kebanyakan praktik ideologisnya. Kita belajar untuk memahami hasrat
kita dalam artian komoditas yang diproduksi untuk memenuhi hasrat
tersebut; kita belajar untuk berpikir atas permasalahan kita dalam
artian komoditas yang digunakan untuk mengatasi permasalahan
3
tersebut.”
Semua
kritik
itu
bersumber
dari
satu
masalah,
pesan
ditransformasikan sebagai komoditas atau produk. Bahkan, pesan itu
harus
bisa
memenuhi
hasrat
dan
mengatasi
permasalahan
“pembeli”nya. Dan, Idi Subandy Ibrahim [2011] memastikan bahwa
logika komersialisme dan komodifikasi itu telah menjadi cara berpikir
para pengelola pers dalam kegiatan jurnalistiknya. “Pers diarahkan
sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating.
Dalam logika budaya seperti ini jelas sulit kita menempatkan
kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan
kuasa,” keluhnya.
Tentang komodifikasi khalayak, Mosco mendasarkannya pada
pengujian yang dilakukan
oleh Nicholas Garnham atas prinsif
komodifikasi media, yakni produksi langsung produk media dan
penggunaan media untuk menyempurnakan proses komodifikasi. Dari
arah berbeda, Dallas Smythe (1977) mengadopsi batasan itu untuk
menunjukkan bahwa khalayak merupakan komoditas utama media
massa.
Media massa merupakan bagian dari proses yang melihat
perusahaan media memproduksi khalayak untuk diantarkan kepada
pengiklan. Para perancang program di media membuat programprogram menarik untuk menarik minat khalayak. Dan, menurut
4
Smythe, itu lebih dari sekadar "makan siang gratis". Karena pada
intinya, para programmer mengikat penonton untuk bertahan di
kanalnya
sambil
menikmati
iklan-iklan
yang
dihidangkan.
Pada
akhirnya, keberadaan para penonton itu menjadi komoditas yang
ditawarkan
kepada
pengiklan.
Karena
keberadaan
penonton
itu
memperlihatkan segmentasi, target, dan positioning sebuah kegiatan
pemasaran. Dan para pengiklan membeli dan mengisi jeda iklan
dengan iklan-iklan produk didasarkan pada perhitungan segmentasi,
target, dan positioning pemasaran tadi. Berdasarkan asumsi tersebut,
sesungguhnya khalayak juga merupakan “pekerja” dan kiprahnya
menjadi bagian dari kegiatan “produksi” isi media. Ia dikondisikan agar
senantiasa menjadi bagian dari komoditas media, karena ia menjadi
penentu lahirnya rating dan share bagi televisi.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Philip Smith, khalayak—Karl
Marx
menyebutnya
masyarakat—tidak
lagi
dipandang
sebagai
kehidupan bersama yang berciri sosial, melainkan dilihat semata-mata
sebagai modal bisnis, yaitu aset pasar yang dapat menyerap produkproduk yang dihasilkan industri-industri mereka. Dan situasi itu sangat
memungkinkan, karena menurut Baudrillard dalam Consumer Society
[1998], kita hidup dalam era di mana masyarakat tidak lagi didasarkan
pada pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model
Marxisme), melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang
signifikansinya
sewenang-wenang
(arbitrer)
dan
tergantung
5
kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya sebagai
“kode” (the code).
Dalam kaitan pengujian komodifikasi isi media dan komodifikasi
khalayak, menurut Mosco, ada kecerderungan mengabaikan aspek
komodifikasi
pekerja
dan
proses
produksi.
Mosco
menunjukkan
pemikiran Vraverman (1974) yang berupaya mengakhiri pemarjinalan
itu. Pekerja diasumsikan bukan lagi bagian dari kesatuan konsep. Ia
juga bukan perancang karya. Bahkan, ia bukan tenaga pelaksana.
Dalam proses komodifikasi, konsep dipisahkan dari eksekusi dan
keahlian
dipisahkan
Komodifikasi
dari
terkonsentrasi
kemampuan
pada
melaksanakan
kekuatan
konseptual
pekerjaan.
di
kelas
manajerial sebagai perwakilan pemodal. Pada akhirnya, komodifikasi
menjadikan pekerja sekadar koresponden, dengan distribusi baru dari
keahlian dan kekuatannya dalam berproduksi. Lebih ekstrim lagi,
pekerja diasumsikan layaknya penonton.
Pemaparan Mosco tentang komodifikasi pekerja mengingatkan
saya pada pemikiran Karl Marx dalam Das Kapital (volume pertama,
1867)—seperti dikutip Bima Saptawasana dan Haryanto Cahyadi dalam
Kebudayaan sebagai Kritik Ideologi: Diteropong dari Perspektif para
Eksponen neo-Marxisme. Dalam buku tersebut Marx menjelaskan
bahwa dari keterasingan manusia sebagai manusia dan status dirinya
sebagai pekerja atas buruh pabrik mengakibatkan dampak budaya
6
yang lebih parah: manusia sekadar menjadi buruh pabrik (proletar)
yang tidak lagi semata-mata terasing dari dunia keberadaan dirinya
sebagai
manusia,
melainkan
sekadar
menjadi
alat
produksi
kapitalisme. Georg Lukács menyebutkan kondisi itu sebagai reifikasi,
yakni proses merosotnya dimensi manusia yang utuh menjadi benda
belaka: manusia kehilangan jati dirinya sebagai subjek pelaku (agent)
bagi
dirinya
sendiri
karena
lenyapnya
kreativitas—konsep
itu
dikembangkan Lukács dengan mengaitkan konsep rasionalisasi Max
Weber dan konsep fetisisme komoditi Karl Marx.
L
antas,
bagaimana
dengan
perayaan
kasus
korupsi
yang
melibatkan Anas Urbaningrum di televisi?
Tak
bisa
dipungkiri,
pekan-pekan
terakhir
ini
nama
Anas
Urbaningrum menjadi “mitos” yang tengah dilanggenkan ranah
jurnalisme televisi di Tanah Air. Nama itu nyaris setiap jam mengisi
rundown program-program teresterial di seluruh stasiun televisi swasta
nasional, dengan berbagai framing dan pengemasan.
Anas Urbaningrum menjadi newsmaker bukan hanya terkait
kecerdasannya sebagai politisi muda dari sebuah partai pemenang
pemilu, tapi juga keterkaitannya dengan kasus korupsi terpopular yang
menjerat banyak nama di partainya, juga gerakan politis pasca-
7
mundur sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat dan intro-intro
“nyanyian”nya yang menggoda iman para pengelola media. Dalam
sekejap, media pun menghembuskan persoalan baru di luar konteks
Koruspsi Hambalang.
Di luar itu semua, media (atas nama khalayak) sangat berharap
banyak, ia bisa menjadi kunci untuk mengungkap selubung korupsi di
partainya, orang-orang kuat di partainya, bahkan tokoh-tokoh kuat di
pemerintahan. Plus, kalau boleh berhitung-hitungan politis, ada juga
jawaban soal nasib Partai Demokrat dan calon presiden yangbakal
diusung pada pemilu mendatang. Karena itu, ia dan orang-orang di
sekelilingnya, kawan atau lawannya, atas nama framing, mendapatkan
kesempatan lebih untuk dikutip seluruh opininya dalam wawancara
secara doorstep atau acara-acara talkshow.
Para produser tidak ragu-ragu untuk menambah durasi kutipan
dari di bawah 20 detik (standar durasi sound bite yang umumnya
diberlakukan) menjadi lebih panjang dibandingkan durasi biasanya.
Narasi seakan dianggap tidak mampu menggantikan kutipan itu.
Bandingkan dengan hasil penelitian Daniel Hallin yang menyinggung
pergeseran durasi “cuplikan suara” dari 60 detik pada 1968 menjadi
8,5 detik pada 1988 [Kitlet: 2000]. Penambahan durasi sound bite itu,
menurut saya, menyimpan kepentingan tertentu. Yang paling kentara,
tentu saja nilai jual para “aktor” di sekitar kasus korupsi tersebut!
8
Dalam bahasa berbeda, pemikir postmodernis Jean Baudrillard
menyebutnya sebagai transparansi kejahatan (transparency of evil) di
era media, yakni situasi ketika para aktor yang diduga kuat sebagai
bagian dari pelaku konspirasi itu justru diberi ruang bersuara lantang
pada jam-jam tayang utama (prime time) dan mengisi waktu luang
dalam ruang keluarga. Dan Idi Subandy Ibrahim mendeskripsikan
situasi itu sebagai sebuah potret absurd bagaimana logika drama dan
informasi politik telah berbaur di dalam logika industri infotainment
yang membuat tayangan dan kejahatan harus dikemas dalam format
hiburan agar menarik pemirsa, dan dengan demikian berarti pula
meningkatkan rating dan menambah pemasukan iklan.
Alih-alih kemeriahan itu menghadirkan kejelasan akan kasus
korupsi dan konteks di baliknya, khalayak justru makin dibuat bingung
dengan keberlimpahan komunikasi itu. Karena, di era simulacrum ini
sesungguhnya khalayak bukan hanya berhubungan dengan media
televisi untuk mendapatkan informasi itu, tapi juga media cetak dan
media online. Bahkan, jejalan info-info dari situs-situs jejaring sosial
dan pertemanan. Meski demikian, hal itu tidak serta-merta membuat
media televisi berhenti memproduksi berita dan program-program
nonteresterial bertemakan korupsi yang melibatkan para “actor” itu,
sekaligus
mempertarungkannya
dengan
berbagai
program
yang
menghibur dan sensasional lainnya.
9
“Pemberitaan di seputar perseteruan hukum dan skandal politik
tingkat tinggi adalah pemberitaan yang sarat sensasi dan kontroversi.
Media televisi akan berupaya melakukan politik sensasi ini dengan
harapan
khalayak
semakin
tertarik
dan
pada
gilirannya
rating
meningkat,” sindir Idi Subandy Ibrahim.
Bahwa situasi sosiokultural yang menghimpun metafora media,
sejarah media, sistem politik, regulasi pemerintah, dan kondisi sosial
masyarakat, menjadi asupan-asupan utama bagi kelompok-kelompok
usaha pemilik media yang tergabung dalam sebuah konglomerasi, juga
pada industri media dan khalayak. Pada praktiknya, visi dan kekuatan
konglomerasi menjadi invicible hand di balik seluruh kegiatan industri
media. Pada akhirnya, hegemoni yang dimetamorfosiskan dalam
bentuk ekonomi politik media itu diimplementasikan dalam bentuk
target perusahaan (baca: peraihan keuntungan). Dalam bahasa yang
lebih sederhana, hal itu diterjemahkan media sebagai orientasi kepada
khalayak (konsumen). Berdasarkan pijakan pemikiran itu, media pun
harus membuka ruang selebar-lebarnya pada strategi komodifikasi,
dimulai dari khalayak, organisasi (ruang redaksi), pekerja (para
jurnalis), dan teks televisi (kasus-kasus korupsi), untuk ditawarkan
kepada khalayak.
Barker [2012] menandai situasi itu sebagai model hegemonik,
yang memberikan penegasan bahwa ideologi dalam berita diyakini
10
bukan sebagai akibat dari intervensi langsung oleh pemilik atau
bahkan bukan suatu usaha manipulasi secara sadar oleh para
wartawan, melainkan akibat dari sikap rutin dan praktik kerja para staf.
Wartawan
berita
mempelajari
konvensi-konvensi
dan
kode-kode
tentang “bagaimana harus melakukan”, mereproduksi ideologi sebagai
suatu pendapat umum (common sense).
Pada akhirnya, strategi komodifikasi terkait kasus-kasus korupsi
itu pun menjelmakan hiperealitas dan deaktualisasi. Atau, lebih
tepatnya deaktualisasi di seluruh elemen: khalayak yang kritis,
lembaga pers di lingkungan stasiun televisi, para jurnalis televisi, dan
teks televisi itu sendiri (hiperrealitas). Artinya, perayaan realitasrealitas antikorupsi di televisi itu harus ditulis dengan tanda petik,
“antikorupsi”, karena hal sesungguhnya sekadar drama dan tebaran
hiburan berselubung program berita. Artinya lagi, khalayak tidak akan
memperoleh
kejelasan
yang
sejelas-jelasnya,
apalagi
seobjektif-
objektifnya, dari kasus-kasus korupsi melalui penayangan berita-berita
di televisi. Karena, televisi adalah ruang hampa yang sekadar
memperkenalkan mitos-mitos, yang akan sangat jauh membawa
khalayak ke alam yang tercerahkan.
Lebih jauh, Barker mengurai paradoks itu sebagai berikut: bahwa
teks utama televisi, produksi berita menempati posisi yang strategis
dalam debat tentang televisi dalam konteks pengaruh yang diduga,
11
dan sering kali ditakuti, terhadap kehidupan publik. Di sisi lain, berita
dianggapnya bukan lagi “jendela dunia” yang tanpa perantara,
melainkan suatu representasi hasil seleksi dan konstruksian yang
membentuk “realitas”.
Dalam situasi seperti itu, menurut John McManus dalam MarketDriven Journalism: Let the Citizen Beware? (1994), tekanan pasar yang
menggerakkan seluruh logika praktik berita mendesak idealisme
profesi jurnalisme ke pinggir perbincangan dan etika jurnalistik disorot
hanya ketika ada kasus-kasus besar seperti yang melibatkan kalangan
pejabat di seputar kekuasaan. Artinya, perayaan realitas kasus
koruopsi yang melibatkan Anas Urbaningrum di televisi adalah
paradoks
dalam
dunia
jurnalisme
dan
sekaligus
memarjinalkan
kesakralan idealisme profesi jurnalis televisi ke tepian tanpa kharisma.
Dan, hal itu sangat terkait dengan satu kata kunci: komodifikasi.[]
12
DAFTAR PUSTAKA
Baran, Stanley J. and Davis, Dennis K. Davis. 2009. Mass
Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future.
Bonton: Wadsworth Cangange Learning.
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies: Teori & Praktik. Bantul: Kreasi
Wacana.
Boyd, Andrew. 1988. Broadcast Journalism: Techniques of Radio and
Television News. London: Focal Press.
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar
Kepada Studi Televisi. Bandung: Jalasutra.
__________. 2008. Pengantar untuk Memahami Media dan Budaya
Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar
Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Eriyanto. 2007. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik
Media. Yogyakarta: LKiS.
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Edward Arnold.
Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies: Sebuah
Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
__________. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Halim, Syaiful. 2009. Gado-gado Sang Jurnalis: Rundown Wartawan
Ecek-ecek. Jakarta: Gramata Publishing.
__________. 2012. Postkomodifikasi
Tangerang: Matahati Production.
Media
&
Cultural
Studies.
13
Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertarutan
Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas.
Jakarta: Penerbit Kanisius.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan,
dan Pornografi. Yogyakarata: Penerbit Kanisius.
Ibrahim, Idi Subandy. 2011. Kritik Budaya Komunikasi; Budaya, Media
dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia.
Yogyakarta: Jalasutra.
Kitley, Philip. 2000. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Jakarta:
Lembaga Studi Pers Pembangunan dan Institut Studi Arus
Informasi.
McQuail, Dennis. 1987. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Morissan. 2009. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola
Radio & Televisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mosco, Vincent. 2009. The Policial Economy of Communication.
London: Sage Publication.
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam
Era Post-Metafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
Storey, John. 2010. Cultural
Yogyakarta: Jalasutra.
Studies
dan
Kajian
Budaya
Pop.
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta:
LKiS.
__________. 2009. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta:
LKiS.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (ed).
Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Kanisius.
2005.
Teori-teori
White, Ted. 1996. Broadcast News Writing, Reporting, and Producing.
London: Focal Press.
14
PENULIS
syaiful HALIM. Lahir di Jakarta pada 11 Desember 1967, dan
menempuh pendidikan sejak SD hingga perguruan tinggi di Jakarta.
Terakhir, menuntaskan pendidikan formal di Kampus Tercinta Institut
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi
Jurusan Ilmu Jurnalistik dan Magister Komunikasi Universitas Mercu
Buana (UMB) Jakarta Program Studi Media and Politic Communication.
Sejak di bangku kuliah aktif menulis puisi, cerpen, artikel, dan
kolom, dan dimuat di sejumlah media massa. Semasa kuliah, ia sempat
bekerja sebagai jurnalis di sebuah tabloid wanita. Setelah selesai
kuliah, ia bekerja sebagai copywriter di sebuah perusahaan farmasi
multinasional. Setahun kemudian pindah ke lingkungan sebuah industri
media televisi di Jakarta.
Pada 2003, ia mendapatkan grant dari Internews, In-Docs, dan
Broadcast Centre Universitas Indonesia untuk menggarap sebuah film
dokumenter tentang pemilu. Hasilnya adalah film dokumenter Saat
15
Menebar Mimpi yang diputar di layar Jakarta International Film Festival
(Jiffest) 2004. Tahun berikutnya, ia mendapat kesempatan untuk
mengikuti Long Documentary Scriptwritting Workshop Jiffest 2005. Di
saat bersamaan, film dokumenter Atjeh Lon Sayang yang diproduksi
bersama teman-temannya di komunitas Matahati Production diputar di
layar Jiffest 2005. Di luar kedua film itu, ia telah membuat beberapa
film dokumenter bertemakan masalah sosial dan budaya: Petualang
Cilik, Selamanya Mutiara, Cokek, The Legend of Pang Tjin Nio, Kita
selalu Bersama, Masyarakat nan Sakato, dan Dua Perempuan. Pada
1995,
ia
pernah membuat
skenario
sinetron
Deru Debu
yang
ditayangkan stasiun SCTV.
Selain sebagai praktisi televisi, ia juga mengajar di perguruan
tinggi swasta di Bandung dan Jakarta. Kerap, ia juga memenuhi
undangan untuk berbicara seputar jurnalisme televisi atau film
dokumenter. Buku yang telah diterbitkan: Gado-gado Sang Jurnalis:
Rundown Wartawan Ecek-ecek (Gramata Publishing, November 2009);
Memotret Khatulistiwa: Panduan Praktis Produksi Dokumenter Televisi
(Gramata Publishing, Juli 2010); Tayangan Video Mirip Artis: Pertaruhan
Objektivitas dan Kearifan Media (Gramata Publishing, Desember 2010);
dan Media dan Komunikasi Politik (Aspikom dan Puskombis UMB,
November 2011); Postkomodifikasi Media & Cultural Studies (Matahati
Production, Mei 2012); dan Budaya, Politik, dan Media (Matahati
Production, Mei 2012).[]
16