Human Trafficking Dalam Film Indonesia S

Human Trafficking Dalam Film Indonesia
(Studi Analisis Tekstual Tentang Human Trafficking Dalam Film ‘Perempuan Punya
Cerita’
Dan ‘Jamila dan Sang Presiden’) 1
Oleh :
Ade Kusuma , Sarah Anabarja

2

Abstrak
Permasalahan perdagangan anak dan perempuan bukanlah hal baru di Indonesia. Peneliti
menemukan bahwa kasus Human Trafficking belum dapat dituntaskan oleh pemerintah karena
sindikat perekrutan korban masih secara leluasa beraksi di daerah pedesaan atau pinggiran kota.
Faktor kemiskinan dan ambisi orang tertentu sering menjadi penyebab hal tersebut terjadi. Selain
itu adanya oknum-oknum dalam birokrasi pemerintahan dan imigrasi yang memberi kemudahan
untuk membuat identitas palsu secara langsung dapat dianggap sebagai pendukung kegiatan
Human Trafficking. Data terhadap fakta tentang eksploitasi seks komersil dan perdagangan anak
dari Unicef menyatakan bahwa ada sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya. Ini
merupakan jumlah angka global yang melibatkan perdagangan anak laki-laki ataupun perempuan
untuk eksploitasi seks. Pemberantasan terhadap kejahatan ini, bukan hanya menjadi tugas dan
tanggung jawab dari pemerintah ataupun orang tua semata melainkan masyarakat juga

diperlukan untuk menghindari upaya eksploitasi anak ataupun perempuan yang sering menyertai
kejahatan Human Trafficking.
Peneliti melihat adanya celah bagi penggunaan media film untuk semakin dapat meningkatkan
kepedulian terhadap kasus dan isu Human Trafficking. Maka dalam makalah ini peneliti akan
mengupas beberapa film yang berkenaan dengan isu tersebut. Dengan menggunakan studi
analisis tekstual, peneliti akan menggali lebih dalam bagaimana fenomena Human Trafficking di
Indonesia sebagai realita sosial yang diangkat ke layar kaca.
Pada akhirnya, dengan menggunakan media film diharapkan dapat menjadi media sosialisasi
yang efektif bagi masyarakat untuk menuntaskan isu yang telah menjadi agenda internasional
bagi semua negara berkembang terutama Indonesia.
Keywords : Film, Human Trafficking, Analisis Tekstual.

1

Tulisan ilmiah ini telah dipresentasikan pada 6th International Conference Indonesia-Malaysia Memperkuat
Hubungan Strategis Serumpun yang diselenggarakan di Universitas Airlangga, Surabaya, pada tanggal 10-12 Juli
2012
2
Staf Pengajar Prodi Il u Ko u ikasi da Hubu ga I ter asio al UPN Vetera Jati


1

Pendahuluan
Film merupakan media komunikasi massa yang selayaknya memiliki tiga fungsi utama
yaitu sebagai media informasi, hiburan dan edukasi. Film tidak hanya menampilkan pergerakan
tokoh melalui aksi perannya melainkan juga ada sentuhan fotografi, musik dan terkadang tarian
yang memperkaya film sebagai sebuah karya seni. Film merupakan pernyataan budaya yang
melakukan komunikasi pesan dari pembuat film kepada penonton ke seluruh daerah atau
nasional, bahkan dunia.i
Film menyampaikan sebuah cerita yang berasal dari hasil karya pikiran manusia, sama
seperti halnya dengan bahasa.ii Cerita yang terdapat dalam sebuah film sama halnya dengan
sebuah cerita atau kisah hidup yang dimiliki oleh seorang manusia. Ini sama artinya dengan story
telling yang merupakan bagian dari pengalaman budaya, yang tidak dapat dipisahkan dari

pembuat film, karena semuanya memiliki kaitan dan bersifat hakiki.
Victor C. Mambor, dalam tulisannya pada Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia,
menyatakan bahwa film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada massa
lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang.
Pada perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan “citra bergerak” (moving
images) namun juga telah di ikuti oleh muatan- muatan kepentingan tertentu seperti politik,


kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup.iii Membuat film juga merupakan usaha untuk
memandang, menyeleksi dan mengkonstruksi pandangan dalam masyarakat yang dianggap
penting oleh para pembuatnya. Dengan demikian, sajian tema dalam film tak bisa dipandang
sebagai sesuatu yang bisa diterima begitu saja, namun sebagai sebuah pilihan, karena tema selalu
berkaitan dengan pandangan dominan atau pandangan alternatif terhadap kenyataan yang dilihat
dan dihadapi oleh para pembuat film tersebut.
Perfilman Indonesia telah diramaikan oleh kehadiran beberapa sutradara muda dan
berbakat, yang turut pula menghadirkan tema film yang beragam. Hal ini didukung oleh adanya
tolak ukur yang telah dimiliki masing-masing sineas dalam memilih cerita yang akan diangkat
dalam filmnya.iv Salah satu tema dan cerita film yang menarik bagi peneliti untuk dianalisi lebih
mendalam adalah film yang bertema tentang permasalahan trafficking yang melibatkan
perempuan dan anak-anak di Indonesia.
Sebuah penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh peneliti pada tahun 2010, berjudul
“Perlawanan Tokoh Utama Perempuan Terhadap Budaya Patriarki Dalam Film” yang
2

menggunakan studi analisis tekstual terhadap film karya sutradara Nia Dinata. Pada hasil
penelitian tersebut, peneliti menemukan adanya persamaan tema dan ide cerita dalam film
Arisan!, Berbagi Suami, dan Perempuan Punya Cerita – Cerita Cibinong menunjukkan bahwa


Nia Dinata, sebagai seorang sutradara dan sekaligus menjadi author atau pengarang dari filmnya,
memiliki perhatian khusus terhadap isu tentang perempuan. Film Arisan!, Berbagi Suami dan
Perempuan Punya Cerita – Cerita Cibinong berperan menyampaikan informasi, agar penonton

menyadari dan memperhatikan realitas permasalahan perempuan yang ada sekitarnya.
Khususnya pada film Perempuan Punya Cerita – Cerita Cibinog yang memberikan gambaran
mengenai fenomena trafficking yang terjadi dengan berlatar kebalakang kehidupan masyarakat
kelas bawah di pinggiran kota.
Human Trafficking dapat diartikan sebagai upaya perekrutan orang (terutama anak dan

perempuan) yang dilakukan secara paksa, ancaman, penculikan, penipuan, kecurangan, ataupun
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oknum atau bahkan kelompok tertentu, yang
selanjutnya untuk dijual kepada pihak lain (baik nasional ataupun internasional). Data terhadap
fakta tentang eksploitasi seks komersil dan perdagangan anak, dari Unicef menyatakan bahwa
ada sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya. Ini merupakan jumlah angka global
yang melibatkan perdagangan anak laki-laki ataupun perempuan untuk eksploitasi seks. Dari
Indonesia sendiri diperkirakan 30 persen pekerja seks perempuan berumur dibawah 18 tahun.
Hal ini sangat ironis dengan kemudahan pemalsuan terhadap identitas yang dapat dibuat di
Indonesia, sehingga secara tidak langsung melegalkan kasus tersebut. Berdasarkan fenomena

tersebut, peneliti ingin melakukan eksplorasi melalui penelitian lebih mendalam terhadap
representasi Human Trafficking yang ditampilkan dalam media film; yaitu film berjudul
Perempuan Punya Cerita – Cerita Cibinong, dan Jamila dan Sang Presiden.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti pada tahun 2010, berjudul
“Perlawanan Tokoh Utama Perempuan Terhadap Budaya Patriarki Dalam Film” menggunakan
studi analisis tekstual terhadap film karya sutradara Nia Dinata, telah menganalisis lebih dalam
mengenai bagaimana gambaran tentang kuasa patriarkhi yang tidak hanya dialami perempuan
dari dalam rumah tangganya saja melainkan lebih luas lagi, menyangkut permasalah tindak
kejahatan terhadap perempuan. Salah satu dari kejahatan yang tampak seringkali dialami oleh
kaum perempuan dan anak-anak yang digambarkan dalam film tersebut adalah kejahatan human
trafficking.
3

Data terhadap fakta tentang eksploitasi seks komersil dan perdagangan anak, dari
Unicefmenyatakan bahwa ada sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya. v Ini
merupakan jumlah angka global yang melibatkan perdagangan anak laki-laki ataupun perempuan
untuk eksploitasi seks. Kasus pelecehan seksual terhadap anak perempuan dibawah umur,
membuka awalan cerita pada bagian film tersebut.Permasalahan perdagangan anak dan
perempuan bukanlah hal baru di Indonesia. Pada film ”Perempuan Punya Cerita” (Cerita

Cibinong), peneliti menemukan bahwa kasus Human Trafficking belum dapat dituntaskan oleh
pemerintah karena sindikat perekrutan korban masih secara leluasa beraksi di daerah pedesaan
atau pinggiran kota. Faktor kemiskinan dan ambisi seseorang tertentu sering menjadi penyebab
hal tersebut terjadi, selain itu adanya oknum-oknum dalam birokrasi pemerintahan dan imigrasi
yang memberi kemudahan untuk membuat identitas palsu secara langsung dapat dianggap
sebagai pendukung kegiatan Human Trafficking.

Isu Human Trafficking
Menurut United States Department of State Bureau for International Narcotics and Law
Enforcement Affairs Human Trafficking terjadi ketika seseorang menawarkan perpindahan

tempat tinggal dengan janji akan memberikan pekerjaan atau menawarkan pernikahan dengan
menggunakan paksaan, penipuan atau kekerasan.vi Human Trafficking juga merupakan bentuk
baru perbudakan. Pelaku Human Trafficking bahkan tidak segan untuk menyakiti keluarga
korban untuk mengancam dan memaksa korban. Hal ini senada dengan pendapat Bales yang
menyatakan bahwa Human Trafficking selalu menggunakan paksaan dalam memanipulasi
pekerja atau buruh yang berada dalam kekuasaan pelaku.vii
Beberapa analisis yang lebih modern, Human Trafficking dapat dikategorikan lagi dalam
banyak bentuk dalam beragam tipe masyarakat. Beberapa contoh diantara kejahatan yang dapat
dikategorikan dalam kejadian Human Trafficking biasanya berkaitan erat dengan kasus pekerja

seks komersial baik yang dewasa maupun anak-anak, pengiriman tenaga kerja ilegal, prajurit
anak-anak yang biasanya dipergunakan dalam konflik internasional, dan banyak lagi jenis
Human Trafficking lain. Sehingga dalam tataran praktis, definisi Human Trafficking tidak dapat

dilakukan secara tetap dan kaku. Akan tetapi selama proses migrasi seseorang tersebut tidak
dilakukan secara legal, sukarela, dan sesuai aturan yang berlaku, dapat dikategorikan sebagai
Human Trafficking.viii
4

Saat ini isu Human Trafficking sudah menjadi isu internasional yang menjadi perhatian
dari semua negara terutama negara dunia ketiga. Menurut data dari United Nations Office on
Drugs and Crime (UNODC), persebaran negara yang menjadi objek korban Human Trafficking
memang terbanyak dari negara-negara dunia ketiga, sebagian besar di Asia dan Benua Afrika.ix
Kesemua kasus yang terjadi tersebut memang telah menjadi perhatian internasional. Beberapa
penelitian dan pendekatan dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai
ancaman Human Trafficking. Akan tetapi, efektivitasnya masih sangat dipertanyakan. Bahkan,
menurut studi sebelumnya yang dilakukan Caroline Wallinger tahun 2010 menyimpulkan bahwa
seringkali hasil yang didapat adalah kesalahan interpretasi dan salah pengertian pada persoalan
inti dari Human Trafficking. Menurutnya, hal ini dikarenakan sebagian besar negara akhir-akhir
ini hanya mengadopsi aturan mengenai Human Trafficking saja tanpa mengetahui pasti seberapa

banyak kejadian Human Trafficking yang terjadi.
Adapun beberapa penyebab umum terjadinya kasus kejahatan human trafficking menurut
United Nations Global Initiative to Fight Human Trafficking adalah ;

x

(1) kekerasan berbasis

gender, (2) praktek-praktek ketenagakerjaan yang diskriminatif, (3) struktur sosial yang
patriarkal, (4) memudarkan jaringan ikatan keluarga, (5) marginalisasi etnik, ras, agama, (f)
pemerintahan yang korup dan gagal, (6) persoalan status sebagai warga negara atau penetap legal
yang berkaitan dengan kerja, (7) peran dan posisi perempuan dalam keluarga, (hirarki kekuasaan
dan tertib sosial, (8) tanggung jawab dan peran anak-anak, (9) menikah dini, (10) tingginya laju
perceraian dan stigma sosial yang menyertainya, (11) rusaknya perkembangan kepribadian, (12)
terbatasnya prestasi atau pencapaian pendidikan, (13) terbatasnya kesempatan ekonomi.
Sedangkan fenomena Human Trafficking yang terjadi di Indonesia, seperti yang telah
diungkapkan sebelumnya belum terdapat data pasti seberapa besarkah angka korbannya. Hal ini
disebabkan karena banyak dari masyarakat belum menyadari bahwa kejadian seperti
mempekerjakan anak di bawah umur sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri juga
merupakan kejahatan Human Trafficking. Ditambah lagi, fenomena Human Trafficking yang

terjadi melalui media jejaring sosial pun makin marak.

Trafficking dalam Film

5

Adanya sindikat trafficking atau perdagangan anak dan perempuan, telah menjadi rahasia
umum di masyararkat Indonesia. Sebagian besar masyarakat pasti mengetahui adanya praktek
tersebut, namun hanya kelompok-kelompok tertentu yang memiliki keperdulian terhadap kasus
ini. Hal ini terbukti pada masih ada dan terus berjalannya praktek-praktek perdagangan anak
maupun perempuan di Indonesia.
Pada film ‘Perempuan Punya Cerita’ bagian Cerita Cibinong karya sutradara Nia
Dinata, peneliti menemukan kisah perempuan bernama Esi dan anaknya yang bernama Saroh
terlibat dalam sindikat perdagangan anak dan perempuan. Bujuk dan rayuan dari orang terdekat
merupakan senjata yang ampuh bagi para oknum yang melakukan praktek trafficking untuk
mendapatkan korbannya. Tokoh Saroh merupakan salah satunya, dia menjadi korban dari ambisi
seorang penyanyi dangdut didaerah, yaitu Cicih, yang juga kerabat ibunya, karena ingin
mendapatkan karir yang lebih baik di ibukota Jakarta. Namun ternyata mereka berdua menjadi
korban perdagangan perempuan dengan jalan penipuan, Cicih menjadi pekerja seks komersil di
Jakarta, sedangkan Saroh menjadi ’pesanan pengantin’ ke negara Taiwan.xi

Kemiskinan dijadikan sebagai alasan utama kenapa Saroh memutuskan untuk menerima
tawaran pergi ke Jakarta dengan Cicih. Saroh percaya dengan Cicih, karena dia merupakan
kerabat dari ibunya, selain itu bujuk rayu Cicih juga membuat Saroh berani menentang larangan
dari Esi, ibunya, yang tidak mengijinkan Saroh bekerja sebelum lulus sekolah. Saroh yang masih
lugu dan polos beranggapan bahwa keinginannya untuk pergi ke Jakarta adalah bekerja dan
membantu perekonomian keluarganya.
Perdagangan manusia adalah permasalahan semua bangsa di dunia, umumnya berasal
dari dari negara yang belum berkembang atau miskin. Keadaan ekonomi keluarga yang miskin,
akan memunculkan rasa keputusasaan dan rela melakukan segala cara untuk memperbaiki
kehidupannya. Hal ini yang mendukung berkembangnya bisnis perdagangan manusia, baik anak
ataupun perempuan.
Data terhadap fakta tentang eksploitasi seks komersil dan perdagangan anak, dari Unicef
menyatakan bahwa ada sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya.xii Ini merupakan
jumlah angka global yang melibatkan perdagangan anak laki-laki ataupun perempuan untuk
eksploitasi seks. Dari Indonesia sendiri diperkirakan 30 persen pekerja seks perempuan berumur
dibawah 18 tahun. Hal ini sangat ironis dengan kemudahan pemalsuan terhadap identitas yang
dapat dibuat di Indonesia, sehingga secara tidak langsung melegalkan kasus tersebut.
6

Pada film ‘Perempuan Punya Cerita’ pada bagian Cerita Cibinong, peneliti menemukan

tokoh Mansyur yang merupakan salah satu bagian dari sindikat perdagangan anak dan
perempuan menunjukkan pada tokoh Cicih, bahwa dengan mudah Saroh (nama lengkapnya
Maesaroh) yang masih anak-anak dapat memiliki paspor, dengan foto dirinya dan berganti nama
menjadi Monica.
Mansyur : ”Pokoknya Cih, lo pasti gue ajak deh ke Jakarta, asalkan si Saroh boleh ikut
diajak sama emaknya”
Cicih

: ”Beres pokoknya Kang”

Mansyur : ”Nih lo lihat nih paspornya aja udah jadi”
Cicih

: ”Kok Batam kok pake paspor”

Mansyur : ”Yah kali ajah Cih, si Saroh pengen jalan-jalan ke Singapura kan dekat”
Cicih

: ”Kok Monica Kang, kan Maesaroh”

Mansyur : ”Ah ya masak Maesaroh, nama orang kota dong Cih, Monica, Silvi, Vera...”
Hal ini memberikan gambaran bahwa terdapat oknum-oknum yang terlibat pada birokrasi
imigrasi maupun bagian pemerintahan yang lain, telah melakukan praktek pemalsuan
identitas. Disadari ataupun tidak, tindakan beberapa oknum tersebut secara langsung dapat
memperlancar kegiatan trafficking.
Dari

penggalan scene terakhir, peneliti

melihat

fenomena trafficking dalam

”pengantin pesanan” yang dialami oleh Saroh. Saroh diceritakan telah dijual pada

bentuk

seorang laki-laki asal Taiwan, untuk dijadikan dinikahi. Kenyataan tersebut tentu membuat Esi,
ibu dari Saroh, merasa sedih dan kecewa ketika mengetahui kisah itu dari Cicih. Meskipun juga
telah menjadi salah satu korban dari Mansyur, Cicih tetap merasa bersalah karena telah mengajak
Saroh pergi ke Jakarta dan menjadi korban dari perdagangan anak dan perempuan. Untuk
menebus rasa bersalahnya itu, Cicih meminta maaf pada Esi dan mengajaknya untuk tidak
berputus asa, karena menurutnya masih ada harapan untuk mendapatkan Saroh kembali, dengan
melaporkan kasus tersebut ke kantor polisi.

Cicih

: (dalam bahasa Sunda) ”Cicih punya ini”

Esi segera menarik sebuah foto yang akan diberikan oleh Cicih
Cicih

: (dalam bahasa Sunda) ”Gue juga ketipu sama si Mansyur”
7

Esi tidak perduli Cicih berkata apa, dan terus berjalan sambil menangis sambil
memandang foto Saroh
Cicih : (dalam bahasa Sunda) ”Esi aku mohon maaf ... Gue nggak sangka si Mansyur
begitu”
Esi tidak memperdulikan Cicih lagi
Cicih

: (dalam bahasa Sunda) ”Gue juga ketipu sama si Mansyur”

Esi tetap tidak memperdulikan Cicih dan terus berjalan sambil menangis
Cicih

: (dalam bahasa Sunda) ”Jangan putus asa Esi ... Masih ada harapan ... Gue

nyesel Esi ... Kita lapor polisi sama-sama, gue mau jadi saksinya ...”

Film ‘Perempuan Punya Cerita’, pada bagian Cerita Cibinong, memberikan informasi
kepada

penonton,

tentang

bahaya

kegiatan

perdagangan

anak

dan

perempuan

di

Indonesia.Karena pemberantasan terhadap hal tersebut, bukan hanya menjadi tugas dan tanggung
jawab dari pemerintah semata, melainkan masyarakat juga diperlukan untuk menyadari dan
saling mengingatkan tentang bahaya trafficking, untuk menghindari upaya eksploitasi anak
ataupun perempuan. Sedangkan tindakan tegas dari pemerintah terhadap penyelesaian masalah
tersebut, tetap akan menjadi harapan utama bagi keselamatan dan kesejahteraan anak-anak
ataupun perempuan, yang merupakan sebagai incaran dan korban utama dari kegiatan trafficking.
Permasalah serupa namun diangkat dari sudut pandang yang berbeda, peneliti
temukannya dalam film ‘Jamila dan Sang Presiden. Film yang disutradarai oleh Ratna Sarumpaet
ini menekankan pada gambaran sikap pemerintahan terhadap permasalahanhuman trafficking di
Indonesia.
Film ‘Jamila dan Sang Presiden’ bercerita tentang Jamila, seorang perempuan yang
berprofesi sebagai seorang pekerja seks komersial (PSK). Jamila dan adik perempuannya,
Fatimah, merupakan korban perdagangan anak. Pada film ini, peneliti melihat bahwa untuk
alasan yang sama, yaitu kemiskinan membuat orang tua Jamila rela menjual kedua anak
perempuannya. Pada masa remaja, Jamila sering dihadapkan pada pelecehan dan kekerasan
seksual pada dirinya. Hingga dia harus terbelenggu pada kehidupan prostitusi.
Terpisah dengan sang adik, membuat Jamila aktif dalam kegiatan sebuah organisasi
(lembaga

sosial

masyarakat)

yang

memiliki

perhatian

terhadap

permasalahanhuman

trafficking. Jamila pergi ke Kalimantan untuk masuk dalam sindikat perdagangan perempuan
8

yang cukup besar disana dan berharap dapat menemukan keberadaan sang adik, Fatimah.
Melalui tokoh Malik dalam film ‘Jamila dan Presiden’, pembuat film berusaha memberikan
gambaran bahwa Jamila memiliki tekad yang luar biasa dalam usaha membongkar adanya
sindikat human trafficking. Namun tekad yang kuat tersebut tidak diimbangi dengan hasil yang
memuaskan. Jamila gagal menemukan sang adik, yang diduga telah tewas. Kegagalan Jamila
dalam menembus sindikat perdagangan manusia diperkuat dengan adanya alasan yang tampak
pada dialog antara seorang pengacara yang memiliki perhatian pada permasalahan tersebut,
Malik dengan Ibrahim, teman Jamila. Malik menuturkan bahwa, “trafficking disana itu
menakutkan sindikatnya, konspirasinya. Dan sudah banyak negara yang terlibat disana, termasuk
negara yang selama ini kencang meneriakkan kemanusiaan”
Disisi lain, film ‘Jamila dan Sang Presiden’ berusaha memberikan bagaimana gambaran
relasi antara pekerja seks komersial dengan pemerintah. Tanpa adanya pembelaan diri, Jamila
dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh seorang menteri, Nurdin
di sebuah kamar hotel. Pembuat film menampilkan sosok presiden yang tak mau memberikan
grasi kepada Jamila karena sang presiden menerima tekanan dari kelompok tertentu. Sebagai
seorang pelacur, mereka menganggap bahwa Jamila tak layak mendapatkan grasi dan pantas
untuk dihukum mati. Peneliti melihat adanya beberapa perlakuan diskriminasi dengan
mengatasnamakan moral yang diterima oleh Jamila, seolah pemerintah tak mampu mengatasi
hal tersebut.

Kesimpulan
Film 'Perempuan Punya Cerita' dan 'Jamila dan Sang Presiden' merepresentasikan bahwa
korban trafficking di Indonesia disebabkan karena faktor kemiskinan. Faktor tersebut diperparah
dengan terbatasnya informasi dan pendidikan mengenai human trafficking mengenai modus dan
resiko kejahatan human trafficking. Human trafficking bukan hanya menjadi permasalahan
korbannya semata, melainkan juga merupakan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat secara
keseluruhan untuk menghentikan hal tersebut.
Film 'Perempuan Punya Cerita' dan 'Jamila dan Sang Presiden' sebagai media massa
berperan untuk menyampaikan informasi, agar penonton menyadari dan memperhatikan kembali
realitas permasalahan human trafficking yang ada disekitar kita. Selanjutnya, pengetahuan

9

tersebut akan dapat melahirkan keperdulian dan upaya-upaya yang dapat membantu mengatasi
permasalahan tersebut.

i

Karl G.Heider, Indonesia Cinema : National Culture On Screen, University of Hawaii Press, 1991, h.1.
Graeme Turner, Film as Social Practice, Routledge, London, 1999, h.78
iii
Victor C. Mambor, Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia, pada www.situskunci.tripod.com
iv
Menurut salah satu sutradara Indonesia, Nia Dinata dalam sebuah pernyataannya yang telah dikutip pada buku
Indonesian Film Catalogue 2008 karya JB.Kristanto dan Lisabona Rahman (Eds), hal.28 “Kalau ide cerita dan
skenarionya kuat dan mewakili apa yang saya anggap penting untuk disampaikan ke masyarakat, biasanya itu
menjadi tolak ukur utama dalam memilih proyek film …”
v
http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indonesia.pdf
vi
http://www.crisisconnectioninc.org/humantrafficking/besmart_besafe.htm, diakses 26 Mei 2012.
vii
Bales, Kevin. 1999. Disposable People: New Slavery in the Global Economy. Berkeley, CA:
Univ. of California Press.
viii
Caroline S. Wallinger, Media Representation and Human Trafficking: How Anti-Trafficking Discourse Affects
Trafficked Persons, 2010. Paper of Second Annual Conference on Human Trafficking University of Nebraska at
Lincoln.
ix
UNODC, The Global Initiative to Fight Human Trafficking. Dalam www.unodc.org, diakses 26 Mei 2012.
x
Barbara Sullivan, “Trafficking in Human Being ”, dalam Laura J.Shepherd (ed), Gender Matters in Global Politics
: A Feminist Introduction to International Relations (London and New York : Routledge, 2010), hlm 80-90.
xi
Praktik pengantin pesanan dapat digolongkan ke dalam praktik trafficking atau perdagangan orang.
xii
http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indonesia.pdf
ii

10