TRAGEDI AL-MIHNAH (Studi Kasus Pada Masa Pemerintahan al-Ma'mun) Rochimah

  

TRAGEDI AL-MIHNAH

(Studi Kasus Pada Masa Pemerintahan al-Ma'mun)

  1 Rochimah Abstract

  : Mu’tazilah is one of Islamic teologies which is known as having rational and liberal characters. The characters which distinguish this school from others are that its theological views are supported by ‘Aqliyah’ tenets and more philosophic. This makes it well known as rationalist Islam. Since 100 H or 718 AD this view has given influence in Islamic societies and developed rapidly. The culmination of its renown was during the rule of Khalifah Al-

  Ma’mun. Moreover, Al Ma’mun decided that this course as the state official beliefin 827 AD. To socialize Mu’tazilah teaching, Al Ma’mun and his successors managed al Mihnah or inquisition, that is the dispersion of this belief and teachings forcefully and even violently. As the ruler, Al Ma’mun thought that it was his duty to maintain the purity of the religion and the truth enforcement in the state community. Hence, he chose the puritans to be state officers and judge.

  Keywords: Kekuasaan al-Mihnah, mu'tazilah, al-Ma'mun Pendahuluan

  Mu'tazilah adalah kelompok aliran yang pertama kali berpikiran rasional. Mereka menyusun konsep-konsep teologi secara sistematis dan filosofis dalam memahami ajaran- ajaran Islam sehingga sulit dicerna oleh masyarakat awam yang tidak bisa berfikir secara mendalam.

  Mu'tazilah, sebagai aliran teologi yang muncul pada abad pertama Hijriyah di

2 Basrah, pada awalnya, merupakan gerakan reaksi terhadap kaum Khawarij yang sangat keras

  3 dan fanatik, maupun terhadap kelemahan etika kaum konformis politik kaum Murji'ah.

  Namun dalam perkembangannya, pemikiran teologis aliran ini lebih banyak menggunakan metode dan logika Yunani. Sehingga wajar bila aliran ini dalam teologi Islam kemudian dianggap sebagai rasionalis dan liberal. Wataknya yang rasional dan liberal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak kalangan intelektual, terutama dari kalangan 1 2 Penulis adalah dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.

  Sebelum datangnya Islam, Iraq merupakan ajang pertarungan ide-ide dan teori-teori yang datangnya dari berbagai arah yaitu Hellenisme, Kristen yang telah ter-Hellenisir, Gnostisisme. Dualisme, manikaen dan unsur-unsur Budhisme memberikan bahan-bahan ide untuk spekulasi moral, keagamaan, 3 dan filosofis.

  Aliran Khawarij ini muncul berkaitan dengan persoalan teologis mengenai perilaku orang yang berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu ia wajib dibunuh. Sementara Murji'ah berpandangan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Sedangkan Mu'tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin , melainkan berada diantara keduanya yang dalam bahasa

Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). pemerintah Islam pada permulaan abad ke-9 M, khususnya kekhalifahan Abbasiyah. Bahkan al-Ma'mun, khalifah Abbasiyah saat itu menetapkan teologi Mu'tazilah sebagai madhab resmi negara.

  Sebagai madhab resmi negara tentu saja teologi Mu'tazilah tidak dapat dilepaskan dari kooptasi kepentingan politik negara. Sehingga wajar akibat dari penetrasi kekuasaan negara ini, Mu'tazilah kemudian dipergunakan sebagai alat politik untuk mengukuhkan otoritas dan legitimasi kekuasaan. Hal ini nampak dari pelaksanaan al-Mihnah, yang awalnya hanya dipergunakan untuk mencari persamaan-persamaan pandangan atau ajaran dengan golongan lain, namun dalam perkembangan selanjutnya berubah menjadi usaha pemaksaan ajarannya kepada pihak lain ( terutama yang berseberangan dengan kebijaksanaan khalifah) yang tidak jarang dilakukan dengan tindakan kekerasan.

  Riwayat Hidup al-Ma'mun (170 H- 218 H / 785 M-833 M)

  Nama lengkapnya adalah al-Ma'mun Abdullah Abu Musa al-Abbas bin al-Rasyid, dilahirkan pada tahun 170 H, tepat pada malam Jum'at di pertengahan bulan Rabiul Awwal.

  4 Pada malam itu bersamaan dengan kematian al-Hadi dan digantikan oleh ayahnya, al-Rasid.

  Al-Ma'mun merupakan gelar kekhalifahannya dan berarti "hamba Allah yang dipercaya". Gelar yang berbau keagamaan itu diberikan karena para khalifah Abbasiyah yang menganggap diri mereka sebagai khalifah pengganti Nabi SAW dan sekaligus juga khalifah di bumi. Al-Ma'mun punya 3 Saudara, yakni al-Amin (khalifah keenam, 194-198 H / 809-813

  5 M), Ibrahim, dan al-Mu'tasim (Khalifah kedelapan, 218-228 H / 833-832 M).

  Ibunya adalah mantan budak yang kemudian dikawini oleh ayahnya. Namanya Murajil. Dia meninggal saat masih dalam keadaan nifas setelah melahirkan al-Makmun. Sejak kecilnya al-Ma'mun telah belajar banyak. Dia menimba ilmu hadith dari ayahnya dari Hasyim, dari Ibad bin al-Awam, dari Yusuf bin 'Athiyah, dari Abu Mu'awiyah adh-Dhahir,

  6 dari Isma'il bin "Aliyah, Hajjaj al-A'war dan ulama-ulama lain dizamannya.

  Al-Yazidi adalah orang yang menggemblengnya. Dia sering kali mengumpulkan para fuqaha dari berbagai penjuru negeri. Dia memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam masalah fiqih. Ilmu bahasa Arab dan sejarah umat manusia. Saat dia menjelang dewasa, dia banyak bergelut dengan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu yang pernah berkembang di Yunani sehingga membuatnya menjadi seorang pakar dalam bidang ilmu ini. 4 5 Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa' Sejarah Para Penguasa Islam, ( Jakarta : Pustaka al-kautsar : 2001), 373 6 Ensiklopedi islam, 149.

  Al-Suyuthi, Tarikh, 374 Al-Ma'mun sendiri merupakan sosok yang berpandangan luas dan penganut

  7

  kebebasan berpikir sebagaimana didikan ayahnya Harun al-Rashid ( w. 221 H ). Dia mempelajari pemikiran Mu'tazilah pada masa persiapannya sebelum duduk di kursi

  8

  kekhalifahan. Dia belajar pada tokoh-tokoh Mu'tazilah seperti Abu Hudhayl dan al-nazzam, Dia memiliki kisah hidup panjang yang penuh dengan kebaikan. Sayangnya, jejak kehidupannya yang demikian baik sedikit tercemari dengan peristiwa yang menggemparkan saat dia mengatakan al-Qur'an adalah makhluk yang menjadi masalah utama dalam peristiwa

  9 al-Minhah .

  Meskipun demikian, secara pribadi, al-Ma'mun adalah seorang ilmuwan luas dan

  10

  sangat menghargai kemerdekaan berfikir. Ia mendirikan *Baitul Hikmah, perpustakaan terbesar pada zamannya yang juga berfungsi sebagai akademi dan balai penerjemah. Ia juga mengadakan forum diskusi al-Majalis li al-Muhadarah yang banyak diikuti oleh 'ulama dari berbagai aliran pemikiran, merupakan salah satu bukti kecintaannya kepada ilmu

  11

  pengetahuan dan semangatnya untuk bertukar pikiran. Tidak seorangpun dari khalifah Bani Abbasiyah yang lebih pintar darinya. Dia adalah seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang kefasihannya dia berkata," Juru bicara Mu'awiyah adalah "Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik adalah Hajjaj, dan juru bicara saya adalah saya sendiri."

  Abu Ma'syar al-Muhajirin berkata: al-Ma'mun adalah seorang khalifah yang selalu menyuruh kepada keadilan, seorang yang memiliki kepakaran dalam ilmu jiwa dan dianggap berada dalam para ulama besar.

  Dia sering dipanggil dengan sebutan Abu Ja'far. Ash-Shuli berkata: Orang-orang Bani Abbasiyah sangat senang dengan sebutan Abu Ja'far karena ini adalah panggilan al-Manshur. 7 8 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, III, (Kairo : Maktabah Nahdah al-Misriyah, 1936), 163 Lihat, 'Ali Muhammad Radi, 'Ashral-Islam al-Dhahabi al-makmun al-Abasi (Mesir : Dar al-

  Quwmiyyah,tt), 58 ; Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa dia memperoleh ajaran-ajaran Mu'tazilah lebih banyak dari Yahya ibn al-Mubaraq. Lihat Jurji ZAidan, History of 9 IslamicCivilization ( New Delhi : Kitab Bahvan,1981), 80 Sisi lain dikatakan bahwa ketika terjadi perpecahan di pihak istana antara Abu Hudhail, al-Nazzam dengan Bishr ibn al-Mu'tamir. Perpecahan semakin melebar ketika Mu'tazilah populer sebagai gerakan Islam. Mereka mulai mengadopsi pemikiran sufi, dan mereka mempunyai pandangan bahwa orang Islam tidak boleh ikut andil dalam pemilihan khalifah, menurut mereka kehidupan istana merupakan tempat skandal dan korupsi , tidak adil dan tidak telah berbuat kekerasan. Melihat kondisi seperti inilah , anjuran beberapa gubernur di Bagdad kepada al-Ma'mun untuk segera menguatkan doktrin tentang al-Qur'an sebagai makhluk sebagai sebuah kepercayaan. Dengan inilah khalifah membuat suatu keputusan sebagi bukti bahwa dia adalah sebagai pemimpin yang baik. Lihat Merciia 10 Eliade, The Encyclopediaof Religion, ( New York : Macmillan Library Refeence USA, t.t ), 222

Karakteristik al-Ma'mun dapat kita lihat dalam Syed Mahmuddunasir, Islam: It's Concept and

11 History, (New Delhi: Kitab Bahvan,1981), 269

  Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam,III ( Mesir : Maktabah al-Mishriyah,1976), 156 Nama ini memiliki makna besar dalam dada mereka dan menimbulkan optimisme bahwa orang yang menyandang gelar tersebut akan panjang umurnya sebagaimana al-Manshur dan al-Rasyid.

  Al-Ma'mun diangkat menjadi khalifah ketujuh sewaktu berumur 28 tahun dan memerintah selama 20 tahun. Pengangkatannya sebagai khalifah dilatarbelakangi oleh perang saudara dengan pasukan al-Amin. Sewaktu al-Amin menjabat sebagai khalifah di Baghdad, al-Ma'mun menjadi gubernur (amir) di kota Khurasan (Merv, kini masuk Iran), ibukota Asia tengah waktu itu. Al-Amin dipengaruhi oleh perdana mentrinya (wazir) untuk membatalkan pewarisan kekhalifahan kepada al-Ma'mun dan mengangkat anak kandungnya sendiri, Musa

  12 al-Amin.

  Pada tahun 210 H, al-Ma'mun menikah dengan Buran binti al-Hasan bin Sahl. Persiapan pernikahan ini menelan biaya demikian banyak. Ayah Buran mencutikan beberapa komandannya dan menugasi mereka untuk mengurusi perkawinan anaknya selama 17 hari.

  Dia menulis di atas beberapa carik kertas nama-nama ladang yang dia miliki, lalu dia taburkan kertas itu kepada para komandan dan para pemuka Bani Abbas. Barangsiapa yang mendapatkan kertas yang bertuliskan nama ladang, maka Buran akan menyerahkan ladang itu kepadanya. Dia juga menaburkan guci yang berisi permata di depan al-Ma'mun saat malam pengantin.

  Pada tahun 211 H, al-Ma'mun memerintahkan agar dikumandangkan bahwa dia berlepas diri dari siapapun yang mengatakan bahwa Mu'awiyah itu adalah orang baik. Dia juga memerintahkan kepada setiap orang bahwa orang yang paling mulia setelah Rasulullah adalah Ali bin Abi Talib.

  Pada tahun 212 H, al-Ma'mun menyatakan dengan terang-terangan bahwa al-Qur'an adalah makhluk disamping perkataannya bahwa Ali lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar. Akibatnya kaum muslimin merasa kesal dengan perkataan itu. Hampir saja ucapan- ucapan yang sangat kontroversial itu menimbulkan bencana besar dikalangan kaum muslimin. Ternyata rakyat sangat peka dengan masalah yang mereka anggap sebagai bagian penting dari agama itu. Akibat protes keras dari publik dan rakyatnya itu menghentikan ide- ide kontroversial al-Ma'mun. 12 Ensiklopedi, 149

  Al-Makmun meninggal pada hari Kamis, tanggal 18 Rajab tahun 218 H, di sebuah wilayah yang disebut Badidun, sebuah tempat di Romawi. Dan selanjutnay dibawa ke

13 Tharsus dan dimakamkan disana.

  Pengertian al-Mihnah

  Al-Mihnah berasal dari kata Mahana yang artinya al-Baliyyah atau al-ikhtiyar yang berarti (ujian, cobaan, bencana). Sedangkan al-Mihnah berarti ma yamtahinu bihi al-insan

  14 yang berarti apa yang menjadi ujian bagi manusia berupa cobaan hidup. min baliyyatih

  Selanjutnya dalam kajian teologi, mihnah mempunyai arti khusus yang dihubungkan dengan cobaan dan penderitaan yang diterima oleh muhadditsin, fuqaha, gubernur, hakim dan pejabat pemerintah. Hal ini disebabkan oleh keteguhan mereka mempertahankan pendapatnya

  15

  yang mengatakan bahwa al-Qur'an bukan diciptakan (makhluk). Paham tentang Al-qur'an itu diciptakan (makhluk) adalah merupakan konsekuensi paham Mu'tazilah al-Tauhid. Menurut Mu'tazilah Tuhan benar-benar Esa. Secara rasional dapat dipahami kalau al-Qur'an itu qadim dan bukan makhluk maka muncullah pengertian, bahwa yang qadim ada dua bahkan lebih sehingga menimbulkan paham Taaddudu al Qudama' atau berbilangnya yang

  16

  qadim.. Menganggap adanya yang qadim selain Allah dianggap musyrik. . Perbuatan musyrik tidak akan diampuni dosanya oleh Allah SWT, kecuali kalau ia bertaubat sebelum

  17 meninggal dunia.

  48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.

  13 14 Al-Suyuthi, Tarikh, 383 Louis Ma'luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut :1979) 750 . Al-Mihnah , istilah ini pernah digunakan untuk menggambarkan ketabahan hati para Rasul dalam menghadapi cobaan saat berdakwah. Lihat Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Kairo : maktabah al-Nahdah al-Mishriyah, II, 1936), 166. Jadi al-Mihnah adalah pemeriksaan paham pribadi atau inquisition. Lihat Noercholis Madjid, "Disiplin Keilmuan Tradisional Islam, Ilmu Kalam," dalam Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,1992), 207. Dalam konteks ini al-Mihnah dipahami semacam litsus, yakni kebijaksanaan pemerintah Abbasiyah (baca: al-Ma'mun) untuk mempertanyakan (disertai sangsi), 15 pendapat seseorang mengenai berbagai persoalan agama, khususnya tentang Khalq al-Qur'an. 16 Harun Nasution dkk, Tim IAIN, Enciklopedia Islam Indonesia, (penerbit PT. Jambatan, t.t), 650 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta UI- 17 Press,1986), 52 Q.S. al-Nisa' :48

  Mu'tazilah berpandangan bahwa keesaan dan transendensi Tuhan itu adalah "wujud puncak murni". Sebagai wujud murni Tuhan tidak seperti manusia, tidak juga terbagi dalam cara apapun. Alasan utama yang mendasari Mu'tazilah memunculkan ini karena mereka tidak mentolerir adanya keyakinan yang condong pada peng-qodiman selain Allah. Sedangkan paham bahwa al-Qur'an bukan makhluk, sebagaimana yang banyak diyakini oleh umat Islam saat itu akan mudah sekali membawa umat pada kemusyrikan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam paham Sunni tentang khalq a-Qur'an yang mengatakan bahwa al-Qur'an itu merupakan kata-kata Tuhan dan karena itu bersifat abadi.

  Sementara penegasan demikian akan mengundang bantahan terutama bagi al-Ma'mun, bahwa al-Qur'an muncul dalam suatu titik tertentu, maka berarti al-Qur'an itu makhluk. Al- Ma'mun telah mengetahui bahwa mayoritas jumhur kaum muslimin dari kalangan rakyat awam yang tidak memiliki ilmu yang mapan dan cahaya ilmu serta bukti kebenaran telah menyamarkan antara Allah dan apa yang Allah turunkan. Mereka adalah orang-orang yang bodoh, orang-orang yang dibutakan, orang-orang yang sesat dari hakikat agama yang sebenarnya. Mereka tidak mampu menempatkan Allah pada tempat yang selayaknya, dan mereka tidak mampu mengenal Allah dengan pengenalan yang seharusnya. Mereka tidak mampu membedakan antara Allah dengan Makhluk-Nya. Akibatnya, mereka menyamakan antara Allah dengan makhluk-Nya. Oleh sebab itulah mereka menyatakan bahwa makhluk- Nya (maksudnya adalah al-Qur'an) adalah bersifat qadim, dan Allah tidak menciptakannya, padahal Allah sendiri berfirman:

  " Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya)." (al-Zukhruf :3).

  Semua orang tahu bahwa apapun yang Allah jadikan adalah merupakan ciptaan-Nya dengan demikian dia adalah makhluk. Sebagaimana Allah berfirman:

  

" Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara

terperinci." (Huud :1).

  Allah telah menyusun Kitab-Nya dengan rapi dan menjelaskan-Nya. Dengan demikian, maka Dia adalah Pencipta al-Qur'an.

  Al-Mihnah terjadi ketika Yazid ibn Harun wafat (824 M) dan digantikannya Yahya bin Aksan oleh Ahmad ibn Abu Daud, seorang tokoh mu'tazilah (835 M).182 pada saat itulah al-Ma'mun secara terang-terangan menyampaikan paham khalq al-Qur'an ini. Hal ini dimulai dari diskusi-diskusi dalam majelis muhadharah yang telah lama dirintisnya. Majelis ini banyak dihadiri oleh berbagai aliran untuk membahas berbagai persoalan dengan tujuan ingin memprsatukan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat satu sama lain dalam berbagai

  18

  hal. Dengan demikian al-Mihnah sendiri pada awalnya ditujukan sebagai suatu evaluasi

  19

  terhadap hasil-hasil diskusi yang telah dilakukannya. Al-Ma'mun ingin mengetahui apakah ajaran-ajaran mu'tazilah yang telah disampaikannya terutama tentang khalq al-Qur'an melalui forum tersebut diterima oleh para 'ulama atau tidak. Ternyata dia mengalami kegagalan karena sebagian besar 'ulama terutama 'ulama ahl al-Hadith tetap mawquf dalam persoalan ini. seperti yang dikutip oleh Abu Zahrah dalam kitabnya "Tarikh al-Madhahib al-

  Islamiyah" itu tertulis:

  "Kumpulkan orang-orang yang engkau angkat menjadi hakim dan bacakan surat amiril mu'minin kepada mereka, kemudian mulailah menguji aqidah mereka tentang kemakhlukan al-Qur'an. Beritahukan kepada mereka bahwa amirul mu'minin dalam menangani urusan-urusan rakyatnya tidak mau mempercayai dan meminta bantuan kepada orang-orang yang keberagamannya tidak dapat diyakini dan tawhidnya tidak bersih. Apabila mereka telah mengakui hal itu dan sependapat dengan amirul mu'minin, serta berada di jalan yang lurus, maka perintahkan kepada mereka secara resmi agar orang-orang yang hendak berurusan dengan mereka bersaksi kepada orang banyak tentang pengetahuan mereka mengenai al-Qur'an. Janganlah mereka menerima kesaksian orang yang tidak mengakui bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Tulislah laporan kepada amirul mu'minin kepada para hakim yang tidak mengakuinya. Perintahkan pula kepada mereka untuk melaksanakan tugas yang sama seperti itu. Kemudian cabut jabatan hakim dari orang yang tidak mengakuinya dan batalkan eksekusi putusannya agar hukum-hukum Allah diberlakukan hanya dengan

  .20

  kesaksian orang-orang yang memahami agama dan tawhidnya bersih"

  Al-Ma'mun menerapkan al-Mihnah sebagai mazhab resmi negara

  Kemunculan Mu'tazilah pada masa pemerintahan bani Umayyah tidak mendapatkan tantangan dari pihak penguasa karena mereka tidak menimbulkan gangguan dan tidak pula memerangi bani Umayyah. Kegiatan mereka hanya berpikir, adu argumentasi, dan mengkaji serta menguji masalah-masalah berdasarkan logika yang benar. Bani Umayyah tidak

  21 menentang , membantu atau mendukung mereka. 18 19 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyah, 1976), 45 20 Eliade, The Enciclopedia, 222 21 Zahrah, Tarikh, 179 Eliade, The Enciclopedia, 220 Sebagai aliran rasional, paham Mu'tazilah sejak tahun 100 H/718 M perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya di zaman khalifah-khalifah Bani Abbas a.L: al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan al-Wasiq (813-847 M), apalagi setelah al-Ma'mun di tahun 827 M mengakui faham Mu'tazilah sebagai mazhab resmi

  22

  yang dianut Negara. Aliran Mu'tazilah mampu menempati kedudukan resmi negara selama 34 tahun. Untuk selanjutnya paham Mu'tazilah digantikan oleh aliran Sunni.

  Pada masa Abbasiyah banyak ditemukan orang-orang yang mulhid (ingkar terhadap Allah), dan Zindiq. Karena khalifah melihat bahwa golongan Mu'tazilah telah berjasa menumpas orang-orang zindiq, maka mereka membiarkan dan tidak membasmi golongan ini.

  Bahkan merangsang golongan tersebut untuk mempertahankan paham mereka. Khalifah al- Ma'mun mengakui dirinya sebagai salah seorang penganut Mu'tazilah, serta mengangkat para pengawal dan menterinya dari kalangan mereka. Ia mengadakan diskusi-diskusi antara

  23 Mu'tazilah dan para ulama Fiqh untuk mencari persamaan pandangan. Dukungan penuh

  dari al-Ma'mun kepada Mu'tazilah dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah dengan kekuatan politiknya maupun dalam kapasitasnya sebagai seorang pengikut Mu'tazilah, telah membawa Mu'tazilah pada era kemasyhurannya dalam sejarah.

  Ketika ajaran tawhid Mu'tazilah mencuatkan masalah "khalq al-Qur'an", maka teologi memasuki wilayah formal-legal kenegaraan. Ini terjadi pada masa al-Ma'mun di bawah pengaruh Bishr al-Marisi, maka, al-Ma'mun menjadikan mu'tazilah sebagai doktrin resmi negara, dan membidik tegas terhadap oposan ideologinya. Doktrin ekspresifnya adalah bahwa al-Quran merupakan makhluk. Pemberlakuan dogma itu secara agresif dinyatakan dengan

  24

  momen al-Mihnah/inquistion (tes keimanan). Ini adalah merupakan episode hitam Mu'tazilah dalam perjalanan sejarahnya yang tidak bisa hilang dari ingatan umat Islam. Episode itu dikenal dengan tragedi al-Mihnah.

  Dasar dikeluarkannya instruksi ini adalah karena Al-Ma'mun dalam kedudukannya sebagai khalifah merasa berkewajiban untuk memelihara kemurnian agama dan menegakkan kebenaran dalam lingkungan rakyat, untuk itu pejabat-pejabat Negara maupun hakim atau

  25 qadhi haruslah orang yang memiliki tauhid yang benar.

  Al-Ma'mun menetapkan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dengan Mihnah ini mempunyai tujuan ganda. Pertama, ia ingin membersihkan setiap aparatur pemerintahannya dan para pemimpin masyarakat dari perbuatan-perbuatan syirik. Kedua, ia ingin 22 23 Harun Nasution, Teologi Islam, 61 24 Zahrah, Tarikh, 175 Eliade, 220

  memperbesar jumlah pengikut Mu'tazilah yang minoritas itu. Ini terbukti dari usahanya melancarkan Mihnah kepada para fuqaha dan muhaditsin dengan harapan apabila mereka mau mengakui kemakhlukan Al-Qur'an, tentu banyak dari rakyat yang mengikuti ajaran

26 Mu'tazilah.

  Tujuan memperbesar jumlah pengikut Mu'tazilah juga dapat diinterpretasikan kepada dua tujuan pokok. Pertama, karena didorong oleh semangat al-amru bi al-ma'ruf wa na nahyu

  

'an al-munkar yang menjadi prinsip Mu'tazilah. Kedua berkonotasi politik karena Al-Ma'mun

  menginginkan kedudukan Mu'tazilah sebagai madzab negara agar tidak goyah, karena Al- Ma'mun menyadari sepenuhnya bahwa lawan-lawan Mu'tazilah cukup besar jumlahnya. Kemungkinan sekali atas dasar inilah al-Ma'mun melakukan kekerasan dan intimidasi agar masyarakat menjadi pengikut Mu'tazilah. Sebab, kalau masyarakat sudah menjadi pengikut Mu'tazilah akan tercapailah kesatuan sikap dan pandangan dalam negara. Dengan cara demikian, ide-ide dan ajaran Mu'tazilah bisa berjalan lancar tanpa hambatan.

  Pada tahun 218 h. Al-Ma'mun memberikan surat (instruksi) pertama yang dikirimkan kepada gubernur Baghdad, Ishhaq bin Ibrahim al Khuzai anak paman Thahir bin al-Husein, pada bulan Rabi'ul awal 218 H/ 833 M. Instruksi itu bertujuan untuk mengadakan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat Negara serta para hakim agung mengenai pendapat

  27 mereka tentang kitab suci Al-Qur'an.

  Setelah minhah dilaksanakan tehadap pejabat negara maupun para hakim dan qadhi, maka al-Ma'mun mengirimkan suratnya yang kedua kepada gubernur Ishaq bin Ibrahim. Isi surat tersebut adalah agar Ishaq bin Ibrahim menghadirkan tujuh tokoh ulama terkemuka Baghdad tentang Al-Qur'an. Diantara ketujuh ulama tersebut terdapat Muhammad Ibnu Sa'ad yang lebih dikenal dengan nama Katib Al-Wakidi. Ia seorang pakar sejarah. Karyanya yang

  28 terkenal adalah "Thabaqat Al-Qubra".

  Dalam rombongan tersebut nama Ahmad bin Hambal, tokoh terkemuka di Baghdad, telah dihapus oleh Ahmad bin Abi Daud yang menjabat sebagai kepala qadhi. Hal ini dilakukan untuk menjaga kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam pemeriksaan di depan khalifah Al-Ma'mun, ketujuh tokoh tersebut mengakui kalau Al-Qur'an

  29 itu adalah makhluk.

  25 M. Yoesoef Sou'yb, Sejarah Daulah Abbasiyah I, (1982), 26

  196 27 Harun Nasution, Telogi Islam, 62 28 Ibnu Jarir al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al Muluk, t.t. Juz III, 224 29 Ibid, 206 Setelah berita tersebut sampai kepada khalifah, segera khalifah menginstruksikan Abdullah bin Ishaq, melalui suratnya yang keempat, untuk mengirim kedua tokoh tersebut sebagai tahanan ke Tarsus. Sebelum kedua tokoh tersebut sampai di Tarsus, berita kematian Al-Ma'mun telah sampai kepada mereka. Akhirnya mereka dikirim kembali ke Baghdad. Sebelum sampai di Baghdad Abdullah bin Nuh meninggal dunia.

  30 Kini tinggallah Ibnu Hambal yang tetap mempertahankan prinsipnya dan menolak

  untuk berbuat pura-pura (taqiyyah) sebagaimana yang diperbuat ulama-ulama lain guna menghindari siksaan. Bagaimanapun tekanan dan argumen yang diajukan pihak lawan Ibnu Hambal tetap tidak berubah. Akibatnya ia disiksa tetapi kemudian ia dibebaskan.

  31 Menurut al-Ma'mun orang yang memimpin rakyat haruslah orang yang betul-betul

  menganut faham tauhid. Ahli Fiqh dan ahli Hadith diwaktu itu mepunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Kalau golongan ini mengakui diciptakannya al-Qur'an tentu banyak dari rakyat yang mengikuti ajaran Mu'tazilah. Ini adalah dialog yang terjadi antara Ishaq Ibn Ibrahim, Gubernur Irak dengan beberapa ulama sebagai berikut :

  Ishaq berkata, " Kini Amirul mu'minin telah menulis surat baru lalu apa

  pendapatmu?"

  Al-Bisyr berkata, "Saya katakan bahwa al-Qur'an adalah firman Allah." Ishaq berkata, " saya tidak menanyakan itu. Yang saya tanyakan ialah apakah dia

  makhluk atau bukan makhluk ?"

  Al-Bisr berkata, Saya tidak bisa mengatakan sesuatu yang lebih baik daripada itu

  kepadamu ! Saya telah berjanji kepada Amirul Mukminin untuk tidak mengatakan apa-apa tentang masalah ini." Kemudian Ishaq berkata kepada Ali bin Abi Muqatil, " Bagaimana pendapatmu ?" Dia menjawab," Al-Qur'an adalah kalam Allah, dan jika Amirul Mukminin memerintahkan sesuatu, maka kami mengatakan, kami dengar dan kami tatati".

  Abu Hasan al-Zabadi mengatakan perkataan serupa. Lalu dikatakan kepada Ahmad bin Hambal," apa pendapatmu sendiri wahai Ahmad bin Hambal ?" Imam Ahmad , " Al-Qur'an itu adalah kalam Allah !"

  Ishaq berkata," Dia adalah firman Allah, dan saya tidak akan menambahkan kata

  apapun lebih daripada ini !" 30 Harun Nasution dkk. Tim IAIN, Enciklopedia Islam Indonesia, (penerbit PT. Jambatan., t.t). 650 31 Ibid, 651

  Lalu Ishaq menguji yang lain. Mereka memberikan jawaban dengan tlisan. Dalam hal ini Ibnu al-Bakka' berkata: Saya katakan bahwa al-Qur'an itu adalah diciptakan dan dia adalah baru karena adanya nash di dalam al-Qur'an !

  

Ishaq berkata kepadanya, " Bukankah setiap yang dijadikan itu pasti makhluk?"

  Dia berkata, Ya!" Dengan demikian al-Qur'an itu makhluk?" tanya ishaq lebih lanjut. Dia berkata, "Saya tidak pernah mengatakan bahwa al-Qur'an adalah makhluk !"

  Ishaq kemudian mengirimkan jawaban mereka kepada al-Makmun. Setelah membaca

  semua jawaban yang diberikan oleh para fuqaha,al-Makmun menulis kembali sepucuk surat kepada Ishaq; Telah sampai kepadaku jawaban yang diberikan oleh orang-orang yang mengaku-ngaku dirinya sebagai ahli Kiblat dan orang-orang yang mengejar kepemimpinan yang sebenarnya mereka sama sekali tidak berhak untuk mendapatkannya. Maka barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk, laranglah dia untuk mengeluarkan fatwa dan larang pula untuk meriwayatkan hadith.

  Di dalam surat itu tertulis: ketahuilah bahwa apa pun yang dikatakan oleh al-Bisyr, maka itu adalah sebuah kebohongaan. Sebab Amirul Mukminin sama sekali belum peernah melakukan kesepakatan apa pun dengannya. Yang terjadi antara dia dengan Amirul Mukminin adalah perkataanya bahwa dia secara ikhlas mengatakan : Al-Qur'an adalah makhluk. Oleh sebab itu panggillah dia kepadamu. Jika dia menyatakan tobatnya, sebarkan pernyataan tobatnya itu. Dan jika memaksa untuk terus melakukan kemusyrikan dan kekafiran-nya

  • –dengan mengatakan bahwa al-Qur'an bukan makhluk-, maka penggallah kepalanya, dan kirimkan kepadaku. Demiian pula dengan Ibrahim al-Mahdi. Ujilah dia, jika dia mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka biarkanlah dia, namun jika menolak maka penggallah kepalanya.

  Sedangkan kepada Ahmad bin Hambal, maka beritahukanlah bahwa Amirul Mukminin telah mengerti maksud yang terkandung dalam jawabannya, dan ini semua menunjukkan kepada kebodohan dan penyakit yang ada dalam dirinya.

  Ternyata semua yang hadir saat itu menyatakan bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Hanya Imam Ahmad bin Hambal, sajadah, Muhammad bin Nuh dan al-Qawariri yang tidak mau mengatakan bahwa al-Qur'an adalah makhluk, Akhirnya Ishaq memerintahkan agar mereka diborgol. Lalu dia menanyakan pendapat mereka tentang al-Qur'an. Dalam keadaan terikat itulah mereka ditanya dan Sajadah pun mengiyakan. Lalu Ishaq mengulangi pertanyaan itu sebanyak tiga kali hingga al-Qawariri pun mengiyakan, Sedangkan Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh akhirnya dikirim ke Romawi.

  Al-Ma'mun sendiri jatuh sakit saat berada di Romawi. Tatkala sakitnya semakin parah dia meminta kepada anaknya al-Abbas. Agar segera menemuinnya , sedangka dia mengira bahwa al-Abbas tidak akan sampai kepadanya. Al-Abbas datang menemuinya dalam keadaan sangat keletihan. Sedangkan surat keputusan telah disebarkan ke seluruh penduduk negeri, Dalam surat itu tercantum : Dari Abdullah al-Ma'mun dan saudaranya Abu Ishaq khalifah yang akan menggantikannya setelah dirinya.

  Disebutkan bahwa teks surat itu memang sengaja ditulis atas perintah al-Ma'mun, Namun ada pula yang menyatakan bahwa ia ditulis pada saat al-Ma'mun sedang pingsan dan tidak sadarkan diri.

  Tindakan al-Ma'mun itu lebih menunjukkan keinginannya untuk menyalamatkan

  32 umat dari kemusyrikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh tokoh Mu'tazilah lainnya.

  Keputusan al-Ma'mun dalam melaksanakan ujian al-mihnah menjelang wafatnya ini menjadi satu tanda tanya. Karena selama ini dia dikenal sebagai orang yang paling toleran dalam hal

  187

  perbedaan paham keagamaan. rasa heran di kalangan ulama terutama ahl-al hadith bertambah lagi ketika al-Ma'mun mengirim surat pertamanya (tahun 836 M) kepada Ishaq ibn dirham gubernur Baghdad. Inti suratnya menggambarkan keprihatiannya terhadap kondisi umat islam saat itu, yang dinilainya buta terhadap masalah aqidahnya sendiri, yang tercermin dari keyakinannya bahwa al-Qur'an bukanlah makhluk. Hal ini dalam pandangan al-Ma'mun akan membawa pada ta'addudu al-qudama' yang menjauhkan umat islam dalam

  33 kemusyrikan.

  Adapun alasan-alasan yang diajukan Ibnu Hambal dalam mempertahankan pendapatnya adalah karena di dalam ayat dipakai kata jaala (menjadikan), bukan digunakan kata Khuliqa (diciptakan), seperti pada firman Allah dalam Surat al-Zuhruf ayat :3: 3. Sesungguhnya kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).

   Hadits

sendiripun menggunakan kata kataba (menuliskan), sehingga secara eksplisit tidak ada ayat

maupun hadis yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk.

32 Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi,t.t)Wasil ibn Atha' sering berdebat

  

dengan paa pengikut hawa nafsu dan orang-orang kafir, sehingga Wasil menyebarkan murid-muridnya di

berbagai wilayah untuk memerangi kaum zindiq, dia menentang kaum Manawiyah (Manichein). Demikian juga

al-Nazzam banyak berdebat dengan Shalih ibn Abd al-Quddus , seorang penganut sufistikisme yang meragukan

segalanya. Demikian juga al-Ma'mun banyak berdebat dengan orang Khurasan yang murtad. 33 Amin, Dhuha al-Islam,168

  Sementara menurut Mu'tazilah justru dengan kata ja'ala (menjadikan) mengandung pengertian menjadikan sesuatu. Dengan demikian sesuatu itu adalah baru. Kalau sesuatu itu baru berarti makhluk, seperti firman Allah:

  

2. Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka,

melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,

  Adapun yang datang kepada mereka itu tentang Al-Dzikra dari Tuhannya adalah diadakan (Al-Anbiya': 03). Dalam pandangan Mu'tazilah kalam Allah yang hadith (diciptakan) adalah susunan huruf, kalimat yang ditulis dalam mushaf hingga suara yang

  34 diperdengarkan oleh qari' Ibn Hambal meganggap itu semuanya adalah qadim (azali).

  Sungguhpun demikian Mu'tazilah mengakui qadim (kekal)-nya kalam Allah yang terletak

  35 dibalik yang tersusun atau maknanya.

  Tampaknya ada alasan mendasar mengapa Al-Ma'mun melakukan al-Minhah. Khalifah Abbasiyah Al-Ma'mun dalam menyebarkan ajaran Mu'tazilah memandang perlu untuk memberikan pelajaran terhadap kelompok yang beroposisi dalam hal ini ahli hadith yang semakin merajalela khususnya di Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok ahli hadis dengan Syi'ah tentu meresahkan keamanan ibukota.

  Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan kaum Syi'ah, tidak mengherankan kalau menunjukkan sikap bermusuhan terhadap ahli hadis yang menganggap keazalian Al-Qur'an sehingga tampak seakan- akan Al-Qur'an yang menjadi topik

  36 kontroversial diantara mereka.

  Akan tetapi ternyata fakta membuktikan lain. Minhah sama sekali tidak menguntungkan bagi khalifah. Mu'tazilah kehilangan simpati masyarakat karena dianggap sebagai sumber malapetaka. Sebaliknya, Ibn Hambal tampil sebagai pemenang moral yang luar biasa karena kegigihannya mempertahankan pendirian meskipun mengalami siksaan berat. Situasi seperti ini menyebabkan Ibn Hambal mempunyai pengikut yang banyak dari kaum muslimin yang tidak setuju dengan Mu'tazilah. Tambahan pula, tokoh-tokoh kenamaan Mu'tazilah pada masa itu sudah banyak yang meninggal dunia sehingga hal ini mempercepat proses kemunduran Mu'tazilah. 34 35 Muhammad Yusuf Musa, Al-qur'an wa Falsafatuhu, (Mesir : Daar al-Ma'arif, 1966), 92 36 Harun Nasution, Teologi Islam, 144 Harun Nasution, dkk, 650

  Setelah beberapa tahun Mu'tazilah mencapai perkembangan yang cukup cepat dan meluas, terutama pada masa tiga khalifah Bani Abbasiyah: Al-Ma'mun, Al-Mu'tasim, dan Al- Wasiq; akhirnya Mu'tazilah mengalami kemunduran sebagai aliran teologi maupun secara idealisme. Kemunduran Mu'tazilah ini bisa dipahami dari keinginan para pengikutnya untuk memperjuangkan dan menyuarakan kebebasan berfikir, namun dengan peristiwa al-mihnah yang mereka kembangkan justru memberikan kesan bahwa mereka telah memaksakan kehendaknya kepada pihak lain untuk menyutujui pendapat mereka terutama tentang kemakhlukan dan kebaharuan Al-Qur'an.

  Agaknya tindakan al-Mihnah ini cukup menimbulkan persoalan yang serius dalam memecah belah dan menggelisahkan umat khususnya para ulama pada masa itu. Gejala demikian agaknya telah diselamatkan oleh al-Mu'tashim yang dengan pengaruh dan kekuasaan-Nya memberikan keputusan untuk mengumumkan tidak berlakunya lagi al- Mihnah. Setelah itu, al-Mu'tashim menindak Ahmad Ibn Abi Daud sebagai otak Mu'tazilah dan membebaskan orang-orang yang terkurung di penjara akibat al-Mihnah tersebut. Dasar pembebasan Ibnu Hambal itu karena kekaguman Al-Mu'tashim, khalifah yang berjiwa militer terhadap keberanian dan kegigihan Ibnu Hambal dalam mempertahankan pendiriannya. Seterusnya, al-Mutawakkil memerintahkan kepada rakyat agar mengikuti para ahli Hadith dan berpegang kepada pendapat ahlu Sunnah wa al-Jamaah yang dipelopori oleh Ahmad Ibn

  37 Hambal---dalam memecahkan masalah, terutama masalah agama.

  Akhir perjalanan al-Mihnah selesai pada saat tampilnya khalifah al-Mutawakkil yang menggantikan al-Wathiq. Dia memerintahkan penghentian al-Mihnah di seluruh pelosok negeri. Setelah sebelumnya dia menghentikan pemakaian Mu'tazilah sebagai dogma negara. Hal ini dilanjutkan oleh alMutawakkil denganmengganti posisi Ahmad ibn Abi Dawud sebagai qadhi besar dan menyerahkannya kepada Yahya ibn Aksan-bekas qadhi besar sebelum al-Mihnah.

  Semenjak masa al-Mutawakkil inilah golongan Mu'tazilah mengalami tekanan berat, sedang sebelumnya menjadi fihak yang menekan. Kitab-kitab mereka dibakar dan kekuatannya dicerai-beraikan sehingga kemudian tidak lagi ada aliran Mu'tazilah sebagai suatu golongan. Terutama setelah tampilnya al-Asy'ari dan kemenangannya dalam bidang

  38 pemikiran dan diterima oleh rakyat . 37 38 Ahmad Amin, Duha al-Islam, (Kairo : Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964), 207 Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1996), 57 Meskipun Mu'tazilah telah tersingkir pada tahun 848 M tetapi masih dapat bangkit kembali pada masa Bani Buhaiwi berkuasa di Baghdad (945-1055 M). Pada masa ini orang- orang Mu'tazilah memperoleh beberapa posisi kerajaan, seperti Abu Muhammad Abdullah Ibn Ma'ruf menjabat Qadli al-Qudlah (hakim agung) di Baghdad dan Abd Al-Jabbar Ahmad Ibn 'Abd Al-jabbar di daerah Ray. Juga pada masa ini terdapat majlis-majlis pengajian di sana.

  Nidzam al-Mulk adalah penganut faham Asy'ariyah berkembang pesat. Pada masa ini pula, Mu'tazilah tersingkir kembali untuk yang terakhir kalinya dan tidak mendapat perlindungan lagi dari pihak dinasti manapun juga. Aliran Mu'tazilah sebagai suatu golongan yang kuat, lambat laun berangsur lamah dan mengalami kemunduran, terutama setelah golongan Asy'ari menjadi panutan mayoritas kaum muslimin. Memang Kalam Asy'ari mudah dicerna oleh akal pikiran orang awam; berbeda dengan Mu'tazilah yang rasional dan filosofis. Kalam Mu'tazilah yang rasional ini kini sebagian masih dijumpai dalam sistem dogamatika

39 Syi'ah.

  Dengan tenggelamnya Mu'tazilah, dikatakan oleh Ahmad Amin Agaknya merupakan bencana terbesar bagi kaum muslimin. Kendatipun demikian, tenggelamnya Mu'tazilah ini hanya terbatas pada Mu'tazilah sebagai aliran teologi, sementara semangat pemikirannya

  40 tidak begitu saja dapat dipatahkan.

  Pada akhir abad ketiga hijrah muncullah al-Khayyat yang dianggap sebagai sumber asli untuk mengetahui pendapat-pendapat Mu'tazilah. Pada permulaan abad keempat, muncullah Abu Bakar al-Ikhsidi (wafat 320H /932 M), dengan alirannya yang sangat berpengaruh selama abad keempat. Ulama Mu'tazilah angkatan baru yang terkenal ialah

  

Azzamakhsyary (467-538 H /1075-1144 M) yang menafsirkan Qur'an atas dasar ajaran-

  ajaran Mu'tazilah, dengan nama "Al-Kassaf". Tafsir ini sangat berpengaruh, dan lama sekali menjadi pegangan ahli Sunnah, sampai lahirnya tafsir Baidlawy. Kegiatan kaum Mu'tazilah baru hilang sama sekali setelah adanya serangan-serangan orang mongolia. Meskipun demikian, fikiran-fikiran dan ajarannya yang penting masih hidup sampai sekarang pada

  41 golongan Syi'ah Zaidiyah.

  Penutup 39 40 Fazlur Rahman, Islam. Terjemahan Ahsin Muhammad, ( Bandung : Pustaka, 1984), 356 41 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, 207 Ahmad Hanafi, Teologi Islam, 57

  Dilihat dari sejarahnya, peristiwa al-Mihnah ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari peran aktif yang dimainkan oleh al-Ma'mun baik sebagai khalifah , maupun sebagai penganut Mu'tazilah yang dituntut mengamalkan ajaran dasar al-amr bi al-ma'ruf wa al-

nahy 'an al-munkar, dengan memaksakan faham mereka supaya dianut oleh masyarakat.

Sikap al-ma'mun untuk membersihkan dan menyelamatkan kaum muslimin agar tidak tergelincir ke perbuatan syirik itu sangat terpuji. Namun cara yang dipergunakan dengan kekerasan untuk memaksakan faham Mu'tazilah kepada orang lain dengan melaksanakan Mihnah adalah tindakan yang keliru.

  Sesudah itu, aliran Mu'tazilah dianggap sebagai aliran yang menyimpang dari Islam. Terlepas dari pro dan kontra, bagaimanapun peristiwa al-Mihnah telah meninggalkan bekas dan trauma sejarah yang amat dalam di hati umat Islam. Bagi Mu'tazilah khususnya, merupakan kerugian besar.

  Peristiwa al-Mihnah tersebut merupakan fakta sejarah yang sarat dengan berbagai muatan ideologis dan politik, sehingga interpretasi terhadapnya dapat beragam. Pertama, atas penafsiran kalangan Sunni pada umumnya, yang memandang peristiwa al-Mihnah sebagai suatu tragedi pemaksaan idiologi oleh negara, Kedua, penafsiran yang memandang bahwa negaralah yang memaksakan ajaran Mu'tazilah kepada aparat dan 'ulama, bukan para teolog Mu'tazilah.. Itupun terbatas pada masalah khalq al-Qur'an, tidak pada doktrin-doktrin Mu'tazilah lainnya. Menurut pandangan ini, terjadinya al-Mihnah bukan karena Mu'tazilah sebagai aliran teologi, melainkan kenyataan politik waktu itu yang membuat teologi Mu'tazilah yang liberal berubah menjadi aliran yang tidak toleran terhadap kelompok lain yang meyakini al-Quran adalah makhluk.

DAFTAR PUSTAKA

  Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi,t.t) Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, III, (Kairo : Maktabah Nahdah al-Misriyah, 1936) Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1996) Ali Muhammad Radi, 'Ashral-Islam al-Dhahabi al-makmun al-Abasi (Mesir : Dar al-

  Quwmiyyah,tt) Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa' Sejarah Para Penguasa Islam, ( Jakarta : Pustaka al-kautsar :

  2001) Fazlur Rahman, Islam. Terjemahan Ahsin Muhammad, ( Bandung : Pustaka, 1984), Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyah, Harun Nasution dkk, Tim IAIN, Enciklopedia Islam Indonesia, (penerbit PT. Jambatan, t.t)

  • , Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

  ( Jakarta : UI Press, 1986) Ibnu Jarir al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al Muluk, t.t. Juz III Jurji Zaidan, History of IslamicCivilization ( New Delhi : Kitab Bahvan,1981) Louis Ma'luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut :1979) Merciia Eliade, The Encyclopediaof Religion, ( New York : Macmillan Liberary Refeence

  USA, t.t ) Muhammad Yusuf M. Yoesoef Sou'yb, Sejarah Daulah Abbasiyah I, (1982) Musa, Al-qur'an wa Falsafatuhu, (Mesir : Daar al-Ma'arif, 1966) Noercholis Madjid, Islam Doktrin Peradaban (Jakarta: Paramadina,1992), Syed Mahmuddunasir, Islam: It's Concept and History, (New Delhi: Kitab Bahvan,1981)

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25