BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis - Status Pendengaran Pada Tiga Orang Penderita Tuberkulosis Yang Mendapatkan Pengobatan Streptomisin Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

  2.1.1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang berkembang dari infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya bakteri ini menyebar dari orang ke orang melalui transmisi udara. (Lobue et al, 2008). Penyakit ini biasanya menyerang organ paru. Walaupun begitu, sepertiga dari jumlah kasus tuberkulosis menyerang organ ekstra paru (Raviglione,2005).

  2.1.2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

   Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

   Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).  Kasus setelah putus berobat (Default )

  Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.  Kasus setelah gagal (Failure)

  Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.  Kasus Pindahan (Transfer In)

  Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.  Kasus lain:

  Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

  Catatan:

  TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik (PNPT, 2007).

  2.1.3. Pengobatan TB Dalam guideline WHO tahun 2009 tentang panduan pengobatan tuberkulosis, WHO memberikan rekomendasi dosis untuk tiap jenis obat berdasarkan berat badan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.1. Rekomendasi dosis pada OAT untuk orang dewasa.

  Rekomendasi dosis Harian

  3 Kali Seminggu Drug Dosis dan Dosis dan

  Maksimum Maksimum rentang rentang ( mg ) harian ( mg )

  ( mg/kgBB ) ( mg/kgBB ) Isoniazid ( H ) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

  Rifampicin ( R ) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600 Pirazinamid (Z)

  • 25 (20-30) 35 (30-40)
  • Ethambutol (E) 15 (15-20) 30 (25
  • Streptomisin (S) 15 (12-18) 15 (12-18) 1000 (WHO, 2009).
Untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun mungkin tidak bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena itu direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mg/kg per hari pada pasien dengan umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin tidak bisa menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari (WHO, 2009).

  2.1.3.1 Pengobatan TB kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien baru TB paru BTA positif.

  • Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
  • Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.2. Dosis Untuk Paduan OAT KDT Kategori-1

  Tahap intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali Berat Badan selama 56 hari RHZE seminggu selama 16

  (150/75/400/275) minggu RH (150/150) 30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

  ≥ 71 kg ( PNPT,2009 )

  2.1.3.2. Pengobatan TB kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya :

  • Pasien kambuh
  • Pasien gagal
  • Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori-2

  Tahap lanjutan 3 kali Tahap intensif tiap hari RHZE seminggu RH (150/150)

  (150/75/400/275) + S Berat badan

  • E(400) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 2 tab 4KDT + 500 2 tab 2KDT + 2 tab

  30-37 kg mg streptomisin 2 tab 4KDT etambutol inj. 3 tab 4KDT + 750 3 tab 2KDT + 3 tab

  38-54 kg mg streptomisin 3 tab 4KDT etambutol inj. 4 tab 4KDT + 4 tab 2KDT + 4 tab

  55-70 kg 1000 mg 4 tab 4KDT etambutol streptomisin inj.

  5 tab 4KDT + 5 tab 2KDT + 5 tab 1000 mg 5 tab 4 KDT

  ≥ 71 kg etambutol streptomisin inj

  (PNPT, 2009)

  2.1.3.3. Pengobatan TB kategori-3 Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus ekstra pulmonal (selain dari kategori 1). Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2H

  3 R

  3 E

  3 Z 3 , yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H

  3 R

  3 (Amin, Zulkifli dan Asril Bahar, 2009).

  2.1.3.4. Pengobatan TB kategori-4 Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB) (Amin, Zulkifli dan Asril Bahar, 2009).

2.2. Streptomisin

  Streptomisin di dalam darah hampir seluruhnya terdapat di dalam plasma dan hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit maupun makrofag (Istiantoro, 2007 ).

  Suntikan intramuskular merupakan cara yang paling sering dikerjakan. Dosis total sehari berkisar 1-2 g (15-25 mg/kgBB); 500-1 g disuntikkan setiap 12 jam. Untuk infeksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 g dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Dosis untuk anak ialah 20-30 mg/kgBB sehari, dibagi untuk dua kali penyuntikan (Istiantoro, 2007).

  Streptomisin bekerja melalui inhibisi dari sintesis protein. Streptomisin hanya efektif melawan bakteri ekstraseluler di kavitas dimana pH netral. Streptomisin harus diadministrasi secara parenteral, dan tidak diabsorbsi di usus. Puncak konsentrasi serum dari 40 mikrogram/ml muncul kira-kira setelah satu jam 15 mg/kg dosis intramuscular. Banyak dari strain M. tuberculosis diinhibisi dengan konsentrasi 8 mikrogram/ml. waktu paruh streptomisin dalam darah adalah 5 jam (Kreider, 2008).

  Kejadian nefrotoksisitas dan ototoksisitas meningkat pada pasien dengan umur lebih dari 50 tahun dan penggunaan streptomisin harus lebih hati-hati pada pasien ini. Pada pengobatan tuberkulosis, penggunaan streptomisin terbatas hanya untuk 2 bulan (Kreider,2008).

  2.2.1 Sifat-sifat fisik dan kimia streptomisin Streptomisin berbeda dengan jenis aminoglikosida lain dimana aminoglikosida mempunyai struktur streptidine yang lebih dibanding 2- deoxystreptamine, dan aminosilitol tidak terletak di posisi sentral. Struktural formula daripada streptomisin dapat dilihat di bawah ini (Chambers, 2006).

Gambar 2.2. Struktur Streptomisin

  2.2.2. Mekanisme kerja Aminoglikosida bersifat bakterisid untuk organisme yang peka dengan cara penghambatan irreversible sintesis protein. Namun, mekanisme yang tepat ialah aktivitas bakterisid ini tidak jelas. Proses awal ialah penetrasi melalui selubung sel. Proses ini sebagian berupa transport aktif, sebagian lagi berupa difusi pasif. Karena transport aktif merupakan proses yang bergantung pada oksigen, aminoglikosida relatif tidak efektif terhadap kuman anaerob (Jawetz, 1998).

  Setelah memasuki sel, aminoglikosida akan mengikatkan diri dengan reseptor pada subunit 30S ribosom bakteri. Sintesis protein ribosom dihambat oleh aminoglikosida paling sedikit melalui 3 cara : (1) dengan mengganggu “kompleks awal” pembentukan peptida. (2) dengan menginduksi kesalahan membaca kode pada mRNA template, yang menyebabkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida; dan (3) menyebabkan suatu pemecahan polisom menjadi monosom yang tak berfungsi (Jawetz, 1998).

  2.2.3. Farmamokinetik Aminoglikosida merupakan persenyawaan yang saat polar sehingga sangat buruk penyerapannya di dalam gastrointestinal. Kurang dari 1% dosis diserap setelah pemberian melalui oral ataupun rectal. Obat tidak diaktivasi di usus dan dieliminasi melalui feses (Chambers, 2006).

  Setelah suntikan intramuskular, aminoglikosida diabsorbsi dengan baik, memberikan konsentrasi puncak di dalam darah dalam 30-90 menit. Hanya 10% dari obat-obat yang diabsorsi terikat pada protein plasma. (Jawetz dalam katzung, 1998). Pengikatan oleh protein plasma darah hanya jelas terlihat pada streptomisin, yaitu ½ dari seluruh aminoglikosida dalam darah. Yang lain praktis tidak diikat oleh protein plasma (Istiantoro, 2007).

  Konsentrasi aminoglikosida yang rendah ada pada sekresi dan di jaringan. Konsentrasi yang tinggi hanya terdapat di korteks ginjal dan di endolimph serta perilimph dari telinga bagian dalam. Konsentrasi obat yang tinggi pada tempat ini menyebabkan nefrotoksisitas dan ototoksisitas (Chambers, 2006).

  Aminoglikosida diekskresi hampir seluruhnya melalui filtrasi glomerular, dan konsentrasi urin 50-200 µg/ml tercapai, paling banyak muncul pada 12 jam pertama (Chambers, 2006).

  2.2.4. Efek samping Gangguan pendengaran dan gangguan vestibular muncul pada semua penggunaan jenis aminoglikosida. Hal ini dikarenakan akumulasi di konsentrasi plasma tinggi. Difusi kembali ke aliran darah lambat; waktu paruh aminoglikosida di cairan telinga lima sampai enam kali lebih lama dibanding di plasma.

  Ototoksisitas cenderung terjadi pada pasien yang menetap peningkatan konsentrasi obatnya di dalam plasma (Chambers, 2006).

  Alergi, demam, rash kulit, dan manifestasi alergik lainnya mungkin terjadi karena hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi pada kontak lama dengan obat ini, baik pasien yang menerima suatu seri pengobatan jangka panjang (misalnya untuk tuberkulosis), maupun pada orang-orang medis yang menangani obat ini (Jawetz, 1998).

  Rasa sakit pada tempat suntikan biasanya terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik yang paling serius ialah gangguan fungsi vestibular-vertigo dan hilang keseimbangan. Frekuensi dan beratnya gangguan ini sesuai dengan umur pasien, kadar obat dalam darah, serta lama pemberian. Disfungsi vestibular terjadi setelah beberapa minggu kadar dalam darah tinggi yang tidak biasa (misalnya pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal) atau berbulan-bulan dengan kadar yang relatif rendah. Setelah obat dihentikan, perbaikan parsial biasanya terjadi (Istiantoro, 2007).

  Penggunaan bersamaan atau sekuensial aminoglikosida yang lain dengan streptomisin harus dihindari untuk mengurangi kemungkinan ototoksisitas. Streptomisin yang digunakan selama masa kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonatus (Jawetz, 1998).

2.3. Gangguan Pendengaran

  2.3.1. Definisi Gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran

  (hearing impairment) berarti kehilangan total atau sebagian dari kemampuan untuk mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan total kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga (WHO, 2012).

  2.3.2. Klasifikasi Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran dapat berasal dari kelainan pada aurikel, kanal auditori eksternal, telinga tengah, telinga dalam atau jalur sentral auditori.

  Berdasarkan letak lesi, gangguan pendengaran dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu :  Gangguan pendengaran konduktif, letak lesi pada aurikel, kanal auditori eksternal atau telinga tengah. Gangguan ini disebabkan adanya obstruksi pada kanal auditori eksternal oleh serumen, debris, atau benda asing;

  swelling pada kanal; atresia atau neoplasma pada kanal; perforasi

  membran timpani; gangguan pada tulang osikular, sebagaimana muncul pada nekrosis tulang incus akibat trauma atau infeksi; otosklerosis; cairan, jaringan parut atau neoplasma pada telinga tengah.  Gangguan pendengaran sensorineural, letak lesi pada bagian telinga dalam atau saraf kranial ke-8. Kerusakan pada hair cell dari organ korti mungkin disebabkan oleh suara yang keras, infeksi virus, obat ototoksik (misal, salisilat, kuinin, dan sintetik analog, antibiotik aminoglikosida, loop

  diuretic seperti furosemide dan ethacrynic acid, dan obat kemoterapi

  seperti cisplatin), fraktur pada tulang temporal, meningitis, otosklerosis koklear, penyakit meniere, dan penuaan. (Anil, 2005)

Tabel 2.4. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran

  Derajat Gangguan Nilai ISO audiometric Deskripsi gangguan 0 ( tidak ada gangguan ) 25 dBHL atau kurang Tidak atau masalah (telinga yang lebih baik) pendengaran ringan.

  Dapat mendengar bisikan 1 ( gangguan ringan ) 26-40 dBHL Dapat mendengar dan (telinga yang lebih baik) mengulangi kata yang diucapkan secara normal dengan jarak 1 meter 2 ( gangguan sedang ) 41-60 dBHL Dapat mendengar dan

  (telinga yang lebih baik) mengulang kata yang diucapkan dengan suara yang lebih keras dengan jarak satu meter

  3 ( gangguan berat ) 61-80 dBHL (telinga Dapat mendengar yang lebih baik) beberapa kata ketika diteriakkan ke telinga yang lebih sehat

  4 ( tuli ) 81 dBHL atau lebih Tidak dapat mendengar (telinga yang lebih baik) dan mengerti bahkan dengan suara yang lebih keras

  WHO 1991

  2.3.3. Diagnosis Anamnese dilakukan pada pasien untuk mendapatkan karakteristik dari gangguan pendengaran, termasuk durasi ketulian, unilateral atau bilateral, onset kejadiannya ( tiba-tiba atau tersembunyi ), dan perkembangan kejadiannya (cepat atau lambat) (Anil, 2005).

  Pemeriksaan telinga penderita harus melihat bagian aurikel, kanal eksternal telinga serta membran timpani. Kanal eksternal telinga pada orang tua sering kering dan rapuh, lebih mudah untuk membersihkan serumen dengan wall-

  mounted suction dan cerumen loops dan hindari irigasi. Pada pemeriksaan

  gendang telinga, bentuk dari membrane timpani lebih penting daripada ada atau tidaknya refleks cahaya (Anil, 2005).

  Pemeriksaan dengan otoskopi dilakukan untuk memastikan bahwa kanal telinga terbuka secara penuh. Pemeriksaan ini juga dapat menentukan apakah ada infeksi telinga tengah dengan adanya cairan yang terakumulasi pada telinga tengah (Rubben, 2007).

  Tes awal kemampuan dengar dilakukan dengan menggosokkan ibu jari dengan jari telunjuk sekitar 2 inci dari telinga. Jika pasien tidak dapat mendengar gosokan jari, maka dilakukan tes selanjutnya (Greenberg, 2002).

  Rinne and weber tuning fork test, dengan garpu tala 256-512 Hz, dapat

  digunakan untuk skrining gangguan pendengaran, membedakan antara gangguan pendengaran konduktif atau sensorineural, dan untuk memastikan evaluasi audiologi (Anil., 2005).

  Tes rinne digunakan untuk membandingkan kemampuan dengar pada hantaran udara dengan kemampuan dengar pada hantaran tulang. Ujung garpu tala dipegang dekat dengan kanal auditori eksternal, dan kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus. Pasien kemudian diminta untuk menentukan mana nada suara yang lebih nyaring terdengar, antara hantaran tulang atau hantaran udara. (Anil, 2005). Jika terdapat gangguan pendengaran tipe sensorineural, maka nada akan lebih nyaring terdengar pada hantaran udara dibanding pada hantaran tulang. Jika terdapat ganggguan pendengaran tipe konduktif, maka stimulus hantaran tulang lebih nyaring terdengar dibanding stimulus pada hantaran udara (Greenberg, 2002).

  Kalau hantaran tulang didengar lebih lemah atau lebih kecil, hasil tes disebut Rinne positif. Hal ini ditemukan pada pendengaran normal dan pada gangguan pendengaran sensorineural. Kalau hantaran tulangnya didengar lebih lama atau lebih jelas, hasil tes disebut Rinne negatif. Hal ini dijumpai pada gangguan pendengaran hantaran (konduktif) (van den Broek, 2007).

  Untuk tes weber, gagang pegangan garpu tala diletakkan di garis tengah kepala dan pasien ditanya apakah nada terdengar pada kedua telinga ataukah terdengar lebih jelas pada satu telinga (Anil, 2005). Jika terdapat gangguan pendengaran tipe konduktif pada satu sisi saja, nada akan terdengar pada telinga yang mengalami gangguan. Jika terdapat gangguan pendengaran tipe sensorineural pada satu sisi saja, nada akan terdengar pada telinga yang mengalami tidak mengalami gangguan (Greenberg, 2002).

  Langkah berikutnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiometri. Pada tes ini, pasien menggunakan headphones yang memainkan nada dengan berbagai frekuensi dan lebih nyaring pada telinga. Pasien akan memberikan tanda ketika nada terdengar, biasanya dengan mengangkat tangan. Untuk setiap nada, tes akan mengidentifikasi nada yang paling diam yang bisa didengar oleh tiap telinga. Hasilnya dibandingkan dengan nilai ambang pendengaran normal (Rubben, 2007).

2.4. Patofisiologi Gangguan Pendengaran yang disebabkan oleh Aminoglikosida

  Setelah penggunaan sistemik, aminoglikosida akan terdeteksi di dalam koklea dalam beberapa menit. Aminoglikosida masuk ke berbagai struktur koklea melalui mekanisme uptake yang kompleks (Huth et al, 2011).

  Toksisitas pada koklear menyebabkan gangguan pendengaran yang dimulai dari frekuensi tinggi dan kerusakan yang ditimbulkan bersifat permanen pada sel rambut terluar organ korti, predominan di bagian basal koklea. Clearance dari aminoglikosida lebih lambat di cairan telinga dalam daripada di serum dan selanjutnya memperlama efek toksisitas yang ditimbulkan oleh aminoglikosida. (Hirvonen, 2005)

  Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida masih belum diketahui secara pasti. Banyak proses seluler terlibat dan diperlukan penelitian lebih lanjut. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa berbagai jenis aminoglikosida harus masuk ke dalam sel rambut untuk menginduksi kematian sel (Hiel, 1992). Setelah masuk ke dalam sel rambut, banyak mekanisme dan proses seluler yang terlibat. Gangguan pada sintesis protein mitokondria pembentukan radikal oksigen, aktivasi dari c-Jun N-terminal kinase dan aktivasi caspase dan nuclease. Aminoglikosida juga mempunyai efek langsung pada membrane potensial sel

  • melalui interaksi dengan kanal K . Sebagai tambahan, aminoglikosida berinteraksi dengan unsur metal seperti besi atau tembaga yang berpotensi untuk membentuk radikal bebas (Leitner, 2011).

  Semua interaksi dari bermacam proses yang berlangsung pada akhirnya menimbulkan kehilangan permanen pada sel rambut sensori di koklea dan vestibular apparatus, berujung apda gangguan pendengaran permanen atau gangguan keseimbangan (Selimoglu, 2007).