BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Profil Penderita Tumor Ganas Ovarium di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Ovarium Ovarium adalah sepasang organ berbentuk buah kenari yang mempunyai

  panjang sekitar 1,5 inchi atau 4 cm, lebar 1,5 cm, dan tebal 1 cm, terletak di kiri dan di kanan, dekat pada dinding pelvis di fossa ovarika. Ovarium melekat pada lapisan belakang ligamentum latum dengan mesovarium. Selain mesovarium, ovarium juga mempunyai dua perlekatan lain, ligamentum infundibulopelvikum (ligamentum suspensorium ovarii), yang merupakan tempat melintasnya pembuluh darah, pembuluh limfe, dan persarafan ovarium dari dinding pelvis, dan ligamentum ovarii, yang menghubungkan ovarium dan uterus (Ellis, 2006).

  Ovarium menerima aliran darah dari arteri ovarii yang merupakan percabangan dari aorta. Pada aliran darah balik, vena ovarii kanan menuju ke vena cava inferior, sedangkan vena ovarii kiri menuju ke vena renal. Pembuluh limfe ovarium melewati aortic nodes di level yang sama dengan pembuluh ginjal, mengikuti peraturan umum bahwa aliran pembuluh limfe suatu organ sama seperti aliran pembuluh vena organ tersebut. Untuk persarafan, ovarium menerima persarafan dari aortic plexus (T10) (Ellis, 2006).

Gambar 2.1. Anatomi Ovarium (Martini et al., 2012)

2.2. Histologi Ovarium

  Setiap ovarium mempunyai bagian-bagian histologi sebagai berikut : 1. Germinal Epithelium atau epitel germinativum adalah epitel selapis gepeng atau selapis kuboid yang menutupi permukaan ovarium (Junqueira,

  2002).

  2. Tunica Albuginea atau tunika albuginea adalah selapis jaringan ikat padat yang menyebabkan warna ovarium menjadi keputihan dan terletak di bawah epitel germinativum (Junqueira, 2002).

3. Ovarian Cortex atau daerah korteks terletak dibawah tunika albuginea, merupakan daerah yang terutama ditempati folikel ovarium dan oositnya.

  Folikel ini terbenam dalam jaringan ikat (stroma) di daerah korteks. Stroma ini terdiri atas fibroblas berbentuk kumparan khas yang berespon dengan berbagai cara terhadap rangsangan hormon dari fibroblas organ lain (Junqueira, 2002).

  4. Ovarian Medulla atau daerah medula yang terletak dibawah daerah korteks, merupakan bagian terdalam ovarium. Tidak ada batas tegas antara daerah korteks dan medulla, tetapi daerah medulla tersusun dari jaringan ikat longar dan berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf (Junqueira, 2002).

  5. Ovarian Follicles atau folikel ovarium terdapat di daerah korteks dan terdiri atas oosit yang dikelilingi oleh satu atau lebih sel folikel, atau sel granulosa. Ketika sel folikel membentuk selapis sel kuboid, folikel ini sekarang disebut folikel primer unilaminar. Sel folikel terus berproliferasi dan membentuk epitel folikel berlapis, atau lapisan granulosa, dengan sel- sel yang saling berkomunikasi melalui taut rekah. Folikel ini kini disebut folikel primer multilaminar atau preantrum. Sewaktu folikel tumbuh, terutama karena sel granulosa bertambah besar dan bertambah banyak, folikel ini berpindah ke daerah korteks yang lebih dalam. Cairan (liquor

  

folliculi ) mulai mengumpul di antara sel-sel folikel. Celah-celah kecil yang

  mengandung cairan ini menyatu, dan sel-sel granulosa mengatur diri membentuk rongga yang lebih besar, yaitu antrum. Folikel ini sekarang disebut folikel sekunder atau folikel antrum (Junqueira, 2002).

6. Mature (Graafian) Follicle atau folikel matang, pra-ovulasi, atau folikel

  Graaf, sangat besar (berdiameter sekitar 2,5 cm) sehingga dapat menonjol dari permukaan ovarium dan dapat dideteksi dengan ultrasonografi. Folikel ini merupakan folikel dominan yang dapat mengalami ovulasi dan biasanya hanya satu untuk setiap siklus menstruasi. Sedangkan folikel lainnya mengalami atresia (Junqueira, 2002).

  7. Corpus Luteum atau korpus luteum (badan kuning) merupakan folikel matang setelah ovulasi. Korpus luteum menghasilkan progesterone, estrogen, relaxin, dan inhibin akibat rangsangan LH (Luteinizing

Hormone ). Nasib korpus luteum ditentukan oleh ada tidaknya kehamilan.

Setelah dirangsang LH, korpus luteum terprogram untuk bersekresi selama 10-12 hari. Jika tidak ada rangsangan hormon lain dan tidak ada kehamilan, sel-sel korpus luteum akan berdegenerasi melalui apoptosis. Fibroblas di dekatnya memasuki daerah ini dan membentuk parut jaringan ikat padat yang disebut korpus albikans atau badan putih (karena banyaknya kolagen) (Junqueira, 2002).

Gambar 2.2. Histologi Ovarium (Tortora et al., 2009)Gambar 2.3. Histologi Ovarium (Tortora et al., 2009)

2.3. Tumor Ganas Ovarium

  Tumor ganas ovarium jenis epitel adalah penyebab utama kematian akibat keganasan ginekologi di Amerika Serikat. Pada tahun 2003 diperkirakan terdapat 25.400 kasus tumor ganas ovarium dengan 14.300 kematian, yang mencakup kira- kira 5% dari semua kematian wanita karena tumor ganas (Busmar, 2006).

  Karena belum ada metode skrining yang efektif untuk tumor ganas ovarium, 70% kasus ditemukan pada keadaan yang sudah lanjut yakni setelah tumor menyebar jauh di luar ovarium (Busmar, 2006).

2.3.1. Etiologi Tumor Ganas Ovarium

  Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan etiologi tumor ganas ovarium. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori tentang etiologi tersebut.

  1. Hipotesis Incessant Ovulation

  Teori ini pertama sekali diperkenalkan oleh Fathalla pada tahun 1972, yang menyatakan bahwa pada saat terjadi ovulasi terjadi kerusakan pada sel-sel epitel ovarium. Untuk penyembuhan luka yang sempurna dibutuhkan waktu. Jika sebelum penyembuhan tercapai terjadi lagi ovulasi atau trauma baru, proses penyembuhan akan terganggu dan dapat menimbulkan proses transformasi dari sel-sel ovarium menjadi sel-sel tumor (Busmar, 2006).

  2. Hipotesis Gonadotropin

  Teori ini didasarkan pada data yang diperoleh dari percobaan terhadap binatang dan data epidemiologi. Hormon hipofisa diperlukan untuk perkembangan tumor ovarium pada beberapa percobaan pada binatang rodenria. Pada percobaan ini ditemukan bahwa jika kadar hormon estrogen rendah di sirkulasi perifer, maka kadar hormon gonadotropin akan meningkat. Peningkatan kadar hormon gonadotropin ini ternyata berhubungan dengan makin bertambah besarnya tumor ovarium pada binatang percobaan. Berkurangnya risiko tumor ganas ovarium pada wanita multipara dan wanita pemakai pil kontrasepsi dapat diterangkan dengan rendahnya kadar gonadotropin pada kedua kelompok ini (Busmar, 2006).

  3. Hipotesis Androgen

  Teori ini pertama sekali dikemukakan oleh Risch pada tahun 1998 yang menyatakan bahwa androgen mempunyai peran penting dalam terbentuknya tumor ganas ovarium. Teori ini didasarkan pada bukti bahwa epitel ovarium mengandung reseptor androgen. Epitel ovarium selalu terpapar pada androgenik steroid yang berasal dari ovarium itu sendiri dan kelenjar adrenal, seperti androstenedion, dehidroepiandrosteron, dan testosterone. Dalam percobaan invitro, androgen dapat menstimulasi pertumbuhan epithel ovarium normal dan sel-sel tumor ganas ovarium jenis epitel dalam kultur sel.

  Dalam penelitian epidemiologi juga ditemukan tingginya kadar androgen (androstenedion, dehidroepiandrosteron) dalam darah wanita penderita tumor ganas ovarium. Jadi, berdasarkan hipotesis ini menurunnya risiko terjadinya tumor ganas ovarium pada wanita yang memakai pil kontrasepsi dapat dijelaskan yaitu dengan terjadinya penurunan kadar androgen (Busmar, 2006).

  4. Hipotesis Progesteron

  Progesteron memiliki peranan protektif terhadap terjadinya tumor ganas ovarium dan epitel normal ovarium mengandung reseptor progesteron. Progesteron menginduksi terjadinya apoptosis sel epitel ovarium, sedangkan estrogen menghambatnya. Pada kehamilan, dimana kadar progesteron tinggi akan menurunkan risiko tumor ganas ovarium. Hal ini menjelaskan mengapa risiko terjadinya tumor ganas ovarium pada wanita dengan paritas yang tinggi lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang nulipara. Pil kontrasepsi kombinasi atau yang hanya mengandung progesteron yang menekan ovulasi juga menurunkan risiko tumor ganas ovarium (Busmar, 2006).

  5. Paritas

  Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan paritas yang tinggi memiliki risiko terjadinya tumor ganas ovarium yang lebih rendah daripada nulipara, yaitu dengan risiko relatif 0,7. Pada wanita yang mengalami 4 atau lebih kehamilan aterm, risiko terjadinya tumor ganas ovarium berkurang sebesar 40% jika dibandingkan dengan wanita nulipara (Busmar, 2006).

  6. Pil Kontrasepsi

  Penelitian dari Centre for Disease Control menemukan penurunan risiko terjadinya tumor ganas ovarium sebesar 40% pada wanita usia 20-54 tahun yang memakai pil kontrasepsi, yaitu dengan risiko relatif 0,6. Penelitian lain melaporkan juga bahwa pemakaian pil kontrasepsi selama satu tahun menurunkan risiko sampai 11%, sedangkan pemakaian sampai lima tahun menurunkan risiko sampai 50%. Penurunan risiko semakin nyata dengan semakin lama pemakaiannya (Busmar, 2006).

  7. Terapi Hormon Pengganti pada Masa Menopause

  Pemakaian terapi hormon pengganti pada masa menopause (Menopausal

  Hormone Therapy = MHT) dengan estrogen saja selama 10 tahun

  meningkatkan risiko relatif 2,2. Sementara itu, jika masa pemakaian MHT selama 20 tahun atau lebih, risiko relatif meningkat menjadi 3,2. Pemakaian MHT dengan estrogen yang kemudian diikuti dengan pemberian progestin, ternyata masih menunjukkan meningkatnya risiko relatif menjadi 1,5. Oleh karena itu, MHT, khususnya dengan estrogen saja, secara nyata meningkatkan risiko relatif terkena tumor ganas ovarium. Pemakaian MHT dengan kombinasi estrogen dan progestin, meskipun lebih aman dari MHT dengan estrogen saja, untuk jangka panjang tidak dianjurkan lagi sebagai salah satu terapi suportif bagi wanita yang telah menopause (Busmar, 2006).

  8. Obat-obat yang Meningkatkan Kesuburan (Fertility Drugs)

  Obat-obat yang meningkatkan fertilitas seperti klomifen sitrat, yang diberikan secara oral, dan obat-obat gonadotropin yang diberikan dengan suntikan seperti Follicle stimulating hormone (FSH), kombinasi FSH dengan Luteinizing Hormone (LH), akan menginduksi terjadinya ovulasi atau multipel ovulasi. Menurut hipotesis incessant ovulation dan hipotesis gonadotropin, pemakaian obat penyubur ini jelas akan meningkatkan risiko relatif terjadinya tumor ganas ovarium. Pemakaian klomifen sitrat yang lebih dari 12 siklus akan menigkatkan risiko relatif menjadi 11. Tumor ovarium yang terjadi adalah tumor ovarium jenis borderline (Busmar, 2006).

  9. Faktor Herediter

  Dari studi metanalisis pada tahun 1988 ditemukan risiko relatif yang meningkat dan berbeda pada anggota keluarga lapis pertama. Ibu dari penderita tumor ganas ovarium risiko relatifnya 1,1, saudara perempuan risiko relatifnya 3,8, dan anak dari penderita tumor ganas ovarium risiko relatifnya 6. Antara 5-10% dari tumor ganas ovarium dianggap bersifat herediter. Kelompok tumor ganas ovarium ini termasuk dalam sindroma hereditary

  breast and ovarian cancer (HBOC) dan disebabkan oleh terjadinya mutasi

  di gen BRCA1 dan BRCA2. Wanita dengan gen BRCA1 yang telah bermutasi, mempunyai risiko terkena tumor ganas ovarium sebesar 40%- 60%, dan risiko terkena tumor ganas payudara sebesar hampir 90%. Risiko untuk menderita tumor ganas ovarium pada wanita dengan gen BRCA2 yang telah bemutasi lebih rendah daripada risiko pembawa gen BRCA1 yang bermutasi yaitu 16%-27%. Selain itu, tumor ganas ovarium juga merupakan bagian dari sindroma hereditary nonpolyposis colorectal

  cancer (HNPCC). HNPCC adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh autosomal dominant disorder yang berkaitan dengan kerusakan gen yang

  bertanggung jawab atas terjadinya reparasi yang tidak normal dari DNA (Busmar, 2006).

2.3.2. Klasifikasi Tumor Ovarium

  Kira-kira 90% tumor ganas ovarium berasal dari epitel koelom atau mesotelium (epithelial ovarian tumor) dan 10% adalah tumor ganas ovarium non- epthelial (non-epithelial ovarian tumor).

  Tumor ganas ovarium dikelompokkan atas 6 kelompok, yaitu: Tumor epitelial

   Tumor sex-cord dan stromal

   Tumor sel germinal

   Tumor sel lipid

   Sarkoma  Tumor metastasis (Busmar, 2006). 

Tabel 2.1. Klasifikasi Tumor Ovarium berdasarkan WHO (Busmar, 2006:

   Tumor of low malignant potential

   Tumor of low malignant potential

   Adenofibroma and cystadenofibroma

   Benign Adenoma and cystadenoma

  Endometrioid Tumors

   Mural nodule arising in mucinous cystic tumor

   Malignant adenofibroma

  Adenocarcinoma

   Endocervical like Malignant

   Intestinal type

   Adenofibroma and cystadenofibroma

  477-484)

   Benign Cystadenoma

  Mucinous Tumors

   Malignant adenofibroma and cystaadenofibroma

   Surface papilary adenocarcinoma

  Adenocarcinoma

   Tumor of low malignant potential Malignant

   Adenofibroma and cystadenofibroma

   Surface papilloma

   Benign Cystadenoma and papillary cystadenoma

  Tumor Ovarium Epitel Serous Tumors

   Endometrioid tumors (continued)

   Malignant Adenocarcinoma

   Benign Brenner tumour

   Benign Borderline Malignant

  Mixed Epithelial Tumours (specify type)

   Squamous cell carcinoma Epidermoid cyst

  Squamous Cell Tumors

   Transitional cell carcinoma (non-Brenner type)

   Malignant Malignant Brenner tumour

   Borderline Brenner tumour of borderline malignancy

  Transitional Cell Tumors

   Adenoacanthoma Adenosquamous carcinoma

   Malignant Adenocarcinoma

   Benign Tumor of low malignant potential

  Clear Cell Tumors

   Undifferentiated sarcoma

   Carcinosarcoma homologous and heterologous

   Adenosarcoma Endometrial stromal sarcoma

   Malignant adenofibroma with a malignant stromal component

  Undifferentiated and Unclassified Tumours

  Tumor Sex-Cord-Stromal Granulosa-Stromal Cell Tumors

   Granulosa cell tumors Tumors of the thecoma-fibroma group

   Thecoma Fibroma-fibrocarcoma

   Sclerosing stromal tumor

  Androblastomas; Sertolli-Leydig-Cell Tumors

   Well-differentiated

   Sertolli cell tumor

   Sertolli-Leydig-cell tumor

   Leydig-cell tumour; hilus cell tumor Moderately differentiated Poorly differentiated (carcomatoid) With heterologous elements

  Gynandroblastoma Sex Cord-Stromal Tumors of Mixed or Unclassified Cell Types Tumor Ovarium Sel Germinal Disgerminoma Teratoma

   Immature Mature Solid

   Cystic Dermoid cyst (mature cystic teratoma) Dermoid cyst with malignant transformation

   Monodermal and highly specialized

   Struma ovarii

   Carcinoid Struma ovarii and carcinoid

   Others

  Endodermal Sinus Tumor Embryonal Carcinoma Polyembryoma Choriocarcinoma Tumor Sel Lipid Sarkoma Ovarium Tumor Metastasis

2.3.3. Faktor Risiko

  Ada beberapa faktor yang diduga berperan dalam perkembangan tumor ganas ovarium:  Usia : tumor jinak ovarium umumnya lebih banyak terjadi pada wanita berumur 20-45 tahun, sedangkan tumor ganas lebih sering menyerang wanita dengan umur 45-60 tahun (Crum, 1999). Secara umum, insidensi tumor ganas ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Pada umur 0-14 tahun didapat insidensi sebesar 0,2 dan pada umur diatas 75 tahun didapatkan angka 29,2. Hal ini lebih sering ditemukan pada negara yang lebih berkembang. Di Amerika Serikat, insidensi tumor ganas ovarium pada umur 5-9 tahun adalah 0,3 dan pada umur diatas 85 tahun didapat insidensi sebesar 44,2. Pada umur 80-84 adalah puncak insidensi dengan angka 50,6 (Stewart, 2012).

   Demografi : wanita berkulit putih lebih rentan dibanding wanita kulit berwarna (Waruwu, 2013).  Faktor reproduksi : penelitian-penelitian sebelumnya selalu menunjukkan bahwa insidensi kejadian tumor ganas ovarium meningkat pada wanita

  nulliparity atau yang tidak melahirkan. Penggunaan kontrasepsi dilaporkan

  dapat menurukan risiko keganasan ovarium sedangkan terapi hormon pada wanita menopause dapat meningkatkan risiko keganasan ovarium (Stewart, 2012).

   Hubungan familial/ familial tendency : sejumlah penelitian yang membuktikan hubungan tumor ganas ovarium dengan family history ada risiko menderita tumor ganas ovarium pada garis keturunan pertama (Busmar, 2006).

   Mutasi gen: 90% dari tumor ganas ovarium berhubungan dengan mutasi gen BRCA (Stewart, 2012).  Diet : beberapa penelitian menunjukkan ada peningkatan risiko pada wanita obesitas sedangkan penelitian lain menunjukkan tidak ada hubungan antara body mass index (BMI) dengan risiko terjadi tumor ganas ovarium (Stewart, 2012).

   Faktor lingkungan : radiasi, asbesitosis, infeksi virus (rubella, mump), penggunaan talk (bedak) pada perineal (Waruwu, 2013).

2.3.4. Gejala Klinis

  Tumor ganas ovarium tidak menunjukkan gejala yang khas pada stadium awal, hal ini yang menyebabkan lebih dari 70% penderita tumor ganas ovarium ditemukan pada stadium yang telah lanjut (stadium III dan IV) (Busmar, 2006).

  Mayoritas penderita tumor ganas ovarium jenis epitelial tidak menunjukkan gejala sampai periode waktu tertentu. Pada stadium awal tumor ganas ovarium ini muncul dengan gejala-gejala tidak khas. Bila penderita dalam usia perimenopause, keluhan mereka adalah haid yang tidak teratur. Bila massa tumor telah menekan kandung kemih atau rektum, keluhan sering berkemih dan konstipasi muncul. Kadang-kadang gejala seperti distensi perut sebelah bawah, rasa tertekan, dan nyeri dapat pula ditemukan (Berek, 2000).

  Pada stadium lanjut ini gejala-gejala yang ditemukan umumnya berkaitan dengan adanya asites, metastasis ke omentum (omental cake), atau metastasis ke usus (Berek, 2000).

2.3.5. Stadium

Tabel 2.2. Staging Tumor Ganas Ovarium Berdasarkan International

  

Federation of Gynecologist and Obstetricians (FIGO, 1987) (Busmar,

  2006)

  Stadium I

  Pertumbuhan terbatas pada ovarium 1.

  Stadium Ia : pertumbuhan terbatas pada satu ovarium; tidak ada asites yang berisi sel ganas, tidak ada tumor di permukaan luar, kapsul utuh.

  2. Stadium Ib : pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium; tidak ada asites yang berisi sel ganas, tidak ada tumor di permukaan luar, kapsul utuh.

  3. Stadium Ic : tumor dengan stadium Ia atau Ib tetapi ada tumor di permukaan luar satu atau kedua ovarium; atau dengan kapsul pecah; atau dengan asites berisi sel ganas atau dengan bilasan peritoneum positif.

  Stadium II

  Pertumbuhan pada satu atau kedua ovarium dengan perluasan ke panggul

  1. Stadium IIa : perluasan dan/atau metastasis ke uterus dan/atau tuba.

  2. Stadium IIb : perluasan ke jaringan pelvis lainnya.

  3. Stadium IIc : tumor stadium IIa atau IIb tetapi dengan tumor pada permukaan satu atau kedua ovarium; atau dengan kapsul pecah; atau dengan asites berisi sel ganas atau dengan bilasan peritoneum positif.

  Stadium III

  Tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implan di peritoneum di luar pelvis dan/atau kelenjar getah bening retroperitoneal atau inguinal positif. Metastasis permukaan liver masuk stadium III. Tumor Metode pemeriksaan yang sekarang ini digunakan sebagai skrining tumor ganas ovarium adalah:  Pemeriksaan pelvik dan rektal: termasuk perabaan uterus dan ovarium untuk mengetahui bentuk dan ukuran yag abnormal, meskipun pemeriksaan rektovaginal tidak dapat mendeteksi stadium dini tumor ganas ovarium (Berek, 2000).

   Transabdominal Ultrasonography (USG): pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang terbatas tapi memiliki sensitivitas yang cukup tinggi untuk mendeteksi stadium awal tumor ganas ovarium (Berek, 2000).

   Tumor marker CA-125: pemeriksaan ini mempunyai spesifisitas dan

  positive predictive value yang rendah (Busmar, 2006). Namun

  terbatas dalam pelvis kecil, tetapi secara histologik terbukti meluas ke usus besar atau omentum.

  1. Stadium IIIa : tumor terbatas di pelvis kecil dengan kelenjar getah bening negatif tetapi secara histologik dan dikonfirmasi secara mikroskopik adanya penumbuhan (seeding) di permukaan peritoneum abdominal.

  2. Stadium IIIb : tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan implan di permukaan peritoneum dan terbukti secara mikroskopik, diameter tidak melebihi 2 cm, dan kelenjar getah bening negatif.

  3. Stadium IIIc : implan di abdomen dengan diameter > 2cm dan/atau kelenjar getah bening retroperitoneal atau inguinal positif.

  Stadium IV Penumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium dengan metastasis jauh.

  Bila efusi pleura dan hasil sitologinya positif dimasukkan dalam stadium IV. Begitu juga metastasis ke parenkim liver.

2.3.6. Deteksi Dini

  pemeriksaan ini dapat mendeteksi 50% penderita pada stage 1 dan 60% penderita pada stage 2. Spesifisitas akan meningkat jika dilakukan bersamaan dengan transabdominal ultrasonography atau pemeriksaan secara berkala (Berek, 2000).  Computed Tomography Scanning (CT-Scan): dengan pemeriksaan ini dapat diketahui ukuran tumor primer, adanya metastasis ke hepar dan kelenjar getah bening, asites, dan penyebaran ke dinding perut. Akan tetapi CT-scan kurang disenangi karena (1) risiko radiasi, (2) risiko alergi terhadap zat kontras, (3) kurang tegas dalam membedakan tumor kistik dengan tumor padat, dan (4) biayanya mahal (Busmar, 2006).

2.3.7. Penatalaksanaan

  Untuk pengobatan tumor ganas ovarium umumnya ditentukan berdasarkan stadium keganasannya. Pada stadium awal (I) tumor borderline, operasi primary

  tumor resection paling sering dilakukan. Histerektomi dan salpingo- oophorectomy merupakan pilihan operasi pada stadium awal dengan risiko rendah

  kanker ovarium. Sedangkan pada stadium lanjut (II, III, IV), jenis operasi yang paling sering dilakukan adalah debulking atau cytoreductive surgery/operasi sitoreduksi (Berek, 2000).

  Operasi sitoreduksi adalah operasi yang bertujuan membuang massa tumor sebanyak mungkin. Berdasarkan alat-alat yang digunakan, operasi sitoreduksi dibagi menjadi dua, yaitu : (Busmar, 2006) 1.

  Sitoreduksi Konvensional Operasi sitoreduksi dengan menggunakan alat-alat operasi lazim seperti pisau, gunting, dan jarum jahit.

2. Sitoreduksi Teknik baru

  Operasi sitoreduksi dengan menggunakan alat-alat seperti:

   Argon Beam Coagulator Cavitron Ultrasonic Surgical Aspirator (CUSA)

   Teknik Laser Setelah penatalaksanaan secara operasi, dapat diberikan juga terapi ajuvan pascaoperasi pada penderita tumor ganas ovarium stadium dini. Berdasarkan risiko terjadinya relaps pascaoperasi, para ahli sepakat untuk mengelompokkan penderita dalam dua kelompok: (Busmar, 2006)

1. Kelompok Risiko Rendah

  Penderita kanker ovarium stadium dini dimasukkan dalam kelompok risiko rendah jika:  Stadium Ia atau Ib  Derajat diferensiasi 1 atau 2 2.

  Kelompok Risiko Tinggi Penderita kanker ovarium stadium dini dimasukkan dalam kelompok risiko tinggi jika:

   Stadium Ic  Stadium I, derajat diferensiasi 3  Stadium II  Tumor jenis clear cell

2.3.8. Prognosis

  Prognosis seluruh kanker ovarium umumnya jelek akibat langsung dari pertumbuhannya yang sangat cepat dan pada stadium awal tidak menunjukkan gejala. Survival rate 5 Tahun: 35%; 10 Tahun : 28%; 25 tahun :15%.

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis adalah sebagai berikut:  Usia. Pasien usia muda prognosisnya lebih baik.  Ada tidaknya metastasis.  Asites. Jika dijumpai asites, salah satu tanda prognosis yang jelek.  Bordeline dibandingkan dengan tumor sudah invasive. Hal ini sangat penting untuk menentukan prognosis. Tumor yang borderline prognosis sangat baik, dibandingkan tumor yang sudah invasive.

   Grading dan jenis tumor. Grading kanker dan jenis kanker (serous, musinous, endometrioid atau yang lain) sangat erat hubungannya dengan survival rate.

   Psammoma bodies. Tumor serous mempunyai psammoma bodies memiliki prognosis yang lebih baik.  Ruptur kapsul tumor. Tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa komplikasi intraopeartive mempengaruhi tingkat survival rate.  DNA ploidy. Pada analisis DNA dengan menggunakan Flow cytometry merupakan indikator prognosis yang kuat. Tumor yang eneuploid memiliki prognosis yang lebih jelek dibandingkan tumor yang diploid. Adanya hubungan antara tumor DNA ploidy dan respon terhadap kemoterapi.

   CA 125 . Serum marker meningkat pada stadium awal terutama stadium 2 dan dipakai sebagai parameter untuk menilai apakah ada rekurren.  Penanda yang lain seperti : overekpressi P53, c-erbB-2 dan level dari colony stimulating faktor, memiliki hubungan dengan agresivitas kanker ovarium (Waruwu, 2013).