BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus - Identifikasi Badan Keton Pada Urin Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus

2.1.1. Definisi

  Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat, tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan permasalahan anatomik dan kimiawi akibat adanya defisiensi insulin relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2009). Diabetes Melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang sangat memengaruhi kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak (PERKENI, 2011).

  2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi Klasifikasi dan etiologi DM berdasarkan American Diabetes Association (ADA, 2009) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Melitus (Purnamasari, 2009)

  No. Tipe Etiologi

  

1. Diabetes Melitus Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi

  tipe 1 insulin absolut yang dikarenakan proses imunologik maupun idiopatik

  

2. Diabetes Melitus Bervariasi mulai dari yang predominan resistensi

  tipe 2 insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin

  3. Diabetes Melitus A.

  Defek genetik fungsi sel beta

  • tipe lain

  Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)

  Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

  • Kromosom 20, HNF-4α ( dahulu MODY 1)
  • Kromosom 13, insulin promotor factor-1
  • ( IPF-1, dahulu MODY 4)

  Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

  • Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)
  • DNA Mitochondria Lainnya - B.

  Defek genetik kerja insulin Resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya C. Penyakit Eksokrin Pankreas

  Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya D. Endokrinopati

  Akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya E. Karena obat/zat kimia

  Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazosid, agonis β adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya

  F.

  Infeksi Rubella congenital, CMV, lainnya G. Imunologi (jarang)

  Sindrom “stiff man”, antibodi anti reseptor insulin, lainnya H.

  Sindroma genetik lain Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, Ataksia

  Friedreich’s , chorea Huntington , sindrom Laurence-Moon-Biedl , distrofi miotonik,

  porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya

4. Diabetes Kehamilan

  2.1.3. Faktor Resiko a.

  Genetik Orang tua dapat menurunkan gen penyebab DM kepada anaknya.

  Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga memiliki riwayat DM.

  b.

  Usia Lebih banyak pada usia diatas 45 tahun, tetapi kini frekuensi kasus DM tipe 2 meningkat pada usia yang muda.

  c.

  Obesitas Pada orang obesitas sangat berisiko terjadi DM, karena ia berperan sebagai faktor diabetogenik melalui peningkatan resistensi insulin dan gangguan sel beta pankreas secara genetik. Risiko terjadi DM tipe 2 juga tinggi pada orang yang mempunyai BMI (Body Mass Index) > 25 kg/m².

  d.

  Kurang aktivitas fisik Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan penurunan sensitivitas regulasi insulin dan meningkatkan akumulasi lemak pada jaringan.

  Aktivitas fisik menyebabkan produksi insulin oleh sel beta pankreas akan berkurang dan glukosa dapat diambil oleh jaringan tanpa insulin.

  e.

  Hipertensi Tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg merupakan salah satu risiko terjadinya DM tipe 2.

  f.

  Dislipidemia

  Seseorang dikatakan dislipidemia jika kadar HDL <35mg/dL atau kadar trigliserida >250mg/dL.

  g.

  Diabetes gestasional dan melahirkan bayi makrosomia Jika semasa kehamilan mengalami diabetes gestasional atau memiliki riwayat melahirkan bayi makrosomia, maka berisiko tinggi untuk terjadi DM tipe 2.

  h.

  Polycystic ovarian syndrome Hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin (Powers, 2008).

  2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi

  2.1.4.1 Patogenesis dan Patofisiologi DM tipe 1 Bentuk diabetes ini terjadi karena kekurangan insulin yang berat akibat destruksi autoimun sel-sel beta dalam pulau-pulau Langerhans pancreas. DM tipe

  1 paling sering terjadi pada usia kanak-kanak, bermanifestasi pada usia pubertas, dan berjalan progresif mengikuti pertambahan usia (Mitchel, et.al, 2006) Mekanisme Destruksi sel β. Limfosit T bereaksi terhadap antigen sel- β

  • dan menyebabkan kerusakan sel. Sel-sel ini meliputi: sel-sel T CD4+ dari subkelompok Th1 yang menyebabkan jejas jaringan dengan mengaktifkan sel-sel makrofag, sementara sel-sel makrofag menyebabkan kerusakan dalam bentuk respons hipersensitivitas tipe-lambat yang khas. Limfosit T sitotoksik CD8+ yang membunuh langsung sel β dan juga menyekresi sitokin yang mengaktifkan makrofag. Sitokin yang diproduksi secara local merusak sel- sel β. Diantara sitokin yang terlibat dalam jejas sel adalah

  IFN- γ, dihasilkan oleh sel 7 dan TNF serta IL1 yang diproduksi oleh sel- sel makrofag yang diaktifkan selama reaksi imun. Autoantibodi terhadap sel-sel pulau dan insulin juga terdeteksi dalam darah pada 70% hingga 80% pasien. Autoantibodi tersebut bersifat reaktif dengan sejumlah antigen sel β, yang meliputi enzim glutamic acid decarboxylase (GAD).

  Pada anak-anak yang rentan tapi belum menderita diabetes (misalnya, sanak keluarga pasien), keberadaan antibody terhadapsel pulau merupakan tanda prediktif untuk meramalkan terjadi DMT1. Kerentanan Genetik. Diabetes tipe 1 memiliki pola korelasi yang

  • kompleks dengan sedikitnya 20 lokus genetic yang berpotensi menimbulkan perubahan toleransi imun hospes yang akhirnya menyebabkan autoimunitas. Sejauh ini korelasi genetic yang paling penting terdapat antara diabetes tipe 1 dan lokus HLA MHC kelas II. Antara 90 % dan 95 % orang-orang kulit putih mengidap diabetes tipe 1 memiliki haplotype HLA-DR3 atau DR4. Alel tertentu di dalam haplotype ini seperti alel DQβ1*0302 memperlihatkan korelasi dengan diabetes tipe 1 yang derajatnya bahkan lebih besar lagi. Gen-gen non-MHC yang berkaitan dengan kerentanan penyakit meliputi gen insulin itu sendiri dan gen yang mengode reseptor inhibisi sel-T CTLA-4.
  • potensial untuk terjadinya serangan autoimun; virus tersebut meliputi virus coxsackie, virus parotitis, virus campak, sitomegalovirus, virus rubella dan mononucleosis infeksiosa. Salah satu postulat mengemukakan bahwa virus-virus tersebut memproduksi virus bereaksi silang dengan jaringan sendiri (Mitchel et.al, 2006).

  Faktor Lingkungan. Beberapa virus turut terlibat sebagai pemicu

  2.1.4.2. Patogenesis dan Patofisiologi DM tipe 2 Resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal memegang peran sentral dalam perjalanan DM tipe 2. Walaupun sejumlah kontroversi timbul terkait yang mana dari dua hal tersebut yang merupakan defek primer munculnya DM tipe 2, kebanyakan hasil studi mendukung pendapat bahwa resistensi insulin mendahului gangguan sekresi insulin dan bahwa DM muncul hanya jika sekresi insulin menjadi tidak adekuat (Powers, 2008).

  Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan DM secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, mulai timbul DM secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis DM (Soewondo, 2009).

  DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan sekresi insulin, produksi glukosa yang berlebihan oleh hepar, dan metabolisme lemak yang abnormal (Powers, 2008).

  • efektif pada jaringan target (khususnya otot dan hepar). Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 belum dapat dijelaskan secara utuh. Terdapat pengurangan jumlah reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka, namun perubahan ini lebih kepada akibat sekunder dari kondisi hiperinsulinemia yang terjadi dan bukan defek primernya. Patogenesis dari resistensi insulin saat ini lebih fokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang mengakibatkan penurunan translokasi GLUT-4 ke membran plasma, dibandingkan abnormalitas- abnormalitas lainnya. Namun, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin resisten terhadap efek insulin. Contohnya, jalur yang mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi sel dan menggunakan jalur Mitogen-

  Resistensi Insulin. Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara

  Activated Protein (MAP) kinase, berpotensial meningkatkan kondisi terjadinya aterosklerosis pada diabetes.

  • berhubungan. Pada DM tipe 2, sekresi insulin terutama meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin guna mempertahankan kadar glukosa darah normal. Gangguan sekresi insulin yang terjadi sebenarnya ringan dan hanya secara selektif melibatkan sekresi insulin yang distimulasi glukosa saja. Respon terhadap bahan-bahan nonglukosa seperti arginin masih dipertahankan. Namun, gangguan sekresi insulin ini akan berjalan sampai pada tahap sekresi insulin inadekuat yang berat. Alasan terjadinya penurunan kapasitas sekresi insulin pada DM tipe 2 masih belum jelas.

  Gangguan Sekresi Insulin. Sekresi dan sensitivitas insulin saling

  • insulin pada hepar merefleksikan kegagalan hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menyebabkan kondisi hiperglikemia dan

  Peningkatan Produksi Glukosa Hepar. Pada DM tipe 2, resistensi penurunan simpanan glikogen oleh hepar pada masa pascaprandial. Peningkatan produksi glukosa oleh hepar terjadi pada masa-masa awal diabetes, meskipun sepertinya hal itu terjadi setelah onset gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin pada otot rangka. Metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas terutama viseral dan

  • sentral sangat umum ditemui pada DM tipe 2. Adiposit menghasilkan sejumlah produk-produk biologis (leptin, TNF-

  α, asam lemak bebas, resistin dan adiponektin) yang memodulasi sekresi dan kerja insulin serta berat badan, dan mungkin juga berperan dalam terjadinya resistensi insulin (Mitchel et.al, 2006).

  2.1.5. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal (

  ≤ 126 mg/dL), atau mengalami toleransi glukosa setelah makan karbohidrat ( ≥ 200 mg/dL). Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka gula akan diekskresikan ke dalam urin (glukosuria). Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine ( ± 4,1 kkal untuk setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien juga mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2005).

  2.1.6. Diagnosis Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif (Purnamasari, 2009).

  Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Purnamasari, 2009).

Tabel 2.2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan

  Penyaring dan Diagnosis DM (Purnamasari, 2009)

  Bukan Belum DM DM pasti DM Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110-199

  ≥200

  sewaktu (mg/dL) Darah kapiler <90 90-199

  ≥200

  Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110-125

  ≥126

  puasa (mg/dL) Darah kapiler <90 90-109

  ≥110 Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita (Purnamasari, 2009).

  2.1.7. Komplikasi Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi kompliasi akut dan kronik. Komplikasi akut terdiri dari:

  • komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi(300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dangejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300- 320 mOs/mL) dan terjadipeningkatan anion gap.

  Ketoasidosis Diabetik (KAD). Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan

  • glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala

  Hiperosmolar non Ketotik (HNK). Pada keadaan ini terjadi peningkatan asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Hipoglikemia. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa

  • darah < 60 mg/dL (PERKENI, 2011).

  Sedangkan komplikasi kronik terdiri dari: Makroangiopati. Pada pembuluh darah jantung, pembuluh darah otak,

  • dan pembuluh darah tepi. Pada pembuluh darah tepi penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal laudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

  Mikroangiopati. Retinopati diabetik dan nefropati diabetik.

  • Neuropati. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati
  • perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
  • lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardiovaskular.

  Dislipidemia pada Diabetes. Dislipidemia pada penyandang diabetes

  Hipertensi pada diabetes.

  • Obesitas pada diabetes. Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi,
  • demikian pula kejadian DM dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai Gangguan koagulasi pada diabetes (PERKENI, 2011).
  • 2.2. Badan Keton

  2.2.1. Definisi Badan Keton adalah bahan bakar yang penting bagi jaringan ekstrahepatik

  (Botham, 2006). Badan keton terdiri dari asetoasetat, β-hidroksibutirat (3- hidroksibutirat), dan aseton yang merupakan produk penguraian asetoasetat (Marks, Marks & Smith, 2000).

  2.2.2. Sintesis Badan Keton Sintesis badan keton terjadi apabila kadar asam lemak dalam darah meningkat, yaitu selama berpuasa, kelaparan, atau akibat makanan tinggi lemak rendah karbohidrat.

Gambar 2.1. : Proses Ketogenesis (Botham,2006)

  Apabila kadar asam lemak dalam darah meningkat, asam lemak akan masuk ke dalam sel hati. Di dalam mitokondria hati, terjadi proses oksidasi- β yang menghasilkan asetil ko-A, NADH, dan ATP. Pada keadaan ini (berpuasa atau diet tinggi lemak rendah karbohidrat), rasio glucagon/insulin tinggi, dan hati mensitesis glukosa melalui proses gluekoneogenesis di sitosol. NADH yang dihasilkan oleh oksidasi- β membantu mendorong oksaloasetat menjadi malat.

  Dengan demikian sedikit oksaloasetat yang tersedia untuk reaksi yang dikatalisis oleh sitrat sintase, dan terjadi penimbunan asetil-koA.

  Dua molekul asetil-koA bereaksi untuk membentuk asetoasetil KoA melalui pembalikan reaksi tiolase. Asetil KoA lain bereaksi dengan asetoasetil KoA, menghasilkan 3-hidroksi-3-metilglutaril koA(HMG-KoA) dan membebaskan koenzim A yang tidak mengalami asilisasi. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini adalah HMG-KoA sintetase. Enzim ini terinduksi sewaktu puasa dan dihambat oleh salah satu produknya, KoASH. Dalam reaksi selanjutnya, HMG-KoA liase memutuskan HMG-KoA untuk membentuk asetil koA dan asetoasetat.

  Asetoasetat memiliki tiga nasib. Asetat dapat langsung masuk kedalam darah atau dapat direduksi oleh dehydrogenase dependen-NAD menjadi badan keton kedua., β-hidroksibutirat, yang kemudian masuk kedalam darah. Reaksi dehydrogenase ini bersifat reversible dengan mudah dan berfungsi untuk interkonversi kedua badan keton ini. Kedua badan keton masuk kedalam darah dan berpindah dari hati ke jaringan lain tempat keduanya dioksidasi untuk menghasilkan energy. Nasib ketiga asetoasetat adalah dekarboksilasi spontan, dimana terjadi reaksi non enzimatik yang membebaskan CO

  2 dan menghasilkan

  aseton. Metabolism aseton selanjutnya tidak segera terjadi. Karena mudah menguap, aseton keluar melalui ekspirasi lewat paru (Marks, 2000).

Gambar 2.2. : Nasib asetoasetat (Botham & Mayes ,2006

2.3. Pemeriksaan Urin

  2.3.1. Tujuan dan Jenis Pemeriksaan

  Banyak informasi penting yang dapat diperoleh melalui pemeriksaan urin. Pemeriksaan yang teliti dan cermat mampu mendeteksi proses intrinsik suatu penyakit yang melalui sistem saluran kemih, baik fungsional (fisiologis) ataupun structural (anatomis) (Fuller et. al, 2001).

  Terdapat tiga jenis urinalisis yang dapat dilakukan, yaitu:

  1. Dipstik (Reagen) urinalisis, umumnya dilakukan pada pemeriksaan laboratorium, praktik dokter, dan juga bisa dilakukan sendiri di rumah.

  2. Dasar (rutin) urinalisis, umumnya menggunakan pemeriksaan mikroskopik sedimen urin,

  3. Pemeriksaan sedimen urin secara sitopatologi, pemeriksaan ini memanfaat berbagai disiplin lab, seperti kimiawi dan mikrokopik (Fuller et. al, 2001).

  2.3.2. Pemeriksaan Badan Keton pada Urin Karena aseton, asetoasetat, dan 3-hidroksibutirat ketiganya terdapat pada urin dengan ketonuria, metode untuk menetukan salah satu dari ketiga keton ini adalah dengan memeriksanya secara keseluruhan. Pada Umumnya mengunakan strip atau tablet nitroprussid menggunakan metode Rothera untuk mengukur asetoasetat dan aseton. FeCl3 (Gerhard’s Test) untuk mendeteksi asetoasetat. Kedua tes ini tidak dapat mendeteksi 3-hidroksibutirat (Fuller et.al, 2001).

  Pemeriksaan ketonuria harus menggunakan urin yang segar. Jika ingin menunda pemeriksaan harus diletakkan ke dalam lemari es untuk menghilangkan hasil false negative (Luthra, 2008)

  2.3.2.1. Tes Rothera Pemeriksaan ini sensitif untuk keton pada urin. Tes ini merupakan metode nitroprussid yang asli. Prinsip pada pemeriksaan ini adalah larutan alkali bereaksi dengan badan keton akan membentuk warna ungu.

  Prosedur pemeriksaan: Penuhi 5 mL urin dengan ammonium sulfat padat dan tambahkan larutan

  • natrium nitroprussid 0,2 mL yang sudah dipersiapkan
  • Campurkan dengan benar dan perlahan-lahan tambahkan 0,5 mL ammonia disepanjangan sisi tabung reaksi

  • Amati perubahan warna dalam waktu 1-2 menit
  • Terbentuknya cincin ungu menunjukkan adanya badan keton (Luthra, 2008).

  2.3.2.2. Tes Gerhardt Pemeriksaan ini spesifik untuk mendeteksi sejumlah besar asetoasetat. Tes ini juga dapat mendeteksi salisilat pada urin.

  Prosedur pemeriksaan:

  • Tambahkan 5 mL feri klorida setetes demi setetes dengan 5 mL urin pada tabung reaksi
  • Warna merah kecoklatan akan dibentuk oleh asetoasetat atau salisilat
  • Untuk menentukan salisilat atau asetoasetat, bagi larutan menjadi setengah, kemudian rebus selama 5 menit. Kemudian amati, jika warnanya menghilang, maka asetoasetat akan muncul. Jika warnanya menetap, makan salisilat yang akan muncul. Asetoasetat yang dipanaskan kehilangan karbondioksida dan diubah menjadi aseton. Aseton tidak bereaksi dengan reagen feri klorida (Luthra, 2008).

2.4. Ketoasidosis Diabetik

  2.4.1. Definisi Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut Diabetes Melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok (Soewondo, 2009).

  2.4.2. Faktor Pencetus

  Ada sekitar 20 % pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80 % dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20 % pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.

  Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu pencetus terjadinya KAD. Data seri kasus KAD tahun 1998-99 di RS. Cipto Mangunkusumo menunjukkan 5 % kasus menyuntik dosis insulin kurang. Musey et al melaporkan 56 kasus KAD negro Amerika yang tinggal di perkotaan. Diantara 56 kasus tersebut, 75 % telah diketahui DM sebelumnya dan 67 % faktor pencetusnya adalah menghentikan dosis insulin. Adapun alasannya adalah sebagai berikut: 50 % tidak mempunyai uang untuk membeli, 21 % nafsu makan menurun, 14 % masalah psikologis, 14 % tidak paham mengatas masa-masa sakit akut. Pada seri kasus diatas 55 % menyadari adanya gejala hiperglikemia, walaupun demikian hanya 5 % yang menghubungi klinik diabetes untuk mengatasi masalah tersebut (Soewondo, 2009).

  2.4.3. Patofisiologi KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau relative dan peningkatan hormone kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:

  Akibat hiperglikemia

  • Akibat ketosis

  Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem hemostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan lemak. Akibatnya lipolysis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal konsentrasi 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa.

  Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolysis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat gluconeogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi sitimelalui siklus krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan ATP yang merupakan sumber energi utama sel.

  Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif. Meningkatkan hormon kontra regulator insulin meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa dapat mengganggu sensitivitas insulin (Soewondo, 2009) .

  2.4.4. Gejala Klinis Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan segera mengatasinya.

  Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernafasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa nafas tidak terlalu mudah tercium.

  Areateus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.

  Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol).

  Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, faktor pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi yang sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolesistisis, iskemia akut, apendisitis, diventrikulus, atau perforasi usus. Bila ternyata pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu dicari kemungkinan tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal) (Soewondo, 2009).

  2.4.5. Diagnosis Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia hyperosmolar nenketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai dengan kriteria diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

  Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.

  Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan konsentrasi glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi konsentrasi HCO3, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan konsentrasi AcAc dan laktat serta 3HB (Soewondo, 2009).

  2.4.6. Pencegahan Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).

  Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.

  Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah dan keton urin sendiri. Disinilah pentingnya edukator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama pada keadaan sulit (Soewondo, 2009).

Dokumen yang terkait

Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

8 84 62

Identifikasi Badan Keton Pada Urin Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

9 111 63

Karakteristik Neuropati Pada Diabetes Melitus Tipe 2 Di Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2012

0 0 13

Karakteristik Neuropati Pada Diabetes Melitus Tipe 2 Di Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011-2012

0 0 24

Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus - Profil Foto Thoraks Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tb Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Tahun 2012

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Prevalensi Terjadinya Manifestasi Oral Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Risiko Sedang Di Rs. Haji Medan

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus (DM) - Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Diabetes Mellitus dengan Kualitas Hidup Penderita Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2014

0 0 11

Identifikasi Badan Keton Pada Urin Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 12