PENGARUH PENGELOLAAN ARSIP SERAT KEKANCINGAN

  PENGARUH PENGELOLAAN ARSIP SERAT KEKANCINGAN TERHADAP PENGATURAN HAK ATAS TANAH BERSTATUS MAGERSARI PASKA PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG PERTANAHAN DAN

  AGRARIA (UUPA) 1960 (STUDI KASUS ARSIP SERAT KEKANCINGAN

  DI KOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)

  

SKRIPSI

  Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada program studi S1 Ilmu Perpustakaan Peminatan Kearsipan Oleh:

  Rina Rakhmawati 13040111150016

  

PROGRAM STUDI S1 ILMU PERPUSTAKAAN

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

  MOTTO Tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah Swt. berkehendak jadilah, maka jadilah.

  PERSEMBAHAN 1. Ayah dan ibu, serta keluarga besar di Tegal.

  2. Keluarga besar Kos Pelangi Sastra di Yogyakarta dan wisma Zakiyah El Shafira di Semarang untuk semua motivasi dan sandarannya.

  3. Praktisi, akademisi dan pemerhati kearsipan Indonesia dan Internasional yang sudah banyak menginspirasi.

  4. KADIKGAMA dan HIMADIKA FIB UGM untuk segala bentuk inspirasi dan inovasinya.

  5. Pak Waluyo, Pak Burhan, Mba Imuth, Mas Suprayitno, Dek Dian, Dek Lia, Dek Astna, Dek Tatik, Dek Maya, Dek Fasyiah untuk segala bentuk pengertian, semangat, inspirasi dan pemahamannya.

  

PRAKATA

  Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt., Maha Cendekia lagi Maha Bijaksana, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pengelolaan Arsip Serat Kekancingan Terhadap Pengaturan Hak Atas Tanah Berstatus Magersari Paska Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan Dan Agraria (UUPA) 1960 (Studi Kasus Arsip Serat Kekancingan di Kota Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta)”.

  Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Dra. Ngesti Lestari, M.Si dan Dr. Agustinus Supriyono, M.A, selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi.

  2. Drs. Ary Setyadi, MS. selaku ketua lintas jalur program studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya Undip.

  3. Dra. Sri Ati Suwanto, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya Undip.

  4. Staf dekanat dan staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Undip, terutama pada jurusan ilmu perpustakaan peminatan kearsipan.

  5. Pihak Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta.

  Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat kekurangan dalam berbagai hal. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan dalam skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

  Semarang, September 2013 Penulis

  

ABSTRAK

  Skripsi ini berjudul “Pengaruh Pengelolaan Arsip Serat Kekancingan Terhadap Pengaturan Hak Atas Tanah Berstatus Magersari Paska Pemberlakuan Undang- Undang Pertanahan Dan Agraria (UUPA) 1960 (Studi Kasus Arsip Serat Kekancingan Di Kota Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta)”.

  Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan memahami sejarah arsip serat kekancingan sebagai bukti legal pemegang hak magersari atas tanah keraton, mengetahui dan memahami pengelolaan arsip serat kekancingan sebagai bukti legal pemegang hak magersari atas tanah Keraton Yogyakarta, mengetahui dan memahami pengaruh yang ditimbulkan dari pengelolaan arsip serat kekancingan terhadap pengaturan hak tanah magersari di Kota Yogyakarta sebelum dan setelah pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Adapun subjek penelitian adalah pengelola arsip serat kekancingan, baik petugas arsip maupun warga pemegang arsip kekancingan. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer (catatan lapangan, analisis arsip dan transkrip in-deepth interview) dan data sekunder (studi literatur dan rujukan akademis). Teknik pengumpulan data menggunakan tiga sumber, yaitu studi pustaka, observasi tanpa peranserta dan terbuka, dan wawancara mendalam. Sedangkan analisis data yang digunakan yaitu pendekatan oral history (sejarah lisan). Hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh simpulan bahwa periode awal penggunaan arsip serat kekancingan sebagai bukti legalitas pemegang hak magersari belum diketahui secara pasti, namun arsip kekancingan tertua yang sudah diinventarisasi bagian arsip di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta berada pada periode 1942 – 1946. Selain itu, pengelolaan arsip serat kekancingan berpengaruh dalam pengaturan hak atas tanah dengan status penghuni magersari setelah diberlakukannya UUPA 1960. Penataan arsip yang belum sesuai standar kearsipan yang baik menyebabkan sulitnya proses temu balik arsip, munculnya beragam sengketa tanah antar warga, antar kerabat kerabat keraton maupun antara warga dengan keraton, serta arsip menjadi rawan terhadap berbagai bahaya, seperti pemalsuan dan pencurian. Saran yang diajukan, yaitu perlunya penguatan landasan hukum dalam administrasi arsip serat kekancingan, pendayagunaan tenaga arsiparis BPAD Yogyakarta untuk membimbing penataan arsip yang sesuai standar prosedur, pembenahan sistem pemberkasan arsip, dan pengadaan sarana dan prasarana kearsipan yang lebih baik dan aman bagi keamanan fisik maupun informasi arsip. Kata kunci : serat kekancingan, magersari, tanah, Yogyakarta

  

ABSTRACT

  This research entitled “The Impact of Record Management of Serat Kekancingan Toward the Adjusment of Land Rights with Magersari Status After the Enforcement of Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960 (A Case Study related to Serat Kekancingan in Yogyakarta City, in the Daerah Istimewa Yogyakarta)”.

  This study attempts to discover and comprehend the history of serat kekancingan as a legal evidence of magersari land rights, understanding the records management of serat kekancingan, and the impact of record management of serat kekancingan toward the adjusment of magersari land rights (Undang-Undang Pertanahan dan Agraria or UUPA) in Yogyakarta city area after the enforcement of land and agrarian law number 5 by the year of 1960.

  The method used in this research is qualitative research by case study reseach. The sources of this research is obtained from record creators of serat kekancingan which is managed by Tepas Banjar Wilapa and Tepas Paniti Kismo of KeratonYogyakarta. The type and data sources used in this research were primary data (field notes, record analysis and in-depth interview) and secondary data (literature review and academic references). The data collection method applied in this research used three sources; they were literature study, open non-participation’s observation, and in- deepth interview. Meanwhile, the data analysis method applied in this research used oral history approach.

  The result showed that early period of serat kekancingan as a legal evidence of magersari land rights is still unknown. But, the earliest archives that inventoried in Widya Budaya’s library is in 1942 – 1946. Furthermore, the record management of serat kekancingan has a say in the management of land rights with impact status after the reinforcement of UUPA 1960. Record regulation which is not compatible with the record criteria will causing trouble in record retrieval process, the emergence of many land disputes between the citizens, between the keraton’s kinsmen, or between citizens and the keraton, and the record could be in hazardous, also forgery and thievery. Based on the result obtained from the research, the writer suggests that there should be strengthening of law basis in serat kekancingan’s record administration, the utilization of archivist staff in BPAD Yogyakarta to introduce record regulation which is compatible to the standard procedure, the revamping of record filing system, and also procurement of best facilities and infrastructure for better records administration in Tepas Paniti Kismo Keraton Yogyakarta.

  Keywords : serat kekancingan, magersari, land, Yogyakarta

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i PERNYATAAN .................................................................................................. ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iv HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v PRAKATA ......................................................................................................... vi ABSTRAK ........................................................................................................ vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xii ................................................................................................... DAFTAR GAMBAR xvii

  DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xviii

  BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

  1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

  1.2 Rumusan dan Batasan Masalah ...................................................................... 7

  1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7

  1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8

  1.5 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 9

  1.6 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 11

  1.7 Batasan Istilah .............................................................................................. 11

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 15 BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 19

  3.1 Desain dan Jenis Penelitian .......................................................................... 19

  3.2 Objek dan Subjek Penelitian ........................................................................ 19

  3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... 20

  3.4 Pengumpulan Data ....................................................................................... 20

  BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN .................................... 25

  4.1 Sejarah Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta .............................................. 25

  4.1.1 Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX .............................. 26

  4.1.2 Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X ............................... 30

  4.2 Sejarah Pertanahan di Yogyakarta ................................................................ 32

  4.2.1 Periode Sebelum Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960 di Kota Yogyakarta…………………………..……..32

  5.2.2 Periode Setelah Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960 di Kota Yogyakarta ................................................ 34

  BAB V PENGARUH PENGELOLAAN ARSIP SERAT KEKANCINGAN TERHADAP PENGATURAN HAK PENGGUNAAN TANAH BERSTATUS MAGERSARI DI KOTA YOGYAKARTA .................................................................. 37

  5.1 Sejarah Arsip Serat Kekancingan ................................................................. 37

  5.2 Profil Pencipta Arsip di Keraton Kasultanan Yogyakarta ............................. 39

  5.3 Pengelolaan Arsip Serat Kekancingan .......................................................... 42

  5.3.1 Tahap Penciptaan ...................................................................................... 42

  5.3.2 Tahap Penggunaan dan Pemeliharaan ........................................................ 44

  5.3.3 Tahap Penyusutan ..................................................................................... 48

  5.4 Pengaruh Pengelolaan Arsip Kekancingan terhadap Pengaturan Hak Penggunaan Tanah Berstatus Magersari ................................................ 49

  5.4.1 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa Kios di Jalan Suryowijayan ............................................................................... 50

  5.4.2 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa Jalan Brigjen Katamso Gondomanan ......................................................... 54

  5.4.3 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa Pengelolaan Hak Magersari Antar Kerabat Keraton Yogyakarta ................ 56

  BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 59

  6.1 Simpulan ...................................................................................................... 59

  6.2 Saran ............................................................................................................ 61 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 63

DAFTAR ISTILAH

  Abdi dalem : orang yang mengabdi kepada raja Apanage : tanah lungguh dalam Bahasa Belanda Arsip dinamis aktif : arsip yang frekuensi penggunaan dalam administrasi keseharian masih tinggi

  Arsip statis : arsip yang tidak lagi digunakan dalam kegiatan administrasi pencipta namun memiliki nilai kebuktian dan ilmu pengetahuan

  Bekel : orang yang mengelola tanah-tanah lungguh para bangsawan pada masa kolonial sebelum reorganisasi tanah di daerah pedesaan.

  Filing cabinet : tempat penyimpanan arsip dinamis aktif berupa lemari yang terbuat dari besi

  Folder : tempat penyimpanan arsip berbentuk map Hak andarbe : hak milik individual yang bisa diwariskan Hak Anggaduh : hak menggarap

  Jadwal Retensi Arsip (JRA) : suatu daftar yang berisi tentang kebijakan penyimpanan jangka panjang arsip dan penetapan simpan permanen dan musnah

  Jeron beteng : wilayah dalam benteng kerajaan Kapanewon : setingkat kecamatan Kasunanan : kerajaan yang dikepalai oleh sunan

  (setingkat sultan) Kawedanan Hageng Sarta Kriya : bagian dalam wilayah organisasi pemerintahan Keraton Yogyakarta yang mengatur masalah kendaraan dan bangunan Keraton Yogyakarta, termasuk di dalamnya tanah keraton

  Ketlingsut : terselip Kitab Angger-angger : kumpulan sumber hukum yang dipakai sebagai pedoman dalam menjalankan roda peradilan tradisional di Kasultanan Yogyakarta

  Klapper : suatu daftar mengenai nama, tempat dan berbagai subject heading lainnya yang disusun secara alfabetis dan berfungsi sebagai jalan masuk terhadap buku-buku index saja Landreform : pengaturan kembali masalah pertanahan Lintir : pemindahan hak magersari atas tanah tersebut diberikan kepada orang lain Liyer : pemindahan hak magersari atas tanah diberikan atau diwariskan pada keturunannya atau kerabat. Magersari : orang yang bertempat tinggal di atas tanah milik keraton karena telah berjasa atau sebab pewarisan, baik melalui liyer atau lintir.

  Mancanagara : wilayah kerajaan yang berada di luar nagaragung. Wilayah mancanegara Kerajaan Yogyakarta jika dilihat pada perspektif kekinian diantaranya Semarang, Banyumas, Ngawi, Madiun dan sekitarnya.

  Manuskrip : naskah kuno Mengeti Siti : daftar pencatatan tanah Nagara atau Nagaragung (Nagara Agung) : daerah di sekitar kuthagara (keraton)

  Pakualaman ground : tanah yang dimiliki dan dikelola oleh Kadipaten Pakualaman

  Pamong praja : pegawai pemerintahan Panewu : setingkat camat Paniti Kismo : satuan khusus Keraton Yogyakarta yang menangani masalah pertanahan keraton

  Priyayi : birokrat, pegawai pemerintah atau kerajaan yang merupakan golongan atas dalam masyarakat Jawa

  Rijksblaad : lembaran kerajaan dalam Bahasa Belanda

  Romusha : kerja paksa pada masa pendudukan Jepang

  Serat kekancingan : surat keputusan tentang kepemilikan tanah atau silsilah keturunan atau pengangkatan jabatan. Sultan ground : tanah yang dimiliki dan dikelola oleh pihak kasultanan Swapraja : daerah bekas kerajaan yang memiliki kekhususan peraturan dan diakui oleh pihak penjajah

  Tanah Lungguh : tanah jabatan sementara yang diberikan sebagai gaji seorang priyayi karena mereka memiliki jabatan dalam pemerintahan kerajaan pada waktu tertentu atau bangsawan karena ikatan kekeluargaan.

  Tedakan : salinan atau turunan Tepas Banjar Wilapa : Kantor yang mengurusi dokumentasi

  Keraton Yogyakarta, baik bahan pustaka, manuskrip hingga arsip

  VOC : Vereenigde Oost Indische Compagnie (Persekutuan Perusahaan Dagang Hindia Timur milik Belanda)

  

DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1 ........................................................................................................... 47 Gambar 2 ........................................................................................................... 51 Gambar 3 ........................................................................................................... 55 Gambar 4 ........................................................................................................... 57

  

DAFTAR LAMPIRAN

  LAMPIRAN A Ringkasan Transkrip Narasumber ............................................... 67 LAMPIRAN B Contoh Arsip Kekancingan dan Surat Permohonan

  Hak Magersari ............................................................................ 69 LAMPIRAN C Dokumentasi Penelitian .............................................................. 73 LAMPIRAN D Lembar Konsultasi Skripsi.......................................................... 76 LAMPIRAN E Peta ............................................................................................ 78 LAMPIRAN F Surat Ijin Penelitian .................................................................... 79 LAMPIRAN G Biodata Peneliti…………………………………………………. 80

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Pembahasan tentang pertanahan di Indonesia dinilai cukup sensitif, tetapi juga menarik. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan dominasi wilayahnya yang diliputi laut, faktanya memiliki persoalan tanah yang terbilang rawan. Setiap tahun dapat ditemui beberapa kasus sengketa tanah, baik antar warga, warga dengan perusahaan, bahkan warga dengan negara. Sengketa tanah tersebut seringkali dilatar belakangi oleh tiadanya alat bukti dokumen yang sah di pihak masyarakat awam atau alat bukti dokumen ganda dengan objek tanah yang sama. Sumber sengketa yang berkaitan dengan dokumen, dapat dilihat dari kesadaran dan kepahaman dalam pengelolaan arsip pertanahan di lembaga pertanahan.

  Kesadaran dan kepahaman timbul dari pengetahuan tentang pentingnya arsip dan pengelolaannya.

  Pada mulanya, arsip dipahami sebagai kumpulan naskah. Perkembangan teknologi informasi dan direvisinya undang-undang kearsipan, pengertian arsip mengalami perluasan. Dalam undang-undang nomor 43 tahun 2009 tentang kearsipan menegaskan:

  Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Menurut undang-undang tersebut, arsip diartikan sebagai rekaman peristiwa dalam bentuk tekstual dan non-tekstual yang diciptakan oleh beberapa kelompok sosial, baik milik negara, daerah, swasta, perseorangan hingga swadaya masyarakat. Pengelolaan arsip pun mengalami perkembangan setelah ditemukannya teori Records Continuum Model yang membagi pengelolaan arsip dalam 4 tahap yang saling bersinggungan, yaitu penciptaan arsip, alih media atau konversi arsip (records capture), organisasi memori pribadi dan korporasi, serta pluralisasi memori kolektif. Namun pada kenyataannya, konsep Records Continuum Model ini belum banyak dipahami dan diaplikasikan secara utuh menyeluruh dalam pengelolaan arsip di Indonesia, utamanya arsip pertanahan.

  Hal ini mengakibatkan masih meluasnya sengketa tanah, utamanya di daerah- daerah.

  Selain pemahaman terhadap tata kelola arsip, perlu juga diketahui dan dipahami bentuk arsip yang menjadi alat bukti kuat dalam pengaturan tanah, khususnya di daerah-daerah yang memiliki kekhususan administrasi pemerintahan. Meskipun secara umum alat bukti kuat pemanfaatan tanah oleh perseorangan dan/atau lembaga dapat melalui akta atau sertifikat tanah, tidak demikian halnya yang berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum diberlakukannya undang-undang keistimewaan nomor 13 tahun 2012, Yogyakarta sudah diakui sebagai daerah istimewa pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Melalui pemberlakuan undang-undang nomor 13 tahun 2012, salah satu pengakuan keistimewaan Yogyakarta ada pada pengelolaan tanah.

  Yogyakarta, dalam perjanjian Giyanti 1755 merupakan salah satu wilayah pecahan Kerajaan Mataram Islam. Pada masa sebelum reorganisasi tanah sekitar tahun 1918, tanah dibawah kuasa penuh sultan (raja). Hal ini didasarkan pada konsep kerajaan Jawa bahwa sultan (raja) adalah sumber satu-satunya dari segenap kekuatan dan kekuasaan, dan dialah pemilik segala sesuatu di dalam kerajaan, dan karena itu dia diidentikkan dengan kerajaan (Soemardjan, 1981: 28).

  Selo Soemardjan menggambarkan bentuk kewilayahan kerajaan Jawa dalam diagram lingkaran sebagai berikut: SULTAN

  1

  2

  3

  4 Lingkaran 1 menunjukkan lingkungan keraton, mencakup istana kediaman sultan (raja) bersama keluarganya. Pada lingkungan ini juga terdapat kantor para pangeran dan bangsawan yang menjadi penyambung komunikasi Sultan dengan aturan-aturan sangat ketat masalah bahasa,pakaian,tatalaku dan protokol khusus. Lingkaran kedua disebut nagara atau ibukota yang didiami oleh kaum bangsawan, para pangeran, patih dan pejabat tinggi lainnya. Mereka bertanggung jawab atas berbagai hal di luar keraton. Lingkaran ketiga disebut wilayah nagaragung atau nagara agung atau ibukota yang besar, yang dibagi dalam beberapa petak tanah dan penduduknya, dengan seorang pangeran atau priyayi tingkat tinggi yang diberi hak menarik pajak atas nama sultan (raja). Lingkaran keempat atau terluar disebut mancanagara. Sultan tidak memperkenankan para pangerannya memiliki tanah lungguh (tanah yang diberikan sultan kepada keluarga dan birokrat kerajaan) di wilayah mancanagara. Bahkan sultan pribadi yang kemudian menunjuk para bupati untuk memerintah di wilayah mancanagara, dibawah pengawasan dan bimbingan patih. Paska perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1831 antara sultan dengan Belanda usai perang Diponegoro, pihak keraton kehilangan seluruh wilayah mancanagara – nya. Posisi rakyat pada masa sebelum reorganisasi 1918 hanya sebagai penggarap tanah lungguh. Mereka hanya dikenakan hak anggaduh atau hak pakai, istilah lain dari kerja wajib, juga membayar pajak. Ketika sejumlah perusahaan swasta memasuki Yogyakarta dan melakukan transaksi sewa atas tanah lungguh, para kapitalis mendapatkan hak atas tanah beserta penggarapnya. Oleh karena pada awalnya hanya sebagai penggarap, rakyat yang kemudian dijadikan buruh perusahaan, tidak mendapatkan upah. Hal ini menimbulkan kesulitan hidup yang bertambah bagi rakyat penggarap tanah. Pada tahun 1912, para pejabat keraton

dan Belanda sepakat untuk memberikan perlindungan hukum kepada penduduk pedesaan yang berlaku pada tahun 1918, atau masa landreform.

  Paska reorganisasi 1918 yang juga ditandai dengan pembentukan desa/kelurahan sebagai badan hukum, diberikan pula hak andarbe atau hak milik atas tanah dalam wilayahnya, kecuali tanah-tanah yang dibawah kendali langsung kerajaan (Departemen Kehakiman, 1977: 296). Namun hak rakyat secara individu atas tanah masih berupa hak anggadhuh atau hak pakai, meski secara turun- temurun atau dapat diwariskan. Pada masa ini, tanah lungguh dihapuskan, dan berdasarkan RK (Rijksblaad Kasultanan) nomor 16/1918 pasal 4 jo pasal 7 dan RPA (Rijksblaad Pakualaman) nomor 18/1918 bahwa tanah-tanah yang kemudian diserahkan kepemilikannya kepada desa diperuntukkan sebagai :

  1. Tanah bengkok (gaji) bagi pejabat-pejabat desa yang masih aktif;

  2. Tanah pangarem-arem (pensiun) bagi pejabat-pejabat desa yang telah berhenti dengan hak mendapat pensiun;

  3. Tanah kas desa (kekayaan desa) untuk membiayai administrasi dan pembangunan desa) (Departemen Kehakiman, 1977: 297). Kondisi pertanahan tersebut berlangsung hingga dikeluarkannya Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta bidang agraria yang mengubah hak rakyat atas tanah dari hak anggadhuh atau hak pakai turun temurun menjadi hak andarbe atau hak milik turun-temurun dalam ikatan desa. Dengan demikian, penggunaan tanah di desa berdasarkan PDIY nomor 5 tahun 1954 pasal 6 ayat 3 yaitu:

  1. Lungguh;

  2. Pangarem-arem;

  3. Kas desa 4. Kepentingan umum. Magersari berbeda secara harfiah dengan tanah lungguh. Status magersari

  (keraton). Prawiroatmodjo dalam “Bausastra Jawa-Indonesia” mengartikan magersari sebagai orang yang menumpang di halaman para bangsawan atau orang lain (Prawiroatmodjo, 1957 : 322). Hal ini mengindikasikan bahwa magersari bukanlah status tanah, namun status penghuni atau penggarap tanah yang merupakan bagian dari sultan ground. Pernyataan bahwa magersari merupakan bagian dari sultan ground dijelaskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam pengantar “Naskah Sumber Arsip seri 3: Ngindung di Tanah Kraton Yogyakarta” terbitan Kantor Arsip Daerah Yogyakarta, bahwa hak magersari diberikan kepada penghuni sultan ground karena adanya ikatan historis, diperuntukkan bagi WNI asli dengan jangka waktu selama mereka menghuni, juga berkaitan dengan prestasi kepada keraton (Kantor Arsip Daerah Yogyakarta, 2010 : xiii). Setelah pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Agraria nomor 5 tahun 1960, terjadi dualisme hukum pertanahan di wilayah Yogyakarta, khususnya terkait dengan pengelolaan sultan ground yang di dalamnya terdapat penghuni berstatus hak magersari. Kondisi tersebut juga berdampak dalam pendokumentasian kepemilikan tanah. Pada umumnya, pendokumentasian hak atas tanah hanya berupa sertifikat atau akta tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Sementara itu, dalam pengelolaan tanah keraton, arsip yang mendapat prioritas pertama adalah kepemilikan serat kekancingan, selain juga pengesahan dari Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta. Arsip serat kekancingan merupakan salah satu jenis arsip vital. Hal ini tersirat dari pernyataan pengageng Paniti Kismo KGPH Hadiwinoto bahwa pihak keraton mengajukan permohonan. Menurut undang-undang nomor 43 tahun 2009 tentang kearsipan disebutkan bahwa arsip vital adalah arsip yang keberadaannya merupakan persyaratan dasar bagi kelangsungan operasional pencipta arsip, tidak dapat diperbarui, dan tidak tergantikan apabila rusak atau hilang. Penekanan pengelolaan arsip vital terdapat pada metode perlindungan dan penyusutan, sedangkan pada tahap penciptaan hingga pendistribusian termasuk dalam rangkaian pengelolaan arsip dinamis.

  1.2 Rumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan mengambil permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana sejarah kemunculan arsip serat kekancingan?

  2. Bagaimana pengelolaan arsip serat kekancingan paska pemberlakuan undang-undang pertanahan dan agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960?

  3. Bagaimana pengaruh arsip serat kekacingan dalam pengaturan hak atas tanah keraton yang berupa tanah dengan penghuni berstatus magersari?

  1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu:

  1. Mengetahui dan memahami sejarah arsip serat kekancingan sebagai bukti legal pemegang hak magersari atas tanah keraton;

  2. Mengetahui dan memahami pengelolaan arsip serat kekancingan sebagai

  Mengetahui dan memahami pengaruh yang ditimbulkan dari pengelolaan 3. arsip serat kekancingan terhadap pengaturan hak tanah magersari di Kota Yogyakarta sebelum dan setelah pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960.

1.4 Manfaat Penelitian

  Manfaat Teoritis

  1.4.1 Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kearsipan dan sejarah lokal.

  Selain itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

  1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Peneliti

  Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan penulis dapat memahami penerapan ilmu kearsipan, baik secara teoritis maupun praktis di bidang pertanahan, terutama tanah yang dikelola lembaga khusus seperti Keraton Yogyakarta. Hal ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengembangan ilmu kearsipan dan korelasinya dengan disiplin keilmuan lain seperti pertanahan, hukum dan sejarah, dalam memberikan solusi terbaik bagi permasalahan pengelolaan tanah keraton, terutama setelah ditetapkannya undang- undang keistimewaan Yogyakarta.

  1.4.2.2 Bagi Objek Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Kota Yogyakarta, Arsip Keraton Yogyakarta, Kawedanan Ageng Panitikismo serta Badan Pertanahan Nasional Provinsi DI Yogyakarta dalam pengembangan dan pemahaman kearsipan, sekaligus sebagai bahan evaluasi dalam perencanaan pengelolaan arsip serat kekancingan.

  1.4.2.3 Bagi Pihak Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan seputar penerapan ilmu kearsipan dalam menjawab persoalan bidang pertanahan, khususnya tanah Magersari di Yogyakarta. Selain itu, juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan rujukan kajian oleh pihak-pihak yang membutuhkan, terutama bidang kearsipan, pertanahan dan hukum.

1.5 Tempat dan Waktu Penelitian

  Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta

  2 merupakan ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah 32,5 Km .

  Kota Yogyakarta terbagi dalam 14 kecamatan, 45 kelurahan, 617 RW dan 2531 RT dengan jumlah penduduk 428.282 jiwa. Kota Yogyakarta memiliki ragam potensi wisata yang menunjang kehidupan masyarakatnya. Selain Keraton Yogyakarta dan pusat belanja Malioboro, terdapat juga beberapa perkampungan budaya di kawasan jeronbeteng (dalam benteng) yang umumnya dihuni para abdi dalem dengan kekhasan masing-masing. Potensi bidang pariwisata tersebut menjadikan Kota Yogyakarta memiliki tingkat hunian dan kebutuhan lahan yang cukup tinggi.

  Waktu penelitian dibatasi dari bulan April hingga Agustus 2013 karena sedang dilakukan pendataan inventaris Keraton Yogyakarta, termasuk dalam hal ini adalah tanah milik keraton. Pendataan inventaris keraton kembali dilakukan menyusul diberlakukannya undang-undang keistimewaan Yogyakarta dan penyusunan draft peraturan daerah keistimewaan.

  1.6 Kerangka Pemikiran Calon

  SultanGround Pengguna

  Magersari Paniti Kismo

  Kantor Serat

  Pertanahan Kekancingan

  Rekomendasi Abdi Dalem

  Kantor Keraton

  Pertanahan Serat

  Liyer Lintiran Kekancingan Pewaris Non-Pewaris

  Magersari I,II,III,dst.

  KESENJANGAN

  1. Pemindahan hak magersari tanpa pemberitahuan kepada pihak keraton (tidak dicatat secara resmi)

  2. Alih guna untuk bangunan hunian permanen

  3. Biaya sewa diatas batas maksimal sewa yang ditetapkan pihak keraton

  4. Pengelolaan arsip serat kekancingan antara pihak pengguna dan Paniti Kismo.

  1.7 Batasan Istilah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pengaruh diartikan sebagai daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang,benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Sedangkan dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary, istilah pengaruh diartikan sebagai :

  1. Effect : change that somebody/something causes in somebody/something else;start to produce the results that are intended; come into use; (Oxford University Press, 2008 : 143)

  2. Impact : strong effect that something has on somebody/something; (Oxford University Press, 2008 : 220)

3. Influence : effect that somebody/something has on the way somebody

  thinks or behaves or on the way something develops; power to produce an effect on somebody/something; somebody or something that affects the way people behave or think; have an effect on somebody/something. (Oxford University Press, 2008 : 228)

  Jika melihat pada konteks sosiologi Yogyakarta, maka pengaruh dalam penelitian ini lebih tepat diartikan sebagai sebuah impact. Meski pengaruh ini membawa sebab-akibat seperti diartikan dalam istilah effect, Soerjono Soekanto dalam “Kamus Sosiologi” menegaskan bahwa efek adalah :

  1. Kekuasaan tanpa kekerasan atau paksaan

  2. Penerapan kekuasaan

  3. Kekuasaan yang menyangkut persuasi. (Soekanto, 1983 : 152) Pengaruh arsip serat kekancingan terhadap pengaturan hak atas tanah magersari tidak sekedar suatu penerapan kekuasaan keraton terhadap individu atau kelompok yang menempati tanahnya dengan suatu ajakan. Penggunaan dokumen tertulis untuk menempati tanah keraton jelas ditetapkan dalam hukum tradisional.

  Oleh karena itu, jika individu atau kelompok yang menempati tanah magersari tanpa dilengkapi arsip serat kekancingan, maka dapat diragukan legalitas dan yuridisnya sehingga pihak keraton dapat memberlakukan hukum yang tegas terhadap pihak yang bersangkutan. Apalagi dengan adanya inventarisasi aset keraton, keberadaan arsip serat kekancingan akan lebih memudahkan dalam pengelolaan aset tanah keraton, utamanya yang menempati berstatus magersari.

  Kekancingan atau layang kekancingan dalam “Bausastra Jawa-Indonesia diartikan sebagai piagam, surat keputusan atau ketetapan (Prawiroatmodjo, 1957: 205). Ada tiga pendapat utama yang tersebar di masyarakat Yogyakarta perihal pemahaman serat kekancingan. Meski tidak dideskripsikan lebih detail dalam literatur akademik, ada tiga pendapat utama yang tersebar di masyarakat perihal pengertian dan pemahaman serat kekancingan, yaitu:

  1. Serat kekancingan yang dimaknai sebagai surat keterangan silsilah keturunan raja atau sultan ( http://cakrakrisna.wordpress.com/ , diakses: Kedungpatangewu, 31 Ja

  2. Serat kekancingan yang dimaknai sebagai surat keterangan hak sewa tanah Magersari ( http://www.antaranews.com/ , diakses: Kedungpatangewu, 31 Ja

  3. Serat kekancingan sebagai surat keputusan pelantikan atau pengukuhan abdi dalem keraton ( http://www.solopos.com/ , diakses: Kedungpatangewu, 31 Januari 2013). Arsip serat kekancingan yang dimaadalah suatu surat keterangan tentang hak sewa tanah Magersari. Pengelolaan arsip serat kekancingan dibatasi pada pengelolaan di pihak Arsip Keraton Yogyakarta dan warga Kota Yogyakarta yang berstatus Magersari sebagai perbandingan.

  Istilah magersari sebagai orang yang menumpang di tanah para bangsawan penambahan, magersari diartikan sebagai orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain, dapat pula diartikan orang yang mendiami tanah milik negara dan sekaligus mengerjakan tanah tersebut (Sudarsono, 2007 : 256). Konteks negara yang disebutkan dalam pengertian diatas dipahami sebagai nagari ngayogyakarta dengan hak milik tanah berada di sultan (raja).

  Pengelolaan arsip dalam penelitian ini dibatasi pada pengertian sistem pemberkasan atau sistem penyimpanan arsip serat kekancingan yang dikelola oleh Paniti Kismo bagian Administrasi dan Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta bagian kearsipan. Hal ini karena pemberkasan merupakan elemen penting dalam kegiatan kearsipan yang menentukan keberhasilan suatu sistem kearsipan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu bidang yang menjadi perhatian utama menyangkut keistimewaan Yogyakarta yaitu bidang pertanahan. Hal ini mengingat karakter daerah Yogyakarta sebagai bekas daerah swapraja yang memiliki hak mengelola

  pemerintahan sendiri, termasuk pengelolaan pertanahan sebagai salah satu unsur keberadaan sebuah pemerintahan. Menurut perkembangan zaman, berkembang pula literatur-literatur yang membahas tentang Yogyakarta, baik secara sosial masyarakat hingga hukum, terutama hukum pertanahannya. Namun dalam hal kearsipan di lingkungan kerajaan (keraton) belum ada literatur yang menelaah. Fokus dokumen keraton lebih dilihat pada cabang ilmu tentang manuskrip, baik berupa babad, kitab dan lain sebagainya. Meski termasuk dalam jenis arsip vital, pengelolaan arsip serat kekancingan pun belum memenuhi standar pengamanan seperti yang direkomendasikan oleh beberapa literatur kearsipan. Oleh karena itu, penulis mengacu pada dua buku yang membahas program arsip vital dengan sederhana agar mudah dipahami.

  Buku pertama adalah “Penyusutan dan Pengamanan Arsip Vital Dalam Manajemen Kearsipan” yang ditulis oleh Boedi Martono dan diterbitkan Pustaka SinarHarapan. Boedi Martono, dalam buku ini, menjelaskan manajemen kearsipan sebagai bab pengantar. Selain itu, dijelaskan pula ruang lingkup manajemen kearsipan dan lembaga pengelola arsip, seperti ANRI dan unit kearsipan di prioritas kedua yang dibahas oleh Boedi Martono. Program arsip vital difokuskan pada pembahasan tentang pengamanan dan pemeliharaan, baik fisik maupunin formasi yang terekam dalam arsip vital. Teori daur hidup arsip yang digunakan Boedi Martono dalam setiap pembahasan memang telah banyak ditinggalkan sebagian besar organisasi dan praktisi kearsipan. Namun jika melihat kembali pada kondisi system kearsipan keraton, maka pembahasan dalam buku ini masih relevan. Sayangnya, pembahasan seputar arsip vital yang hanya terfokus pada masalah pengamanan dan pemeliharaan, meninggalkan satu point penting dalam program arsip vital yang diamanatkan undang-undang nomor 43 tahun 2009, yaitu identifikasi, perlindungan dan pengamanan, dan penyelamatan danp emulihan. Meski demikian, diperlukan adanya analisis lebih fokus dan disesuaikan dengan kondisi kearsipan keraton. Hal ini karena William Saffady lebih memfokuskan pada manajemen kearsipan yang ada di lingkungan perusahaan. Buku kedua adalah “Records and Information Management : Fundamentals of Professional Practicekarya William Saffady yang diterbitkan oleh Association of Records Managers and Administrators.William Saffady, dalam buku ini, menjelaskan beberapa aspek mendasar dari manajemen kearsipan, terutama manajemen arsip dinamis. Apabila Boedi Martono menjelaskan secara garis besar manajemen kearsipan, maka William Saffady merinci lebih lengkap dan fokus.

  Buku ini terbagi dalam tujuh bab, dan bab yang relevan sebagai penunjang utama dalam penelitian ini adalah bab enam (Vital Records), bab tujuh (Managing Active Records I : Document Filing Systems) dan bab delapan (Managing Active Records beberapa kegiatan yang tercakup dalam program arsip vital, diantaranya establishing the vital records program, identifying vital records, risk analysis, dan risk control. Buku ketiga adalah “Perubahan Sosial di Yogyakarta” karya Selo Soemardjan. Perkembangan sosial masyarakat Yogyakarta dibandingkan masyarakat lain di Indonesia memang terbilang unik. Upaya mempertahankan adat budaya asli di tengah gempuran berbagai ideologi dan budaya luar yang masuk ke Yogyakarta secara damai maupun penindasan patut menjadi contoh.

  Meski demikian, masyarakat Yogyakarta dalam perkembangannya tidak secara kaku bertahan dengan adat budaya yang berakar dari pusat kerajaan (keraton).

  Ada beberapa bentuk penyesuaian agar tidak terjadi shock culture, terutama setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertahta, dan keputusan untuk bergabung jadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tidak hanya berupa minimalisasi upacara-upacara adat keraton, tetapi juga struktur pemerintahan hingga masalah hak-hak pertanahan. Selo Soemardjan pun membahas keterkaitan kehidupan petani dengan tanah garapannya yang menjadi dominasi sosial masyarakat Yogyakarta. Penulis mengambil fokus pada bab-bab yang membahas dinamika pemerintahan Kasultanan Yogyakarta pada masa penjajahan Belanda hingga bergabung dengan Republik Indonesia. Perubahan pemerintahan yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup cepat tentu berpengaruh pada persoalan penataan tanah sebagai simbol batas-batas kewilayahan. Selain itu, penulis juga mengambil bab tentang kehidupan petani

  Yogyakarta dan pengaruhnya terhadap pengaturan tanah. Meski Selo Soemardjan membahas secara komprehensif perubahan sosial dan imbasnya terhadap pola pertanahan di Yogyakarta, namun masih terdapat hal-hal yang terperinci, terutama pada masalah tanah milik keraton.Untuk menutup kekurangan buku ini, penulis mengambil buku yang membahas tanah keraton dari tim ahli hokum keraton. Buku keempat berjudul “Hak Sri Sultan Atas Tanah di Yogyakarta” karya KPH Notoyudo yang diterbitkan pada tahun 1975. Buku ini membahas secara komprehensif seputar hasil penelitian tim ahli hukum Keraton Yogyakarta tentang hak-hak menyangkut tanah yang ada pada sri sultan. KPH Notoyudo membahas seputar sejarah tanah keratin dari berbagai penelitian yang dilakukan bangsa Barat, seperti Rouffaer dan de la Faille. Buku ini juga membahas bagaimana seorang sultan mendapatkan hak pertanahan di wilayah Yogyakarta. Selain itu juga dilengkapi dengan beberapa lampiran perundang-undangan untuk memperkuat beberapa pernyataan hukum yang dibahas. Persoalan keistimewaan Yogyakarta juga disinggung dalam buku karya KPH Notoyudo ini. Oleh karena tidak dilengkapi peta wilayah maka pembaca awam akan kesulitan memahami perubahan kondisi tanah keraton. Buku ini juga masih belum fokus pada tanah dengan penghuni berstatus magersari.

BAB III METODE PENELITIAN

  3.1 Desain dan Jenis Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moelong, 2013: 6). Oleh karena keberagaman jenis dari desain penelitian kualitatif, penulis mengambil jenis penelitian studi kasus, yaitu dengan mengambil permasalahan keterkaitan antara pengelolaan arsip serat kekancingan dengan pengaturan hak sewa tanah di lingkungan tanah magersari. Penelitian studi kasus merupakan istilah lain dari penelitian fenomenologis, yaitu peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu.

  3.2 Objek dan Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, penulis mengambil subjek penelitian pengelola arsip serat kekancingan, baik petugas arsip maupun warga yang menjadi pemegang hak magersari. Objek penelitian yang diambil adalah arsip serat kekancingan tanah magersari yang berada di lingkungan Kota Yogyakarta.

  3.3 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta yang merupakan ibukota dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, dilakukan di Perpustakaan Keraton Yogyakarta “Widya Budaya” sebagai pengelola arsip serat kekancingan. Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengaturan hak tanah Magersari, penelitian juga dilakukan di Dinas Pertanahan Kota Yogyakarta dan Kawedanan Hageng Sarta Kriya bagian Tepas Paniti Kismo sebagai penentu kebijakan penggunaan tanah.

  Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juli 2013 karena pada masa ini pemerintah Yogyakarta tengah bergiat untuk pendataan tanah di wilayahnya, terutama tanah milik keraton.