BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Makian Dalam Bahasa Batak Toba: Kajian Metabahasa Semantik Alami

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Sebuah kata atau kalimat tidak terlepas dari makna. Ullmann (dalam Pateda, 2001: 92) mengatakan bahwa makna adalah hubungan timbal balik antara

  

name ‘ lambang’ dan sense ‘pengertian’. Makna sebuah kata atau kalimat dapat

  ditelusuri melalui disiplin ilmu yang disebut semantik. Kambartel (dalam Pateda, 2001: 7) mengatakan bahwa semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Dalam Pateda (2001: 88), untuk menentukan makna kata atau kalimat harus dihubungkan dengan aspek-sapek makna, seperti pengertian (sense), nilai rasa (feeling), nada (tone), dan maksud (intention).

  Lyons (1968: 427 dalam Pateda, 2001: 92) mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain, di dalam kosa kata, sedangkan Ullmann (1972: 57 dalam Pateda, 2001: 92) mengatakan bahwa pengertian adalah informasi lambang yang disampaikan kepada pendengar. Setiap kata memunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa, dan setiap kata memunyai makna yang berhubungan dengan perasaan. Aspek makna nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa.Misalnya, kalau seseorang marah, nada suaranya akan meninggi. Aspek makna maksud merupakan maksud, senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan (Shipley, 1962: 263 dalam Pateda, 2001: 95). Apabila seseorang mengatakan sesuatu itu karena ada maksud yang diinginkan. Jadi, jelaslah bahwa sebuah kata atau kalimat yang diujarkan memiliki makna.

  Makna digolongkan ke dalam beberapa jenis, salah satunya adalah makna kontekstual. Dalam hal ini, makna muncul akibat hubungan antara ujaran dan konteks. Konteks yang dimaksud, misalnya konteks suasana hati pembicara/pendengar. Konteks tersebut turut memengaruhi pemilihan kata yang juga memengaruhi pada makna. Misalnya, suasana hati yang jengkel akan memungkinkan kata-kata yang bermakna jengkel pula. Itulah sebabnya akan muncul kata makian anjing kau.

  Makian adalah salah satu ungkapan verbal yang mengandung makna emotif dan digunakan untuk menghina, menjelek-jelekkan, atau memberi hujatan dengan perkataan kotor atau kasar dalam situasi dan kondisi tertentu, seperti dalam keadaan marah, kesal, dan jengkel. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) disebutkan bahwa makian adalah kata keji yang diucapkan untuk memarahi.

  Kegiatan berbahasa bagi masyarakat tutur merupakan suatu proses transfer ide yang diwujudkan dalam bentuk tuturan secara verbal maupun nonverbal.

  Makian terbentuk oleh emosi yang dirasakan oleh seorang penutur yang dilatarbelakangi oleh beberapa hal, baik dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya yang diujarkan kepada orang lain. Emosi yang dirasakan oleh penutur diungkapkan secara verbal dengan cara yang berlebihan dan spontan, sehingga ungkapan verbal yang dilontarkan secara spontan tersebut dirasakan memiliki makna lain (Indrawati, 2006: 145).

  Makian yang digunakan masyarakat tumbuh dan berkembang sesuai dengan budaya masyarakat penutur itu sendiri. Konsep makian sama dalam setiap bahasa, tetapi ekspresi verbalnya berbeda (Indrawati, 2006: 145). Makian bersifat universal karena terdapat dalam semua bahasa di dunia. Di dunia barat pada umumnya swearwords (kata sumpah serapah) ini berbau seks, seperti fuck ‘bersenggama’, shit ‘tahi’, asshole ‘lubang anus’. Dalam Oxford Advanced

  

Learner’s Dictionary of Current English karya AS Hoorby, fuck adalah slang

  yang berarti bersetubuh dengan seseorang. Selain itu ungkapan fuck juga dipakai sebagai ekspresi ketersinggungan dan kemarahan, tetapi sering tidak bermakna.

  Sementara shit adalah kotoran yang keluar dari anus, yang juga dipakai sebagai ekspresi kemarahan seseorang terhadap orang lain.

  Di dalam bahasa Indonesia (selanjutnya disebut BI) makian berbau seks juga ada, namun cukup dominan diwarnai oleh makian yang menggunakan nama hewan. Namun, kadangkala seseorang yang mengucapkan makian ini juga tidak memahami makna makian yang diucapkannya. Misalnya, kata makian dengan nama binatang yang cukup populer adalah otak udang. Makian ini diucapkan karena kepala udang mempunyai cangkang transparan bisa terlihat seperti ada tumpukan tahi, maka makian ini dipakai untuk menghina orang yang dianggap bodoh dan tolol.

  Makian juga ditemukan dalam kegiatan tutur masyarakat bahasa Batak Toba (selanjutnya disebut BBT). Makian yang ditemukan dalam BBT berbeda dengan makian yang terdapat dalam bahasa daerah lain. Makian dalam BBT tidak hanya mengungkapkan kemarahan dan kebencian tetapi juga menunjukkan rasa keakraban atau kedekatan hubungan terhadap orang yang dimaki. Namun, kajian ini hanya membahas makian yang bermakna semantis, yaitu makian yang disebabkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan terhadap seseorang, seperti asu ‘anjing’, babami ‘mulutmu itu’, bodat ho ‘monyet kau’.

  Makian dalam BBT tidaklah sama dengan makian dalam BI. Misalnya,

  

bagudung ‘tikus’ merupakan makian dalam BBT, namun dalam BI ‘tikus’

  bukanlah berupa makian karena tidak bernilai rasa buruk dan orang yang dimaki sama sekali tidak tersinggung. Di dalam kamus bahasa Batak Toba–Indonesia (Warneck, 2004) disebutkan bahwa seseorang yang dimaki dengan kata bagudung dianggap sebagai pelanggar sumpah atau orang yang bersumpah palsu. Dengan demikian, budaya yang berbeda memengaruhi jenis makian yang terdapat dalam sebuah budaya.

  Wijana dan Rohmadi (dalam http://www.yoszuaaccalytt.blogdetik.com) menyebutkan bahwa sumber kata makian dapat digolongkan dalam beberapa model. Pertama, kata makian yang bersumber dari keadaan. Keadaan mental seseorang, misalnya: sinting, bodoh, tolol. Keadaan pada peristiwa yang tidak menyenangkan, misalnya: sialan dan modar. Keadaan mengekspresikan keterkejutan, keheranan, atau kekaguman, misalnya: brengsek, gila, dan celaka.

  Kedua, kata makian yang bersumber dari binatang tertentu, misalnya: monyet, dan bangsat. Ketiga, kata makian yang bersumber dari mahkluk

  anjing, babi,

  halus, misalnya: setan alas dan iblis. Keempat, kata makian dari nama benda tertentu yang berkonotasi jorok, misalnya: tahi dan tahi kucing. Kelima, kata makian yang bersumber dari bagian tubuh, misalnya: matamu, otakmu, dan

  

dengkulmu . Keenam, kata makian yang bersumber dari kekerabatan, misalnya:

anak haram dan kakek moyangmu. Ketujuh, kata makian yang bersumber dari

  aktivitas manusia, misalnya bersenggama. Kedelapan, kata makian yang bersumber dari profesi seseorang, misalnya: perek dan sundal.

  Sebuah kata bisa dinilai sebagai makian apabila memiliki parameter yang jelas. Parameter makian BBT, yaitu adanya penggunaan kata yang kasar dan halus dalam bahasa Batak. Bahasa yang halus disebut juga hata andung. Sihombing (1989) menyatakan bahwa hata andung biasanya diucapkan dalam acara formal dan kepada orang yang lebih tua, misalnya dalam menyebutkan bagian tubuh, tidak baik mengatakan matami ‘matamu itu’, ulumi ‘kepalamu itu’, butuhami ‘perutmu itu’ terhadap orang yang lebih tua karena maknanya kasar dan tergolong makian. Digolongkan sebagai makian karena kata-kata tersebut memiliki bahasa yang halus untuk mengungkapkannya. Kata-kata seperti itu seharusnya diucapkan dengan hata andung. Di dalam buku Jambar Hata yang ditulis oleh T.M.

  Sihombing, beberapa hata andung dalam BBT, yaitu simajujung ‘kepala’,

  

sitarupon atau jambulon ‘rambut’, sipareon atau sipanangi ‘telinga’, simalolong

  ‘mata’, simangkudap ‘mulut’, simangido ‘tangan’, siubeon ‘perut’, dan simanjojak ‘kaki’.

  Banyak bentuk makian yang ditemukan dalam tuturan masyarakat Batak Toba (selanjutnya disebut BT). Makian dalam BBT tersebut belum diklasifikasikan dengan jelas berdasarkan referennya dan belum diketahui makna dan struktur semantisnya. Menurut Palmer (1976: 30 dalam Pateda, 2001: 125) referen adalah hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat- kalimat, dan dunia pengalaman yang nonlinguistik. Referen dapat berupa benda, peristiwa, proses, atau kenyataan. Referen makian perlu diketahui karena makna setiap makian berbeda sesuai dengan referennya. Makna setiap makian akan diketahui melalui struktur semantisnya. Untuk menjelaskan struktur semantis, digunakan teori semantik, yaitu teori Metabahasa Semantik Alami (selanjutnya disebut MSA), yang dikembangkan oleh Wierzbicka (1996) dan pengikutnya Goddard (1996).

  Teori MSA mempunyai dua keunggulan untuk aplikasi praktis. Pertama, MSA dapat diterima oleh semua penutur jati karena parafrase maknanya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah. Kedua, MSA selalu terbuka untuk penyesuaian dan modifikasi terhadap representasi maknanya. Teori ini akan mengeksplikasikan makna leksikon-leksikon secara tuntas dan tidak berputar-putar. Namun, agar tuntas dan tidak berputar-putar analisis maknanya harus menggunakan perangkat makna asali sebagai elemen akhir, yaitu sebuah perangkat makna tetap yang diwarisi manusia sejak lahir. Asumsinya, makna sebuah kata merupakan konfigurasi dari makna asali, bukan ditentukan oleh makna yang lain dalam leksikon (dalam Mulyadi, 2006: 69).

  Makian BBT, seperti pitung ‘buta’, pekkat ‘pincang, dan bondil/bollang

  

mata ‘mata besar’ berada pada kategori yang sama yaitu makian yang bereferen

  keadaan fisik seseorang berbeda dengan makian babami ‘mulutmu itu’, ulumi ‘kepalamu itu’, dan pinggolmi ‘telingamu itu’ yang berada pada kategori makian berreferen bagian tubuh. Makian BBT bereferen keadaan fisik seseorang memiliki kombinasi elemen makna asali, yaitu UJAR, BAGIAN, dan SESEORANG.

  Selanjutnya, setiap kategori dikelompokkan lagi ke dalam subkategori dan sub-subkategori. Kategori makian bereferen nama hewan dapat dikelompokkan dalam subkategori hewan berkaki empat yang peliharaan dan yang bukan peliharaan. Kemudian dibedakan atas sub-subkategori hewan berkaki empat peliharaan yang besar dan kecil serta hewan berkaki empat bukan peliharaan yang besar dan kecil. Berdasarkan referen tersebut, setiap makian memiliki makna asali yang berbeda.

  Pengkajian mengenai struktur semantis makian sudah pernah diteliti oleh Indrawati (2006). Hasil penelitiannya yang berjudul Makian dalam Bahasa menyatakan bahwa makian dalam

  Madura: Kajian Metabahasa Semantik Alami

  bahasa Madura memiliki referensi, seperti bagian tubuh manusia, istilah kekerabatan, binatang, makhlus halus, profesi, sesuatu yang buruk, keadaan mental, keadaan fisik seseorang, dan aktivitas sosial yang memiliki makna asali, antara lain seseorang, sesuatu, badan, bagian, buruk, terjadi, memikirkan,

  Selain itu ada juga beberapa hasil merasakan, mengetahui, dan melakukan. penelitian dengan menggunakan teori MSA, seperti Struktur Semantis Verba

  

Bahasa Indonesia (Mulyadi: 2000), Bahasa Bali Usia Anak-Anak: Kajian

Metabahasa Semantik Alami (Arnawa: 2009), Struktur Semantis Verba yang

Bermakna Memotong dalam Bahasa Bali (Budiasa: 2011), dan Verba Gerakan

  (Subiyanto:

  Bukan Agentif Bahasa Jawa: Tinjauan Metabahasa Semantik Alami 2008).

  Berdasarkan fenomena tersebut, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji struktur semantis makian dalam BBT sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas atas kategorisasi dan makna asali yang dimiliki tiap-tiap makian dalam BBT. Di samping itu, pengkajian makian dalam BBT belum pernah dilakukan. Makian dalam BBT cukup banyak jumlahnya dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kategorisasi makian tersebut. Kajian ini dapat memberikan manfaat kepada penutur Batak Toba untuk mengetahui makian dalam bahasa daerahnya.

1.2 Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas terlihat bahwa makna makian dalam BBT belum dideskripsikan. Untuk mendeskripsikan maknanya perlu diketahui struktur semantisnya. Jadi, masalah yang dibahas dalam kajian ini adalah:

1. Bagaimanakah kategorisasi makian dalam bahasa Batak Toba? 2.

  Bagaimanakah struktur semantis makian dalam bahasa Batak Toba?

  1.3 Batasan Masalah

  Masalah yang dikaji penulis dibatasi pada makian yang bermakna semantik, yaitu makian yang disebabkan kemarahan, kebencian, dan memiliki makna yang negatif. Penelitian ini juga dibatasi pada pembahasan kategorisasi makian dan struktur semantisnya.

  1.4 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk: 1.

  Mendeskripsikan kategorisasi makian dalam bahasa Batak Toba.

2. Mendeskripsikan struktur semantis makian dalam bahasa Batak Toba.

1.5 Manfaat Penelitian

  Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

  1.5.1 Manfaat Teoretis: 1.

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pada bidang linguistik kebudayaan dan memberi manfaat bagi kelestarian bahasa dan kebudayaan BT.

  2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian semantik tentang kategorisasi makian dan struktur semantis dengan menggunakan teori MSA.

  1.5.2 Manfaat Praktis: 1.

  Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan bagi peneliti selanjutnya tentang struktur semantis makian dalam bahasa daerah lainnya.