Makian Dalam Bahasa Batak Toba: Kajian Metabahasa Semantik Alami

(1)

MAKIAN DALAM BAHASA BATAK TOBA:

KAJIAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI

SKRIPSI

OLEH:

SISKA NAPITUPULU

NIM 100701013

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia-Nya yang melimpah dalam hidup penulis. Sungguh sebuah anugerah yang besar, Tuhan memberikan hikmat dan kebijaksanaan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, baik berupa bantuan spiritual, seperti doa, nasihat, dan petunjuk praktis maupun materi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara serta Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III.

2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si., sebagai ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M. S. P., sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.


(3)

4. Bapak Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M. Ling., sebagai dosen pembimbing I yang telah berjerih payah membimbing penulis. Terima kasih atas waktu, nasihat, ilmu, dan saran yang telah Bapak berikan kepada penulis. Penulis sungguh bersyukur menjadi mahasiswa bimbingan Bapak.

5. Ibu Dra. Dardanila, M. Hum., sebagai dosen pembimbing II yang telah mengajari penulis dalam menyusun skripsi ini dengan baik. Terima kasih atas motivasi, saran, dan informasi yang Ibu berikan kepada penulis. Terima kasih juga karena telah membimbing penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. 6. Ibu Dr. Ida Basaria, M. Hum., sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

7. Bapak dan ibu pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu, bimbingan, dan pengajaran berbagai materi perkuliahan selama penulis mengikuti perkuliahan. 8. Orang tua penulis yang sangat penulis kasihi, J. Napitupulu dan M. br. Sinaga. Terima kasih atas doa, kasih sayang, perhatian, nasihat, dan dukungan materi yang telah Ayah dan Mama berikan kepada penulis. Ayah dan Mama adalah salah satu alasan penulis semangat dalam mengerjakan skripsi ini. Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada orang tua penulis yang telah berjuang menyediakan segala sesuatu yang penulis butuhkan sampai saat ini.


(4)

9. Abang (Jerri Napitupulu), Kakak (Febrina Napitupulu), dan adik penulis (Jonario Napitupulu) yang memberikan perhatian, kasih sayang, dan motivasi kepada penulis.

10. Sahabat-sahabat penulis, CnC (Amelia Manullang, Raesita Pakpahan, Betti Debora Saragih, dan Gio vani Lumban Gaol). Terima kasih telah menjadi sahabat terbaik penulis selama empat tahun. Terima kasih atas setiap hal yang bisa kita kerjakan bersama. Penulis sangat mengingat ketika kita belajar bersama, tertawa bersama, menangis bersama, berdebat bersama, dan berdoa bersama. Penulis bersyukur dan bangga memiliki sahabat-sahabat seperti kalian.

11. Adik Kelompok Kecil (Dame dan Rotua), Kelompok Tumbuh Bersama (Desy, Anna Mia, dan Helly Sheba), Kakak Pemimpin Kelompok Kecil (Kak Novita, S.S), teman-teman koordinasi UKM KMK USU periode 20013 dan 2014, Kak Edyta Sianturi, Fitri Situmorang, Iren Manurung, Basar Purba, dan teman-teman stambuk 2010. Terima kasih atas dukungan, motivasi, doa, dan canda tawa selama ini. Biarlah kita selalu mengandalkan Tuhan dalam kehidupan kita dan setia kepada Tuhan Yesus.

12. Pemerintah Desa Tinggir Nipasir, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

13. Informan-informan yang bersedia menyediakan waktu untuk diwawancarai penulis. Kepada Bou Ester dan Amang Boru Hutahaen yang membantu dan memperhatikan penulis selama penelitian.


(5)

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga Tuhan memberkati kita selalu.

Medan, Juni 2014


(6)

DAFTAR ISI PENGESAHAN

PERNYATAAN ABSTRAK

DAFTAR SINGKATAN, LAMBANG, DAN TABEL

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah ... 6

1.4 Tujuan ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.5.1 Manfaat Teoretis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 8

2.1.1 Makian ... 8

2.1.2 Kategori ... 8

2.1.3 Makna Asali ... 8

2.1.4 Struktur Semantis ... 9

2.2 Landasan Teori ... 11

2.3 Tinjauan Pustaka ... 15

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 18

3.1.2 Waktu Penelitan ... 19

3.2 Sumber Data ... 19

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 20

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 21

3.4.1 Metode Padan ... 21

3.4.2 Metode Agih ... 22

3.5 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 25

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Kategorisasi Makian dalam Bahasa Batak Toba ... 29


(7)

4.2.1 Struktur Semantis Makian Bereferen Nama Hewan ... 37

4.2.2 Struktur Semantis Makian Bereferen Bagian Tubuh ... 45

4.2.3 Struktur Semantis Makian Bereferen Keadaan Fisik Seseorang ... 56

4.2.4 Struktur Semantis Makian Bereferen Keadaan Mental Seseorang ... 70

4.2.5 Struktur Semantis Makian Bereferen Profesi ... 74

4.2.6 Struktur Semantis Makian Bereferen Kekerabatan ... 76

4.2.7 Struktur Semantis Makian Bereferen Makhluk Halus ... 79

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 82

5.2 Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(8)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2014


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas kategorisasi dan struktur semantis makian dalam bahasa Batak Toba (BBT). Teori yang digunakan adalah teori “Metabahasa Semantik Alami”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kategorisasi makian dalam BBT dikategorikan berdasarkan referen makian. Referen makian dalam BBT terdiri atas tujuh referen, yakni nama hewan, bagian tubuh, keadaan fisik seseorang, keadaan mental seseorang, profesi, kekerabatan, dan makhluk halus. Beberapa struktur semantis makian dalam BBT memperlihatkan persamaan dan perbedaan. Persamaan struktur semantisnya adalah X mengatakan sesuatu pada Y karena X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. Namun struktur semantis setiap makian dalam BBT memiliki pola struktur semantis yang berbeda berdasarkan referennya.

Kata kunci: makian, kategorisasi, struktur semantis, dan Metabahasa Semantik Alami.


(10)

DAFTAR SINGKATAN, LAMBANG, DAN TABEL

Daftar Singkatan

BBT : Bahasa Batak Toba BT : Batak Toba

BI : Bahasa Indonesia

MSA : Metabahasa Semantik Alami SMA : Sekolah Menengah Atas VBI : Verba Bahasa Indonesia

Daftar Lambang

+ : Kepemilikan Ciri Semantis - : Ketiadaan Ciri Semantis / : Menyatakan pilihan (atau)

Daftar Tabel

Tabel 1 : Perangkat Makna Asali

Tabel 2 : Kategorisasi Makian dalam Bahasa Batak Toba

Daftar Gambar

Gambar 1 :Hubungan Makna Asali, Polisemi, dan Sintaksis Universal Gambar 2 : Peta Lokasi Penelitian

Gambar 3 : Sub-subkategori Makian Bereferen Nama Hewan Gambar 4 :Sub-subkategori Makian Bereferen Bagian Tubuh

Gambar 5 : Subkategori Makian Bereferen Keadaan Fisik Seseorang Gambar 6 : Subkategori Makian Bereferen Keadaan Mental Seseorang


(11)

Gambar 7 : Subkategori Makian Bereferen Profesi Gambar 8 :Subkategori Makian Bereferen Kekerabataan Gambar 9 :Subkategori Makian Bereferen Makhluk Halus Gambar 10 :Kategorisasi Makian dalam BBT


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas kategorisasi dan struktur semantis makian dalam bahasa Batak Toba (BBT). Teori yang digunakan adalah teori “Metabahasa Semantik Alami”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kategorisasi makian dalam BBT dikategorikan berdasarkan referen makian. Referen makian dalam BBT terdiri atas tujuh referen, yakni nama hewan, bagian tubuh, keadaan fisik seseorang, keadaan mental seseorang, profesi, kekerabatan, dan makhluk halus. Beberapa struktur semantis makian dalam BBT memperlihatkan persamaan dan perbedaan. Persamaan struktur semantisnya adalah X mengatakan sesuatu pada Y karena X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. Namun struktur semantis setiap makian dalam BBT memiliki pola struktur semantis yang berbeda berdasarkan referennya.

Kata kunci: makian, kategorisasi, struktur semantis, dan Metabahasa Semantik Alami.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebuah kata atau kalimat tidak terlepas dari makna. Ullmann (dalam Pateda, 2001: 92) mengatakan bahwa makna adalah hubungan timbal balik antara name ‘lambang’ dan sense ‘pengertian’. Makna sebuah kata atau kalimat dapat ditelusuri melalui disiplin ilmu yang disebut semantik. Kambartel (dalam Pateda, 2001: 7) mengatakan bahwa semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Dalam Pateda (2001: 88), untuk menentukan makna kata atau kalimat harus dihubungkan dengan aspek-sapek makna, seperti pengertian (sense), nilai rasa (feeling), nada (tone), dan maksud (intention).

Lyons (1968: 427 dalam Pateda, 2001: 92) mengatakan bahwa pengertian adalah sistem hubungan-hubungan yang berbeda dengan kata lain, di dalam kosa kata, sedangkan Ullmann (1972: 57 dalam Pateda, 2001: 92) mengatakan bahwa pengertian adalah informasi lambang yang disampaikan kepada pendengar. Setiap kata memunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa, dan setiap kata memunyai makna yang berhubungan dengan perasaan. Aspek makna nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa.Misalnya, kalau seseorang marah, nada suaranya akan meninggi. Aspek makna maksud merupakan maksud, senang atau tidak senang, efek usaha keras yang dilaksanakan (Shipley, 1962: 263 dalam Pateda, 2001: 95). Apabila seseorang mengatakan sesuatu itu


(14)

karena ada maksud yang diinginkan. Jadi, jelaslah bahwa sebuah kata atau kalimat yang diujarkan memiliki makna.

Makna digolongkan ke dalam beberapa jenis, salah satunya adalah makna kontekstual. Dalam hal ini, makna muncul akibat hubungan antara ujaran dan konteks. Konteks yang dimaksud, misalnya konteks suasana hati pembicara/pendengar. Konteks tersebut turut memengaruhi pemilihan kata yang juga memengaruhi pada makna. Misalnya, suasana hati yang jengkel akan memungkinkan kata-kata yang bermakna jengkel pula. Itulah sebabnya akan muncul kata makian anjing kau.

Makian adalah salah satu ungkapan verbal yang mengandung makna emotif dan digunakan untuk menghina, menjelek-jelekkan, atau memberi hujatan dengan perkataan kotor atau kasar dalam situasi dan kondisi tertentu, seperti dalam keadaan marah, kesal, dan jengkel. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) disebutkan bahwa makian adalah kata keji yang diucapkan untuk memarahi.

Kegiatan berbahasa bagi masyarakat tutur merupakan suatu proses transfer ide yang diwujudkan dalam bentuk tuturan secara verbal maupun nonverbal. Makian terbentuk oleh emosi yang dirasakan oleh seorang penutur yang dilatarbelakangi oleh beberapa hal, baik dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya yang diujarkan kepada orang lain. Emosi yang dirasakan oleh penutur diungkapkan secara verbal dengan cara yang berlebihan dan spontan, sehingga ungkapan verbal yang dilontarkan secara spontan tersebut dirasakan memiliki makna lain (Indrawati, 2006: 145).


(15)

Makian yang digunakan masyarakat tumbuh dan berkembang sesuai dengan budaya masyarakat penutur itu sendiri. Konsep makian sama dalam setiap bahasa, tetapi ekspresi verbalnya berbeda (Indrawati, 2006: 145). Makian bersifat universal karena terdapat dalam semua bahasa di dunia. Di dunia barat pada umumnya swearwords (kata sumpah serapah) ini berbau seks, seperti fuck ‘bersenggama’, shit ‘tahi’, asshole ‘lubang anus’. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English karya AS Hoorby, fuck adalah slang yang berarti bersetubuh dengan seseorang. Selain itu ungkapan fuck juga dipakai sebagai ekspresi ketersinggungan dan kemarahan, tetapi sering tidak bermakna. Sementara shit adalah kotoran yang keluar dari anus, yang juga dipakai sebagai ekspresi kemarahan seseorang terhadap orang lain.

Di dalam bahasa Indonesia (selanjutnya disebut BI) makian berbau seks juga ada, namun cukup dominan diwarnai oleh makian yang menggunakan nama hewan. Namun, kadangkala seseorang yang mengucapkan makian ini juga tidak memahami makna makian yang diucapkannya. Misalnya, kata makian dengan nama binatang yang cukup populer adalah otak udang. Makian ini diucapkan karena kepala udang mempunyai cangkang transparan bisa terlihat seperti ada tumpukan tahi, maka makian ini dipakai untuk menghina orang yang dianggap bodoh dan tolol.

Makian juga ditemukan dalam kegiatan tutur masyarakat bahasa Batak Toba (selanjutnya disebut BBT). Makian yang ditemukan dalam BBT berbeda dengan makian yang terdapat dalam bahasa daerah lain. Makian dalam BBT tidak hanya mengungkapkan kemarahan dan kebencian tetapi juga menunjukkan rasa


(16)

keakraban atau kedekatan hubungan terhadap orang yang dimaki. Namun, kajian ini hanya membahas makian yang bermakna semantis, yaitu makian yang disebabkan kemarahan, kebencian, dan kejengkelan terhadap seseorang, seperti asu ‘anjing’, babami ‘mulutmu itu’, bodat ho ‘monyet kau’.

Makian dalam BBT tidaklah sama dengan makian dalam BI. Misalnya, bagudung ‘tikus’ merupakan makian dalam BBT, namun dalam BI ‘tikus’ bukanlah berupa makian karena tidak bernilai rasa buruk dan orang yang dimaki sama sekali tidak tersinggung. Di dalam kamus bahasa Batak Toba–Indonesia (Warneck, 2004) disebutkan bahwa seseorang yang dimaki dengan kata bagudung dianggap sebagai pelanggar sumpah atau orang yang bersumpah palsu. Dengan demikian, budaya yang berbeda memengaruhi jenis makian yang terdapat dalam sebuah budaya.

Wijana dan Rohmadi (dalam http://www.yoszuaaccalytt.blogdetik.com) menyebutkan bahwa sumber kata makian dapat digolongkan dalam beberapa model. Pertama, kata makian yang bersumber dari keadaan. Keadaan mental seseorang, misalnya: sinting, bodoh, tolol. Keadaan pada peristiwa yang tidak menyenangkan, misalnya: sialan dan modar. Keadaan mengekspresikan keterkejutan, keheranan, atau kekaguman, misalnya: brengsek, gila, dan celaka. Kedua, kata makian yang bersumber dari binatang tertentu, misalnya: monyet, anjing, babi, dan bangsat. Ketiga, kata makian yang bersumber dari mahkluk halus, misalnya: setan alas dan iblis. Keempat, kata makian dari nama benda tertentu yang berkonotasi jorok, misalnya: tahi dan tahi kucing. Kelima, kata makian yang bersumber dari bagian tubuh, misalnya: matamu, otakmu, dan


(17)

dengkulmu. Keenam, kata makian yang bersumber dari kekerabatan, misalnya: anak haram dan kakek moyangmu. Ketujuh, kata makian yang bersumber dari aktivitas manusia, misalnya bersenggama. Kedelapan, kata makian yang bersumber dari profesi seseorang, misalnya: perek dan sundal.

Sebuah kata bisa dinilai sebagai makian apabila memiliki parameter yang jelas. Parameter makian BBT, yaitu adanya penggunaan kata yang kasar dan halus dalam bahasa Batak. Bahasa yang halus disebut juga hata andung. Sihombing (1989) menyatakan bahwa hata andung biasanya diucapkan dalam acara formal dan kepada orang yang lebih tua, misalnya dalam menyebutkan bagian tubuh, tidak baik mengatakan matami ‘matamu itu’, ulumi ‘kepalamu itu’, butuhami ‘perutmu itu’ terhadap orang yang lebih tua karena maknanya kasar dan tergolong makian. Digolongkan sebagai makian karena kata-kata tersebut memiliki bahasa yang halus untuk mengungkapkannya. Kata-kata seperti itu seharusnya diucapkan dengan hata andung. Di dalam buku Jambar Hata yang ditulis oleh T.M. Sihombing, beberapa hata andung dalam BBT, yaitu simajujung ‘kepala’, sitarupon atau jambulon ‘rambut’, sipareon atau sipanangi ‘telinga’, simalolong ‘mata’, simangkudap ‘mulut’, simangido ‘tangan’, siubeon ‘perut’, dan simanjojak ‘kaki’.

Banyak bentuk makian yang ditemukan dalam tuturan masyarakat Batak Toba (selanjutnya disebut BT). Makian dalam BBT tersebut belum diklasifikasikan dengan jelas berdasarkan referennya dan belum diketahui makna dan struktur semantisnya. Menurut Palmer (1976: 30 dalam Pateda, 2001: 125) referen adalah hubungan antara unsur-unsur linguistik berupa kata-kata,


(18)

kalimat-kalimat, dan dunia pengalaman yang nonlinguistik. Referen dapat berupa benda, peristiwa, proses, atau kenyataan. Referen makian perlu diketahui karena makna setiap makian berbeda sesuai dengan referennya. Makna setiap makian akan diketahui melalui struktur semantisnya. Untuk menjelaskan struktur semantis, digunakan teori semantik, yaitu teori Metabahasa Semantik Alami (selanjutnya disebut MSA), yang dikembangkan oleh Wierzbicka (1996) dan pengikutnya Goddard (1996).

Teori MSA mempunyai dua keunggulan untuk aplikasi praktis. Pertama, MSA dapat diterima oleh semua penutur jati karena parafrase maknanya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah. Kedua, MSA selalu terbuka untuk penyesuaian dan modifikasi terhadap representasi maknanya. Teori ini akan mengeksplikasikan makna leksikon-leksikon secara tuntas dan tidak berputar-putar. Namun, agar tuntas dan tidak berputar-putar analisis maknanya harus menggunakan perangkat makna asali sebagai elemen akhir, yaitu sebuah perangkat makna tetap yang diwarisi manusia sejak lahir. Asumsinya, makna sebuah kata merupakan konfigurasi dari makna asali, bukan ditentukan oleh makna yang lain dalam leksikon (dalam Mulyadi, 2006: 69).

Makian BBT, seperti pitung ‘buta’, pekkat ‘pincang, dan bondil/bollang mata ‘mata besar’ berada pada kategori yang sama yaitu makian yang bereferen keadaan fisik seseorang berbeda dengan makian babami ‘mulutmu itu’, ulumi ‘kepalamu itu’, dan pinggolmi ‘telingamu itu’ yang berada pada kategori makian berreferen bagian tubuh. Makian BBT bereferen keadaan fisik seseorang memiliki kombinasi elemen makna asali, yaitu UJAR, BAGIAN, dan SESEORANG.


(19)

Selanjutnya, setiap kategori dikelompokkan lagi ke dalam subkategori dan sub-subkategori. Kategori makian bereferen nama hewan dapat dikelompokkan dalam subkategori hewan berkaki empat yang peliharaan dan yang bukan peliharaan. Kemudian dibedakan atas sub-subkategori hewan berkaki empat peliharaan yang besar dan kecil serta hewan berkaki empat bukan peliharaan yang besar dan kecil. Berdasarkan referen tersebut, setiap makian memiliki makna asali yang berbeda.

Pengkajian mengenai struktur semantis makian sudah pernah diteliti oleh Indrawati (2006). Hasil penelitiannya yang berjudul Makian dalam Bahasa Madura: Kajian Metabahasa Semantik Alami menyatakan bahwa makian dalam bahasa Madura memiliki referensi, seperti bagian tubuh manusia, istilah kekerabatan, binatang, makhlus halus, profesi, sesuatu yang buruk, keadaan mental, keadaan fisik seseorang, dan aktivitas sosial yang memiliki makna asali, antara lain seseorang, sesuatu, badan, bagian, buruk, terjadi, memikirkan, merasakan, mengetahui, dan melakukan. Selain itu ada juga beberapa hasil penelitian dengan menggunakan teori MSA, seperti Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia (Mulyadi: 2000), Bahasa Bali Usia Anak-Anak: Kajian Metabahasa Semantik Alami (Arnawa: 2009), Struktur Semantis Verba yang Bermakna Memotong dalam Bahasa Bali (Budiasa: 2011), dan Verba Gerakan Bukan Agentif Bahasa Jawa: Tinjauan Metabahasa Semantik Alami (Subiyanto: 2008).


(20)

jelas atas kategorisasi dan makna asali yang dimiliki tiap-tiap makian dalam BBT. Di samping itu, pengkajian makian dalam BBT belum pernah dilakukan. Makian dalam BBT cukup banyak jumlahnya dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kategorisasi makian tersebut. Kajian ini dapat memberikan manfaat kepada penutur Batak Toba untuk mengetahui makian dalam bahasa daerahnya. 1.2 Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas terlihat bahwa makna makian dalam BBT belum dideskripsikan. Untuk mendeskripsikan maknanya perlu diketahui struktur semantisnya. Jadi, masalah yang dibahas dalam kajian ini adalah:

1. Bagaimanakah kategorisasi makian dalam bahasa Batak Toba? 2. Bagaimanakah struktur semantis makian dalam bahasa Batak Toba?

1.3 Batasan Masalah

Masalah yang dikaji penulis dibatasi pada makian yang bermakna semantik, yaitu makian yang disebabkan kemarahan, kebencian, dan memiliki makna yang negatif. Penelitian ini juga dibatasi pada pembahasan kategorisasi makian dan struktur semantisnya.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan kategorisasi makian dalam bahasa Batak Toba. 2. Mendeskripsikan struktur semantis makian dalam bahasa Batak Toba.


(21)

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoretis:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pada bidang linguistik kebudayaan dan memberi manfaat bagi kelestarian bahasa dan kebudayaan BT.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian semantik tentang kategorisasi makian dan struktur semantis dengan menggunakan teori MSA.

1.5.2 Manfaat Praktis:

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan bagi peneliti selanjutnya tentang struktur semantis makian dalam bahasa daerah lainnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu model penyusunan kamus makian dalam BBT.


(22)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu makian, kategorisasi, makna asali, dan struktur semantis. Konsep-konsep tersebut perlu dibatasi untuk menghindari salah tafsir bagi pembaca.

2.1.1 Makian

Makian merupakan ungkapan verbal yang dilontarkan secara spontan dengan cara yang berlebihan dan dirasakan memiliki makna lain (Indrawati, 2006: 145).

2.1.2 Kategorisasi

Kategorisasi adalah pengelompokan butir leksikal berdasarkan kesamaan komponen semantisnya (Mulyadi, 2010: 169). Misalnya, ’komponen X mengatakan Y seperti Z’ memuat makian babi ‘babi’ dan asu ‘anjing’ berada dalam satu ranah semantis yang sama.

2.1.3 Makna Asali

Makna asali adalah perangkat makna yang tidak dapat berubah dan telah diwarisi oleh manusia sejak lahir (innate), sehingga merupakan refleksi pikiran dasar manusia (Goddard, 1992: 2).

2.1.4 Struktur Semantis

Struktur semantis adalah jaringan relasi semantis di antara kata-kata dalam sistem leksikon suatu bahasa. Struktur semantis sebuah kata dapat diungkapkan


(23)

jika maknanya dibandingkan dengan makna kata-kata lain yang dirasakan berhubungan. Jika perbandingannya tepat, ada dua kemungkinan yang ditemukan: struktur semantisnya memiliki kesamaan atau sebaliknya (Mulyadi, 2000: 43).

2.2 Landasan Teori

Kajian semantik makian bahasa Batak Toba ini menggunakan teori MSA yang dianggap relevan dan dapat mendukung temuan di lapangan sehingga dapat memperkuat teori dan keakuratan data.

Teori MSA yang dikembangkan oleh Wierzbicka (1996) dirancang untuk mengeksplikasikan semua makna, baik makna leksikal, makna gramatikal, maupun makna ilokusi. Asumsi dasar teori MSA menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi lebih sederhana dan tuntas. Akan tetapi, agar analisis makna sederhana dan tuntas, digunakan perangkat makna asali (semantic primitives) sebagai elemen akhir dalam analisis makna.

Teori MSA menggunakan konsep teoretis yang relevan dalam menganalisis makna, yaitu makna asali, polisemi takkomposisi, dan sintaksis universal.

Wierzbicka (1996: 3-11) mengatakan bahwa ada 55 elemen makna asali yang dapat digunakan untuk memparafrase makna sebuah butir leksikon, antara lain SESUATU, SESEORANG, MENGETAHUI, INGIN, TERJADI, BAIK, BESAR, MUNGKIN, SEBAB, dan SETELAH (dalam Mulyadi, 2000: 43). Jumlah ini telah berkembang lagi, dan Goddard mencatat terdapat 65 makna asali, seperti terlihat berikut ini.


(24)

Tabel 1. Perangkat Makna Asali

KOMPONEN ELEMEN MAKNA ASALI

Substantif I AKU, YOU KAMU, SOME ONE SESEORANG

PEOPLE/PERSON, ORANG, SOMETHING/THING

SESUATU/HAL, BODY TUBUH/BADAN

Substantif Relasional KIND JENIS, PART BAGIAN

Pewatas THIS INI, THE SAME SAMA, OTHER/ELSE LAIN

Penjumlah ONE SATU, TWO DUA, MUCH/MANY BANYAK,

SOME BEBERAPA, ALL SEMUA

Evaluator GOOD BAIK, BAD BURUK

Deskriptor BIG BESAR, SMALL KECIL

Predikat Mental THINK PIKIR, KNOW TAHU, WANT INGIN, FEEL

RASA, SEE LIHAT,HEAR DENGAR

Ujaran SAY UJAR, WORDS KATA, TRUE BENAR

Tindakan,peristiwa, gerakan, perkenaan

DO BERBUAT/LAKU, HAPPEN TERJADI, MOVE

GERAK, TOUCH SENTUH

Tempat, keberadaan, milik, dan spesifikasi

BE (SOME WHERE) SESUATU TEMPAT, THERE

IS/EXIST ADA, HAVE PUNYA, BE

(SOMEONE/SOMETHING) MENJADI


(25)

Hidup dan Mati LIVE HIDUP, DEAD MATI

Waktu WHEN/TIME BILA atau KAPAN /WAKTU, NOW

SEKARANG, BEFORE SEBELUM, AFTER

SETELAH, A LONG TIME LAMA, A SHORT TIME

SINGKAT/SEKEJAP, FOR SOME TIME

SEBENTAR/BEBERAPA SAAT, MOMENT SAAT

Ruang WHERE/PLACE (DI) MANA/TEMPAT, HERE (DI)

SINI, ABOVE (DI) ATAS, BELOW (DI) BAWAH,

FAR JAUH, NEAR DEKAT, SIDE SEBELAH,

INSIDE (DI) DALAM

Konsep logis NOT TIDAK, MAYBE MUNGKIN, CAN DAPAT,

BECAUSE KARENA,IF JIKA

Augmentor intensifier VERY SANGAT, MORE LEBIH/LAGI

Kesamaan LIKE/AS SEPERTI

Sumber : Subiyanto (2008: 270-271)

Gagasan makna asali bukanlah sebuah konsep baru dalam literatur semantik. Pada abad ke-17 keberadaan makna ini sudah diakui oleh para ahli seperti Descartes, Pascal, Arnauld, dan Leibniz (periksa Wierzbicka: 1996: 12). Arnauld (dalam Goddard: 1994: 2), misalnya, mengatakan sebagai berikut.

It is impossible to define all words. In defining we employ a definition to express the idea which we want to join to defined word; if we then wanted to defined ‘the definition’, still other


(26)

words would be needed and so on to infinity. Hence, it is necessary to stop at some primitive words which are not defined”.

Semua kata tidak mungkin dapat didefinisikan. Dalam mendefinisikan kata kita menggunakan sebuah arti untuk mengekspresikan ide yang ingin kita gabung ke dalam kata yang didefinisikan; selanjutnya, jika kita ingin mendefinisikan ‘makna’, kata-kata yang lain tetap akan diperlukan, dan seterusnya hingga tak terbatas. Oleh karena itu, ini diperlukan untuk berhenti pada beberapa kata-kata primitif yang tidak didefinisikan.

Aristoteles juga mengungkapkan hal yang sama (dalam Wierzbicka: 1996). Menurut Aristoteles, sebuah definisi haruslah dibuat dengan menggunakan istilah yang dapat dimengerti; bukan dengan istilah yang acak. Jika tidak digunakan istilah yang lebih dapat dimengerti, definisi tersebut akan sukar dipahami.

Konsep dasar lain dalam MSA adalah polisemi. Polisemi adalah leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Ini terjadi karena adanya hubungan komposisi antara satu eksponen dengan eksponen yang lainnya karena memiliki kerangka gramatikal yang berbeda (Subiyanto, 2008: 272). Ada dua hubungan nonkomposisi, yaitu hubungan yang ‘menyerupai pengartian’ dan ‘hubungan implikasi’ (Indrawati, 2006: 148). Hubungan yang menyerupai pengartian tampak pada melakukan/terjadi dan melakukan pada/terjadi.

(1) X melakukan sesuatu pada Y Sesuatu terjadi pada Y (2) Jika X merasakan sesuatu


(27)

Sesuatu terjadi pada X

Perbedaan sintaksis yang penting antara melakukan dan terjadi adalah bahwa melakukan membutuhkan dua argumen referensial, sedangkan terjadi hanya membutuhan satu argumen. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen terjadi dan merasakan, misalnya jika X merasakan sesuatu, maka sesuatu terjadi pada X.

Konsep dasar selanjutnya adalah sintaksis universal. Sintaksis universal dikembangkan oleh Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an. Sintaksis universal terdiri atas kombinasi leksikon butir makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksis bahasa yang bersangkutan. Misalnya, INGIN memiliki kaidah universal tertentu dalam konteks: saya ingin melakukan sesuatu. Selanjutnya, unit dasar sintaksis universal ini dapat disamakan dengan klausa yang dibentuk oleh substantif, predikat, dan elemen-elemen lain. Kombinasi elemen-elemen tersebut akan membentuk kalimat kanonis (Indrawati, 2006: 148). Kalimat kanonis adalah kalimat sederhana berbentuk parafrase yang dibentuk oleh kombinasi elemen-elemen makna asali.

Unit dasar sintaksis universal dapat disamakan dengan “klausa”, dibentuk oleh substantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan ciri predikatnya (Mulyadi, 2006: 71). Contoh pola sintaksis universal antara lain adalah:

a. Aku melihat sesuatu di tempat ini. b. Sesuatu yang buruk terjadi padaku.


(28)

c. Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku.

d. Aku tahu bahwa kau orang yang baik.

Pola kombinasi yang berbeda dalam sintaksis universal mengimplikasikan gagasan pilihan valensi. Contohnya, elemen MENGATAKAN, di samping memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu’), juga “pesapa” (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang’), atau “topik” (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu tentang sesuatu’) atau “pesapa dan topik” (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang tentang sesuatu’) (Mulyadi dan Siregar, 2006: 71). Hubungan ketiga konsep dasar tersebut dapat diringkas dalam skema di bawah ini.

Gambar 1. Hubungan Makna Asali, Polisemi, dan Sintaksis Universal

makna asali

polisemi Sintaksis Universal

makna asali makna


(29)

Sebuah butir leksikon memiliki minimal dua makna asali. Kemudian makna asali tersebut membentuk polisemi, yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Selanjutnya, makna asali yang berpolisemi tersebut membentuk sintaksis universal, yaitu kalimat sederhana yang berbentuk parafrase. Berdasarkan kalimat parafrase tersebut, dapat diketahui makna sebuah butir leksikon tersebut.

2.3 Tinjauan Pustaka

Sampai saat ini belum banyak linguis yang mengkaji bidang semantik, khususnya yang mengkaji struktur semantis ungkapan verbal emosi penutur, yaitu makian. Namun, sudah ada beberapa ahli yang membahas struktur semantis dalam verba, baik dalam bahasa Indonesia maupun lintas bahasa.

Mulyadi, dalam Linguistika (2000), meneliti tentang Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia. Teori yang digunakan adalah teori “Makna alamiah Metabahasa”. Aspek yang dikaji adalah klasifikasi dan struktur. Hasilnya menunjukkan bahwa VBI digolongkan atas verba keadaan, proses, dan tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas kognisi, pengetahuan, emosi, dan persepsi; verba proses mempunyai kelas kejadian, proses badaniah, dan gerakan bukan agentif; verba tindakan memiliki kelas gerakan agentif, ujaran, dan perpindahan. Struktur semantis VBI diformulasikan dari sejumlah polisemi. Beberapa struktur semantis VBI memperlihatkan persamaan dan perbedaan. Struktural semantis verba kognisi, pengetahuan, emosi, kejadian, proses badaniah, gerakan, ujaran,


(30)

dan perpindahan terbentuk dalam pola yang sama, sementara struktur semantis verba persepsi terbentuk dalam pola yang berbeda.

Idrawati, dalam Linguistik Indonesia (2006: 145-154), meneliti tentang Makian dalam Bahasa Madura: Kajian Metabahasa Semantik Alami. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa makian dalam bahasa Madura memiliki referensi, seperti bagian tubuh manusia, istilah kekerabatan, binatang, makhluk halus, profesi, sesuatu yang buruk, keadaan mental, keadaan fisik seseorang, dan aktivitas sosial yang memiliki makna asal antara lain seseorang, sesuatu, badan, bagian, buruk, terjadi, memikirkan, merasakan, mengetahui, dan melakukan.

Mulyadi, dalam Linguistika (2010: 169), meneliti tentang Verba Emosi Statif dalam Bahasa Melayu Asahan, mengungkapkan bahwa verba emosi statif Melayu Asahan dicirikan komponen ‘X merasakan sesuatu bukan karena X menginginkannya’. Sesuai dengan tipe peristiwanya, verba emosi statif dibagi atas empat subkategori: (1) ‘sesuatu yang buruk telah terjadi’ (“mirip sodih”), (2) ‘sesuatu yang buruk dapat/akan terjadi’ (“mirip takut”), (3) ‘orang-orang dapat memikirkan sesuatu yang buruk tentang aku’ (“mirip malu”), dan (4) ‘aku tidak berpikir bahwa hal seperti ini dapat/akan terjadi’ (“mirip heran”).

Budiasa, dalam JurnalIlmiah Indonesia (2011: 227-238), meneliti tentang Struktur Semantis Verba yang Bermakna Memotong dalam Bahasa Bali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa verba yang bermakna ‘memotong’ dalam bahasa Bali terdiri atas dua kelompok, yaitu (1) kelompok verba bahasa Bali yang bermakna ‘memotong’ dengan menggunakan alat dan (2) kelompok verba bahasa Bali yang bermakna ‘memotong’ tanpa menggunakan alat dalam melakukan


(31)

tindakan. Hasil kajiannya juga menunjukkan bahwa verba bahasa Bali yang bermakna ‘memotong’ hanya memiliki satu tipe makna asali, yaitu melakukan: terpotong.

Subiyanto, dalam Linguistika (2011: 165-176), meneliti tentang Struktur Semantis Verba Proses Tipe Kejadian Bahasa Jawa: Kajian Metabahasa Semantik Alami. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa verba kejadian memiliki beberapa komponen semantik, yakni: [+dinamis], [-kesengajaan], [+/-kepungtualan], [+/-telik], [-kinesis], dan [+gerakan]. Struktur semantis verba kejadian bahasa Jawa dijelaskan berdasarkan makna asali yang membangunnya. Verba ini dibentuk dengan makna asali TERJADI dan MELAKUKAN.

Hasil penelitian terdahulu menjadi sumber acuan penulis dalam melakukan penelitiaannya menganalisis makian dalam BBT. Hasil penelitian yang akan diteliti penulis berbeda dengan hasil penelitian terdahulu, yaitu tentang kategorisasi dan struktur semantis makian dalam BBT.


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

Secara geografis, penutur bahasa Batak Toba tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Toba Samosir yang berada di bagian tengah wilayah provinsi Sumatera Utara, yakni di punggung Bukit Barisan yang terletak di antara 10 20’ – 204’ LU dan 98010’ – 90035’BT.

Penelitian ini dilakukan di Desa Tinggir Nipasir Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena masyarakat di daerah tersebut adalah masyarakat homogen, yaitu bersuku Batak Toba sehingga interferensi bahasa lain sangat kecil terjadi. Luas pemukiman Desa Tinggir Nipasir adalah 124 Ha. Desa ini terbagi atas dua dusun, dusun I bernama desa Gompar Sigiring dan dusun II bernama Banua Luhu dengan jumlah penduduk sebanyak 553 jiwa. Mayoritas pencaharian penduduk setempat adalah petani (90 %), pegawai negeri sipil (3 %) dan wiraswasta (7%).

Batas-batas desa adalah sebagi berikut. Sebelah Utara : Desa Aruan


(33)

Sebelah Timur : Kelurahan Pasar Laguboti Sebelah Barat : Desa Lumban Binanga

Letak Desa Tinggir Nipasir dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian (Sumber: http://www.tobasakab.go.id)

3.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian terhadap subjek dilakukan penulis mulai tanggal 1 Maret sampai 1 April 2014.

3.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data lisan dan data tulis. Data lisan sebesar 60% dan data tulis sebesar 40%. Data diperoleh dari sumber data. Data lisan diperoleh dari beberapa informan. Jumlah informan sebanyak 11 orang. Dari 11 orang informan tersebut ada satu orang yang dipilih sebagai informan kunci. Data lisan diperoleh dari beberapa informan yang dipilih berdasarkan beberapa kriteria, antara lain:

1. Penutur asli bahasa Batak Toba;


(34)

4. Berpendidikan maksimal tamat SMA;

5. Berstatus sosial menengah dan mobilitasnya rendah; dan 6. Dapat berbahasa Indonesia (Mahsun, 1995: 106).

Data tulis diperoleh dari bahan bacaan, seperti buku Jambar Hata yang disusun oleh T.M. Sihombing dan kamus bahasa Batak Toba-Indonesia yang disusun oleh Warneck yang dikumpulkan dengan teknik catat. Data juga bersumber dari intuisi kebahasaan penulis.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993: 9). Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dilakukan seorang peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan. Data penelitian ini adalah data verbal dan nonverbal. Pada langkah pengumpulan data, terdapat bermacam-macam metode. Data penelitian ini dikumpulkan dengan metode simak dan metode cakap.

Data lisan dikumpulkan dengan menggunakan metode simak dengan teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap. Dalam teknik simak libat cakap, penulis terlibat langsung dalam dialog dengan narasumber. Pada topik pembicaraan penulis berusaha memunculkan calon data sambil merekam pembicaraan (Sudaryanto, 1993: 133). Sedangkan dalam teknik simak bebas libat cakap, penulis tidak terlibat dalam dialog atau penulis hanya sebagai pemerhati yang menyimak dialog orang-orang yang sedang


(35)

berdialog. Teknik simak bebas libat cakap lebih efektif digunakan untuk menjaring data tulis. Di sini pencatatan berperan penting untuk menjaring data.  Teknik simak bebas libat cakap didukung dengan teknik rekam dan teknik catat (Sudaryanto, 1993: 133-135).

Selanjutnya, digunakan metode cakap yang didukung teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Teknik cakap semuka diterapkan dengan cara penulis bertatap muka dan melakukan percakapan langsung dengan informan. Dalam hal ini peneliti mengarahkan topik pembicaraan sesuai dengan kepentingannya untuk memeroleh data yang diharapkan sambil merekam pembicaraan. Kemudian, penulis menggunakan teknik catat sekaligus merekam data yang diperoleh dari setiap informan ketika sedang melakukan percakapan langsung maupun ketika menyimak percakapan yang berlangsung.

Sebagai penutur bahasa Batak Toba, intuisi penulis juga dimanfaatkan untuk melengkapi data. Semua makian dikelompokkan berdasarkan referennya. Referen makian adalah nama hewan, bagian tubuh, keadaan fisik seseorang, keadaan mental, kekerabatan, profesi, dan makhluk halus.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah data dikumpulkan tahap selanjutnya adalah menganalisis data. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode padan dan metode agih. Cara kerja kedua metode tersebut dapat diringkas seperti di bawah ini.


(36)

3.4.1 Metode Padan

Metode padan adalah metode yang alat penentunya adalah di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan dilakukan untuk menentukan klasifikasi makian, yang terdiri atas nama hewan, bagian tubuh, keadaan fisik seseorang, keadaan mental seseorang, profesi, kekerabatan, dan makhluk halus.

Tabel 2. Kategorisasi Makian dalam Bahasa Batak Toba

No.

Kosa kata Bahasa Indonesia

Kosa kata bahasa Batak

Toba

Referen

Hewan Profesi Tubuh Keadaan Fisik

1. tikus bagudung + - - -

2. budak jappurut - + - -

3. pincang pekkat - - - +

4. monyet bodat + - - -


(37)

3.4.2 Metode Agih

Metode agih adalah metode yang alat penentunya adalah unsur bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993: 15). Metode agih berperan penting dalam menganalisis dan membandingkan makna. Teknik analisis yang diterapkan adalah teknik ubah wujud dan teknik ganti yang dipakai untuk mengungkapkan makna asali yang dikandung makian BBT. Penerapan teknik ubah wujud dalam menganalisis data adalah seperti yang diungkapkan oleh Sudaryanto (1993: 84) yakni adanya pengubahan wujud menghasilkan bentuk tuturan parafrase yang gramatikal secara bentuk dan berterima secara maknawi. Teknik ganti digunakan untuk menguji perilaku atau mengetahui kadar kesamaan kategori makian di dalam kalimat. Misalnya, untuk mengetahui makna asu ‘anjing’ dibandingkan dengan kata-kata lain dalam satu ranah semantis, yaitu makian yang bereferen nama hewan misalnya, babi ‘babi’ dan horbo ‘kerbau’, seperti pada contoh di bawah ini.

(a) Asu ‘anjing

Hira ??Babi ‘babi’ ho! idilat ho hatam sandiri. ??Horbo ‘kerbau’ kau! PAS.jilat kau kata-kata.1 Tgl KOMP. ‘Seperti anjing kau! Kau jilat kata-katamu sendiri’.

(b) Babi ‘babi’

Hira ??Asu ‘anjing’ ho! hodar hian pangallangmu. ??Horbo ‘kerbau’ 2Jmk! Jorok sekali cara makan 2.Jmk ‘Seperti babi kau! Jorok sekali cara makanmu’.


(38)

(c) Horbo ‘kerbau’

Hira ??Babi ‘babi’ ho! Leleng hian karejom. Ingkon isuru-suru ??Asu ‘anjing’ 2.Jmk! Lamban sekali kerja2.Jmk . Harus Pas.perintah

ho karejo 2.Jmk kerja.

‘Seperti Kerbau kau! Lamban sekali kerjamu! Harus diperintah dulu kau baru kerja.

Pada kalimat (a), (b), dan (c) terlihat jelas bahwa ketiga kata makian tersebut tidak dapat saling menggantikan meskipun dalam satu ranah yang sama, yaitu bereferen nama hewan. Setelah ditemukan komponen semantis yang terkandung pada makian dalam BBT tersebut, dilakukan parafrase pada makna. Analisis data dapat dilihat seperti pada contoh berikut.

(1) Asu ‘anjing’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Y mengatakan sesuatu yang lain setelah sekarang. Sebentar mengatakan sesuatu seperti ini, sebentar tidak.

Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”.

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.


(39)

X mengatakan Y seperti ini.

(2) Babi ‘babi’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Sesuatu/hal yang dilakukan Y terdengar sama seperti ini; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”.

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

(3) Horbo ‘kerbau’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk; Y melakukan sesuatu jika X (seseorang) mengatakan sesuatu; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu karena ini”.

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.


(40)

3.5 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data disajikan dengan metode informal dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa—walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya. Metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang dimaksud di antaranya: tanda tambah (+), tanda kurang (-), tanda bintang (*), tanda panah (→), tanda kurung biasa (( )), tanda kurung kurawal ({}), tanda kurung siku ([ ]). Adapun lambang yang dimaksud di antaranya: lambang huruf sebagai singkatan nama (S, P, O, V, K), lambang sigma (Σ) untuk satuan kalimat, dan berbagai lambang (Sudaryanto: 1993: 145).


(41)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Kategorisasi Makian dalam Bahasa Batak Toba

Kategori makian didasarkan pada kesamaan ciri semantisnya. Makian yang memiliki ciri semantis yang sama berada pada kategori yang sama. Makian dalam BBT dapat dikategorikan dalam tujuh referen seperti referen hewan, referen bagian tubuh, referen keadaan fisik seseorang, referen keadaan mental seseorang, referen profesi, referen kekerabatan, dan referen makhlus halus.

Berdasarkan data yang diperoleh penulis melalui penelitiannya di Desa Tinggir Nipasir Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir, jenis-jenis makian dapat dikelompokkan berdasarkan referennya, seperti berikut.

a. Makian dalam BBT bereferen hewan, misalnya: Asu ‘anjing’, babi ‘babi’, horbo ‘kerbau’, huting ‘kucing’, bodat ‘monyet’, galot ‘musang’, bagudung ‘tikus’, dan ulok ‘ular’. Jenis-jenis makian tersebut juga dapat dikelompokkan ke dalam subkategori, seperti makian bereferen nama hewan berkaki empat dan hewan melata. Kemudian hewan berkaki empat dibedakan atas hewan peliharaan dan bukan peliharaan. Selanjutnya, subkategori tersebut dikelompokkan lagi ke dalam sub-subkategori. Sub-subkategori hewan berkaki empat peliharaan yang besar dan hewan berkaki empat peliharaan yang kecil. Sub-subkategori hewan berkaki empat yang bukan peliharaan yang besar dan kecil.


(42)

Gambar 3. Sub-subkategori Makian Bereferen Nama Hewan Makian bereferen hewan

berkaki empat melata peliharaan bukan peliharaan ulok besar kecil besar kecil horbo asu galot bagudung babi bodat

huting

b. Makian dalam BBT bereferen bagian tubuh, misalnya: bujang/ heang ‘alat kelamin perempuan’, pilat ‘alat kelamin laki-laki’, ngingimi ‘gigimu itu’, patmi ‘kakimu itu’, ulumi ‘kepalamu itu’, dila (si ganjang dila) ‘lidah’, matami ‘matamu itu’, babami ‘mulutmu itu’, utok ‘otak’, ihurmi ‘pantatmu itu’, butuhami ‘perutmu itu’, dan pinggolmi ‘telingamu itu’. Kategori makian bereferen bagian tubuh memiliki subkategori panca indera dan bukan panca indera. Makian bereferen bagian tubuh yang bukan panca indera memiliki sub-subkategori perempuan dan laki-laki.


(43)

Gambar 4. Sub-subkategori Makian Bereferen Bagian Tubuh Makian bereferen bagian tubuh

panca indera bukan panca indera

mata laki-laki perempuan ngingi

dila pat

pinggol pilat bujang/heang ulu

c. Makian dalam BBT bereferen keadaan fisik seseorang, misalnya: ganjang munsung ‘bibir yang maju’, telbeng bibir ‘bibir tebal menjuntai ke bawah’, pitung ‘buta’, dungilon ‘gigi maju/keluar’, mokmok ‘gemuk’, bakkilis on ‘kurus’, , bondil/bollang mata ‘mata besar’, pellong ‘juling’, ganjang ihur ‘pantat lebar/besar’, joppok ‘pendek’, pekkat ‘pincang’, tukkik ‘telinga yang mengeluarkan cairan berbau busuk’, pijom ‘tuli’, dan bolak tanggurung ‘punggung yang lebar’. Subkategori makian bereferen keadaan fisik seseorang dapat dilihat pada gambar yang diskemakan berikut.

Gambar 5. Subkategori Makian Bereferen Keadaan Fisik Seseorang Makian bereferen keadaan fisik seseorang

mata telinga badan mulut

pitung tukkik mokmok ganjang munsung bondil/bollang mata pijom bakkilis on telbeng bibir


(44)

Makian bereferen keadaan fisik seseorang

mata telinga badan mulut

pellong ganjang ihur dungilon

joppok

pekkat bolak tanggurung

d. Makian dalam BBT bereferen keadaan mental seseorang, misalnya: oto ‘bodoh’, solpot ‘idiot’, rittik ‘gila’, dan gurbak ulu ‘pemalas’. Makian oto ‘bodoh’, solpot ‘idiot’, rittik ‘gila’ dikenakan kepada seseorang yang tidak mengetahui sesuatu sedangkan makian gurbak ulu dikenakan kepada seseorang yang mengetahui sesuatu tetapi tidak melakukan sesuatu yang diketahuinya tersebut. Oleh karena itu, makian bereferen keadaan mental dikelompokkan dalam dua subkategori, yaitu mengetahui dan tidak mengetahui.

Gambar 6.Subkategori Makian Bereferen Keadaan Mental Seseorang Makian bereferen keadaan mental seseorang

tidak mengetahui mengetahui

oto gurbak ulu solpot


(45)

e. Makian dalam BBT bereferen profesi, misalnya: jappurut ‘budak’ dan boru si babi jalang ‘pelacur’. Berdasarkan nilai rasa profesi tersebut menurut padangan masyarakat, makian bereferen profesi memiliki subkategori profesi yang bernilai positif dan bernilai negatif.

Gambar 7. Subkategori Makian Bereferen Profesi Makian bereferen profesi

bernilai positif bernilai negatif

jappurut boru si babi jalang

f. Makian dalam BBT bereferen kekerabatan, misalnya: inam ‘ibumu’ dan amam ‘bapakmu’. Subkategori makian bereferen kekerabatan adalah laki-laki dan perempuan. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 8. Subkategori Makian Bereferen Kekerabataan Makian bereferen kekerabatan

laki-laki perempuan

amam inam

g. Makian dalam BBT bereferen makhlus halus, misalnya: begu ‘hantu’, dan begu ganjang ‘hantu yang sangat panjang’. Subkategori makian bereferen makhluk


(46)

halus dikelompokkan berdasarkan ukuran. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 9. Subkategori Makian Bereferen Makhluk Halus Makian bereferen makhluk halus

jenis

begu begu ganjang

Kategorisasi makian berdasarkan referen makian tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut.

Gambar 10. Kategorisasi Makian dalam BBT

Kekerabatan Makhluk halus

Profesi Referensi Makian dalam BBT Keadaan fisik


(47)

4.2 Struktur Semantis Makian dalam Bahasa Batak Toba

Struktur semantis makian dalam BBT dibentuk oleh polisemi MENGATAKAN/MERASAKAN. Polisemi tersebut kemudian berkombinasi dengan perangkat makna asali yang lain untuk membedakan makna setiap leksikon. Makian termasuk ke dalam verba ujaran. Menurut Mulyadi (2000), makna verba ujaran tidak terlepas dari tujuan ilokusi, yaitu maksud penutur dalam mengujarkan sesuatu, yang disusun dalam komponen ‘Aku mengatakan ini karena [...]. Slot yang kosong tersebut diisi sejumlah elemen yang berbeda, bergantung pada properti kata makiannya.

Setiap kata makian memiliki ciri semantis yang berbeda-beda. Ciri semantis itu kemudian membedakan setiap makna makian tersebut. Perbedaan itu dapat dilihat seperti contoh kalimat berikut ini.

Asu

??Babi idilat ho hatam sandiri. ??Huting PAS.jilat 2.Jmk perkataan2.Jmk sendiri. Anjing! Kau jilat apa yang kau katakan sendiri’.

Makian asu mengindikasikan seseorang yang tidak dapat dipegang perkataannya. Pada contoh kalimat di atas lebih tepat menggunakan asu karena seseorang yang menyangkal apa yang telah dikatakan sama seperti seekor anjing yang lidahnya menjulur ke luar-dalam.

. Huting

Hira ??Asu ho! Jotjot mardalan di tonga-tonga ni jolma. ??Horbo 2.Jmk! Ket.AKT.jalan Pre. tengah-tengah DEM orang.


(48)

Makian huting mengindikasikan seseorang yang selalu berjalan di tengah-tengah banyak orang tanpa permisi. Pada contoh kalimat di atas lebih tepat menggunakan huting karena seseorang yang selalu berjalan di tengah-tengah banyak orang sama seperti seekor kucing yang sering lewat di hadapan orang.

Horbo ‘kerbau’

Hira ??Babi ‘babi’ ho! Leleng hian karejom. Ingkon isuru-suru ??Asu ‘anjing’ 2.Jmk! Lamban sekali kerja2.Jmk . Harus Pas.perintah

ho karejo 2.Jmk kerja.

‘Seperti Kerbau kau! Lamban sekali kerjamu! Harus diperintah dulu kau baru kerja.

Makian horbo mengindikasikan seseorang yang melakukan pekerjaan dengan lamban dan mengerjakan sesuatu hanya jika disuruh. Pada contoh kalimat di atas lebih tepat menggunakan horbo karena seseorang yang lamban dan bekerja jika diperintah sama seperti seekor kerbau yang harus diperintah dahulu sebelum melakukan sesuatu.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa setiap kata makian tidak dapat saling menggantikan meskipun dalam kategori yang sama karena kata makian tersebut memiliki ciri semantis masing-masing.


(49)

Berikut akan dijelaskan hasil penelitian struktur semantis makian dalam BBT berdasarkan referennya

4.2.1 Struktur Semantis Makian Bereferen Nama Hewan

Ada banyak jenis nama hewan yang diketahui oleh masyarakat. Namun, tidak semua nama-nama hewan tersebut digolongkan sebagai kata makian. Dalam masyarakat BT, nama hewan yang tergolong makian adalah hewan yang dekat dengan masyarakat tersebut

(1) Asu ‘anjing’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Y mengatakan sesuatu yang lain setelah sekarang. Sebentar mengatakan sesuatu seperti ini, sebentar tidak.

Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”.

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen waktu, ujaran, substantif, predikat mental, evaluator, tindakan, pewatas, konsep logis, dan


(50)

kesamaan dengan makna asali waktu, mengatakan, sesuatu, merasakan, buruk, lain, sekarang, sebentar, tidak, ingin, seperti, karena, ini, dan sama sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘Y mengatakan sesuatu yang lain setelah sekarang. Sebentar mengatakan sesuatu seperti ini, sebentar tidak’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena disamakan seperti hewan, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, asu memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan].

(2) Babi ‘babi’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Sesuatu/hal yang dilakukan Y terdengar sama seperti ini; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”.

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, pewatas, waktu, tindakan, konsep logis, dan kesamaan dengan makna asali mengatakan, merasakan, sesuatu, buruk, seperti,


(51)

laku, tidak, dan sama sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘Sesuatu/hal yang dilakukan Y terdengar sama seperti ini’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena disamakan seperti hewan, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, babi memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan].

(3) Horbo ‘kerbau’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk; Y melakukan sesuatu jika X (seseorang) mengatakan sesuatu; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu karena ini”.

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, pewatas, waktu, dan kesamaan dengan makna asali mengatakan, merasakan, sesuatu, buruk, seperti, dan sama sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘Y melakukan sesuatu jika X (seseorang) mengatakan


(52)

hewan, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, horbo memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan]. (4) Huting ‘kucing’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Y bergerak ketika berada di tempat banyak orang; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, pewatas, gerakan, waktu, ruang, dan kesamaan dengan makna asali mengatakan, merasakan, sesuatu, buruk, bergerak, seperti, (di) tempat, dan sama sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘Y bergerak ketika berada di tempat banyak orang’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena disamakan seperti hewan, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, huting memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan].


(53)

(5) Bodat ‘monyet’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Y memikirkan dan melakukan sesuatu yang tidak baik; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, pewatas, waktu, tindakan, konsep logis, dan kesamaan dengan makna asali mengatakan, merasakan, memikirkan, tidak, baik, sesuatu, buruk, seperti, laku, dan sama sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘Y memikirkan dan melakukan sesuatu yang tidak baik’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena disamakan seperti hewan, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, bodat memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan].


(54)

(6) Galot ‘musang’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Y ingin memunyai semua yang ada; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”.

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, pewatas, waktu, tindakan, milik, dan kesamaan dengan makna asali mengatakan, merasakan, sesuatu, ingin, punya, buruk, seperti, laku, dan sama sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘Y ingin memunyai semua yang ada’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena disamakan seperti hewan, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, galot memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan].

(7) Bagudung ‘tikus’


(55)

X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. X berpikir tentang Y:

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Saya tahu bahwa Y tidak mengatakan hal yang benar pada saya; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”.

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, pewatas, waktu, dan kesamaan dengan makna asali mengatakan, merasakan, tahu, sesuatu, buruk, seperti, dan sama sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘Saya tahu bahwa Y tidak mengatakan hal yang benar pada saya’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena disamakan seperti hewan, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, bagudung memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan].

(8) Ulok ‘ular’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y.


(56)

“Y melakukan sesuatu yang buruk. Y tidak mengatakan hal yang benar tentang saya; Saya tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini”

Ketika X berpikir seperti ini, X merasakan sesuatu yang buruk. X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, pewatas, waktu, dan kesamaan dengan makna asali mengatakan, merasakan, sesuatu, buruk, seperti, dan sama sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘Y tidak mengatakan hal yang benar tentang saya’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena disamakan seperti hewan, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, ulok memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan].

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa makian bereferen hewan memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [+bernyawa], dan [-insan]. Lebih lanjut, makna makian bereferen hewan dibedakan dari ciri yang dikandung tiap-tiap hewan. Jika ciri itu diabaikan, maka dihasilkan struktur berikut.

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. Y melakukan sesuatu yang buruk [...].


(57)

X merasa Y sama seperti Z.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan Y seperti ini.

4.2.2 Struktur Semantis Makian Bereferen Bagian Tubuh

Bagian tubuh manusia juga dapat dijadikan sebagai ungkapan untuk memaki seseorang. Dalam masyarakat BT, seseorang yang melakukan kesalahan yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang sehingga menyebabkan orang lain rugi atau marah, bagian tubuh tersebut digunakan sebagai ungkapan mengekspresikan kemarahan atau kekecewaan orang tersebut.

(9) Ulu mi ‘kepalamu itu’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y.

Y tidak mendengarkan perkataan X karena Y merasa lebih benar. X mengatakan bagian tubuh Y.

Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, augmentor intensifier, dan konsep logis dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, merasakan, buruk, lebih, benar, dan tidak sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X


(58)

mengatakan sesuatu pada Y dengan menyebut bagian tubuh’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena ulu ‘kepala’ adalah bagian dari tubuh manusia yang paling tinggi kedudukannya. Apabila seseorang memaki dengan menyebut ulu, maka ia merendahkan derajat orang yang dimaki sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, ulu memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(10) Dila ‘lidah’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y.

X tahu bahwa Y telah melakukan hal yang buruk. Y mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang X.

X mengatakan bagian tubuh Y (dila).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, ujaran dan konsep logis dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, merasakan, buruk, tidak, dan benar sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali karena kesalahannya sehingga terbentuk pola struktur ‘Oleh


(59)

karena itu, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, dila memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(11) Ngingi mi ‘gigimu itu’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y.

Bagian tubuh Y terlihat oleh X seperti memburuk-burukkan X. X mengatakan bagian tubuh Y (ngingi mi).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, dan evaluator dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, merasakan, lihat, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali karena kesalahannya sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, ngingi memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].


(60)

(12) Patmi ‘kakimu itu’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y. Y melakukan hal yang buruk terhadap X. Y menyentuh X dengan bagian tubuh ini X mengatakan bagian tubuh Y (pat mi).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, dan perkenaan dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, merasakan, buruk, dan sentuh sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali karena kesalahannya sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, pat memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(13) Bujang/heang ‘alat kelamin perempuan’.

Pada waktu itu, X (anak kecil) mengatakan sesuatu pada Y (anak kecil). X merasakan hal yang buruk terhadap Y (perempuan).


(61)

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, dan evaluator dengan makna asali mengatakan, merasakan, sesuatu, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena bagian tubuh tersebut adalah bagian yang sangat vital dan tabu diucapkan dalam masyarakat BT, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, bujang memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(14) Pilat ‘alat kelamin laki-laki’

Pada waktu itu, X (anak kecil) mengatakan sesuatu pada Y (anak kecil). X merasakan hal yang buruk terhadap Y (laki-laki).

X mengatakan bagian tubuh Y/ Ayah Y (pilat).

Oleh karena itu, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, dan evaluator dengan makna asali mengatakan, merasakan, sesuatu, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X


(62)

mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh’. Biasanya orang yang dimaki akan marah karena bagian tubuh tersebut adalah bagian yang sangat vital dan tabu diucapkan dalam masyarakat BT, sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, pilat memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(15) Mata mi ‘matamu itu’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y. Y melakukan hal yang buruk terhadap X

Bagian tubuh Y melihat pada X dalam waktu yang lama. X mengatakan bagian tubuh Y (mata mi).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, dan evaluator dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, merasakan, melihat, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian badan’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali karena kesalahannya sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, mata


(63)

memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(16) Baba mi ‘mulutmu itu’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y. Y mengatakan hal yang tidak baik kepada X. X mengatakan bagian tubuh Y (baba mi).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, konsep logis, dan ujaran dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, merasakan, mengucapkan, tidak, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali karena kesalahannya sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, baba memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].


(64)

(17) Utok ‘otak’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y.

Y melakukan kesalahan/ tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar. X mengatakan bagian tubuh Y (utok).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, ujaran, dan konsep logis dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, merasakan, benar, tidak, dapat, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali karena kesalahannya sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, utok memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(18) Ihur mi ‘pantatmu itu’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y. Y melakukan sesuatu yang buruk terhadap X. Bagian tubuh Y bergerak mendekati X.


(65)

X mengatakan bagian tubuh Y (ihur mi).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, tindakan, gerakan, dan evaluator dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, bergerak, melakukan merasakan, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian badan’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali karena kesalahannya sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, ihur memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(19) Butuha mi ‘perutmu itu’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y.

Perbuatan Y tidak sama seperti keberadaan Y yang sebenarnya. X mengatakan bagian tubuh Y (butuha mi).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.


(66)

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, dan evaluator dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, merasakan, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, butuha memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(20) Lubang ni te ‘dubur’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y.

X tidak dapat mendengar dengan baik hal yang dikatakan Y karena Y sangat banyak mengatakan sesuatu dengan tidak baik.

X mengatakan bagian tubuh Y (lubang ni te).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, evaluator, dan konsep logis dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, mendengar, merasakan, tidak, baik, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah


(67)

atau tidak sama sekali sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, lubang ni te memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(21) Pinggolmi ‘telingamu itu’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y.

Y mendengarkan perkataan X dengan seseorang. X tahu bahwa Y mendengarkan X.

X menyebut bagian tubuh Y (pinggolmi).

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, dan evaluator dengan makna asali seseorang, sesuatu, badan/tubuh, mengatakan, mendengar, merasakan, dan buruk sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X mengatakan sesuatu pada Y dengan mengatakan bagian tubuh’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, pinggol memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].


(68)

Berdasarkan analisis tersebut, makian bereferen bagian tubuh memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], bernyawa], dan [-insan]. Dengan mengabaikan komponen tambahannya, makna semua makian bereferen bagian tubuh dapat disusun dalam struktur berikut.

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan hal yang buruk terhadap Y. Y [...]

X menyebut bagian tubuh Y. X mengatakan sesuatu seperti ini.

4.2.3 Struktur Semantis Makian Bereferen Keadaan Fisik Seseorang

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis, keadaan fisik seseorang cenderung menjadi ungkapan masyarakat BT untuk mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan. Ada orang yang dimaki karena memang memiliki keadaan fisik yang buruk, namun yang paling banyak dijumpai adalah hanya sebagai hubungan kesalahan seseorang dengan keadaan fisik yang menggambarkan kesalahan orang tersebut. Makian bereferen keadaan fisik tersebut adalah sebagai berikut.

(22) Ganjang munsung ‘bibir yang maju’ Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. Y mengatakan sesuatu secara berlebihan.


(69)

Bagian tubuh Y terlihat buruk seperti ini. X mengatakan Z kepada Y.

Karena ini, Y tidak atau merasakan asesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, dan evaluator dengan makna asali sesuatu, badan/tubuh, merasakan, dan buruk. Orang yang memaki dengan menyebut ganjang munsung biasanya merasa dirugikan oleh perkataan orang yang dimaki sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X merasakan sesuatu yang buruk karena Y’. Akan tetapi, ada juga orang yang dimaki memang memiliki keadaan fisik seperti ini. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, ganjang munsung memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], bernyawa], dan [-insan].

(23) Telbeng bibir ‘bibir tebal menjuntai ke bawah Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. Y mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang X. Bagian tubuh Y terlihat buruk seperti ini.


(70)

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, konsep logis, dan evaluator dengan makna asali sesuatu, badan/tubuh, merasakan, tidak, benar, dan buruk. Orang yang memaki dengan menyebut telbeng bibir biasanya merasa dirugikan oleh perkataan orang yang dimaki sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X merasakan sesuatu yang buruk karena Y’. Akan tetapi, ada juga orang yang dimaki memang memiliki keadaan fisik seperti ini. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, telbeng bibir memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(24) Pitung ‘buta’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. Y tidak melihat sesuatu yang diinginkan. Y menginginkan X mendapatkannya. X melihat sesuatu yang diinginkan oleh Y. X mengatakan Z kepada Y.


(71)

X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, konsep logis, dan evaluator dengan makna asali sesuatu, badan/tubuh, merasakan, melihat, tidak, dan buruk. Orang yang memaki dengan menyebut pitung biasanya merasa direpotkan oleh orang yang dimaki sehingga dapat dibentuk pola struktur ‘X merasakan sesuatu yang buruk karena Y’. Kadang-kadang orang yang dimaki akan marah atau tidak sama sekali sehingga terbentuk pola struktur ‘Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X’. Berdasarkan analisis tersebut, pitung memiliki fitur-fitur semantik, yakni: [+entitas], [+temporal], [+konkret], [-bernyawa], dan [-insan].

(25) Na dungilon ‘gigi yang maju’

Pada waktu itu, X mengatakan sesuatu pada Y. X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y. Bagian tubuh Y terlihat buruk seperti ini. X mengatakan Z kepada Y.

Karena ini, Y tidak atau merasakan sesuatu yang buruk terhadap X. X mengatakan sesuatu seperti ini.

Makian dalam BBT tersebut dibentuk oleh kombinasi komponen semantik substantif, predikat mental, dan evaluator dengan makna asali sesuatu,


(1)

LAMPIRAN II

KUISIONER PENELITIAN

1. Nama : ... 2. Usia : ... 3. Jenis Kelamin : ...

Angket ini diperlukan untuk bahan analisis dan data dalam pembuatan skripsi. Saya ucapkan terimakasih atas kesediaan dan kerjasama Anda dalam pengisian angket ini.

Petunjuk:

Pilihlah jawaban yang sesuai dengan memberikan garis silang ( x ) pada pilihan Anda dan bila diperlukan penjelasan silahkan ditulis pada bagian yang telah disediakan. Demi keakuratan data, mohon kuesioner ini dijawab dengan sebenar-benarnya.

1. Apakah profesi/ pekerjaan Anda saat ini? a. Guru d. Lain-lain

b. Petani c. Pedagang

2. Apa pendidikan terakhir Anda? a. SD

b. SMP c. SMA d. Sarjana

3. Bahasa apakah yang Anda gunakan sehari-hari? a. Bahasa Indonesia


(2)

b. Bahasa Batak Toba c. Bahasa Inggris d. Lain-lain

4. Apakah Anda pernah mengucapkan kata-kata kasar atau memaki seseorang? a. Ya

b. Tidak

5. Di manakah Anda sering mengucapkan kata-kata makian? a. Di rumah

b. Di pasar

c. Di tempat bekerja d. Lain-lain

6. Kata makian seperti apa yang sering Anda gunakan? a. Nama binatang

b. Organ tubuh c. Keadaan fisik d. Lain-lain

7. Siapa yang menjadi objek makian Anda? a. Anak kandung

b. Orang tua c. Teman dekat d. Lain-lain

8. Apakah alasan Anda memaki seseorang? a. Marah

b. Dendam c. Tersinggung d. Bercanda


(3)

9. Apa reaksi atau respon dari orang yang Anda maki? a. Memaki kembali

b. Diam saja

Daftar Klauasa Makian dalam Bahasa Batak Toba Berdasarkan Referensi

Referensi Hewan

No. Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba 1. Anjing

2. Babi 3. Harimau 4. Kerbau 5. Kucing 6. Kutu 7. Monyet 8. Musang 9. Tikus 10. Ular

Referensi Tubuh

No. Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba 1. Alat kelamin

perempuan

2. Alat kelamin laki-laki 3. Dahi

4. Gigi 5. Kaki 6. Kepala


(4)

7. Lambung 8. Lidah 9. Mata 10. Mulut 11. Otak 12. Pantat 13. Payudara 14. Perut

Referensi Profesi

No. Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba 1. Budak

2. Pelacur 3. Pembantu

Referensi Kekerabatan

No. Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba 1. Bapakmu

2. Ibumu 3. Nenekmu

Referensi Makhlus Halus

No. Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba 1. Tuyul

2. Setan

3. Hantu yang sangat tinggi


(5)

Referensi Keadaan Mental

No. Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba 1. Bodoh

2. Idiot 3. Gila

Referensi Keadaan Fisik

No. Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba

1. Bibir Tebal 2. Bibir Memble 3. Buta 4. Dahi Lebar 5. Gigi Maju 6. Gendut 7. Kurus 8. Kecil 9. Mata Besar 10. Mata Kecil

11. Pantat Besar/Lebar 12. Pantat Rata

13. Hidung Pesek 14. Pendek 15. Pincang

16. Telinga keluar cairan yang berbau busuk 17. Tinggi Sekali


(6)

LAMPIRAN III