BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) merupakan tanaman berkeping satu yang termasuk ke dalam famili Palmae yang dapat menghasilkan minyak. Kelapa sawit dikenal terdiri dari empat tipe atau varietas, yaitu tipe Macr

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Sawit

  Kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) merupakan tanaman berkeping satu yang termasuk ke dalam famili Palmae yang dapat menghasilkan minyak. Kelapa sawit dikenal terdiri dari empat tipe atau varietas, yaitu tipe Macrocarya, Dura, Tenera, dan Pisifera. Masing-masing tipe dibedakan berdasarkan tebal tempurung.

  

Tabel. 2.1 Beda Tebal dari Berbagai Tipe Kelapa Sawit

  Tipe Tebal tempurung (mm)

  Macrocarya

  Tebal sekali : 5

  Dura

  Tebal : 3-5

  Tenera

  Sedang : 2-3

  Pisifera

  Tipis Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000.mm/tahun dan kisaran suhu 22 – 32

  C. Daerah penanaman kelapa sawit di Indonesia adalah daerah Jawa Barat (Lebak dan Tangerang), Lampung, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Warna daging buah putih kuning di waktu masih muda dan berwarna jingga setelah buah menjadi matang (Ketaren, 1986).

2.1.1 Minyak Kelapa Sawit

  Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut dengan minyak inti sawit (PKO). Minyak sawit yang terkandung dalam sel-sel serat adalah sekitar 20

  • – 24% dari berat tandan sawit, sedangkan minyak inti sawit sekitar 2 – 4 % (Salunkhe, 1992). Beberapa sifat fisika-kimia dari minyak sawit dan minyak inti sawit dapat dilihat seperti yang terdapat pada tabel 2.2:

Tabel 2.2 Nilai Sifat Fisika-Kimia Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit

  Sifat Minyak sawit Minyak inti sawit Bobot jenis 0,900 0,900-0,913 Indeks bias pada 40 c 1,4565-1,4585 1,495-1,415 Bilangan Iod 46-48 14-20 Bilangan Penyabunan 196-206 244-254

  Minyak kelapa sawit merupakan lemak semi padat yang mempunyai komposisi tetap. Komposisi asam lemak dari minyak kelapa sawit dapat dilihat pada

tabel 2.3 berikut :Tabel 2.3 Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit

  Asam lemak Rumus kimia Jumlah ( %) Asam Miristat C

  13 H

  27 COOH 1,1 – 2,5

  Asam palmitat C

  13 H

  31 COOH 40 – 46

  Asam stearat C H COOH 3,6 – 4,7

  13

  35 Asam oleat C

  13 H

  33 COOH 39 – 45

  Asam linoleat C H COOH 7 – 11

  13

  31

  (Ketaren, 2005)

2.1.2 Pengolahan Minyak Kelapa Sawit menjadi Minyak Goreng

  Selain untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng, minyak sawit dapat juga digunakan untuk bahan margarin, shortening dan emulsifier. Minyak goreng dari sawit yang dalam bahasa industri disebut RBDP Olein (Refined Bleached Deodorized Palm

  

Olein ) diperoleh dari CPO sebagai bahan bakunya. Proses pengolahan minyak goreng

  ini menghasilkan hasil samping RBD Stearin (Refined Bleached Deodorized Stearin), dan PFAD (Palm Fatty Acids Destillation) yang dinamakan juga asam lemak bebas. RBD Stearin merupakan bahan baku untuk pembuatan margarin dan shortening, sedangkan PFAD dapat diolah lebih lanjut menjadi sabun. Tahapan tandan buah kelapa sawit dari kebun sawit sampai dengan minyak goreng dan produk lain yang dihasilkan disajikan pada diagram alir berikut (Gambar 2.1).

  Tandan buah segar Penghancuran dan ekstraksi Palm kernel CPO

  Tandan buah kosong Pengendapan (Wet Degumming) Pemucatan(Bleaching) Filtrasi

  Filtrat (DBP Oil) Ampas + getah Deodorisasi ( Destilasi Vakum)

  Residu (RBDPO) Destilat (PFAD + air) Fraksinasi Kristalisasi

  Filtrasi Fraksi cair (RBD Olein) Fraksi padat (RBD Stearin) Gambar 2.1. Diagram alir proses pemurnian minyak sawit (Ismail, 2009).

  Produksi minyak goreng dari CPO dilakukan melalui tahapan, pemurnian, fraksinasi, pengemasan, dan pengepakan. Tahap pemurnian terdiri dari proses degumming, pemucatan (bleaching), deodorisasi (deodorisation), dan fraksinasi (fractionation) (Ismail, 2009). a. Degumming Degumming merupakan proses pemisahan getah atau lendir yang merupakan zat-zat terlarut seperti resin, protein, pospatida, atau zat-zat yang bersifat koloidal. Biasanya proses ini dilakukan dengan cara penambahan asam posfat.

  b. Bleaching Bleaching adalah suatu tahap pemurnian untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Proses pemucatan ini dilakukan dengan cara penyerapan zat warna oleh adsorben.

  c. Deodorisasi Deodorisasi merupakan tahap pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa (aldehid, keton, asam lemak bebas) yang tidak dikehendaki. Proses ini perlu dilakukan terhadap minyak yang digunakan untuk bahan pangan. Minyak yang dihasilkan pada proses deodorisasi ini disebut RBDPO ( Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil) dan hasil samping dari proses ini dengan sistem pemurnian fisika menghasilkan asam lemak bebas.

  d. Fraksinasi Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin) melalui tahap kristalisasi dan diikuti filtrasi. Hasil dari filtrasi ini adalah fraksi cair yang disebut RBD Olein dan fraksi padat yang disebut RBD Stearin (Pahan, 2006). Selain minyaknya, ampas tandan kelapa sawit merupakan sumber pupuk kalium dan berpotensi untuk diproses menjadi pupuk organik melalui fermentasi

  (pengomposan) aerob dengan penambahan mikroba alami yang akan memperkaya pupuk yang dihasilkan (Mubarak, 2009).

2.2 Asam lemak Asam lemak adalah asam karboksilat berantai lurus yang dapat diperoleh dari lemak.

  Asam lemak ini terbagi dua, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Beberapa contoh asam lemak jenuh yang paling umum, asam laurat (dodecanoic acid), asam miristat (tetradecanoic acid), asam palmitat (hexadecanoic acid), asam stearat (octadecanoic acid). Asam lemak tidak jenuh yang umum adalah asam lemak yang memiliki 18 atom C dengan satu atau dua ikatan rangkap. Misalnya, asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat (Streitwieser, 1992). Pada umumnya asam lemak mempunyai atom C yang jumlahnya genap dan berantai lurus. Rumus umum untuk asam lemak jenuh adalah C n H 2n O

2 (Ridwan, 1990).

  Penamaan asam lemak dimulai dari rantai karbonnya yang paling panjang. Misalnya, asam lemak dengan C 16 diberi nama asam heksadekanoat dan asam lemak dengan C 18 diberi nama asam oktadekanoat, di mana nama umumnya adalah asam palmitat dan asam stearat (Oullette, 1994).

  Dari tabel 2.3, dapat dilihat bahwa asam palmitat merupakan komposisi asam lemak yang paling besar pada minyak kelapa sawit yaitu sebesar 40-46%. Nama lain dari asam palmitat adalah asam heksadekanoat, asam heksadecylik, ataupun asam cetylic. Rumus umum dari asam palmitat C

  16 H

  32 O 2 dengan berat molekul sebesar

  256,42. Asam palmitat ini terdapat sebagai ester gliserida di dalam minyak ataupun lemak. Dapat diperoleh dari minyak kelapa sawit, lilin Jepang ( Japan Wax), ataupun lemak sayuran China. Kristalnya berwarna putih dengan densitas 0,853, titik leburnya

  o o

  sebesar 63 – 64

  C, dan titik didihnya sebesar 215

  C. Asam palmitat tidak larut dalam air. Dapat larut dalam alkohol dingin ataupun dalam petrolium eter. Larut cepat dalam alkohol panas, dalam eter, propil alkohol, dan kloroform (Anonimous, 1976).

2.3 Ester Asam Lemak

  Ester asam lemak dialam terdapat dalam bentuk ester antara gliserol dengan asam lemak ataupun terkadang ada gugus hidroksilnya yang teresterkan tidak dengan asam lemak tetapi dengan phospat seperti pada phospolipid. Disamping itu ada juga ester antara asam lemak dengan alkoholnya yang membentuk monoester seperti terdapat pada minyak jojoba. Ester asam lemak sering dimodifikasi baik untuk bahan makan maupun untuk bahan surfaktan, aditif, detergen dan lain sebagainya.

  Ester asam lemak dalam bentuk trigliserida sering dilakukan reaksi interesterifikasi antara 2 lemak yang padat dengan minyak yang cair untuk mengubah posisi asam lemak tersebut yang teresterkan pada gugus hidroksil dari C 1,2,3 gliserol, sehingga dengan demikian kandungan padatan minyak / lemak tersebut yang terukur secara pulsa NMR akan menurun. Hal ini dapat terjadi karena asam lemak tidak jenuh yang tadinya berada pada posisi C

  2 serta diapit oleh asam lemak jenuh pada posisi

  C 1,3 dan berbentuk padat akan menjadi lebih cair apabila pada posisi C

  1 atau C

  3 berupa asam lemak tidak jenuh. Hal ini telah dibuktikan untuk mempertukarkan posisi Eikosapentanoat dari posisi C

  1 atau C 3 ke posisi C 2 atau sebaliknya.

  2

  2

  1

  2

  2 OR OR OR

OR OR

  2

  1

  2

  1

  2 OR OR OR

  • OR OR

  2

  1

  1

  1

  2 OR OR OR OR OR

  1 R = C H -CO (Asam Palmitat)

  15

  31

  2 R = C

  19 H 29 -CO (Asam Eikosapentanoat)

  Perubahan letak posisi asam lemak secara reaksi interesterifikasi akhirnya digunakan untuk merekayasa lipida yang tersabunkan menjadi sumber bahan makan yang bermanfaat bagi kesehatan. Trigliserida di dalam tubuh manusia hanya terhidrolisa oleh enzim pankreas pada posisi C

  1 dan C 3 sedangkan C 2 tetap dalam

  bentuk esternya. Ester yang masih terikat dengan gliserol pada posisi C biar

  2

  bagaimanapun panjang rantainya tetap dapat diserap oleh tubuh sebagai sumber energi, sedangkan asam lemak bebas hasil hidrolisa pada posisi C

  1 dan C 3 apabila

  berantai panjang sulit terabsorbsi oleh tubuh (Tarigan, 2002)

2.3.1 Reaksi Esterifikasi

  Suatu ester asam karboksilat ialah suatu senyawa yang mengandung gugus –CO R

  2

  dengan R dapat berbentuk alkil maupun aril. Suatu ester dapat dibentuk dengan reaksi langsung antara suatu asam karboksilat dan suatu alkohol. Reaksi ini sering disebut dengan esterifikasi. Esterifikasi dengan katalis asam merupakan reaksi yang reversibel. Reaksi umumnya adalah sebagai berikut :

  • O H , kalor O H O
  • RCOR'

  2 RCOH R'OH

  Asam karboksilat alkohol ester air (Fesenden, 1986).

  Ester diberi nama seperti penamaan pada garam. Ester-ester umumnya mempunyai bau yang enak, seperti rasa buah dan wangi buah-buahan (Hart, 2003). Reaksi esterifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : a. Esterifikasi

  O O H O

  • R - C - O H R' - OH

  2 R - C - O - R'

  b. Interesterifikasi

  O O O O R - C - O -R* R"- C - O - R'

  • R - C - O - R' R" - C - O - R*

  c. Alkoholisis

  O O R' - OH

  • R - C - O - R" R- C - O - R' R" - OH +

  d. Asidolisis

  O O O O

  R - C - OH + "R - C - O - R' R - C - O - R' "R - C - OH +

  Ketiga reaksi yang terakhir di atas dikelompokkan ke dalam reaksi transesterifikasi (Gandi, 1997). Contoh reaksi, misalnya, Minyak kelapa sawit dan inti sawit dapat ditransesterifikasikan dengan metanol serta katalis NaOH ataupun KOH dengan kecepatan pengadukan 3000 rpm pada suhu kamar selama 30 menit untuk menghasilkan metil ester asam lemak dengan hasil 97 – 98 % (Brahmana, 1998).

2.3.2 Mengurangi Kadar ALB dalam Minyak dengan Reaksi Esterifikasi

  Pada umumnya, minyak yang diperoleh dari tumbuhan memiliki kandungan asam lemak bebas dalam kadar tertentu. Kandungan asam lemak bebas yang tinggi dalam minyak dapat dikurangi dengan esterifikasi asam di mana minyak akan direaksikan dengan alkohol dengan bantuan katalis asam. Dalam penelitian Khan, campuran antara minyak biiji karet kasar dan CPO (equivolume) direaksikan dengan metanol dan asam sulfat sebagai katalisnya. Parameter-parameter yang diperiksa melibatkan perbandingan antara alkohol dengan minyak, temperature, dan jumlah katalis.

  Kondisi optimum esterifikasi yang dapat mereduksi kandungan asam lemak bebas adalah pada suhu 65 C, ratio alkohol dan minyak (mol) adalah 15 : 1 dan 0,5% mol H

2 SO

  4

  a. Asam Lemak Bebas + alkohol ↔ Ester alkil Asam Lemak + air

  . Lama reaksi adalah sekitar 3 jam. Asam lemak bebas yang direduksi mencapai hingga 0,6 %. Temperatur diteliti memiliki pengaruh terbesar dalam reduksi asam lemak bebas dan diikuti oleh perbandingan reaktan, sedangkan peningkatan jumlah katalis memilki pengaruh nominal. Selama reaksi esterifikasi asam, ada dua reaksi yang berkompetisi terjadi, yaitu :

b. Gliserida + alkohol ↔ Ester alkil Asam Lemak + gliserol ( Khan, 2010).

  Berikut beberapa penelitian mengenai reduksi asam lemak bebas :

  a. Ramadhas dkk meneliti mengenai sintesis biodiesel dari minyak biji karet dengan menggunakan transesterifikasi dua tahap. Pada tahap reaksi esterifikasi, diperoleh asam lemak bebas tereduksi hingga 2 %. Reaksi esterifikasi dilakukan pada suhu 50 b. Sharma dan Singh melakukan esterifikasi terhadap minyak Karanja. Kemudian melakukan transesterifikasi alkali. Kandungan asam lemak yang tereduksi adalah 2,53 % (Sharma, 2008).

  C selama 20 – 30 menit di bawah tekanan atmosfer. Katalisnya sebanyak 0,5 % dan reaktannya adalah metanol (Ramadhas, 2005).

  c. Tiwari dkk melakukan esterifikasi terhadap minyak Jatropha. Minyak Jatropha dengan kandungan asam lemak bebas 14 % berhasil direduksi hingga 1 %.

  Pada tahap alkoholisis, perbandingan alkohol dan minyaknya adalah 6 : 1 (Tiwari, 2007).

2.3.3 Kegunaan Ester Asam Lemak Monoalkohol

  Reaksi esterifikasi di atas (2.3.2) adalah reaksi metil ester asam lemak yang merupakan bagian dari ester asam lemak monoalkohol (monoester). Selain dapat mengurangi kadar ALB pada minyak, metil ester asam lemak juga digunakan sebagai zat antara dalam industri oleokimia dan sebagai bahan bakar diesel (Tarigan,2002). Ada beberapa kelebihan metil ester asam lemak dibandingkan dengan asam lemak, yaitu sebagai berikut :

  1. Pemakaian energi sedikit karena membutuhkan suhu dan tekanan lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak.

  2. Peralatan yang digunakan murah. Metil ester bersifat non korosif dan metil ester dihasilkan pada suhu dan tekanan lebih rendah, oleh karena itu proses pembuatan metil ester menggunakan peralatan yang terbuat dari karbon steel, sedangkan asam lemak bersifat korosif sehingga membutuhkan peralatan stainless steel yang kuat.

  3. Lebih banyak menghasilkan hasil samping gliserin yaitu konsentrat gliserin melalui reaksi transesterifikasi kering sehingga menghasilkan konsentrat gliserin, sedangkan asam lemak, proses pemecahan lemak menghasilkan gliserin yang masih mengandung air lebih dari 80%, sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak.

  4. Metil ester lebih mudah didistilasi karena titik didihnya lebih rendah dan lebih stabil terhadap panas.

  5. Dalam memproduksi alkanolamida, ester dapat menghasilkan superamida dengan kemurnian lebih dari 90% dibandingkan dengan asam lemak yang menghasilkan amida dengan kemurnian hanya 65-70% (Mubarak,2009).

2.4 Amida

  Suatu amida ialah senyawa yang mempunyai nitrogen trivalen terikat pada suatu gugus karbonil. Suatu amida diberi nama asam karboksilat induknya, dengan mengubah imbuhan asam…-oat (atau –at) menjadi amida. Contoh :

  O O C

  H C CH CH CH - C

  3

  3

  2

  2 NH 2 NH

  2 IUPAC : Etanamida Butanamida

  Trivial : Asetamida Butiramida (Fessenden dan Fessenden, 1986). Secara umum, struktur senyawa amida adalah sebagai berikut:

  O C

  R

  NH

  2 Di mana R adalah alkil (Denniston dkk, 2001).

2.4.1 Reaksi Pembuatan Amida Amida disintesis dari derivat asam karboksilat dan amonia atau amina yang sesuai.

  Berikut ini adalah reaksi pembuatan amida secara umum:

  O R CCl

1 R

  klorida asam

  2 N H O O O

R NH

  2 R COCO R

  1

3 R CNR

  1

  2

anhidrida amida

  NH R

  2 O R CO R

  1

  3 ester (Fessenden dan Fessenden, 1986).

  Amida yang mengandung gugus alkohol disebut dengan alkanolamida. Pembuatan senyawa alkanolamida dilakukan dengan meraksikan asam lemak dan

  o o

  amina pada suhu 120 C – 180

  C. Sintesis senyawa alkanokamida yang telah dilakukan adalah melalui reaksi antara asam lemak dengan etanolamin ataupun asam lemak dengan dietanolamin. Pada sintesis ini, sering terjadi persaingan antara terbentuknya amida dan ester apabila kondisi reaksi tidak diatur dengan baik ( Maag, 1984 ).

  Reaksi antara monoetanolamin dengan metil ester asam lemak untuk membentuk alkanolamida telah banyak dikembangkan untuk pembuatan seramida (amida asam lemak) yang banyak digunakan dalam kosmetik dan sabun kecantikan. Dalam hal ini, ternyata reaksi amidasi lebih cepat terjadi daripada reaksi esterifikasi apalagi jika airnya tidak dipisahkan sehingga terjadi hidrolisis terhadap ester karena adanya amina yang bersifat basa (Urata, 1998).

  Amida primer juga dibuat dengan mereaksikan ammonia dengan metil ester

  • asam lemak. Reaksi ini mengikuti konsep HSAB dimana H dari ammonia merupakan
    • hard acid yang mudah bereaksi dengan hard base CH3O untuk membentuk metanol.

  Sebaliknya NH2 lebih soft base dibandingkan dengan CH3O akan terikat dengan

  • RCO yang lebih soft acid dibandingkan H membentuk amida.

  O O CH OH RC

  • 3

  C NH R

  • 3

  NH 2 OCH 3 Pembuatan amida sekunder dilakukan dengan mereaksikan asam lemak dengan amina. o

  150-200 C RNH

  RCO + H

  • 2

2 RCONHR H O

  2 Senyawa amina yang digunakan untuk reaksi tersebut antara lain etanolamin o

  dan dietanolamin, yang jika direaksikan dengan asam lemak pada suhu tinggi, 150

  C-

  o 200 C akan membentuk suatu amida dan melepaskan air. (Cho dan Kim,1985).

  Apabila senyawa amina direaksikan dengan ester, reaksi akan terjadi pada suhu tinggi, tetapi sangat lambat sekali apabila dilakukan pada suhu rendah dan tanpa bantuan katalis basa Lewis seperti NaOCH

  3 yang lebih kuat dari trietilamin. Reaksi

  amidasi antara amina dan ester dengan bantuan katalis NaOCH baru dapat terjadi

  3 o o

  pada suhu 100 -120

  C, sedangkan apabila tidak digunakan katalis maka reaksi baru

  o o dapat berjalan pada suhu 150 -250 C (Gabriel, 1984).

2.4.2 Reaksi Pembuatan Alkanolamida Fosfat

  Selain dari asam lemak tumbuhan, alkanolamida juga dapat disintesis dengan mereaksikan asam lemak hewan dengan etanolamin dan dietanolamin. Selanjutnya, alkanolamida yang berasal dari lemak sapi dan domba ini dimodifikasi dengan menambahkan H

  3 PO

4 . Alkanolamida ini direaksikan dengan H

  3 PO 4 pada suhu 55 – o

  66 C dengan perbandingan mol 1:1 (alkanolamida : H

  3 PO 4 ). Untuk menganalisa

  jumlah H PO yang tidak bereaksi digunakan metode titrimetri. Reaksi sintesis

  3

  4

  alkanolamida fosfat dapat dilihat pada reaksi di bawah ini:

  a. Sintesis monoalkanolamida Fosfat

  O O O

  R - C - NH - CH - CH - OH + H PO

  2

  3

4 R - C - NH - CH - CH O -

  • 2
    • H O

  2

  2 P - OH

  2 OH

  b. Sintesis dietanolamida Fosfat

  O 2 2 O - P -OH - CH - CH O CH - CH - OH O 2 2 OH R-C - N +

  H PO 3 4 R-C - N

  • 2H O
  • 2 O CH - CH - OH 2 2 CH - CH - 2 2 P - OH O - OH

      Alkanolamida dan alkanolamida fosfat ini diuji sebagai petroleum-collecting dan petroleum-dispersing reagents (Asadov, 2011).

    2.5 Etanolamin dan Dietanolamin

      Etanolamin dan dietanolamin merupakan senyawa amina yang memiliki gugus alkohol. Etanolamin (NH -(CH ) -OH) merupakan cairan yang higroskopis, kental,

      2

      2

      2

      berbau amoniak, mampu mengabsorbsi CO

      2 , dan larut dalam air, metanol, serta

      aseton. Etanolamin dikenal juga dengan nama 2-Aminoethanol, monoethanolamine,

      ethylolamine, β-aminoethyl alcohol, dan β-hydroxyethylamine.

      Etanolamin dapat digunakan untuk menghilangkan CO

      2 , dan H

      2 S dari gas

      alam ataupun dari gas lainnya. Etanolamin dapat juga digunakan dalam sintesis pembuatan surfaktan. Etanolamin dibuat dalam skala besar melalui ammonolisis etilen oksida. Berat molekul etanolamin adalah 61,08 g/mol (Anonimous, 1976).

      Dietanolamina berbentuk cairan kental, sedikit berbau amoniak, dan larut dalam air, metanol serta aseton. Dietanolamin diproduksi bersamaan dengan monoetanolamin dan trietanolamin melalui amonolisis ethylene oksida.

      Dietanolamina juga dikenal dengan nama 2,2-Iminobisethanol, bis

    (hydroxyethyl)amine, diethylolamine, dihydroxydiethylamine, dan 2,2-iminodiethanol.

    Berat molekul dietanolamina adalah 105,14 g/mol. Dietanolamina dapat digunakan sebagai emulsifier, dalam pembuatan surfaktan, agen pendispersi, dalam bidang kosmetik, dan juga dalam bidang farmasi. Dietanolamine diperlukan dalam sintesis organik dan dapat digunakan sebagai softening agent (Anonimous, 1976).

    2.6 Asam Fosfat

      Nama lain dari asam fosfat adalah Ortho-asam fosfat. Asam fosfat memiliki berat molekul sebesar 98,00 mol. Secara umum, struktur dari asam fosfat adalah sebagai berikut:

      O HO p OH

      HO

      Reaksi pembuatan asam fosfat adalah sebagai berikut : Ca

      3 (PO 4 ) 2 + 3H

      2 SO 4 + 6H

      

    2 O

      3 PO 4 + 3(CaSO 4 .2H

      2 O)

      → 2H Sifat-sifat asam fosfat adalah sebagai berikut : bersifat tidak stabil, kristalnya berbentuk ortorombik, titik leburnya 42,35

      C, berbentuk cairan sirup, mudah membeku. Asam yang mengandung 88% asam fosfat akan membentuk kristal dan dengan pendinginan akan bersifat hemyhidrat dengan titik didih 29,32

      C. Pada suhu 150

      C, akan bersifat anhydrat, lalu pada suhu 200 C berubah menjadi asam pyroposfat dan dengan pemanasan di atas 300 C berubah menjadi asam metafosfat.

      Sifat racun pada manusia : mampu mengiritasi selaput lendir kulit. Kegunaan : dalam pembuatan super-fosfat untuk pupuk, garam fosfat lainnya, poli fosfat, detergent, katalis dalam pembuatan ethylen, pemurnian hidrogen peroksida, sebagai penghasil asam dan pembuat rasa dalam minuman jenis soft-drink, dalam dental berfungsi sebagai plombir, sebagai anti karat sebelum pengecatan, mengkoagulasi karet lateks, dan sebagai reagen analisis (Anonimous, 1976).

      Fosfor tidak terdapat dalam bentuk elemen bebas di alam, tetapi terdistribusi secara luas dalam batuan, mineral, tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya. Fosfor yang terdapat bebas di alam, terutama di air, dominan berada di dalam bentuk

    • 3

      senyawa PO

      4 (phosphate; fosfat). Karena itu penggunaan istilah ‘fosfat’ lebih umum

      digunakan. Fosfat terdapat dalam jumlah yang signifikan pada efluen pengolahan air buangan domestic.

      Berdasarkan ikatan kimia dan bentuk fisiknya, senyawa fosfat dibedakan dalam beberapa klasifikasi yaitu: orthophosphate, condensed phosphate

      

    (polyphosphate), dan organic phosphate. Fosfor adalah elemen bukan logam, berada

      di grup V dari sistem periodic. Unsur-unsur mempunyai berat atom sebesar 30,97 dan hanya membentuk oksida atom. Fosfor mempunyai bilangan oksidasi berkisar antara –

    • 3

      3 sampai +5 (PH

      3 hingga P

      2 O 5 ). Fosfor di air dominan berada dalam bentuk PO

      4 (phosphate; fosfat) dengan bilangan oksidasi +5.

      Bentuk senyawa yang dari fosfat di air tergantung pada nilai pH yang berbeda- beda, dikarenakan fosfor dapat merupakan asam poliprotik (polyprotic acid), yaitu asam yang dapat memberikan dua atau lebih proton pada ionisasi. Bentuk senyawa fosfat dalam air adalah asam fosfat dan asam fosfat merupakan asam polyprotik (polyprotic acid). Senyawa fosfat akan terhidrolisis menjadi jenis senyawa proton yang berbeda, sesuai dengan fungsi pH (Dewi, 2003).

    2.7 Penentuan harga HLB

      Griffin telah merancang metode nilai HLB. Pada metode ini, nilai HLB ditetapkan untuk masing-masing surfaktan dengan skala yang sudah ditetapkan. Berikut akan diberikan tabel nilai HLB untuk masing-masing surfaktan dan aplikasinya yang sesuai.

    Tabel 2.4 Range Nilai HLB dan Aplikasinya

      Range Nilaii HLB (Criffin) (Moore dan Bell) Aplikasi 3-6 7,7 W/O Emulsifier 7-9 13,4 Wetting agent 8-18 11,1-15,9 O/W Emulsifier 13-15 Detergen 15-18 16,5 Solubilizer

      (Griffin, 1949).

      Rumusan untuk menentukan nilai HLB dapat didasarkan pada data analisis atau komposisinya. Untuk sebagian besar senyawa, nilai HLB-nya dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini :

      HLB = 20 (1-S/A) Di mana S adalah bilangan penyabunan senyawa tersebut dan A adalah bilangan asam senyawa tesebut. Davies telah menghitung nilai HLB yang diperoleh dari penjumlahan faktor struktur yang sama, parachor. Dari sudut pandang ini, dia berusaha untuk memecahkan struktur emulsifier ke dalam gugus fungsi komponen,

      yang mana masing-masing memberi nilai (negatife ataupun positif) ke jumlah total HLB. Nilai HLB dihitung dengan mensubstitusi nilai gugus-gugus tersebut ke persamaan berikut : HLB = 7 +

      ∑ (nilai gugus hidrofilik) – ∑ (nilai gugus lipofilik) Di mana ketentuan terakhir pada sisi kanan biasanya 0,475n. Di mana n adalah jumlah gugus – CH

      2 – dalam lipofilik. Dengan catatan, bahwa gugus – CH 2 – pada rantai

      polioxyetilene tidak termasuk dalam penjumlahan ini, karena masing-masing gugus etilene oxide sudah termasuk dalam hitungan sebagai satu kesatuan (Davies, 1957). Berikut adalah tabel untuk nilai-nilai HLB gugus dari gugus fungsi.

    Tabel 2.5 Nilai HLB Gugus Fungsi (Shinoda, 1986).

      Gugus Hidrofilik Nilai HLB

    • SO
    • 4<
    • CO Na
    • 2<
    • CO K
    • 2<
    • N (tertiary ring) Na Ester (sorbitan ting) Ester (free)
    • CO
    • 2

        2,4 2,1 1,9 1,3 0,5 Gugus Lipofilik

      • OH - (free) H - O -
      • OH (sorbitan) 38,7 21,1 19,1 9,4 6,8
      • CH
      • CH
      • 23
      • CH -
      • 0,475
      • 0,475
      • 0,475
      • 0,475 Gugus Turunan -(CH 2 – CH
      • 2<

        • – O)- 2 – CH 2 – CH
        • 2 0,33

        • (CH
        • O)- -0,15

        2.8 Surfaktan

          Surfaktan itu ditandai dengan adanya gugus polar dan gugus non-polar pada suatu molekul. Gugus polar atau bagian hidrofilik dapat bermuatan positif atau negatif, yang dapat meningkatkan surfaktan kationik atupun anioniknya. Gugus non-polar atau bagian hidrofobik pada umumnya merupakan rantai hidrokarbon yang fleksibel walaupun ada terdapat sejumlah senyawa yang termasuk molekul biologis, dengan gugus hidrofobik aromatis (Attwood, 1983). Bagian hidrofilik dari molekul digambarkan secara skematis sebagai bagian kepala berbentuk bulat, sedangkan bagian hidrofobik sebagai bagian badan berbentuk rantai zig-zag.

        Gambar 2.2 Gambar suatu molekul surfaktan (Tang, 2011).

          Salah satu contoh surfaktan adalah molekul Natrium dodesyl sulfat (NaDS) berikut :

          CH - CH - CH - CH - CH - CH - CH - CH - CH - CH - CH - CH - SO - Na

          3

          2

          2

          2

          2

          2

          2

          2

          2

          2

          2

          2

          4 Hidrofobik hidrofilik (Attwood, 1983).

          Dalam pelarut polar, misalnya air, molekul-molekul ini akan menunjukkan perbedaan sifat saat berinteraksi dengan air. Bagian polar akan berinteraksi dengan air, sementara bagian yang polar menghindar berinteraksi dengan air dan berada di atas permukaan. Sifat amphiphilik molekul inilah yang membuat terjadinya pengumpulan (self-

          

        association) . Kemudian pengumpulan (self-association) ini membentuk suatu agregat

          yang disebut dengan misel. Bagian hidrofobik akan beragregat membentuk inti dari misel ini (Domínguez, 1997). Gambar pembentukan misel dapat dilustrasikan seperti

        gambar 2.3 dibawah ini.

        • A menunjukkan gambar surfaktan merupakan molekul yang amphiphilik
        • B menunjukkan sifat saat berinterkasi dengan air
        • C menunjukkan terjadinya agregat yang merupakan misel Sebagai contoh, berikut akan digambarkan pembentukan misel pada senyawa Natrium dodesyl sulfat (NaDS) di dalam air (gambar 2.4)
          • 3 (CH

        • K Natrium dodecyl (lauril) sulfat CH

          )

          3

          15 SO

          2 )

          4

          11 SO

          2 )

          10 COO

          2

          (CH

          3

          1. Anionik Anion dari senyawa merupakan jenis surfaktan, misalnya : Kalium laurat CH

          Klasifikasifikasi utama dari surfaktan adalah sebagai berikut :

        Gambar 2.4 Model pembentukan misel berbentuk bola pada senyawa Natrium dodesyl sulfat (NaDS) (Domínguez, 1997).

          Keterangan :

        Gambar 2.3 Pembentukan Miesel (http://www.biolinscientific.com/)

        • 3 (CH
          • Na Asam heksadesylsulfonik CH
          • H

        • Kation dari senyawa itu merupakan spesis surfaktan, misalnya :

          2. Kationik

          Heksadecyl(cetyl)trimethilammonium CH

          3 (CH 2 )

          15 N (CH 3 )

          3 Br

          bromida

        • – +

          Dodecylamine hydroklorida CH

          3 (CH 2 )

          11 N H

          3 Cl

          3. Ampholytik Surfaktan jenis ini dapat bersifat anionik, non ionik, maupun kationik tergantung pada harga pH larutannya. Bentuk zwitterion dari N-dodecyl-N,N- dimethyl adalah sebagai berikut :

        • – +

          C

          12 H

          25 N (CH 3 )

          2 CH

          2 COO

          4. Non-ionik Air yang terlarut dalam jenis surfaktan ini dapat mengandung gugus hidroksil ataupun rantai polioxyetilene. Misalnya, polioxyetilene p- tertoctylphenyl eter.

          C

          8 H

          17 C

          6 H

          4 O(CH

          

        2 CH

          2 O)

          10 H

          Polioxyetilene monoheksadecyl eter : CH

          3 (CH 2 ) 15 (OCH

          

        2 CH

        2 ) 21 OH (Attwood, 1983).

        2.9 Konsentrasi Misel Kritis

          Bila penambahan surfaktan melebihi konsentrasi kritis tertentu, maka surfaktan akan mengalami agregasi dan membentuk struktur misel. Penambahan Surfaktan tersebut tidak akan mempengaruhi tegangan permukaan walaupun konsentrasi surfaktan terus ditingkatkan. Konsentrasi kritis terbentuknya misel ini disebut sebagai critical micelle

          

        concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai.

          Penambahan konsentrasi surfaktan lebih tinggi dari CMC tidak akan menurunkan tegangan permukaan, yang menunjukkan bahwa permukaan cairan telah menjadi jenuh, dimana misel telah terbentuk dan berada dalam kesetimbangan dinamis dengan monomernya (Tang, 2011). Berikut adalah gambar grafik tegangan permukaan versus log konsentrasi surfaktan yang ditambahkan (gambar 2.5):

        Gambar 2.5 Grafik Tegangan Permukaan vs log [C]

          (http://www.biolinscientific.com/) Keterangan :

          1. Pada konsentrasi rendah, tegangan permukaan berubah tapi kecil

          2. Penambahan konsentrasi surfaktan, tegangan permukaan mulai turun

          3. Pembentukan misel terjadi, tidak ada lagi perubahan tegangan permukaan (http://www.biolinscientific.com/)

          Tegangan permukaan (γ) suatu cairan dapat didefinisikan sebagai banyaknya kerja yang dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan per satu satuan luas.

        • 1 -1

          Pada satuan cgs, dinyatakan dalam erg cm atau dyne cm , sedangkan dalam satuan

        • 1

          . Molekul yang ada di dalam cairan akan mengalami SI, γ dinyatakn dalam N m gaya tarik menarik (gaya van der Waals) yang sama besarnya ke segala arah. Namun, molekul pada permukaan cairan akan mengalami resultan gaya yang mengarah ke dalam cairan itu sendiri karena tidak ada lagi molekul di atas permukaan dan akibatnya luas permukaan cairan cenderung untuk menyusut.

          Tegangan permukaan dapat diukur dengan metode cincin Du Nuoy. Pengukuran tegangan permukaan dengan metode cincin Du Nouy didasarkan atas penentuan gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat cincin dari permukaan cairan.

          Gaya ini diukur dengan jalan mencelupkan cincin yang digantung pada lengan neraca dan perlahan-lahan mengangkatnya sampai cincin tersebut meninggalkan cairan. Metode ini tidak hanya dapat digunakan mengukur tegangan permukaan cairan-udara, tetapi juga dapat digunakan untuk mengukur tegangan antarmuka cairan-cairan seperti misalnya tegangan antarmuka (minyak-air atau kloroform-air). Gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat cincin dari permukaan cairan dapat dihitung dari persamaan: Gaya (F) = 4pR

          γ (1) Dengan R adalah jari-jari cincin. Keliling 2pR harus dikalikan dua mengingat bahwa ada batas dalam dan batas luar antara cairan dan kawat. Perlakuan ini berlaku untuk cairan dengan sudut kontak θ = 0.

          Dalam kenyatannya ada sebagian cairan yang terangkat sebelum permukaan cairan pecah, sehingga persamaan (1) perlu memperhitungkan faktor koreksi (Fr),

          3

          yang merupakan fungsi dari R /V dan R/r, dengan V adalah volume cairan yang terangkat, r adalah jari-jari kawat cincin, dan R adalah jari-jari cincin. Volume yang diperoleh dari persamaan gaya :

          F = mg =

          ρ V g (2) Dengan memperhitungkan faktor koreksi (Fr), maka tegangan permukaan dapat ditulis ulang sebagai berikut :

          (3) Dengan :

          f = gaya yang dibutuhkan untuk mengangkat cincin dari permukaan cairan Fr = faktor koreksi (ditentukan secara percobaan oleh Harkins dan Jordan)

          γ = tegangan permukaan nyata P = tegangan permukaan yang diukur pada saat percobaan (Tang, 2011).

Dokumen yang terkait

Hama Dan Penyakit Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq.)

0 71 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit - Penentuan Kadar Kalium Dalam Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis Guinensis Jack ) Dengan Metode Flame Photometry

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daun Kelapa Sawit - Analisa Unsur Hara Mg dalam Daun Kelapa Sawit dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) untuk meningkatkan Produksi Buah pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Kelapa Sawit Kelapa sawit bukanlah tanaman asli di Indonesia. Tanaman ini dimasukkan pertama sekali dari afrika sebagai sentra plasma nutfah pada tahun 1848,ditanam di kebun raya Bogor. Percobaan- percobaan banyak dilaku

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq). - Analisis Histologi Embriogenesis Somatik Dari Apikal Bud Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) var Tenera

0 4 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit - Pemanfaatan Lignin Kayu Kelapa Sawit Untuk Pembuatan Poliuretan Termoplastik Alam

0 0 20

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit - Stabilitas Vitamin E dari PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) yang Diinkorporasi pada Galaktomanan Kolang-Kaling

0 1 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tandan Kosong Kelapa Sawit Tandan kosong kelapa sawit merupakan bagian dari pohon kelapa sawit yang berfungsi sebagai tempat untuk buah kelapa sawit. Setiap tandan mengandung 62 – 70 buah dan sisanya adalah tandan kosong yang b

0 2 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tipe Wajah Penentuan tipe wajah merupakan salah satu prosedur penting dalam menentukan diagnosis ortodonti walaupun tidak memberikan keterangan secara lengkap mengenai tulang kraniofasial. Analisa tipe wajah dapat memperlihatkan

0 0 18

Huruf atau lambang yang mengandung satu makna terdiri dari satu suku kata atau lebih

0 1 28