BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Hakim Anak Dalam Menjatuhkan Putusan Atas Perkara Pidana Yang Dilakukan Anak (Studi di Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara yang maju adalah negara yang memberikan perhatian serius
terhadap anak, sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Anak adalah karunia Tuhan yang harus dihargai dengan melindungi dan membimbing mereka menjadi pribadi yang mengagumkan. Namun dalam kenyataannya, perhatian terhadap anak seringkali terabaikan oleh orang dewasa, dianggap sepele atau sebelah mata karena yang dihadapi hanya seorang anak kecil. Padahal sebenarnya, perhatian terhadap anak sejak dini sangat mempengaruhi masa depannya kelak.
Dalam proses pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang kita jumpai adanya penyimpangan sikap perilaku di kalangan anak yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih labil. Bahkan lebih jauh lagi, terdapat anak yang melanggar hukum yang melakukan tindak pidana yang merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri. Perilaku buruk anak juga bisa jadi merupakan cerminan kelalaian serta ketidakmampuan orang dewasa dalam mendidik anak. Hal tersebut tentunya harus mendorong kita untuk lebih banyak memberikan perhatian akan penanggulangan serta penanganan atas masalah perilaku buruk anak. Anak-anak nakal perlu ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena mereka tidak mungkin diperlakukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian terhadap anakpun dari hari ke hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka dikeluarkanalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Meskipun dalam implementasinya masih memiliki banyak kelemahan, namun kehadiran UU ini merupakan suatu langkah maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam Peradilan Anak di Indonesia.
Ide tentang lahirnya Peradilan Anak di Indonesia sendiri sudah ada sejak tahun 1970, seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Kehakiman RI. No.: M.06-UM.01 Tahun 1983 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 17 November 1987 No.: MA/KUMDIL/10348/XI/87. Untuk merealisir lahirnya Undang-Undang Peradilan Anak, maka pada tanggal 10 November 1995 pemerintah dengan Amanat Presiden No.: R.12/PU/XII/1995 mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat pembahasan dan persetujuannya. Malahan dalam RUU Peradilan Anak ini tadinya ada rencana untuk mengatur Hukum Anak pada umumnya, mulai dari : Sidang Anak Nakal, Sidang Anak Terlantar, Sidang Perkara Perwalian dan Perkara Anak Sipil. Akan tetapi, hal ini kemudian berubah menjadi UU Pengadilan Anak yang hanya mengatur tentang sidang Anak Nakal saja. Ini sangat disayangkan, sebab masalah-
masalah tersebut masih hidup dalam praktek hukum negara kita.
Perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 :
“Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, 1 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.11. anak yang berhadapan dengan hukum , anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol, psikotropika, zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
Pada proses Persidangan Anak terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang berbeda dengan layaknya persidangan biasa bagi orang dewasa, dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak. Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas (Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1997).
Berbicara mengenai Hakim Anak, maka tidak dapat dilepaskan dari peranan hakim pada umumnya. Hakim mempunyai peranan yang sangat penting dalam menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat, terlebih lagi menyangkut putusan yang dijatuhkannya yang akan mempunyai akibat begitu besar terhadap kepentingan publik khususnya terhadap pihak yang berperkara atau terkena perkara. Begitu banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Putusan tersebut harus memperhatikan tujuan pemidanaan, dimana agar orang yang telah dipidana menjadi seorang yang baik dan dapat kembali serta diterima di tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang hakim keliru dalam menentukan suatu putusan maka keadilan hukum yang diharapkan oleh masyarakat justu berbalik menjadi ketidakadilan. Yang lebih memprihatinkan, ternyata hal ini terjadi pada praktik peradilan di negara kita.
Menurut Bagir Manan, usaha menghadapi sulitnya akses publik atas putusan hakim dapat terjadi karena hakim menyadari putusannya dibuat asal-asalan, tidak bermutu, sehingga ada rasa takut atau rendah diri kalau menjadi wacana publik.
Putusan hakim itu bisa asal-asalan karena tidak mengetahui, meskipun mestinya hal itu seharusnya tidak terjadi karena Majelis Hakim berjumlah tiga orang. Akan tetapi, yang lebih berbahaya adalah putusan itu asal-asalan karena hakim
kehilangan independensinya.
Demikian halnya dengan hakim anak, ternyata mempunyai tanggung jawab yang lebih besar karena disamping tugasnya sebagai hakim biasa juga dibebani tugas khusus memeriksa perkara-perkara pidana dimana terdakwanya adalah anak-anak. Putusan hakim anak, disamping tindakan dan sikap perilaku hakim anak tersebut dalam menghadapi anak selama proses persidangan mempunyai pengaruh baik terhadap psikologi anak maupun masa depan anak yang bersangkutan. Oleh karena itu, dengan kebebasannya seorang hakim harus berani menjatuhkan putusan secara cermat, adil, penuh kearifan dan bermanfaat bagi anak. Oleh karena itu pula, persyaratan menjadi Hakim Anak haruslah khusus dan ketat.
Apakah dalam realitas pelaksanaan persidangan anak seorang Hakim Anak menjatuhkan putusan telah benar-benar mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa mengabaikan jaminan perlindungan terhadap anak? Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahasnya lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.
2 Soelidarmi, Kumpulan Putusan Kontroversial Dari Hakim/Majelis Hakim Kontroversial
Beserta Polemik Yang Diberitakan Atau Ditulis Media Cetak , UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm.x- xi.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, maka yang menjadi inti permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya yaitu:
1. Bagaimana perlindungan terhadap anak dalam proses Peradilan Anak?
2. Bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan atas perkara pidana yang dilakukan anak?
C. Keaslian Penulisan
Skripsi ini dengan judul “Peranan Hakim Anak Dalam Penjatuhan Putusan Atas Perkara Pidana Yang Dilakukan Anak” adalah hasil karya penulis sendiri dan belum pernah diangkat sebelumnya. Bila ternyata ada skripsi yang sama dengan skripsi ini sebelum skripsi ini dibuat, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi hak-hak anak pelaku kejahatan dalam proses Peradilan Anak;
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan Hakim Anak dalam penjatuhan putusan atas perkara pidana yang dilakukan anak; Dari penulisan skripsi ini, manfaat yang dapat diambil antara lain:
1. Secara teoritis : sebagai bahan kajian lebih mendalam terhadap ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai keberadaan
Hakim Anak yang terbilang masih muda dalam kehidupan peradilan di Indonesia;
2. Secara praktis : sebagai bahan masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat dan juga para orangtua dalam menghadapi anak yang melakukan suatu tindak pidana namun dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap anak.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Anak dan Kejahatan Anak
a. Pengertian Anak Dalam Aspek Hukum Di Indonesia terdapat pengertian yang beraneka ragam tentang anak, dimana dalam berbagai perangkat hukum yang berlaku menentukan batasan usia anak yang berbeda-beda. Hal ini sering membingungkan masyarakat awam mengenai pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu digunakan asas “lex
specialis derogat lex generalis ”, artinya bahwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum.Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehuingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-
.
tindakan hukum yang dilakukannya Berikut ini dapat dilihat beberapa pengertian anak dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia:
1. Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Diatur pada Pasal 330 KUHPerdata yang menentukan: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.”
2. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Diatur pada Pasal 1 angka 2 yang menentukan: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.”
3. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Diatur pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin.”
4. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”
5. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Diatur pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
6. Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child ) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No.
36 Tahun 1990 Diatur pada Pasal 1 bagian 1 yang menentukan: “Seorang anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat.”
8. Pengertian Anak Menurut Hukum Adat Menurut Hukum Adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa atau mempunyai wewenang untuk bertindak. Hasil penelitian Mr. Soepomo tentang Hukum Perdata Jawa Barat menjelaskan
bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi: 1. dapat bekerja sendiri; 2. cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab;
3. dapat mengurus harta kekayaan sendiri; 4. 3 telah menikah.
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm.16
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tetapi ciri tertentu yang nyata.
4 No. NEGARA BATAS USIA 1.
10.
5 Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Wirasarana Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.26
Pengelompokan usia anak ini dimaksud untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tanggung jawab anak dalam hal- hal berikut:
12-16 tahun 8-16 tahun 12-18 tahun 8-16 tahun 6-18 tahun 14-18 tahun 15-18 tahun 14-20 tahun 14-20 tahun 7-16 tahun 7-18 tahun 1-16 tahun
12. Inggris Australia Belanda Srilanka Iran Taiwan Kamboja Jepang Korea Filipina Malaysia Singapura
11.
9.
Demikian juga mengenai perumusan batasan usia anak ini antara suatu negara dengan negara lainnya tidak terdapat keseragaman. Di Amerika Serikat 27 negara bagian menentukan batas usia antara 8-18 tahun, sementara 6 negara bagian lainnya menentukan batas umur antara 8-17 tahun. Adapula negara bagian yang menentukan batas usia antara 8-16 tahun. Untuk lebih jelasnya diuraikan dalam tabel sebagai berikut:
8.
7.
6.
5.
4.
3.
2.
4 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3S, Jakarta, 1989, hlm.10-11.
1. Kewenangan bertanggung jawab kepada anak;
2. Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum;
3. Pelayanan ukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana;
4. Pengelompokan proses pemeliharaan; 5. Pembinaan yang efektif.
b. Pengertian Kejahatan Anak Kejahatan anak sering dinyatakan dengan istilah Juvenile delinquency.
Istilah tersebut pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya, ada kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum. Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian kejahatan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang
Juvenile delinquency . Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile delinquency adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang
merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.
6 Kartini Kartono, Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja, PT.Raja Grafindo Grafika,
Jakarta, 1998, hlm.6
Paul Moedikno memberikan perumusan tentang Juvenile delinquency sebagai berikut:
7 Menurut Fuad Hasan, Juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial
yang dilakukan oleh remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan. a Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya; b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya: memakai celana
jangki tidak sopan, mode you can see, dan sebagainya;
c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.
“Seorang anak digolongkan anak delinkuen apabila tampak adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau bhendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya.”
Menurut A. Merril, merumuskan Juvenile delinquency sebagai berikut:
Tim Proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran pada bulan Desember 1967 memberikan perumusan mengenai
Juvenile delinquency , yaitu suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
seorang anak dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.
10 Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Juvenile
delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak di bawah
7 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm.6 8 Ibid , hlm.10 9 Ibid 10 Ibid, hlm.29 umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma- norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si
anak yang bersangkutan.
Namun, Juvenile delinquency tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak. Terlalu ekstrim rasanya apabila seorang anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai penjahat. Sementara setiap manusia pasti pernah mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaanya diman tindakannya merupakan manifestasi dari kepuberan remaja. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan dan pembinaan yang tepat terhadap anak sehingga masa transisinya dapat dilewati dengan baik tanpa tindakan-tindakan yang menjurus kepada perbuatan kriminal.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, istilah “Anak Nakal” digunakan untuk anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat (Pasal 1)
2. Pengertian Peradilan Anak dan Bentuk Peradilan Anak
Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada tahun 1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook
Country , yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri
sudah terdapat Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana 11 Ibid, hlm.11 mengenai anak-anak ini yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai masalah pemidanaan bagi mereka, melainkan masalah pendidikan yang perlu
diberikan kepada mereka.
Di Indonesia sendiri, Peradilan Anak terbentuk sejak lahirnya Undang- Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya undang- undang tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun penjatuhan hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut. Memang jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, pengadilan negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak-anak dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan
13 KUHAP.
Secara harafiah, Peradilan Anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan dan anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu mengenai pengadilan. Jadi peradilan merupakan peristiwa atau kejadian/hal-hal yang terjadi mengenai perkara di pengadilan. Secara sempit, peradilan adalah hal- hal yang menyangkut hukum acara yang hendak mempertahankan materiilnya. Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian/hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara termasuk proses penerapan hukum acara dalam mempertahankan
materiilnya.
Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan, 12 P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, CV Armico, Bandung, 1988, hlm.171.
13 14 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm.19.
Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, 1993, Jakarta, hlm.14. Kejaksaan, Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan
keadilan bagi setiap warga Indonesia.
Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting” Penempatan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas perkara yang ditangani yaitu perkara anak. Dengan demikian, proses memberi keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan Peradilan tersebut juga harus disesuaikan dengan kebutuhan anak. Adapun anak yang dapat disidangkan dalam Peradilan Anak ditentukan secara limitatif, yaitu berumur minimum 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Apabila anak melakukan tindak pidana pada batas umur tersebut, namun diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut namun belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka tetap diajukan ke Sidang Anak (Pasal 4 Undang-Undang no. 3 Tahun 1997).
Petugas harus teliti dengan meminta surat-surat yang ada hubungannya dengan kelahiran anak, seperti Akta Kelahiran. Kalau tidak ada, dapat dilihat pada surat- surat yang lain, misalnya Surat Tanda Tamat Belajar, Kartu Pelajar, Surat Keterangan Kelahiran. 15 16 Ibid , hlm.16.
Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm.51. Bentuk Peradilan Anak jika didasarkan pada tolok ukur uraian tentang pengertian dari peradilan dan anak, serta motivasi tetuju demi kepentingan anak untuk mewujudkan kesejahteraannya maka tidak ada bentuk yang cocok bagi Peradilan Anak kecuali sebagai peradilan khusus. Demikianlah kenyataan yang terjadi di negara-negara yang telah mempunyai lembaga Peradilan Anak. Mereka menempatkan bentuk dan kedudukan secara khusus di dalam sistem peradilan
negara masing-masing walaupun istilah yang dipakai berbeda-beda.
Telah dikemukakan dan diatur secara tegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Pengadilan Anak bahwa Peradilan Anak bukanlah sebuah lingkungan Badan Peradilan baru melainkan suatu peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Jadi merupakan suatu pengkhususan di lingkungan Peradilan Umum dengan kualifikasi perkara sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa yaitu melanggar ketentuan dalam KUHP. Oleh karena itu secara sistematika hukum (recht sistematisch), isi kewenangan
Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh: 1.
Melampaui kompetensi absolut (absolute competenties) badan Peradilan Umum;
2. Memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang telah menjadi kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain seperti badan Peradilan Agama. Pembedaan istilah Peradilan Umum dengan Peradilan Khusus ini terutama disebabkan oleh adanya perkara-perkara atau golongan rakyat tertentu. Apabila 17 18 Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Op. Cit., hlm.23.
Romli Atmasasmita, Op Cit, hlm.51 anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
Dan anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer (Pasal 7 ayat (1),(2) UU Pengadilan Anak).
Mengenai tata ruang sidang Pengadilan Anak, belum ada ditentukan secara jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata ruang sidangnya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 230 ayat (3) KUHAP, sebagai
berikut: a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat Penuntut
Umum, terdakwa, Penasihat Hukum dan pengunjung; b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang; c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim; d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum; e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim; f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan; g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;
19 Gatot Supramono, Op. Cit, hlm. 65.
h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim; i. tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera; j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas diberi tanda pengenal; k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
3. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak
Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan peradilan lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Namun untuk Peradilan Anak perkara yang ditangani khusus menyangkut perkara anak. Diberikan perlakuan khusus dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus yang harus diperhatikan masa depannya.
Untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan dengan menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Dalam mengadili, hakim berusaha menegakkan kembali hukum yang dilanggar oleh karena itu biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum. Pengadilan dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Dalam pelaksanaanya, fungsi tersebut dijalankan oleh pejabat-pejabat khusus Peradilan Anak. Dengan kata lain, fungsi tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan.
Demikian pula dengan tujuan Peradilan Anak, bukanlah semata-mata mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan perlindungan bagi
masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh Peradilan Anak.
Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan menyelesaikan perkara. Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dapat dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau masalah baru. Mengingat bahwa anak harus mendapat perlindungan dan oleh karena itu perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula, maka dalam Peradilan Anak ini janganlah hendaknya ditititkberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata tetapi harus lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa kemungkinan
akibat putusan itu bagi si anak demi masa depan si anak.
Dengan demikian, melalui Peradilan Anak diharapkan adanya suatu perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan terjadinya pengulangan kejahatan anak melalui tindakan pengadilan yang konstruktif.
20 21 Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Op. Cit., hlm.39.
Romli Atmasasmita, Loc. Cit.
4. Putusan
Suatu Putusan agar sah harus memuat semua hal yang diatur pada Pasal 197 ayat (1) KUHAP yaitu: a.
Kepala putusan: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c.
Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam Surat Dakwaan; d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam Surat Tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa; g.
Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim Tunggal; h.
Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j.
Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat Surat Otentik dianggap palsu; k.
Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l.
Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
Tidak dipenuhinya ketentuan huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l mengakibatkan putusan “batal demi hukum”. Putusan yang batal demi hukum dianggap: a. tidak ada sejak semula (never existed); b. tidak mempunyai kekuatan hukum; c. tidak memiliki daya eksekusi.
Untuk berita acara pemeriksaan tetap dianggap sah, sebab yang batal demi hukum hanya terbatas “sepanjang putusan” saja. Dengan demikian, putusan tersebut masih dapat diperbaiki dan dijatuhkan kembali hingga memenuhi ketentuan undang-undang. Sekiranyapun terhadap putusan yang batal demi hukum dilakukan perbaikan, bukan berarti mengadili dan memeriksa terdakwa untuk
kedua kalinya atas peristiwa pidana yang sama.
Putusan Hakim Anak yang merupakan putusan akhir terdiri dari:
a. Putusan Bebas (vrijsprak) Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila ia berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang 22 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Edisi Kedua ), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 385-386. didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 ayat (1)).
b. Putusan Lepas Dari Tuntutan Hukum Putusan ini dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2)).
c. Putusan Dengan Penjatuhan Pidana Atau Tindakan Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak, putusan hakim dalam sidang Pengadilan Anak dapat berupa penjatuhan:
1. Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 23 Undang-Undang Pengadilan Anak)
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan ialah: a.
Pidana penjara; Pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat (1)). Apabila anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun (Pasal 26 ayat (2)). Namun dalam hal ini terdapat pengecualian bagi anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tidak dapat dikenai pidana melainkan tindakan. b.
Pidana kurungan; Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana adalah paling lama ½ dari ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa (Pasal 27).
c.
Pidana denda; Pada pokoknya ketentuan batas maksimal pidana denda sama dengan ketentuan batas maksimal pidana penjara dan pidana kurungan, dimana terdakwa anak hanya dapat dijatuhi maksimal ½ (setengah) dari yang berlaku bagi orang dewasa (Pasal 28 ayat (1)).
Bagi orang dewasa jika hukuman denda tidak dibayar, maka hukuman itu diganti dengan hukuman penjara atau kurungan. Berbeda dengan terdakwa anak, apabila pidana denda ternyata tidak dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja (Pasal 28 ayat (2)). Wajib latihan kerja tersebut dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latian kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari (Pasal 28 ayat (3)).
d.
Pidana pengawasan.
Pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (Penjelasan Pasal 30).
Hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana pengawasan paling lama 2 (dua) tahun dan paling singkat 3 (tiga) bulan (Pasal 30 ayat (1)).
Pidana tambahan berupa: perampasan barang-barang tertentu dan atau
pembayaran ganti rugi. Mengenai pidana tambahan perampasan barang-barang tertentu, undang-undang tidak memberi penjelasan barang-barang apa saja yang dapat dirampas. Dalam KUHAP, barang-barang yang dapat dirampas adalah barang-barang bukti yang diajukan di muka persidangan. Barang-barang bukti berasal dari hasil penyitaan yang dilakukan oleh penyidik karena barang-barang itu ada hubungannya dengan perkara pidana.
Selanjutnya mengenai pidana tambahan yang berupa ganti rugi, pada Penjelasan Pasal 23 ayat (3) ditegaskan bahwa pembayaran ganti rugi tersebut merupakan tanggung jawab dari orang tua atau orang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua. Lalu apabila orang tua atau orang yang menjalankan kekuasaan orang tua tidak mau/ tidak sanggup membayar ganti ruginya, bagaimana eksekusinya? Pembayaran ganti rugi apabila tidak dilaksanakan tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan, sebab berdasarkan Pasal 30 ayat (2) KUHP pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan menggantikan pidana denda. Jadi tidak mungkin pidana tambahan (ganti rugi) tersebut diganti dengan pidana kurungan karena bukan merupakan pidana denda. Demikian pula halnya dengan wajib latihan kerja, tidak dapat digunakan untuk menggantikan juga karena hanya merupakan pengganti pidana denda (Pasal 28 ayat (2)). Untuk pelaksanaan hukuman pembayaran ganti rugi tersebut sebaiknya dibuat Peraturan Pelaksananya yang sejalan dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku sehingga
23 Gatot Supramono, Op. Cit., hlm. 34.
2. Tindakan (Pasal 24 Undang-Undang Pengadilan) Tindakan yang dapat dijatuhkan ialah: a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
Meskipun anak dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, anak tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan.
b.
Menyerahkan kepada negara untuk mengikut pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; Apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Sehubungan dengan hal tersebut, demi kepentingan anak Undang-Undang memberi wewenang kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman RI agar anak negara yang bersangkutan ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta (Pasal 31 ayat (2)). Kewenangan tersebut diberikan karena kepala instansi ini dipandang mengetahui dengan baik mengenai perkembangan anak selama menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, serta pembinaan anak negara selanjutnya. Setelah mendapat izin dari Menteri Kehakiman, anak negara tersebut dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Anak ke lembaga pendidikan anak. Lembaga inilah yang menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memberikan pendidikan bagi anak baik jasmani, rohani maupun sosial anak.
c.
Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja seperti: pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.
Tindakan sebagaimana dimaksud di atas dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Teguran dapat dilakukan secara langsung oleh akim atau tidak langsung oleh orang tua atau wali atau orang tua asuh. Teguran itu berupa peringatan kepada anak untuk tidak melakukan tindak pidana lagi.
Terhadap anak yang melakukan tindak pidana apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhi tindakan: menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (Pasal 26 ayat (3))
Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas tahun) melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak tersebut dijatuhkan salah satu tindakan (Pasal 26 ayat (4)).
Terhadap sanksi hukum di atas, hakim tidak boleh menjatuhkan kumulasi hukuman kepada terdakwa artinya hukuman pidana dan hukuman tindakan tidak boleh dijatuhkan sekaligus. Apabila hukuman pidana tidak dijatuhkan, hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman tindakan saja (Pasal 22). Demikian juga semua putusan hakim dalam perkara apapun wajib diucapkan dalam sidang “terbuka untuk umum” (Pasal 59 ayat (3)).
5. Faktor-Faktor Penyebab Anak Melakukan Kejahatan
Berbicara tentang pola tingkah laku anak sangat erat kaitannya dengan fase-fase atau tahap perkembangan yang merupakan pembabakan rentang perjalanan kehidupan individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola-pola tingkah laku tertentu. Sebab pada umumnya bahwa dalam fase perkembangan ini individu mengalami masa-masa kegoncangan. Kegoncangan psikis hampir dialami oleh semua orang, dimana selama masa perkembangan pada umumnya individu mengalami masa kegoncangan dua kali, yaitu pada kira-kira tahun ketiga atau keempat, dan permulaan masa pubertas.
Berdasarkan kedua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu
dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu: 1.
Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang biasa disebut “masa kanak-kanak”);
2. Dari masa kegoncangan pertama sampai pada masa kegoncangan kedua yang biasa disebut “masa keserasian bersekolah”;
3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa disebut “masa kematangan”.
24 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 22-23.
Untuk mencapai kematangannya, maka mereka memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.
Anak-anak yang beresiko tinggi sejak awal dapat diketahui atau diidentifikasi oleh orangtua, guru, petugas panti asuhan, pelatih bermain anak, dan pekerja-pekerja lain yang dekat dengan anak. Berdasarkan hasil penelitian, ada tujuh latar belakang dan karakteristik pribadi untuk memprediksikan perilaku
anak yang beresiko tinggi melakukan tindak pidana yaitu: 1.
Umur, anak yang lebih muda jika masuk ke suatu sistem tertentu akan mempunyai resiko lebih tinggi;
2. Pscyhological variables, yaitu sifat pembantah, susah diatur, merasa kurang dihargai;
3. School performance, yaitu anak yang bermasalah di sekolah dengan tingkah lakunya, pembolos;
4. Home adjustment, yaitu kurang interaksi dengan orangtua dan saudara, kurang disiplin dan pengawasan, minggat dari rumah;
5. Drugs and alcohol use, yaitu penggunaan alkohol dan obat, anak yang sudah mulai memakai alkohol apabila orangtuanya punya riwayat pemakai alkohol; 6. Neighbourood (lingkungan tetangga), dimana lingkungan mudah mempengaruhi anak seperti kemelaratan, masalah sosial dan perilaku;
25 Clemens Bartollas, Juvenile Delinquency, University of Northern Iowa USA, Allyn and Bacon Fourth Edition, 1985, hlm.71.
7. Social adjustment of peers (pengaruh kekuatan teman sebaya), pertemanan mempengarui perilaku termasuk delinquency, obat-obatan, bolos dan kekacauan di sekolah (onar), geng, sex, dan lain-lain. Remaja seringkali menempatkan posisi teman sebaya dalam posisi prioritas apabila dibandingkan dengan orangtua, atau guru dalam memyatakan kesetiaanya. Kathleen Salle dalam hasil penelitiannya menyatakan ada beberapa faktor
sosial yang menyebabkan terjadinya tindak pidana yaitu: 1.
Jenis kelamin dan perilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak- anak yang dilaporkan melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus perkara pidana yang masuk dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan dan jumlah anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak;
2. Adanya pengaruh teman bermain anak, dimana anak yang bergaul dengan anak yang tidak sekolah dan kurang perhatian dari orangtuanya maka anak tersebut besar kemungkinan melakukan delinquency; 3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas ekonomi rendah/lemah. Perilaku kriminil ini disebabkan oleh kekurangan fasilitas untuk bermain dan belajar yang sesuai dengan masa perkembangan kejiwaan anak. Disamping itu, orangtua mereka kurang 26 memperhatikan kebutuhan anak-anaknya dikarenakan keterbatasan
Ibid, hlm. 70-71 yang dikutip dari hasil Interview with Kathleen Salle from first Judicial Districk Juvenile Court Services, Waterloop, Lowa. ekonomi. Sehingga pada akhirnya, anak-anak tersebut harus melakukan kegiatan-kegiatan yang menurutnya adalah sesuatu yang menyenangkan.
Disamping itu, dikarenakan kekurangan uang menyebabkan anak-anak mengambil barang orang lain untuk dimilikinya atau untuk memenuhi kebutuhan pribadinya seperti: anak melakukan pencurian sandal dan pakaian, mengambil mainan temannya, mengambil tape mobil, dan sebagainya; 4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam
delinquency adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home.
Adanya pengaruh keluarga yang berantakan (broken home) dengan perilaku nakal anak, pernah dilakukan penelitian oleh para peneliti dari Amerika Serikat. Banyak hasil penelitian memberikan dukungan bahwa delinquency disebabkan oleh suatu keadaan broken home. Diantaranya George B. Mangold, menyatakan bahwa broken home diperkirakan sebagai salah satu penyebab delinquency yang paling sering .
Selanjutnya L. Edward Wells dan H. Rankin mempelajari hubungan
broken home dan delinquency, dari hasil penelitian yang dilakukan Edward
didapat kesimpulan bahwa: 1.
Kemungkinan broken home menyebabkan delinquency 10-15 % lebih tinggi daripada tidak broken home;
27 L. Edward Well dan Joseph H. Rankin, Families and Delinquency : A Metamorphosis of the Impact of Broken Homes Social Problems , London, 1991, hlm. 87-88.
2. Hubungan di antara broken home dan delinquency lebih kuat pada bentuk- bentuk kriminal ringan pada anak pelaku dan tidak begitu mempengaruhi pada kriminal serius seperti pencurian, dan kekerasan kepada seseorang; 3. Bentuk dari broken home menentukan apakah dapat menyebabkan delinquency atau tidak. Contoh: broken home karena perceraian orangtua lebih kuat daripada karena orangtua meninggal; 4. Umur anak pada saat broken home tidak mempengaruhi delinquency; 5. Tidak ada beda pengaruh broken home pada anak laki-laki atau perempuan.
Menurut Elizabet Hurlock, Alexander Schneiders, dan Lore terdapat beberapa pola sikap atau perlakuan orangtua terhadap anak yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri teradap kepribadian anak. Pola-pola tersebut dapat disimak pada tabel berikut:
28 POLA PERLAKUAN ORANG TUA PERILAKU ORANGTUA PROFIL TINGKAH LAKU ANAK 1.
Overprotection (terlalu melindungi)
1. Kontak yang berlebihan dengan anak;
2. Perawatan/ pemberian bantuan kepada anak yang terus-menerus, meskipun anak yang sudah mapu merawat dirinya sendiri; 3. Mengawasi kegiatan anak secara berlebihan;
1. Perasaan tidak aman; 2.
Agresif dan dengki; 3. Mudah merasa gugup; 4. Melarikan diri dari kenyataan;
5. Sangat tergantung; 6.
Bersikap menyerah; 7. Ingin menjadi pusat perhatian;
4. Memecahkan masalah anak.
8. Lemah dalam “ego
strenght ”. Aspiratif dan
toleransi teradap frustasi; 9. Kurang mampu mengendalikan emosi;
10. Menolak tanggung 28 Syamsu Yusuf, Op. Cit, hlm.49-50. jawab; 11.
Kurang percaya diri; 12. Mudah terpengaruh; 13. Peka terhadap kritik; 14. Bersikap “yes men”; 15. Egois/selfish; 16. Suka bertengkar; 17. Troublemaker (pembuat onar);
18. Sulit dalam bergaul; 19.
Mengalami “homesick” 2.
1.
1. Permissiveness Memberikan kebebasan untuk Pandai mencari jalan (Pembolehan) berpikir atau berusaha; keluar; 2.
2. Menerima gagasan/pendapat; Dapat bekerjasama; 3.
3. Membuat anak merasa Percaya diri; diterima dan merasa kuat;
4. Penuntut dan tidak 4. sabaran. Toleran dan memahami kelemahan anak;
5. Cenderung lebih suka memberi yang diminta anak daripada menerima.
3.
1.
1. Rejection Bersikap masa bodoh; Agresif (mudah marah, (Penolakan) 2. gelisah, tidak patuh/keras
Bersikap kaku; 3. kepala, suka bertengkar
Kurang memperdulikan kesejahteraan anak; dan nakal);
4.
2. Menampilkan sikap Submissive (kurang dapat permusuhan atau dominasi mengerjakan tugas, terhadap anak. pemalu, suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut);
3. Sulit bergaul; 4.
Pendiam; 5. Sadis.
4.
1.
1. Acceptance Memberikan perhatian dan Mau bekerjasama (Penerimaan) cinta kasih yang tulus kepada (kooperatif); anak;
2. Bersahabat (friendly); 2.
3. Menempatkan anak dalam Loyal; posisi penting di dalam
4. Emosinya stabil; rumah;
5. Ceria dan bersikap 3. optimis;
Mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak;
6. Mau menerima tanggung 4. jawab;
Bersikap respek terhadap anak;