Daya Tarik Pariwisata di Bali

https://www.posbali.id/daya-tarik-pariwisata-bali/

Artikel

Daya Tarik Pariwisata Bali
24 Agustus 2016 Pos Bali Online
Oleh : Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, MA.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti membuktikan bahwa daya tarik Bali
untuk dikunjungi sebagai destinasi wisata adalah keunikan budaya dan keindahan alamnya,
sedangkan kelengkapan fasilitas dan kemajuan infrastruktur pariwisata adalah faktor yang
dianggap cenderung dapat disediakan oleh semua destinasi pariwisata dengan standar yang sama.
Menurut Catatan Warisan Dunia UNESCO yang saat ini telah memiliki 981 situs, dengan
rincian: 759 berupa warisan budaya, 193 warisan alam, dan 29 campuran antara warisan budaya
dan alam. Dari sekian ratusnya, ternyata 13 warisan dunia berada di Indonesia dan
diklasifikasikan dalam tiga kelompok yakni warisan alam, bangunan cagar alam, dan karya tak
benda. Warisan alam Indonesia adalah Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional
Komodo, Hutan tropis Sumatera yang mencakup Taman Nasional Gunung Leuser, dan Bukit
Barisan. Sementara yang berupa bangunan cagar alam adalah Candi Borobudur, Candi
Prambanan, Situs Manusia Purba Sangiran, sedangkan yang berupa Warisan Budaya Non Benda
adalah wayang kulit, keris, batik, angkung, subak, dan tari Saman. Komite Warisan Budaya Tak
Benda UNESCO pada sidangnya ke-10 di Windhoek, Namibia, telah menetapkan tiga genre Tari

Bali sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang terdiri atas sembilan Tari Tradisional Bali.
Sembilan tarian tersebut adalah Tari Rejang, Sanghyang Dadari, Baris Upacara, Topeng
Sidhakarya, Sendratari Gambuh, Sendratari Wayang Wong, tari Legong Kraton, Joged
Bumbung, dan Barong Ket “Kuntisraya”.
Melihat fakta yang ada, betapa kayanya bangsa Indonesia dengan berbagai warisan budaya, dan
kekayaan tersebut patut kita banggakan. Langkah selanjutnya adalah bagaimana mengelola
warisan tersebut agar tetap lestari, dan juga bermanfaat bagi pariwisata, pendidikan, dan
kesejahteraan masyarakat?. Pengelolaan yang baik dan benar adalah menyeimbangkan dua
perbedaan prinsip mendasar yang sangat sulit untuk dilakukan. Prinsip pertama adalah
kecenderungan pada pendekatan pengelolaan warisan budaya dengan berlatarbelakang
konservasi sedangkan prinsip kedua adalah pendekatan pariwisata yang lebih cenderung
mengganggap bahwa warisan budaya adalah sebuah produk pada industri pariwisata. Kesulitan
untuk membedakan kedua prinsip pengelolaan tersebut akan berimplikasi pada sering terjadinya

kesalahan tentang pentingnya pengelolaan dan alasan pengelolaan warisan budaya tersebut.
Tatkala alasan konservasi diajukan sebagai prinsip dasar pengelolaan, maka kendala yang paling
dominan adalah kendala pembiayaan, sedangkan alasan produk terkendala oleh kekwatiran
terhadap kelestarian warisan budaya tersebut. Untuk menyatukan konsep yang berbeda
inilah diperlukan pengelolaan yang mampu memadukan kedua prinsip dasar tersebut sehingga
antara tujuan konservasi dan pemanfataan dapat bertemu dalam keseimbangan.

Kondisi nyatanya adalah pariwisata lebih digerakkan oleh pasar industri yang lebih menekankan
pada tujuan kemudahan untuk wisatawan “permintaan” sementara budaya termasuk warisan
budaya menekankan pada produk serta aspek penawaran. Perbedaan inilah yang menjadi
pekerjaan sulit bagi pengelola warisan budaya dan pengelolaan pariwisata untuk mencari titik
temu yang ideal agar tercapainya keseimbangan. Namun dalam kenyataannya, produk
pendukung lainnya yang disajikan oleh sebuah organisasi lebih menekankan pada
usaha penawaran dan pemasaran, sementara warisan budaya memerlukan dua sentuhan yang
berbeda yakni sentusan konservasi, dan kemanfaatannya bagi masyarakat lokal sekitarnya.
Tantangan terbesar dalam pengembangan pariwisata budaya adalah bagaimana mengelola secara
bijaksana warisan budaya agar berhasil menjadi produk pariwisata yang dapat dikonsumsi oleh
wisatawan, namun masih dapat dikelola oleh organisasi nirlaba lainnya seperti Desa Adat
misalnya. Pengelolaan warisan budaya yang baik sebenarnya lebih menekankan pada hal-hal
yang sifatnya non fisik daripada budaya fisik, dan warisan budaya masyarakat lokal adalah
elemen inti dari pengelolaan tersebut. Prinsip ini menjelaskan bahwa warisan budaya yang lestari
adalah tatkala masyarakat lokal sekitarnya dilibatkan dalam hal pemanfaatannya maupun
pemeliharaannya. (Lowenthal, 1996).
Kita ambil tiga warisan budaya sebagai sebuah contoh perbandingan, misalnya Ankor Wat di
Kamboja mungkin akan lebih pendek umur kelestariannya jika dibandingkan dengan Candi
Prambanan di Indonesia karena masyarakat lokal masih dilibatkan secara nyata kekinian dan
masih dapat dimanfaatkan pada ritual keagamaan pada hari-hari tertentu. Jika masyarakat dapat

memanfaatkannya sebagai warisan budaya yang hidup, hidup aktivitasnya, hidup
pengelolaannya, hidup manfaatnya bagi masyarakat maupun wisatawan, maka warisan dunia
tersebut akan menjadi lebih lestari.
Kelestarian warisan budaya sangat memerlukan keseimbangan pengelolaan, sehingga perlu
kesepakatan bersama tentang tugas dan tanggungjawab, siapa yang bertugas memelihara, siapa
yang bertugas mengatur aktivitasnya agar tidak melebihi daya tampung, dan siapa yang
mempromosikan warisan budaya tersebut. Warisan budaya yang dikemas menjadi produk
pariwisata sebagai daya tarik bagi wisatawan adalah tentang bagaimana kita menjual pengalaman
bukan menjual wujud fisiknya, sehingga pengetahuan dan ketrampilan para pemandu wisata
sangat diperlukan khususnya tentang sejarah warisan budaya, serta budaya masyarakat sekitar,
dan tentu juga penguasaan ketrampilan tentang budaya pariwisata, dan pariwisata budaya.
Pemasarannyapun mesti tersasar dengan jelas pada wisatawan yang benar-benar memiliki minat
dan ketertarikan yang tinggi terhadap pariwisata budaya sehingga wisatawan tersebut juga akan
peduli dengan kelestarian budaya, dan keindahan alam Bali.(*)