DESA NGANDAGAN MENUJU KAWASAN DESA WISAT

DESA NGANDAGAN MENUJU KAWASAN
DESA WISATA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
1. ALFIAN BUDI SAPUTRA

NIM. 13222754

2. FRANDIKA

NIM. 13222766

3. MUHAMMAD ARIEF ASYARI Z

NIM. 13222778

4. ZICO EVERT WANENDA

NIM. 13222790


KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
PROGRAM D.IV - PERTANAHAN
YOGYAKARTA
2015

I. PENDAHULUAN
Kebijakan reforma agraria, yakni perombakan struktur distribusi
penguasaan tanah (landreform) yang disertai dengan pembaruan sosio
ekonomi dan politik yang diperlukan untuk melengkapinya, merupakan
kebijakan yang dominan pada dekade 1950-an hingga 1960-an dan banyak
dianut oleh Negara-negara Dunia Ketiga yang baru meraih kemerdekaannya
dan terlepas dari masa penjajahan. Pada masa ini, kebijakan reforma agraria
pada dasarnya merupakan agenda nasional yang dijalankan oleh negara dalam
rangka mewujudkan dekelonisasi dan modernisasi di lapangan agraria.1
Adalah Gunawan Wiradi yang pada tahun 1960 meneliti Desa Ngandagan
untuk pertama kali dan menginformasikan bahwa desa ini telah melakukan
berbagai langkah untuk memperbaiki akses warga desa tak bertanah atas lahan
sawah dan tegalan di desa itu, dan dengan demikian berhasil menata struktur

penguasaan tanah yang sebelumnya amat timpang. Yang menarik dari temuan
Wiradi adalah bahwa upaya pembaruan semacam itu ternyata berasal dari
inisiatif local desa Ngandagan sendiri dibawah kepemimpinan Lurah
Soemotirto, dan dimulai sejak dini di tahun 1947. Meskipun belum ada
pijakan hokum formalnya, namun kebijakan tersebut berhasil dijalankan oleh
Lurah Soemotirto berkat dukungan mayoritas warga desa Ngandagan. Dengan
demikian, inisiatif lokal ini jauh mendahului pelaksanaan program landreform
secara nasional yang baru dimulai dilaksanakan setelah dilahirkannya
Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960.2
Sebelumnya, desa Ngandagan merupakan salah satu desa di Kecamatan
Pituruh Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Seperti yang telah
dijelaskan diatas, masyarakat Desa Ngandagan memiliki mekanisme yang
unik dalam hal pengelolaan tanah yang diwarisi dari leluhur mereka sejak
tahun 1947. Mekanisme ini mewajibkan para pemilik tanah menyerahkan hak
garap atas sebagian tanahnya kepada Pemerintah Desa Ngandagan,
1

Mohammad Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luthfi dalam Land Reform Lokal Ala Ngandagan.
Hlm.4
2


Ibid

selanjutnya oleh Pemerintah Desa Ngandagan diserahkan hak garapnya
kepada kepala keluarga petani yang tidak memiliki tanah. Inilah “landreform
ala Ngandagan” yang berlangsung hingga saat ini.3
Landreform ala Ngandagan dicirikan oleh adanya “kulian” yaitu orang
yang memiliki tanah satu kuli atau 300 ubin (1 ubin sama dengan 14 m²), yang
pada masa Sumotirto (Kepala Desa Ngandagan tahun 1947-1964) diambil hak
garapnya seluas 90 ubin oleh Pemerintah Desa Ngandagan untuk diberikan
kepada petani Desa Ngandagan yang saat itu tidak memiliki tanah. Hak atas
tanah tetap berada pada kulian, meskipun hak garapnya (seluas 90 ubin) telah
beralih pada orang lain (petani yang tidak memiliki tanah). Tanah seluas 90
ubin tersebut nantinya diserahkan kepada dua keluarga petani tunakisma, yang
masing-masing akan menerima tanah sawah seluas 45 ubin. Tanah selaus 45
ubin pada waktu itu (tahun 1947) diarasa masih cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga petani penggarap.4
Landreform ala Ngandagan merupakan sesuatu yang unik,karena berbeda
dengan landreform pada umumnya. Pada umumnya landreform memiliki
prinsip bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif

oleh pemiliknya. Tetapi dalam landreform ala Ngandagan, yang mengerjakan
atau mengusahakan tanahnya adalah bukan pemiliknya (kulian), melainkan
penggarapnya (buruh kulian). Jika landreform pada umumnya, tanah yang
dipunyai pemilik tanah diserahkan kepemilikannya kepada penggarap, maka
pada landreform ala Ngandagan kepemilikan tanahnya tidak pernah
diserahkan kepada penggarap, melainkan tetap pada pemilik (kulian). Para
pemilik tanah hanya menyerahkan hak garapnya kepada penggarap dalam
jangka waktu yang tidak pernah ditentukan.
Landreform ala Ngandagan ini dalam konteks kekinian memberi warna
pada cara penghidupan (livelihood) masyarakat Desa Ngandagan. Livelihood
yang dipilih masyarakat desa Ngandagan bukanlah sesuatu yang muncul tibatiba, namun dibangun paska berlakunya landreform ala Ngandagan ini. Oleh
3

Aristiono Nugroho, dkk dalam Ngandagan Kontemporeer: Implikasi Sosial Landreform Lokal.
Hlm.1
4

Ibid

karena itu, livelihood yang dibangun akan berbasis pada kateori kulian dan

buruh kulian, dimana kategori ini merupakan implikasi pemberlakuan
landreform ala Ngandagan. Selain kulian dan buruh kulian, ada pula anggota
masyarakat Desa Ngandagan yang menekuni bidang lain yang bukan bidang
pertanian tetapi masih berkaitan dengan pertanian, seperti: penyewaan traktor
dan industry rumah tangga pembuatan tempe. Bahkan ada pula anggota
masyarakat yang menekuni bidang yang sungguh-sungguh tidak berhubungan
dengan pertanian, seperti: pegawai negeri sipil, pengusaha penyewaan sound
system, pedagang dan perantau.
Dari berbagai keunikan masyarakat desa Ngandagan yang ada, baik dari
segi sosio-ekonomi, sosio-ekologi, sosio-budaya hingga harmoni sosial
masyarakatnya itulah kiranya bisa menjadikan desa Ngandagan sebagai
kawasan desa wisata.
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan
melibatkan

masyarakat

sehingga

masyarakat setempat. Sejalan


membawa berbagai dampak terhadap

dengan

dinamika,

gerak

perkembangan

pariwisata merambah dalam berbagai terminologi seperti, sustainable
tourism development, village tourism, ecotourism, merupakan pendekatan
pengembangan kepariwisataan yang berupaya untuk menjamin agar wisata
dapat dilaksanakan di daerah tujuan wisata bukan perkotaan.
Salah satu pendekatan pengembangan wisata alternatif adalah desa wisata
untuk

pembangunan


pedesaan

yang

berkelanjutan

dalam bidang

pariwisata. Ramuan utama desa wisata diwujudkan dalam gaya hidup dan
kualitas

hidup

masyarakatnya.

Keaslian

juga dipengaruhi

keadaan


ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan tersebut, misalnya ruang,
warisan budaya, kegiatan pertanian, bentangan alam, jasa, pariwisata
sejarah dan budaya, serta pengalaman yang unik dan eksotis khas daerah.
Dengan demikian, pemodelan desa wisata harus terus dan secara kreatif
mengembangkan identitas atau ciri khas daerah.
Ramuan penting lainnya dalam upaya pengembangan desa wisata yang
berkelanjutan
pengembangan

yaitu
mutu

pelibatan
produk

atau

partisipasi masyarakat


setempat,

wisata pedesaan, pembinaan kelompok

pengusaha setepat. Keaslian akan memberikan manfaat bersaing bagi produk
wisata pedesaan. Unsur-unsur keaslian produk wisata yang utama adalah
kualitas asli, keorisinalan, keunikan, ciri khas daerah dan kebanggaan
daerah diwujudkan dalam gaya hidup dan kualitas hidup masyarakatnya
secara

khusus berkaitan dengan prilaku,

kesungguhan penduduk yang

integritas,

keramahan dan

tinggal dan berkembang menjadi milik


masyarakat desa tersebut.
Oleh sebab itu, pemodelan desa wisata bagi pembangunan pedesaan yang
berkelanjutan

harus terus secara kreatif mengembangkan identitas atau

ciri khas yang baru bagi desa untuk memenuhi tujuan pemecahan masalah
yang berkaitan dengan krisis ekonomi daerah pedesaan, semakin bertambah
akibat adanya berbagai kekuatan yang rumit, yang menyebabkan baik
berkurangnya kesempatan kerja maupun peningkatan kekayaan masyarakat
desa, salah satu jalan keluar yang dapat mengatasi krisis tersebut adalah
melalui pembangunan industri desa wisata skala kecil, sehingga mampu
bersaing dan unggul dalam pembangunan daerah pedesaan, dan dalam
penciptaan lapangan kerja baru serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
II. INVENTARISASI POTENSI
a. Social Mapping
Pemetaan sosial adalah proses penggambaran masyarakat yang
sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai
masyarakat termasuk di dalamnya profil dan masalah sosial yang ada pada
masyarakat tersebut (Suharto, 2009:81). Potensi sosial yang ada pada

masyarakat Desa Ngandagan adalah pada sektor farm. Farm disini tidak
hanya berarti pertanian dalam arti sempit, melainkan juga berarti pertanian
dalam arti luas. Istilah farm memiliki istilah-istilah turunan seperti: “onfarm”, “off-farm”, dan “non-farm”.5
1. Potensi di sektor On-Farm
Istilah on-farm digunakan untuk membahas hal-hal yang berkaitan
dengan aktivitas di tanah pertanian. Potensi masyarakat Ngandagan pada
sektor on-farm diantaranya yaitu:
5

Ibid.

a) Untuk daerah persawahan dengan pengairan irigasi yang memadai

masyarakat Ngandagan menanam padi dan palawija. Dalam jangka
waktu satu tahun biasanya 2 kali menanam padi dan 1 kali
menanam palawija khususnya adalah kedelai.
b) Untuk daerah tegalan yang merupakan wilayah dengan jaringan
irigasi kurang memadai, masyarakat menanaminya dengan tanaman
semusim, semisal kacang tanah, ketela pohon, ada juga yang
menanaminya dengan tanaman buah-buahan.
c) Pemanfaatan lahan pekarangan sekarang ini banyak ditanami oleh
tanaman buah-buahan seperti: papaya, kelapa, melinjo, ketela, dan
lain-lain. Bahkan pada tahun 2010 masyarakat desa mendapat
bantuan bibit tanaman jati dari Dinas Pertanian Kabupaten
Purworejo yan kemudian oleh masyarakat ditanam disekitar
pekarangan.
2. Potensi di sektor Off-Farm

Sektor off-farm yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas di
luar pertanian, namun masih berkaitan dengan pertanian. Potensi yang
ada pada sector off-farm diantaranya, yaitu:
a) Menjadi tukang tebas dan bawon. Pada saat panen padi tiba, tukang
teabs dating ke sawah untuk menemui penggarapnya. Harga
tebasan satu iring (125 ubin) bila tidak terkena hama adalah Rp.
1.800.000,- Buruh tani yang bekerja sebagai bawon pada masa
panen bekerja secara berombongan (satu regu) dalam memanen
bidang tanah sawah yang telah ditentukan. Upah yang diterima
buruh tani sebagai bawon adalah 1 kg padi basah untuk setiap 6 kg
padi basah yng dipanen.
b) Industri rumah tangga, diantaranya yaitu industri pembuatan tempe.
c) Usaha penyewaan alat pertanian, seperti misalnya traktor,
kemudian pelayanan jasa pemarutan kelapa.
3. Potensi di sektor Non-Farm.

Sector non-farm yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas yang
tidak berkaitan dengan pertanian. Potensi yang ada pada sector non-farm,
diantaranya yaitu:

a) Industri rumah tangga, yaitu seperti usah pemintalan kapas dan
perkreditan barang kelontong.
b) Buruh dan dagang, contohnya yaitu: penjual rongsokan, buruh
bangunan, pedagang di pasar, tukang, dan lain-lain.
c) Pegawai Negeri Sipil, kebanyakan adalah menjadi seorang guru.
b. Physical Mapping
Pemetaan fisik juga dilakukan untuk mengetahui gambaran umum
suatu masyarakat tapi dari sudut pandang keadaan wilayah dimana
masyarakat itu tinggal (hidup). Keadaan fisik suatu wilayah akan
mempengaruhi pola kehidupan sosial masyarakat yang menempatinya.
Dilihat dari topografinya, desa Ngandagan terbagi menjadi dua
kategori, yaitu daerah dataran di wilayah Dusun Krajan dan daerah
perbukitan di wilayah Dusun Karangturi. Untuk mengoptimalkan
kesuburan tanah Desa Ngandagan, maka dibangunlah jaringan irigasi.
Berdasarkan keterjangkauannya irigasi, diketahui bahwa Dusun Krajan
merupakan wilayah yang mendapat jaringan irigasi yang memadai,
sedangkan Dusun Karangturi yang merupakan wilayah perbukitan kurang
mendapatkan jaringan irigasi yang memadai.
Berdasarkan kondisi jaringan irigasinya, Desa Ngandagan terbagi
atas tiga wilayah garapan yaitu wilayah persawahan, wilayah tegalan, dan
wilayah “alas”. Pertama wialayah persawahan yang merupakan wilayah
dengan jaringan irigasi memadai, sehingga secara intensif dapat ditanami
dengan padi dan palawija. Kedua wilayah tegalan yang merupakan
wilayah dengan jaringan irigasi kurang memadai, sehingga secara intensif
dapat ditanami dengan tanaman semusim. Ketiga wilayah “alas” yang
merupakan wilayah tanpa jaringan irigasi, shingga secara intensif dapat
ditanami dengan tanaman keras atau tanaman tahunan.
Selain potensi-potensi yang telah disebutkan diatas, menurut kami
ada satu lagi potensi yang ada di Desa Ngandagan, namun nampaknya
sampai saat ini belum tersentuh potensi tersebut. Potensi yang dimaksud
adalah, menjadikan Desa Ngandagan sebagai desa wisata. Hal ini sangat
dimungkinkan karena desa Ngandagan bisa dikatakan adalah pelopor
adanya Landreform yang bersifat lokal dan berasal dari inisiatif desa itu

sendiri. Dan hasilnya, untuk tingkat kemiskinan di desa Ngandagan hanya
2,25%, berada jauh dibawah rata-rata tingkat kemiskinan di Kecamatan
Pituruh yaitu sebesar 35,00% dan Kabupaten Purworejo 34,00%. Hal
itulah daya tarik dari desa Ngandagan, yang bisa dijadikan tempat study
banding bagi masyarakat umum dan khususnya bagi pemerintah desa
maupun intansi-instansi pemerintah lainnya yang sedang berusaha unutk
memajukan daerahnya. Terdapatnya situs “Gunung Pencu” juga dapat
menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan apabila situs tersebut dikelola
dengan maksimal.
III.MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
a. Model Asistensi
Asistensi atau pendampingan (Suharto, 2009:93) adalah tindakan
membantu orang agar orang tersebut mampu membantu dirinya sendiri.
Model asistensi diwujudkan dengan “menemani” dan mengarahkan
masyarakat pada suatu kegiatan dari awal perencanaan sampai akhir
pelaksanaan

untuk

bersama-sama

memecahkan

masalah

maupun

memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya
yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Prinsip pengembangan desa wisata adalah sebagai salah satu
produk wisata alternatif yang dapat memberikan dorongan bagi
pembangunan pedesaan yang berkelanjutan serta memiliki prinsipprinsip pengelolaan antara lain, ialah: (1) memanfaatkan sarana dan
prasarana

masyarakat

setempat,

(2)

menguntungkan

masyarakat

setempat, (3) berskala kecil untuk memudahkan terjalinnya hubungan
timbal balik dengan masyarakat setempat,

(4) melibatkan masyarakat

setempat, (5) menerapkan pengembangan produk wisata pedesaan, dan
beberapa kriteria yang mendasarinya seperti antara lain:
a) Penyediaan fasilitas dan prasarana yang dimiliki masyarakat
lokal yang biasanya mendorong peran serta masyarakat dan
menjamin adanya akses ke sumber fisik merupakan batu
loncatan untuk berkembangnya desa wisata.

b) Mendorong peningkatan pendapatan dari sektor pertanian dan
kegiatan ekonomi tradisional lainnya.
c) Penduduk setempat memiliki peranan yang efektif dalam proses
pembuatan

keputusan

tentang

bentuk

pariwisata

yang

memanfaatkan kawasan lingkungan dan penduduk setempat
memperoleh pembagian pendapatan yang pantas dari kegiatan
pariwisata.
d) Mendorong perkembangan kewirausahaan masyarakat setempat.
b. Model Fasilitasi
Fasilitasi

dapat

diartikan

sebagai

mempermudah

atau

memungkinkan suatu hal. Fasilitasi (Suharto, 2009) dalam pemberdayaan
biasanya dilakukan dalam bentuk pembukaan akses masyarakat terhadap
segala sesuatu hal yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah
sosial yang sedang dihadapi. Segala sesuatu hal tersebut dapat berupa (1)
sumber personal yaitu pengetahuan, motivasi maupun pengalaman hidup,
(2) sumber interpersonal yaitu sistem pendukung yang lahir baik dari
jaringan pertolongan alamiah maupun interaksi formal dengan orang lain
dan (3) sumber sosial yaitu berupa respon kelembagaan yang mendukung
kesejahteraan klien maupun masyarakat pada umumnya)
Fasilitasi secara umum juga dapat dimaksudkan

dengan

menyediakan alat atau bahan-bahan yang diperlukan dalam suatu kegiatan.
Prinsip utama fasilitas adalah proses bukan isi. Ada 3 (tiga) tahapan
penting dalam fasilitasi yaitu (1) divergensi, yakni memfasilitasi
munculnya keragaman ide, (2) dialog, yakni mempertemukan dan
mendiskusikan ide-ide dan (3) konvergensi, yakni mengerucutkan ide-ide.
IV. DUKUNGAN BAGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
a. Peningkatan Partisipasi
Partisipasi masyarakat menurut Najiyati dkk. (2009) merupakan
proses aktif dala pelaksanaan kegiatan dan pengambilan keputusan yang
dibimbing oleh cara berpikir masyarakat sendiri sehingga mereka dapat
melakukan kontrol efektif. Partisipasi (Najiyati dkk, 2009) dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu:

a) Partisipasi aktif, yakni proses pembentukan kekuatan untuk keluar
dari masalah yang bertolak dari kemampuan memutuskan,
bertindak dan berefleksi atas tindakan masyarakat sebagai subyek
yang sadar.
b) Partisipasi pasif, yakni masyarakat hanya dilibatkan dalam tindakan
yang telah dipikirkan, dirancang dan dikontrol oleh orang lain.
Munculnya proses partisipasi dalam rangka pemberdayaan
masyarakat mendasarkan atas dua perspektif. Pertama : Pelibatan
masyarakat, setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan dan
pelaksanaan program yang akan mewarnai kehidupan masyarakat,
sehingga dengan demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat,
pola sikap, dan pola pikir serta nilai-nilai pengetahuannya ikut
dipertimbangkan secara penuh. Ke-dua : membuat umpan balik yang pada
hakikatnya merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari

kegiatan

pembangunan.
Masyarakat dapat diajak terlibat guna mengarahkan perencanaan
dan program pemodelan desa wisata dalam kerangka pembangunan desa
secara keseluruhan yang

berintikan

;

(1)

desa

tempat

dimana

pemerintahan desa menjalankan pemerintahannya, (2) desa tempat
dimana penduduk desa menjalankan pola kehidupan dan keagamaannya
dan berkumpul dalam satu harmonisasi kehidupan yang mencerminkan
tata karma masyarakat,

(3) desa

tempat dimana masyarakat

desa

melakukan kegiatan waktu luang dan berekreasi bercengkerama di alam
desa yang mereka miliki, (4) desa dimana masyarakat memiliki sikap,
prilaku melindungi, memelihara dan memanfaatkan kepemilikan seni
budaya, lingkungan,

nilai-nilai

tradisi

yang

dapat mendorong

kelestarian promosi desa itu sendiri.
b. Pengembangan Jaringan/Network
Pengembangan jaringan dapat dikaitkan dengan salah satu prinsip
pendampingan yaitu prinsip kerja jaringan. Kerjasama tidak hanya antar
anggota kelompok tetapi juga dengan kelompok serta mitra kerja lainnya.
Untuk pengelola desa wisata yang aktif, pengelola desa wisata melakukan
strategi komunikasi pemasaran. Strategi komunikasi yang dilakukan

diantaranya adalah mengikuti promosi ke luar daerah, mengikuti promosi
yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Strategi komunikasi pemasaran pariwisata yang tepat diperlukan
untuk memperkenalkan dan mempromosikan daya tarik desa wisata
kepada wisatawan. Target dari komunikasi pemasaran pariwisata ini
adalah untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Strategi komunikasi
pemasaran pariwisata dalam meningkatkan jumlah wisatawan, khususnya
wisatawan nusantara di desa wisata adalah bagaimana menawarkan produk
dan pelayanan desa wisata tersebut kepada wisatawan, yakni penyediaan
fasilitas sesuai tradisi masyarakat desa wisata tersebut.
V. RENCANA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
a. Penentuan Program/Kegiatan
Peningkatan peran masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan
memerlukan

berbagai

upaya

pemberdayaan

(empowerment),

agar

masyarakat dapat berperan lebih aktif dan optimal serta sekaligus
menerima manfaat positif dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
untuk peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan Masyarakat dalam
konteks pembangunan kepariwisataan dapat didefinisikan sebagai: “Upaya
penguatan dan peningkatan kapasitas, peran dan inisiatif masyarakat
sebagai salah satu pemangku kepentingan, untuk dapat berpartisipasi dan
berperan aktif sebagai subjek atau pelaku maupun sebagai penerima
manfaat dalam pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan”.
(Renstra

Dit.

Pemberdayaan

Masyarakat,2010). Definisi tersebut

menegaskan posisi penting masyarakat dalam kegiatan pembangunan,
yaitu masyarakat sebagai subjek atau pelaku pembangunan; dan
masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan.
Masyarakat sebagai subyek atau pelaku

pembangunan,

mengandung arti, bahwa masyarakat menjadi pelaku penting yang harus
terlibat secara aktif dalam proses perencanaan dan pengembangan
kepariwisataan, bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait
lainnya baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam fungsinya sebagai
subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab

untuk

bersama-sama

mendorong

keberhasilan

pengembangan

kepariwisataan di wilayahnya.
Sadar Wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran
masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu:
a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan
rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung
untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif
b)

sebagaimana tertuang dalam slogan Sapta Pesona.
Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi
pelaku wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu
daerah tujuan wisata, sebagai wujud kebutuhan dasar untuk
berekreasi maupun khususnya dalam mengenal dan mencintai
tanah air.
Sadar Wisata

sebagai

unsur

penting

dalam

mendukung

pengembangan destinasi pariwisata tentu tidak dapat terwujud secara
otomatis tanpa adanya langkah dan upaya-upaya untuk merintis,
menumbuhkan, mengembangkan dan melaksanakan secara konsisten di
destinasi pariwisata. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan peran serta
masyarakat secara aktif dalam mengembangkan Sadar Wisata bersamasama dengan pemangku kepentingan terkait lainnya.
Untuk itu pembentukan Kelompok Masyarakat Sadar Wisata
(Pokmasdarwis) sebagai bentuk kelembagaan informal yang dibentuk
anggota masyarakat (khususnya yang memiliki kepedulian dalam
mengembangkan kepariwisataan di daerahnya), yang merupakan salah
satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang memilki
keterkaitan dan peran penting dalam mengembangkan dan mewujudkan
Sadar Wisata di desa Ngandagan perlulah dibentuk.
b. Penentuan Penerima Manfaat
Dengan adanya pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
melalui

pembentukan

Kelompok

Masyarakat

Sadar

Wisata

(Pokmasdarwis) di Desa Ngandagan diharapkan mampu memberikan
manfaat bagi seluruh masyarakat di Desa Ngandagan. Karena sejatinya
pemodelan kelembagaan dan sumber daya manusia pada desa wisata lebih

menekankan kepada: Pertama; investasi pada modal manusia (human
capital) yaitu dalam bidang pendidikan dan kesehatan, Ke-dua;
peningkatan kapasitas organisasi di pedesaan, disamping organisasi
pemerintahan desa yang secara bersama-sama memiliki keinginan untuk
mengembangkan

desa wisata sebagai upaya

pembangunan

berkelanjutan, Ke-tiga; memperluas dan mengintegrasikan
organisasi dan

yang
mandat

kelompok sehingga efisiensi bisa tercapai, Ke-empat;

memperbaiki budaya kerja, kerja keras, tanggung jawab dan hemat, Kelima; menghilangkan sifat dan mental negatif, boros, konsumtif yang dapat
merusak produktivitas. Sedangkan melalui pendidikan lebih diarahkan
kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam
bentuk pekerjaan yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Pendidikan pelatihan
tidak hanya memberikan keilmuan yang lebih penting adalah kesadaran
untuk tumbuhnya sikap menerima, bekerja sama, dan menimbulkan
prilaku baru dalam upaya mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan dan
ketergantungan.
VI. MANAJEMEN PEBERDAYAAN MASYARAKAT
a. Manajemen Pelaksanaan
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui Pembentukan
Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokmasdarwis) dilakukan dengan
pendekatan inisiasi dari instansi pemerintah, dalam hal ini yaitu Kantor
Pertanahan Kabupaten Purworejo bekerja sama dengan Dinas Pariwisata
Kabupaten Purworejo.
Kegiatan dimulai dari koordinasi antara Kantor Pertanahan
Kabupaten Purworejo dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo.
Selanjutnya Kepala Desa Ngandagan menfasilitasi pertemuan antara
masyarakat dengan penyuluh dari Kantor Pertanahan Kabupaten
Purworejo dan Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo untuk membentuk
Kelompok Masyarakat Sadar Wisata (Pokmasdarwis).
Hasil pembentukan Pokdarwis selanjutnya

dilaporkan ke

Kecamatan untuk selanjutnya diteruskan dan dicatat oleh Dinas Pariwisata
Kabupaten Purworejo untuk mendapatkan pengesahan dan pembinaan

lebih lanjut. Pengukuhan Pokmasdarwis dilakukan oleh Kepala Dinas
Pariwisata

Kabupaten

Purworejo.

Pencatatan

dan

pendaftaran

Pokmasdarwis dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Purworejo
untuk dilaporkan ke Dinas Pariwisata Provinsi serta Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
b. Manajemen Konflik Pasca Pelaksanaan (Exit Strategy)
Di samping berbagai dampak yang dinilai positif, maka
pembentukan desa wisata akan memilki dampak yang tidak diharapkan,
seperti semakin buruknya kesenjangan pendapatan antara kelompok
masyarakat, memburuknya ketimpangan ekonomi, dan lain-lain. Dampakdampak negatif tersebut disebabkan karena pengembangan pariwisata
semata-mata dilakukan dengan pendekatan

ekonomi

dan

pariwisata

dipersepsikan sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan,
terutama oleh bidang usaha swasta dan pemerintah. Sementara itu banyak
pakar yang menyadari bahwa

pariwisata,

meskipun

membutuhkan

lingkungan yang baik, namun bilamana dalam pengembangannya tidak
memperhatikan daya dukung lingkungan dan kerentanan lingkungan
terhadap jumlah wisatawan akan menimbulkan dampak negatif.
Untuk menanggulangi akibat negatif diatas maka bisa dilakukan
dengan beberapa pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan kualitas lingkungan masyarakat, dasar utama yang
senantiasa harus dijaga keutuhannya, sehingga situasi konflik tidak
akan timbul bila langkah-langkah pendekatan dengan segala
kearifan untuk memenuhi fungsi-fungsi timbal balik, estetika,
rekreatif, ilmiah dan konservasi.
b. Pendekatan perencanaan fisik yang meliputi daya tampung
ruang, pemilihan daya tampung ruang, pemilihan lokasi yang tepat
serta peletakan zonasi yang seimbang antara zona inti, zona
penyangga, dan zona pelayanan, fisis, tanah, air dan iklim biotis.
c. Pendekatan terhadap unsur-unsur pariwisata yang dapat
dibangun dalam hubungan dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas
bagi wisatawan.

d. Pendekatan

dasar

rencana

tapak

yang

berkaitan

dengan

peletakan fisik, sistem transportasi, sistem utilitas tipologis, pola
penghijauan, pola disain/arsitektural, tata bangunan, topografi,
iklim, desain lanskap.
e. Pendekatan struktur

geo-klimatologis

dan

geo-morfologis

setempat harus mendukung kesuburan dan keindahan seperti
karakter, pegunungan/perbukitan yang indah, udara yang sejuk
serta

kondisi

hidrologis

yang

memungkinkan,

budi

daya

pertanian berkembang
VII.

PENUTUP
Pertimbangan

pemilihan

lokasi desa Ngandagan untuk dijadikan

kawasan desa wisata diantaranya adalah:
a. Kehidupan penduduk, sebagai layaknya mereka

hidup

dalam

pedesaan, pola usaha berkaitan dengan komposisi ekonomi yang
dapat

berkembang

dari berbagai potensi produksi. Lembaga

masyarakat yang hidup dalam kerukunan dan gotong royong.
b. Keberhasilan desa Ngandagan dalam menjalankan program
Landreform lokal yang berasal dari inisiatif internal desa itu sendiri,
sehingga patut untuk dijadikan tempat percontohan bagi desa-desa
yang lainnya.
Dalam membangun dan mengembangkan desa wisata, dasar utama
dan penting yang harus dipahami oleh para pengembang adalah; (1) desa
tempat dimana pemerintah desa dilaksanakan, dengan demikian adanya
pembangunan desa wisata tidak menjadi pesaing atau mempengaruhi
sistem pemerintahan desa yang telah berjalan, (2) desa tempat dimana
masyarakat

desa

mengolah

kehidupan

dan

menjalankan kehidupan

beragama, dengan demikian setiap bentuk pembangunan sosial ekonomi
yang masuk tidak merusak pola ekonomi desa, tetapi menunjang terhadap
struktur ekonomi pedesaan, (3) desa tempat masyarakat memanfaatkan
waktu luang, rekreasi

dan bercengkerama

dengan alamnya,

dengan

demikian bagi wisatawan akan mendorong terjelmanya keharmonisan
dengan masyarakat setempat.

Adapun struktur perencanaan dan pengembangan kawasan desa wisata
diawali secara bottom up dengan mengkaji berbagai kekuatan masyarakat desa
baik dari sisi budaya sosial, lingkungan, ekonomi, sumber daya yang
menjadi

landasan kehidupan

masyarakat

desa.

Unsur

pembangunan

tersebut diatas berkembang menjadi potensi desa yang dapat menjadi
bagian integral pembangunan pada tingkat desa dan wilayah kecamatan
bahkan bagian integral dari pembangunan kabupaten.
Dengan perencanaan dan pengembangan kawasan desa wisata tidak
dapat

dipisahkan

dari

pembangunan

wilayah

kecamatan

maupun

pembangunan desa baik dari segi kebijakan strategi maupun program. Oleh
karena desa wisata merupakan salah satu bentuk keterkaitan pembangunan
antar

sektor

yang

tercermin

pada

perencanaan dan

pengembangan

integrasi dalam bentuk prasarana, sarana dan pemberdayaan masyarakat.
Untuk tercapainya

optimalisasi unsur-unsur tersebut maka

zonasi dalam kawasan desa wisata merupakan sistem

pendekatan

yang

dapat

memadukan kebutuhan fasilitas dan perlindungan atau konservasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James R. (et.al.). 2001. “A Land Use And Land Cover Classification
System For Use With Remote Sensor Data.” Washington: United States
Government Printing Office.
Nugroho, Aristiono., dkk. 2011. Ngandagan Kontemporer: Implikasi Sosial
landreform Lokal. Yogyakarta: STPN Press.

Nugroho, Aristiono., dkk. 2013. Resonansi Landreform Lokal: Dinamika
Pengelolaan Tanah di Desa Karangaynyar. Yogyakarta: STPN Press.
Shohibuddin, Mohammad dan Luthfi, Ahmad Nashih. 2010. Land Reform Lokal
Ala Ngandagan: Inovasi Sistem Tneurial Adat Di Sebuah Desa Jawa, 19471964. Yogyakarta: STPN Press dan Sayoggyo Institute.
Sastrayudha, Gumelar S. 2010. Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Resort
and Liesure. Tidak diterbitkan.
Suharto, Edi. 2009. Membangun
Bandung:Refika Aditama.
.

Masyarakat

Memberdayakan

Rakyat.