Perkembangan Terkini dalam Pembiayaan In

Konferensi Nasional Teknik Sipil 10
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 26-27 Oktober 2016

PERKEMBANGAN TERKINI DALAM PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
YANG MELIBATKAN PARTISIPASI BADAN USAHA
Andreas Wibowo1,2
1

Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
2
Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan
Email: a.wibowo@puskim.pu.go.id; andreaswibowo1@yahoo.de

ABSTRAK
Partisipasi badan usaha dalam penyelenggaraan infrastruktur di Indonesia sangat dibutuhkan. Tulisan
ini memaparkan perkembangan terkini dalam pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang
melibatkan badan usaha, khususnya untuk proyek-proyek yang direalisasikan menggunakan skema
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha/Swasta (KPBU/KPS). Dua fokus dalam tulisan ini adalah
jenis-jenis dukungan Pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif bagi badan
usaha dan skema-skema pembiayaan inovatif untuk lebih mendorong partisipasi badan usaha.
Termasuk di dalam dukungan yang dibahas adalah penjaminan infrastruktur, viability gap funding

(dukungan kelayakan) dan hibah sebagian konstruksi. Adapun skema pembiayaan yang didiskusikan
meliputi availability payment (pembayaran ketersediaan layanan), dana talangan oleh badan usaha,
dan penugasan badan usaha milik negara. Tulisan ini juga menawarkan beberapa ranah riset terkait
KPBU/KPS yaitu penentuan minimum attractive rate of return , evaluasi dampak finansial dan analisis
kewajiban kontijensi akibat penjaminan, dan asesmen nilai manfaat uang (value for money).
Kata kunci: infrastruktur, KPBU/KPS, pembiayaan, dukungan, ranah riset

1.

PENDAHULUAN

Ketersediaan infrastruktur yang andal memiliki peran yang sangat vital dalam menentukan pertumbuhan ekonomi,
daya saing nasional, dan kesejahteraan masyarakat (World Bank 1994). Hasil studi empiris Calderon dan Serven
(2004) menyatakan stok infrastruktur berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan negatif terhadap
kesenjangan kesejahteraan. World Economic Forum (WEF) menggunakan infrastruktur sebagai salah satu pilar
persyaratan dasar meningkatkan daya saing suatu negara. Dalam Global Competitiveness Report 2016–2017, WEF
menempatkan daya saing Indonesia pada peringkat ke-41 dari 138 negara atau turun dari peringkat tahun
sebelumnya, 37 dari 140 negara (Schwab 2016). Untuk infrastruktur, Indonesia menempati peringkat ke-60 dengan
skor 4,2 (dari skala 7) yang tidak banyak berubah dari peringkat sebelumnya (peringkat ke-62, skor = 4,2).
Pemerintah sangat menyadari peran penting infrastruktur tersebut. Karenanya, dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional 2015–2019, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu agenda prioritas nasional untuk
mewujudkan bangsa yang berdaya saing dan meningkatkan produktivitas rakyat. Untuk sektor pekerjaan umum dan
perumahan rakyat (PUPR), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2015) menegaskan dukungan
ketersediaan infrastruktur andal bersifat multidimensi: infrastruktur dasar, ketahanan pangan, dan konektivitas.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam penyediaan infrastruktur adalah tingginya pembiayaan. Investasi
yang dibutuhkan selama 2015–2019 adalah Rp4.796 trilyun–merupakan angka revisi dari perkiraan sebelumnya
yaitu Rp5.519 trilyun–dan dari jumlah tersebut lebih kurang 40 % berasal dari sektor PUPR (i.e. jalan, sumber daya
air, air bersih dan limbah, dan perumahan). Di sisi lain, kemampuan Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sangat
terbatas. Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) hanya mampu menutup
sekitar 41,25 %-nya saja; sisanya diharapkan dapat dibiayai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 22,23
% dan badan usaha sebesar 36,52 % melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau lebih
spesifik lagi Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).
Penyelenggaraan infrastruktur jelas menjadi tanggung jawab Pemerintah namun pembiayaan infrastruktur tidak bisa
diandalkan dari APBN/D saja. Dalam Rencana Strategis 2015–2019 yang disusun Kementerian PUPR disampaikan
bahwa pembiayaan non-pemerintah yang berasal dari masyarakat atau swasta sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan kinerja pembangunan infrastruktur PUPR yang terpadu dengan pengembangan wilayah. Karenanya,
Pemerintah terus mendorong investasi badan usaha di sektor infrastruktur melalui KPBU/KPS meski upaya ini juga
tidak mudah, apalagi jika menyangkut investasi asing langsung (Sader 2000).

ISBN: 978-602-60286-0-0


1

2

Fakta menunjukkan banyak proyek infrastruktur yang ditawarkan Pemerintah namun yang dapat direalisasikan
masih sangat terbatas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional 2015b). Pemerintah juga menyadari bahwa
meski konsep yang bagus, KPS masih dirasakan sulit diterapkan di Indonesia (“Menkeu : PPP ide yang bagus tetapi
sulit diimplementasikan” 2015). Meski demikian, tren ke arah positif terus terjadi, seiring dengan komitmen dan
dukungan Pemerintah, termasuk inovasi-inovasi pembiayaan yang terus dikembangkan.
Tulisan ini memaparkan perkembangan terkini (state of the art) pembiayaan infrastruktur yang melibatkan badan
usaha. Ada setidaknya dua manfaat yang bisa ditawarkan dari perspektif praktis dan akademis. Pertama, tulisan ini
memberikan pemahaman kepada pemangku kepentingan (e.g. badan usaha, Penanggung Jawab Proyek
Kerjasama/PJPK, institusi pembiayaan) bahwa beberapa alternatif dukungan dan skema pembiayaan infrastruktur
dapat diterapkan dan disesuaikan dengan karakteristik sektor dan proyek. Kedua, tulisan ini diharapkan dapat
memerkaya body of literature tentang KPBU/KPS di Indonesia dan beberapa ranah yang menarik untuk diteliti
secara lebih mendalam ke depannya.

2.


DUKUNGAN PEMERINTAH

Investasi infrastruktur–terlepas dari sumber pembiayaannya–memiliki sifat yang sangat unik, berbeda dengan
investasi di sektor-sektor lainnya. Investasi di sektor ini kerap dikarakteristikkan dengan investasi jangka panjang
(20–50 tahun) dengan aset bersifat mengendap (sunk and immobile), kebutuhan pembiayaan yang sangat besar di
awal, pemulihan biaya lambat yang lambat, dan berisiko tinggi dengan profil yang terus berubah sepanjang siklus
hidup investasi. Dengan karakteristik yang demikian spesifik, menarik badan usaha (i.e. swasta) ke sektor
infrastruktur jelas bukan perkara yang mudah.
Calon badan usaha membutuhkan lingkungan makro, meso, dan mikro yang kondusif untuk dapat berinvestasi di
sektor infrastruktur yang kerapkali sensitif secara politis. Banyak faktor kunci sukses yang harus dipenuhi untuk
menjadikan skema KPBU/KPS berhasil (e.g.. Ameyaw and Chan 2016; Babatunde et al. 2012; Jacobson and Choi
2008; Kwofie et al. 2014). Untuk konteks Indonesia, komitmen Pemerintah terkait kesinambungan kebijakan,
transparansi, dan pemberantasan korupsi menjadi faktor kunci yang paling utama pada level makro (Wibowo and
Alfen 2014).
Setelah mengalami kolaps berkepanjangan pascakrisis moneter 1997/8, Pemerintah sejak 2004 terus berusaha
menciptakan iklim investasi yang lebih baik melalui paket-paket kebijakan di berbagai sektor infrastruktur (lihat
detail dalam Wibowo and Permana 2016). Dari aspek regulasi, KPBU/KPS diatur dalam Peraturan Presiden
(Perpres) No. 67 tahun 2005 yang telah sempat diamendemen sampai tiga kali dan kemudian digantikan dengan
Perpres 38 tahun 2015 yang berlaku sampai sekarang. Upaya-upaya ini setidaknya memerlihatkan Pemerintah
berkomitmen dan berkepentingan dengan semakin berkembangnya KPBU/KPS pada proyek-proyek infrastruktur

yang ditawarkan (solicited) atau atas prakarsa badan usaha (non-solicited).
Yang terkini adalah penerbitan Perpres No. 3 tahun 2016 dan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 2016 tentang
percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang di dalamnya termasuk lebih dari 220 proyek
infrastruktur, baik yang sifatnya cost recovery maupun non-cost recovery, KPBU/KPS maupun non-KPBU/KPS.
Dalam Perpres dan Inpres ini, Pemerintah memberikan dukungan perizinan dan non-perizinan. Berikut ini akan
disampaikan beberapa bentuk dukungan yang telah diberikan Pemerintah sebelum Perpres dan Inpres tersebut
diterbitkan.

Penjaminan infrastruktur
Salah satu bentuk dukungan yang diberikan Pemerintah untuk proyek infrastruktur yang diimplementasikan
menggunakan skema KPBU/KPS adalah penjaminan infrastruktur. Penjaminan dikategorikan sebagai dukungan
kontijen mengingat kewajiban pembayaran Pemerintah kepada pihak yang dijamin tergantung pada terjadi atau
tidaknya kejadian yang dijamin (Irwin 2007).
Secara teoretis dapat dibuktikan bahwa penjaminan dapat menurunkan biaya modal (cost of capital) dan
meningkatkan return on equity (lihat Wibowo 2006a, 2007). Dampak positif terhadap kelayakan ini dimungkinkan
karena risiko investasi tereduksi sementara ekspektasi cash flows akan meningkat (Wibowo 2010a). Pada tataran
praktis, penjaminan seharusnya dapat meningkatkan creditworthiness proyek. Pihak kreditor akan merasa lebih
nyaman saat Pemerintah menjamin pembayaran utang yang harus dilakukan debitor (i.e. badan usaha) jika proyek
infrastruktur mengalami kesulitan keuangan.
Penjaminan akan lebih bernilai jika proyek infrastruktur didanai utang dengan model project finance atau nonrecourse finance meski–sependek pengetahuan Penulis–belum ada proyek infrastruktur yang menggunakan model

ini. Dalam beberapa kasus, penjaminan malahan bukan sebagai sweetener semata, melainkan deal breaker yaitu

ISBN: 978-602-60286-0-0

3

penjaminan harus ada sebagai bagian dari transaksi. Ini terjadi saat risiko yang dihadapi oleh badan usaha dan/atau
kreditor sangat tinggi sehingga membutuhkan penjaminan dari pemerintah.
Pemberian penjaminan infrastruktur bukan suatu yang baru di Indonesia. Dukungan ini telah setidaknya sudah
diberikan sejak awal tahun 1990 untuk sektor listrik dalam bentuk support letter oleh Menteri Keuangan. Lingkup
penjaminan generasi pertama ini bersifat menyeluruh ( blanket guarantee) yang tentu saja menimbulkan risiko fiskal
yang terlalu besar bagi Pemerintah. Dalam perkembangannya, lingkup penjaminan dirasionalisasi yaitu jaminan atas
pembayaran cicilan utang bila Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami gagal bayar. Penjaminan ini
diberlakukan untuk program percepatan penyediaan listrik 10.000 MW tahap pertama.
Pada generasi penjaminan berikutnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 38 tahun
2006 yang mendefinisikan secara lebih tegas ruang lingkup penjaminan untuk menjaga keberlanjutan fiskal. Dalam
peraturan ini risiko yang bisa dijamin Pemerintah adalah risiko politik, risiko kinerja (i.e. risiko lahan, risiko
operasional) dan risiko permintaan.
Proyek Jakarta Monorail (JM) seyogyanya menjadi kandidat proyek infrastruktur yang akan dijamin menggunakan
peraturan ini. Jaminan yang akan diberikan adalah jumlah penumpang minimum, 160.000 per hari : jika jumlah

penumpang di bawah jumlah tersebut, kekurangannya akan dibayar oleh Pemerintah. Selama lima tahun, JM
meminta jaminan maksimum $22,5 juta per tahun jika terjadi kekurangan penumpang (“PT Jakarta Monorail
bersikeras minta jaminan pemerintah” 2006). Menggunakan teori opsi, Wibowo (2006) memerkirakan kewajiban
yang harus dibayar pada tahun pertama JM beroperasi bisa mencapai $10,4 juta ($1 = Rp9.200 pada tahun 2006).
Faktanya, proyek ini tidak pernah terealisasi sampai sekarang dan PMK 38/2006 praktis tidak pernah digunakan.
Lingkup penjaminan menjadi lebih terbatas pada risiko politik saja saat Pemerintah menerbitkan Perpres No. 78
tahun 2010 dan PMK No. 260 tahun 2010 sebagai petunjuk pelaksanaannya, menggantikan PMK 38/2006. Dalam
kedua peraturan ini disebutkan risiko infrastruktur yang dapat dijamin adalah risiko yang diakibatkan: (i) tindakan
atau tiadanya tindakan PJPK atau pemerintah selain PJPK, (ii) kebijakan PJPK atau pemerintah selain PJPK, (iii)
keputusan sepihak oleh PJPK atau pemerintah selain PJPK, dan (iv) ketidakmampuan PJPK melaksanakan
kewajiban yang ditentukan kepadanya oleh badan usaha dalam perjanjian kerjasama.
Dalam Perpres 78/2010 juga dinyatakan bahwa dalam program penjaminan infrastruktur di Indonesia berlaku
single-window policy yang mana seluruh penjaminan akan diberikan oleh badan usaha penjaminan infrastruktur
(BUPI). Yang ditunjuk sebagai BUPI saat ini adalah PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), sebuah BUMN
yang 100 % sahamnya dimiliki oleh Pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Tabel 1 memerlihatkan
perkembangan bentuk-bentuk penjaminan infrastruktur dari masa ke masa sampai saat ini.
Tabel 1. Perkembangan pemberian jaminan di Indonesia (Roesly 2012)
Karakteristik
Support Letter


Bentuk Penjaminan
Confirmation
Letter of
Note
Guarantee
Mid 2000
2009
( Cirebon)
10.000 MW
FTC I
Listrik
Listrik

2011–sekarang

Kreditor China

PT PII sebagai BUPI

45 hari


Periode/proyek

Awal 1990
27 IPP

Sektor yang
dijamin
Penerima jaminan

Listrik

Penjamin

Menteri
Keuangan
Blanket

Kreditor (JBIC)
Penjamin (NEXI)

Menteri
Keuangan
Blanket

Tidak disebutkan

Tidak disebutkan

Lingkup
penjaminan

Ketentuan
pembayaran klaim

Badan usaha

ISBN: 978-602-60286-0-0

Menteri
Keuangan

Cicilan
(pokok dan
bunga)

Penjaminan Infrastruktur

Termasuk dalam Perpres
38/2015
Badan usaha

Kewajiban finansial
PJPK sebagaimana
tercantum dalam
Pernjanjian Kerjasama
Kejelasan jumlah hari
pada setiap pembayaran,
baik pembayaran
bulanan maupun
terminasi
Mekanisme klaim dan
pembayarannya terinci

4

Satu isu yang menarik untuk didiskusikan adalah dengan demikian pemberian jaminan atas risiko permintaan tidak
dimungkinkan lagi untuk terutama proyek-proyek infrastruktur yang bersifat ritel (e.g. jalan tol, kereta api) karena
jaminan tersebut memang tidak pernah disebutkan secara eksplisit sebagaimana PMK 38/2006. Yang jelas, risiko
permintaan tidak sepenuhnya berada di bawah kendali Pemerintah (e.g. volume lalu lintas). Salah satu interpretasi
yang muncul adalah bukan permintaan yang dijamin oleh Pemerintah melainkan janji Pemerintah yang menjamin
permintaan. Bila Pemerintah melanggar kesepakatan membayar badan usaha akibat permintaan tidak sesuai dengan
yang dijanjikan, jaminan yang diberikan akan diklaim (called).
Di beberapa negara, jaminan permintaan minimum telah dipraktikkan biasanya untuk proyek-proyek transportasi
seperti di Chile (Gomes-Lobo and Hinojosa 2000; Sfakianakis and van de Laar 2013), Kolumbia, Korea, Spanyol
(Shan et al. 2010), Brazil (Brandao et al. 2012). Bentuk kompensasi jika klaim terjadi pun beragam, seperti
perpanjangan masa konsesi, pembayaran tunai, atau pembayaran tunai disertai dengan mekanisme clawback yaitu
ada sharing kepada pemerintah jika permintaan melebihi batas atas yang disepakati bersama (Fisher and Babbar
1996).
Tidak semua negara memiliki kisah sukses dengan program penjaminan permintaan. Bila Chile bisa dianggap
negara yang berhasil mengelola kewajiban kontijensinya, Korea secara gradual mengurangi level penjaminan dari
tahun ke tahun dan mulai 2009 program penjaminan permintaan minimum resmi dihapus dan digantikan dengan
skema build-transfer-lease (lihat Tabel 2). Alasannya, jaminan permintaan menciptakan moral hazard oleh badan
usaha dengan memberikan insentif kepada mereka untuk overestimasi permintaan dan dukungan ini dianggap
berlebihan karena badan usaha sebenarnya juga sudah menikmati rate of return tinggi (Park 2012).
Tabel 2. Perkembangan pemberian jaminan pendapatan minimum di Korea (Park 2012)

Durasi jaminan
Maksimum level
yang dijamin

Januari 1999
Solicited
Unsolicited
Selama masa operasi
90 %
80 %

Syarat

Tidak ada

Mei 2003
15 tahun
 5 tahun I
90 %
 5 tahun II
80 %
 5 tahun III
70 %
Jaminan tidak
berlaku jika
pendapatan
aktual < 50 %
dari perkiraan
pendapatan

Januari 2006
Solicited
Unsolicited
10 tahun
Dihapuskan
 5 tahun I
75 %
 5 tahun II
65 %

Oktober
2009
Dihapuskan

Jaminan tidak
berlaku jika
pendapatan
aktual < 50 %
dari perkiraan
pendapatan

Di Indonesia, sejauh ini memang belum ada PJPK yang memberikan janji untuk memberikan kompensasi jika
permintaan realisasi di bawah permintaan yang disepakati dalam perjanjian. Yang mulai marak adalah pemberian
jaminan atas risiko politik, terutama menyangkut pembebasan lahan, penetapan tarif, dan gagal bayar PJPK. Yang
fenomenal dan menjadi proyek infrastruktur pertama yang dijamin PII adalah proyek pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) di Batang (Jawa Tengah) yang bernilai lebih dari Rp40 trilyun. Selanjutnya jaminan yang diberikan PII untu
infrastruktur PUPR meliputi proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur, SPAM
Semarang Barat, SPAM Bandar Lampung, Jalan Tol Pandaan–Malang, Jalan Tol Batang–Semarang, Jalan Tol
Manado–Bitung, dan Jalan Tol Balikpapan– Samarinda (iigf.co.id, diakses tanggal 8 Oktober 2016).

Dukungan kelayakan
Salah satu prasyarat suatu proyek infrastruktur dapat di-KPBU-kan adalah proyek tersebut harus layak secara
finansial. Faktanya, tidak semuanya proyek infrastruktur yang menggunakan prinsip pengguna membayar (userspay principle) memenuhi kriteria ini. Ketidaklayakan bisa diakibatkan rendahnya tarif yang bisa dikenakan kepada
pengguna atau rendahnya permintaan sehingga pendapatan yang akan diperoleh diperhitungkan tidak mampu
menutup biaya investasi (capital expenditures, CAPEX), biaya operasi dan pemeliharaan, biaya modal, dan
keuntungan yang wajar. Namun, proyek-proyek ini tidak serta-merta harus dibiayai dengan APBN/D. Pemerintah
memiliki beberapa mekanisme dukungan fiskal untuk membuat proyek yang tidak layak menjadi layak finansial.

ISBN: 978-602-60286-0-0

5

Viability gap funding
Viability gap funding (VGF; dukungan kelayakan) merupakan instrumen dukungan fiskal berupa hibah untuk
membiayai sebagian biaya konstruksi proyek KPBU/KPS yang nilai totalnya setidaknya Rp100 milyar. Dengan
biaya konstruksi yang direduksi, tarif menjadi terjangkau (i.e. tidak melebihi kesediaan/kemampuan membayar
calon pengguna) dan/atau meningkatkan internal rate of return (IRR) proyek sehingga sama atau lebih tinggi dari
minimum attractive rate of return (MARR; lihat Gambar 1).
IRR >= MARR

MARR

Net operating revenues

MARR

Cash Flows

Rate of Return

Rate of Return

IRR

Net operating revenues

CAPEX
oleh BU

CAPEX
VGF

Tariff

Net operating revenues

Net operating revenues
WTP/ATP

WTP/ATP

Tariff < WTP/ATP
Tariff

Tariff

CAPEX
oleh BU

CAPEX
VGF

Gambar 1. Dampak dukungan kelayakan terhadap kelayakan finansial
Mekanisme pemberian VGF diatur melalui PMK No. 223 tahun 2012 yang diikuti dengan PMK 143 tahun 2013
sebagai panduan pemberian VGF. Besaran VGF bukan tanpa batas yaitu tidak boleh mendominasi biaya konstruksi
proyek kerjasama. Pemberian dukungan ini pun hanya dimungkinkan sebagai last resort setelah seluruh alternatif
yang mungkin (e.g. peningkatan tarif, perpanjangan masa konsesi, perubahan ruang lingkup untuk menurunkan
biaya investasi) tidak mampu meningkatkan kelayakan proyek sebagaimana diharapkan.
Untuk tetap membuat proyek infrastruktur kompetitif, VGF ini digunakan sebagai satu-satunya parameter lelang
yaitu peserta lelang yang menawar VGF terendah yang akan mendapatkan konsesi. Dalam banyak hal, konsep VGF
yang diterapkan di Indonesia ini mirip dengan VGF yang dipraktikkan di India. Perbedaannya, salah satunya,
batasan VGF di mana di India digunakan aturan 20 % + 20 %. Sama dengan di Indonesia, VGF juga digunakan
sebagai parameter lelang namun besarnya tidak boleh melebihi 20 % biaya konstruksi. Hanya jika pemerintah
berpandangan bahwa 20 % tersebut belum memadai untuk membuat proyek layak finansial, penambahan hanya
diizinkan sampai 20 % berikutnya (PPP Cell 2008).
Untuk sektor jalan tol, ruas-ruas yang layak finansial akan di-KPBU-kan dengan model Build, Operate, Transfer
(BOT) sementara ruas-ruas yang tidak layak akan didukung dengan VGF dengan model supported BOT (SBOT).
Untuk sektor air minum, contoh proyek yang berhasil mendapatkan persetujuan VGF dari Kementerian Keuangan
adalah SPAM Bandar Lampung (“Kontrak proyek SPAM Bandar Lampung diteken Maret 2016” 2015) dan SPAM
Umbulan (“Tertunda 43 Tahun, proyek penyediaan air minum umbulan siap dibangun” 2016).
Hibah sebagian konstruksi

Selain dana tunai dalam bentuk VGF, bentuk dukungan kelayakan finansial lain adalah hibah sebagian konstruksi
yang diterapkan untuk sektor jalan tol. Untuk mengurangi biaya investasi badan usaha jalan tol (BUJT), Pemerintah
memberikan hibah fisik dengan membangun sebagian ruas menggunakan APBN, termasuk di dalamnya pinjaman
luar negeri. Selanjutnya, BUJT diberikan konsesi untuk mengoperasikan seluruh ruas jalan tol, baik yang dibangun
oleh Pemerintah maupun BUJT. Beberapa contoh meliputi proyek jalan tol Cileunyi–Sumedang–Dawuan, Manado–
Bitung, Balikpapan–Samarinda, dan Ngawi–Kertosono (Badan Pengatur Jalan Tol 2015).
Salah satu isu utama yang dihadapi jika akan digunakan instrumen ini adalah tingginya interface risk antara ruas
yang dibangun BUJT dan ruas yang dibangun Pemerintah. Contoh, jika terjadi keterlambatan konstruksi oleh salah
satu pihak, ruas tersebut otomatis tidak mampu beroperasi atau setidaknya beroperasi secara optimal. Kembali

ISBN: 978-602-60286-0-0

6

dengan skema penjaminan yang telah didiskusikan sebelumnya, BUJT bisa saja meminta jaminan Pemerintah untuk
memitigasi interface risk ini.
Dana talangan tanah dan land capping

Tanah menjadi salah satu kendala paling signifikan dalam pembangunan infrastruktur. Bila ditinjau dari prinsip
alokasi risiko yang efisien, risiko lahan seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah, bukan badan usaha. Praktik
memerlihatkan bahwa transfer risiko pengadaan tanah kepada badan usaha berdampak negatif bagi keberlangsungan
proyek itu sendiri. Proses pengadaan menjadi berlarut-larut dan hal ini justru semakin mendongkrak harga tanah
terus meningkat. Pengalaman masa lalu menunjukkan banyak proyek infrastruktur yang akhirnya mangkrak karena
tanah tidak berhasil disediakan. Karenanya dalam Perpres 38/2015 diatur bahwa pengadaan tanah untuk KPBU/KPS
diselenggarakan oleh Pemerintah dan badan usaha dapat membayar kembali sebagian atau seluruh biaya pengadaan
tanah saat proyek KPBU/KPS diperhitungkan layak finansial. Dengan demikian seluruh risiko dan ketidakpastian
berkaitan dengan pengadaan tanah menjadi tanggung jawab Pemerintah sepenuhnya.
Sebelum Perpres 38/2015 diterbitkan, Pemerintah juga sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen)
Pekerjaan Umum No. 4 tahun 2007 yang telah diamendemen sampai dua kali, terakhir Permen PU No. 23 tahun
2014 tentang dana bergulir untuk pengadaan tanah jalan tol. Menyadari bahwa risiko tanah sangat tinggi di
Indonesia, pihak kreditor kerap kali enggan mencairkan pinjamannya kepada BUJT sebelum persoalan dengan tanah
selesai. Di sisi lain, di beberapa ruas jalan tol (e.g. ruas tol dalam kota), kebutuhan biaya tanah pengadaaan jalan tol
sangat tinggi yang tidak memungkinkan tertutup oleh ekuitas BUJT.
Sehubungan dengan hal di atas, Pemerintah memberikan dana talangan yang sifatnya bergulir (revolving fund ).
Dengan dana talangan ini, satu atau lebih seksi jalan tol tanahnya dapat dibebaskan, konstruksi dapat dilaksanakan
dan selanjutnya jalan tol dapat dioperasikan. Penghasilan yang diperoleh dari pengoperasian satu atau lebih seksi
tersebut digunakan untuk membayar kembali dana talangan yang disediakan Pemerintah, berikut dengan bunga dan
biaya administrasi sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Layanan Dana Bergulir. Sampai saat ini skema dana
talangan masih akan terus dilaksanakan dan ke depannya Lembaga Manajemen Aset Negara yang akan mengelola
dana talangan ini.
Selain dana talangan, Pemerintah juga pernah memberikan instrumen land capping untuk melindungi BUJT dari
risiko kenaikan harga tanah yang berlebihan. Pemerintah menerbitkan Permen PU No. 12 tahun 2008 yang
menetapkan bahwa batas biaya pengadaan tanah yang menjadi risiko BUJT adalah yang tertinggi antara 110% dari
biaya pengadaan dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dan 100% dari biaya pengadaan tanah dalam PPJT
ditambah 2% dari biaya investasi dalam PPJT. Selisih antara biaya realisasi dan biaya yang menjadi tanggung jawab
BUJT akan ditanggung oleh Pemerintah sampai batas tertentu (baca selengkapnya dalam Wibowo 2010b). Karena
risiko pengadaan tanah ini saat ini sudah ditanggung Pemerintah, instrumen land capping dengan sendirinya tidak
lagi relevan.

3.

INOVASI SKEMA PEMBIAYAAN

Setidaknya dalam lima tahun terakhir ini, banyak inovasi pembiayaan infrastruktur yang terus diciptakan. Ada dua
alasan yang mendorong tumbuhnya inovasi ini. Pertama, dukungan Pemerintah tidak selama sesuai dengan
karakteristik proyek KPBU/KPS atau membantu meningkatkan kelayakan finansial proyek sampai batas yang
diinginkan, contoh VGF. Dengan batasan VGF tidak boleh mendominasi (i.e. tidak melebihi 50 %) biaya konstruksi,
tidak semua proyek infrastruktur yang tidak layak finansial dapat didukung dengan instrumen ini. Kedua,
keterbatasan fiskal Pemerintah juga terus terbatas, contoh hibah sebagian konstruksi. Pada praktiknya Pemerintah
juga kerap mengalami kesulitan pembiayaan memberikan hibah fisik dengan membangunkan sebagian konstruksi
jalan tol melalui APBN/D. Berikut ini disampaikan beberapa skema pembiayaan yang relatif baru untuk diterapkan
atau bahkan sudah diaplikasikan.
Availability payment (ketersediaan layanan )

Pemerintah menginisiasi skema pembiayaan baru yang disebut availability payment (AP; ketersediaan layanan).
Dalam Perpres 38/2015, skema ini didefinisikan sebagai pembayaran secara berkala oleh PJPK kepada badan usaha
atas tersedianya layanan infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam
perjanjian kerjasama. Secara lebih detail, skema ini diatur dalam PMK No. 190 tahun 2015.
Dengan skema AP ini, badan usaha diwajibkan untuk membangun fasilitas infrastruktur dengan menanggung
seluruh biaya investasi dan risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian kerjasama. Selanjutnya pembayaran berkala
oleh PJPK kepada badan usaha terjadi pada masa operasi sepanjang kualitas layanan sesuai dengan yang disepakati
bersama. Dengan demikian, badan usaha harus memastikan bahwa seluruh aset infrastrukturnya dapat beroperasi

ISBN: 978-602-60286-0-0

7

secara optimal karena jika tidak, tidak akan terjadi pembayaran oleh PJPK terlepas dari tingginya biaya investasi
yang sudah dikeluarkan.
Skema AP sesuai tidak saja untuk proyek-proyek infrastruktur sosial melainkan juga infrastruktur ekonomi. Namun
berbeda dengan VGF yang hanya berlaku untuk proyek-proyek infrastruktur yang menerapkan prinsip pengguna
membayar, AP justru hanya bisa diterapkan untuk proyek infrastruktur yang tidak menerapkan prinsip ini; artinya
tidak ada pembayaran yang dilakukan oleh pengguna layanan. Pemerintah tentu dapat mengambil dua manfaat yang
besar dengan skema ini. Pertama, Pemerintah mendapatkan kualitas layanan yang prima dari badan usaha bagi
masyarakat dan, kedua, tidak ada penundaan realisasi proyek-proyek infrastruktur dan masyarakat dapat menikmati
layanan lebih cepat karena dana disediakan terlebih dahulu oleh badan usaha. Proyek telekomunikasi Palapa Ring,
salah satu PSN, merupakan proyek KPBU/KPS pertama yang mendapatkan pembayaran menggunakan AP ini.
Untuk proyek-proyek infrastruktur lainnya, skema ini juga akan diujicobakan. Di sektor jalan tol, misal, Badan
Pengatur Jalan Tol (BPJT) selaku PJPK jalan tol nasional memprakarasi skema yang disebut Performance-Based
Annuity Scheme (PBAS) yang secara prinsip hampir sama dengan AP yaitu BUJT harus membangun terlebih dahulu
jalan tol dengan biayanya sendiri dan mendapatkan pembayaran secara berkala dari Pemerintah. Yang belum jelas
sampai saat ini adalah aturan implementasinya mengingat industri jalan tol nasional menggunakan prinsip pengguna
membayar.
Dana talangan badan usaha

Badan Pengatur Jalan Tol saat ini sedang mengeksaminasi kemungkinan skema BUJT menalangi terlebih dahulu
biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun sebagian ruas jalan tol yang menjadi tanggung jawab Pemerintah
sebagai hibah sebagian konstruksi. Panjang jalan yang dibangun oleh calon BUJT, termasuk yang menjadi porsi
Pemerintah, dipertimbangkan menjadi parameter lelang untuk menentukan pemegang konsesi jalan tol tersebut. Dua
proyek jalan tol yang sempat diwacanakan akan menggunakan skema ini adalah proyek Semarang–Demak dan
Probolinggo–Banyuwangi (“BPJT buka prakualifikasi dua ruas” 2016). Sejauh ini, belum ada keputusan mengenai
implementasi skema ini.
Penugasan badan usaha milik negara

Dalam Pepres 38/2015 yang dimaksud dengan badan usaha adalah BUMN, badan usaha milik daerah (BUMD),
badan usaha milik swasta (BUMS), badan hukum asing, dan koperasi. Untuk proyek-proyek infastruktur yang layak
ekonomi namun tidak layak finansial, Pemerintah bisa secara khusus menugaskan BUMN untuk membantu
percepatan pembangunannya, contoh penugasan PT Hutama Karya untuk pembangunan jalan tol di Sumatera
melalui Perpres No. 100 tahun 2014 yang kemudian diubah dalam Perpres No.117 tahun 2015.
Skema penugasan BUMN sebenarnya bukan merupakan skema yang baru. Skema ini bahkan sudah dilaksanakan
sekitar tahun 1990-an saat beberapa BUMN selain sebagai badan usaha juga ditunjuk sebagai regulator sektor [e.g.
PT Jasa Marga (JM) di sektor jalan tol]. Namun demikian, format penugasan yang ada saat ini berbeda dengan yang
terdahulu, contoh untuk sektor jalan tol. Sebelum Undang-Undang No. 38 tahun 2004 diterbitkan, PT JM adalah
badan usaha yang diberikan wewenang menyelenggarakan jalan tol nasional, baik yang layak maupun tidak layak
finansial.
Isu yang relevan : value for money

Perkembangan model KPBU/KPS dari tahun ke tahun meski menunjukkan tren membaik namun juga menyisakan
beberapa isu yang harus diselesaikan. Persoalan keputusan memilih KPBU atau non-KPBU untuk proyek-proyek
infrastruktur bisa dijawab hanya dengan menentukan apakah proyek yang bersangkutan layak atau tidak layak
secara finansial. Untuk kategori pertama, KPBU/KPS dapat menjadi opsi utama namun untuk kategori kedua,
masalah tidak lagi sederhana.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Pemerintah memiliki beragam skema pembiayaan untuk proyek-proyek
infrastruktur yang tidak layak finansial (e.g. hibah sebagian konstruksi, VGF, PBAS, penugasan BUMN). Di
beberapa negara yang sudah matang dengan konsep KPS-nya, pemilihan KPS atau non-KPS tidak semata-mata
didorong oleh alasan keterbatasan fiskal namun juga efisiensi : mana modalitas yang memberikan nilai manfaat
uang (value for money; VfM) terbaik (Grimsey and Lewis 2005). Per definisi, VFM merupakan kombinasi yang
optimal antara biaya selama siklus hidup (whole-life-cost) dan kualitas dari barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan pengguna (HM Treasury 2006). VfM bukanlah pilihan barang dan jasa berdasarkan tawaran biaya
terendah (Ballingall 2013).
Dalam Perpres 38/2015 juga ditegaskan bahwa dalam identifikasi penyediaan infrastruktur harus dilakukan, salah
satunya, analisis VfM. Namun demikian, operasionalisasi VfM untuk konteks Indonesia masih dirasa belum jelas

ISBN: 978-602-60286-0-0

8

dan pemahamannya pun masih beragam. Beberapa instansi sudah mulai merumuskan model asesmen VfM (e.g.
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas) namun sosialisasinya masih sangat terbatas.
Di beberapa negara, analisis VfM dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif
dilakukan untuk menentukan apakah proyek infrastruktur layak untuk di-KPS-kan sementara pendekatan kuantitatif
untuk menentukan apakah skema KPS memberikan VfM lebih baik dibandingkan skema-skema lainnya. Public
Sector Comparator (PSC) biasanya digunakan sebagai acuan untuk menentukan apakah VfM yang ditawarkan oleh
calon badan usaha lebih baik atau tidak dibandingkan VfM dari pengadaaan tradisional oleh pemerintah ( public
procurement). Masalahnya, perhitungan PSC membutuhkan kemampuan analisis risiko yang memadai karena
seluruh risiko yang teridentifikasi akan dihitung biayanya. Ini yang menjadi kendala di beberapa negara, termasuk
Indonesia.

4.

RANAH RISET KE DEPAN

Dalam bidang teknik sipil, khususnya manajemen konstruksi, KBPU/KPS dalam penyelenggaraan infrastruktur
telah menjadi bidang kajian yang menarik minat akademisi dan peneliti (Ke et al. 2009; Pietroforte et al. 2005).
Yang terkini adalah studi bibliometrik yang dilakukan de Castro e Silva Neto et al. (2016) yang menganalisis
perkembangan riset KPS selama 25 tahun terakhir. Di Indonesia telah dilakukan beberapa kajian KPBU/KPS
dengan ranah riset yang masih terbatas. Banyak isu strategis yang belum dikaji secara akademis dan berikut ini akan
dipresentasikan sebagian kecil di antaranya :
Pertama, menentukan MARR. Penentuan MARR menjadi salah satu tahapan penting dalam analisis kelayakan
finansial proyek infrastruktur. Secara teoretis, MARR seharusnya bersifat spesifik proyek dan spesifik sektor serta
tergantung pada profil risiko investasi : semakin tinggi risiko, semakin tinggi MARR. Sebagaimana dipahami,
weighted average cost of capital (WACC) ternyata tidak cukup untuk mendefinisikan MARR karena praktik
menunjukkan MARR yang diminta kerap kali lebih tinggi dari WACC.
Sebagai contoh, WACC sebelum pajak untuk sektor jalan tol diperkirakan sebesar 13,4 % dengan asumsi biaya
modal utang = 12%, biaya modal ekuitas = 16,67 % (yang dihitung menggunakan Capital Asset Pricing Model
dengan  = 0,99 dan market risk premium = 7.5 %; Wibowo 2006c, dan tingkat bunga tanpa risiko = 9 %), dan
debt-to-equity ratio = 70/30. Faktanya, MARR di sektor jalan tol diperkirakan sekitar 4 % di atas suku bunga
pinjaman sehingga MARR = 16%. Sejauh ini belum ada riset yang secara spesifik didedikasikan untuk mengkaji
faktor-faktor yang bisa menjelaskan perbedaan MARR dan WACC. Riset ini signifikan karena hasilnya dapat
diaplikasikan pada skala yang lebih luas (e.g. perkiraan VGF).
Kedua, menghitung dampak penjaminan dan kewajiban kontijensi (contingent liabilities) pemerintah atas jaminan
yang diberikan kepada badan usaha. Kajian tentang keduanya sebenarnya telah banyak dilakukan dalam riset-riset
internasional (e.g., Ashuri and Kashani 2011; Park et al. 2012; Sun and Zhang 2015) namun masih sangat terbatas di
Indonesia. Penulis sendiri (e.g Wibowo 2004; Wibowo et al. 2012) telah melakukan kajian pada ranah yang sama
namun konteks yang didiskusikan berbeda dengan konteks yang terjadi saat ini. Sebagaimana telah didiskusikan,
saat ini Pemerintah secara eksplisit hanya akan menjamin risiko politik. Sejauh mana jaminan risiko politik yang
diberikan Pemerintah efektif menurunkan cost of capital dan berapa besar ekspektasi pembayaran oleh Pemerintah
belum pernah dikaji secara mendalam.
Ketiga, metodologi mengases VfM. Indonesia Infrastructure Guarantee Fund Institute (2015) pernah melakukan
kajian mengembangkan metodologi asesmen kualitatif VfM dan saat ini sedang mengembangkan asesmen
kuantitatif VfM untuk sektor SPAM. Riset-riset serupa dari perguruan tinggi dan lembaga litbang sangat dibutuhkan
untuk saling melengkapi dan memerkaya sehingga mampu dihasilkan metodologi asesmen VfM kuantitatif yang pas
untuk kondisi Indonesia. Pendekatan PSC merupakan salah satu opsi namun apakah PSC ini juga pas untuk
Indonesia masih bisa didebatkan mengingat banyak kritik atas PSC ini (e.g. Grimsey and Lewis 2005; Leigland
2006). Dengan metodologi yang baik, calon PJPK dapat menentukan skema pembiayaan yang menawarkan VfM
terbaik dan dengan demikian proses pengambilan keputusan lebih transparan dan akuntabel.

5.

KESIMPULAN

Berikut ini disampaikan beberapa kesimpulan dari pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya :
a.

Pemerintah berkomitmen dan terus mendorong partisipasi badan usaha, khususnya BUMS, dalam
penyelenggaraan infrastruktur melalui skema KPBU/KPS.

b.

Komitmen Pemerintah dimanifestasikan dalam paket-paket kebijakan infrastruktur untuk menciptakan iklim
yang lebih kondusif bagi badan usaha untuk dapat berinvestasi di sektor infrastruktur yang memiliki sifat dan
karakteristik yang spesifik.

ISBN: 978-602-60286-0-0

9

c.

Pemerintah telah menyediakan berbagai instrumen dukungan baik yang sifatnya kontijen (e.g. penjaminan
infrastruktur) maupun non-kontijen (e.g. VGF, hibah sebagian konstruksi) dan menginisiasi skema-skema
pembiayaan inovatif (e.g. AP, PBAS).

d.

Masih ada isu yang relevan terkait dengan efisiensi yaitu VfM dan isu ini menjadi salah satu ranah riset yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut di samping isu-isu lainnya seperti penentuan MARR, evaluasi dampak dan
analisis kewajiban kontijensi dari penjaminan Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Ameyaw, E. E., and Chan, A. P. C. (2016). “Critical success factors for public-private partnership in water supply
projects.” Facilities, 34(3/4), 124–160.
Ashuri, B., and Kashani, H. (2011). “Risk-neutral pricing approach for evaluating BOT highway projects with
government minimum revenue guarantee options.” Journal of Construction Engineering and Management,
138(4), 545–557.
Babatunde, S. O., Opawole, A., and Akinsiku, O. M. (2012). “Critical success factors in public private partnership
(PPP) on infrastructure delivery in Nigeria.” Journal of Facilities Management, 10(3), 212–225.
Badan Pengatur Jalan Tol. (2015). “Pengusahaan jalan tol.” Presentasi pada Forum Monitoring dan Evaluasi
Direktorat Bina Investasi Infrastruktur 5 Desember 2015 (tidak dipublikasikan), Jakarta.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. (2015a). “Prioritas Pembangunan Infrastruktur Nasional 2016.”
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. (2015b). Public Private Partnerships Infrastructure Project Plans
in Indonesia 2015 . Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Ballingall, J. (2013). “Value for money in PPP projects: the UK experience and lessons learnt.”
(Sep. 1, 2015).
“BPJT buka prakualifikasi dua ruas.” (2016). 1 September 2016, (Oct. 8, 2016).
Brandao, L., Bastian-Pinto, C., Gomes, L. L., and Labes, M. (2012). “Government supports in PPP contracts: the
case of the metro line 4 of the São Paulo Subway System.” Journal of Infrastructure Systems, 18(3), 218–225.
Calderon, C., and Serven, S. (2004). The effects of infrastructure development on growth and income distribution .
Policy Research Working Papers, Washington, D.C.
de Castro e Silva Neto, D., Cruz, C. O., Rodrigues, F., and Silva, P. (2016). “Bibliometric analysis of PPP and PFI
literature: overview of 25 years of research.” Journal of Construction Engineering and Management , 142(10),
6016002.
Fisher, G., and Babbar, S. (1996). Private financing of toll roads. RMC Discussion Paper Series, Washington, D.C.
Gomes-Lobo, A., and Hinojosa, S. (2000). Broad roads in a thin country: infrastructure concessions in Chile .
ECSIN Working Paper, Washington, D.C.
Grimsey, D., and Lewis, M. K. (2005). “Are public private partnerships value for money? evaluating alternative
approaches and comparing academic and practitioner views.” Accounting Forum, 29(4), 345–378.
HM Treasury. (2006). Value for money assessment guidance . HM Treasury, London.
Indonesia Infrastructure Guarantee Fund Institute. (2015). “Model asesmen kualitatif value for money bagi
penyelenggaraan infrastruktur publik.” Laporan (belum dipublikasikan), Indonesia Infrastructure Guarantee
Fund Institute, Jakarta.
Irwin, T. (2007). Government guarantees: allocating and valuing risk in privately financed infrastructure projects .
World Bank, Washington, D.C.
Jacobson, C., and Choi, S. O. (2008). “Success factors: public works and public private partnerships.” International
Journal of Public Sector Management, 21(6), 637–657.
Ke, Y., Wang, S., Chan, A. P., and Cheung, E. (2009). “Research trend of public-private partnership in construction
journals.” Journal of Construction Engineering and Management , 135(10), 1076–1086.
“Kontrak proyek SPAM Bandar Lampung diteken Maret 2016.” (2015). .
Kwofie, T. E., Afram, S., and Botchway, E. (2014). “A critical success model for PPP public housing delivery in
Ghana.” Built Environment Project and Asset Management , 6(1), 58–73.
Leigland, J. (2006). Is the public sector comparator right for developing countries? appraising public-private
projects in infrastructure. Gridlines, Washington, D.C.
“Menkeu : PPP ide yang bagus tetapi sulit diimplementasikan.” (2015). (Oct. 7, 2016).
Park, H. (2012). “Government supports for PPP projects in Korea.” (Oct. 8, 2016).
Park, T., Kim, B., and Kim, H. (2012). “Real option approach to sharing privatization risk in underground

ISBN: 978-602-60286-0-0

10

infrastructures.” Journal of Construction Engineering and Management , 139(6), 685–693.
Pietroforte, R., Asce, A. M., and Aboulezz, M. A. (2005). “ASCE Journal of Management in Engineering : review
of the years 1985 – 2002.” Journal of Management in Engineering , 21(3), 125–131.
PPP Cell. (2008). Scheme and Guidelines for Financial Support to Public Private Partnerships in Infrastructure .
Department of Economif Affairs Ministry of Finance, New Delhi.
“PT Jakarta Monorail bersikeras minta jaminan pemerintah.” (2006). (Oct. 7, 2016).
Roesly, S. (2012). “The role of Indonesia infrastructure guarantee fund for PPP projects development in Indonesia.”
< http://www.unece.org:8080/fileadmin/DAM/ceci/documents/2012/ppp/ppp_days/Day1/Roesly.pptx.> (Oct.
7, 2016).
Sader, F. (2000). Attracting Foreign Direct Investment Into Infrastructure : Why is it so difficult ? World Bank,
Washington, D.C.
Schwab, K. (2016). The Global Competitiveness Report 2016-2017. World Economic Forum, Geneve.
Sfakianakis, E., and van de Laar, M. (2013). “Fiscal effects and public risk in public-private partnerships.” Built
Environment Project and Asset Management , 3(2), 181–198.
Shan, L., Garvin, M. J., and Kumar, R. (2010). “Collar options to manage revenue risks in real toll public-private
partnership transportation projects.” Construction Management and Economics , 28(10), 1057–1069.
Sun, Y., and Zhang, L. (2015). “Balancing public and private stakeholder interests in BOT concessions: minimum
revenue guarantee and royalty scheme applied to a water treatment project in China.” Journal of Construction
Engineering and Management, 141(2), 4014070.
“Tertunda 43 Tahun, proyek penyediaan air minum umbulan siap dibangun.” (2016). (Oct. 8, 2016).
Wibowo, A. (2004). “Valuing guarantees in a BOT infrastructure project.” Engineering, Construction and
Architectural Management, 11(6), 395–403.
Wibowo, A. (2006a). “CAPM-based valuation of financial government supports to infeasible and risky private
infrastructure projects.” Journal of Construction Engineering and Management , 132(3), 238–248.
Wibowo, A. (2006b). “Menghitung kewajiban kontingensi pemerintah dalam pembagian risiko permintaan untuk
penyediaan infrastruktur.” 1st. Indonesian Construction Industry Conference , B. Trigunarsyah, I. Abidin, L. S.
Riantiini, Sudarto, and A. Veronika, eds., Universitas Indonesia, Jakarta, 68–75.
Wibowo, A. (2006c). “Mengukur risiko dan atraktivitas investasi infrastruktur di Indonesia.” Jurnal Teknik Sipil
ITB, 13(3), 123–132.
Wibowo, A. (2007). “Evaluasi dampak finansial garansi pendapatan terhadap kelayakan dan risiko proyek
infrastruktur menggunakan teknik simulasi.” Seminar Nasional Teknik Sipil, D. Utomo, R. Simatupang, and
D. Setiawan, eds., Univesitas Kristen Maranatha, Bandung, 61–74.
Wibowo, A. (2010a). “Mekanisme garansi pemerintah dalam meningkatkan atraktivitas proyek kemitraan
pemerintah swasta (KPS) infrastruktur : garansi permintaan minimum.” Seminar Nasional Teknik Sipil VII,
Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, C11–C20.
Wibowo, A. (2010b). “Instrumen land capping dan kompensasi lainnya terkait pengadaan lahan dalam proyek
pembangunan jalan tol : dampak, isu dan permasalahannya.” Seminar Nasional Teknik Sipil VII , Institut
Teknologi Sepuluh November, Surabaya, C1–C10.
Wibowo, A., and Alfen, H. W. (2014). “Identifying macro-environmental critical success factors and key areas for
improvement to promote public-private partnerships in infrastructure: Indonesia’s perspective.” Engineering,
Construction and Architectural Management , 21(4), 383–402.
Wibowo, A., and Permana, A. (2016). “Defining public-private partnership in infrastructure within the Indonesian
context.” Public–Private Partnerships: A Global Review, A. Akintoye and M. Kumaraswamy, eds.,
Routledge, London, 153–179.
Wibowo, A., Permana, A., Kochendoerfer, B., Kiong, R. T. L., Jacob, D., and Neunzehn, D. (2012). “Modeling
contingent liabilities arising from government guarantees in indonesian BOT/PPP toll roads.” Journal of
Construction Engineering and Management , 138(12), 1403–1410.
World Bank. (1994). World Development Report : Infrastructure for Development. Washington, D.C.

ISBN: 978-602-60286-0-0