FENOMENA PRESIDEN BOLEH DIKRITIK NAMUN T
KEBIJAKAN PUBLIK
PRESIDEN BOLEH DIKRITIK NAMUN TIDAK BOLEH DIHINA
Dosen
Drs. Asmungi
Disusun Oleh
Brilliant Charisma Fadila Afif
27.0410
Bayu Setyo Wibowo
27.
Jane Mien Novita Saday
27.
FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
TAHUN AJARAN 2017/2018
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Langkah pemerintah menghidupkan kembali pasal pelarangan penghinaan
itu hanya akan merusak reputasi pemerintah Jokowi dan, lebih jauh lagi,
membahayakan demokrasi Indonesia dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sekadar untuk menyegarkan ingatan, pasal pelarangan itu semula ada
dalam KUHP yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kehadiran
pasal itu digunakan baik di masa pemerintah Soekarno dan Soeharto untuk
menakut-nakuti mereka yang berani melawan pemerintahan yang sedang
berkuasa.
Pasal itu dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 dengan alasan
bertentangan dengan UUD 1945. Kini dalam usulan RUU KUHP, pemerintah
kembali berusaha menghidupkan pasal pelarangan penghinaan terhadap Presiden
dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Penghinaan tentu harus dibedakan dengan Fitnah. Penghinaan adalah opini
yang merendahkan seseorang; sementara fitnah atau pencemaran nama baik
merujuk pada tuduhan atau pengungkapan fakta yang tidak benar yang merusak
reputasi atau nama baik seseorang.
Dengan kata lain, mengatakan Jokowi adalah pemimpin yang tolol, bodoh, tidak
becus, sama dengan kodok, sekadar petugas partai adalah penghinaan. Tapi
mengatakan Jokowi korup tanpa ada bukti bahwa Jokowi korup, atau Jokowi anak
anggota PKI padahal bukan adalah fitnah atau pencemaran nama baik.
Begitu juga dengan meme yang menggambarkan Jokowi berwajah srigala,
atau kodok, atau kerbau adalah penghinaan. Itu bukan fitnah. Tapi dokumen yang
menuduh Jokowi memiliki rekening uang dalam jumlah besar di bank asing
padahal tidak benar, atau transkrip pembicaraan yang sebenarnya tidak pernah
terjadi atau salinan akte kelahiran palsu yang menunjukkan nama asli Jokowi
adalah nama lain, masuk dalam kategori fitnah.
Dalam negara seperti Indonesia, penghinaan terhadap Presiden sebaiknya tidak
mendapat ancaman pidana karena sejumlah hal.
Pertama, demokrasi membutuhkan warga masyarakat yang bersedia
berbicara terbuka di hadapan para pemimpinnya. Tradisi ini harus terus
dikembangkan. Dalam tradisi ini, memang bisa saja orang mengekspresikan
kemarahan atau ketidaksukaannya dengan cara yang ekstrem. Tapi itu harus
dipahami sebagai bagian (atau ekses) sah dari tradisi kebebasan berekspresi. Bila
kini, para warga masyarakat ini ditakut-takuti untuk bicara, mereka akan
kehilangan keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Bila ini terjadi, yang
rugi adalah bangsa Indonesia.
Kedua, istilah ‘penghinaan’ itu adalah istilah yang dapat ditafsirkan sangat
luas. Sebagai contoh, pernyataan ‘Presiden Jokowi adalah presiden terburuk
dalam sejarah Indonesia’ atau ‘Jokowi sebaiknya mengurus keluarga saja,
daripada mengurus negara’ bisa dengan mudah dinyatakan sebagai ‘penghinaan’.
Ketiga, bila pemerintah diberi otoritas untuk mengatur bentuk ekspresi
kritis masyarakat , ini bisa dimanfaatkan mereka yang berkuasa untuk
memberangus setiap bentuk sikap kritis masyarakat. Indonesia pernah punya
pengalaman panjang seperti ini di masa Orde Lama dan Orde Baru. Dengan
segenap alasan yang seolah nampak luhur, pemerintah membungkam sikap kritis
masyarakat. Pemerintah manapun selalu punya kecenderungan atau potensi untuk
memberangus suara oposisi. Karena itu masyarakat jangan pernah memberi
peluang bagi pemerintah untuk memilki kekuasaan untuk mengatur lalu lalang
opini dan ekspresi masyarakat tentang pemerintah. Yang dilarang adalah
penyiaran kebohongan dan fitnah. Titik.
Keempat,
dengan
merujuk
pada
pengalaman
Indonesia
paca
otoritarianisme, ada cukup bukti bahwa hukum berpotensi dimanipulasi.
Misalnya, pasal ‘pencemaran nama baik’ yang termuat dalam UU Informasi
Transaksi dan Eelektronik digunakan untuk memberangus hak warga untuk bicara
secara kritis. Kasus Prita Mulyasari yang sempat masuk penjara karena mengeritik
perlakuan terhadapnya oleh sebuah Rumah Sakit Swasta adalah bukti kuat
bagaimana sebuah pasal hukum yang semula nampak wajar dapat dimanipulasi
dengan cara sedemikian rupa oleh mereka yang memiliki kekuasaan (dalam hal
ini, kekuasaan ekonomi) untuk menindas rakyat. Hukum di Indonesia dapat
dengan mudah dimanfaatkan dan dibelokkan oleh mereka yang berkuasa untuk
kepentingan mereka. Karena itu, cara terbaik untuk mencegah kejahatan
kekuasaan ini adalah dengan tidak membiarkan hadirnya pasal-pasal yang dapat
dimanipulasi oleh penguasa. Bila pasal’pencemaran nama baik’ saja bisa
dimanipulasi, apalagi pasal ‘penghinaan Presiden’ yang penafsirannya bisa lebih
melebar.
Kelima, seorang Presiden dalam masyarakat demokratis seharusnya
memang tidak berkuping tipis berhadapan dengan warga masyarakat yang
bersuara pedas. Dalam demokrasi, Presiden bukanlah raja, bukan titisan dewa,
bukan manusia suci. Presiden adalah warga yang dipilih secara kolektif untuk
memimpin bangsa. Warga masyarakat pada dasarnya berdiri sejajar dengan
Presiden. Karena itu penghinaan terhadap Presiden sebaiknya dipandang sebagai
hal biasa-biasa saja. Indonesia sudah berhasil membangun tradisi demokrasi yang
sehat selama 15 tahun terakhir. Bila ini kembali diubah, pemerintah dan DPR ,
Indonesia kembali mundur ke dunia gelap di masa lalu.
Keenam, penghinaan tidak akan merusak reputasi atau nama baik seorang
Presiden. Penghinaan mungkin tidak menyenangkan bagi mereka yang dihina,
namun itu tak akan merusak reputasi atau nama baik mereka yang dihina. Ini
berbeda dengan fitnah yang bisa menghancurkan hidup seseorang. Bila Jokowi
diejek sebagai kodok, tidak akan ada orang yang menganggap Jokokwi sebagai
kodok.
Ketujuh, warga masyarakat pada dasarnya tidak pasif dan tidak bodoh.
Bila presidennya dihina sementara sang presiden bekerja secara benar, mereka
justru akan menganggap yang menghina sebagai kalangan yang bodoh, sakit hati,
‘gagal move on’, pecundang, pengecut atau sekadar meracau. Coba lihat tokoh
seperti Fahri Hamzah yang terus menerus menghina Jokowi. Ucapan-ucapannya
hanya akan didengar para ‘Jokowi haters’, tapi secara umum hanya jadi bahan
tertawaan.
Kedelapan, penghinaan pada Presiden pada dasarnya adalah semacam
bentuk kontrol sosial yang akan membuat pemimpin bersikap hati-hati dan
dipaksa untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Dengan kesadaran bahwa
langkah-langkahnya akan terus diawasi masyarakat dan berpotensi untuk
di’bully’, seorang pemimpin akan selalu mempertimbangkan apa dampak yang
akan ditimbulkan oleh lengkah-langkahnya.
Kesembilan, melawan suara kritis, keras, tajam, menyakitkan dari warga
masyarakat dengan ancaman hukuman pidana terkesan kekanak-kanakan.
Pemerintah jadinya nampak penakut dengan menggunakan tameng hukum untuk
melawan warganya. Pemerintah indoensia perlu belajar dari pengalaman Presiden
Obama yang habis-habisan dihina tapi membalas penghinaan itu dengan cara
elegan sehingga justru Obama dikenang sebagai negarawan sesungguhnya.
Sebaliknya, dulu Presiden Megawati menuntut Rakyat Merdeka karena koran itu
memasang headline ‘Megawati seperti Sumanto’. Rakyat Merdeka memang
dinyatakan bersalah tapi Megawati dijadikan bahan tertawaan karena tuntutannya
itu.
Kesepuluh, penghidupan kembali pasal pelarangan penghinaan terhadap
Presiden hanya merusak reputasi Jokowi yang naik ke tampuk kekuasaan dengan
dukungan mereka yang sangat percaya bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik
bagi Indonesia. Penghidupan kembali pasal tersebut akan merupakan warisan
terburuk pemerintahan Jokowi yang ironisnya justru naik karena demokrasi.
Karena itu, demi Indonesia yang lebih baik, ada baiknya pasal pelarangan
penghinaan terhadap presiden dibiarkan tetap berada dalam peti yang terkunci.
Mudah-mudahan pemerintah dan DPR bersikap bijak dan ingat pada akhirnya
yang harus selalu menempati prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat
Indonesia. Dan itu hanya akan bisa dicapai bila Indonesia memiliki pemerintahan
yang bersih, korup dan bisa dikontrol oleh masyarakat.
1.2 Batasan Masalah
Tidak ada urgensinya untuk menghidupkan pasal itu kembali. Menurutnya,
upaya itu melanggar nilai-nilai demokrasi dan karena itu pula, sebenarnya pasal
itu sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Kontitusi (MK) melalui
putusan No. 013-022/PUUIV/2006.
"Pasal itu sudah tidak relevan dengan demokrasi dan negara hukum
modern. Di negara-negara asalnya, yaitu negara-negara monarki di Eropa, pasal
itu sudah ditinggalkan," tutur Bivitri saat dihubungi SINDOnews, Sabtu
(10/2/2018).
Jika pasal itu dihidupkan kembali, dampaknya adalah makin besarnya
hambatan bagi warga negara untuk menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah.
Karena pasal itu sangat "karet" dan juga tidak relevan lagi untuk menempatkan
presiden sebagai "simbol" negara.
Pasal ini asalnya di negara monarki, yang rajanya dahulu pada masa lalu,
diterapkan kolonial Belanda. Penerapan pasal ini disebutnya absolut, di mana
pemerintahan bentukan Kolonial tidak bisa "dijatuhkan". Negara modern dengan
sistem pemerintahan presidensil. Konteksnya sangat berbeda. Implikasi
konkretnya, bisa-bisa kritik biasa terhadap presiden kena pasal ini. Padahal dalam
negara demokrasi, kritik itu wajar dan justru harus ada.
Pasal tersebut pernah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
tahun 2006, ada atau tidak ada putusan MK, memang sudah tidak relevan, karena
pasal itu (hukum) lese majeste, biasanya munculnya di negara-negara monarkhi.
Hukum lese majeste diterapkan di negara-negara monarkhi atau kerajaan, karena
Raja dianggap sebagai simbol negara. Di Eropa, hukum ini masih ada di
Norwegia, Denmark, dan Belanda. Akan tetapi, pasal ini sudah tidak pernah
digunakan lagi karena dianggap tidak relevan lagi dengan alam demokrasi saat ini.
Dalam negara hukum modern, Presiden berkedudukan sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan, dan bukan sebagai lambang negara. Presiden
sebagai ‘simbol negara’ dalam konstitusi di Indonesia, berbeda maksudnya dari
‘simbol negara’ dalam pasal-pasal lese majeste. kalau dengan alasan melindungi
Presiden, sebenarnya bisa digunakan pasal pencemaran nama baik. Sementara itu,
jika alasannya perlakuan sama seperti terhadap kepala negara lain, sebenarnya
pasal itu pun juga tidak relevan. Karena pasal tersebut dibuatnya tahun 1800-an
belum ada HAM internasional dan saat ini dunia bersifat borderless setelah
adanya era globalisasi.
1.3 Rumusan Masalah
1. Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan sebelum diaktifkannya pasal
penghinaan terhadap presiden?
2. Bagaimana dampak yang terjadi jika pasal penghinaan terhadap presiden
diaktifkan kembali?
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Gambar Kerangka Pemikiran
Kepentingan
RUU
Penghinaan
terhadap
presiden
Masyarakat
Rezim
atau
Kelompok
berkepentingan
Presiden
2.2 Landasan Teori
1. Teori Stakeholder menurut Freeman dan Reed (Ulum, 2009, p4)
sekelompok orang atau individu yang diidentifikasi dapat mempengaruhi
kegiatan ataupun dapat dipengaruhi oleh kegiatan.
2. Menurut Gabriel Almond (1960) “komunikasi politik adalah salah satu
fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik.”
3. Terori politik reformasi Marthen Luther yakni kebebasan politik dengan
cara membatasi kekuasaan pemimpin negara dan diserahkan pada rakyat.
4. Teori politik Tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan
abadi.
5. Teori kelompok berkepentingan dari Scott (2009:484) The theory of
regulation suggests that individuals form coalitions, or constuencies, to
protect and promote their interest by lobbying the government. These
coalitions are viewed as being in conflict with each other to obtain their
share of benefits from regulation.
2.3 Penjelasan Kerangka Pemikiran
1.
Presiden > Masyarakat
Presiden memimpin roda pemerintahan serta dalam pelaksanaannya
presiden bertanggungjawab secara langsung kepada masyarakat
2.
Masyarakat > Presiden
Dalam proses pemerintahan pada tahun 2018, masyarakat Indonesia
bertambah kritis dalam menyikapi kebijakan publik yang akan dibuat oleh
pemerintah yang dipimpin oleh presiden. Namun, dalam proses komunikasi
dari masyarakat kepada presiden selaku kepala pemerintahan memiliki
berbagai cara, yaitu;
a.
b.
c.
d.
Pengkritikan
Penghinaan
Fitnah
Penghargaan
Disini sebagai masyarakat yang baik hendaknya masyarakat mampu
membedakan antara pengkritikan dan penghinaan, karena penghinaan
menjadi hal yang dipermasalahkan pada Rancangan Undang-undang yang
dibahas.
3.
Masyarakat > Rezim Atau Kelompok berkepentingan
Masyarakat yang kurang suka dengan presiden membentuk suatu rezim
atau kelompok berkepentingan.
4.
Masyarakat > Rezim Atau Kelompok berkepentingan
Pada proses penjatuhan presiden, rezim dapat menggunakan berbagai
cara termasuk proses berkomunikasi kepada presiden agar citra presiden
menjadi buruk.
5.
Presiden > Rezim Atau Kelompok berkepentingan
Presiden memiliki kepentingan yaitu mempertahankan kekuasaan
apabila dalam masa jabatannya ada yang berusaha menjatuhkannya. Untuk
itu presiden membentuk rezim atau kelompok berkepentingan.
6.
Rezim Atau Kelompok berkepentingan > Masyarakat
Rezim menggunakan proses komunikasi agar citra presiden tetap membaik
7.
Rezim Atau Kelompok berkepentingan > RUU
a. Rezim Atau Kelompok berkepentingan Presiden
Menyetujui dan berusaha agar RUU penghinaan terhadap presiden dapat
disahkan sehingga kepentingan presiden dapat lebih mudah untuk dicapai
b. Rezim Atau Kelompok tidak berkepentingan Presiden
Berusaha mengagalkan pengesahan RUU penghinaan terhadap presiden
agar dalam proses mencapai kepentingan lebih mudah untuk dicapai.
8.
RUU Penghinaan terhadap presiden > Kepentingan
RUU Penghinaan terhadap presiden sangat berpengaruh terhadap
kepentingan banyak pihak untuk itu tarik ulur dalam proses pengesahannya
terjadi.
9.
Presiden > Kepentingan
Presiden memiliki kepentingan yaitu mempertahankan kekuasaan
10. Masyarakat > Kepentingan
Bagi mayoritas masyarakat berkepentingan untuk kesejahteraan umum.
Namun ada sebagian kecil masayarakat yang memiliki kepentingan tertentu
baik pro maupun kontra.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Ada sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (RKUHP) -yang sedang digodok pada tahun 2018 oleh pemerintah dan
DPR- yang mendapatkan perhatian publik. Ihwal penghinaan terhadap presiden
adalah salah satunya.
Ada dua pasal terkait penghinaan terhadap presiden yang disetujui masuk
KUHP. Yakni Pasal 238 dan Pasal 239, yang berbunyi:
Pasal 238
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori I pejabat.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat
(1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 239
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat
(1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dan masih ada pasal lain yang merupakan perluasan dari pasal penghinaan
terhadap presiden. Yaitu Pasal 240 yang menjerat penghinaan terhadap presiden
dengan menggunakan sarana teknologi informasi, yang berbunyi
Pasal 240
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau menyebarluaskan dengan
sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau
wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih
diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Namun Pasal 240 masih ditunda, untuk dibahas dalam Panja DPR.
Masuknya pasal-pasal penghinaan terhadap presiden itu memicu polemik.
Pasal penghinaan terhadap presiden dikhawatirkan akan bersifat karet, bisa
dipergunakan oleh rezim yang sedang berkuasa untuk membungkam para
pengkritiknya. Dengan cara itu, sistem demokrasi akan terancam, dan memberi
jalan kepada pemerintahan yang otoriter.
Kekhawatiran itu tentu bukan tanpa alasan. Masyarakat punya pengalaman
buruk dengan pasal penghinaan kepada presiden yang bersifat karet. Pasal serupa
pernah ada dalam KUHP lama -yang sekarang berlaku. Sejumlah orang pernah
dikenakan pasal tersebut. Namun memasukkan pasal-pasal tersebut ke dalam
KUHP juga bukan tanpa pertimbangan.Presiden adalah simbol negara,
yang maruah dan kewibawaannya perlu dijaga sebagai bentuk tertib bernegara.
Kedudukan presiden sebagai simbol negara juga diperdebatkan. Ada
yang menganggap, presiden bukanlah simbol negara karena dia adalah kepala
negara yang menjalankan tugas-tugas kenegaraan semata, bisa diganti dalam
pemilu lima tahun sekali, bahkan bisa dimakzulkan. Namun ada juga yang
berpandangan, dengan melihat fungsi-fungsinya seperti ditentukan oleh konstitusi,
presiden adalah simbol negara. Terlebih, sejak 2014, presiden dipilih langsung
oleh rakyat--bukan dipilih oleh perwakilan maupun elite partai politik sehingga
hasil dari praktik demokrasi itu pun harus dihormati.
Pasal-pasal penghinaan terhadap presiden pernah ada dalam KUHP.
Namun pada 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal-pasal tersebut
bertentangan dengan konstitusi sehingga dihapus dari KUHP. Pasal-pasal
penghinaan terhadap presiden dalam KUHP lama itu tidak bisa membedakan
antara penghinaan dan kritik terhadap presiden.
Meski pasal penghinaan terhadap presiden telah dinyatakan bertentangan
dengan konstitusi, pasal serupa masih dimungkinkan dimasukkan ke dalam KUHP
yang baru nanti. Syaratnya, menurut pakar hukum tata negara yang juga mantan
Ketua MK Mahfud MD, selama ada unsur baru di dalamnya.
Sejumlah legislator memastikan bahwa ada unsur baru dalam pasal
penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP. Salah satunya adalah pengecualian
jika "dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri." Juga akan berbeda
jika pasal tersebut termasuk delik aduan--namun pemerintah mengusulkannya
sebagai delik umum.
Ini memang dilematis. Di satu sisi, upaya untuk menjaga kehormatan dan
kewibawaan kedudukan presiden memerlukan aturan hukum yang jelas. Namun di
sisi lain, kita tidak ingin aturan hukum itu menjadi alat untuk membungkam kritik
yang bisa menjerumuskan kita ke dalam pemerintahan otoriter dan antidemokrasi.
Pemerintah dan DPR perlu bersungguh--mengurai persoalan pelik ini secara lebih
teliti dan terperinci. Itu bisa dimulai dengan merumuskan ketentuan yang jelas
untuk dua hal.
Pertama, perbedaan antara penghinaan dan kritis harus dijelaskan dengan
baik. Negara harus menjamin kebebasan warganya untuk menyampaikan kritik
secara bermartabat terhadap presiden dan wakil presiden.
Kedua, rumusan pasal tersebut dirancang sedemikian rupa agar tidak bisa
dijadikan pasal karet, yang berpotensi dipakai untuk kepentingan-kepentingan di
luar upaya menjaga kehormatan dan kewibawaan kedudukan presiden.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam proses pembuatan sebuah kebijakan publik selalu memiliki pro dan
kontra pada masyarakat yang semaik hari semakin kritis ditambah sekarang
zaman globalisasi arus informasi berjalan begitu cepatnya sehingga memang perlu
diatur kebijakan agar setiap masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi
maupun sekedar berkomentar tentang berlangsungnya pemerintahan terkhususnya
kepada kepala pemeritnahan yaitu presiden. Namun negara Indonesia berdiri
berlandaskan azas demokrasi yang tentunya tidak membatasi tentang
penyampaian aspirasi yang membangun, dan perlu diingat etika dan cara
penyampaian terhadap pihak pemerintah harus diperhatikan dalam prosesnya agar
tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
4.2 Saran
Pemerintah hendaknya memperhatikan betul pro kontra dalam menimbang
Rencana Undang-Undang yang hendak dikeluarkan terkhususnya tentang pasal
penghinaan terhadap presiden. Karena efek yang akan ditumbulkan setelah
pengesahan maupun pembatalan pengesahan akan berdampak dalam sistem
politik di Indonesia. Terlebih dalam waktu mendekati pemilihan eksekutif yang
akan diselenggarakan, karena dikhawatirkan akan dijadikan alat atau senjata
dalam menjatuhkan pemimpin dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.coursehero.com/file/p2u67bq/Teori-kelompok-kepentingan-TheInterest-Group-Theory-Teori-kelompok-kepentingan/
http://modulmakalah.blogspot.co.id/2016/12/Pengertian.dan.Pendekatan.Teo
ri.Stakeholder.Menurut.Para.Ahli.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_politik
http://ekonomiakuntansiid.blogspot.co.id/2016/05/teori-politik-dan-konsepkonep-politik.html
PRESIDEN BOLEH DIKRITIK NAMUN TIDAK BOLEH DIHINA
Dosen
Drs. Asmungi
Disusun Oleh
Brilliant Charisma Fadila Afif
27.0410
Bayu Setyo Wibowo
27.
Jane Mien Novita Saday
27.
FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
TAHUN AJARAN 2017/2018
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Langkah pemerintah menghidupkan kembali pasal pelarangan penghinaan
itu hanya akan merusak reputasi pemerintah Jokowi dan, lebih jauh lagi,
membahayakan demokrasi Indonesia dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sekadar untuk menyegarkan ingatan, pasal pelarangan itu semula ada
dalam KUHP yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kehadiran
pasal itu digunakan baik di masa pemerintah Soekarno dan Soeharto untuk
menakut-nakuti mereka yang berani melawan pemerintahan yang sedang
berkuasa.
Pasal itu dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 dengan alasan
bertentangan dengan UUD 1945. Kini dalam usulan RUU KUHP, pemerintah
kembali berusaha menghidupkan pasal pelarangan penghinaan terhadap Presiden
dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Penghinaan tentu harus dibedakan dengan Fitnah. Penghinaan adalah opini
yang merendahkan seseorang; sementara fitnah atau pencemaran nama baik
merujuk pada tuduhan atau pengungkapan fakta yang tidak benar yang merusak
reputasi atau nama baik seseorang.
Dengan kata lain, mengatakan Jokowi adalah pemimpin yang tolol, bodoh, tidak
becus, sama dengan kodok, sekadar petugas partai adalah penghinaan. Tapi
mengatakan Jokowi korup tanpa ada bukti bahwa Jokowi korup, atau Jokowi anak
anggota PKI padahal bukan adalah fitnah atau pencemaran nama baik.
Begitu juga dengan meme yang menggambarkan Jokowi berwajah srigala,
atau kodok, atau kerbau adalah penghinaan. Itu bukan fitnah. Tapi dokumen yang
menuduh Jokowi memiliki rekening uang dalam jumlah besar di bank asing
padahal tidak benar, atau transkrip pembicaraan yang sebenarnya tidak pernah
terjadi atau salinan akte kelahiran palsu yang menunjukkan nama asli Jokowi
adalah nama lain, masuk dalam kategori fitnah.
Dalam negara seperti Indonesia, penghinaan terhadap Presiden sebaiknya tidak
mendapat ancaman pidana karena sejumlah hal.
Pertama, demokrasi membutuhkan warga masyarakat yang bersedia
berbicara terbuka di hadapan para pemimpinnya. Tradisi ini harus terus
dikembangkan. Dalam tradisi ini, memang bisa saja orang mengekspresikan
kemarahan atau ketidaksukaannya dengan cara yang ekstrem. Tapi itu harus
dipahami sebagai bagian (atau ekses) sah dari tradisi kebebasan berekspresi. Bila
kini, para warga masyarakat ini ditakut-takuti untuk bicara, mereka akan
kehilangan keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Bila ini terjadi, yang
rugi adalah bangsa Indonesia.
Kedua, istilah ‘penghinaan’ itu adalah istilah yang dapat ditafsirkan sangat
luas. Sebagai contoh, pernyataan ‘Presiden Jokowi adalah presiden terburuk
dalam sejarah Indonesia’ atau ‘Jokowi sebaiknya mengurus keluarga saja,
daripada mengurus negara’ bisa dengan mudah dinyatakan sebagai ‘penghinaan’.
Ketiga, bila pemerintah diberi otoritas untuk mengatur bentuk ekspresi
kritis masyarakat , ini bisa dimanfaatkan mereka yang berkuasa untuk
memberangus setiap bentuk sikap kritis masyarakat. Indonesia pernah punya
pengalaman panjang seperti ini di masa Orde Lama dan Orde Baru. Dengan
segenap alasan yang seolah nampak luhur, pemerintah membungkam sikap kritis
masyarakat. Pemerintah manapun selalu punya kecenderungan atau potensi untuk
memberangus suara oposisi. Karena itu masyarakat jangan pernah memberi
peluang bagi pemerintah untuk memilki kekuasaan untuk mengatur lalu lalang
opini dan ekspresi masyarakat tentang pemerintah. Yang dilarang adalah
penyiaran kebohongan dan fitnah. Titik.
Keempat,
dengan
merujuk
pada
pengalaman
Indonesia
paca
otoritarianisme, ada cukup bukti bahwa hukum berpotensi dimanipulasi.
Misalnya, pasal ‘pencemaran nama baik’ yang termuat dalam UU Informasi
Transaksi dan Eelektronik digunakan untuk memberangus hak warga untuk bicara
secara kritis. Kasus Prita Mulyasari yang sempat masuk penjara karena mengeritik
perlakuan terhadapnya oleh sebuah Rumah Sakit Swasta adalah bukti kuat
bagaimana sebuah pasal hukum yang semula nampak wajar dapat dimanipulasi
dengan cara sedemikian rupa oleh mereka yang memiliki kekuasaan (dalam hal
ini, kekuasaan ekonomi) untuk menindas rakyat. Hukum di Indonesia dapat
dengan mudah dimanfaatkan dan dibelokkan oleh mereka yang berkuasa untuk
kepentingan mereka. Karena itu, cara terbaik untuk mencegah kejahatan
kekuasaan ini adalah dengan tidak membiarkan hadirnya pasal-pasal yang dapat
dimanipulasi oleh penguasa. Bila pasal’pencemaran nama baik’ saja bisa
dimanipulasi, apalagi pasal ‘penghinaan Presiden’ yang penafsirannya bisa lebih
melebar.
Kelima, seorang Presiden dalam masyarakat demokratis seharusnya
memang tidak berkuping tipis berhadapan dengan warga masyarakat yang
bersuara pedas. Dalam demokrasi, Presiden bukanlah raja, bukan titisan dewa,
bukan manusia suci. Presiden adalah warga yang dipilih secara kolektif untuk
memimpin bangsa. Warga masyarakat pada dasarnya berdiri sejajar dengan
Presiden. Karena itu penghinaan terhadap Presiden sebaiknya dipandang sebagai
hal biasa-biasa saja. Indonesia sudah berhasil membangun tradisi demokrasi yang
sehat selama 15 tahun terakhir. Bila ini kembali diubah, pemerintah dan DPR ,
Indonesia kembali mundur ke dunia gelap di masa lalu.
Keenam, penghinaan tidak akan merusak reputasi atau nama baik seorang
Presiden. Penghinaan mungkin tidak menyenangkan bagi mereka yang dihina,
namun itu tak akan merusak reputasi atau nama baik mereka yang dihina. Ini
berbeda dengan fitnah yang bisa menghancurkan hidup seseorang. Bila Jokowi
diejek sebagai kodok, tidak akan ada orang yang menganggap Jokokwi sebagai
kodok.
Ketujuh, warga masyarakat pada dasarnya tidak pasif dan tidak bodoh.
Bila presidennya dihina sementara sang presiden bekerja secara benar, mereka
justru akan menganggap yang menghina sebagai kalangan yang bodoh, sakit hati,
‘gagal move on’, pecundang, pengecut atau sekadar meracau. Coba lihat tokoh
seperti Fahri Hamzah yang terus menerus menghina Jokowi. Ucapan-ucapannya
hanya akan didengar para ‘Jokowi haters’, tapi secara umum hanya jadi bahan
tertawaan.
Kedelapan, penghinaan pada Presiden pada dasarnya adalah semacam
bentuk kontrol sosial yang akan membuat pemimpin bersikap hati-hati dan
dipaksa untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Dengan kesadaran bahwa
langkah-langkahnya akan terus diawasi masyarakat dan berpotensi untuk
di’bully’, seorang pemimpin akan selalu mempertimbangkan apa dampak yang
akan ditimbulkan oleh lengkah-langkahnya.
Kesembilan, melawan suara kritis, keras, tajam, menyakitkan dari warga
masyarakat dengan ancaman hukuman pidana terkesan kekanak-kanakan.
Pemerintah jadinya nampak penakut dengan menggunakan tameng hukum untuk
melawan warganya. Pemerintah indoensia perlu belajar dari pengalaman Presiden
Obama yang habis-habisan dihina tapi membalas penghinaan itu dengan cara
elegan sehingga justru Obama dikenang sebagai negarawan sesungguhnya.
Sebaliknya, dulu Presiden Megawati menuntut Rakyat Merdeka karena koran itu
memasang headline ‘Megawati seperti Sumanto’. Rakyat Merdeka memang
dinyatakan bersalah tapi Megawati dijadikan bahan tertawaan karena tuntutannya
itu.
Kesepuluh, penghidupan kembali pasal pelarangan penghinaan terhadap
Presiden hanya merusak reputasi Jokowi yang naik ke tampuk kekuasaan dengan
dukungan mereka yang sangat percaya bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik
bagi Indonesia. Penghidupan kembali pasal tersebut akan merupakan warisan
terburuk pemerintahan Jokowi yang ironisnya justru naik karena demokrasi.
Karena itu, demi Indonesia yang lebih baik, ada baiknya pasal pelarangan
penghinaan terhadap presiden dibiarkan tetap berada dalam peti yang terkunci.
Mudah-mudahan pemerintah dan DPR bersikap bijak dan ingat pada akhirnya
yang harus selalu menempati prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat
Indonesia. Dan itu hanya akan bisa dicapai bila Indonesia memiliki pemerintahan
yang bersih, korup dan bisa dikontrol oleh masyarakat.
1.2 Batasan Masalah
Tidak ada urgensinya untuk menghidupkan pasal itu kembali. Menurutnya,
upaya itu melanggar nilai-nilai demokrasi dan karena itu pula, sebenarnya pasal
itu sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Kontitusi (MK) melalui
putusan No. 013-022/PUUIV/2006.
"Pasal itu sudah tidak relevan dengan demokrasi dan negara hukum
modern. Di negara-negara asalnya, yaitu negara-negara monarki di Eropa, pasal
itu sudah ditinggalkan," tutur Bivitri saat dihubungi SINDOnews, Sabtu
(10/2/2018).
Jika pasal itu dihidupkan kembali, dampaknya adalah makin besarnya
hambatan bagi warga negara untuk menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah.
Karena pasal itu sangat "karet" dan juga tidak relevan lagi untuk menempatkan
presiden sebagai "simbol" negara.
Pasal ini asalnya di negara monarki, yang rajanya dahulu pada masa lalu,
diterapkan kolonial Belanda. Penerapan pasal ini disebutnya absolut, di mana
pemerintahan bentukan Kolonial tidak bisa "dijatuhkan". Negara modern dengan
sistem pemerintahan presidensil. Konteksnya sangat berbeda. Implikasi
konkretnya, bisa-bisa kritik biasa terhadap presiden kena pasal ini. Padahal dalam
negara demokrasi, kritik itu wajar dan justru harus ada.
Pasal tersebut pernah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
tahun 2006, ada atau tidak ada putusan MK, memang sudah tidak relevan, karena
pasal itu (hukum) lese majeste, biasanya munculnya di negara-negara monarkhi.
Hukum lese majeste diterapkan di negara-negara monarkhi atau kerajaan, karena
Raja dianggap sebagai simbol negara. Di Eropa, hukum ini masih ada di
Norwegia, Denmark, dan Belanda. Akan tetapi, pasal ini sudah tidak pernah
digunakan lagi karena dianggap tidak relevan lagi dengan alam demokrasi saat ini.
Dalam negara hukum modern, Presiden berkedudukan sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan, dan bukan sebagai lambang negara. Presiden
sebagai ‘simbol negara’ dalam konstitusi di Indonesia, berbeda maksudnya dari
‘simbol negara’ dalam pasal-pasal lese majeste. kalau dengan alasan melindungi
Presiden, sebenarnya bisa digunakan pasal pencemaran nama baik. Sementara itu,
jika alasannya perlakuan sama seperti terhadap kepala negara lain, sebenarnya
pasal itu pun juga tidak relevan. Karena pasal tersebut dibuatnya tahun 1800-an
belum ada HAM internasional dan saat ini dunia bersifat borderless setelah
adanya era globalisasi.
1.3 Rumusan Masalah
1. Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan sebelum diaktifkannya pasal
penghinaan terhadap presiden?
2. Bagaimana dampak yang terjadi jika pasal penghinaan terhadap presiden
diaktifkan kembali?
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Gambar Kerangka Pemikiran
Kepentingan
RUU
Penghinaan
terhadap
presiden
Masyarakat
Rezim
atau
Kelompok
berkepentingan
Presiden
2.2 Landasan Teori
1. Teori Stakeholder menurut Freeman dan Reed (Ulum, 2009, p4)
sekelompok orang atau individu yang diidentifikasi dapat mempengaruhi
kegiatan ataupun dapat dipengaruhi oleh kegiatan.
2. Menurut Gabriel Almond (1960) “komunikasi politik adalah salah satu
fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik.”
3. Terori politik reformasi Marthen Luther yakni kebebasan politik dengan
cara membatasi kekuasaan pemimpin negara dan diserahkan pada rakyat.
4. Teori politik Tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan
abadi.
5. Teori kelompok berkepentingan dari Scott (2009:484) The theory of
regulation suggests that individuals form coalitions, or constuencies, to
protect and promote their interest by lobbying the government. These
coalitions are viewed as being in conflict with each other to obtain their
share of benefits from regulation.
2.3 Penjelasan Kerangka Pemikiran
1.
Presiden > Masyarakat
Presiden memimpin roda pemerintahan serta dalam pelaksanaannya
presiden bertanggungjawab secara langsung kepada masyarakat
2.
Masyarakat > Presiden
Dalam proses pemerintahan pada tahun 2018, masyarakat Indonesia
bertambah kritis dalam menyikapi kebijakan publik yang akan dibuat oleh
pemerintah yang dipimpin oleh presiden. Namun, dalam proses komunikasi
dari masyarakat kepada presiden selaku kepala pemerintahan memiliki
berbagai cara, yaitu;
a.
b.
c.
d.
Pengkritikan
Penghinaan
Fitnah
Penghargaan
Disini sebagai masyarakat yang baik hendaknya masyarakat mampu
membedakan antara pengkritikan dan penghinaan, karena penghinaan
menjadi hal yang dipermasalahkan pada Rancangan Undang-undang yang
dibahas.
3.
Masyarakat > Rezim Atau Kelompok berkepentingan
Masyarakat yang kurang suka dengan presiden membentuk suatu rezim
atau kelompok berkepentingan.
4.
Masyarakat > Rezim Atau Kelompok berkepentingan
Pada proses penjatuhan presiden, rezim dapat menggunakan berbagai
cara termasuk proses berkomunikasi kepada presiden agar citra presiden
menjadi buruk.
5.
Presiden > Rezim Atau Kelompok berkepentingan
Presiden memiliki kepentingan yaitu mempertahankan kekuasaan
apabila dalam masa jabatannya ada yang berusaha menjatuhkannya. Untuk
itu presiden membentuk rezim atau kelompok berkepentingan.
6.
Rezim Atau Kelompok berkepentingan > Masyarakat
Rezim menggunakan proses komunikasi agar citra presiden tetap membaik
7.
Rezim Atau Kelompok berkepentingan > RUU
a. Rezim Atau Kelompok berkepentingan Presiden
Menyetujui dan berusaha agar RUU penghinaan terhadap presiden dapat
disahkan sehingga kepentingan presiden dapat lebih mudah untuk dicapai
b. Rezim Atau Kelompok tidak berkepentingan Presiden
Berusaha mengagalkan pengesahan RUU penghinaan terhadap presiden
agar dalam proses mencapai kepentingan lebih mudah untuk dicapai.
8.
RUU Penghinaan terhadap presiden > Kepentingan
RUU Penghinaan terhadap presiden sangat berpengaruh terhadap
kepentingan banyak pihak untuk itu tarik ulur dalam proses pengesahannya
terjadi.
9.
Presiden > Kepentingan
Presiden memiliki kepentingan yaitu mempertahankan kekuasaan
10. Masyarakat > Kepentingan
Bagi mayoritas masyarakat berkepentingan untuk kesejahteraan umum.
Namun ada sebagian kecil masayarakat yang memiliki kepentingan tertentu
baik pro maupun kontra.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Ada sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (RKUHP) -yang sedang digodok pada tahun 2018 oleh pemerintah dan
DPR- yang mendapatkan perhatian publik. Ihwal penghinaan terhadap presiden
adalah salah satunya.
Ada dua pasal terkait penghinaan terhadap presiden yang disetujui masuk
KUHP. Yakni Pasal 238 dan Pasal 239, yang berbunyi:
Pasal 238
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori I pejabat.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat
(1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 239
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat
(1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dan masih ada pasal lain yang merupakan perluasan dari pasal penghinaan
terhadap presiden. Yaitu Pasal 240 yang menjerat penghinaan terhadap presiden
dengan menggunakan sarana teknologi informasi, yang berbunyi
Pasal 240
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau menyebarluaskan dengan
sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau
wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih
diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Namun Pasal 240 masih ditunda, untuk dibahas dalam Panja DPR.
Masuknya pasal-pasal penghinaan terhadap presiden itu memicu polemik.
Pasal penghinaan terhadap presiden dikhawatirkan akan bersifat karet, bisa
dipergunakan oleh rezim yang sedang berkuasa untuk membungkam para
pengkritiknya. Dengan cara itu, sistem demokrasi akan terancam, dan memberi
jalan kepada pemerintahan yang otoriter.
Kekhawatiran itu tentu bukan tanpa alasan. Masyarakat punya pengalaman
buruk dengan pasal penghinaan kepada presiden yang bersifat karet. Pasal serupa
pernah ada dalam KUHP lama -yang sekarang berlaku. Sejumlah orang pernah
dikenakan pasal tersebut. Namun memasukkan pasal-pasal tersebut ke dalam
KUHP juga bukan tanpa pertimbangan.Presiden adalah simbol negara,
yang maruah dan kewibawaannya perlu dijaga sebagai bentuk tertib bernegara.
Kedudukan presiden sebagai simbol negara juga diperdebatkan. Ada
yang menganggap, presiden bukanlah simbol negara karena dia adalah kepala
negara yang menjalankan tugas-tugas kenegaraan semata, bisa diganti dalam
pemilu lima tahun sekali, bahkan bisa dimakzulkan. Namun ada juga yang
berpandangan, dengan melihat fungsi-fungsinya seperti ditentukan oleh konstitusi,
presiden adalah simbol negara. Terlebih, sejak 2014, presiden dipilih langsung
oleh rakyat--bukan dipilih oleh perwakilan maupun elite partai politik sehingga
hasil dari praktik demokrasi itu pun harus dihormati.
Pasal-pasal penghinaan terhadap presiden pernah ada dalam KUHP.
Namun pada 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal-pasal tersebut
bertentangan dengan konstitusi sehingga dihapus dari KUHP. Pasal-pasal
penghinaan terhadap presiden dalam KUHP lama itu tidak bisa membedakan
antara penghinaan dan kritik terhadap presiden.
Meski pasal penghinaan terhadap presiden telah dinyatakan bertentangan
dengan konstitusi, pasal serupa masih dimungkinkan dimasukkan ke dalam KUHP
yang baru nanti. Syaratnya, menurut pakar hukum tata negara yang juga mantan
Ketua MK Mahfud MD, selama ada unsur baru di dalamnya.
Sejumlah legislator memastikan bahwa ada unsur baru dalam pasal
penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP. Salah satunya adalah pengecualian
jika "dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri." Juga akan berbeda
jika pasal tersebut termasuk delik aduan--namun pemerintah mengusulkannya
sebagai delik umum.
Ini memang dilematis. Di satu sisi, upaya untuk menjaga kehormatan dan
kewibawaan kedudukan presiden memerlukan aturan hukum yang jelas. Namun di
sisi lain, kita tidak ingin aturan hukum itu menjadi alat untuk membungkam kritik
yang bisa menjerumuskan kita ke dalam pemerintahan otoriter dan antidemokrasi.
Pemerintah dan DPR perlu bersungguh--mengurai persoalan pelik ini secara lebih
teliti dan terperinci. Itu bisa dimulai dengan merumuskan ketentuan yang jelas
untuk dua hal.
Pertama, perbedaan antara penghinaan dan kritis harus dijelaskan dengan
baik. Negara harus menjamin kebebasan warganya untuk menyampaikan kritik
secara bermartabat terhadap presiden dan wakil presiden.
Kedua, rumusan pasal tersebut dirancang sedemikian rupa agar tidak bisa
dijadikan pasal karet, yang berpotensi dipakai untuk kepentingan-kepentingan di
luar upaya menjaga kehormatan dan kewibawaan kedudukan presiden.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam proses pembuatan sebuah kebijakan publik selalu memiliki pro dan
kontra pada masyarakat yang semaik hari semakin kritis ditambah sekarang
zaman globalisasi arus informasi berjalan begitu cepatnya sehingga memang perlu
diatur kebijakan agar setiap masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi
maupun sekedar berkomentar tentang berlangsungnya pemerintahan terkhususnya
kepada kepala pemeritnahan yaitu presiden. Namun negara Indonesia berdiri
berlandaskan azas demokrasi yang tentunya tidak membatasi tentang
penyampaian aspirasi yang membangun, dan perlu diingat etika dan cara
penyampaian terhadap pihak pemerintah harus diperhatikan dalam prosesnya agar
tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
4.2 Saran
Pemerintah hendaknya memperhatikan betul pro kontra dalam menimbang
Rencana Undang-Undang yang hendak dikeluarkan terkhususnya tentang pasal
penghinaan terhadap presiden. Karena efek yang akan ditumbulkan setelah
pengesahan maupun pembatalan pengesahan akan berdampak dalam sistem
politik di Indonesia. Terlebih dalam waktu mendekati pemilihan eksekutif yang
akan diselenggarakan, karena dikhawatirkan akan dijadikan alat atau senjata
dalam menjatuhkan pemimpin dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.coursehero.com/file/p2u67bq/Teori-kelompok-kepentingan-TheInterest-Group-Theory-Teori-kelompok-kepentingan/
http://modulmakalah.blogspot.co.id/2016/12/Pengertian.dan.Pendekatan.Teo
ri.Stakeholder.Menurut.Para.Ahli.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_politik
http://ekonomiakuntansiid.blogspot.co.id/2016/05/teori-politik-dan-konsepkonep-politik.html