Ringkasan Filsafat Manusia melalui filsafat

TUGAS
FILSAFAT MANUSIA

Nama

: Erika Damayanti

NIM

: 1224090162

Dosen

: Yusuf Sulchan, Drs

Hadir Kuliah

: Rabu, 12.50 – 14.30

Ruang


: 6004

Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia Y.A.I
Jl. Diponegoro No.74 Jakarta Pusat

FILSAFAT MANUSIA
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Manusia
Zainal Abidin
Filsafat manusia atau antropologi filsafati adalah bagian integral sistem
filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Dibandingkan
dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies), filsafat manusia mempunyai
kedudukan yang kurang lebih “sejajar” juga, terutama kalau dilihat dari objek
materialnya.


Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia (misalnya saja
psikologi dan antropologi) adalah gejala-gejala manusia. Baik filsafat manusia
maupun ilmu-ilmu tentang manusia, pada dasarnya bertujuan untuk menyelidiki,
mengin-terpretasi, dan memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia. Ini

berarti bahwa gejala atau ekspresi manusia, merupakan objek kajian untuk filsafat



manusia maupun ilmu-ilmu tentang manusia.
Objek formal atau metodenya, kedua jenis “ilmu” tersebut memiliki perbedaan yang
sangat mendasar. Secara umum dapat dikatakan, bahwa setiap cabang ilmu-ilmu
tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala-gejala empiris, yang
bersifat “objektif” dan bias diukur dan gejala itu kemudian diselidiki dengan
menggunakan metode yang bersifat observasional dan/atau eksperimental. Karena
luas dan tidak terbatasnya gejala manusiawi yang diselidiki oleh filsafat manusia,
maka tidak mungkin ia menggunakan metode yang bersifat observasional dan/atau
eksperimental. Observasional dan/atau eksperimental hanya mungkin dilakukan, kalu
gejalanya bisadiamati (empiris), bisa diukur (metode statistik), dan bisa dimanipulasi

(eksperimen laboratorium). Bentuk atau jenis gejala apapun tentang manusia, sejauh
bias dipikirkan, dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi
bahan kajian filsafat manusia. Sedangkan aspek-aspek atau dimensi-dimensi
metafisis, spiritual, dan universal hanya bisa diselidiki dengan menggunakan metode
yang lebih spesifik, misalnya melalui sintesis dan refleksi.

B. Ciri-Ciri Filsafat Manusia
 Ekstensif
Filsafat manusia dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya
objek kajian yang digeluti. Ia mencakup segenap aspek, dimensi dan ekspresi yang
terdapat dalam realitas manusia, dan lepas dari kontekstualitas ruang dan waktu


(universal).
Intensif
Filsafat adalah kegiatan intelektual yang hendak menggali ini, hakikat (esensi), akar,
atau struktur dasar, yang melandasi segenap kenyataan.



Kritis
Ciri ini berhubungan dengan dua metode yang dipakainya (sintesa dan refleksi) dan
dua ciri yang terdapat dalam isi atau hasil filsafatnya (ekstensif dan intensif). Karena
tujuan filsafat manusia pada taraf akhir tidak lain adalah untuk memahami diri
manusia sendiri yang tidak luput dari kritik filsafat manusia.


EKSISTENSI MANUSIA

A. Konsep Eksistensi Menurut Søren Kierkegaard
Cetusan “eksistensi” yang dipondasikan
oleh

Kierkegaard

bertitik

tolak

dari

gagasannya tentang manusia sebagai individu
atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia
melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi
manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi
dirinya.
hanya


Menurut
dapat

Kierkegaard,

diterapkan

eksistensi

kepada

manusia

sebagai individu yang konkrit, karena hanya
aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan
hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku yang konkrit ini tidak
dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang konkrit ini direduksi
ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya
sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan

demikian, aku individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk
mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung
kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat
aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal
menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.
Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak
dan mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal
dan subjektif. Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang
dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan

yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal
konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari
kebebesan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak
menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai
satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam
mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil keputusan
atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan
pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena
itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka
ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani

mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil
keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya.

Hasil pemikiran Søren Aabye Kierkegaard seorang filsuf, teolog, dan psikolog
yang hidup pada tahun 1813-1856 menjadi modal yang sangat besar pada awal-awal
berkembangnya Analisis Eksistensialis menurut Kierkegaard, kebermaknaan hidup
adalah ketika kita menghayati kehidupan ini, manusia akan berada diantara tiga tahap
eksistensi dan pilihan manusia sendirilah yang menentukan pada tahapan mana ia
akan berada dan menurutnya yang dibutuhkan manusia dalam hidup ini adalah suatu
passion, suatu antusiasme, suatu gairah, dan keyakinan pribadi, yang dilandasi oleh
kehendak bebas dan afeksi (emosi). Dibutuhkan suatu greget tertentu dalam setiap
sikap dan perbuatan kita. Perjalanan hidup Kierkegaard serta deskripsi filsafat
eksistensimya tentang tahap-tahap eksistensi manusia, membuktikan penekanan
Kierkegaard tentang hal itu.

B. Tiga Tahap Eksistensi Manusia
1. Tahap Estetis
Manusia estetis adalah manusia “paling rendah”. Pada tahap ini orientasi
hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan yang bersifat
badani. Dikuasai oleh naluri seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang

hedonistik dan bertindak berdasarkan suasana hati (mood). Manusia estetis adalah
manusia yang hidup tanpa jiwa. Ia tidak memiliki akar dan isi didalam jiwanya.
Kemauannya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan
zamannya. Yang menjadi trend dalam masyarakat menjadi petunjuk hidupnya.
Namun kesemuanya itu tidak dilandasi oleh passion apapun, selain keinginan untuk
mengetahui dan mencoba. Ia cenderung mencari kesenangan baik materi maupun non
materi tanpa peduli sumbernya, memuaskan nafsu, dan mencari popularitas. Karena
nafsu manusia tak terbatas, maka bila seseorang berada pada tahapan ini, maka bakal
tak habis-habis ia bergumul dengan yang namanya rasa. Semata untuk memuaskan
rasa, maka ia tak mengindahkan panduan hidup ataupun harapan, tidak bias
menentukan pilihan karena semakin banyak alternative yang ditawarkan masyarakat
dan zamannya, yang penting nafsu terpuaskan. Kierkegaard sendiri dengan tegas
mengatakan, pilihan bagi manusia seperti ini adalah ia akan mati bunuh diri (atau,
bisa juga lari dalam kegilaan), atau masuk tahap berikutnya yng lebih tinggi, yaitu
Etis.
Contoh sempurna manusia estetis adalah Don Juan yang hidup dengan
berganti-ganti wanita untuk sekedar memuaskan hasratnya. Menurut Kierkegaard,
mungkin begitulah cara manusia estetis melupakan eksistensinya yang menyedihkan
—dengan bersenang-senang, meluapkan kebutuhan-kebutuhan badani seperti seks,


makan, minum, dan tenggelam dalam hedonisme kehidupan. Menurut Kang Syarif,
level manusia paling rendah dalam agama-agama pun diduduki oleh manusia estetis.
Oleh sebab itu, agama memiliki “latihan-latihan” tersendiri untuk mengendalikan
hawa nafsu, misalnya dengan menjalani puasa. Namun begitu, walaupun sudah
seharian menjalani puasa tetapi ketika datang waktu berbuka kita makan dengan
nafsu yang berapi-api, sesungguhnya pada saat itu kita kembali lagi menjadi manusia
estetis.
2. Tahap Etis
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yan semula
estetis menjadi etis. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang
ia mulai menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Pada tahap ini manusia mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih
untuk mengikatkan diri, sudah mulai ada passion dalam menjalani kehidupan
berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Ia mulai memiliki
pedoman hidup, yang tercermin nyata dalam tingkah lakunya. Masih ada soal rasa,
tapi coba ia kuasai dengan logika, akal, nalar, rasio atau apapun namanya. Intinya
adalah pengendalian. Rasa dan nafsu tetap ada, namun disesuaikan dengan pedoman
hidupnya. Prinsip kesenangan seksual tidak diproyeksikan langsung tetapi melalui
pernikahan, ada unsur memuaskan seksual namun ada tujuan lainnya. Pernikahan
adalah langkah awal perpindahan dari eksistensi estetis ke eksistensi etis. Hidup

manusia etis tidak lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Mencari kekayaan
dengan bisnis yang legal. Berusaha meraih popularitas dengan usaha keras dan sabar.
Pada tahapan ini, manusia dapat menolak hal-hal yang tak sesuai dengan pedoman
hidupnya. Ia adalah sosok yang sadar akan peran dan otonomi hidupnya, rasio lebih

condong digunakan ketika mengalami keraguan, dan konsisten dengan pilihannya
tersebut.
Contoh dari manusia etis adalah Socrates. Pada 399 SM Socrates didakwa
“memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum muda”, serta tidak
memercayai dewa-dewa yang telah diterima. Para juri menyatakan bahwa Socrates
bersalah. Ia pun diberi dua pilihan oleh pengadilan: minum racun lalu mati atau
mengakui kesalahannya karena telah menyebarkan paham sesat lalu keluar dari
Yunani. Socrates kemudian memilih untuk minum racun karena ia pikir jika ia
menghindar untuk menyelamatkan dirinya dan badannya, berarti ia mengingkari hati
nuraninya sendiri. Socrates termasuk ke dalam contoh manusia etis karena ia mau
“menunda kesenangan—badani—nya untuk sebuah kebahagiaan yang lebih besar”.
Menurut Kang Syarif, pada umumnya manusia itu bergerak dari estetis ke etis seiring
dengan pertambahan usianya. Semakin ia bertambah dewasa, manusia semakin
merasa harus melakukan hal-hal yang sebenarnya “tidak ia sukai”, semata-mata
untuk menunaikan tanggung jawabnya.


3. Tahap Religius
Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari eksistensial manusia. Pada
tahap ini manusia meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Lompatan dari tahap etis ke
tahap religious jauh lebih sulit dan sublim daripada lompatan dari tahap estetis ke
tahap etis. Karena Kierkegaard seorang teolog, maka tahapan akhirnya adalah realitas
Tuhan. Pada tahapan ini, logika akan dikalahkan oleh keyakinan subyektif yang
berdasarkan pada iman. Kesulitan untuk masuk ke tahap ini adalah paradoks tentang
Tuhan itu sendiri, misalnya: adakah Tuhan? Atau jika Tuhan itu Maha baik mengapa

ada kejahatan? pernah mendengar ada penyakit tak tersembuhkan, kemudian dengan
percayanya pada Tuhan penyakit tersebut lenyap dengan ajaib? Atau ketika hidup
dilanda musibah, ada mukjizat Tuhan menyelamatkan? Semua pengalaman itu
merupakan wujud dari rasa percaya, dan tak bisa dijelaskan dengan logika atau
penjelasan rasional atas paradoks itu semua, hanya berbekal keyakinan seorang
individu dapat masuk ke tahap ini.
Perbedaan lainnya terletak pada objektivitas dan subjektivitas nilai. Nilainilai kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat objektif (universal), sehingga ada
rujukan yang bisa diterima, baik secara rasional maupun secara common sense.
Sebaliknya, nilai-nilai religius bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit
diterima akal sehat. Tidak mengherankan kalau sikap dan perilaku manusia religius
sering dicap “tidak masuk akal”, nyentrik, atau bahkan “gila”. Hidup dalam Tuhan
adalah hidup subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada
sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane.
Masuk dari tahap estetis ke etis dibutuhkan sebuah komitmen untuk menjadi
diri sendiri dan memiliki pedemoan hidup terutama kemampuan untuk membedakan
yang baik dan salah, bukan hanya sekedar pengetahuan akan tetapi juga penghayatan
dan pengalaman.
Pandangan Kierkegaard ini sangat berbau keagamaan karena memang beliau
berasal dari teologi, Kierkegaard menganggap bahwa Tuhan lah tujuan eksistensi
manusia.

DAFTAR PUSTAKA

 Abidin, Z. (2007). Analisis eksistensialis. Pendekatan alternative untuk Psikologi
dan Psikiatri. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
 Abidin, Z. (2007). Filsafat Manusia. Memahami manusia melalu filsafat. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
 Phylosophy of Soren Kierkegaard. (e.n.). di Wikipedia, diakses Maret 23, 2010, dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Phylosophy_of_soren_kierkegaard
 Soren_kierkegaard.di Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses Maret 23, 2010,
dari http://plato.stanford.edu/entries/kierkegaard
 Tiga Tahap Eksistensi Manusia, Kierkegaard, diakses Maret 29, 2014, dari
http://psipop.blogspot.com/2010/03/kierkegaard-tiga-tahap-eksistensi.html
 Tiga Tahap Eksistensi Soren Aabey Kierkegaard, diakses Maret 29, 2014, dari
http://filsafat.kompasiana.com/2013/11/30/tiga-tahap-eksistensi-soren-aabeykierkegaard-615323.html