Kesadaran Sosial atau Kesadaran Asosial

Kesadaran Sosial atau Kesadaran Asosial?
Grameen Bank di antara Agensi Pelaksana dan Agensi Sensual
Geger Riyanto
Abstrak
Program-program sosial—pengentasan kemiskinan, pemberdayaan, dan
lain-lain—umum dipahami berasal dari kesadaran sosial. Saya ingin
berangkat dengan menyelewengkan pemahaman umum ini. Program
sosial, dalam kasus ini Grameen Bank, bergulir berkat apa yang saya
sebut sebagai kesadaran asosial. Dua kekuatan utama yang menyangga
keberlangsungan program ini saya identifikasi sebagai agensi pelaksana
dan agensi sensual. Agensi pelaksana adalah kerja lapangan Grameen
Bank. Demi kesinambungan program ini di lapangan, agensi pelaksana
dituntut melakukan berbagai hal yang konsekuensinya berkontradiksi
dengan citra meluas bank ini dari mempermalukan nasabah yang tidak
dapat membayar hutangnya hingga mengekonomisasi relasi-relasi lama.
Di sisi lain, terdapat agensi sensual yang pada kasus ini adalah aparatus
pencerapan yang dilanda kesakitan dan ketidakberdayaan manakala
menjumpai ketidakadilan dalam rupa kemiskinan. Punya urgensi
meredakan sensasi kontradiksi internalnya, agensi sensual pun
melapangkan jalan untuk kemunculan Yunus yang dianggap meretas
cara menuntaskan problem akut ini sebagai sosok terpandang. Kendati

kedua agensi ini berkecenderungan memuaskan kepentingan egoistisnya
masing-masing dan bahkan tampak bertentangan satu sama lain,
keduanya memungkinkan Grameen Bank sebagai sebuah program sosial
bekerja. Ironi, tulisan ini juga hendak menyampaikan, merupakan fitur
yang tak aneh kita jumpai pada saat kita mengasatmatakan prosesproses dalam kehidupan kolektif dengan logika translasi dan parasit
gagasan Michel Serres.
Kata kunci: Grameen Bank, program sosial, kredit mikro, pengentasan
kemiskinan, kesadaran asosial, Michel Serres

Perkenankan tulisan ini memulai dengan satu ihwal yang boleh jadi terkesan
menghabiskan waktu bila dihaturkan kepada audiens pemerhati isu kesejahteraan sosial.
Semua di tempat ini kenal Muhammad Yunus, saya cukup yakin. Semua tahu Grameen
Bank. Pada tahun 2006, Nobel Perdamaian disematkan kepada Yunus. "Untuk usaha
mereka menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari bawah," situs penghargaan
Nobel menjelaskan. Grameen Bank, dirintis oleh Yunus pada tahun 1983, dalam narasi
yang merebak luas merupakan sistem perbankan inovatif yang membuktikan bahwa
kawula paling melarat sekalipun mampu memperbaiki kehidupannya. Persoalannya
semata apakah mereka memperoleh kesempatan atau tidak. Yunus, berangkat dari
kepeduliannya, memberanikan diri mengulurkan fakir miskin kesempatan yang
seharusnya mereka miliki ini. Lewat dua dekade kiprahnya, Grameen Bank membuktikan


satu fakta yang menginspirasi lembaga keuangan di mana-mana membuka akses
pinjaman kepada para kawula termiskin. Sembilan puluh lima persen, fakta yang terusmenerus diulang manakala seseorang berbicara ihwal Grameen Bank, mengembalikan
pinjaman yang dikucurkan bank rintisan Yunus. Angka yang bukan hanya lebih tinggi
tapi jauh lebih tinggi dari angka pengembalian rata-rata.
Grameen Bank, dalam narasi yang tersampaikan kepada kita semua, memberdayakan
kawula miskin lebih efektif dari strategi pemberdayaan yang sudah-sudah. Mereka tak
perlu diberdayakan. Dengan sentuhan secukupnya, mereka dapat memberdayakan dirinya
sendiri. "[Bisnis sosial] membuka ruang baru tanpa menutup sisi yang lain," imbuh Yunus
menjelaskan konsep yang dijalankannya di mana keuntungan tak harus berjalan
berseberangan dengan kebutuhan sosial. Keduanya dapat saling mendorong,
memperkuat. Praktik bisnis tak harus mengorbankan salah satu di antara kesinambungan
dan pengabdian kepada masyarakat. Gerakan Yunus sendiri, yang menunjukkan peluang
keduanya beriringan, tulis majalah Fortune, "tak pelak revolusioner." Lanjut majalah ini,
"[g]agasan Yunus menggugah begitu banyak anak muda untuk mengabdikan dirinya
untuk misi sosial di seluruh penjuru dunia." Namun di balik gegap gempita Grameen
Bank, satu hal yang seharusnya mengganggu kita manakala memperbincangkannya
malah tak pernah benar-benar mengganggu kebanyakan kita. Bagaimana dengan praktik
perbankan ini di lapangan? Satu ciri yang boleh dikatakan konsisten berlaku di mana
narasi keberhasilan Yunus merebak adalah cerita-cerita kesuksesannya selalu

mengambang. Dengan mengambang, saya memaksudkan, kisah inspiratifnya tak pernah
diikuti oleh evaluasi implementasinya. Telusur Aminur Rahman (1999), jauh sebelum
Grameen Bank memperoleh ketenaran global yang diraihnya saat ini, memperlihatkan di
satu sisi klaim kesuksesan bank ini memang tak keliru. Tingkat pengembalian memang
tinggi. Persoalannya, satu sisi fakta Grameen Bank ini—fakta yang segera memobilisasi
lembaga-lembaga keuangan untuk melebarkan sasarannya kepada kelompok ekonomi
lemah sekaligus diapropriasi menjadi narasi bisnis sosial yang menggugah—menyebar
jauh lebih cepat dari kebenaran lain yang seharusnya turut tersebar bersamanya.
Tingkat pengembalian tinggi pinjaman Grameen Bank bukannya tanpa ekses. Grameen
Bank menerapkan mekanisme tanggung renteng. Tunggakan peminjam, artinya, tak
ditanggung oleh sang peminjam sendiri melainkan kelompok beranggotakan lima orang
yang ditunjuk untuk menanggungnya secara kolektif. Bank, konsekuensinya dalam
praktik Grameen Bank, sanggup mengikat kelompok penghasilan rendah tanpa
mensyaratkan mereka mempunyai aset yang dapat menjadi penjamin. Relasi sosial
mereka sendirilah yang (dikonversi) menjadi penjamin. Namun konsekuensinya untuk
peminjam, ia mendapat tekanan yang besar dari kelompoknya. Hal yang lumrah terjadi
selanjutnya adalah peminjam membayar dengan hutang baru ke lintah darat yang
meminta bunga tinggi. Fakta yang sepadan dijumpai Lamia Karim (2011) dalam
penelitiannya beberapa tahun kemudian. "[L]embaga-lembaga keuangan memanfaatkan


rasa malu wanita-wanita di pedesaan sebagai teknologi penertibannya untuk menagih
hutang. Norma kehormatan dan rasa malu para wanita yang menuntun perilaku mereka di
pedesaan diinstrumentalisasi lembaga-lembaga ini untuk memberlangsungkan
kesejahteraan kapitalis mereka" (Karim 2011:198). Yang terjadi, suami yang takut
kehilangan muka bila sang istri gagal bayar hutang menunggak hutang ke pihak lain dan
tak jarang kepada lintah darat. Beberapa tahun belakangan, Karim mencatat, lembagalembaga keuangan juga mengadu ke pengadilan, polisi, maupun para kades untuk
menagih hutang.
Grameen Bank juga dapat berkesinambungan tidak tanpa alasan. Ia memasang bunga
yang tak bisa dibilang rendah. Besaran bunga dalam skema pinjamannya tak kurang dari
dua puluh persen yang harus dibayarkan dalam tempo 52 minggu. Yang lazim terjadi
namun cukup langka terungkap adalah hutang yang menumpuk menyebabkan rumah
tangga mengalami tekanan. Wanita, yang ditekankan Grameen Bank sebagai subjek
sasarannya, dalam berbagai kasus justru menjadi sasaran kekerasan rumah tangga.
Wanita, yang dibangga-banggakan menjadi subjek emansipasi program ini, dalam praktik
yang meluas di desa-desa Bangladesh, tetap tak punya kekuasaan mengambil keputusan
digunakan untuk apa pinjaman mereka sendiri; pinjaman ke bank dilakukan atas nama
mereka tetapi keputusan membelanjakannya tetap berada di tangan sang suami. Ekses
Grameen Bank dan praktik-praktik pinjaman mikro selanjutnya adalah perombakan pola
hubungan lama. Pertama, yang sudah disinggung sebelumnya, hubungan antarkeluarga di
antara mereka yang kesulitan mengembalikan goncang bahkan mendorong

berlangsungnya KDRT. Namun selain itu, terinspirasi praktik yang dilakukan lembagalembaga keuangan, para wanita membuka praktik peminjaman uang mereka sendiri.
Akibatnya, mereka menjadi enggan untuk meninjamkan uang kepada para kerabat karena
dianggap tidak akan sanggup mengembalikannya. Relasi-relasi setempat, artinya, bukan
hanya dialihkan menjadi teknologi penertiban melainkan juga mengalami ekonomisasi
mengikuti intervensi yang dilakukan.
Fakta-fakta barusan, kendati demikian, tak pernah menjadi apa pun selain catatan pinggir
para antropolog untuk praktik Grameen Bank dan lembaga-lembaga keuangan mikro di
tempat kelahiran bank yang didaku untuk kaum papa tersebut. Beberapa tahun terakhir
ini, memang, kritik-kritik terhadap praktik Grameen Bank marak dikemukakan oleh
sejumlah peneliti. Bateman, dari telusur ekonomi, menyampaikan kredit mikro tak lain
dari perangkap kemiskinan dan kebijakan antipembangunan (Bateman 2010:5).
Metodologi evaluasi yang menunjukkan keefektifan kredit mikro dalam mengentaskan
kemiskinan kini dipertanyakan (Roodman dan Morduch 2009). Kisah-kisah sukses kredit
mikro merupakan segelintir kasus yang dipilih secara sengaja dan bukan representasi
yang kredibel untuk penerapannya secara meluas (Banerjee dan Duflo 2011). Tetapi
apakah kesan pertama yang kita dengar tentang sosok Yunus bila kita jauh dari
persentuhan dengan ranah yang punya kepentingan memeriksa serta menggugat kinerja

perbankannya? Tetap, perintis bank kaum papa. Sang pemimpi yang mendambakan dunia
tanpa kemelaratan. Temuan-temuan riset tidak, atau sekurangnya belum, mematahkan

laju citra Yunus serta lembaga keuangan mikro yang telah menjadi identik dengan
sosoknya. Nicholas Kristof, kolumnis New York Times menulis: "Kredit mikro tak
diragukan merupakan inovasi yang paling gamblang dalam kebijakan pengentasan
kemiskinan setengah abad terakhir ini." Apa kata insan awam? Seorang penonton
penampilan Yunus di acara "Daily Show" berkomentar, "Inilah sosok yang selalu kita
nantikan. Mereka cukup berbudi untuk menolong sesamanya yang membutuhkan. Kita
teramat membutuhkan sosok-sosok semacam. Saya berharap dapat memiliki sosok
semacam di seluruh dunia pasalnya mereka ringan tangan dan siap membantu kaum
papa."
Seseorang boleh menyangsikan kalau skema Grameen Bank benar-benar dibutuhkan oleh
subjek penerimanya. Namun, yang boleh dipastikan, Yunus dan skema pemberdayaannya
merupakan satu imajinasi yang dibutuhkan saat ini. Kata siapa? Kata penghargaanpenghargaan prestisius yang disematkan kepada Yunus—jumlahnya terlampau banyak
untuk disinggung di sini dan ia bahkan memiliki hari Muhammad Yunus, harinya sendiri,
di Houston, Texas. Skema Grameen Bank, setidaknya dalam pikiran bersahaja sebagian
pencerapnya, mengulurkan sebuah panacea untuk kontradiksi menyakitkan yang harus
diterima sebagai kondisi umum hari ini—ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi bergulir
pesat dan menjadi norma bagi negara-negara. Kekayaan kian menumpuk dan berlimpahlimpah. Tapi, orang-orang dipaksa menerima, sebagian kelompok tak mungkin
menikmatinya. Tanpa akses dan sumber daya yang tak pernah mereka miliki, sebagian
insan ini seakan ditakdirkan hidup, besar, dan meninggal dalam kemelaratan. Kita bisa
menyisihkan sebagian pendapatan untuk mereka. Dan, pertanyaan klasik dan klise yang

lekas mengemuka adalah, akan seberapa efektif? Untuk seberapa lama pemberian ini
akan berguna bagi mereka? Bagaimana bila pemberian ini justru menimbulkan
ketergantungan? Kegusaran ini menyiapkan panggung untuk kemunculan sosok
wirausahawan sosial, yang punya kepekaan terhadap sesama namun cukup brilian untuk
meretas cara yang realistis agar sejalan dengan realitas tatanan kontemporer. Muhammad
Yunus, tokoh kita, menjadi nama yang mengisi ceruk ini.
Apa yang terjadi di lapangan, terjadi di lapangan. Pinjaman mikro menjadi perangkap
kemiskinan baru. Di berbagai tempat, praktik-praktik kredit mikro semacam mengalami
krisis terima kasih kepada kebijakan menambah nasabah yang terlampau agresif. Gagal
bayar berlangsung di beberapa negara. Penyebabnya, Guerin dkk mengamati, punya
kemiripan satu sama lain. Lembaga-lembaga kredit mikro memberikan hutang kepada
warga yang sudah terikat pinjaman dengan lembaga kredit mikro lainnya (Guerin dkk.
2014:5). Dengan tingginya tingkat gagal bayar yang tercatat di Bangladesh, kita bisa
menerka hal ini pun tak terkecuali melanda para nasabah Grameen Bank. Hanya saja,
Grameen cukup cerdas tak pernah merilis laporan keuangan lengkapnya (Johnson

2014:83). Tetapi, kenyataannya, sekelumit kenyataan tersebut tak penting. Apa yang
penting menyangga keberlangsungan Grameen Bank hingga saat ini ia menjadi patokan
pemberdayaan di belahan-belahan dunia adalah apa yang terjadi di pikiran kita sendiri
yang membutuhkan bantalan dari pemandangan pedih ketidakadilan yang mudah kita

jumpai di mana-mana. Pikiran kita tak memerlukan detail empiris yang rumit bagaimana
mekanisme yang digagas Yunus mungkin untuk diterapkan. Dengan dahaganya akan
sebuah opsi untuk menuntaskan paradoks pembangunan, pikiran ini hanya butuh skema
Yunus terkesan masuk akal dalam logika yang paling sederhana sebelum menerimanya.
Resep yang berulang-ulang diumbar Yunus adalah kerja sosial perlu diperlakukan sebagai
bisnis agar realistis untuk dilangsungkan secara berkesinambungan dan, rupanya, bagi
banyak orang, formula nan generik ini masuk akal untuk mengentaskan persoalan paling
akut yang menjangkiti kemanusiaan.
Selanjutnya? Pikiran para subjek situasi neoliberal pun dengan sendirinya menyusun
narasi-narasi yang lazim kita jumpai saat ini. Berkat skema cemerlang Yunus, kelompok
termiskin yang kehilangan hak-haknya untuk hidup sejahtera kini dengan kekuatannya
sendiri dapat memperoleh kembali kesejahteraan itu. Yunus—yang lucunya berdasarkan
cerita versinya sendiri dan bukan studi evaluasi dari pihak ketiga—dibayangkan berhasil
meretas sebuah jalan keluar untuk paradoks keadilan yang menghantui para subjek
pembangunan. Ia memberikan jalan kepada mereka yang sebelumnya tak memiliki jalan
dan, pada saat yang sama, membuktikan bahwa kapitalisme atau tatanan di mana kita
menjalankan hidup sekarang dapat disempurnakan untuk menyediakan kesempatan,
kebebasan bagi setiap insan menentukan keberhasilan hidupnya. Yunus mengirimkan
pesan bahwa tatanan di mana kita hidup sekarang bukan tempat yang terlalu buruk!
Paling kurang, ia tak sama dengan di era kerajaan di mana kita tak punya kuasa untuk

nasib kita sendiri. Ia dapat diterima.
Apa yang terjadi? Yang terjadi, perkenankan saya menegaskannya, satu entitas yakni
program sosial rintisan Yunus bermutasi menjadi dua entitas yang berdiri sendiri-sendiri.
Di satu sisi, pada saat dihadapkan dengan kompleksitas variabel-variabel lapangan di
mana ia diterapkan, ia menjadi kerja yang menyimpang sama sekali dari ekspektasi
idealnya. Ia mengubah bentuk-bentuk hubungan lama untuk kepentingannya
menyehatkan perputaran uangnya. Ia mendorong investasi di ranah kredit mikro dan tak
dapat dikatakan bersih dari tanggung jawab atas maraknya nasabah terlilit hutang
belakangan. Ia, memang, membantu beberapa wanita yang cukup lihai memperoleh
penghidupan yang lebih memadai namun tak pernah benar-benar merombak tatanan
masyarakat Bangladesh yang patriarkis sebagaimana yang ramai dikampanyekannya. Di
sisi lain, pada saat dihadapkan dengan audiens di luar nasabahnya—di luar kalangan
ekonomi rentan lebih spesifiknya—praktik Grameen Bank mengalami romantisasi yang
memutus kesinambungannya dengan penerapan lapangannya. Berkat urgensi sensual
meredakan kecamuk dari mencerap ketimpangan pada situasi kehidupan kontemporer,

sebelum seseorang memikirkan bagaimana realisasi konkretnya Grameen Bank terlebih
dahulu dibayangkan sebagai titik terang problem ketidakadilan ekonomi di dunia yang
serba memikirkan keuntungan. Gambaran Jacques Attali dalam Christian Science
Monitor meringkas dengan efektif imaji ihwal Grameen Bank tersebut, "Grameen Bank

tak tertandingi di antara bank-bank pada umumnya. Para pekerjanya luar biasa tergerak
untuk membantu kaum papa, semua menghabiskan nyaris setahun hidup di antara warga
yang hendak mereka layani." Sebuah gambaran yang eksotis? Ya. Dan untuk
memperjelas apa yang saya maksud dengan idiom eksotis: ia berfungsi memenuhi
bayangan kita akan alteritas radikal yang saat ini absen di antara kita.
Rekan dari Lamia Karim, seorang guru besar, pada satu waktu, pernah menumpang taksi
dan dititipi pesan untuk Yunus. Mengetahui sang guru besar mengenal secara pribadi
Yunus, sang supir menitipkan pesan agar Yunus tak terlibat dalam politik. Yunus adalah
pemimpin yang membanggakan bagi orang-orang Bangladesh, dan terlibat di dunia
politik yang punya stereotip kotor ditakutkan sang supir akan menghilangkan rasa hormat
orang-orang kepadanya. Di antara orang-orang yang seharusnya dapat mencerap sendiri
Grameen Bank berpraktik, yang tercerap pun rupanya bukan citra aktualnya—atau, untuk
menyederhanakan, sebagaimana ia diterapkan di lapangan. Yang tercerap adalah citra
sensualnya atau ia sebagaimana ia dihadirkan oleh proyeksi batin diri untuk mendapati
apa yang diidamkannya. Grameen Danone, kendati kenyataannya menjual yogurt yang
harganya di atas jangkauan kalangan ekonomi lemah, berkat disinggung Yunus dalam
bukunya kini menikmati citra sebagai inisiatif bisnis untuk menyediakan makanan bergizi
bagi kaum papa. Sebut inisiatif sosial apa yang dibawakan Yunus dan besar peluang kita
akan mendapati praktik yang dibayangkan berbeda dengan praktik yang diterapkan.
Apakah Grameen Bank dengan demikian tak berhasil? Apakah ia, untuk mengutip idiom

populer dunia politik, sekadar pencitraan? Segelintir pengamat tak ragu menandaskan
demikian. Namun dengan memisahkan efek sensual dan efek aktual praktik Grameen
Bank, apa yang ingin dilakukan tulisan ini bukanlah mendikotomikan praktik
pemberdayaan yang gagal dan yang berhasil dengan asumsi yang sensual sekadar
pencitraan dan yang aktual adalah yang benar-benar diterapkan di lapangan. Pemikiran
yang menjadi pandu tulisan ini adalah pemikiran yang sama yang diajukan Ferguson
(1994) dalam penelitiannya perihal pembangunan di Lesotho; alih-alih menelisik apakah
praktik pembangunan berhasil atau gagal akan jauh lebih berfaedah bila kita menelusuri
apa yang terjadi dan mengambil tempat berkat kebijakan bersangkutan. Dengan
demikian, kita tak akan tiba pada kesimpulan normatif yang sekadar mendakwa sebuah
praktik berhasil atau gagal, melainkan memperoleh pemahaman tentang mengapa ia terus
berjalan meski orang-orang mengatakan ia gagal. Proyek pembangunan Thaba-Tseka
bantuan pemerintah Kanada yang diteliti Ferguson, memang, gagal bila dievaluasi
efektivitasnya dalam pengentasan kemiskinan yang merupakan tujuan normatif mengapa
proyek ini digulirkan. Tetapi ia menunaikan kepentingan pemerintah Lesotho untuk

memiliki bangunan-bangunan yang bisa ditempati aparatur negara di wilayah pedesaan
yang sebelumnya tak terjangkau birokrasi. Duduk perkara proyek ini bukanlah
keberhasilan berdasarkan takaran awalnya namun, hemat kata, siapa yang secara faktual
diuntungkan dalam prosesnya.
Mengapa saya memilah dampak praktik Grameen Bank ke dua dimensi yang berbeda?
Karena setidaknya ada dua jejaring kepentingan utama yang disting satu sama lain yang
diuntungkan sebagai dampak dari skema yang digagas oleh Yunus ini dan kepuasan
keduanya punya andil vital menjamin keberlangsungannya. Sebuah praktik, saya
mengambil asumsi di sini, tak pernah hadir mulus tanpa proses friksi dengan agensiagensi yang membentuk ranah di mana ia dilangsungkan. Untuk bisa terselenggara, ia
mutlak harus diterjemahkan oleh agensi yang lebih rampung posisinya yang dilintasinya.
Satu tindakan, sebagai konsekuensinya, akan bercabang merampungkan efek yang
berbeda-beda pada himpunan penerima yang berbeda-beda. Dan bila harus berbicara
asumsi metafisis, bagi saya, satu tindakan tak pernah bisa dipisahkan secara jelas dengan
efeknya. Bagi seseorang seperti Ferguson yang ingin meneliti program pembangunan
sebagaimana ia bergulir alih-alih sebagaimana ia diekspektasikan merespons harapanharapan normatif, satu tindakan harus dilihat selaku praktik yang menjadi nyata berkat
bertanggapan dengan kebutuhan partikular para pencerapnya; ia mungkin berlangsung
dan berkesinambungan lantaran memiliki faedah bagi kepentingan-kepentingan yang
konkret bekerja di mana dia digulirkan. Program pembangunan Lesotho berjalan
bukannya karena kepentingan mengentaskan kemiskinan yang sumir menunaikan
kepentingan siapa melainkan karena menunaikan kepentingan para birokrat, yang
kehadirannya konkret dan mengambil andil dalam penyelenggaraannya. Tindakan
bergulir bukan berkat tindakan itu sendiri melainkan berkat dieksploitasi; berkat, bila
saya mempergunakan istilah Michel Serres (1982), dirubungi oleh para parasit yang
mengisapnya untuk menjadi besar sendiri-sendiri.
Hal yang sama terjadi dalam praktik Grameen Bank sebagaimana ia diterapkan pada
lokalitas yang telah kita singgung di atas. Kepentingan variabel-variabel lokal, secara
khusus kebutuhan finansial bank ini di lapangan untuk secara aktual bertahan, akhirnya
mendorongnya bermutasi menjadi praktik-praktik yang justru kita jumpai sekarang ini.
Demikian juga warga setempat, yang terdorong meminjam berkat kehadiran lembagalembaga keuangan mikro sebagai alternatif peminjaman yang lebih ringan ketimbang
lintah darat, menjadi agensi yang memantapkan pola praktik bank ini yang sekarang
menjadi mantap. Namun bila dalam telaah Ferguson kepentingan yang ambil andil
mengeksploitasi dan memantapkan proses pembangunan adalah kepentingan politik, saya
ingin memperluas apa yang tergolong sebagai sebuah kepentingan: kebutuhan sensual
juga sebuah kepentingan. Masing-masing kita, audiens awam yang menyaksikan
Grameen Bank dari satu kejauhan tertentu, punya kepentingan meredakan ketegangan
batin yang mengganggu akibat pemandangan kehidupan yang tidak adil, tidak selayaknya

bagi kaum papa. Kita punya dahaga untuk lekas-lekas mendapati kejelasan satu titik
terang bagi kelompok yang tak beruntung ini dan, pada saat yang tepat, sosok Yunus
muncul. Grameen Bank hadir dengan skema yang cukup masuk akal untuk meretas
kesempatan mengakhiri musuh yang menghantui perasaan kita untuk waktu yang lama
bernama kemiskinan. Urgensi sensual ini pun mewujudkan wajah kedua praktik Grameen
Bank yang menggugah, murni, tak bercacat cela dan amat berseberangan dengan wajah
pertamanya yang terbentuk akibat tuntutan bertahan di antara rimba yang boleh jadi tak
pernah dibayangkan akan seliar sebagaimana dihadapinya.
Namun gambaran situasi yang pada dasarnya ironis ini tak ingin mendakwa Grameen
Bank sebagai program gagal melainkan mengajukan, boleh jadi, ironi merupakan kondisi
umum berbagai upaya peningkatan kesejahteraan sosial. Bahkan, boleh jadi, ironi ini
sendirilah yang memungkinkan keberlangsungan program-program sosial. Sebagai satu
diskursus, peningkatan kesejahteraan sosial lazim dimotivasi secara—sebenarnya—
egoistis oleh kebutuhan sensual menyingkirkan penanda memedihkan kemiskinan seolah
ia objek konkret yang bisa disingkirkan. Dalam penerapan kebijakannya, persoalannya,
program akan segera menghadapi variabel-variabel tak terduga yang memaksanya tak
mengindahkan citra-citra ideal yang awal dibayangkannya. Masing-masing agensi, untuk
kembali mempergunakan terma Serres (1982), merupakan monad tuli yang
mendengarkan monad bisu berbicara. Masing-masing adalah tembok tertutup yang tak
akan pernah digerakkan oleh aspirasi tembok tertutup lainnya melainkan oleh terjemahan
masing-masing monad terhadap tindakan monad lain. Kita tak pernah benar-benar ambil
peduli dengan bagaimana sebuah program dilaksanakan. Kita memedulikan perasaan kita
sendiri yang tercabik-cabik dan untuk kepentingan inilah kita mendukung program sosial,
memberikannya alasan untuk terus memperoleh pendanaan baik dari negara, donor,
maupun para penderma murah hati. Para pelaksana program, di sisi lain, tak
memedulikan perasaan kita. Kepentingan mereka sederhana yakni bagaimana
pekerjaannya terlaksana, berjalan, bertahan.
Siapa yang lantas dapat disalahkan untuk kondisi ini? Tulisan ini menyarankan, tidak ada.
Kecuali mungkin satu hal: angan-angan kita tentang "yang sosial" dalam apa yang kita
sebut program kesejahteraan sosial. Program-program sosial acap berjalan dimobilisasi
oleh berbagai hal kecuali satu hal yang malah didaku-daku sebagai alasan mendasarnya,
kesadaran sosial. Saya curiga, motor dari kegiatan sosial justru adalah sebaliknya—
kesadaran asosial. Apakah program yogurt kerja sama Grameen Bank dan Danone
bermanfaat untuk mereka yang dirancang selaku penerimanya? Hal ini bisa
diperdebatkan. Namun yang tak usah diperdebatkan, ia bermanfaat untuk citra korporat
itu sendiri. Berkat program ini, Danone dapat bercerita pihaknya telah berpartisipasi
mengulurkan bantuan berarti yang memungkinkan kawula termiskin memperoleh hak
atas gizi yang sebelumnya seakan menjadi milik eksklusif kalangan berpenghasilan.
Foto-foto wanita dan anak-anak papa menikmati dengan riang dan lugu yogurt Grameen

Danone menghiasi setiap kampanye maupun ulasan produk ini. Dan mengapa citra
korporat Danone memperoleh manfaat? Karena, tanpa perlu alasan lebih jauh, kita, yang
dibidik menjadi konsumen merek ini, luluh dengan kerja apa pun yang berusaha
memulihkan hak sesama manusia yang bukan karena apa-apa selain nasib buruk tak
memperoleh kehidupan yang setara. Program sosial membantu kita membayangkan
bahwa tatanan di mana semua manusia duduk sama rata, sama rasa adalah mungkin.
Namun, apa kontribusi dari kepuasan afektif ini terhadap pelaksanaan program ini di
lapangan manakala pelaksana dihadapkan dengan kewajiban mengembalikan uang yang
ditanamkan investor dan kelompok sasarannya yang tak sanggup membelinya? Apa peran
citra sensual ini ketika Grameen Bank harus menagih kaum papa yang usahanya gagal
agar kinerja keuangannya tetap sehat?
Kendati demikian, tetaplah sebuah fakta bahwa agensi sensual ini punya andil tak
tergantikan dalam memastikan keberlangsungan program sosial. Selama para politisi
masih menikmati perasaan heroik meloloskan kebijakan-kebijakan membantu masyarakat
kecil, selama perusahaan-perusahaan menuai citra positif dengan berkontribusi bagi
kehidupan kaum tak mampu, selama para taipan menjadi pahlawan dengan menyisihkan
hartanya untuk mereka yang tak seberuntung dirinya, program-program sosial baru akan
terus bergulir. Hanya saja, perlu ditekankan, apa yang saya istilahkan sebagai agensi
pelaksana dan agensi sensual akan selalu bekerja dengan logikanya masing-masing, di
ceruknya masing-masing. Para pelaksana program dengan pikiran untuk mencapai targettargetnya. Dan yang lain-lainnya, sebagai penonton, dengan hasrat mereguk citra
dientaskannya kemiskinan. Keduanya mungkin untuk beririsan tetapi hanya sepanjang
setiap agensi dapat mengeksploitasi keterlibatan yang lain dan berjalan dengan kacamata
kudanya masing-masing. Kesejahteraan sosial, semoga tulisan ini dengan memadai
menyampaikan, adalah urusan dari agensi-agensi yang asosial.
Daftar Pustaka







Bateman, Milford. 2010. Why Doesn’t Microfinance Work? London: Zed Books.
Eduardo, David dkk. 2013. “Microcredit: A Model for Activating Poverty Zone in
Mexico”. dalam Financial Cooperatives and Local Development disunting oleh
Silvio Goglio dan Yiorgos Alexopoulos. Oxon: Routledge. Hal 227-232.
Ferguson, James. 1990. The Anti-Politics Machine: ‘Development,’
Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho. Cambridge: Cambridge
University Press.
Guerin, Isabelle, Solene Morvant Roux, dan Magdalena Villareal. 2014.
“Introduction” dalam Microfinance, Debt and Over-Indebtedness: Juggling with
Money disunting oleh Isabelle Guerin, Solene Morvant Roux, dan Magdalena
Villareal. Oxon: Routledge. Hal 1-23.












Johnson, Susan. 2014. “Debt, Over-Indebtedness amd Wellbeing: An Exploration”
dalam Microfinance, Debt and Over-Indebtedness: Juggling with Money
disunting oleh Isabelle Guerin, Solene Morvant Roux, dan Magdalena Villareal.
Oxon: Routledge. Hal 64-85.
Karim, Lamia. 2011. Microfinance and Its Discontents: Women in Debt in
Bangladesh. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Rahman, Aminur. 1999. Women and Microcredit in Rural Bangladesh. Colorado:
Perseus Books.
Roodman, David dan Jonathan Morduch. 2009. The Impact of Microcredit on the
Poor in Bangladesh: Revisiting the Evidence. Washington DC: Center for Global
Development.
Serres, Michel. 1982. The Parasite. Baltimore: The John Hopkins University
Press.
Sinclair, Hugh. 2012. Confessions of a Microfinance Heretics: How Microlending
Lost Its Way and Betrayed the Poor. San Fransisco: Berett-Koehler Publishers.
Yunus, Muhammad. 2010. Building Social Business: The New Kind of Capitalism
that Serves Humanity’s Most Pressing Needs. New York: Public Affairs.