Konsep Balance Yang Perlu Dikuasai Orang

5 Konsep Balance Yang Perlu Dikuasai
Orang Accounting
Semua orang accounting tahu ‘balance’ adalah kata keramat, segalanya, tidak boleh
ditawar-tawar, harga mati! Demikian keramatnya sampai-sampai ada pemeo—diantara
orang accounting sendiri—yang menyebutkan:
Balance belum tentu benar, tetapi kalau tidak balance sudah pasti salah!”
Artinya, jika anda staf accounting maka saat tutup buku (di akhir bulan/tahun) tidak boleh
pulang sebelum ‘Neraca Saldo’ dalam kondisi balance. Kalau perlu lembur sampai jam 11
malam! Sebab jika belum balance bisa dipastikan buku anda mengandung kesalahan.
Dan jika anda seorang cash accountant, maka aturan yang sama berlaku setiap sore hari
(menjelang penutupan buku kas); tidak boleh pulang sebelum rekonsiliasi kas menghasilkan
saldo yang balance antara fisik dengan buku (catatan). Sebab jika belum balance maka bisa
dipastikan ada yang “tidak beres” dengan Buku Kas anda.
Sifat keramat itu lah yang membuat ‘balance’ menjadi semacam ‘mantra ajaib’ berkekuatan
magis. Bayangkan:
Anda akan merasakan kelegaan luar biasa begitu berhasil menemukan ‘biang kerok’ selisih
yang sempat membuat buku tak balance berhari-hari. Sariawan yang sempat mewabah (dan
membuat seisi ruangan bisu) mendadak sembuh begitu buku terlihat balance.
Malah ada yang bilang, nemu “balance” itu rasanya seperti:



Nemu duit 1 milyar; atau



Mendapat jawaban “I love you too” untuk pertamakalinya setelah 5 tahun kirim sms “I Love
you” namun tak pernah dibalas.

Intinya: Anda belum bisa disebut orang accounting jika belum pernah pusing gara-gara
urusan balance-atau-unbalance.
“Ah, biasa aja tuh. Saya nggak pernah dipusingkan oleh urusan balance, apalagi setelah
pakai software akuntansi” kata admin Unyu.
Ya, saya sendiri juga sudah jarang dipusingkan oleh urusan ‘debit-credit’ balance yang
lumrah dialami oleh pemula. Bukan tidak samasekali, tapi jarang. Bukan karena software,
tapi karena sudah terbiasa saja—“wis kulino” kalau istilahnya Mas Wong.
“Tantangan utama belajar akuntansi, ya, membiasakan diri dengan debit-credit dan balance
itu” kata Unyu.
Saya setuju dengan Unyu. Namun, seperti sudah sering saya sampaikan, khususnya
kepada rekan-rekan yang sudah cukup lama bekerja di accounting, jangan merasa

puas hanya karena sudah tidak dipusingkan oleh urusan balance terkait jurnalmenjurnal dan laporan keuangan saja. Sebab, semakin lama anda berkarir di wilayah

akuntansi, semakin besar tanggungjawab yang anda pikul, akan semakin banyak
urusan balance lainnya penting untuk dipahami.
Setidaknya ada 5 macam balance yang perlu dipahami oleh orang accounting, seperti saya
tuliskan di bawah.

1. ‘Debit–Credit’ Balance
Seperti kata Mas Unyu, ‘debit-dan-kredit’ memang konsep balance yang paling fundamental,
thus wajib dikuasai oleh orang accounting. Dengan kata lain, seseorang bisa dipastikan gagal
belajar akuntansi bila tidak paham konsep debit-credit balance ini.
Nah, bagaimana caranya memahami konsep debit-credit balance?
Pertama, anda pahami persamaan akuntansi berikut ini:
A= L+E
Dari struktur persamaan di atas jelas terlihat, A pada sisi Kiri pasti selalu sama dengan ‘L + E’
di sisi Kanan. Dengan kata lain, A di sisi Kiri selalu dalam kondisi seimbang (balance)
dengan ‘L+E’ yang ada di sisi Kanan. Thus, setiap perubahan pada A pasti diikuti oleh
perubahan pada L+E.
Contoh:
A=L+E
3=2+1
3 = 3 (Seimban alias balance)

Jika A di sisi kiri kita tambah dengan angka 1, maka L+E di sisi Kanan juga harus ditambah
angka 1:
3+1 = 2 + 1 + 1
4 = 4 (Seimbang alias balance)
Atau, jika A di sisi kiri kita kurangi dengan angka 1, maka L+E di sisi kanan juga harus
dikurangi 1, maka:
3-1 = 2+1-1
2 = 2 (Seimbang alias balance)
Doktrinnya: Setiap perubahan di sisi KANAN mesti, kudu, harus, wajib, selalu, always,
disertai oleh perubahan sebesar yang sama di sisi KIRI, dan sebaliknya, sehingga posisinya
selalu seimbang (balance). Harus balance. Balance. Dan balance. Jika tidak berarti salah!

Persamaan A=L+E yang selalu balance di atas mewakili kondisi ‘Laporan Posisi
Keuangan’ (=Neraca) suatu perusahaan pada tanggal tertentu.
Bagaimana Akuntansi menerapkan konsep seimbang (balance) di atas?
Kembali ke persamaan,
A= L+E
Dimana:



A = Aset = Kekayaan perusahaan yang wujudnya bisa jadi berupa Kas, Piutang, Persediaan,
Tanah, Bangunan, Kendaraan, Mesin, Merk Dagang dan aset tak berwujud lainnya.



L = Liabilitas = Kewajiban perusahaan kepada pihak lain yang wujudnya bisa jadi Utang
Jangka Pendek kepada supplier yang biasa disebut Utang Dagang, Utang Gaji, Utang Pajak,
Utang Sewa, Utang Bunga dan Pokok Cicilan kepada Finance, Utang Jangka Panjang kepada
Bank dan Lembaga Pemberi Pinjaman lainnya.



E = Ekuitas (kadang disebut “Ekuitas Pemilik”) = Nilai bersih investasi dari para pemegang
saham (setelah dikurangi kewajiban dan utang) yang berupa Modal Saham dan Laba Ditahan.

Maka:
Aset (A) = Liabilitas (L) + Ekuitas (E)
Dalam penerapannya, persamaan ini bisa dibaca:



Aset perusahaan, sebagiannya merupakan hak kreditur (‘liabilitas’ dari sisi perusahaan) dan
sebagiannya lagi merupakan hak dari pemegang saham (‘ekuitas’ dari sisi perusahaan); ATAU



Aset Perusahaan, sebagiannya didanai dari Liabilitas (Kewajiban dan Utang) dan sebagiannya
lagi dari Ekuitas (Penjualan saham)

Kedua deskripsi di atas mengandung pengertian yang sama, yakni:
“Jika semua aset perusahaan dijual (pada nilia pasar wajar) maka hasil penjualannya
sebagaian harus dibayarkan kepada kreditur (vendors, suppliers, bank, lembaga
pembiayaan, Ditjen Pajak, pegawai, dll) yang memberi perusahaan pinjaman/utang, dan
sisanya dibayarkan kepada para pemegang saham yang menginvestasikan dananya pada
perusahaan.”
Secara teknis, dalam menerapkan sistim double-entry, anda harus memasukkan jurnal yang
mencerminkan kondisi seimbang di atas, pada setiap transaksi yang anda akui (catat) dalam
operasional perusahaan sehari-hari.
Misalnya:

Tgl 01/01/2015, para pemegang saham menyetorkan modal sebesar Rp 2,000,000,000 ke

dalam kas perusahaan, anda mencatat transaksi tersebut dengan jurnal—yang debit dan
kreditnya dalam kondisi balance—sebagai berikut:
[Debit]. Kas = Rp 2,000,000,000 (Aset)
[Kredit]. Modal Saham= Rp 2,000,000,000 (Ekuitas)
Lalu, tgl 15/02/2015, perusahaan menerima pinjaman tunai dari bank (untuk memperbesar
dana operasional perusahaan) sebesar Rp 1,000,000,000, maka anda mencatatnya dengan
jurnal:
[Debit]. Kas = Rp 1,000,000,000 (Aset)
[Kredit]. Utang Bank = Rp 1,000,000,000 (Liabilitas)
Selanjutnya, tgl 30/03/2015, perusahaan mulai membeli aktiva tetap berupa ‘Tanah dan
Bangunan Kantor’ (untuk menunjang operasional perusahaan) sebesar Rp 500,000,000, anda
catat transaksi tersebut dengan jurnal sbb:
[Debit]. Tanah dan Bangunan Kantor = Rp 500,000,000 (Aset)
[Kredit]. Kas = Rp 500,000,000 (Aset)
Tanggal 01/04/2015, perusahaan juga membeli Kendaraan untuk menunjang operasional
perusahaan senilai Rp 300,000,000, maka transaksi tersebut anda catat dengan jurnal:
[Debit]. Kendaraan = Rp 300,000,000 (Aset)
[Kredit]. Kas = Rp 300,000,000 (Aset)
Berikutnya, Tgl 10/04/2015, perusahaan mulai membeli Persediaan Barang Jadi (untuk
dijual nantinya) senilai Rp 200,000,000 dengan cara berhutang pada Toko ABC, transaksi ini

anda catat dengan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 200,000,000 (Aset)
[Kredit]. Utang Toko ABC = Rp 200,000,000 (Liabilitas)
Demikian seterusnya, setiap transaksi yang anda akui dicatat dalam format double-entry yang
mencerminkaan kondisi seimbang sesuai dengan persamaan akuntansi di atas.
Jika semua contoh transaksi di atas saya rangkum, jadinya sbb (tetap
balance/seimbang):

Itu baru contoh transaksi yang melibatkan akun-akun Laporan Posisi Keuangan (Neraca).
Bagaimana dengan transaksi-transaksi yang melibatkan akun-akun Laporan Laba/Rugi?
Kedua, pahami persamaan LABA/RUGI di bawah ini:
Laba/Rugi (tahun Berjalan) = Pendapatan – Biaya/Beban
Ketiga, pahami hubungan “Laporan Laba/Rugi” dengan “Laporan Posisi Keuangan”
(=Neraca), sbb:
Ekuitas (di Neraca) = Modal Saham + Saldo Laba Ditahan – Dividend
Sementara,
Saldo Laba Ditahan = Akumulasi Laba Ditahan + Laba/Rugi (Tahun Berjalan)
Jika digambarkan dengan diagram debit-kredit, pola hubungan di atas akan nampak sbb:

Contoh (Praktikal):

Pada tanggal 25/04/2015, perusahaan menjual keseluruhan Persediaan Barang Jadinya kepada
pelanggan DEF seharga Rp 300,000,000 dengan HPP 200,000,000 dan Beban Operasional
untuk periode yang sama sebesar Rp 50,000,000. Atas transaksi tersebut dicatat:
[Debit]. Piutang Dagang DEF = Rp 300,000,000 (‘Aset’ berupa ‘Piutang’ di ‘Neraca’
bertambah)
[Kredit]. Pendapatan = Rp 300,000,000 (‘Pendapatan’ berupa ‘Penjualan’ di ‘Laba/Rugi’
bertambah)
(Jurnal untuk mengakui penjualan dan Piutang)
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 200,000,000 (‘Biaya’ berupa ‘HPP’ di ‘Laba/Rugi’
bertambah)
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 200,000,000 (‘Aset’ berupa ‘Persediaan Barang Jadi’
di ‘Neraca’ berkurang)

(Jurnal untuk mengakui penurunan nilai persediaan dan timbulnya HPP)
Serta;
[Debit]. Beban Operasional = Rp 50,000,000 (‘Beban’ di ‘Laba/Rugi’ bertambah)
[Kredit]. Utang Usaha = Rp 50,000,000 (‘Liabilitas’ berupa ‘Utang’ di ‘Neraca’ bertambah)
(Jurnal untuk mengakui timbulnya beban operasional yg menimbulkan utang usaha di sisi
lainnya karena belum dibayar).

Jika semua akun kelompok ‘Laporan Posisi Keuangan’ (=Neraca) dikumpulkan maka
hasilnya menjadi sbb:
[Debit]. Piutang Dagang DEF = 300,000,000 (Aset – bertambah)
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = 200,000,000 (Aset – berkurang)
[Kredit]. Utang Usaha = Rp 50,000,000 (Liabilitas – bertambah)
Artinya, di sisi ‘Aset’ bertambah 100 Juta, tetapi di sisi ‘Liabilitas’ hanya bertambah 50 juta.
Artinya juga, Laporan Posisi Keuangan (Neraca) tidak dalam kondisi seimbang! (ada selisih
lagi 50 juta) Pertanyaannya: Dimanakah selisih yang lagi 50 juta tersebut?
Mari kita tengok pada kelompok ‘Laba/Rugi’. Jika jurnalnya dikumpulkan jadinya sbb:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 200,000,000 (Biaya – L/R)
[Debit]. Beban Operasional = Rp 50,000,000 (Beban – L/R)
[Kredit]. Pendapatan = Rp 300,000,000 (Pendapatan – L/R)
Jika dimasukkan ke dalam “Persamaan Laba/Rugi” jadinya:
Laba/Rugi = Pendapatan – Biaya – Beban
Laba/Rugi = 300 juta – 200 juta – 50 juta
Ada Laba sebesar Rp 50 juta!
Nah, angka Laba inilah masuk ke akun ‘Laba Ditahan’ pada kelompok ‘Laporan Posisi
Keuangan’ (=Neraca) sebesar Rp 50 juta. Tentu bukan merangkak lalu tiba-tiba masuk ke
Neraca, melainkan melalui proses TUTUP BUKU di akhir periode.
Esensi dari tutup buku, semua saldo akun kelompok Laba/Rugi (biasa disebut ‘Temporary

Account’) dinol(0)-kan dengan jurnal pembalik. Untuk semua terkait laba/rugi di atas dijurnal
balik, sbb:
[Debit]. Pendapatan = 300,000,000 (pendapatan diletakkan di sisi debit)
[Kredit]. HPP = 200,000,000 (HPP diletakkan di sisi kredit)
[Kredit]. Beban Operasional = 50,000,000 (Beban OP diletakkan di sisi kredit
[Kredit]. Laba/Rugi = 50,000,000 (muncul saldo Laba/Rugi baru)
Dengan dimasukkannya jurnal pembalik di atas maka:


Saldo akun Pendapatan menjadi 0 (nol)



Saldo akun HPP menjadi 0 (nol);



Saldo Beban OP juga menjadi 0 (nol); dan




Muncul akun baru bernama “Laba/Rugi” dengan saldo kredit sebesar Rp 50 juta.

(Catatan: akun laba/rugi bersaldo kredit artinya perusahaan membukukan “laba”,
sedangkan jika bersaldo debit berarti perusahaan membukukan “rugi”.)
Selanjutnya, akun Laba/Rugi bersaldo kredit 50 juta yang baru muncul itupun juga harus
ditutup alias di-0(nol)-kan dengan jurnal pembalik:
[Debit]. Laba/Rugi = Rp 50 juta (saldo akun ‘Laba/Rugi’ di kelompok Laba/Rugi menjadi
nol)
[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 50 juta (masuk ‘Ekuitas’ di kelompok ‘Neraca’)
Dengan jurnal pembalik terakhir ini maka:


Semua akun di kelompok ‘Laba/Rugi’ menjadi bersaldo 0 (inilah yang disebut “ditutup
buku”); dan



‘Saldo Laba Ditahan’ (pada ‘Ekuitas’) bertambah sebesar Rp 50 juta dan membuat ‘Laporan
Posisi Keuangan’ (Neraca) menjadi seimbang alias balance.

Seperti Mas Unyu bilang, sebagai orang accounting minimal anda harus menguasai
konsep dan teknik Debit-Credit Balance di atas. Gagal memahaminya, maka bisa
dipastikan anda akan selalu pusing tujuh keliling setiap menjelang tutup buku; sedikit
ada selisih anda akan kesulitan dalam melakukan penelusuran.
Pertanyaannya: Apakah menguasai Debit-Credit Balance saja sudah cukup bagi orang
accounting?
Untuk posisi staff (entah itu Cash Accountant, A/R Accountant, A/P Accountant, Fixed Asset
Accountant, Junior Auditor Internal dan Junior Auditor External), YA, cukup. Namun untuk
posisi management (Chief Accountant, Chief Internal Auditor) ke atas, NO, tidak cukup.
Masih ada setidaknya 4 konsep balance lainnya yang penting untuk anda pahami untuk bisa
sukses menjalankan fungsi di management level.
Kita masuk ke konsep balance yang kedua…

2. ‘Reliability–Relevancy’ Balance
Tagline sebuah brand tertentu menyebutkan “sebab kualitas adalah segalanya.”
Hal yang sama juga berlaku di Accounting. Produk utama yang dihasilkan oleh proses
accounting, yakni “Laporan Keuangan”, harus berkualitas!

Namun, ada 2 (dua) parameter kualitas Laporan Keuangan yang seringkali berbenturan, yaitu
antara: Keandalan (reliability) dan Ketepatwaktuan (relevancy).
Di satu sisi Laporan Keuangan harus akurat dan tidak mengandung salahsaji bersifat material
thus tidak menyesatkan pengguna, alias bisa diandalkan (reliable). Namun di sisi lainnya juga
harus disajikan secara tepatwaktu (relevant). Masalahnya, untuk memastikan keandalan perlu
proses validasi, verifikasi, check-and-recheck, dan proses audit yang bisa jadi mengkonsumsi
waktu ekstra lama.
Pertanyaannya: Jika waktu yang diperlukan untuk memastikan keandalan laporan
keuangan sampai melewati batas ketepatwaktuan, apa yang harus anda lakukan?
Jawabannya: Mencari titik trade-off yang paling imbang (balance)!
Dimana titik-imbangnya?
Jika saat ini masih di staff-level, apalagi masih entry-level, maka titik imbang yang anda
cari adalah: apa kata boss saja. Maksud saya, anda tidak punya kewajiban untuk ikut pusing
memikirkan hal rumit seperti ini; tinggal nurut apa kata atasan saja. Disuruh validasi ulang ya
anda validasi ulang, disurug verifikasi ya verifikasi, disuruh cepat-cepat ya anda kerjakan
secepat-cepatnya. Begitu saja lebih baik.
Tetapi jika anda seorang atasan, Chief Accountant misalnya, atau Financial and
Accounting Manager, maka anda wajib tahu mana yang harus diperioritaskan dan mana yang
harus dikorbankan.
Jika kelak sampai ke executive level, anda akan menemukan bahwa dilemma serupa terjadi
hampir di semua department. Urusan mencari titik trade-off yang paling imbang terbilang
klasik. Klasik banget. Misalnya:


Di Marketing Dept – Dilemma antara memberikan pelayanan ekstra (untuk customer
satisfaction) dengan Budgeted Marketing Cost yang tentu saja ada batasnya. Atau antara
credit policy yang longgar (untuk meningkatkan customer loyalty) dengan dengan sistim
penagihan yang agresif (untuk menekan bad-debt), dlsb.



Di Production Dept – Dilemma antara kualitas dengan volume produksi. Jika speed digenjot
sudah pasti akan mengorbankan kualitas. Sementara jika kualitas diketatkan maka sudah
pasti menurunkan kecepatan yang artinya akan mengorbankan leadtime thus delivery time
yang sudah dikomitmenkan. Atau mengadopsi teknologi baru (untuk mempercepat proses
tanpa mengorban kualitas) namun dibatasi oleh manufacturing overhead. Atau tambah shift
waktu kerja (untuk menggenjot volume tanpa mengorbankan kualitas) namun dibatasi pula
oleh Labor Cost, dlsb.

(Saya bisa teruskan sampai ke R&D, Store Front, HRD, IT, hingga satpam dan officeboy.
Tapi cukuplah. Yang jelas ini sesuatu yang biasa, klasik, dan terjadi dimana-mana, bukan
hanya di accounting saja).
Lalu dimana titik trade-off yang paling ideal, mana yang harus diperoritaskan dan
mana yang sebaiknya dikorbankan?

Titik trade-off untuk semua dilemma di atas (termasuk antara reliability dan relevancy pada
laporan keuangan) kuncinya ada pada: RISIKO! Konkretnya:


Mana yang mengandung risiko paling tinggi (jika dikorbankan), maka itulah yang harus
diperioritaskan; ATAU



Mana yang mengandung risiko paling rendah (jika dikorbankan), maka itulah yang terpaksa
dikorbankan.

Nah, antara Keandalan (reliability) dan Ketepatwaktuan (relevancy) pada Laporan
Keuangan, mana yang lebih tinggi potensi risikonya jika dikorbankan?


Normatifnya: Semuanya penting. Tidak ada standard dan kode etik yg menyebutkan boleh
mengorbankan salahsatunya. Why? Tidak tepatwaktu berisiko disanksi atau bahkan didenda
oleh pihak luar. Sedangkan jika mengandung kesalahan (apalagi ada skandal), risiko nya
malah lebih besar lagi, salah-salah bisa masuk bui. Itu sebabnya anda tidak akan pernah
memperoleh jawaban pasti meskipun sudah cari keliling dunia. Para suhu enggan
memberitahu para junior secara terang-terangan, mana yang lebih penting antara reliability
dan relevancy.



Fragmatisnya: Risiko jangka pendek lebih penting untuk dihindari. Dengan kata lain,
ketepatwaktuan (relevancy) diutamakan. Sebab begitu anda langgar batas akhir pelaporan
otomatis anda kena masalah. Sedangkan risiko jangka panjang (ketidakakuratan dan skandal)
butuh waktu lama hingga timbul ke permukaan yang sementara itu mungkin sudah keburu
kedaluarsa atau sudah sempat direvisi.

Menurut anda, mana yang lebih baik; pendekatan normative atau pragmatis? Silahkan
dipertimbangkan.
Sayapun sebenarnya juga enggan memberitahu. Tapi, well, di JAK saya share sajalah. Ini
tidak berlaku universal, tapi saya ingin menawarkan 2 pointers sebagai bahan pertimbangan:


Pertama, laporan keuangan (beserta segala data yang ada di dalamnya) adalah informasi
penting bisa digunakan sebagai input dalam proses pengambilan keputusan bisnis. Bener
nggak? Nah, yang namanya informasi (apapun itu dan sebagus apapun kualitasnya) TAK ADA
GUNANYA bila sudah TIDAK RELEVAN!



Kedua, khususnya ‘risiko kepatuhan’ (compliance-risk) terhadap Ditjen Pajak, sebenar-dansebagus apapun laporan anda—sampai mengorbankan ketepatwaktuan misalnya—tetap saja
akan diperiksa, official assessment tetap jalan, hanya persoalan waktu. Dan sekali mereka
turun memeriksa maka pantang pulang dengan tangan kosong. Why? Sebab mereka turun
pemeriksaan juga ada beban operasional, siapa suruh nanggung? Iya kan? Dengan kata lain:
PASTI ADA TEMUAN! Dan temuan oleh auditor DJP ya sudah pasti risiko (kurang bayar plus
denda).

Rekomendasi: Idealnya, anda harus punya cara (apapun itu) agar bisa menyajikan laporan
keuangan yang selalu berkualitas sekaligus tepatwaktu. Tetapi kita tidak hidup di era yang
serba ideal—shit can happened, right? Jika bisa, minta tambahan waktu. Jika tidak, maka
artinya ketepatwaktuan (relevancy) lebih kritikal!

3. ‘Short-Long Term Profit’ Balance
Tujuan utama perusahaan adalah “laba” (profit). Betul?
Iya lah. Masa orang accounting nggak tahu.
Masalahnya, profit saja tidak cukup. Yang paling diharapkan adalah profit yang terus
meningkat dari waktu ke waktu, dari periode ke periode, dari tahun buku ke tahun buku
berikutnya, sehingga perusahaan terus bertumbuh (growth).
“Pertumbuhan” itulah yang kemudian melahirkan 2 macam orientasi dalam pencapaiannya,
yakni: profit jangka pendek (short-term profit) dan profit jangka panjang (long-term profit).
Anda yang bekerja sebagai akuntan di KAP (kecuali berposisi sebagai Partner) tentu tidak
perlu tahu hal-hal seperti ini. Sebab fungsi anda di sana hanya memeriksa laporan keuangan
klien apakah sesuai PSAK atau tidak. Tetapi, bila anda bekerja di dalam suatu perusahaan
non-KAP, terutama yang sudah management-level, akan seringkali dihadapkan pada dilemma
prioritas antara “Laba jangka pendek” (short-term profit) dengan “Laba Jangka Panjang”
(long-term profit).
Dilemma itulah yang kerap membuat para akuntan manajemen berbenturan dengan anggota
manajemen lainnya. Kadang berkembang menjadi konflik pribadi berpanjangan.
Pada sesi “pemangkasan beban/biaya” (cost cutting), dalam rangka
memperbaiki/menaikkan laba, misalnya. Yang terjadi, biasanya, orang accounting cenderung
berorientasi jangka pendek (short-term); mereka menawarkan cost-cutting yang sifatnya
aggressive. Misalnya:


Untuk mengatasi pembengkakan ‘Beban Operasional Gaji’: PHK sebagian staff OP!



Untuk mengatasi pembengkakan ‘HPP – Labor Cost’: stop overtime!



Untuk mengatasi pembengkakan ‘HPP – Overhead – Electricity’: Turunkan daya listrik!



Untuk mengatasi pembengkakak ‘Capital Expense – Fixed Asset Purchase’: Repair (no
purchase)!



Untuk menekan ‘bad-debt’: Stop credit sales!



Dan lain sebagainya.

Hasilnya?
Impressive! Penurununan cost bisa langsung terlihat di periode berikutnya. Namun dampak
jangka panjang yang timbul juga tak kalah impressivenya:


Yang paling segera muncul setelah PHK pastinya ‘Biaya Pesangon Pegawai’ (Employee’s
Saverence). Lalu beberapa minggu kemudian operasional mulai berjalan pincang karena

sebagian pegawai terPHK tergolong berfungsi vital. Thus BOP Gaji turun tapi bengkak di
outsourcing cost, karena terpaksa mempekerjakan pegawai paruh waktu untuk memuluskan
operasional. Dan ketika perusahaan beroperasi secara normal kembali, timbul beban
rekrutmen dan training yang sungguh tak terduga. General Manager hanya geleng-geleng
kepala sambil ngedumel, “no no no..”


Overtime dihentikan begitu saja akibatnya volume produksi menurun, production leadtime
(thus deliverytime) morat-marit, banyak pelanggan complain, sebagiannya minta diskon
karena telat penyerahan, bahkan ada pula yang membatalkan pesanan. Hasilnya, HPP Labor
Cost memang turun drastic tetapi juga diikuti oleh penurunan revenue yang drastic akibat
diskon dan pembatalan. Production dan Marketing Manager ngamuk-ngamuk, semua
masalah dikembalikan ke accounting!



Dampak dari penurunan daya listrik, Overhead listrik memang turun tapi overhead genset
(plus solar) meningkat tajam. Belum lagi mesin-mesin tertentu menjadi sering ngadat karena
running dengan daya yang tidak stabil, biaya maintenance membengkak. Engineering uringuringan setiap hari, bolak-balik masuk bengkel.



Kebijakan ‘repair only’ (no purchase) untuk fixed asset, di satu sisi menurunkan capital
expense akibat pembelian fixed baru secara drastic tetapi juga menaikkan Beban
Pemeliharaan (Maintenance) di sisi lainnya. Fraud (kickback) yang menyertai pembelian fixed
asset baru bisa ditekan sampai ke titik nol, tapi apakah tidak ada fraud (kickback) yang
menyertai wilayah maintenance? You bet it.



Lalu bad-debt, memang bisa ditekan, hasilnya langsung terlihat di periode berikutnya, akan
tetapi penurunan sales mulai terlihat karena banyak pelanggan yang merasa kecewa akibat
tidak bisa memperoleh fasilitas credit lagi. Menjadi parah bila keresahan beberapa pelanggan
mewabah ke pelanggan yang selama ini sangat loyal. Dan yang tak pernah diduga oleh orang
accounting, pelanggan yang beli tunai, jauh jauh lebih rewel dibandingkan yang beli kredit
(apalagi yang terpaksa), ada saja yang di complain. Akibatnya? Beban customer relation
bengkak!

Tidak mudah memang. Butuh perhitungan cermat dan komprehensif untuk menentukan titik
paling imbang (balance) ketika harus memilih antara kebijakan berorientasi short-term
dengan long-term profit. Misal:


PHK sebagaian pegawai bulanan okay untuk menurunkan BOP Gaji, tetapi perlu pilah-pilah,
harus dihubungkan dengan sistim penilaian kinerja, sehingga bisa dipastikan pegawai yang
dieliminasi memang benar-benar menjadi beban bagi operasional perusahaan selama ini.
Pertimbangkan juga untuk mengirimkan mereka ikut workshop agar lebih terampil, lebih
tinggi outputnya, thus tidak menjadi beban lagi.



Overtime biasanya terjadi karena over-capacity. Labor Cost tinggi bukan karena penambahan
waktu, melainkan karena rate (tarif upah) lembur yang berlipat-ganda. Ini bisa diatasi dengan
menambah shift kerja, sehingga rate-nya tetap sama. Taka kalah pentingnya, setiap kali
ngomong beban manusia persoalan utama seringkali ‘efektifitas kinerja.’ Sehingga, sebelum
berpikir utk menghentikan overtime, sebaiknya berpikirlah tentang: production planning,
production setup, costing system, layout ruang kerja, dan sejenisnya. Optimalkan wilayah ini
terlebih dahulu.



Ketika Overhead listrik bengkak, biang keroknya memang penggunaan listrik berlebih, tentu
karena selalu ada daya yang melimpah, sehingga dengan mudah diboroskan. Penurunan
daya listrik—idealnya—memang bisa memaksa production dept untuk lebih kreatif dalam
menggunakan listrik tanpa mengganggu operasional di production sendiri. Hanya saja, perlu
disadari bahwa yang namanya manusia cenderung cari gampangnya. “Nggak cukup daya ya
sudah, berapapun ouputnya ya segitu saja” begitu kira-kira mindsetnya. Perlu diingat
penggunaan listrik terkait dengan panjangnya waktu, thus sama seperti overtime. Oleh
sebab itu gunakan pendekatan system; perbaiki production planning, production setup,
costing system, layout, dlsb.



Capital Expense terkait pembelian fixed asset baru. Yang masalah bukan pembelian fixed
assetnya, melainkan pembelian fixed asset yang tidak disertai: cost-and-benefit, payback,
BEP dan ROI analysis. Yang bermasalah lainnya adalah pembelian fixed asset yang tidak
melalui ‘adu-harga’ (tender), kolusi, kickback, dlsb. Atasi itu, bukan melarang fixed asset
purchase.



Penghentikan penjualan kredit untuk menekan bad-debt bagus. Tetapi sebelum itu harus ada
customer-ranking analysis. Sehingga penghentian fasilitas kredit benar-benar hanya
diberlakukan terhadap pelanggan yang bermasalah saja. Bukan inversal.



Dan seterusnya.

Secara kesuluruhan, orang accounting—khususnya yang bekerja di dalam perusahaan—perlu
memahami ‘short-long’ term profit’ balance. Jangan mentang-mentang orang accounting lalu
‘conservatism principle‘ nya selalu dikedepankan. Ingat, balance!

4. ‘Historical–Future’ Balance
Akuntansi Keuangan (Financial Accounting) berorientasi pada data historis—semua
angka yang disajikan dalam laporan keuangan adalah rangkuman dari transaksi di
masa yang telah lewat. Sementara Akuntansi Manajemen (Management Accounting)
berorientasi pada data masa kini dan masa depan—costing data masa kini, budget dan
forecast menggunakan data masa kini dan masa depan.
Akuntan yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP), termasuk auditor, sudah pasti
berorientasi pada data historis—tidak punya kewajiban terhadap kejadian ekonomis dimasa
yang akan datang. Sedangkan akuntan yang bekerja di dalam perusahaan—mau tidak mau—
harus dihadapkan pada data historis sekaligus masa kini dan masa depan.
Staff accounting di dalam perusahaan, dari Clerk (Data Entry) sampai Chief Accountant,
juga hanya fokus pada data historis saja. Ada nota (bukti transaksi yang sudah terjadi)—
dengan menggunakan bekal Debit-Credit Balance—bisa anda analisa, ukur, akui dan sajikan
menjadi Laporan Keuangan. Misalnya: pada tanggal 31 Desember 2014 tahunya perusahaan
sudah punya:


Statements of Financial Position Per 31-Des-2014 (historis)



Income Statements 1 Jan s/d 31 Des 2014 (historis)



Cash Flow Statements 1 Jan s/d 31 Des 2014 (historis)

Asalkan ketiganya sudah akurat, tidak mengandung salahsaji bersifat material, dan
disampaikan tepatwaktu, selesai perkara!
Tetapi, setelah menjadi seorang Financial Controller (FC) atau CFO, itu saja tidaklah
cukup. Kelak jika anda menjadi seorang FC dan CFO (aamiin), disamping memastikan
‘Laporan Keuangan 2014‘ sudah tersaji secara andal dan relevan, anda juga
bertanggungjawab untuk memastikan—minimal—’Budgeted Financial Statement‘ bisa
terealisasi seperti yang diharapkan. Thus, rampungnya tutup buku per tanggal 31 Desember
2014, bukan akhir dari persoalan. Anda masih harus:


Pertama, membandingkan antara ‘Financial Statements 2014’ dengan ‘Budgeted Financial
Statements 2014’ yang sudah tersusun sejak 31 Desember 2013, untuk mengetahui apakah
kinerja keuangan perusahaan sudah sesuai rencana? Apakah ada perbedaan dan
penyimpangan (differences/discrepancies)? Diamana penyimpangan terjadi? Mengapa
terjadi? Dan seterusnya. Ini harus dipertanggungjawabkan oleh CFO dan Chief Executive
Officer (CEO) di hadapan Rapat Tahunan Dewan Direksi (Board of Director Annual Meeting).



Kedua, mulai menyusun ‘Budgeted Financial Statements 2015’ (untuk dibandingkan dengan
Financial Statements 2015’ nanti pada tanggal 31 Desember 2015 tentunya). Pada tugas
kedua inilah anda dihadapkan pada dilemma antara berorientasi pada data historis atau yang
akan datang.

CEO dan para pemegang saham sudah pasti mengharapkan Laba dan Key Performance
Indicators (KPIs) yang terus meningkat (baca: progressive). Mereka cenderung menuntut
para direktur untuk bekerja dengan target yang setinggi mungkin. Sebagai FC atau CFO, anda
juga diharapkan mampu “mengawal” rencana tersebut sehingga benar terealisasi di akhir
2015 nanti.
Artinya, anda dipaksa untuk berorientasi pada data masa depan (Forecast dan Budget)!
Sebagai bagian dari management anda wajib mendukung rencana tersebut, thus anda juga
harus mampu berorientasi pada data masa depan. Namun di sisi lainnya, bagaimanapun juga
anda orang accounting, anda tahu bahwa data historis sangat bermanfaat sebagai input dalam
membuat rencana masa depan (budget) yang lebih realistis.
CEO dan pemegang saham boleh saja mematok target yang tinggi, anda juga perlu
menyikapinya secara positive. Namun harus disadari pula bahwa target yang terlalu tinggi,
disamping mustahil untuk dicapai (thus akan menjadi target kosong), juga menimbulkan
distress berlebih. Dalam kondisi distress berlebih, semua awak management akan cenderung
mengambil keputusan yang tidak masuk-akal—termasuk earning management yang sifatnya
illegal!
Di sini anda dituntut untuk mampu menemukan titik yang paling seimbang (balance) antara
data historis dengan data masa depan.
Dimana titik imbangnya?
Jawaban: Positive-Realistic!

Konkretnya:
Yang namanya budget sudah pasti data masa depan (belum terjadi), mau tidak mau anda
harus menggunakan budget. Ini tidak masalah, sebab Budget basisnya 4 element utama,
yaitu:


Penjualan (Sales) yang sudah ada kontrak (confirmed), namun belum diserahkan (not
delivered yet)—karena jasa/baranya belum ready—sehingga belum menjadi Piutang
(Receivable). Tingkat kepastiannya berkisar antara 70 hingga 90%. Tinggal anda pastikan
(tentunya dengan pemantauan ketat) perusahaan bisa merealisasikan penjualan ini tanpa
hambatan.



Penjualan (Sales) yang sudah diserahkan (delivered), sehingga sudah menjadi Piutang
(Receivables), namun belum jatuh tempo (not due yet), thus tingkat kepastiannya sudah
mencapai 90%. Tinggal anda pastikan collection berjalan efektif sehingga bad-debt bisa
diminimalkan.



Pembelian (Purchase) atas barang/jasa yang sudah diterima (Received) oleh perusahaan,
sehingga sudah menjadi Utang (Payables), hanya saja belum jatuh tempo (not due yet). Ini
bisa anda asumsikan pasti 100% (conservatism principles).



Pembelian (Purchase) yang sudah ada kontraknya (confirmed), tetapi belum diterima oleh
perusahaan (not delivered yet) sehingga belum menjadi Utang (Payables). Tingkat
kepastiannya anda hitung 100% juga (conservatism principles).



Budgeted HPP, Overhead dan BOP agak tricky, jadi anda harus taktis di sini. Untuk volume
dan consumption anda gunakan data historis sebagai patokan, tetapi rate per
unit/headcount harus mempertimbangkan data masa depan (e.g. kenaikan harga barang
akibat inflasi, kenaikan UMR, dslb).



Budgeted Cash Flow, sudah pasti mengikuti Sales dan Purchase di atas.

Yang repot adalah ketika CEO menyelipkan unsur ‘Peramalan’ (Forecast) ke dalam Budgeted
Financial Statements. Disamping untuk mengenjot target kerja para direktur, hal ini juga
lumrah dilakukan untuk meyakinkan para pemegang saham dan menggaet calon investor
serta calon kreditur. Ini murni ‘khayalan’ thus tidak bisa disebut sebagai data. Probabilitas
antara terealisasi dengan gagalnya 50:50. Sebagai orang accounting anda tidak bisa menerima
ini. Ini samasekali tidak realistic, anda harus yakinkan CEO bahwa ini tidak bisa masuk ke
Budgeted Financial Statements. Sebagai gantinya anda buatkan “Projected Financial
Statements” yang menggunakan data Forecast sebagai basisnya!
Overall, anda harus bisa “bermain” cerdas antara menggunakan data historis-ataumasa depan. Cari titik yang paling imbang (balance)!

5. ‘Common–Best Practice’ Balance
Saya juga orang accounting. Jadi saya tahu kalau kata “kreatif” berkonotasi negatif di
wilayah accounting. Beda jauh jika dibandingkan dengan wilayah lain seperti seni misalnya,

khusus di accounting anda dilarang TERLALU KREATIF, salah-salah bisa dinilai melakukan
praktek “creative accounting.”
Persepsi ini membuat orang accounting menjadi terlalu rigid dalam menjalankan proses
akuntansi; tidak berani menggunakan cara berbeda selain yang sudah lazim digunakan.
Misalnya: Merekonsiliasi buku ‘Buku Kas Perusahaan’ dengan ‘Catatan Bank’.


Common practice: Anda menajalankan proses rekonsiliasi dengan cara membandingkan
saldo kas menurut catatan perusahaan dengan saldo kas yang tercantum pada Rekening
Koran. Karena Rekening Koran baru diterima tanggal 5 setiap bulannya maka otomatis
rekonsiliasi baru bisa anda jalankan setelah tanggal 5. Akibatnya? Anda tutup buku tanpa
rekonsiliasi kas (paling nanti diadjust kalau rekening Koran sudah datang), iya kan? Atau lebih
parahnya lagi, anda hanya tutup buku di akhir Desember. Nah, ini contoh ‘common practice’
yang buruk. Bandingkan dengan best practice di berikut ini.



Best Practice: Sekarang hampir semua bank sudah ada fasilitas internet banking, thus
perusahaan bisa melihat saldo rill kas di bank kapan saja. Thus anda tidak harus mengikuti
petunjuk buku (membandingkan saldo catatan dengan saldo di printout rekening koran).
Rekonsiliasi bisa anda lakukan setidaknya setiap menjelang akhir pekan. Dengan cara ini, di
akhir bulan anda tinggal merekonsiliasi transakdi minggu terakhir yang jumlahnya mungkin
hanya beberapa baris. Lebih efektif, cepat, akurat, tanpa melanggar standar.

Contoh lain, pengakuan “Pajak Tangguhan” misalnya.


Common Practice: Bila ‘Laba-Akuntansi’ lebih tinggi dibandingkan ‘Laba-Fiskal’ disebabkan
oleh ‘beda-waktu’ (timming difference), maka akui Laba sesuai ‘Laba-Fiskal’ dan akui
‘Liabilitas Pajak Tangguhan’ sebesar selisihnya. Bener nggak? Dan bila sebaliknya ‘Laba Fiskal’
lebih tinggi dibandingkan ‘Laba-Akuntansi’ maka akui Laba sesuai ‘Laba-Fiskal’ dan akui ‘Aset
Pajak Tangguhan’ sebesar selisihnya. Ini common practicenya. Apa yang hasil dari common
practice ini? Setidaknya dari pengalaman saya pribadi, terutama di perusahaan menengah,
hampir selalu terjadi penumpukan. ‘Aset Pajak Tangguhan’ nongkrong dan kian membesar
dari periode-ke-periode tanpa pernah terealisasi. Terbersit dalam pikiran saya, “mau sampai
kapan aset pajak tangguhan nongkrong di sini?” Tandatanya besar. Sangat meragukan
legitimasinya. Disamping itu Laporan Posisi Keuangan perusahaan menjadi aneh dan nampak
buruk.



Best Practice: Konsep pajak tangguhan bagus dalam teori, namun tidak praktikal. Nyatanya
jarang (hampir tak pernah) terealisasi. Menurut saya, tidak usah mengakui pajak tangguhan,
kecuali sudah ada komitmen dari Kantor Pajak (DJP). Tapi ya rasanya nggak mungkin dapat
komitmen. Menurut saya nggak usah.

Contoh terakhir mungkin, penentuan costing system yang akan diterapkan di dalam
perusahaan.


Common practice: Anda pilih salahsatu jenis costing system yang ada. Hasilnya? Anda
terpaksa menerima kelemahan dari system yang anda pilih.



Best practice: anda bisa mix beberapa costing system dan terapkan mereka secara hybrid,
sehingga menghasilkan informasi cost yang lebih akurat dan rinci. Semakin rinci informasi
cost, semakin mudah anda kendalikan.

Best practices’ bukan sesuatu yang perlu untuk ditabukan. Namun bukan berarti semua
common practice itu buruk.
Pertanyaan: Dimana titik imbangnya?
Jawaban: Standard-and-Legal Compliance!
Sepanjang patuh pada PSAK/IFRS dan UU Pajak, best practice selalu baik untuk diadopsi.
Bagaimanapun juga lingkungan bisnis terus berubah, kian lama kian kompleks. Cara kerja
akuntansi juga perlu adaptif mengikuti perubahan yang ada, tanpa melanggar standard.
Itulah beberapa konsep balance yang perlu anda pahami. ‘Debit-credit’ balance adalah
pondasi—thus menjadi skill dasar—bagi kita di accounting. Namun semakin jauh melangkah
(dan menggali) semakin banyak model ‘balance’ yang perlu kita pahami dan praktekkan, baik
di lingkungan bisnis maupun lingkungan pribadi sehari-hari.
To become really good, you need to live it, breathe it, and sleep it” ~Tony Hsieh (CEO of
Zappos.com)
Untuk benar-benar ahli di bidang akuntansi, anda perlu mewujudkannya dalam
perilaku hidup sehari-hari. Bayangkan semua kejadian bisa anda terjemahkan ke
dalam prinsip-prinsip dan cara kerja akuntansi.


Saat berangkat ke kampus misalnya, bayangkan uang saku (dan semua pengorbanan orang
tua) di sisi debit, lalu apa yang akan mengimbanginya di sisi kredit sehingga menjadi
balance?



Saat berharap kenaikan gaji,dari perusahaan, tempatkan angka kenaikan itu di sisi kredit
buku anda, lalu apa yang bisa anda taruh di sisi debit sehingga balance thus fair bagi
perusahaan?



Saat pegawai/bawahan bekerja sedemikian keras hingga mengabaikan kehidupan sosialnya,
tempatkan pengorbanan mereka di sisi kredit buku anda, lalu imbal balik apa yang bisa anda
bisa berikan di sisi debit?



Saat anak-anak selalu memaklumi kesibukan anda di kantor hingga jarang punya waktu untuk
mereka, tempatkan pengertian mereka di sisi kredit buku anda, lalu apa yang bisa anda
berikan di sisi debit?

Saat anda diberikan tubuh yang sehat, kehidupan yang tenang, keluarga yang
harmonis, rejeki yang cukup, sahabat yang peduli, tetangga yang ramah,
pacar/istri/suami yang setia, itu semua masuk ke sisi kredit buku anda. Nah, kira-kira,
apa yang akan anda masukkan ke sisi debit? (Hint: sukur, banyak memberi dan melayani,
mau berbuat lebih, memuliakan dan menjaga kehormatan diri sendiri sekaligus orang lain,
setia pada kebenaran, dan selalu jujur.)