Bandit dan Watak Revolusi Indonesia

Bandit dan Watak Revolusi Indonesia

Judul buku: Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan
Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta
Penulis: Julianto Ibrahim
Penerbit: Bina Citra Pustaka, Wonogiri, 2004
Tebal: xix + 318

Sejarah Revolusi Indonesia sering kali ditulis dan hanya berisikan kisah
tentang perjuangan bersenjata ataupun perjuangan diplomasi saja.
Sementara gejolak yang terjadi di kalangan para pejuang atau di antara
laskar dalam masa yang penuh heroik itu tak banyak diceritakan dalam
buku-buku sejarah.
Salah satu soal dalam revolusi Indonesia dan berlanjut pada masa
berikutnya adalah keberadaan dan aktivitas para bandit, yang sebagian di

antaranya pejuang dan tergabung dalam beberapa kesatuan laskar. Dalam
zaman yang terkadang disebut zaman gegeran, serobotan, gedoran ataupun
pendaulatan itu, para bandit justru harus berhadap-hadapan dengan bangsa
sendiri atau dengan para pejuang yang pernah bersama-sama mereka di
arena pertempuran. Karena itu pula, berbagai tindakan kriminal pun sering

kali tidak dapat dihindari oleh mereka.
Revolusi Indonesia memang bukan hanya hasil kerja keras dan pengorbanan
elite politik dan militer saja seperti dipahami selama ini. Revolusi
Indonesia, pada dasarnya, juga merupakan jerih payah dan perjuangan
bandit atau para pelaku kriminal lainnya, pekerja seks komersial, dan
orang-orang yang terpinggirkan lainnya yang kerap dipandang sebagai
"sampah masyarakat" serta tidak mempunyai peran apa pun di dalamnya.
Setidaknya itulah beberapa hal penting yang diceritakan oleh Julianto
Ibrahim dalam bukunya. Buku ini semula merupakan tesis S2-nya di Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Memang tidak banyak
sejarawan Indonesia yang menaruh perhatian terhadap hal banditisme pada
masa revolusi. Di antara segelintir mereka terdapat sejumlah nama dan
karyanya, antara lain, Ryadi Gunawan, Jagoan Dalam Revolusi Kita (1981)
dan Dunia Grayak dan Revolusi Lokal (1984); Sartono Kartodirdjo dan Anton
Lucas, Banditry and Political Change in Java (1984); dan Langgeng S Budi,
Permasalahan Sosial Perkotaan Pada Periode Revolusi: Kriminalitas di
Yogyakarta 1947-1948 (1997/ 1998). Ada juga sebuah buku menarik karya
Suhartono, yaitu Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942
(1995). Selain terbitan-terbitan di atas, tema banditisme ini tak banyak
muncul ke permukaan dalam studi sejarah di Indonesia. Kisah para bandit

dalam revolusi Indonesia ini seperti menjadi lembaran hitam dan tenggelam
dalam keseluruhan cerita heroik tentang masa itu.
Beberapa daerah di Indonesia, istilah bandit memiliki banyak sebutan untuk
menyebut nama bagi mereka yang melakukan tindakan kriminal. Di masa
revolusi, seperti ditunjukkan oleh Julianto, memang tidak semua pejuang
adalah bandit atau tidak semua bandit adalah pejuang. Ada pejuang yang
sungguh-sungguh berjuang atau bandit yang memang membandit selama
masa revolusi itu.
"Kekacauan" istilah dan peran inilah yang berusaha dijelaskan oleh Julianto
secara panjang lebar dalam buku ini. Tentang istilah, ia menyebut beberapa
sebutan bandit yang dikenal di beberapa daerah, khususnya di Jawa, antara

lain, lenggaong, benggol, gedor, garong, koyok, grayak, bromocorah,
rampok. Di Jakarta, misalnya, sebutan jagoan dan bajingan sering kali juga
dipakai untuk menyebut para bandit. Beberapa di antara sebutan di atas
masih bisa didengar dan dipakai hingga kini di berbagai daerah Indonesia.
Sebagai sebuah "organisasi kriminal", para bandit juga mempunyai istilah
tersendiri yang dikenal di kalangan mereka untuk menandakan suatu
jabatan dan fungsinya dalam organisasi tersebut. Di sekitar Yogyakarta dan
Surakarta saja, misalnya, masyarakat mengenal sebutan benggol sebagai

kepala bandit. Di bawah benggol dikenal pula sebutan telik sandi (matamata), canguk (pengawas), dan bala (pengikut).
Mungkin mereka juga mengembangkan sejumlah istilah setengah rahasia
yang terkait dengan aktivitas kriminal dan hanya dapat dimengerti oleh
kalangan mereka sendiri. Hal ini yang tidak banyak diceritakan lebih dalam
oleh Julianto dalam bukunya. Di kalangan para jagoan atau bajingan
Jakarta, misalnya, antara lain dikenal istilah-istilah torpedo (dompet),
ngebola (mencopet), bangkong (tas), jengkol (arloji), lisong (pulpen), dan
ngawal tongkang (mencopet di kendaraan umum).
Wawancara dengan benggol dan anak buahnya yang pernah aktif selama
masa revolusi mungkin dapat memperkaya cerita Julianto tentang
penggunaan bahasa di kalangan para bandit ini, mengingat mereka sendiri
tidak banyak meninggalkan catatan tertulis tentang hal ihwal dirinya.
Sesuatu yang juga sulit ditemukan dalam berita surat kabar sezaman atau
berbagai laporan dari kepolisian dan militer tentang aksi para bandit ini.
Berita surat kabar atau arsip-arsip kepolisian dan militer, seperti banyak
dikutip oleh Julianto, justru tidak banyak menjelaskan, misalnya tentang
gaya hidup, bahasa, aturan, dan pola aksi para bandit ini dalam kehidupan
sehari-hari atau ketika mereka menjalankan aksinya.
Pada masa revolusi, mengapa terjadi penggrayakan, penggedoran,
penggarongan, dan penculikan terhadap penduduk ketika sebagian orang

justru berjuang mempertahankan kemerdekaan? Korbannya pun beragam
mulai dari priayi keraton, pamong praja, tuan tanah, masyarakat Tionghoa
hingga pemerintah. Ada beberapa alasan dan motif yang melatarbelakangi
berbagai aksi para bandit ini pada waktu itu.
Tekanan dan pemerasan yang dilakukan keraton, pamong praja, tuan tanah,
kesulitan ekonomi, dan dukungan terhadap penjajah Belanda dan Jepang

menjadi dasar dan alasan dari semua aksi penggedoran dan penjarahan
terhadap penduduk pada waktu itu.
Alasan lainnya adalah politik, yaitu penolakan terhadap kebijakan
rasionalisasi pemerintahan Hatta dan kekecewaan mereka terhadap
pembersihan orang-orang komunis setelah peristiwa Madiun 1948 meletus.
Kebijakan rasionalisasi yang memangkas jumlah tentara memang telah
menimbulkan keguncangan di kalangan pejuang dan para laskar. Sasaran
dari kebijakan ini terutama adalah badan-badan perjuangan atau laskarlaskar yang tidak berdisiplin, pantang menyerah dan tunduk begitu saja
kepada kebijakan ini. Para anggota badan perjuangan dan laskar-laskar
inilah yang menjadi inti dari berbagai kelompok atau gerombolan benggol
yang berada di sekitar Surakarta dan melakukan aksi-aksi penggedoran,
penjarahan, pengeroyokan.
Rasionalisasi ternyata telah memulangkan tentara ke masyarakat sebanyak

100.000 orang dari jumlah 463.000 tentara dan memberhentikan 80.000
tentara yang dianggap tidak profesional. Suatu keputusan yang pahit dan
mengecewakan bagi para anggota laskar atau badan-badan perjuangan.
Inilah salah satu alasan bagi mereka untuk "menantang" pemerintah dan
para elite politik di Yogyakarta serta menempuh jalan membandit dalam
perjuangan waktu itu.
Aksi para bandit di sekitar Surakarta itu juga dapat dibaca sebagai bentuk
ketidakpuasan rakyat terhadap pemimpin-pemimpin lokal dan tradisional. Di
mata masyarakat para bandit ini sering kali juga dilindungi oleh masyarakat
karena memberi "rasa aman" dalam wilayah yang ditempatinya. Mereka,
para benggol ini, bahkan dipandang sebagai pahlawan karena aksi
penggrayakannya dianggap sebagai refleksi protes masyarakat atas
ketertindasan yang dialami mereka pada masa sebelumnya, baik yang
dilakukan oleh penjajah maupun para bangsawan.
Beberapa bandit atau benggol terkenal di sekitar Surakarta pada masa
revolusi antara lain Mbah Panca, Kentrung, dan Suradi Bledeg. Kentrung,
misalnya, beraksi di sekitar Desa Juluk dan Gebok. Ia memobilisasi massa
untuk melakukan penggedoran terhadap penduduk yang dianggap proJepang selama masa pendudukan Jepang.
Hasil-hasil penggedorannya kemudian dibagikannya kepada penduduk.
Benggol lainnya, Suradi Bledeg, adalah seorang anggota laskar di Boyolali.


Setelah kebijakan rasionalisasi diberlakukan, ia kemudian justru memilih
bergabung dengan gerakan Merapi Merbabu Complex dan melakukan aksiaksi kriminal di sekitar lereng Gunung Merapi dan Merbabu.
Ia pun memimpin sejumlah gerombolan yang beraksi di sekitar wilayah
tersebut tahun 1949-1950. Setelah Suradi meninggal pada tahun 1951 di
Klaten, ia kemudian digantikan oleh Umar Junani. Umar juga pernah
menjadi pimpinan Sarbupri dan perwira TNI di Salatiga. Alasan Umar
memilih bergabung dengan kelompok Suradi karena, pertama, ia kecewa
terhadap kebijakan rasionalisasi dan, kedua, ketidaksetujuannya terhadap
pembersihan orang-orang komunis setelah peristiwa Madiun.
Bergabungnya para bandit ke dalam badan perjuangan atau laskar juga
karena keinginan laskar-laskar untuk melibatkan golongan yang dianggap
kriminal itu untuk ikut berjuang membela republik. Karena itulah,
pertemuan Yogyakarta pada 25 Desember 1945 menjadi penting bagi peran
bandit dalam revolusi Indonesia.
Pertemuan tersebut telah merekomendasikan pembebasan tahanan untuk
diikutsertakan dalam perjuangan di medan pertempuran di seluruh Jawa.
Mereka akan direkrut dan dilatih oleh anggota badan-badan perjuangan.
Para pengajar, antara lain, terdiri dari Ki Hadjar Dewantara dan Ki
Mangunsarkoro di bidang pendidikan rohani, sedangkan Sutopo Yuwono dan

Darjanto di bidang kemiliteran (hal 120). Keputusan yang diambil dalam
pertemuan Yogyakarta itu memang berpengaruh bagi para kriminal yang
masih mendekam di berbagai penjara di Surakarta. Maka, pada bulan
Agustus 1946 dari empat penjara di kota itu telah direkrut sebanyak 103
tahanan untuk berjuang.
Di Surakarta, Barisan Hitam Putih Indonesia merupakan salah satu badan
perjuangan yang di dalamnya bergabung para bandit. Sedangkan di Jawa
Timur, misalnya, para bandit pejuang bergabung dalam kesatuan Barisan
Bawah Tanah yang di dalamnya terdiri dari para pencopet, pencuri,
bajingan, pekerja seks komersial, bromocorah, dan gelandangan.
Seberapa banyak korban dan kerugian yang dialami penduduk Surakarta
karena aksi-aksi para bandit ini? Sepanjang tahun 1947-1949 saja, misalnya,
ada 423 orang Tionghoa yang diculik, 202 di antaranya selamat, dan antara
tahun 1948-1949 terjadi 505 kasus penculikan di kota itu. Sementara pada

tahun 1949 terjadi 199 kasus penculikan dan pembunuhan, rinciannya
adalah 22 orang dibunuh, 141 orang hilang, dan 36 orang selamat.
Dalam kasus penggedoran, dari bulan Januari hingga September 1949 terjadi
sebanyak 395 kasus, korbannya terdiri dari 331 orang pribumi, 56 orang
Tionghoa, dan 8 kantor/instansi. Aksi-aksi itu setidaknya melibatkan antara

10 dan 60 orang bandit dengan bersenjata api dan tajam.
Tema bandit dan pejuang dalam masa revolusi di Surakarta yang diangkat
Julianto dalam buku ini menarik. Ia bukan saja telah membuka mata kita
tentang "sisi gelap" revolusi Indonesia, tetapi ia juga telah memindahkan
fokus penelitian sejarah kepada orang-orang biasa atau kelompok yang
selama ini diabaikan dalam historiografi Indonesia.
Dengan begitu, ruang lingkup penulisan sejarah menjadi lebih luas dan
kaya, dan peran sosialnya pun berubah. Namun, buku ini sendiri tampaknya
belum banyak memberikan "suara" kepada para bandit untuk menuturkan
kisahnya, antara lain, seputar lingkungan mereka sendiri, hubungannya
dengan kelompok lain di luar Surakarta, rekrutmen, reaksi masyarakat.
Dalam uraiannya, Julianto memang lebih banyak bertumpu pada sumbersumber
tertulis,
khususnya
arsip-arsip
koleksi
Reksa
Pustaka
(Mangkunegaran) dan Arsip Nasional Republik Indonesia untuk mengungkap
kisah para bandit Surakarta selama masa revolusi. Sumber-sumber tertulis

ini tentunya akan jauh lebih menarik dan hidup jika dapat pula
menghadirkan sebanyak mungkin sumber lisan dari orang-orang sezaman
dalam zaman yang penuh heroik itu, atau mereka yang pernah berpredikat
sebagai bandit yang berjuang dan pejuang yang membandit.
Membaca karya Julianto ini, dalam usaha membangun sejarah dari bawah
(grassroots history), kian bermakna terutama jika kita melihat revolusi
Indonesia dari sisi yang lain. Bandit yang menjadi pejuang atau pejuang
yang menjadi bandit adalah bagian dari dinamika revolusi itu sendiri dan
seharusnya tidak diabaikan begitu saja dalam sejarah Indonesia. Buku ini
menunjukkan bahwa para bandit, orang-orang yang tersingkirkan, dan
orang-orang biasa lainnya ternyata bukan hanya ikut menentukan arah dan
jalannya revolusi Indonesia, mereka juga sekaligus memberi watak pada
revolusi itu sendiri.

Artikel ini diajukan untuk mata kuliah Sejarah Sosial-Ekonomi di
Jurusan Sejarah Unpad, pada 2005.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24