Riset Aksi I PEREBUTAN RUANG EKOLOGI Kon

“PEREBUTAN RUANG EKOLOGI”
(Konflik Sumber Daya Alam Penambangan Pasir Besi Di Dukuh M ulyorejo, Desa
Bandungharjo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara)

Oleh: Zainal Arifin1

I.

Latar Belakang
A. Pendahuluan

Kriminalisasi adalah kata yang tidak asing lagi dalam konflik Sumber Daya
Alam. Sebagai salah satu akibat dari konflik, kriminalisasi sering digunakan
baik pemangku kekuasaan maupun pemodal sebagai pola yang dipandang
masih efektif untuk membatasi intervensi masyarakat yang dapat menghalangi
kepentingan mereka. Tak ayal lagi pembatasan akses yang kerap melibatkan
campur tangan aparatur penegak hukum ini melahirkan bentuk-bentuk
penindasan dan ketidakadilian yang memposisikan masyarakat sebagai pihak
yang ditindas.
Begitu juga yang dialami oleh Masyarakat Bandungharjo khususnya warga
nelayan yang berada di dukuh Mulyorejo , Desa Bandungharjo, Kecamatan

Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Pada akhir bulan April 2012 warga Nelayan
dan petani Desa Bandungharjo melakukan aksi penolakan atas keberadaan
penambangan pasir besi oleh CV. Guci Mas Nusantara yang berada di wilayah
pantai Bandungharjo. Aksi penolakan yang di barengi dengan pengerusakan
bedeng milik CV. Guci Mas Nusantara tersebut dilakukan setelah gagalnya
upaya-upaya yang dilakukan warga melalui desakan dan audiensi baik ke
pemerintah desa sampai tingkatan kabupaten untuk menghentikan aktifitas
penambangan yang berpotensi merusak pantai, dan mengancam lahan
penghidupan para nelayan. Tidak hanya itu, penambangan yang berlokasi di
lahan pertanian warga juga akan berpotensi mengubah struktur sosial dan
budaya masyarakat yang selama ini berprofesi sebagai petani dan nelayan
secara turun temurun.
Sebagai akibat dari aksi dan pengerusakan itu akhirnya sebanyak 15 warga
yang terlibat dalam aksi tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Dengan
didampingi Lakpesdam NU Jepara, warga datang ke kantor LBH Semarang
untuk meminta pendampingan hukum terhadap 15 warga korban
kriminalisasi tersebut dan bersama menghadapi permasalahan yang sedang
dialami warga terkait keberadaan penambangan pasir besi yang megancam
lahan penghidupan mereka.


1

Pengabdi Bantuan Hukum YLBHI-LBH Semarang.

YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang sendiri adalah lembaga
non-pemerintah yang bergerak dalam pemberian bantuan hukum kepada
masyarakat miskin, marginal, dan tertindas. Tidak hanya pendampingan
dalam proses litigasi, LBH Semarang dengan Bantuan Hukum Struktural
(BHS) sebagai working ideology juga mendorong kemandirian masyarakat sipil,
pembaharuan hukum, dan mendorong terbukanya akses masyarakat untuk
intervensi kebijakan dengan melakukan pendidikan, pengorganisasian, serta
pendampingan untuk bersama merebut keadilan.
Atas dasar itulah kemudian LBH Semarang merasa perlu untuk melakukan
pendampingan hukum serta pendidikan terhadap masyarakat Bandungharjo
dengan melakukan riset Aksi sebagai model pendampingannya. Pemilihan
Riset Aksi sebagai model pendampingan diharapkan membuka ruang
partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya sebagai upaya untuk mendorong
kesadaran kritis masyarakat dalam rangka kemandirian masyarakat sipil.
B. Permasalahan


Bersamaan dengan pendampingan proses hukum yang dihadapi oleh 15
warga korban kriminalisasi, LBH Semarang bersama warga Masyarakat
Bandungharjo khususnya warga dukuh Mulyorejo merumuskan persoalan
yang dihadapi oleh warga.
Warga menuturkan persoalan yang mengancam dan menjadi penyebab
sampai dikriminalisasikan 15 warga Mulyorejo adalah keberadaan
penambangan pasir besi oleh CV. Guci Mas Nusantara dan rencana
penambangan yang akan dilakukan oleh PT. Alam Mineral Lestari. Sehingga
permasalahan yang muncul adalah bagimana mendorong kesadaran kritis
warga sebagai alat perlawanan dalam perebutan ruang ekologi. untuk
memahami penolakan warga atas keberadaan tambang pasir besi yang ada di
wilayah mereka maka perlu untuk diketahui juga: 1) Bagaimana Masyarakat
memaknai wilayah Mulyorejo, Bandungharjo, sebagai Sumber Daya Alam; 2)
Bagaimana masyarakat Bandungharjo memahami konflik yang terjadi; 3)
Sejauh mana tingkat kesadaran masyarakat atas konflik; dan 4) Upaya-upaya
apa saja yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan dan
melawan eksploitasi yang mengancam lahan penghidupan mereka; yang akan
diuraikan dalam laporan Riset Aksi ini untuk kemudian akan dirumuskan
bersama kembali untuk menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan.
II. M etode


Untuk menjawab permasalahan yang telah terumuskan maka dibutuhkan metode
untuk memperoleh dan menentukan jenis data.
A. Bentuk data

Bentuk data yang dibutuhkan berupa pengalaman dan pengetahuan dari
warga Mulyorejo, bandungharjo, terkait sejarah desa, persepsi dan konsepsi
masyarakat terhadap sumber daya alam, dampak kebaradaan penambangan
pasir besi terhadap sistem nilai yang hidup dalam masyarakat bandungharjo.
Data-data ini juga akan diperkuat dengan data sekunder yang berupa
dokumen-dokumen lain diantaranya: Monografi desa Bandungharjo, Peta,
Perijinan perusahaan penambangan pasir besi oleh CV. Guci Mas Nusantara
dan PT. Alam Mineral lestari , Peraturan terkait, serta berita media, yang akan
dijadikan bahan kajian untuk menentukan langkah-langkah yang bisa
dilakukan bersama warga Mulyorejo, Bandungharjo, dalam memperjuangkan
ruang ekologi yang berkeadilan.
B. Cara mengumpulkan data

Data-data tersebut diperoleh dengan beberapa metode, diantaranya adalah:
Live-in yaitu tinggal dan hidup bersama warga dan budaya setempat. Hal ini

dilakukan
agar periset dapat diterima oleh masyakat Mulyorejo,
Bandungharjo, serta untuk lebih memahami keadaan sebenarnya yang dialami
oleh masyarakat Mulyorejo, Bandungharjo.
Observasi yaitu melakukan pengamatan secara mendalam terkait kondisi yang

terjadi di lapangan. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui sistem nilai ,
sistem ekonomi dan pembagian kerja yang ada dalam masyarakat Mulyorejo,
Bandungharjo, lokasi penambangan CV. Guci Mas Nusantara dan rencana
lokasi penambangan PT. Alam Mineral Lestari, serta untuk mengetahui peta
aktor.
wawancara yaitu proses dialog yang dilakukan dengan tokoh-tokoh kunci

diantaranya sesepuh desa dan tokoh komunitas untuk mendapatkan
informasi terkait sejarah desa, persepsi dan konsepsi masyarakat terkait
sumber daya alam serta potensi dampak yang ditakutkan oleh warga
masyarakat Mulyorejo, Bandungharjo.
Focus Discussion Group dengan menyediakan ruang seluas-luasanya partisipasi

warga untuk bersama merumuskan langkah-langkah yang akan diambil.

proses ini juga digunakan untuk mendorong kesadaran kritis masyarakat
Mulyorejo, Bandungharjo akan hak untuk mendapatkan dan memperjuangkan
ruang ekologi yang berkeadilan.
Akses Informasi publik dilakukan oleh warga untuk mengakses perizinan dan

dokumen-dokumen lain yang telah didapat oleh CV. Guci Mas Nusantara dan
Alam Mineral Lestari sebagai bahan kajian untuk bersama merumuskan

tindakan yang mungkin dilakukan seperti gugatan di PTUN atau desakan
kepada Bupati untuk melakukan pembatalan.2
C. Analisa data

Data-data yang telah didapat selanjutnya akan akan di analisa dan diskusikan
dengan masyarakat untuk bersama menentukan langkah-langkah dalam
menghadai permasalahan yang ada di Mulyorejo, Bnadungharjo terkait
keberadaan penambangan pasir besi dan kriminalisasi yang terjadi.
III. Tujuan Penelitian

Tujuan Riset Aksi ini adalah untuk mendorong kesadaran kritis masyarakat
Mulyorejo, Bandungharjo, akan hak untuk mendapatkan dan memperjuangkan

ruang ekologi yang berkeadilan. Riset ini juga merupakan tahapan awal dari
tahapan riset aksi untuk bersama masyarakat melakukan pengorganisiran.
IV. Tentang Masyarakat M ulyorejo, Bandungharjo.

A. Sejarah M asyarakat

Untuk mengetahui sejarah desa Bandungharjo ini kami disarankan oleh warga
untuk menemui Mbah Ruslan. Mbah Ruslan adalah salah satu sesepuh yang
dianggap mengetahui seluk beluk Desa Bandungharjo. Ditemani Mas Sugeng
yang merupakan salah satu kontak dan kebetulan juga ketua RW Dukuh
Mulyorejo, Bandungharjo, kami menemui Mbah Ruslan untuk bersilaturrahmi
dan meggali informasi terkait sejarah desa.
Dari penuturan Mbah Ruslan bahwa Desa Bandungharjo dimulai dari seorang
tokoh yang bernama Mbah Kholipah atau warga menyebutnya Mbah Klipo.
Mbah Kholipah adalah anak dari Ki Ageng Gedhe Mbangsri atau yang dikenal
dengan Gajah Mada. Kemudian mbah Kholipah menikah dengan Mbah
Syarifah dan memiliki 3 orang anak, yaitu; Ngosari, Ngorejo, dan Nyi Belang.
Dari Ngorejo inilah kemudian diambil untuk nama Bandungharjo.3
Mbah Kholipah lah yang babat alas (membuka) desa Bandungharjo. Dari babat
alas mbah Kholipah inilah kemudian dikenal dengan beberapa istilah untuk


Dokumen yang telah didapatkan warga melalui akses informasi publik adalah: a) Dokumen UPL-UKL CV. Guci
Mas Nusantara; b) Ijin Gangguan CV. Guci Mas Nusantara (Keputusan Kepala Dinas PPPM Kab. Jepara Nomo r:
503/ IG.ITU/ 340 tahun 2008 tentang Izin Gangguan/ Izin Tempat Usaha bagi Sdr. H. Pawoko); c) Dokumen AMDAL
PT. Alam Mineral Lestari; Ijin Kelayakan Lingkungan PT. A lam Mineral Lestari (Keputusan Bupati Jepara nomor:
667.1/ 109 tahun 2012 tentang Kelayakan Lingkungan Kegiatan Penambangan Pasir Besi di desa Bandungharjo,
Ujungwatu, dan Banyumanis Kec. Donorojo, Kab. Jepara oleh PT. Alam Mineral Lestari); d) Ijin Pertambangan
Operasi Produksi PT. Alam Mineral Lestari (Surat Keputusan Kepala BPMPPT Kabupaten Jepara Nomor:
540/ 002/ IUP-OP/ BPMPPT/ IV/ 2012 tentang Pemberian peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi
izin pertambangan operasi produksi mineral logam kepada PT. Alam Mineral Lestari);

2

3

Wawancara dengan Mbah Ruslan terjadi pada tanggal 25 Juli 2012 saat live-in didukuh Mulyorejo, Bandungharjo.

menyebutkan beberapa tempat, diantaranya adalah: sawah sabuk, sawah padang,
krasak, kukusan, juwet4 yang saat ini dijadikan sebagai bengkok desa.
Sementara itu asal mula warga Gisikan5 (dukuh mulyorejo/ RW 11), bermula di

ds. Bumiharjo yang merupakan tetangga ds. Bandungharjo, saat itu sekitar
tahun 1971 di PTPN yang berada di wilayah Bumiharjo yang ditanami kelapa
mengalami kebakaran yang berujung pada pengusiran warga yang tinggal di
area PTPN tersebut untuk kemudian direlokasikan diarea gisikan (Sepanjang
pantai) Bandungharjo (sekarang jadi dukuh Mulyorejo/ RW 11). Pengusiran itu
dilakukan oleh PTPN karena menganggap wargalah yang menyebabkan
terjadinya kebakaran. Waktu itu ada sekitar 10 KK sampai sekarang terdapat
sekitar 140 KK yang semuanya bermata pencaharian sebagai Nelayan.
B. Kondisi Geografis dan Demografi

Berdasarkan observasi, secara goegrafis Desa Bandungharjo merupakan Desa
yang memilki Sumber Daya Alam yang melimpah. Selain kandungan pasir
besi di sepanjang pantai, area persawahan juga terlihat subur, hal ini
disebabkan mudahnya sumber mata air tawar yang bisa dimanfaatkan untuk
mengairi sawah dan juga kebutuhan sehari-hari masyarakat disekitar pantai.
Di Bandungharjo juga terdapat kawasan hutan yang kini dikelola oleh
Perhutani (Petak 30, 31, dan 32), dan juga perkebunan karet yang dikelola oleh
PTPN. Selain itu di Desa Bandungharjo juga terdapat sungai yang warga biasa
menyebutnya sebagai sungai gelis yang saat ini dijadikan area pertambangan
batu.6

Untuk memperkaya data kami didampingi Mbah Taifur yang juga merupakan
kontak dan warga dukuh Mulyorejo kami mendatangi Kantor Desa untuk
mendapatkan informasi terkait Demografi desa. Dari data demografi yang
kami dapat, Bandungharjo memiliki luas 1.049.780 Ha, dengan luas hutan
464,700 Ha, dan batas wilayah: Sebelah Utara berbatasan dengan Pantai,
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tulakan, Sebelah Barat berbatasan
dengan Desa Bumiharjo, dan Sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Banyumanis.
Sementara iru jumlah penduduk Bandungharjo terdiri dari 2.172 KK, dengan
jumlah laki-laki 3.627 Orang, dan perempuan 3.868 Orang, hyang terbagi
dalam 11 RW.7

Penyebutan istilah-istilah ini menurut mbah ruslan dikaitkan dengan kondisi dan peristiwa yang ada dilokasi,
misal: sawah juwet, karena di lokasi dahulu banyak tanaman Juwet.
5 Gisikan digunakan oleh warga untuk menyebut wilayah sepanjang pantai.
6 Kondisi Geografis ini berdasarkan keterangan warga dan observasi yang dilakukan pada tanggal 24-27 Juli 2012.
7 Data diambil dari Peta Monografi Desa Bandungharjo pada tanggal 25 Juli 2012.

4


C. Sistem Ekonomi dan pembagian kerja

Mata pencaharian masyarakat desa Bandungharjo beranekaragam, mulai dari
bertani di area persawahan dan juga di hutan sampai berwirausaha mebel,
meskipun beberapa tahun terakhir ini sudah jarang ditemui lagi karena
banyaknya usaha mebel yang gulung tikar akibat tidak sebandingnya biaya
produksi yang harus dikeluarkan dengan hasil yang didapat. Umumnya
masyarakat yang bertani adalah orang tengger (atas) yaitu warga yang tinggal
di RW 1-10.
Khusus untuk warga di dukuh Mulyorejo (RW 11) atau yang biasa disebut
dengan Gisikan (warga sekitar pantai), warga hampir semuanya bermata
pencaharian sebagai Nelayan. Hal ini disebabkan karena dekatnya pemukiman
warga dengan laut. Selain melaut adalah satu-satunya keahlian yang dimiliki
secara turun-temurun, warga gisikan ini tidak memiliki alternatif lahan
penghidupan yang lain semisal tanah persawahan. Jadi praktis warga di
dukuh Mulyorejo hanya menggantungkan hidup pada Sumber Daya Laut
yang ada.
Warga biasa melaut pada siang dan malam hari, yang hasil tangkapannya
kemudan akan dijual kepada Bos (orang yang biasa membeli ikan dari para
Nelayan). Biasanya para bos ini akan mendatangi Nelayan seusai melaut untuk
membeli hasil tangkapannya. Para Nelayan biasa menjual hasil tangkapan
kepada bos langgananya atau bos yang biasa meminjamkan uang kepada para
Nelayan untuk modal melaut, perbaikan perahu, atau kebutuhan sehari-hari.
Dari hasil tangkapan para Nelayan di dukuh Mulyorejo tidak semuanya dijual.
Biasanya mereka membawa pulang sebagian hasil tangkapan untuk
dikonsumsi sendiri atau diolah lagi oleh para ibu-ibu dengan cara dipanggang
dan dijual diteras-teras rumah masing.
Di dukuh Mulyorejo sebanarnya terdapat Tempat Pelelangan Ikan/ Kongsi,
namun sekarang ini tidak jalan. Hal ini disebabkan tidak jelasnya pengelolaan
TPI dan juga warga memang lebih senang menjual hasil tangkapannya kepada
bos dengan alasan mereka lebih mudah memberikan pinjaman dan juga tidak
harus membayar pajak, meskipun sebagai konsekuensi tidak berjalannya TPI
para Nelayan tidak lagi mendapatkan uang Saving8 setiap tahun.
Selain istilah Nge-Bos di dukuh Mulyorejo yang hampir semuanya Nelayan
juga dikenal istilah Juragan, yaitu pemilik perahu. Untuk pembagian hasil
tangkapan ini juragan/ pemilik perahu mendapatkan satu bagian dari hasil
Uang Saving adalah uang potongan dari setiap pelelangan hasil tangkapan yang dikelola oleh TPI yang akan
diberikan kembali kepada para nelayan saat musim pacekelik, yaitu musim ombak besar dimana para nelayan tidak
melaut.

8

tangkapan. Rinciannya adalah para Nelayan biasa melaut dengan 2 orang
(dengan alat jaring nilon/ senar),maka pembagian hasilnya akan dibagi tiga,
satu bagian untuk pemilik perahu.
Sementara itu untuk dogol (alat untuk menangkap ikan teri) Nelayan biasa
melakukannya dengan personil 4-6 orang, dengan rincian pembagian hasil
satu bagian untuk pemilik perahu, dan satu bagian untuk pemilik dogol (alat) 9.
Jika pemilik perahu dan dogol adalah salah satu personil yang ikut melaut,
maka dia akan mendapatkan 3 bagian dari hasil tangkapan.10
D. Sistem Nilai

Masyarakat Dukuh Mulyorejo bisa diklasifikasikan sebagai masyarakat
Nelayan tradisional, hal ini dapat dilihat dari peralatan mencari ikan yang
digunakan oleh warga seperti jaring dan sebagainya. Selain itu ikatan komunal
juga sangat kental terasa, bahkan dalam berbagai hal warga Nelayan di Dukuh
Mulyorejo dikenal paling solid jika dibanding warga petani atau warga dukuh
lain di Bandungharjo.
Budaya komunal ini dapat dilihat dari kebersamaan para Nelayan saat berbagi
hasil laut.11 Laut oleh para Nelayan dimaknai sebagai tempat menggantungkan
penghidupan oleh seluruh Nelayan yang satu sama lain saling memiliki,
sehingga ketiadaan kepemilikan secara individu menghilangkan segala
persaingan. Melaut adalah pekerjaan kolektif, tidak penting bagi Nelayan
mempertanyakan perahu dan alat milik siapa, jika ada yang mau ikut maka
berangkatlah mereka.
Dalam hal melaut, para Nelayan di dukuh Mulyorejo mengenal beberapa
musim yang menentukan sedikit atau banyaknya ikan yang ditangkap. Pada
bulan Desember-Februari bertiup angin Barat yang menghasilkan ombak besar
dan pada bulan-bulan ini Nelayan tidak Miyang (melaut). Setelah itu berganti
dengan yang dikenal dengan Musim Gapat (Bulan tiga-empat) yang
berlangsung selama 3 bulan, pada bulan ini tidak ada ombak dan ikan relatif
banyak. Setelah musim gapat selesai, pada bulan 6-8 bertiup angin timur,
biasanya Nelayan masih berani miyang karena ombak tidak terlalu besar.
9

Pembagian dilakukan setelah hasil penjualan tangkapan dipotong biaya bahan bakar. Jadi hasil pembagian secara
teknis, jika satu perahu terdiri dari 6 orang, maka hasil tangkapan setelah dipotong bahan bakar dibagi delapan
(pemilik perahu dan dogol masing-masing mendapat 1 bagian). Atau dengan kata lain masing-masing mendapat
12,5% dari hasil penjualan hasil tangkapan setelah dipotong bahan bakar.
10 Data didapat dari wawancara dengan warga saat live-in 24-27 Juli 2012.
11
Yang dimaksud Komunal disini adalah budaya guyub atau masyarakat trdisional saling terintegrasi.

Setelah angin timur berakhir, masuk pada bulan 8-10 atau yang dikenal
dengan sasi Kuwolon (Bulan kedelapan/ Agustus) yang juga relatif banyak ikan
lagi.12
Sebagai wujud rasa bersyukur atas limpahan Sumber Daya Laut yang selama
ini menjadi ladang Penghidupan, Nelayan di dukuh Mulyorejo biasa
mengadakan sedekah laut yang dilaksanakan selapan/ 36 hari setelah
silaksanakan sedekah bumi di daerah tennger (Warga desa atas) yaitu senin
pahing dibulan apit atau dalam bulan Qomariah adalah Dzulqo’dah. Sedekah
laut ini biasanya dilaksanakan dengan bentuk larung (membuang) sesaji ke
tengah laut berupa kepala kambing dan sesaji lainnya. Setelah prosesi larung
sesaji dilanjutkan dengan Wayangan atau menggelar pertunjukan wayang dan
turnamen voli. Dana yang digunakan untuk kegiatan ini adalah hasil Swadaya
Masyarakat sendiri dengan iuran setiap keluarga.
V. Konflik Sumber Daya Alam Penambangan Pasir Besi di Dukuh Mulyorejo

A. Awal mula terjadinya konflik

Persoalan yang ada di Bandungharjo khususnya di Masyarakat nelayan yang
berada di dukuh Mulyorejo dimulai dari adanya aktivitas penambangan pasir
besi di area pantai oleh CV.Guci Mas. Aktivitas penambangan ini dilakukan
sekitar bulan November 2011 yang membuat resah warga Nelayan dan Petani
sampai akhirnya pada 30 April 2012 direspon adanya aksi dan pengerusakan
oleh warga yang berbuntut pada dikriminalisasikannya 15 warga Mulyorejo,
Bandungharjo, yang saat ini masih dalam proses di Kejaksaan Negeri Jepara.13
Setelah adanya aksi oleh warga tersebut penambangan pasir besi oleh CV.Guci
Mas berhenti. Namun tidak sampai disitu, persoalan yang lebih besar lagi
sedang mengancam Warga, yaitu rencana penambangan pasir besi oleh PT.
Alam Mineral Lestari yang akan memakan 200 Ha yang terbagi di dua titik,
yaitu di Desa bandungharjo tepatnya diwilayah Hutan yang saat ini dikelola
Perhutani dengan luasan 20 Ha dan di Desa Banymanis (tetangga Desa
bandungharjo) dengan luasan sekitar 180 Ha.14
Dalam rencana penambangan pasir besi ini, pihak PT. Alam Mineral Lestari
mengklaim bahwa telah memiliki ijin, klaim ini disampaikan oleh Staff Officer,
Dani Diyantoro di media15 dan juga saat sosialisasi dengan warga.
Data diperoleh saat wawancara dengan mbah Nur Hadi saat live-in 24-27 Juli 2012.
Berdasarkan penuturan 15 warga korban kriminalisasi saat pertemuan pada 24 juli 2012.
14
Berdasarkan penuturan warga saat pertemuan pada 24 Juli 2012. Warga mengetahui luasan berdasarkan
sosialisasi yang pernah dilakukan oleh PT. AML di Balai Desa.
15
http:/ / www.suaramerdeka.com/ v1/ index.php/ read/ news/ 2012/ 07/ 29/ 125645/ Pasir-Besi-200-Ha-DikuasaiPT-A ML

12

13

Terkait Sosialisasi yang dilakukan, PT. Alam Mineral Lestari telah melakukan
dua kali sosialisasi. Sosialisasi pertama dilakukan di Balai Desa Bandungharjo,
karena mendapat penolakan maka Sosialisasi yang kedua dilakukan di
tempatnya Kiyai Ubed, dengan harapan warga mampu menerima. Akan tetapi
seperti sebelumnya Warga tetap menolak keras rencana penambangan pasir
besi yang dilakukan oleh PT. Alam Mineral Lestari.
Alasan penolakan warga selain abrasi adalah keterancaman ekologi yang akan
berdampak pada ekosistem laut, karena area pertambangan yang langsung
berbatasan dengan pantai. Ini berarti juga keterancaman pada sumber mata
pencaharian para Nelayan yang praktis hanya menggantungkan diri pada
Sumber Daya Laut. Selain penolakan juga dilakukan oleh Petani yang merasa
terancam dengan adanya penambangan yang akan merusak area persawahan
dan mengganggu akses pengairan sawah.16
B. Lahirnya perizinan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara
1. Profil PT. Alam M ineral Lestari dan rencana penambangan pasir besi

PT. Alam Mineral Lestari adalah sebuah perusahaan yang berencana
melakukan penambangan Pasir Besi dengan luasan 200 Ha dengan rincian
21 Ha di Desa Bandungharjo (Area Perhutani), 119 Ha di Desa Banyumanis
(Lahan Masyarakat), dan 60 Ha di Desa Ujungwatu (Lahan Masyarakat)
yang berada/ berbatasan langsung dengan garis pantai. Untuk
penambangan di area Perhutani akan dilakukan dengan sistem Pinjampakai dan sistem Sewa/ kontrak untuk lahan milik Masyarakat.17
Dari dokumen AMDAL, rencana penambangan yang akan dilakukan
terbagi dalam 3 tahap. Tahap ke 1 dimulai dari Blok 1 yang terletak di desa
bandungharjo dengan luasan 21 Ha dengan potensi tambang 383.695 ton
dan umur tambang 2 tahun. Penambangan tahap 2 merupakan
penambangan pada blok III dan IV yang terletak di Desa Ujungwatu
dengan luasan 60 Ha dengan potensi tambang 990.045 ton dan umur
tambang 4,1 tahun, serta penambangan tahap 3 pada Blok I, II, III di desa
Banyumanis dengan luasan 119 Ha dengan potensi tambang 2.263.801,039
ton dan umur tambang 8,9 tahun,. Rincian volume penggalian pasir besi
lembab pada tahun ke 1 dan ke 2 sebesar +/ - 1.500 m3/ hari, pada tahun ke

16 Warga Mulyorejo yang mayoritas nelayan semuanya solid untuk menolak keberadaan tambang pasir besi, hal ini
kemudian diwujudkan dengan aksi penolakan disetiap sosialisasi penambangan, bahkan di sudut-sudut dan jalan
masuk kampung dipasang spanduk-spanduk untuk menolak tambang. Sementara itu, kondisi ini berbeda dengan
petani yang ada di RW 1-10 yang belum solid, berdasarkan penuturan Bu Naim (salah seorang petani bandungharjo
yang menolak tambang), hanya ada beberapa orang petani saja yang menolak tambang, dan mereka cenderung tidak
mau tau dengan persoalan yang terjadi.
17 Data di peroleh dari dokumen AMDAL yang telah didapat.[apa judulnya]

3 dan ke 4 sebesar +/ - 2.000 m3/ hari, sedangkan pada tahun ke 5, ke 6, dan
ke 7 +/ - 4.000 m3/ hari.
Tentunya dari angka dan rentang taun dalam rencana penambangan yang
akan dilakukan oleh PT. AML sangat meresahkan warga nelayan sekitar
pantai dan petani yang terancam lahannya, karena selama ini masyarakat
hanya menggantungkan hidup pada Sumber Daya Alam disekitar mereka.
Keterancaman ini bukan tanpa alasan, lokasi penambangan pasir besi di
jepara utara memiliki karakteristik pantai dan Hidrooceanografi rentan
terhadap arus dan gelombang, sehingga sering terjadi abrasi dan
perubahan garis pantai.18 Dampak hipotetik abrasi/ akresi inilah yang
membuat masyarakat dukuh Mulyorejo, Bandungharo, Donorojo, Jepara
bersikeras untuk melakukan penolakan terhadap segala bentuk
penambangan pasir besi di sepanjang pantai.
2. Proses peny usunan AM DAL mengabaikan Masy arakat

Analisis Mengenai Dampak lingkungan atau yang disebut AMDAL adalah
Kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/ atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau
kegiatan.19
Begitu pentingnya AMDAL sebagai salah satu prasyarat wajib yang harus
dimiliki untuk jenis usaha atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan atau sebagaimana yang diatur dalam UU No 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan
pemerintah No 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Peraturan pemerintah No 27 tahun 2012 tentang Izin
lingkungan, maka AMDAL memiliki posisi yang sangat strategis untuk
menentukan layak atau tidaknya suatu jenis usaha/ kegiatan yang
dilakukan untuk mendapatkan Izin usaha/ kegiatan oleh pejabat yang
berwenang.
Begitu juga dengan Rencana penambangan pasir besi yang akan dilakukan
oleh PT. Alam Mineral Lestari, jika mengacu pada Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No 11 tahun 2006 tentang jenis Rencana Usaha
dan/ atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup, maka sesuai dengan lampiran I aturan
tersebut dalam Bidang Sumber Daya Mineral dan Energi, rencana
penambangan Pasir besi PT. AML telah memenuhi ketentuan yang diatur
dengan luasan >/ = 200 Ha atau dengan lamanya kegiatan yang
18
19

Data diperoleh dari rekaman sosialisasi yang dilampirkan di AMDAL PT. AML.
Pasal 1 PP Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).

memberikan dampak penting, sehingga rencana penambangan tersebut
termasuk dalam kategori jenis usaha/ kegiatan yang wajib AMDAL.
Namun yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah Dampak Besar dan
Penting sehingga membuat suatu jenis usaha/ kegiatan wajib AMDAL
bukan hanya berpijak pada proses dan kegiatan yang secara potensial
dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, akan tetapi juga melingkupi
proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial
dan budaya (Pasal 3 PP No 27/ 1999). Sehingga sangat penting dan perlu
sekali mengikutsertakan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan
AMDAL sebagai yang terkena dampak bahkan sebelum penyusunan
dokumen kerangka acuan (Pasal 9 PP No 27/ 2012, Pasal 26 UU No
32/ 2009).
Akan tetapi pada kenyataannya masyarakat hanya diundang 2 kali untuk
sosialisasi yang bertempat di balai desa dan rumah salah seorang tokoh
masyarakat. Warga Bandungharjo sendiri tidak tahu menahu sejauh mana
proses yang telah dilakukan, karena dalam 2 kali pertemuan itu masyarakat
secara tegas menolak rencana penambangan pasir besi oleh PT. AML.20
Dengan diterbitkannya Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan dan Izin
Usaha Pertambangan Operasi Produksi oleh pemerintah Kabupaten Jepara
tentu mempertegas pengabaian terhadap hak-hak aspirasi masyarakat yang
telah diatur oleh undang-undang. Sehingga dapat disimpulkan proses
pelibatan masyarakat yang diamanatkan oleh undang-undang hanya
sekedar dimaknai sebagai proses secara formal sabagai tahapan yang harus
dilalui, atau dengan kata lain masyarakat hanya diminta untuk hadir,
absen, dan terdokumentasikan sebagai lampiran dalam dokumen AMDAL
tanpa ada ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara penuh atau
terakomodir kepentingannya.
3. Peruntukan kaw asan, obral perijinan, dan keterancaman lahan w arga

Berdasarkan analisis yang dilakukan LBH Semarang bersama warga,
menemukan bahwa titik persoalan yang menyeret warga kedalam konflik
Sumber Daya Alam penambangan pasir besi adalah kebijakan peruntukan
kawasan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jepara No 2
tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Jepara tahun 2011-2031.
Dalam Perda RTRW tersebut menyatakan bahwa sepanjang pantai di
Kecamatan Donorojo yang meliputi Desa Bandungharjo, Banyumanis, dan
Berdasarkan penuturan Mas Sugeng dan Mas Saiful yang diperkut juga oleh warga yang lain saat pertemuan
tanggal 24 Juli 2012.

20

Ujungwatu, diperuntukkan sebagai kawasan penambangan pasir besi atau
sebagaimana yang secara jelas digambarkan dalam lampiran peta di Perda
tersebut. Sehingga konsekuensi dari penetapan kebijakan RTRW tersebut
adalah warga akan dihadapkan dengan ancaman para investor atau
penambang pasir besi sampai 2031 mendatang.
Selayaknya modal usaha, kawasan pantai Kecamatan Donorojo oleh
pemerintah kabupaten dimaknai sebagai sumber mendapatkan daerah,
untuk itu dibutuhkan para investor, dan cara paling sederhana untuk
menarik kehadiran para investor untuk mengekploitasi adalah dengan
mengobral dan mempermudah proses perijinan penambangan pasir besi.
Akan tetapi dalam kenyataannya kebijakan proses perijinan penambangan
oleh Pemerintah Kabupaten Jepara inilah yang seringkali menimbulkan
masalah keterancaman lingkungan dan lahan penghidupan warga.
Seperti contoh penambangan pasir besi yang dilakukan oleh CV. Guci Mas
Nusantara di kawasan pantai Desa Bandungharjo yang menyeret 15 warga
nelayan ke meja hijau atas aksi penolakan pada 30 April 2012 yang lalu.
Dalam persidangan 15 warga nelayan korban kriminalisasi yang
menghadirkan pihak CV. Guci Mas Nusantara sebagai saksi dari JPU
didapat keterangan bahwa CV. Guci Mas Nusantara telah mengntongi ijin
penambangan pasir besi dengan luasan 14 Ha pada tahun 2008 atas nama
Pawoko selaku pemilik CV. Guci Mas Nusantara, atas ijin yang didapatkan
tersebut CV. Guci Mas Nusantara malukukan kerjasama dengan PT.
????????? dari jakarta untuk pengerjaan penmbangannya. Sehingga dalam
hal ini, CV. Guci Mas Nusantara memposisikan diri sebagai makelar
perijinan untuk mendapatkan ijin penambangan yang kemudian
dilimpahkan pada investor lain dalam proses pelaksanaannya.
Berdasarkan penuturan warga dalam beberapa pertemuan lewat FGD yang
kemudian disampaikan dalam persidangan oleh 15 warga korban
kriminalisasi, dalam proses mendapatkan ijin, warga mengaku sama sekali
tidak tahu menahu terkait adanya rencana penambangan dan ijin yang
didapatkan oleh CV. Guci Mas Nusantara, karena dalam prosesnya belum
pernah ada sosialisasi kepada masyarakat. Warga menambahkan bahwa
sosialisasi oleh CV. Guci Mas Nusantara dilakukan setelah adanya
pembangunan bedeng dan aktivitas penambangan pada akhir tahun 2011
dan itupun setelah adanya aksi penolakan yang dilakukan oleh warga.
Selain itu, lokasi perijinan CV. Guci Mas Nusantara berada di area
pertanian warga yang hanya berjark 5-10 m dari titik pasang air laut juga
memperkuat dugaan obral perijinan yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Jepara, karena lokasi yang diijinkan adalah kawasan sepadan

pantai yang merupakan kawasan lindung. Yang dimaksud sempadan
pantai adalah daratan sepanjang tepian yang panjangnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang
tertinggi kearah darat. Perlindungan terhadap sempadan pantai ini
dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang
mengganggu kelestarian fungsi pantai atau sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 14 dan 13 Kepres No 32 tahun1990 tentang Pengelolaan
Kawasan lindung. Lebih lanjut lagi Kepres No 32 tahun 1990 juga
menegaskan bahwa dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan
budidaya.
Lebih lanjut lagi dalam Perda RTRW Kabupaten Jepara menegaskan bahwa
kawasan sempadan pantai terbentang di sepanjang pantai Kecamatan
Kedung sampai denganKecamatan Donorojo dengan panjang pantai sekitar
82,73 km (Pasal 23 dan 26 Perda No 2/ 2011 Jepara). ini artinya bahwa
sepanjang pantai di Kabupaten Jepara adalah kawasan sempadan pantai
yang merupakan kawasan lindung yakni wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sehingga dapat disimpulkaan
perijinan penambangan yang telah di berikan oleh Pemerintah Kabupaten
Jepara kepada CV. Guci Mas Nusantara telah melanggar berbagai aturan
terkait dan tidak seharusnya untuk diterbitkan atau wajib dikembalikan
sejak proses penyusunan UKL-UPL.
Sementara proses konflik antara warga dengan CV. Guci Mas Nusantara
belum selesai, kini hadir investor lain yakni PT. Alam Mineral Lestari yang
saat ini telah mengantongi Ijin Usaha Penambangan Operasi Produksi
(IUP-OP) yang meliputi tiga desa di sepanjang pantai Kecamatan Donorojo.
Berbeda dengan CV. Guci Mas Nusantara yang hanya memiliki luasan
perijinan penambangan 14 ha, PT. Alam Mineral Lestari memiliki luasan
perijinan yang lebih luas yakni 200 ha yang berada di tiga desa yaitu
Bandungharjo, Banyumanis, dan Ujungwatu. Karena memiliki luasan
perijinan yang lebih luas maka keterancaman penambangan pasir besi
tidak hanya dirasakan secara langsung oleh para nelayan di Bandungharjo,
akan tetapi juga menjadi ancaman bersama yang dirasakan oleh para petani
di Banyumanis dan petani tambak serta nelayan di Ujungwatu.
Kegelisahan warga tidak hanya lagi terkait keterancaman adanya abrasi
yang mengancam pemukiman warga, tetapi juga lahan pertanian, lahan
tambak yang selama ini menjadi tumpuan penghidupan warga. Rasa waswas, marah, dan patah hati tidak lagi bisa disembunyikan dari raut muka
para petani, petani tambak, dan nelayan, setelah menyadari Pemerintah

Kabupaten Jepara yang selama ini mereka dambakan telah menjual tanah,
pantai, dan tambak warga lewat kebijakan yang tak pernah masyarakat
pahami, obral perijinan yang tak pernah masyarakat mengerti.
VI. Perebutan ruang ekologi yang berkeadilan

A. Benturan persepsi dan konsepsi tentang Sumber Daya Alam antara
M asyarakat, Investor, dan Pemerintah.

Aktifitas pertambangan seperti uang logam yang memiliki dua sisi yang saling
berlawanan, yaitu dianggap sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak
lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini
menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak
lingkungan, pertambangan dapat mengubah secara total baik iklim dan tanah
akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan.
Hilangnya vegetasi secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi hutan
sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon,
pemasok oksigen dan pengatur suhu.
Begitu prospektifnya sektor pertambangan pasir besi ini tidak mengherankan
jika kemudian mengundang ketertarikan investor untuk ikut mengeruk
keuntungan dari hasil Sumber Daya Alam yang selama ini dijaga oleh
masyarakat sekitar. Untuk memuluskan praktek penambangan ini, para
investor biasa menggunakan jasa pemerintah daerah sebagai pintu masuk
untuk proses perijinan yang kemudian dikemas untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk memakmurkan masyarakat.
Disisi lain masyarakat memiliki konsepsi dan persepsi sendiri tentang
pemaknaan terhadap Sumber Daya Alam. seperti halnya Nelayan dan Petani
di Bandungharjo, Donorojo, Jepara, mereka memaknai Sumber Daya Alam
sebagai satu-satunya sumber mencari nafkah, kerusakan lingkungan akibat
petambangan berarti sama halnya mengancam kehidupan mereka. Perbedaaan
konsepsi dan persepsi inilah yang kemudian melahirkan konflik berbasis
Sumber Daya Alam yang semakin hari semakin membesar sebagai retorika
perlawanan masyarakat untuk memperjuangkan ruang ekologi yang
berkeadilan.
Seperti halnya yang disampaikan oleh Mbah Nur Hadi saat pertemuan warga
di rumah Mas Sugeng pada 19 Juli 2012, dia memiliki persepsi dan konsepsi
sendiri dalam memaknai Sumber Daya Alam
pantai yang ada di
Bandungharjo. Dia menuturkan bahwa di masyarakat Mulyorejo,
Bandungharjo, mengenal adanya angin barat dan angin timur. Ketika bertiup
angin barat maka angin itu akan membawa material pasir ke timur dan
begitupun sebaliknya. Dengan begitu jika terjadi penambangan pasir besi
seperti yang dilakukan CV. Guci mas yang ada di pantai daerah barat maka

lama kelamaan akan menghabiskan material pasir di pantai daerah timur,
karena tidak ada lagi material pasir yang di bawa ke timur jika bertiup angin
barat karena pasirnya sudah habis di tambang. Dan menurut Mbah Nur Hadi
bukan tidak mungkin akan terjadi abrasi yang mempersempit wilayah darat
dan mengancam pemukiman warga di sepanjang gisikan.
Senada dengan Mbah Nur Hadi, Mbah Taifur pada pertemun tersebut juga
menyampaikan memiliki kecamasan yang sama. Dia menuturkan bahwa garis
pantai beberapa tahun yang lalu masih agak jauh tapi sekarang semakin dekat,
apalagi ditambah dengan rencana keberadaan penambangan oleh PT. AML
seluas 200Ha, bahkan dia sendiri tidak berani membayangkan dampak yang
akan terjadi.
Sementara menurut warga yang lain seperti Mas Sugeng, Mas Saiful, dan
beberapa warga lain yang masih aktif Miyang dalam pertemuan tersebut di
rumah Mas Sugeng menuturkan bahwa laut bagi mereka adalah satu-satunya
tempat menggantungkan hidup. Bahkan dari mereka menceritakan peristiwa
berdarah yang pernah terjadi, yaitu ketika masuknya Kapal-kapal Nelayan
yang menggunakan pukat harimau dikawasan perairan mereka yang
mengancam ikan-ikan kecil. Akhirnya warga pada waktu itu mengusir kapalkapal tersebut dan terjadilah pertumpahan darah ditengah laut.21 Karena bagi
warga nelayan di bandungharjo kegiatan menangkap ikan adalah cara satusatunya bagi mereka untuk menyambung hidup bukan untuk mencari
keuntungan, oleh karena itu seluruh warga nelayan sampai saat ini masih
menggunakan cara-cara tradisional untuk menangkap ikan.
B. Respon M asyarakat sebagai retorika perlawanan.
Dalam pasal 70 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dinyatakan bahwa Masyarakat
memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan
aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam ayat
berikutnya kemudian dijelaskan bentuk peran serta masyarakat pengawasan
sosial, pemberian saran, usul, pendapat, keberatan, pengaduan, penyampaian
informasi, dan laporan.
Berpijak pada aturan tersebut sebenarnya masyarakat Mulyorejo,
Bnadungharjo, telah mekukan apa yang menjadi haknya untuk berperan aktif
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidupnya. Hal ini sebagai
mana yang disampaikan oleh Mbah Nur Hadi, Mas Sugeng, dan warga

21

Berdasarkan keterangan warga peristiwa ini terjadi pada tahun antara 1996/ 1997 yang warga menyebutnya
dengan peristiwa cotok (sejenis pukat harimau).

lainnya bersama 15 korban Kriminalisasi dalam pertemuan saat Live-in yang
kami lakukan pada tanggal 24-27 Juli 2012.
Warga menuturkan bahwa selama ini meraka tidak tahu menahu terkait
keberadaan penambangan yang dilakukan oleh CV. Guci Mas Nusantara
karena memang tidak pernah ada sosialisasi yang dilakukan kepada
masyarakat, sampai pada akhirnya ada alat berat turun dan berdirinya bedeng
yang kemudian diketahui milik CV. Guci Mas Nusantara. Pada waktu warga
berinisiatif untuk meminta klarifikasi pada petinggi desa, akan tetapi petinggi
mengatakan tidak tahu menahu. Kemudian warga juga mendatangi
pemerintah daerah kabupaten jepara dan dinas terkait untuk menanyakan hal
yang sama dan meminta pemberhentian aktifitas penambangan. Namun
seperti halnya angin lalu aspirasi masyarakatpun tidak diperhatikan oleh
pemangku kebijakan.
Mulai dari sinilah kemudian muncul ketidak percayaan Masyarakat
Mulyorejo. Bandungharjo, terhadap pemerintah yang seharusnya menjadi
kepanjangan tangan rakyat. Sampai pada akhirnya masyarakat Mulyoreja,
Bandungharjo, yang terdiri dari nelayan dan sebagian petani mengambil
langkahnya sendiri untuk menghentikan aktifitas penambangan dengan aksi
di bedeng yang dijadikan kantor CV. Guci Mas Nusantara yang diakhiri
dengan pengerusakan bedeng.
VII. Penutup

A. Kesimpulan

Konflik Sumber Daya Alam penambangan pasir besi di Mulyorejo,
Bandungharjo, adalah konflik pertentangan persepsi dan konsepsi tentang
pemaknaan Sumber Daya Alam. Sebagaimana konflik yang melibatkan
Pemerintah, Pemodal, dan Masyarakat, yang senantiasa memposisikan
Masyarakat sebagai kelompok yang tertindas, begitulah yang dialami oleh
warga Mulyorejo, Bandungharjo. Kriminalisasi 15 warga Mulyorejo,
Bandungharjo, cukup menjadi bukti ketidak berpihakan pemerintah kepada
rakyat.
Pengkhianatan Pemerintah Kabupaten Jepara terhadap mendat yang diberikan
oleh rakyat tentunya dapat dilihat dari terbitnya surat keputusan kelayakan
lingkungan dan perizinan penambangan yang didapat oleh perusahan
penambangan dengan tanpa melibatkan partisipasi Masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini tentunya tak ada lagi yang bisa diandalkan selain
kemampuan masyarakat sendiri untuk melindungi sumber penghidupan
mereka atas keterancaman penambangan oleh perusahaan.
Sehingga
penolakan dan pengrusakan yang dalakukan oleh warga merupakan respon

sebagai retorika perlawanan masyarakat Mulyorejo, Bandungharjo dalam
memperjuangkan ruang ekologi yang berkeadilan.
B. Rekomendasi

Riset Aksi ini merupakan tahap pertama dari rangkaian Riset Aksi konflik
Sumber daya Alam pertambangan yang ada di Bandungharjo, Jepara.
Sehingga dari data awal ini perlu untuk dijadikan bahan kajian bersama
masyarakat untuk kemudian dirumuskan bersama langkah-langkah yang akan
dilakukan. Sehingga masih perlu adanya tahapan berikutnya untuk
melakukukan pengorganisasian yang bertujuan mendorong kesadaran untuk
melakukan perlawanan dalam bentuk pendampingan dan pendidikan dalam
rangka mendorong kesadaran kritis masyarakat dan kemandirian sipil.