BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Identitas dalam Ritual Tulude

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah. Membicarakan identitas sangatlah kompleks dan dinamis. Orang akan secara

  umum berpikir keterhubungannya dengan daerah, suku, adat-istiadat, agama, status sosial, dan banyak hal, ketika kata identitas itu dipertanyakan. Apalagi di saat kita mempertanyakan tentang bagaimanakah jika identitas itu berubah? Menjawab persoalan perubahan identitas ini, secara sederhana dapat dikatakan bahwa seseorang perlu memiliki keberagaman identitas dan mengalami perubahan makna dalam

  1

  kehidupannya. Burke menyebutnya sebagai perubahan standar identitas. Untuk menuju pada perubahan identitas tersebut individu membutuhkan makna yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikirannya, sehingga menghasilkan keberagaman identitas yang ia temukan dalam interaksinya, dan pada akhirnya terjadilah perubahan identitas.

  Proses perubahan identitas itu ada di dalam ritual suku Sangihe yang disebut ritual Tulude. Beragamnya identitas itu dapat dilihat pertama, dari letak geografisnya suku Sangihe, di mana suku tersebut adalah orang Sangihe Talaud yang tinggal di pulau-pulau bagian paling Utara dari Propinsi Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Philipina. Gugusan pulaunya jika dibentangkan dari Selatan ke Utara maka akan didapatkan empat bagian pulau besar, yaitu gugusan pulau Tagulandang, Siau, Sangihe, dan Talaud. Berdasarkan pada letak geografis itu, maka terdapat bahasa yang berbeda, kepercayaan yang berbeda, ritual yang berbeda pula, dimana semua bentuk adat istiadat itu menciptakan keberagaman identitas, dan makna hidup yang kuat. Kedua, keberagaman identitas juga dapat dilihat dari cerita rakyat suku Sangihe, di mana mereka dahulunya berasal dari beberapa kelompok suku pendatang. Suku-suku

  2 pendatang tersebut adalah: Apapuhang, Saranggani, Merano, Sulu, dan Molibagu.

  3 Sistem kehidupan suku Sangihe pada masa itu adalah sistem kerajaan. Mereka

  tinggal di keempat gugusan pulau besar tersebut. Kebersamaan itu menciptakan banyak hal seperti; Kepercayaan kepada mana, kepercayaan kepada roh-roh, dewa-

  4

  dewa, dan beberapa bentuk penyembahan terhadap Ilahi. Dari banyak adat istiadat itulah beragam identitas tercipta. Ketiga, keberagaman identitas itupun bertambah ketika agama moderen masuk ke daerah Sangihe Talaud. Pada saat itu tahun 1563, Sultan Ternate ingin memperluas penyebaran agama Islam sampai ke daerah Sangihe, kemudian diwaktu yang sama Henrique de Sa penguasa Portugis juga mengirim Peter Diogo de Magelhaes untuk mendahului gerakan Sultan Ternate itu ke Manado. Maka penyebaran agama Islam dan Kristenpun terjadi di daerah Sangihe. Secara khusus penyebaran agama Kristen terjadi pada saat Raja dari pulau Siau sebagai pemegang

  5

  kerajaan Sangihe, dibaptis menjadi Kristen Protestan. Dengan demikian semua pengikut rajapun beridentitaskan agama Kristen.

  Dengan demikian ktia dapat melihat keberagaman identitas suku Sangihe. Keberagaman tersebut diantaranya ialah: perbedaan identitas dalam bahasa, kebiasaan, kepercayaan, ritual-ritual, kemudian identitas dari agama moderen seperti Kristen dan Islam. Identitas-identitas tersebut menjadi bagian dari interaksi yang terjadi dalam kehidupan suku Sangihe.

  2 Suku Apapuhang menurut informasi selama ini adalah orang yang berasal dari Bangsa Negrito. Suku

Saranggani berasal dari Mindanao Selatan (Philipina). Suku Merano berasal dari Mindanao Tengah

(philipina). Suku Sulu adalah para raksasa. Suku Molibagu berasal dari kedatuan Bowontehu dan Manado

Tua. 3 4 D. Brilman, Kabar Baik Di Bibir Pasifik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2000), 29.

  Brilman, Kabar Baik Di Bibir Pasifik, 75-77.

  Meskipun terdapat banyak identitas seperti yang sudah digambarkan di atas yang dimiliki oleh suku Sangihe, terdapat beberapa ritual yang dipraktekkan secara bersama oleh suku Sangihe, yaitu ritual penyembuhan atau ritual Lahopa, dan ritual ucapan syukur atau biasa disebut ritual Tulude. Akan tetapi karena dipengaruhi oleh perkembangan struktur masyarakat dan ditambah lagi dengan pengaruh dogma dari agama moderen maka terdapatlah perbedaan dalam kedua ritual ini, yang diuraikan pada bagian berikut.

1.1.1. Ritual Lahopa.

  Ritual ini adalah suatu ritual untuk menyembuhkan seseorang yang menderita sakit penyakit dengan menggunakan media jahe, kunyit, bawang merah, bawang putih, kemudian didoakan dan disemburkan kepada seseorang yang menderita sakit. Dalam proses penyembuhan itu doa yang digunakan tidak lagi dalam bahasa asli suku Sangihe, tetapi telah mengalami pengaruh dari bahasa agama moderen (secara umum menggunakan bahasa dari agama Islam dan Kristen).

  Identitas suku Sangihe dalam ritual pengobatan ini sudah tidak lagi secara murni, tetapi sudah terpengaruh dengan dogma dari agama moderen. Jika dia seorang Kristen maka dia menggunakan dogma Kristen, demikian juga ketika seseorang itu beragama Islam, maka dia menggunakan dogma Islam.

  Misalnya proses ritual penyembuhan ini dilakukan oleh seorang yang beragama Kristen, maka dia menggunakan kalimat doa yang diawali dan diakhiri dengan kalimat

  “Yesus Kristus berkatilah amin”. Begitupun ketika seseorang itu

  beragama Islam dia menggunakan kalimat “bismila allah bisa”. Mereka melihat proses Lahopa ini sebagai pengalaman dalam mewujudnyatakan sumber kekuatan, dimana kekuatan itu diyakini oleh mereka berasal dari “pemilik kehidupan” atau “yang empunya”, dalam bahasa daerah Tagulandang disebut

  

Tataghuang , sedangkan untuk suku Sangihe secara umum menyebutnya I

Ghenggona Langi. Hanya saja dalam doa itu mereka tidak lagi menggunakan

  penyebutan nama Tuhan dalam bahasa daerah tersebut, karena sudah dipengaruhi oleh agama moderen. Oleh karena itu seseorang yang mempraktekkan ritual Lahopa identitasnya lebih dikenal dari segi agama baru (apakah dia Kristen atau Islam), jika dibandingkan dengan identitasnya sebagai seorang suku Sangihe.

  Melihat kenyataan dalam praktek ritual penyembuhan itu, maka sangat jelas terdapat cara hidup yang terpisah, dimana model praktek Lahopa terkelompokkan berdasarkan agama moderen.

1.1.2. Ritual Tulude.

  Tulude

  berasal dari kata ”menuhude” artinya mendorong. Ritual Tulude pada hakekatnya adalah kegiatan ritual pengucapan syukur kepada I Ghenggona

  

Langi (Tuhan yang ada di langit) atas berkat-Nya kepada umat manusia selama

  setahun yang sudah berlalu dan meminta pertolongan supaya dilindungi, dijaga, dan dipelihara pada perjalanan tahun berikutnya. Ritual Tulude adalah suatu proses adat istiadat yang dilaksanakan satu tahun sekali, tepatnya pada bulan Januari.

  Dalam prosesi ritual Tulude ini, pelaksanaannya dipimpin oleh seorang petua adat dan dihadiri oleh seluruh masyarakat yang merasa diri beridentitaskan suku Sangihe. Artinya siapapun dia, dari pulau mana, dan yang membentuk berbagai interaksi, dimana interaksi itu menciptakan situasi perasaan yang sama antara individu satu dengan individu lainnya. Mereka merasa diri tidak berbeda satu dengan yang lainnya. Misalnya, dalam prosesi pengucapan doa yang dipimpin oleh seorang petua adat, meskipun petua adat itu sudah memeluk agama moderen, akan tetapi tidak menggunakan penyebutan nama Tuhan menurut agama yang di anut oleh petua adat tersebut. Penyebutan nama Tuhan itu menggunakan bahasa daerah suku Sangihe, yaitu I Ghenggona

  Langi Duata Saruluang. Kemudian, ketika masuk pada proses pengucapan

  syukur, mereka makan bersama dan saling berinteraksi tanpa merasa diri berbeda agama, pulau, dan bahasa. Pada prosesi akhir, ketika mereka semua akan ditahirkan atau dengan kata lain disucikan, maka penghayatan terhadap penyucian itu bersumber dari Tuhan yang sama yaitu I Ghenggona Langi, kemudian mereka berharap bahwa I Ghenggona Langi akan menjaga perjalanan hidup mereka selama setahun ke depan, supaya diberkati, diberikan hikmat, kebijaksanaa, hati yang tulus, dll, baik mereka yang beridentitas sebagai pemerintah, masyarakat, termasuk tua-tua agama, dalam melakukan tanggungjawabnya masing-masing. Dalam kebersamaan itu, mereka menjadi setara dan merasa terikat satu dengan lainnya dalam satu identitas bersama.

  Sehingga hal ini dapat dilihat sebagai suatu proses perubahan identitas dari yang beragam identitas menjadi satu identitas.

  Dengan demikian kita dapat melihat perbedaan kedua ritual tersebut, dimana ritual Lahopa dalam prakteknya telah dipengaruhi oleh dogma agama moderen yang menyebabkan cara praktek ritualnya terpisah sesuai dengan agama yang dianut, akan tetapi dalam ritual Tulude semua identitas menyatu didalamnya.

  Cara hidup seperti di atas, yang terdapat dalam proses ritual Tulude menurut penulis ketika berdiri pada identitas sebagai bangsa Indonesia, maka di dalam interaksi itu ada nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri tak lain adalah pengamalan nilai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang bermuara pada cara hidup setara di hadapan Tuhan dan sesama. Pada sisi yang lainnya juga di saat kita berada pada identitas agama moderen, maka nilai yang setara itu dapat menjadi suatu dasar untuk beragama di Indonesia. Oleh karena itu yang menarik disini adalah seperti apakah proses atau darimanakah proses makna kesetaraan itu? Hal inilah yang akan menjadi salah satu yang akan dibahas nanti pada bab empat tesisi ini.

  Berdasarkan hal di atas, maka penulis akan melakukan penelitan terhadap ritual

  

Tulude ini, dimana hasil penelitian itu akan diuraiakan dalam bab tiga nanti. Dengan

  demikian, tulisan karya ilmiah ini diberi judul: “Perubahan Identitas dalam Ritual

  Tulude

  ”. Pertanyaan penelitiannya adalah: Bagaimana bentuk perubahan identitas yang terjadi di dalam proses ritual Tulude yang mempengaruhi sistem kehidupan suku Sangihe? Sehingga tujuan penelitiannya tidak lain ialah mendeskripsikan dan menganalisis bentuk perubahan identitas suku Sangihe di dalam ritual Tulude.

1.2. Signifikansi.

  Menurut penulis, penelitian terhadap ritual Tulude ini segera dilakukan. Karena pertama, adanya justifikasi pemerintah baik di Kabupaten Kepulauan Sangihe maupun di Siau Tagulandang Biaro (KAB.Sitaro) dengan memasukannya dalam Peraturan Daerah (PERDA). Sehingga ritual ini tidak lagi dilihat sebagai ritual masyarakat, tetapi sebagai ritual pemerintah, dan dalam situasi itulah terjadi dominasi pemerintah terhadap masyarakat. Pada akhirnya, mengancam ritual Tulude sendiri sebagai ritual sakral seluruh suku yang ada di Sangihe. Misalnya, ketika ritual Tulude seharusnya sudah akan dilaksanakan, tetapi karena pemerintah masih belum hadir, maka ritual itu belum akan dimulai. Fenomena ini menjadikkan ritual Tulude tidak lagi sebagai identitas masyarakat Sangihe, tetapi menjadi identitas kalangan pemerintah. Hal yang kedua, datang dari agama baru. Misalnya, salah satu tulisan dari A. Makasar dengan judul 10 Tema Budaya-Kearifan Lokal Sumber Inspirasi Spiritual Moral Etik

   6

  7 Masyarakat Sangihe. Tulisan itu berbicara tentang legitimasi atas konsep Tamo

  sebagai simbol Yesus Kristus. Hal ini menyebabkan justifikasi terhadap ritual

  

Tulude, di sementara ritual Tulude dihadiri oleh semua agama yang ada di suku

  Sangihe. Sehingga justifikasi ini mengancam bagi hak dari agama lain untuk terlibat dalam ritual Tulude sebagai sesama suku Sangihe dan justifikasi itu menjadikan ritual

  Tulude sebagai bentuk identitas agama baru itu.

1.3. Urgensi

  Menjadi penting untuk diteliti, karena pertama saya melihat bahwa adanya ruang yang dapat menghasilkan perpecahan bahkan sampai pada saling membunuh dalam mempertahankan kepemilikan ritual Tulude nantinya. Hal itu mengancam keutuhan kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang pluralis di suku Sangihe.

  Kedua, penulis berasumsi bahwa fenomena penyatuan identitas di dalam ritual

  

Tulude itu menghancurkan batas perbedaan kehidupan sosial. Sehingga di dalam

  bentuk penyatuan identitas itulah terletak makna menjadi manusia Indonesia

  6 A. Makasar, 10 Tema Budaya-Kearifan Lokal Sumber Inspirasi Spiritual Moral Etik Masyarakat Sangihe (Tahuna: Badan Pengurus Sinode GMIST Bidang Marturia 2009), 71 7 Tamo adalah salah satu variabel dalam ritual Tulude. Bentuknya seperti kue tumpeng yang dipakai seutuhnya, dalam mempraktekkan nilai Pancasila sebagai bentuk identitas bangsa Indonesia yang sakral, dan menyatukan seluruh perbedaan yang ada.

1.4. Metode Penelitian

  Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu  (methodeuo) artinya

  8

  mengikuti jejak atau mengusut, menyelidiki dan meneliti. J. Rapar menyebutkan metode sebagai cara kerja yang teratur dan sistematis ketika digunakan untuk

  9 memahami suatu objek sebagai masalah dan merupakan sasaran dari ilmu tertentu.

  Secara sederhana, metode dapat dipahami sebagai langkah yang membingkai seluruh kegiatan dalam meneliti suatu objek masalah.

  Penelitian, dipahami sebagai tindakan pencarian dan pengumpulan data yang

  10

  kemudian diolah, dianalisis, disajikan dengan sistimatis dan objektif. Mardalis juga mengartikan penelitian sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperolah fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati

  11 dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.

  Berdasarkan pengertian kata metode dan penelitian di atas, maka metode penelitian dapat dipahami sebagai penyelidikkan dengan cara sabar, hati-hati, berpikir sistematis berdasarkan suatu langkah terhadap data atau fenomena, kemudian diolah, dianalisa seobjektif mungkin untuk mendapatkan kebenaran. Sehubungan dengan itu, ketika objek yang akan diteliti oleh peneliti adalah suatu data dan fenomena yang tidak dapat diukur oleh angka-ankga, tetapi pengukurannya melalui deskripsi pernyataan, maka dalam penelitian ini penulis tidak menggunakan metode kuantitatif 9 (accesed Augustus 7, 2017). 10 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 93.

  Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Aneka Ilmu dan Difa Publisher, 2008), 803. tetapi kualitatif. Meskipun demikian dalam proses pengumpulan data, akan ada beberapa data yang menggunakan model penulisan kuantitatif seperti umur, jumlah penduduk, dll.

  1.4.1. Pengertian Kualitatif Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode ini sangat efektif dalam penelitian ini karena ada beberapa hal yaitu berfokus

  

12

  pada proses atau peristiwa interaktif, kemudian metode ini bertautan dengan

  13

  kajian-kajian kultural dan berciri interpretatif, dan merupakan cara untuk

  14 menjelaskan data dengan mendeskripsikannya.

  Berdasarkan uraian tentang metode kualitatif di atas, maka metode Kualitatif ini dapat diartikan sebagai cara untuk meneliti seluruh bentuk integrasi manusia dengan mendeskripsikan data-datanya, termasuk ritual Tulude yang menjadi indentitas suku Sangihe. Karena, identitas yang lahir dari ritual

  Tulude adalah bentuk integrasi sosial suku Sangihe. Olehnya metode ini tepat menurut penulis, untuk digunakan dalam penelitian ini.

  1.4.2. Teknik Pengumpulan Data Penulis menggunakan beberapa prosedur dalam mengumpulkan data

  15

  seperti yang diuraikan oleh Creswell sebagai berikut:

  12 W. Laurence Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif (Jakarta: Permata Puri Media, 2016), 19. 13 Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 14 John W. Cresswell, Research Design-Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2016), 4.

  1.4.2.1. Observasi

  Prosedur Observasi adalah suatu cara dimana peneliti turun ke lapangan untuk mencatat, merekam dengan cara terstruktur maupun semi struktur setiap hasil pengamatan aktifitas dari individu-indivu yang ada di lokasi penelitian.

  1.4.2.2. Wawancara Prosedur wawancara adalah suatu cara dimana peneliti dapat menggunakan media komunikasi jarak jauh atau bisa secara langsung berhadapan maupun terlibat dalam kelompok tertentu untuk mempertanyakan beberapa hal secara umum yang berhubungan dengan objek penelitian. Model pertanyaan yang dipakai bersifat terbuka dan tidak terstruktur yang dirancang untuk dapat menghasilkan pandangan dan opini dari para partisipan.

  1.4.2.3. Dokumentasi Prosedur dokumentasi adalah proses pengumpulan data yang bersumber dari dokumen publik atau privat. Untuk dokumen publik bisa berasal dari koran, makalah, laporan kantor, dll. Sedangkan untuk dokumen privat bisa berasal dari buku harian, diari, surat, e-mail, dll

  1.4.2.4. Materi Audio-Visual .

  Model terakhir dalam pengumpulan data dengan menggunakan metode kualitatif adalah materi audio visual. Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data bisa melalui objek seni, videotape, foto, dan segala jenis suara atau bunyi yang direkam.

1.5. Metode Analisis Data

  Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan suatu kegiatan yang

berlangsung secara bersamaan dengan pengumpulan data dan penulisan temuan

dilapangan. Artinya disaat proses pengumpulan data melalui beberapa tahap yang

sudah disebutkan di atas, maka proses analisa data juga sementara berlangsung.

  

Dalam hal ini penulis menggunakan dua metode dalam menganalisis data yaitu

metode Analisis Naratif dan metode Analisis data Domain.

  1.5.1. Analisis Naratif Dipakai untuk menganalisis pengaruh tradisi lisan terhadap makna ritual Tulude dalam kehidupan suku Sangihe. Neuman menuliskan bahwa teks naratif “mengacu pada data dalam format seperti cerita yang diterapkan untuk mengatur

  16 dan mengungkapkan makna dan pemahaman dalam kehidupan sosial.” Neuman juga menuliskan bahwa dalam analisis naratif ini digunakan ide “ketergantungan lintasan” dalam rangka menjelaskan suatu proses atau rantai peristiwa karena memiliki suatu awal yang memicu urutan terstruktur sehingga rantai peristiwa tersebut mengikuti lintasan yang dapat diidentifikasikan dari

  17 waktu ke waktu.

  18 Ada enam ciri naratif yang diuraikan oleh Neuman sebagai berikut:

  16 17 Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, 579 Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, 580

  1. Mengisahkan cerita atau dongeng (yakni, menyajikan peristiwa yang terungkap dari suatu sudut pandang).

  2. Memiliki arti gerakan atau proses (yakni, sebelum dan setelah kondisi) 3.

  Mengandung keterkaitan atau koneksi dalam konteks yang kompleks dan terperinci.

  4. Melibatkan individu atau kelompok yang terlibat dalam tindakan dan membuat pilihan.

  5. Memiliki koherensi, yakni keseluruhan yang bersatu padu.

  6. Memiliki urutan temporal dari suatu rantai peristiwa.

1.5.2. Analisa Domain

  Dipakai untuk menganalisis integrasi individu di dalam ritual Tulude yang memiliki identitas berbeda untuk menemukan hal-hal yang memiliki keterkaitannya dengan tujuan penelitian ini. Neuman menjelaskan bahwa “analisis domain akan menggunakan “cultural domain” yaitu latar atau lokasi budaya tempat manusia secara berkala berinteraksi dan mengembangkan

  19

  serangkaian pemahaman bersama atau “miniculture” yang dapat dianalisis.”

  20 Ada enam tahapan dalam analisis data ini yang diuraikan oleh Neuman yaitu: 1.

  Baca dan baca ulang catatan data kualitatif yang penuh dengan berbagai rincian.

  2. Di luar kepala kemas ulang rincian menjadi beberapa lusin ide yang teratur.

  3. Kembangkan gagasan baru dari catatan yang bertumpu pada makna subjektif atau ide yang terorganisir.

  19 Neuman, Metode Penelitian Sosial:Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, 574.

  4. Cari hubungan di antara ide-ide tersebut dan kelompokkan berdasarkan persamaan yang logis.

  5. Atur kelompok yang lebih besar dengan cara membandingkan dan membedakan serangkaian ide.

  6. Atur kembali dan tautkan kelompok tersebut bersama-sama menjadi tema terpadu yang lebih luas.

  Penulis menggunakan dua bentuk analisis data di atas karena di dalam integrasi yang terjadi pada proses ritual Tulude, individu yang memiliki identitasnya masing-masing dipengaruhi oleh narasi lokal tentang ritual Tulude

dan pengaruh makna yang terbentuk dalam setiap interaksi suku Sangihe.

  Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah “identity change” dari Petter J. Burke dan Jan E. State. Seperti yang sudah diuraikan sedikit dalam bagian awal bab ini, bahwa Burke mengatakan perubahan identitas itu adalah perubahan standar identitas yang memerlukan beragam identitas, dan makna yang kuat. Dalam hal ini Burke pada bab sembilan dari buku Identity Theory menguraikan empat hal yang menyebabkan terjadinya perubahan identitas, yaitu: pertama, adanya perubahan dalam situasi. Kedua, konflik identitas. Ketiga, konflik antara makna perilaku dan standar

  21

  identitas, dan yang terakhir adalah negosiasi dan kehadiran orang lain. Keempat hal ini akan dibahas secara mendalam pada kerangkan teori yang akan diuraikan di bab dua dari tulisan ini. Demikianlah gambaran teori yang akan dipakai sebagai pisau bedah dalam penelitian ini.

  1.6. Lokasi Penelitian dan Informan Kunci

  Menetapkan lokasi penelitian, penulis memilih di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan di Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro (SITARO).

  Maka, penulis memilih ketua adat yang ada di dua kabupaten tersebut sebagai informan kunci dalam penelitian yang akan dilaksanakan. Untuk memaksimalkan proses penelitiannya maka, fokus penelitiannya di Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro (SITARO). Kabupaten Kepulauan Sangihe akan dijadikan sumber data pembanding saja. Mengapa lokasi penelitiannya terdapat di dua kabupaten? Karena ritual Tulude ini dipraktekan oleh orang-orang yang ada di dua kabupatesn tersebut, seperti yang sudah digambarkan pada bagian Pendahuluan tulisan ini.

  1.7. Rencana Penulisan

  Rencana penulisan adalah: Bab I tentang latar belakang masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian, bab II adalah kerangka teori tentang ritual, identitas dan perubahan identitas yang akan dipakai sebagai pisau bedah, bab III tentang temuan lapangan, bab IV tentang analisis dari hasil temuan lapangan dengan menggunakan teori sebagai pisau bedah, dan bab V sebagai kesimpulan dan rekomendasi.