Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: GMIT dan Keikutsertaan Anak dalam Perjamuan Kudus: Tinjauan Kritis Teologis Atas Ketidaksetujuan Majelis Sinode GMIT terhadap Keikutsertaan Anak dalam Perjamuan Kudus

  

GMIT DAN KEIKUTSERTAAN ANAK DALAM PERJAMUAN KUDUS

(Tinjauan Kritis Teologis Atas Ketidaksetujuan Majelis Sinode GMIT Terhadap

  Keikutsertaan Anak dalam Perjamuan Kudus) Oleh:

  Dhavid Kristofel Dira Tome 712013043

  

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi

guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

(S.Si-Teol)

  Program Studi Teologi

  

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018

  KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena kasih karuniaNya yang senantiasa melimpah dalam kehidupan penulis. Secara khusus, penulis mengucapkan syukur atas tuntunan dan penyertaanNya yang tak pernah berhenti bagi penulis selama penulis menjalani proses masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) hingga menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul ―GMIT dan keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus

  ‖ Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Tugas Akhir ini disusun dengan harapan karya tulis ini dapat membantu warga GMIT, untuk bisa melihat keterlibatan anak- anak dalam sebuah perjamuan kudus. Penulis juga berharap tulisan ini di kemudian hari bisa berguna atau sabagai refernsi dalam memahami keikitsertaan anak-anak dalam perjamuan kudus, sehingga nantinya kita tidak lagi terjebak dalam pemikiran bahwa anak-anak tidak dapat ambil bagian dalam perjamuan kudus. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan sehingga diperlukan kritik dan saran agar tulisan ini dapat terus dikembangkan dengan lebih baik.

  Penulis

  Daftar Isi

JUDUL ................................................................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ................................................................................. iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ...................................................................... iv

PERNYTAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................................................. v

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................xiii

MOTTO ..............................................................................................................................ix

ABSTRAK ...........................................................................................................................x

  

  

  

  

  

  

  

  

  

UCAPAN TERIMA KASIH

  Dalam proses penulisan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan bantuan baik dalam bentuk kritik, saran serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.

  Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena kasih dan penyertaanNya selalu menolong penulis dalam menjalani studi di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana.

  2. Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo dan kak Astrid Bonik Lusi yang telah menjadi dosen pembimbing penulis selama masa penulisan Tugas Akhir ini. Terimakasih atas segala waktu, motivasi dan semangat yang diberikan selama masa penulisan Tugas Akhir ini. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi. Terimakasih atas ilmu yang telah diberikan selama masa studi.

  3. Keluarga tercinta. Terimakasih untuk segala waktu, semangat, doa dan semua motivasi yang telah diberikan sehingga saya bisa menyelesaikan proses studi dan penulisan Tugas Akhir ini dengan baik. Terkhusus untuk kedua orang tua, papa (Marthen L. Dira Tome), mama (Irna Dira Tome, Dai), kedua orang adik saya Jordan dan Januarta yang selalu memberi semangat dan menjadi tempat bercerita yang baik selama proses studi. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.

  4. Kak Surya Planologi Deilu yang telah menemani dan membantu dalm mencari data selama penelitian. Bapa Besly mesakh dan bapa Nindyo Sasongko yang telah telah menyediakan rumah selama proses mencari teori.

  5. Ziel Limahelu, terimakasih atas segala dukungan dan motivasi selama berkuliah hingga berhasil menyelesaikan Tugas Akhir dengan baik. Mohon maaf atas segala tingkah laku yang kurang berkenan selama proses perkuliahan hingga bisa menyelesaikan studi dengan baik.

6. Saudara-saudara dari rahim yang berbeda (Acel, Fajar, Boby, Juan, Jear, Edgar, Alty,

  Yunus, Firman, Nathan, Yohan) yang telah menemani dan mendukung proses perkuliahan sejak awal hingga akhir. Kak Joshua Maliogha, yang telah memberi masukan dalam penulisan Tugas Akhir. Kiranya Tuhan memberkati dalam tugas dan studi di tempat yang baru. Serta teman-teman angkatan 2013 yang telah mendukung dalam proses perkuliahan. Terimakasih juga untuk semua yang telah medukung saya selama ini, semoga Tuhan memberkati kalian semua.

  

MOTTO

“Cara terbaik untuk menemukan dirimu sendiri

adalah dengan kehilangan dirimu dalam melayani

orang lain”

  • –Mahatma Gandhi-

  

Abstrak

Keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus merupakan hal yang gencar dibicarakan

banyak gereja dan teolog di Indonesia. Ada banyak pertentangan yang terjadi menyangkut

keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus termasuk di dalmamnya Sinode Gereja Masehi Injili di

Timor (GMIT). Hal ini juga menjadi perhatian bagi bapa-bapa gereja terdahulu dan salah satunya

Marthin Luther yng berpendapat bahwa anak-anak boleh diikutsertakan dalam Perjamuan Kudus

karena Perjamuan Kudus dipandang sebagai sebuah anugerah keselamatan yang boleh di terima oleh

semua orang Kristen termasuk anak-anak.

Penulis akan menganalisa mengapa GMIT menolak anak-anak untuk ikut serta dalam Perjamuan

Kudus. Menurut menulis anak-anak boleh mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus karena

Perjamuan Kudus merupaka sebiah jamuan makan yang Tuhan berikan untuk semua orang percaya

dan anak-anak juga merupaka bagaian di dalamnya.

  Kata kunci: Perjamuan Kudus, Perjamuan anak, GMIT.

  GMIT DAN KEIKUTSERTAAN ANAK DALAM PERJAMUAN KUDUS

  

(Tinjauan Kritis Teologis Atas Ketidaksetujuan Majelis Sinode GMIT Terhadap

  Keikutsertaan Anak dalam Perjamuan Kudus)

1.1 Latar Belakang

  Perjamuan Kudus adalah sebuah ritus keagamaan yang dilakukan secara periodik oleh umat Kristen. Perjamuan Kudus memiliki sebuah kebiasaan yaitu meminum anggur dan memakan roti. Roti dan anggur dimaknai sebagai lambang tubuh dan darah Kristus yang telah dikorbankan untuk manusia dan sebagai lambang keselamatan dari dosa. Dengan demikian, Perjamuan Kudus bukan hanya sekedar ritus dalam kehidupan orang- orang percaya akan tetapi merupakan sebuah lambang keselamatan dan penghayatan iman orang Kristen.

  Perjamuan Kudus merupakan sebuah sakramen yang secara periodik dan wajib dilakukan oleh komunitas kristen. Perjamuan Kudus atau bisa disebut Ekaristi adalah

  1 Kata ―To Give Thanks‖ (ucapan syukur), kata ini dalam bahasa Yunani Ecurishtia. ekaristi digunakan untuk menunjuk seluruh pelayanan sakramen Perjamuan pada tiga

  abad pertama sejarah gereja. Kata ekaristi mengungkapkan pujian syukur atas karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus, dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus. Dengan pujian syukur tersebut, gereja mengenang misteri

  2

  penebusan Kristus itu sekarang kini dan di sini. Perjamuan Kudus sebagai sakramen dipelopori oleh Yesus dan para murid-Nya sebelum Yesus melakukan pengorbanan.

  3 Dalam Perjamuan itu dikenal adanya sebuah jamuan makan roti dan minum anggur.

  Istilah ―Perjamuan Kudus‖ yang sering digunakan oleh Gereja-gereja di Indonesia yang bermakna Perjamuan yang Allah asingkan (khususkan, kuduskan) dan

  1 Robert Benedetto, The New Westminster Dictionary of Church History: The early, medieval, and Reformation 2 eras (London: Westminster John Knox Press, 2008), 231.

  Aris Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak: telaah atas keikutsertaan anak-anak dalam 3 Perjamuan Kudus (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), 12-13.

  

Benedetto , The New Westminster Dictionary of Church History: The early, medieval, and Reformation eras ,

  4

  pakai sebagai alat dalam karya penyelamatan-Nya. Berkaitan dengan itu Perjamuan Kudus adalah salah satu cara Allah mewujudkan seluruh rencana keselamatan bagi umat ciptaannya. Maka, melalui Perjamuan Kudus manusia sebgai ciptaan-Nya dapat menghayati rencana keselamatan Allah.

  Pada masa Tuhan Yesus, Perjamuan itu dipersiapkan menurut peraturan yang lazim untuk sekurang-kurangnya 10 orang. Perayaan itu terdiri dari: pertama, ditandai dengan pembukaan oleh kepala rumah tangga dengan mengucapkan rumusan-tabhisan perayaan paskah, kemudian cawan pertama diminum dan makanan dihidangkan tetapi belum dimakan serta cawan kedua diisi tetapi belum diminum. Kedua, liturgi paskah yang dimulai dengan penjelasan atas pertanyaan anak sulung mengenai makna dari makanan yang dihidangkan, dilanjutkan dengan nyanyian pertama dari mazmur 13-114 dan cawan kedua diminum. Ketiga, Perjamuan sesungguhnya di mana kepala keluarga mengucapkan doa dan memecah-mecahklannya dan memberikannya kepada anggota keluarga untuk turut merayakan. Roti dan anggur dimakan dan diminum bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga. Pengucapan berkat atas cawan ketiga. Sehingga cawan itu disebut cawan berkat atau cawan puji-pujian. Keempat, bagian penutup di mana menyanyikan nyanyian bagian kedua dari mazmur 115-118 dan ucapan puji-pujian atas

  5 cawan keempat.

  Dengan melihat pada tradisi dan asal-usul katanya, ekaristi merupakan doa berkat dalam Perjamuan makan Yahudi yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga sehingga keterlibatan anak-anak dalam ekaristi ini perlu diperhatikan. Ketika ekaristi dimaknai sebagai ucapan syukur, tentu anak-anak pun perlu dilatih dan dibiasakan untuk

  6

  melakukannya. Olah sebab itu Perjamuan Kudus tidak hanya dilakukan oleh warga sidi jemaat akan tetapi oleh seluruh anggota jemaat termasuk anak-anak di dalamnya.

  Dalam praktik yang berlangsung pada gereja-gereja saat ini, umumnya Perjamuan Kudus hanya dapat diikuti oleh jemaat yang telah diteguhkan sebagai warga sidi jemaat. Jemaat yang telah mengaku iman percaya mereka secara pribadi kepada Yesus yang 4 diikutsertakan dalam sakramen Perjamuan Kudus. Anggota sidi adalah mereka yang 5 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi anak-anak, 9. 6 J. L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 137-8.

  Widaryanto, Sakramen Perjamuan Bagi Anak-anak,13. masuk dalam kategori orang dewasa yang telah melalui pembinaan iman. Maka dalam praktik kehidupan bergereja saat ini Perjamuan Kudus masih dibatasi oleh kategori usia.

  Sehubungan dengan itu maka perlu adanya transformasi pemahaman tentang Perjamuan Kudus yang hanya boleh diikuti oleh anggota sidi. Pemahaman Perjamuan Kudus yang bukan hanya diikuti oleh anggota sidi melainkan juga mengikutsertakan anak-anak. Maka dengan demikian Perjamuan Kudus yang merupakan lambang keselamatan memiliki sifat universal yang menjangkau seluruh orang-orang percaya.

  Pandangan yang demikian sesungguhnya telah dirintis sejak lama oleh bapak gereja mula-mula yakni Agustinus yang mengatakan: Mereka yang berkata bahwa masa kanak-kanak tidak terhubung dengan Yesus untuk diselamatkan, sesungguhnya sedang menolak bahwa Kristus adalah Yesus bagi semua kanak- kanak orang percaya … Nah, sekarang, jika Anda dapat menerima pemahaman bahwa Kristus bukanlah Yesus bagi setiap orang yang telah dibaptis, maka penulis tidak yakin iman Anda dapat diakui berpadanan dengan ajaran yang benar. Ya, mereka kanak-kanak, namun mereka adalah anggota [tubuh]-Nya. Mereka kanak-kanak, namun mereka menerima sakramen- sakramen-Nya. Mereka kanak-kanak, namun mereka berperan di Meja-Nya, agar mereka memperoleh kehidupan di dalam diri mereka. (Sermon

  174.7)‖ ―Jadi siapa yang dapat meragukan bahwa di dalam istilah dunia semua oranglah yang diindikasikan memasuki dunia dengan terlahir? … Dari semua ini berlanjut, bahwa bahkan bagi kehidupan kanak-kanak tubuh-Nya diberikan, yang Ia berikan bagi kehidupan dunia; dan bahwa bahkan mereka mereka

  —kanak-kanak itu— tidak akan mendapatkan kehidupan jika mereka tidak memakan tubuh Anak

  7 Manusia... (On Merit III.27).

  Melalui argumentasi tersebut Agustinus menyatakan bahwa anak-anak pun dapat diikutsertakan dalam Perjamuan Kudus, karena Perjamuan Kudus dimaknai sebagai lambang keselamatan bagi seluruh umat termasuk anak-anak. Agustinus memahami bahwa Perjamuan Kudus tidak terbatas oleh kategori usia ataupun peneguhan sidi. Menurut Agustinus Pejamuan Kudus dapat diterima oleh semua orang termasuk anak- anak. Hal itu dikarenakan setiap orang termasuk anak-anak merupakan bagian dari tubuh Kristus yang berhak menerima kehidupan dalam diri mereka melalui Perjamuan Kudus. Maka dari itu, Perjamuan Kudus merupakan hak setiap anggota tubuh Kristus.

7 Joas Adipr PAEDOCOMMUNION: Perjamuan Kudus Kanak-kanak

  asetya, “ ”, diakses 12 Maret 2017

  Sehubungan dengan itu walaupun Agustinus sebagai bapak gereja telah memberikan afirmasi akan keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus akan tetapi Gereja Masehi Injili di Timor masih belum mengikutsertakan anak-anak dalam Perjamuan Kudus. Fenomena ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti pemahaman teologi yang dianut oleh gereja, tafsir terhadap Alkitab, tradisi gerejawi dan banyak faktor lainnya yang relevan dengan dasar pelaksanaan Perjamuan Kudus.

  Hal ini ialah fakta yang menarik bagi penulis untuk diteliti. Maka dari itu, dalam tulisan ini penulis akan mencoba menggali pemahaman Gereja Masehi Injili di Timor tentang Perjamuan Kudus. Secara khusus, penulis akan mengkaji secara sistematis dan menganalisis secara mendalam mengenai pemahaman GMIT, dalam hal ini Majelis Sinode, terhadap pemaknaan Perjamuan Kudus sehingga GMIT belum melibatkan anak dalam Perjamuan Kudus.

  1.2 Pembatasan Masalah

  Adapun dari pembahasan di atas nampak jelas bahwa banyak aspek yang dapat dikaji terkait tidak dilaksanakannya praktik Perjamuan anak di GMIT. Namun, tentu penelitian ini perlu diarahkan pada pembahasan yang lebih spesifik. Maka, di sini penulis akan membatasi pembahasan dengan melihat bagaimana Majelis Sinode GMIT memaknai Perjamuan Kudus dan mengapa GMIT tidak melibatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus.

  1.3 Rumusan masalah

  Dewasa ini banyak dibicarakan tentang boleh tidaknya anak-anak dilibatkan dalam Perjamuan Kudus. Perdebatan tentang hal ini terjadi pada dua tataran yakni tataran teoritik dan praktik liturgis. Di Indonesia juga demikian. Beberapa orang melalui tulisan dan pemikirannya telah membahas hal ini.

  Bagi kita di Indonesia, Pdt. Aris Widaryanto dan Pdt. Joas Adiprasetya adalah para teolog yang serius menggali dan berbicara tentang keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus. Widaryanto berbicara tentang pentingnya mengikutsertakan anak dalam Perjamuan Kudus karena menurutnya anak-anak yang telah dibaptis merupakan bagian dari persektuan orang orang-orang percaya. Secara praktis beliau menghimbau agar anak-anak diikut sertakan dalam praktik Perjamuan Kudus. Adiprasetya mengatakan: ―jika Perjamuan tanpa melibatkan anak-anak ini diterus diterapkan maka gereja akan menimbulkan korban. Anak-anak akan menjadi korban karena ketika mereka belum bisa memehami secara baik apa makna dari roti

  8 dan anggur tersebut maka mereka belum bisa ambil bagian dalam Perjamuan tersebut .

  ‖ Maka dari itu, penelitian tentang keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus sangat penting untuk dikaji lebih jauh.

  Sehubungan dengan itu, ketidak ikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus juga tidak terlepas dari sejarah perpecahan gereja Barat menjadi dua kubu yaitu Protestan dan Katolik. Kebanyakan gereja Protestan, termasuk gereja Prostestan di Indonesia, mengaku sebagai gereja beraliran Calvinis dan mempraktikkan pemikiran Johanes Calvin. Dalam ajaran Calvin, anak-anak tidak boleh diikut sertakan dalam Perjamuan Kudus. Anak

  • –anak dipandang belum bisa menghormati roti dan anggur tersebut. Jadi, bisa dilihat bahwa ada perbedaan pandangan terhadap keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus di beberapa gereja.

  Demikan halnya GMIT sebagai salah satu gereja Protestan di Indonesia dalam praktik yang ada belum membolehkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus. Tentu ada banya faktor yang membuat GMIT belum melibatkan anak dalam Perjamuan Kudus. Salah satunya karena GMIT mengakui sebagai gereja yang memanfaatkan dan meneruskan ajaran-ajaran Johanes Calvin. Mengingat, seperti dikatakan di atas, Calvin tidak membolehkan anak-anak mengikuti Perjamuan, hingga kini di GMIT anak-anak juga dilarang mengikuti Perjamuan Kudus.

  Oleh karena itu dalam penulisan tugas akhir (TA) ini akan dipersoalkan sejauhmana GMIT dengan warisan tradisi pemahaman tentang perjamuan dan pemahamannya tentang perjamuan yang terdapat dalam berbagai dokumen dimungkinkan merekonstruksi pandangannya sehingga anak-anak dapat diukutsertakan dalam ibadah Perjamuan Kudus yang dilakukan di GMIT. Untuk itu, penulis ingin mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut.

  1. Bagaimana pandangan Majelis Sinode GMIT tentang Keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus?

  2. Bagaimana keberatan-keberatan TeologisGMIT terhadap keikutsertaan anak-anak dalm perjmauan kudus?.

8 Pernyataan ini diambil dari video khotbah yang diunggah di https://www.youtube.com/watch?v=pkLrQhcR4cc , menit 16:40.

  1.4 Tujuan Penelitian

  Tugas Akhir yang berjudul GMIT DAN KEIKUTSERTAAN ANAK DALAM PERJAMUAN KUDUS (Studi Sosio-Teologis Perihal Penolakan Majelis Sinode GMIT Terhadap Keikutsertaan Anak Dalam Perjamuan Kudus) ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut:

  1. Membedah pandangan GMIT terkhusus tentang kekutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus.

  2. Mencoba untuk memperlihatkan keberatan-keberatan teologis yang ada di GMIT sehingga GMIT tidak melibatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus.

  1.5 Manfaat penelitian

  1. Bagi sinode Gereja Masehi Injili di Timor, penelitian ini dapat dijadikan sumbangsi pemikiran bagi Gereja Masehi Injili di Timor untuk melaksanakan Perjamuan bagi anak-anak

  2. Bagi fakultas, penelitian ini dapat digunakan sebegai referensi pengajaran matakuliah dogmatika.

  1.6 Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian kualitatif.

  Pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur untuk menanyakan secara mendalam maksud dan penjelasan dari informan atau

  9

  narasumber. Sedangkan data sekunder akan diperoleh melalui buku-buku yang mendukung pembahasan topik ini.

  1.7 Sistematika Penulisan

  Tugas akhir yang berjudul ―GMIT DAN KEIKUTSERTAAN ANAK DALAM PERJAMUAN KUDUS

9 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta: Gramedia, 1997), 129

  (Studi Sosio-Teologis Perihal Penolakan Majelis Sinode GMIT Terhadap Keikutsertaan Anak Dalam Perjamuan Kudus) akan di bagi ke dalam lima bagian. Maka setelah pendahuluan , pada bagian kedua penulisakan membahas tentang sejarah Perjamuan Kudus. Berikutnya akan membahas tentang praktik Perjamuan Kudus dan kemudian akan di bahas tentang makna Perjamuan Kudus. Pada bagaian ketiga penulis akan mendeskripsikan pandangan Majelis Sinode GMIT tentang Perjamuan Kudus kemudian pandangan Majelis Sinode GMIT tentang Keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus . Kemudian pada bagian keempat penulis akan menganalisa mengapa dalam Perjamuan Kudus Majelis Sinode GMIT belum mengikutsertakan anak-anak. Pada bagian ini penulis akan menganalisis pandangan Majelis Sinode GMIT tentang keikut sertaan anak berdasarkan teori sejarah, praktik dan makna Perjamuan Kudus. Penulis berharap dalam bagian ini akan melahirkan pandangan baru tentang Perjamuan Kudus dan keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus bagi GMIT.

  Terakhir penulis akan membuat kesimpulan kecil.

  Perjamuan Kudus : 1.

  Makna Perjamuan Kudus Perjamuan Kudus merupakan salah satu sakramen yang dilakukan dalam Gereja

  Protestan. Kata sakramen berasal dari kata sacramentum yang memiliki dua arti. Pertama, sumpah prajurit yaitu sumpah kesetiaan yang harus diucapkan dihadapan panji-panji kaisar. Kedua, uang tanggungan yang lama diletakan di kuil oleh dua golongan yang sedang berperkara. Siapa yang kalah dalam perkara ini, akan kehilangan uang nya. Oleh karena itu maka kata ―sakramen‖ yang dijabarkan dari kata sacer kudus mengandung juga arti perbuatan atau perkara yang rahasia, yang kudus, yang berhubungan dengan para dewa.

  Berhubungan dengan itu, kata sacramentum kemudian dipandang sebagai terjemahan dari kata Yunani mysterion. Menurut gereja reformasi, hanya ada dua sakramen yaitu baptisan dan Perjamuan Kudus. Ajaran gereja reformasi mengenai sakramen berpusat pada pengertian

  

sacramentum/mysterion atau rahasia. Maka dapat didefinisikan Sakramen sebagai suatu

  10 mysterion sebab di dalam sakramen itu senantiasa ada karunia yang baru yang dicurahkan.

10 Dr. H. Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1982), 424.

  Berbagai Istilah sakramen saat ini digunakan untuk menyebut pelayanan Perjamuan Kudus, di antaranya Perjamuan Kudus, perjamuan Tuhan, misa, Perjamuan Kudus, pemecahan roti, serta kurban dan persembahan. Istilah-istilah ini menggambarkan bahwa pemahaman pelayanan sakramen yang berkembang di jemaat sangatlah beragam. Begitu juga istilah Perjamuan Kudus sering digunakan oleh gereja-gereja di Indonesia. Kata-kata tersebut bermakna perjamuan yang Allah asingkan dan pakai sebagai alat dalam karya penyelamatan- Nya. Sedangakan istilah ―Perjamuan Tuhan‖ di dalam Alkitab biasanya dihubungkan dalam makna eskatologis Perjamuan Kudus. Istilah ini digunakan dalam hubungannya dengan perjamuan malam terakhir Yesus bersama murid-muridNya, tetapi tidak dipakai sebagai

  11 istilah Perjamuan Kudus.

  Pemecahan roti sebenarnya merupakan istilah yang menunjuk pada tindakan para kepala keluarga Yahudi pada awal perjamuan makan dalam rangka doa syukur singkat sebelum makan. Istilah ini digunakan untuk menyebut pelayanan Perjamuan Kudus karena pernah ada pandangan jemaat yang sangat menekankan pemecahan roti tersebut sebagai lambang kesatuan jemaat dengan Tuhan dan sesama. Istilah kurban dan persembahan pada masanya menjadi populer karena berkaitan dengan situasi gereja perdana yang menekankan aspek persembahan material yang dibawa umat ke altar sebagai reaksi atas aliran bidaah

  12 genostisisme.

2. Perkembangan Pelayanan Perjamuan Kudus Kudus

  Perjamuan Kudus dirayakan sejak ada gereja di dunia ini. Oleh sebab itu wajarlah gereja-gereja Protestan merayakan Perjamuan Kudus juga, sama seperti Gereja Katolik Roma. Hal itu perlu ditegaskan karena timbul kesan bahwa ada perbedaan antara misa atau ekar isti di gereja Roma sangat berbeda dengan ‗Perjamuan Kudus‖ di gereja Protestan. Namun dua-duanya bertolak dari perjamuan yang dirayakan oleh Yesus dengan murid-murid- Nya dan oleh jemaat mula-mula. Ajaran Gereja Katolik Roma mengenai Perjamuan Kudus

  13

  berakar dalam zaman gereja kuno. Sehingga dalam bagian ini penulis akan memperlihatkan perkembangan pelayanan Perjamuan Kudus dari Gereja perdana sampai pada abad 11 pertengahan. 12 Aris Widaryanto, Perjamuan Kudus bagi Anak-anak (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), 9-10. 13 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 14-15

  Perjamuan Kudus Pada Masa Gereja Perdana

  Perkembangan pelayanan Perjamuan Kudus yang dimulai pada masa gereja perdana diwarnai oleh tanggapan beberapa tokoh, di antaranya C.J Den Heyer, E. Martasudjita, J. Jeremias, dan I.H Enklar. C.J den Heyer dalam pemikirannya mengungkapkan bahwa pelayanan Perjamuan Kudus belum mendapat tempat yang sentral dalam gereja perdana. Sehingga wajar apabila pada saat itu Perjamuan Kudus hanya dilakukan sekali setahun terutama dalam jemaat yang warganya terdiri dari orang-orang Yahudi atau orang Kristen Yahudi. Namun menurut E. Martasudjita, pelayanan Perjamuan Kudus sudah dilaksanakan oleh gereja sejak awal kelahirannya. Menurutnya pelayanan Perjamuan Kudus dalam gereja perdana tersebut berakar dalam perjamuan makan Yesus dengan orang-orang berdosa, perjamuan malam terakhir Yesus bersama dengan para murid-Nya dan perjamuan makan bersama Yesus yang bangkit pada saat penampakan-Nya. Menurut C.J Den Heyer, asal usul memecahkan roti tidak selayaknya dicari dalam Perjamuan Paskah Yahudi, tetapi dalam perjamuan kasih yang bermakna sangat esensial. J. Jeremias juga mengungkapkan pendapat yang sama. Menurutnya Gereja Perdana tidak merayakan sakramen satu tahun sekali menurut ritual paskah, tetapi mereka melaksanakannya menurut tata cara mereka dan setiap hari

14 Tuhan (minggu).

  Menurut bentuknya yang paling awal dan tertua, pada masa Gereja Perdana, pelayanan Perjamuan Kudus disatukan dengan perjamuan makan yang biasa disebut Agape. Perjamuan Kudus dilaksanakan menurut model perjamuan malam terakhir Yesus bersama para murid- Nya yaitu diawali dengan doa berkat atas roti sebelum perjamuan, lalu perjamuan makan yang sungguh-sungguh dan akhirnya doa berkat atas piala pada akhir perjamuan. Di kemudian hari bagian doa berkat atas roti digabungkan dengan bagian doa berkat atas piala sehingga membentuk suatu kesatuan Perjamuan Kudus. Tetapi akibat dari penyatuan tersebut, maka terjadi pemisah antara Perjamuan Kudus dan perjamuan makan. Perjamuan makan diadakan pada hari sabtu malam dan Perjamuan Kudus dilaksanakan pada hari minggu pagi

  15 saat sebelum fajar.

  14 15 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 30-31.

  Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 32.

  Perjamuan Kudus Pada Masa Bapa-bapa Gereja

  Sesudah masa para Rasul, terjadilah perubahan-perubahan besar dalam kehidupan jemaat Kristen pada saat itu. Baptisan menjadi pintu masuk bagi orang-orang yang ingin menjadi anggota gereja. Tata cara kebaktian pun mulai ditetapkan dan lambat laun kebaktian dilaksanakan dengan liturgi yang lengkap. Setiap hari minggu diadakan Perjamuan Kudus

  16 untuk seluruh anggota jemaat, termasuk anak-anak.

  Ignatius (98-117) memahami dan mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus adalah saluran yang penting bagi seluruh umat Kristen untuk menerima anugerah Allah. Dia mengakui dan mengajarkan bahwa elemen Perjamuan Kudus itu adalah visualisasi dari tubuh dan darah Kristus yang dikorbankan untuk memberi hidup yang kekal bagi umat yang percaya padanya. Yustinus Martir (110-165), mengajarkan bahwa setiap umat Kristen harus mengikuti Perjamuan Kudus dan tidak memandang anggur dan roti hanya sebagai anggur dan roti biasa. Karena ketika pemimpin kebaktian mengucapkan kata-kata syukur maka roti dan anggur itu menjadi tubuh dan darah Kristus. Irenius (140-195) mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus sebagai sarana ibadah harus diterima oleh seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus. Roti dan anggur pun dimaknai sebagai sesuatu yang riil. Ketika umat menerima roti dan anggur, maka mereka telah menerima tubuh dan darah Kristus. Perjamuan Kudus sebagai obat atau ragi yang lama kelamaan akan mengubah sifat dan karakter kemanusiaan menjadi lebih baik. Sehingga orang yang menerima Perjamuan Kudus kudus perlu mempersiapkan

  17 diri te rlebih dahulu.

  Tertullianus (160-225) adalah orang pertama yang menggunakan istilah sakramen. Menurutnya sakramen adalah barang suci yang menyatakan keselamatan. Dalam Perjamuan Kudus, roti dan anggur adalah barang kudus yang menguduskan setiap orang yang percaya kepada Kristus. Cyrillus pada tahun 348 menulis ―Catechese-catechese‖ yang berisi tentang watak dan pengajaran agama Kristen. Dia mengajarkan bahwa selama menjadi calon sidi, seseorang sama sekali tidak diperkenankan turut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus.

  Namun pada masanya Agustinus (354-430) mengajarkan bahwa sakramen adalah firman yang kelihatan. Menurutnya, pada saat roti dan anggur perjamuan dibagikan, firman Allah

  18 16 diikutsertakan. 17 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 34. 18 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 35.

  Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 37.

  Perjamuan Kudus Pada Abad Pertengahan

  Sejak abad VIII, liturgi gereja telah mengarah kepada pembakuan. Akibatnya juga terjadi kecenderungan penyeragaman pelayanan Perjamuan Kudus menurut ritus Romawi. Pada abad IX dengan semangat pembaharuan, Paus Gregorius VII (1073-1085) mengadakan konsolidasi dalam keseluruhan hidup gereja, terutama di bidang liturgi. Ia mengharuskan semua Uskup di seluruh gereja barat menggunakan liturgi Romawi. Dengan demikian misa kudus ritus Romawi diberlakukan di seluruh Gereja Barat. Praktik pelayanan Perjamuan Kudus pada abad pertengahan juga diwarnai oleh zaman Gotik (abad XII-XIV) yang sangat menekankan segi individual, subjektif dan etis. Sejak abad pertengahan, pelayanan Perjamuan Kudus bahkan cenderung dikurangi. Sampai-sampai Konsili Lateran IV (1215) menyatakan agar menyambut pelayanan sakramen paling kurang sekali setahun dan roti

  19 perjamuan diterima melalui lidah dan bukan melalui tangan.

  Hal tersebut didasarkan pada pengajaran spiritualitas yang sangat menekankan kekudusan dan kesucian Sakramen Mahakudus serta peristiwa kehadiran Tuhan dalam rupa roti dan anggur. Akibatnya anak-anak tidak diizinkan ikut serta dalam pelayanan Perjamuan Kudus. Mereka dianggap belum dapat atau belum mampu menghayati semua itu dengan baik. Dua tokoh yang berperan dalam perubahan ini adalah Petrus Lambordus dan Thomas

20 Aquinas.

  Keikutsertaan Anak-anak dalam Perjamuan Kudus.

  Pelibatan anak-anak dalam Perjamuan Kudus Kudus sejak awal hingga saat ini, merupakan sebuah pembicaraan yang serius. Sejak awal gereja perdana, anak-anak diperbolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Namun dalam pelaksanaan ke depannya, keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus menjadi sebuah pertimbangan. Beberapa tokoh, dalam pemikirannya menegaskan tentang pelibatan anak-anak dalam Perjamuan Kudus. Sehingga dalam bagian ini, penulis akan membahas pandangan beberapa tokoh 19 tentang keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus. 20 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 38-39.

  Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 40.

  Pertama, I. H. Enklaar. Menurutnya, Anak-anak yang sudah baptis diizinkan ikut serta dalam pelayanan Perjamuan Kudus. Dalam pemikirannya, pada zaman para Rasul dan Gereja Perdana, tidak pernah timbul pemikiran bahwa orang-orang yang sudah dibaptis itu harus mencapai tingkat pengetahuan tentang agama Kristen yang lebih tinggi dan perilaku yang lebih baik sebelum mereka diperkenankan menghadiri Perjamuan Kudus. Tak seorang pun yang sudah dibaptis harus memenuhi syarat-syarat lain lagi. Hal ini terjadi karena sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus, menempati tempat yang sentral dalam kehidupan jemaat. Enklaar mengatakan bahwa bilamana orang beriman dengan menerima Baptisan berpindah kedalam persekutuan-hidup dengan Kristus yang dimuliakan, maka perjamuan dimaksudkan untuk dia pula. Karena melalui perjamuan itu persekutuan in terus menerus

  21 beroleh hidup dan kekuatan baru.

  Kedua, Agustinus. Agustinus merupakan salah satu tokoh yang mendukung praktik pelayanan Perjamuan Kudus kudus bagi anak-anak. Ia mempertahankan keyakinan bahwa janji keselamatan dan pengampunan dosa yang disampaikan melalui Perjamuan Kudus tidaklah bergantung pada kelayakan orang yang ikut dalam Perjamuan Kudus. Itulah sebabnya dengan sangat kuat ia berargumen untuk mendukung praktik pelayanan Perjamuan Kudus bagi semua orang yang telah dibaptis, termasuk anak-anak. Pengaruh Agustitinus masih sangat kuat pada zaman itu sehingga anak-anak yang sudah dibaptis

  22 justru dipersiapkan dan didorong untuk ambil bagian dalam Perjamuan Kudus.

  Agustinus juga berargumen bahwa ―Mereka adalah anak-anak kecil, tetapi mereka menjadi para anggota-Nya. Mereka adalah anak-anak kecil, namun mereka menerima sakramen-sakramen-Nya. Mereka adalah anak-anak kecil tetapi mejadi peserta dalam meja

  23

  perjamuan- Nya sehingga mereka dapat memiliki hidup di dalam dirinya sendiri.‖

  Ketiga, Martin Luther (1483-1546). Menurut Luther anak-anak harus dididik dalam iman sebelum mereka ikut dalam Perjamuan Kudus. Ia juga mempertahankan kebiasaan menyelenggarakan upacara khusus (konfirmasi atau peneguhan sidi) untuk menyertai Perjamuan Kudus pertama bagi anak-anak antara umur 7-12 tahun. Dalam pemikiran Luther 21 Perjamuan Kudus roti dan anggur tetap utuh dan lengkap, dan Kristus memilih hadir tetapi 22 I. H. Enklaar, Baptisan Masal dan Pemisahan Sakramen-sakramen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 12. 23 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 37-38.

  Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 37. hanya dalam substansi, tanpa aksiden tubuh dan darah-Nya. Perjamuan Kudus bagi Luther bukan semata-mata lambang tetapi benar-benar merupakan tempat orang percaya bertemu dengan Kristus. Menurutnya, Perjamuan Kudus adalah tanda nyata bahwa keselamatan yang dijanjikan dalam firman mengenai penebusan dosa oleh Kristus pada kayu salib benar- benar diberikan pada orang yang menyerahkan diri dalam iman pada Allah yang rahmani.

  24 Dengan iman, Perjamuan Kudus menjadi tanda keselamatan yang efektif.

  Keempat, Ulrich Zwingli (1484-1531). Menurutnya sakramen adalah jaminan, janji, atau sumpah. Sakramen tidak pernah mengandung arti yang suci atau sakral. Sakramen lebih banyak mengandung arti ―kewajiban‖ dan oleh karena itu tidak ada batasan dalam menerima Perjamuan Kudus baik itu dari orang dewasa atau anak-anak. Di kemudian hari, Zwingli melihat sakramen, baik baptisan maupun perjamuan, lebih sebagai tindakan jemaat (baik orang dewasa maupun anak-anak) untuk mengakui imannya. Ia menetapkan bahwa Perjamuan Kudus hanya dirayakan empat kali dalam setahun dan hanya boleh diikuti oleh mereka yang sudah percaya pada Kristus atau mereka yang mampu

  25 mengungkapkan imannya, baik orang dewasa maupun anak-anak.

  Kelima, Yohanes Calvin (1509-1564). Calvin juga menekankan bahwa anak-anak minimal berumur 10 tahun harus dididik dalam iman dan ia pun menciptakan suatu upacara

  26 yang berhubungan dengan kali pertama anak-anak ikut serta dalam Perjamuan Kudus.

  Dalam upacara ini, pendeta memberikan ujian kepada anak-anak di depan jemaat. Menurut jawaban-jawabannya, anak-anak mengaku imannya di depan jemaat. Setelah itu anak

  27

  diberkati dan diterima dalam persekutuan jemaat di sekitar meja Tuhan. Menurutnya, Perjamuan Kudus adalah tanda, tetapi bukan tanda kosong. Sebab tanda tersebut diberikan Allah melalui anak-Nya, supaya orang percaya melalui roti dan anggur betul-betul dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Dalam Perjamuan Kudus kudus, Kristus benar-benar hadir untuk menjadi satu dengan orang percaya dan memperkuat iman mereka. Dengan kehadiran Kristus, maka roti dan anggur diubah menjadi makanan rohani sehingga setiap umat dapat menerima apa yang diperoleh Kristus, yaitu pengampunan dosa dan hidup 24 yang kekal. Itulah sebabnya Calvin berbicara tentang Kristus sebagai yang hadir secara 25 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 49-51. 26 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 51-53. 27 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 56.

  De Jonge, Apa Itu, 239.

  28

  dinamis, yaitu dalam kuasa dan akibat. Calvin sendiri memperbolehkan anak-anak ikut dalam perjamuan karena anak-anak sudah bisa mengaku imannya sendiri dengan cara di uji oleh pendeta di depan jemaat.

  Keenam, John Wesley (1703-1791) memiliki latar belakang sebagai pendeta Gereja Anglikan dan bersama saudaranya Charles Wesley menjadi tokoh pendiri Gereja Methodis. Mereka mengartikan Perjamuan Kudus sebagai suatu anugerah, tanda, dan simbol dari karya penebusan Kristus. Peringatan ini dipahami sebagai suatu memorial akan pengorbanan Kristus, sekaligus menjadi perjamuan persekutuan dengan Kristus. Perjamuan Kudus juga diyakini sebagai perjamuan persekutuan dengan Tuhan yang baik kepada semua orang dan penuh rahmat terhadap semua yang dijadikan-Nya. Oleh sebab itu, bukan hanya orang dewasa saja yang memerlukan persekutuan serta rahmat Tuhan tersebut, tetapi anak- anak juga sangat memerlukannya. Wasley sendiri memperbolehkan anak-anak ikut serta ke dalam Perjamuan Kudus brtolak dari teologi keselamatan universal yang mana dikatakan bahwa keselamatan itu sendiri berlaku secara umum yang mana ana-anak juga turut masuk

  29 ke dalamnya.

  Perjamuan Kudus memiliki berbagai istilah. Istilah-istilah tersebut digunakan tergantung dengan pemaknaan yang dipahami. Namun dalam perkembangan saat ini, penyebutan untuk Perjamuan Kudus yang sering kita gunakan adalah ekaristi dan misa. Perjamuan Kudus sendiri merupakan suatu hal yang sudah dilakukan sejak gereja perdana. Sehingga dalam pelaksanaannya dari masa gereja perdana sampai pada saat ini, ada beberapa peraturan yang dipertahankan dan ada beberapa hal yang mengalami perubahan.

  Dalam uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa, sejak gereja perdana, anak-anak sudah diperolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus kudus karena Perjamuan Kudus kudus dianggap sebagai penghayatan akan keselamatan yang Tuhan berikan sehingga hal ini juga berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali. Namun dalam perkembangannya, hal ini mengalami perubahan. Pada abad pertengahan, anak-anak mulai tidak diperbolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus karena mereka belum mampu menghayati tubuh dan darah Kristus dengan benar. Walaupun dalam masa reformasi, menurut para ahli, anak-anak diperbolehkan untuk mengikuti 28 Perjamuan Kudus mulai dari rentang usia 7 tahun hingga 12 tahun dengan syarat terlebih 29 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 54-55 Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 57-60.

  dahulu harus ada pemhaman iman yang lebih dalam mempersiapkan mereka untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Tetapi hal ini tidak diteruskan oleh gereja-gereja saat ini.

  Pemisahan Baptisan dan Perjamuan Kudus masih saja berlangsung. Walaupun dalam teori, perayaan ekaristi tidak mengenal batasan baik batasan umur, sosial, ras dan golongan yang bertentangan dengan pelaksanaan perjamuan pada gereja-gereja

  30

  kontemporer. Hal ini menunjukan bahwa perjamuan bagi anak-anak seharusnya tidak menjadi sebuah hal yang perlu diperdebatkan saat ini. Karena dari perkembangan awalnya anak-anak selalu didorong untuk terlibat dalam Perjamuan Kudus kudus.

  3. Gambaran tentang GMIT Sindoe GMIT didirikan pada tanggal 31 Oktober 1947. Berdirinya GMIT tidak terlepas dari sejarah Kekristenan di Nusa Tenggara yang di bawa oleh orang- orang Belanda lewat pekabaran Injilnya. Pada tahun 1899, wilayah Timor, Rote dan Sawu dilayani oleh seorang zendling dari Belanda dengan jumlah orang Kristen di tiga pulau itu kurang lebih 15.000 jiwa. Oleh karena jumlah orang Kristen yang terus meningkat, maka dibuka sebuah sekolah pendeta di Rote Ba‘a. Tahun 1920, sekolah tersebut dipindahkan ke Kupang. Sekolah ini sempat ditutup pada tahun 1931 kemudian dibuka lagi pada tahun 1935 di Kapan, dan tahun 1936 dipindahkan ke

31 SoE.

  Stuktur yang dijalankan dalam GMIT berada pada asas presbiterial sinodal. Seluruh jemaat berada di bawah koordinasi sinode GMIT. Sinode GMIT dijalankan oleh Majelis Sinode. Di bawah Majelis Sinode ada Majelis Jemaat/Majelis Jemaat Harian yang berkoordinasi langsung dengan jemaat. Dalam menjalankan tugasnya Majelis Sinode berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan Pelayanan Sinode (BPPPS). Sedangkan Majelis Jemaat/Majelis Jemaat Harian berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan Jemaat (BPPPJ). Majelis Sinode terdiri dari ketua dan wakil ketua,

  32 30 sekretaris dan wakil sekretaris, bendahara dan anggota-anggota.

  

John D. Zizioulas, The Eucharistic Communion and The World (New York: T&T Clark International, 2011),

31 17.

  Yulita Alexadra Nayoan, Kepemimpinan Perempuan dalam Gereja (Skripsi S.Si, Universitas Kristen Satya 32 Wacana, 2012), 58.

  Nayoan, Kepemimpinan Perempuan, 60.

  Program kerja Majelis Sinode GMIT sendiri dibagi menjadi 5 bidang pelayanan. Tiga di antanya merupakan pokok ajaran Calvin yaitu bidang Koinonia (persekutuan), bidang Marturia (kesaksian), bidang Diakonia (pelayanan kasih), dan GMIT menambahkan dua yaitu bidang Liturgia (ibadah) dan bidang Oikumene

  33 (penata layanan).

4. Pandangan GMIT tentang keikutsertaan Anak-Anak Dalam Perjamuan Kudus

  Pada dasarnya Perjamuan Kudus di GMIT dilakukan berdasarkan tata cara perjamuan yang dipakai di gereja- gereja Belanda yakni tata cara perjamuan yang dibawa dan dipraktikkan oleh para utusan lembaga zending yang mengabarkan injil di Indonesia. Karena itu, hingga kini dalam praktik Perjamuan Kudus ini dianggap

  34

  sebagai salah satu sakramen yang bersifat sakral dan dipahami sebagai peristiwa Iman yang berhubungan dengan peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus. Hal ini disimbolkan dalam bentuk roti dan anggur yang dimakan bersama dalam Perjamuan

35 Kudus.

  Dalam pertaturan pastoral GMIT, Perjamuan Kudus diartikan sebagai pelayanan sakramen yang :…―didasarkan pada amanat Yesus Kristus di dalam Alkitab (Mat.

  36 26:26-29; Mrk. 14:22-25; Luk. 22:15-20, 27-30; dan 1Kor. 11:23-26).

  ‖ Menurut GMIT pernyataan ini ber arti ..‖Perjamuan Kudus juga merupakan kesinambungan dari perjamuan Tuhan yang diadakan Yesus bersama para murid-Nya sebagaimana

  37 disaksikan oleh Kitab Injil.