Perencanaan Partisipatif Pengelolaan Hut 1
Perencanaan Partisipatif Pengelolaan Hutan Rakyat
Desa Terong, Yogyakarta
Agus Budi Purwanto & Anita Tri Susanti
Lembaga ARuPA, Yogyakarta
1. Pengantar
Tulisan ini disampaikan pada Workshop Nasional Perencanaan Pengelolaan Hutan
Masyarakat di Indonesia: Kondisi Saat ini dan Implementasinya, di Bogor, 5-6 Januari 2016,
yang diselenggarakan oleh AFoCo dan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang pengalaman lapangan perencanaan partisipatif
pada pengelolaan hutan rakyat di Desa Terong, Yogyakarta. Akan diterangkan tetang
bagaimana pengelolaan hutan dilakukan secara lestari dengan menggunakan berbagai
strategi pemberdayaan.
2. Overview Hutan Rakyat di Indonesia
Di negara-negara berkembang, saat ini hutan rakyat dan hutan skala kecil berbasis
masyarakat lainnya telah berkembang menjadi fenomena yang sangat penting dalam
sumber pendapatan keluarga, ketenagakerjaan, serta cara hidup sehari-hari di wilayah
pedesaan (Kozak, 2007; Nugroho, 2010; Tomasolli et al., 2013).
Hutan rakyat dapat pula menjadi alat yang penting dalam penurunan kemiskinan. Terdapat
beberapa alasan atas fakta tersebut antara lain: pertama, hutan rakyat menyerap tenaga
kerja yang bersifat padat karya serta berjangka waktu lama; kedua, hutan rakyat telah
tumbuh pesat serta memberikan berkontribusi pada kelestarian lingkungan, pasar kayu yang
menguntungkan, serta dapat menciptakan struktur ekonomi baru dalam bisnis kehutanan;
ketiga, hutan rakyat melayani pasar lokal dan domestik yang telah tumbuh pesat; dan
keempat, hutan rakyat dapat menciptakan jiwa kewirausahaan bagi pengelolanya (Kozak,
2007).
Di Indonesia, dalam segi perkembangannya pada rentan waktu 1960 – 1980, hutan rakyat
dikreasikan masyarakat desa sebagai bentuk konservasi tanah kritis. Namun pada periode
1990 – 2010, ketika industri penyerap hasil kayu rakyat tumbuh pesat, hutan rakyat
menjelma menjadi sebuah landscape bisnis keluarga yang menjanjikan (Suprapto, 2010;
Arupa, 2013). Selain fungsi ekonomi, hutan rakyat juga memberikan fungsi ekologi yakni
berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim dalam bentuk penyerapan cadangan karbon
dan konservasi tanah.
Page 1 of 9
Dalam UU No. 41 tentang Kehutanan, hutan rakyat disebutkan dalam penjelasan salah satu
pasal yang secara sederhana menerangkan sebuah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah dan berada diluar tanah negara yang ditetapkan sebagai hutan.
Jadi ringkasnya, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat.
Pengetahuan umum di Yogyakarta dan Jawa Tengah, hutan rakyat rakyat dapat berada
pada pekarangan yakni di sekitar rumah tinggal, berada di tegalan yakni tanah kering yang
biasanya untuk tanaman selain padi, serta di sawah di mana tanaman keras ditanam di
pematang.
Dilihat dari perkembangannya, menurut Wartaputra (1990) sebagaimana dikutip oleh
Suprapto (2010), pengembangan hutan rakyat di Jawa dimulai pada tahun 1930 oleh
pemerintah kolonial. Kemudian Pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an mengembangkan
hutan rakyat melalui program “Karang Kitri” dan program penghijauan pada awal tahun 60an. Pada awal pengembangannya, sasaran pengembangan hutan rakyat adalah pada
lahan-lahan kritis yang berjurang, dekat mata air, lahan terlantar dan tidak lagi dipergunakan
untuk budidaya tanaman semusim. Tujuan pengembangan hutan rakyat adalah untuk
meningkatkan produktivits lahan kritis, memperbaiki tata air dan lingkugan dan membantu
masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan, bahan perabotan rumah tangga dan sumber
kayu bakar.
Dalam perkembangannya hingga kini, masyarakat mulai merasakan manfaat baik secara
ekonomi maupun secara kenyamanan lingkungan. Sehingga tampuk inisiatif pengembangan
hutan rakyat tidak lagi berada pada pemerintah, namun pada keswadayaan masyarakat itu
sendiri.
3. Desa Terong, Yogyakarta
Secara administratif Desa Terong termasuk dalam lingkup kecamatan Dlingo Kabupaten
Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menuju ke Terong, dari kota Yogyakarta menuju
arah tenggara, menaiki pegunungan Gunungkidul kemudian berbelok ke arah barat.
Perjalanan dari Yogyakarta dapat ditempuh dengan waktu 45 menit. Berada pada ketinggian
325-400 meter dpl, tekstur lanscape desa ini berbentuk perbukitan.
Memiliki luas wilayah 775 hektar, yang terbagi dalam peruntukan pemukiman dan
pekarangan 143 hektar, sawah 144 hektar, tegalan 378 hektar, dan lain-lain 110 hektar.
Khusus untuk peruntukan tegalan, semua lahan ditanami tanaman kayu serta sebagian
disela-selanya ditanami tanaman palawija dan jenis tanaman bawah lainnya. Sedangkan
peruntukan sawah ditanami padi pada 1 kali musim tanam dan musim selanjutnya ditanami
tanaman jagung, kacang. Pada pematang sawah serta sebagian tegalan, petani menanam
rumput gajah sebagai makan ternak yang dipakai sendiri maupun dijual.
Desa Terong memiliki 9 dusun antara lain: Kebokuning, Saradan, Pancuran, Rejosari,
Terong II, Terong I, Pencitrejo, Sendangsari, dan Ngenep. Jumlah penduduk desa terong
pada akhir tahun 2013 sebesar 6.512 orang yang terbagi dalam 1.617 keluarga, dimana
penduduk perempuan 3.263 orang, dan penduduk laki-laki sebesar 3.249 orang. Jenis
pekerjaan warga Terong masih didominasi dalam sektor agraria/pertanian. Sebanyak 4.262
berprofesi sebagai petani, serta 255 hanya sebagai buruh tani. Menyusul pekerjaan buruh
Page 2 of 9
atau pegawai swasta sebanyak 766 orang. Pengrajin 549 orang, peternak 323 orang, dan
pedagang 283 orang. Adapula secara spesifik warga yang bekerja sebagai pegawai negeri
sebanyak 53 orang, penjahit 10 orang, satpam dan montir masing-masing 4 orang, serta
bidan 3 orang.
Tingkat pendidikan warga Terong tergolong tinggi. Sebanyak 40 orang telah lulus Diploma,
terdapat 49 sarjana, dan bahkan ada 3 warga yang telah lulus jenjang S2. Warga yang
taman SLTA sebanyak 1.242, dan SLTP 1.524. Mayoritas telah tamat SD sebanyak 2.366
warga. Dengan demikian, hampir tidak ada warga usia sekolah yang tidak bisa baca tulis.
Insert 1. Peta Posisi Desa Terong
4. Bagaimana Perencanaan Partisipatif Pengelolaan Hutan Rakyat dilakukan?
Menyatukan yang Kecil
Strategi pengelolaan hutan lestari pada hutan rakyat adalah menghimpun pemilik hutan
rakyat menjadi satu kelompok atau satu unit manajemen pengelola hutan untuk selanjutnya
dikuatkan kelembagaannya. Salah satu karakteristik hutan rakyat di Jawa adalah lahan
hutan rakyat tersebar secara tidak teratur letak dan kepemilikannya. Umumnya, setiap
rumah tangga memiliki hutan rakyat antara 0,1 ha sampai 2 hektar. Mengapa perlu
dihimpun? Karena untuk membicarakan kelestarian, daya dukung ekologi, dan efektivitas
pengelolaan produksi diperlukan sebuah himpunan pengelola hutan rakyat. Pada tahun
2010, KTH Jasema terbentuk untuk menyatukan pemilik hutan rakyat di desa terong. KTH
Page 3 of 9
Jasema beranggotakan 554 keluarga petani dengan luas hutan rakyat 312 hektar, jika
dirata-rata setiap keluarga memiliki ½ hektar.
Insert 2. Peta Hutan Rakyat Desa Terong.
Tujuan Pengelolaan Hutan Rakyat KTH Jasema
Tujuan utama dari pengelolaan hutan rakyat di desa Terong adalah untuk menciptakan
hutan rakyat yang lestari dan pemiliknya semakin sejahtera. Dua hal itu memang terkesan
klise, tetapi bukan tidak mungkin hal tersebut akan terjadi. Persoalan utama dari
pengelolaan hutan rakyat adalah penebangan yang belum terencana dan cenderung pada
usia-usia pohon yang belum layak tebang. Sejak tahun 2010, ARuPA bekerja di Desa
Terong dengan fokus utama pada pendampingan petani hutan rakyat untuk mengelola
hutannya secara lestari. Pada awalnya, tahun 2011 kami mengajak petani hutan rakyat
untuk berhimpun menjadi satu kelompok bernama JASEMA, yang merupakan kepanjangan
dari Jati Sengon Mahoni. Dalam kelompok tani hutan (KTH) Jasema tersebut, petani hutan
rakyat membangun kapasitas dirinya baik secara individu maupun kelembagaan untuk
merencanakan pengelolaan hutan.
Di Desa Terong, saat ini hutan rakyat telah tumbuh pesat. Menurut Sugiyono, ketua KTH
Jasema, sebuah kelompok tani hutan rakyat di desa Terong, menyatakan bahwa hampir
tidak ada lagi lahan kecuali sawah yang tidak tertanami tanaman keras. Luas hutan rakyat di
Desa Terong saat ini tidak kurang dari 378 hektar.
Page 4 of 9
Pada tahun 2013, ARuPA memulai pendampingan kelompok tani hutan rakyat untuk
berkelompok dan mengurus sertifikasi legalitas kayu sebagaimana kebijakan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Wilayah kelola KTH Jasema yang bersertifikat SVLK seluas 312 hektar. Jumlah
anggota KTH sebanyak 554 keluarga petani. Berikut ini jumlah anggota dan luas hutan
rakyat tiap dusun:
Insert 3. Tabel Luas Hutan Rakyat dan Jumlah Anggota KTH Jasema
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Dusun
Kebokuning
Saradan
Pancuran
Rejosari
Terong II
Terong I
Pencitrejo
Sendangsari
Ngenep
JUMLAH
Luas Hutan Rakyat
(Ha)
19,35
31,01
69,48
25,80
34,15
2,79
57,80
14,19
57,43
Anggota KTH
Jasema
(Keluarga)
21
68
118
65
94
19
67
18
84
312
554
Sumber: KTH Jasema 2014.
Community carbon accounting
Communtity carbon accounting (CCA) merupakan sebuah action research untuk
memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya fungsi hutan dan
bagaimana keterkaitan hutan dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi
sekarang ini. Program ini dimulai tahun 2010 hingga sekarang. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan antara lain penanaman pohon, pembuatan pupuk organik, dan penghitungan
cadangan karbon.
Pada tahun 2014, cadangan karbon pada hutan rakyat di Desa Terong sebesar 78,97 ton
per hektar untuk jenis hutan rakyat pekarangan dan 49,87 ton per hektar untuk jenis hutan
rakyat tegalan. Lebih besar hutan rakyat tegalan karena jumlah pohon pada hutan rakyat
pekarangan lebih banyak dibandingkan dengan tegalan. Tegalan difungsikan agroforestry,
yaitu menanami lahan dengan tanaman semusim, disamping tanaman kayu.
Sejak tahun 2011 hingga tahun 2015 rata-rata peningkatan cadangan karbon pada
pekarangan 13,84 ton/ha/tahun sedangkan pada tegalan sebesar 10,88 ton/ha/tahun.
Penghitungan cadangan karbon menggunakan metode IPCC 2006 – Good Practices
Guidance for Land Use, Land Use Change and Forestry dengan sedikit modifikasi. Pada
akhirnya, ARuPA dan kelompok berhasil membuat panduan praktis penghitungan karbon
pada hutan rakyat.
Page 5 of 9
Fokus program CCA ini, sekali lagi tidak sebagai bentuk inisiatif pembelajaran bahwa
komunitas dengan teknologi sederhana dapat mengitung potensi karbon yang dimiliki pada
hutan rakyat. Selain itu, pemilik hutan rakyat semakin mengerti tentang peran dan posisi
hutan rakyat dalam upaya mitigasi perbuhan iklim.
Insert 4. Alur karbon.
Tahap Pembelajaran Penghitungan Karbon di Desa Terong
Diskusi
ToT
Pelatihan
Pengukuran
Karbon
Update Data
Tahunan
Pengolahan
Data
Pengukuran
Karbon
Sosialisasi
Alur Kegiatan CCA
2010
2011
Perkenalan dan
melibatkan
masyarakat
dalam CCA
Pemantauan dan
pengaturan
kelembagaan
masyarakat
2013
2012
Pengembangan
Pasar Karbon
Memaksimalkan
hasil capaian
dan
pengembangan
action research
2014
Pengembanga
n Project
Desain
Document dan
peluang pasar
karbon
Koperasi Tunda Tebang
Pendapatan rumah tangga petani desa Terong masih di dominasi dari sumber non agraria
berupa upah pekerjaan di kota. Sehingga hutan rakyat diperankan oleh pemliknya sebagai
tabugan kayu. Sementara itu, kebutuhan uang yang sifatnya mendesak diperoleh dari
meminjam di bank ataupun lembaga keuagan yang lain. Di sisi lain, bank atau lembaga
keuangan saat ini belum mengadopsi aset berupa pohon sebagai jaminan. Sehingga
diperlukan terobosan baru berupa pendirian lembaga keuangan mandiri yang buat oleh
petani hutan rakyat sendiri. Dengan demikian, mekanisme dan ciri khas lembaga keuangan
tersebut mencerminkan semangat kelestarian hutan rakyat baik hasil maupun lingkungan.
Aset kayu yang dimiliki petani hutan rakyat desa Terong sangat tinggi, dengan estimasi Rp.
40 juta. Sangat menarik, jika kemudian petani hutan rakyat desa Terong membuat lembaga
Page 6 of 9
keuangan yang mengakomodir kayu sebagai jaminan pinjaman. Jika dihitung, kebutuhan
uang keluarga petani yang dipenuhi dari penebangan pohon hutan rakyat per tahun per
kepala keluarga sebesar Rp. 2,7 juta. Sehingga, seluruh anggota KTH Jasema sejumlah
554 keluarga per tahun membutuhkan dana tunda tebang sebesar Rp. 1,5 Milyar untuk
luasan 312 hektar wilayah kelola hutan rakyat.
Berdasarkan analisis tersebut, maka pada maka pada tahun 2014 petani hutan rakyat Desa
Terong membuat Koperasi Tunda Tebang dengan pohon sebagai anggunan pinjaman.
Modal awal sebesar 78 juta rupiah berasal dari iuran anggota. Pendirian koperasi ini
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan keuangan rumah tangga petani tadi sekaligus
menunda penebangan kayu yang masih kecil.
Rencana Tata Ruang Wilayah Desa
Penataan ruang wilayah perdesaan adalah sesuai dengan amanat dari UU Tata Ruang
(UUTR) 26/2007 dan UU Desa 6/2014. Diharapkan, dengan ditatanya peruntukan lahan di
desa, dapat membatasi investasi skala besar, dan memberikan alokasi wilayah kepada
usaha pertanian, kehutanan, pertambangan dan perkebunan rakyat dan mendorong
kawasan ini mengelola wilayahnya secara lestari, dengan infrastruktur fisik dan non fisik
yang sesuai dengan kondisi perdesaan.
Upaya yang dilakukan di desa terong adalah melakukan pemetaan partisipatif. Dan terdapat
12 peta yang dihasilkan antara lain:
1. Peta Administrasi
2. Peta Rencana Pola Tata Ruang
3. Peta Rencana Kawasan Lindung
4. Peta Rencana Kawasan Budidaya
5. Peta Kerawanan Bencana
6. Peta Pergerakan/Jalur Transportasi
7. Peta Kemiringan Lereng dan Pemanfaatan Lahan
8. Peta Kegiatan Perekonomian Masyarakat
9. Peta Kemiringan Lereng dan Kepadatan KK
10. Peta Tanah Kas Desa
11. Peta Mata Air
12. Peta Sepadan Sumber Air
Sampai saat ini, kami masih membahas draf peraturan desa mengenai penataan ruang
perdesaan yang ada di Desa Terong.
Page 7 of 9
5. Praktek Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Terong.
Apa saja yang direncanakan dalam pengelolaan hutan rakyat desa terong?
a. Rencana Silvikultur Hutan Rakyat:
Inverntarisasi Tegakan dilakukan secara periodik minimal 2 tahun sekali.
Inventarisasi ini bertujuan untuk mengetahui potensi kayu yang dimiliki oleh
Kelompok Tani Hutan Rakyat Jasema, berdasarkan jenis pohon.
Penyiapan Lahan. Penyiapan lahan didasarkan pada pranotomongso atau tata
musim pertanian yang sudah dikenal sejak turun temurun.
Pembenihan/Pembibitan: pengadaan bibit dilakukan oleh masing-masing keluarga
petani hutan dengan minimal 10 bibit setiap tahun musim penghujan sebagai
pengkayaan tanaman.
Penanaman: Dilakukan oleh masing-masing keluarga petani. Dilakukan penanaman
di dekat pohon yang telah dipanen. Sementara itu tanaman semusim (pangan)
ditanam pada awal musim hujan dengan jenis padi, jagung, kacang.
Pemeliharaan: terdiri dari pemupukan, penyulaman, pendangiran, pengendalian
gulma, pemangkasan cabang.
Perlindungan dan Pengamanan Hutan:
pengendalian hama penyakit dan
pengendalian kebakaran hutan.
Rencana Penebangan/Pemanenan: berdasarkan perhitungan atau inventarisasi
tegakan pohon yang dilakukan, dengan luas hutan rakyat 312 hektar taksiran
potensinya adalah 19.656 m3. Jatah tebang per tahun adalah 2.620 m3/tahun.
Penebangan oleh seluruh anggota KTH Jasema tidak boleh melebihi jatah tebang
tersebut.
b. Rencana Ekologi:
Karena desa terong rawan bencana, maka KTH Jasema membuat peraturan bagi
anggotanya terkait dengan penebangan pohon antara lain:
Menghindari tebang habis untuk kawasan penyangga atau perlindungan sumber
mata air.
Menghindari penebangan atau kerusakan terhadap pohon lain
Pohon yang terdapat di kawasan yang curam tidak ditebang sekaligus dalam sekali
tebang.
Mengupayakan sekecil mungkin agar pohon yang tidak ditebang tidak mengalami
keruskaan, yaitu dengan menerapkan metode cara penebangan yang benar yang
telah ditetapkan oleh KTH Jasema.
Selain ketentuan-ketentuan tersebut, juga dilakukan pemantauan untuk kondisi
kawasan, misalnya:
- Pengawasan dan Monitoring Kondisi Tegakan Pohon Penebangan;
- Pengawasan dan Monitoring Kondisi Kawasan (Tanah dan daerah penyangga
seperti sumber-sumber air) Pasca Penebangan;
- Pengawasan dan Monitoring kondisi satwa liar pasca penebangan
- Pencegahan penggunaan bahan kimia berbahaya.
c. Rencana Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Rencana sosial, ekonomi, dan budaya disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi
budaya yang telah berjalan dan mengakar di Tesa Terong dari dulu hingga sekarang.
Page 8 of 9
6. Penutup
Upaya dari berbagai segi untuk membuat hutan rakyat lestari dilakukan antar lain dengan
pendekatan: kelembagaan pengelola hutan rakyat; sertifikasi legalitas kayu, koperasi tunda
tebang, penghitungan potensi karbon, penataan ruang perdesaan, dan rencana kelola.
Sampai saat ini beberapa persoalan masih menjadi hambatan antara lain:
Pasar kayu bersertifikat SVLK masih rendah; diharapkan ada kebijakan procurement
dari pemerintah atas pengadaan barang yang dilakukan.
Masih sedikitnya Modal Koperasi Tunda Tebang; diharapkan ada tambahan modal baik
dari Perbankan maupun bantuan dari CSR Perusahaan Swasta maupun BUMN.
Belum terbitnya Peraturan Desa mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Desa Terong
untuk memastikan kawasan perdesaan berkelanjutan dapat terwujud; sehingga
diperlukan advokasi kebijakan level desa lebih lanjut.
Perlunya mengawal implementasi rencana kelola hutan KTH Jasema; sehingga
diperlukan pendampingan tahap lanjut.
Belum optimalnya bisnis komunitas untuk mengoptimalkan potensi ekonomi pengolahan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta mengelola potensi wisata eco-culture yakni
hutan rakyat bersertifikat, wisata alam dan budaya.
Selesai.
Page 9 of 9
Desa Terong, Yogyakarta
Agus Budi Purwanto & Anita Tri Susanti
Lembaga ARuPA, Yogyakarta
1. Pengantar
Tulisan ini disampaikan pada Workshop Nasional Perencanaan Pengelolaan Hutan
Masyarakat di Indonesia: Kondisi Saat ini dan Implementasinya, di Bogor, 5-6 Januari 2016,
yang diselenggarakan oleh AFoCo dan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang pengalaman lapangan perencanaan partisipatif
pada pengelolaan hutan rakyat di Desa Terong, Yogyakarta. Akan diterangkan tetang
bagaimana pengelolaan hutan dilakukan secara lestari dengan menggunakan berbagai
strategi pemberdayaan.
2. Overview Hutan Rakyat di Indonesia
Di negara-negara berkembang, saat ini hutan rakyat dan hutan skala kecil berbasis
masyarakat lainnya telah berkembang menjadi fenomena yang sangat penting dalam
sumber pendapatan keluarga, ketenagakerjaan, serta cara hidup sehari-hari di wilayah
pedesaan (Kozak, 2007; Nugroho, 2010; Tomasolli et al., 2013).
Hutan rakyat dapat pula menjadi alat yang penting dalam penurunan kemiskinan. Terdapat
beberapa alasan atas fakta tersebut antara lain: pertama, hutan rakyat menyerap tenaga
kerja yang bersifat padat karya serta berjangka waktu lama; kedua, hutan rakyat telah
tumbuh pesat serta memberikan berkontribusi pada kelestarian lingkungan, pasar kayu yang
menguntungkan, serta dapat menciptakan struktur ekonomi baru dalam bisnis kehutanan;
ketiga, hutan rakyat melayani pasar lokal dan domestik yang telah tumbuh pesat; dan
keempat, hutan rakyat dapat menciptakan jiwa kewirausahaan bagi pengelolanya (Kozak,
2007).
Di Indonesia, dalam segi perkembangannya pada rentan waktu 1960 – 1980, hutan rakyat
dikreasikan masyarakat desa sebagai bentuk konservasi tanah kritis. Namun pada periode
1990 – 2010, ketika industri penyerap hasil kayu rakyat tumbuh pesat, hutan rakyat
menjelma menjadi sebuah landscape bisnis keluarga yang menjanjikan (Suprapto, 2010;
Arupa, 2013). Selain fungsi ekonomi, hutan rakyat juga memberikan fungsi ekologi yakni
berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim dalam bentuk penyerapan cadangan karbon
dan konservasi tanah.
Page 1 of 9
Dalam UU No. 41 tentang Kehutanan, hutan rakyat disebutkan dalam penjelasan salah satu
pasal yang secara sederhana menerangkan sebuah hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah dan berada diluar tanah negara yang ditetapkan sebagai hutan.
Jadi ringkasnya, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat.
Pengetahuan umum di Yogyakarta dan Jawa Tengah, hutan rakyat rakyat dapat berada
pada pekarangan yakni di sekitar rumah tinggal, berada di tegalan yakni tanah kering yang
biasanya untuk tanaman selain padi, serta di sawah di mana tanaman keras ditanam di
pematang.
Dilihat dari perkembangannya, menurut Wartaputra (1990) sebagaimana dikutip oleh
Suprapto (2010), pengembangan hutan rakyat di Jawa dimulai pada tahun 1930 oleh
pemerintah kolonial. Kemudian Pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an mengembangkan
hutan rakyat melalui program “Karang Kitri” dan program penghijauan pada awal tahun 60an. Pada awal pengembangannya, sasaran pengembangan hutan rakyat adalah pada
lahan-lahan kritis yang berjurang, dekat mata air, lahan terlantar dan tidak lagi dipergunakan
untuk budidaya tanaman semusim. Tujuan pengembangan hutan rakyat adalah untuk
meningkatkan produktivits lahan kritis, memperbaiki tata air dan lingkugan dan membantu
masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan, bahan perabotan rumah tangga dan sumber
kayu bakar.
Dalam perkembangannya hingga kini, masyarakat mulai merasakan manfaat baik secara
ekonomi maupun secara kenyamanan lingkungan. Sehingga tampuk inisiatif pengembangan
hutan rakyat tidak lagi berada pada pemerintah, namun pada keswadayaan masyarakat itu
sendiri.
3. Desa Terong, Yogyakarta
Secara administratif Desa Terong termasuk dalam lingkup kecamatan Dlingo Kabupaten
Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menuju ke Terong, dari kota Yogyakarta menuju
arah tenggara, menaiki pegunungan Gunungkidul kemudian berbelok ke arah barat.
Perjalanan dari Yogyakarta dapat ditempuh dengan waktu 45 menit. Berada pada ketinggian
325-400 meter dpl, tekstur lanscape desa ini berbentuk perbukitan.
Memiliki luas wilayah 775 hektar, yang terbagi dalam peruntukan pemukiman dan
pekarangan 143 hektar, sawah 144 hektar, tegalan 378 hektar, dan lain-lain 110 hektar.
Khusus untuk peruntukan tegalan, semua lahan ditanami tanaman kayu serta sebagian
disela-selanya ditanami tanaman palawija dan jenis tanaman bawah lainnya. Sedangkan
peruntukan sawah ditanami padi pada 1 kali musim tanam dan musim selanjutnya ditanami
tanaman jagung, kacang. Pada pematang sawah serta sebagian tegalan, petani menanam
rumput gajah sebagai makan ternak yang dipakai sendiri maupun dijual.
Desa Terong memiliki 9 dusun antara lain: Kebokuning, Saradan, Pancuran, Rejosari,
Terong II, Terong I, Pencitrejo, Sendangsari, dan Ngenep. Jumlah penduduk desa terong
pada akhir tahun 2013 sebesar 6.512 orang yang terbagi dalam 1.617 keluarga, dimana
penduduk perempuan 3.263 orang, dan penduduk laki-laki sebesar 3.249 orang. Jenis
pekerjaan warga Terong masih didominasi dalam sektor agraria/pertanian. Sebanyak 4.262
berprofesi sebagai petani, serta 255 hanya sebagai buruh tani. Menyusul pekerjaan buruh
Page 2 of 9
atau pegawai swasta sebanyak 766 orang. Pengrajin 549 orang, peternak 323 orang, dan
pedagang 283 orang. Adapula secara spesifik warga yang bekerja sebagai pegawai negeri
sebanyak 53 orang, penjahit 10 orang, satpam dan montir masing-masing 4 orang, serta
bidan 3 orang.
Tingkat pendidikan warga Terong tergolong tinggi. Sebanyak 40 orang telah lulus Diploma,
terdapat 49 sarjana, dan bahkan ada 3 warga yang telah lulus jenjang S2. Warga yang
taman SLTA sebanyak 1.242, dan SLTP 1.524. Mayoritas telah tamat SD sebanyak 2.366
warga. Dengan demikian, hampir tidak ada warga usia sekolah yang tidak bisa baca tulis.
Insert 1. Peta Posisi Desa Terong
4. Bagaimana Perencanaan Partisipatif Pengelolaan Hutan Rakyat dilakukan?
Menyatukan yang Kecil
Strategi pengelolaan hutan lestari pada hutan rakyat adalah menghimpun pemilik hutan
rakyat menjadi satu kelompok atau satu unit manajemen pengelola hutan untuk selanjutnya
dikuatkan kelembagaannya. Salah satu karakteristik hutan rakyat di Jawa adalah lahan
hutan rakyat tersebar secara tidak teratur letak dan kepemilikannya. Umumnya, setiap
rumah tangga memiliki hutan rakyat antara 0,1 ha sampai 2 hektar. Mengapa perlu
dihimpun? Karena untuk membicarakan kelestarian, daya dukung ekologi, dan efektivitas
pengelolaan produksi diperlukan sebuah himpunan pengelola hutan rakyat. Pada tahun
2010, KTH Jasema terbentuk untuk menyatukan pemilik hutan rakyat di desa terong. KTH
Page 3 of 9
Jasema beranggotakan 554 keluarga petani dengan luas hutan rakyat 312 hektar, jika
dirata-rata setiap keluarga memiliki ½ hektar.
Insert 2. Peta Hutan Rakyat Desa Terong.
Tujuan Pengelolaan Hutan Rakyat KTH Jasema
Tujuan utama dari pengelolaan hutan rakyat di desa Terong adalah untuk menciptakan
hutan rakyat yang lestari dan pemiliknya semakin sejahtera. Dua hal itu memang terkesan
klise, tetapi bukan tidak mungkin hal tersebut akan terjadi. Persoalan utama dari
pengelolaan hutan rakyat adalah penebangan yang belum terencana dan cenderung pada
usia-usia pohon yang belum layak tebang. Sejak tahun 2010, ARuPA bekerja di Desa
Terong dengan fokus utama pada pendampingan petani hutan rakyat untuk mengelola
hutannya secara lestari. Pada awalnya, tahun 2011 kami mengajak petani hutan rakyat
untuk berhimpun menjadi satu kelompok bernama JASEMA, yang merupakan kepanjangan
dari Jati Sengon Mahoni. Dalam kelompok tani hutan (KTH) Jasema tersebut, petani hutan
rakyat membangun kapasitas dirinya baik secara individu maupun kelembagaan untuk
merencanakan pengelolaan hutan.
Di Desa Terong, saat ini hutan rakyat telah tumbuh pesat. Menurut Sugiyono, ketua KTH
Jasema, sebuah kelompok tani hutan rakyat di desa Terong, menyatakan bahwa hampir
tidak ada lagi lahan kecuali sawah yang tidak tertanami tanaman keras. Luas hutan rakyat di
Desa Terong saat ini tidak kurang dari 378 hektar.
Page 4 of 9
Pada tahun 2013, ARuPA memulai pendampingan kelompok tani hutan rakyat untuk
berkelompok dan mengurus sertifikasi legalitas kayu sebagaimana kebijakan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Wilayah kelola KTH Jasema yang bersertifikat SVLK seluas 312 hektar. Jumlah
anggota KTH sebanyak 554 keluarga petani. Berikut ini jumlah anggota dan luas hutan
rakyat tiap dusun:
Insert 3. Tabel Luas Hutan Rakyat dan Jumlah Anggota KTH Jasema
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Dusun
Kebokuning
Saradan
Pancuran
Rejosari
Terong II
Terong I
Pencitrejo
Sendangsari
Ngenep
JUMLAH
Luas Hutan Rakyat
(Ha)
19,35
31,01
69,48
25,80
34,15
2,79
57,80
14,19
57,43
Anggota KTH
Jasema
(Keluarga)
21
68
118
65
94
19
67
18
84
312
554
Sumber: KTH Jasema 2014.
Community carbon accounting
Communtity carbon accounting (CCA) merupakan sebuah action research untuk
memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya fungsi hutan dan
bagaimana keterkaitan hutan dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi
sekarang ini. Program ini dimulai tahun 2010 hingga sekarang. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan antara lain penanaman pohon, pembuatan pupuk organik, dan penghitungan
cadangan karbon.
Pada tahun 2014, cadangan karbon pada hutan rakyat di Desa Terong sebesar 78,97 ton
per hektar untuk jenis hutan rakyat pekarangan dan 49,87 ton per hektar untuk jenis hutan
rakyat tegalan. Lebih besar hutan rakyat tegalan karena jumlah pohon pada hutan rakyat
pekarangan lebih banyak dibandingkan dengan tegalan. Tegalan difungsikan agroforestry,
yaitu menanami lahan dengan tanaman semusim, disamping tanaman kayu.
Sejak tahun 2011 hingga tahun 2015 rata-rata peningkatan cadangan karbon pada
pekarangan 13,84 ton/ha/tahun sedangkan pada tegalan sebesar 10,88 ton/ha/tahun.
Penghitungan cadangan karbon menggunakan metode IPCC 2006 – Good Practices
Guidance for Land Use, Land Use Change and Forestry dengan sedikit modifikasi. Pada
akhirnya, ARuPA dan kelompok berhasil membuat panduan praktis penghitungan karbon
pada hutan rakyat.
Page 5 of 9
Fokus program CCA ini, sekali lagi tidak sebagai bentuk inisiatif pembelajaran bahwa
komunitas dengan teknologi sederhana dapat mengitung potensi karbon yang dimiliki pada
hutan rakyat. Selain itu, pemilik hutan rakyat semakin mengerti tentang peran dan posisi
hutan rakyat dalam upaya mitigasi perbuhan iklim.
Insert 4. Alur karbon.
Tahap Pembelajaran Penghitungan Karbon di Desa Terong
Diskusi
ToT
Pelatihan
Pengukuran
Karbon
Update Data
Tahunan
Pengolahan
Data
Pengukuran
Karbon
Sosialisasi
Alur Kegiatan CCA
2010
2011
Perkenalan dan
melibatkan
masyarakat
dalam CCA
Pemantauan dan
pengaturan
kelembagaan
masyarakat
2013
2012
Pengembangan
Pasar Karbon
Memaksimalkan
hasil capaian
dan
pengembangan
action research
2014
Pengembanga
n Project
Desain
Document dan
peluang pasar
karbon
Koperasi Tunda Tebang
Pendapatan rumah tangga petani desa Terong masih di dominasi dari sumber non agraria
berupa upah pekerjaan di kota. Sehingga hutan rakyat diperankan oleh pemliknya sebagai
tabugan kayu. Sementara itu, kebutuhan uang yang sifatnya mendesak diperoleh dari
meminjam di bank ataupun lembaga keuagan yang lain. Di sisi lain, bank atau lembaga
keuangan saat ini belum mengadopsi aset berupa pohon sebagai jaminan. Sehingga
diperlukan terobosan baru berupa pendirian lembaga keuangan mandiri yang buat oleh
petani hutan rakyat sendiri. Dengan demikian, mekanisme dan ciri khas lembaga keuangan
tersebut mencerminkan semangat kelestarian hutan rakyat baik hasil maupun lingkungan.
Aset kayu yang dimiliki petani hutan rakyat desa Terong sangat tinggi, dengan estimasi Rp.
40 juta. Sangat menarik, jika kemudian petani hutan rakyat desa Terong membuat lembaga
Page 6 of 9
keuangan yang mengakomodir kayu sebagai jaminan pinjaman. Jika dihitung, kebutuhan
uang keluarga petani yang dipenuhi dari penebangan pohon hutan rakyat per tahun per
kepala keluarga sebesar Rp. 2,7 juta. Sehingga, seluruh anggota KTH Jasema sejumlah
554 keluarga per tahun membutuhkan dana tunda tebang sebesar Rp. 1,5 Milyar untuk
luasan 312 hektar wilayah kelola hutan rakyat.
Berdasarkan analisis tersebut, maka pada maka pada tahun 2014 petani hutan rakyat Desa
Terong membuat Koperasi Tunda Tebang dengan pohon sebagai anggunan pinjaman.
Modal awal sebesar 78 juta rupiah berasal dari iuran anggota. Pendirian koperasi ini
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan keuangan rumah tangga petani tadi sekaligus
menunda penebangan kayu yang masih kecil.
Rencana Tata Ruang Wilayah Desa
Penataan ruang wilayah perdesaan adalah sesuai dengan amanat dari UU Tata Ruang
(UUTR) 26/2007 dan UU Desa 6/2014. Diharapkan, dengan ditatanya peruntukan lahan di
desa, dapat membatasi investasi skala besar, dan memberikan alokasi wilayah kepada
usaha pertanian, kehutanan, pertambangan dan perkebunan rakyat dan mendorong
kawasan ini mengelola wilayahnya secara lestari, dengan infrastruktur fisik dan non fisik
yang sesuai dengan kondisi perdesaan.
Upaya yang dilakukan di desa terong adalah melakukan pemetaan partisipatif. Dan terdapat
12 peta yang dihasilkan antara lain:
1. Peta Administrasi
2. Peta Rencana Pola Tata Ruang
3. Peta Rencana Kawasan Lindung
4. Peta Rencana Kawasan Budidaya
5. Peta Kerawanan Bencana
6. Peta Pergerakan/Jalur Transportasi
7. Peta Kemiringan Lereng dan Pemanfaatan Lahan
8. Peta Kegiatan Perekonomian Masyarakat
9. Peta Kemiringan Lereng dan Kepadatan KK
10. Peta Tanah Kas Desa
11. Peta Mata Air
12. Peta Sepadan Sumber Air
Sampai saat ini, kami masih membahas draf peraturan desa mengenai penataan ruang
perdesaan yang ada di Desa Terong.
Page 7 of 9
5. Praktek Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Terong.
Apa saja yang direncanakan dalam pengelolaan hutan rakyat desa terong?
a. Rencana Silvikultur Hutan Rakyat:
Inverntarisasi Tegakan dilakukan secara periodik minimal 2 tahun sekali.
Inventarisasi ini bertujuan untuk mengetahui potensi kayu yang dimiliki oleh
Kelompok Tani Hutan Rakyat Jasema, berdasarkan jenis pohon.
Penyiapan Lahan. Penyiapan lahan didasarkan pada pranotomongso atau tata
musim pertanian yang sudah dikenal sejak turun temurun.
Pembenihan/Pembibitan: pengadaan bibit dilakukan oleh masing-masing keluarga
petani hutan dengan minimal 10 bibit setiap tahun musim penghujan sebagai
pengkayaan tanaman.
Penanaman: Dilakukan oleh masing-masing keluarga petani. Dilakukan penanaman
di dekat pohon yang telah dipanen. Sementara itu tanaman semusim (pangan)
ditanam pada awal musim hujan dengan jenis padi, jagung, kacang.
Pemeliharaan: terdiri dari pemupukan, penyulaman, pendangiran, pengendalian
gulma, pemangkasan cabang.
Perlindungan dan Pengamanan Hutan:
pengendalian hama penyakit dan
pengendalian kebakaran hutan.
Rencana Penebangan/Pemanenan: berdasarkan perhitungan atau inventarisasi
tegakan pohon yang dilakukan, dengan luas hutan rakyat 312 hektar taksiran
potensinya adalah 19.656 m3. Jatah tebang per tahun adalah 2.620 m3/tahun.
Penebangan oleh seluruh anggota KTH Jasema tidak boleh melebihi jatah tebang
tersebut.
b. Rencana Ekologi:
Karena desa terong rawan bencana, maka KTH Jasema membuat peraturan bagi
anggotanya terkait dengan penebangan pohon antara lain:
Menghindari tebang habis untuk kawasan penyangga atau perlindungan sumber
mata air.
Menghindari penebangan atau kerusakan terhadap pohon lain
Pohon yang terdapat di kawasan yang curam tidak ditebang sekaligus dalam sekali
tebang.
Mengupayakan sekecil mungkin agar pohon yang tidak ditebang tidak mengalami
keruskaan, yaitu dengan menerapkan metode cara penebangan yang benar yang
telah ditetapkan oleh KTH Jasema.
Selain ketentuan-ketentuan tersebut, juga dilakukan pemantauan untuk kondisi
kawasan, misalnya:
- Pengawasan dan Monitoring Kondisi Tegakan Pohon Penebangan;
- Pengawasan dan Monitoring Kondisi Kawasan (Tanah dan daerah penyangga
seperti sumber-sumber air) Pasca Penebangan;
- Pengawasan dan Monitoring kondisi satwa liar pasca penebangan
- Pencegahan penggunaan bahan kimia berbahaya.
c. Rencana Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Rencana sosial, ekonomi, dan budaya disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi
budaya yang telah berjalan dan mengakar di Tesa Terong dari dulu hingga sekarang.
Page 8 of 9
6. Penutup
Upaya dari berbagai segi untuk membuat hutan rakyat lestari dilakukan antar lain dengan
pendekatan: kelembagaan pengelola hutan rakyat; sertifikasi legalitas kayu, koperasi tunda
tebang, penghitungan potensi karbon, penataan ruang perdesaan, dan rencana kelola.
Sampai saat ini beberapa persoalan masih menjadi hambatan antara lain:
Pasar kayu bersertifikat SVLK masih rendah; diharapkan ada kebijakan procurement
dari pemerintah atas pengadaan barang yang dilakukan.
Masih sedikitnya Modal Koperasi Tunda Tebang; diharapkan ada tambahan modal baik
dari Perbankan maupun bantuan dari CSR Perusahaan Swasta maupun BUMN.
Belum terbitnya Peraturan Desa mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Desa Terong
untuk memastikan kawasan perdesaan berkelanjutan dapat terwujud; sehingga
diperlukan advokasi kebijakan level desa lebih lanjut.
Perlunya mengawal implementasi rencana kelola hutan KTH Jasema; sehingga
diperlukan pendampingan tahap lanjut.
Belum optimalnya bisnis komunitas untuk mengoptimalkan potensi ekonomi pengolahan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta mengelola potensi wisata eco-culture yakni
hutan rakyat bersertifikat, wisata alam dan budaya.
Selesai.
Page 9 of 9